3 Perempuan Suku Tengger

Gambar 3.3 Perempuan Suku Tengger

Masyarakat Tengger memang memiliki kekhasan tersendiri. Salah satu ciri khas masyarakat Tengger, selain beragama Hindu , adalah keberadaan dukun yang berperanan pada fungsi spiritual dan sosial. Dan upacara Yadnya Kasada, yang menggambarkan ekspresi terimakasih masyarakat suku Tengger kepada kekuatan supranatural (Tuhan), yang dalam ajaran Hindu yang dianut masyarakat suku Tengger direpresentasikan pada sebutan “Sang Hyang Widdhi Wasa”. Ungkapan rasa terimakasih ini diwujudkan dalam bentuk pengorbanan berupa hasil bumi kepada dewa, yang dilabuhkan ke dalam kawah Gunung Bromo. (Sumber:http://wawankuswandoro.blogspot.com/2009/02/bromo-tengger-semeru- 2.html )

BAB IV GUNUNG BROMO DAN MASYARAKAT TENGGER

4.1 Gunung Bromo

Gunung Bromo (2.329 m dpl), adalah salah satu gunung dari beberapa gunung lainnya yang terhampar di kawasan Komplek Pegunungan Tengger, berdiri diareal Kaldera berdiameter 8-10 km yang dinding kalderanya mengelilingi laut pasir sangat terjal dengan kemiringan ± 60-80 derajat dan tinggi berkisar antara 200-600 meter. Daya tarik Gunung Bromo yang istimewa adalah kawah di tengah kawah dengan lautan pasirnya yang membentang luas di sekeliling kawah Bromo yang sampai saat ini masih terlihat mengepulkan asap putih setiap saat, menandakan Gunung ini masih aktif.

Gunung Bromo menjadi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru merupakan satu-satunya kawasan konservasi di Indonesia yang memiliki keunikan berupa laut pasir kaldera seluas 5.250 hektar, yang berada pada ketinggian ± 2.100 m dpl.

Gambar 4.1 Gunung Bromo

Di laut pasir ditemukan tujuh buah pusat letusan dalam dua jalur yang silang-menyilang yaitu dari timur-barat dan timur laut-barat daya. Dari timur laut- barat daya inilah muncul Gunung Bromo yang termasuk gunung api aktif yang sewaktu-waktu dapat mengeluarkan asap letusan dan mengancam kehidupan manusia di sekitarnya (± 3.500 jiwa). Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah ± 800 meter (utara-selatan) dan ± 600 meter (timur-barat). Sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 km dari pusat kawah Bromo.

Suku Tengger yang berada di sekitar taman nasional merupakan suku asli yang beragama Hindu. Menurut legenda, asal-usul suku tersebut dari Kerajaan Majapahit yang mengasingkan diri. Uniknya, melihat penduduk di sekitar (Suku Tengger) tampak tidak ada rasa ketakutan walaupun mengetahui Gunung Bromo itu berbahaya, termasuk juga wisatawan yang banyak mengunjungi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru pada saat Upacara Kasodo.

4.1.1 Sejarah

Menurut sejarah terbentuknya Gunung Bromo dan lautan pasir berawal dari dua gunung yang saling berimpitan satu sama lain. Gunung Tengger (4.000 m dpl) yang merupakan gunung terbesar dan tertinggi pada waktu itu. Kemudian terjadi letusan kecil, materi vulkanik terlempar ke tenggara sehingga membentuk lembah besar dan dalam sampai ke desa sapi kerep. Letusan dahsyat kemudian menciptakan kaldera dengan diameter lebih dari delapan kilometer. Karena dalamnya kaldera, materi vulkanik letusan lanjutan tertumpuk di dalam dan sekarang menjadi lautan pasir dan di duga dahulu kala pernah terisi oleh air dan Menurut sejarah terbentuknya Gunung Bromo dan lautan pasir berawal dari dua gunung yang saling berimpitan satu sama lain. Gunung Tengger (4.000 m dpl) yang merupakan gunung terbesar dan tertinggi pada waktu itu. Kemudian terjadi letusan kecil, materi vulkanik terlempar ke tenggara sehingga membentuk lembah besar dan dalam sampai ke desa sapi kerep. Letusan dahsyat kemudian menciptakan kaldera dengan diameter lebih dari delapan kilometer. Karena dalamnya kaldera, materi vulkanik letusan lanjutan tertumpuk di dalam dan sekarang menjadi lautan pasir dan di duga dahulu kala pernah terisi oleh air dan

4.1.2 Geografis

Gunung Bromo berada dikawasan pelestarian alam Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dan merupakan Taman Nasional paling spektakuler dan paling mudah dikunjungi di antara Taman Nasional lainnya yang ada di Indonesia yang terletak antara 1.000 - 3.676 meter diatas permukaan air laut. Wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru terletak pada rangkaian pegunungan berapi yang merupakan salah satu dari rangkaian besar pegunungan yang terbentang sepanjang Pulau Jawa. Di bagian utara pegunungan Tengger terdapat kaldera Tengger yang sangat indah dan menarik, garis tengahnya mencapai 8-10 kilometer, sedang dindingnya yang terjal tingginya antara 200-700 meter.

Dasar Kaldera Tengger berupa laut pasir seluas 5.290 ha, terdapat Gunung Bromo (2.392 m), Gunung Batok (2.470 m), Gunung Kursi (3.392 m), Gunung Watangan (2.601 m), dan Gunung Widodaren (2.600 m). Gunung Bromo merupakan gunung yang masih aktif yang pada waktu tertentu mengeluarkan asap. Disamping untuk tujuan pariwisata, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru berfungsi pula untuk : Penelitian, Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Pendidikan, Konservasi, dan Pembinaan Cinta Alam.

Seperti pada umumnya Taman Nasional lainnya di Indonesia, pengelolaan Taman Nasional ini dilaksanakan oleh Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang kantornya berada di Malang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Perlindungan Hutan dan Pelestarian alam, Departemen Kehutanan.

Menurut Schmidt and Ferguson tipe iklim di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru tergolong tipe C dan D. Sedangkan musim hujan berlangsung pada bulan Oktober sampai Maret. Suhu rata-rata berkisar antara 7-

18 derajat celcius. Tipe vegetasi hutan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru adalah tipe Hutan Hujan Pegunungan yang terdiri dari Hutan Tinggi, Hutan Alfin, Hutan Cemara, Padang Rumput dan vegetasi Kaldera. Tumbuhan yang banyak dijumpai adalah Cemara (Casuarina junghuhniana), Akasia (accaccia decurens), Mentigi (Vacinium varingaefolium), Adas (Anethum graveolens), Senduro atau bagi masyarakat Tengger disebut bunga Tanalayu dan juga sering disebut sebagai bunga Edelwise (Anaphalis javanica), dan berbagai jenis anggrek alam di daerah Semeru selatan.

Untuk menuju Gunung Bromo dari arah Pasuruan. Dari Surabaya kita naik bis menuju Probolinggo dan turun di Pasuruan yang membutuhkan watu 1,5 jam. Selanjutnya naik colt menuju Desa Tosari – Wonokitri. Di Wonokitri kita dapat bermalam di hotel atau losmen atau dapat juga langsung meneruskan per- jalanan menuju Gunung Pananjakan atau masuk ke lautan pasir menuju puncak Gunung Bromo.

Bila dari arah Probolinggo, kita naik colt atau bis menuju Sukapura, kemudian kita terus ke Ngadisari. Dari Ngadisari naik kuda atau berjalan kaki

menuju Cemoro Lawang ± 3 km. Di Cemoro Lawang kita dapat bermalam di hotel atau losmen. Besok pagi kita dapat melanjutkan perjalanan ke kawah Gunung Bromo, yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau naik kuda yang disewakan oleh masyarakat setempat.Bila dari arah Malang kita bisa lewat Jemplang, Ngadas. Dari Malang naik minibus menuju ke Tumpang (18 Km) sekitar 30 menit. Dari Tumpang perjalanan kita lanjutkan dengan naik Jeep menuju ke Jemplang sekitar 1,5 jam perjalanan melewati Desa Gubuk Klakah dan Desa Ngadas. Disekitar perjalanan kita dapat menyaksikan pemandangan alam yang berupa kebun-kebun penduduk yang berada di lereng-lereng gunung dan hutan alam yang masih asli. Memasuki Desa Ngadas di sekitar jalan kita melewati hutan cemara yang tertata rapi. Kondisi jalan dari Tumpang menuju Jemplang sekarang sudah baik.

Kondisi jalan menuju Bromo ini cukup baik Jalannya berkelok-kelok, menurun dan mendaki dengan pemandangan alam di kiri kanan jalan yang sangat menawan. Namun, kita hendaknya jangan lengah karena di kiri kanan jalan terdapat jurang yang terjal. Kabut tipis di pucuk-pucuk pinus yang berjajar rapi, aneka bunga dan sayuran yang di tanam penduduk menghiasi kemiringan lahan. Rumah-rumah penduduk yang terselip diantara pepohonan.

Kawasan wisata alam yang berada di Taman Nasional Bromo-Tengger Semeru ini sebenarnya bukan saja gunung Bromo tetapi banyak sekali yang dapat dinikmati, karena taman nasional dengan luas lebih dari 50.000 hektar ini menyuguhkan pemandangan alam yang indah, menarik dan penuh pesona.

Panorama gunung Bromo merupakan objek wisata handal yang sekaligus merupakan primadona wisata Jawa Timur.

Dari desa Cemoro Lawang sebuah desa dekat Bromo, kita dapat melihat dengan jelas hamparan lautan pasir dan puncak gunung Bromo yang menyebarkan asap putih. Tak jauh dari gunung Bromo, terdapat gunung Batok dan gunung Kursi. Dari kejauhan terlihat juga gunung Semeru dengan asap putih yang sekali- sekali menyemburkan asap hitam. Gunung Batok, gunung Bromo dan gunung Kursi yang berjajar dari utara ke selatan merupakan tiga gunung yang mencuat dari kaldera gunung berapi tua Tengger.

Kebanyakan para pengunjung mulai naik ke gunung Penanjakan sekitar dini hari pada pukul 04.00 WIB. Para tamu yang ingin melihat sunrise dibangunkan oleh para petugas hotel untuk segera berangkat. Kalau sudah demikian kita tidak peduli terhadap serangan hawa dingin yang menusuk tulang dan pekatnya kabut dini hari. Dengan pelupuk mata yang masih berat karena masih mengantuk kita berangkat naik jip sewaan buatan tahun 1974 menuju ke Pananjakan. Dalam kegelapan, jip terus menelusuri jalan yang mendaki dan berkelok. Tujuannya hanya satu yaitu mencapai puncak gunung Penanjakan sebelum matahari terbit (sunrise). Satu jam perjalanan sampailah kita di gunung Penanjakan. Untuk menuju puncaknya kita harus berjalan kira-kira 100 meter.

Di puncak gunung Pananjakan ini kita dapat menikmati matahari terbit ke arah gunung Bromo, gunung Batok, dan gunung Semeru. Tiga gunung yang saling berdampingan itulah yang menjadi daya tarik luar biasa bagi kaum turis. Ketika kita berada di sini dengan cuaca yang sangat cerah di siang hari, dari puncak

Penanjakan terlihat pemandangan indah menawan lainnya, yakni pesona hamparan laut pasir kaldera Tengger.

Setelah puas menikmati sunrise, sekitar pukul 07.00 pengunjung dapat meninggalkan Penanjakan menuju kaki gunung Bromo. Perjalanan yang menurun dan melintasi lautan pasir di pagi hari, membuat semua terlihat dengan jelas dan sejauh mata memandang yang tampak hanyalah lautan pasir dan puncak-puncak gunung.

Gambar 4.2 Pura di Kaki Gunung Bromo

Kendaraan berhenti di dekat pura yang digunakan untuk upacara Kasada di kaki gunung Bromo. Perjalanan selanjutnya adalah menuju kawah Bromo. Kita bisa menempuhnya dengan berjalan kaki atau mempergunakan kuda sewaan.Di sini sudah menunggu pasukan kuda sewa untuk membawa para tamu mendaki sampai ke kaki tangga gunung Bromo dengan tarif Rp 20.000, 00, Pemilik kuda ini akan menunggu penyewanya sampai selesai menikmati pemandangan kawah gunung Bromo. Bagi yang tidak terbiasa, perjalanan menunggang kuda ini sunggguh menegangkan, karena selama pulang balik dari dan ke kaki gunung Bromo kuda selalu berjalan di tepi jurang belum lagi harus berpapasan dengan kuda lain. Hal ini membuat dada berdebar dengan kencang dan hati menjadi ciut.

Tetapi pemilik dan kudanya tetap berjalan dengan santai sambil berlenggak- lenggok seolah-olah mengajak menari.

Gambar 4.3 Kuda Masyarakat Tengger

Sesampai di kaki gunung Bromo, mulailah para turis menaiki anak tangga yang telah tersedia dengan lebar anak tangga 2 meter sebanyak 255 anak tangga. Menghitung anak tangga ini tidak ada kesepakatan, ada yang mengatakan 245 buah, atau 250 buah, ada juga yang mengatakan 254 buah, tidak ada kepastian yang jelas.

Menaiki tangga menuju puncak gunung Bromo untuk melihat kawahnya merupakan ujian fisik yang cukup melelahkan. Puas menikmati keindahan kawah gunung Bromo, ada baiknya kita berkeliling mengarungi lautan pasir. Deru angin yang mendesau, heningnya suasana alam, dan pemandangan lautan sungguh merupakan wisata yang unik.

Gambar 4.4 Anak Tangga Menuju Bromo Selain menikmati panorama alam, biasanya para turis datang untuk menyaksikan berbagai upacara adat dan ritual keagamaan yang digelar di kawasan gunung Bromo oleh suku Tengger. Salah satu diantaranya adalah upacara Kasada. Kasada merupakan acara ritual keagamaan umat Hindu Tengger Puncak upacara keagamaan ini berkaitan dengan pelantikan dukun baru, yang diakhiri dengan acara lelarung sesaji berupa persembahan hasil bumi dan ternak kepada Sang Hyang Widhi Wasa berupa hewan ternak dan hasil kebun ke dasar kawah gunung Bromo.

Bromo bukan hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia, tetapi sudah menjadi agenda kunjungan wisata bagi masyarakat dunia. Tidak pernah sepi dari kunjungan para turis, bahkan mereka betah berhari-hari tinggal disana Meniti tangga menuju puncak gunung Bromo untuk menyaksikan terbitnya matahari bukan suatu hal yang terlalu berlebihan. Namun bermain-main dibibir kepundan yang menganga kemudian merayap turun menjejakkan kaki telanjang pada magma beku untuk mengukir nama kemudian mengabadikannya, barangkali hanya bisa dilakukan di Bromo, tidak ditempat lain.

Pintu gerbang utama menuju ke laut pasir dan gunung Bromo melalui Cemoro Lawang. Kawasan ini merupakan daerah wisata yang paling ramai terutama pada hari libur. Beberapa aktivitas dapat dilakukan di daerah ini antara lain : berkemah, menikmati pemandangan alam, berkuda menuju Lautan Pasir atau berjalan kaki. Untuk mencapai puncak gunung Bromo dapat menaiki tangga yang telah disediakan. Kawah Gunung Bromo merupakan kawah yang menganga lebar dengan kepulan asap yang keluar dari dasar kawah menandakan bahwa gunung tersebut masih aktif.

4.2 Masyarakat Tengger

Masyarakat Tengger adalah sebuah suku yang tinggal di sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur, yakni menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Malang. Orang-orang suku Tengger dikenal taat dengan aturan dan agama Hindu. Mereka yakin merupakan keturunan langsung dari Majapahit. Nama Tengger berasal dari Legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang diyakini sebagai asal usul nama Tengger, yaitu "Teng" akhiran nama Roro An-"teng" dan "ger" akhiran nama dari Joko Se-"ger".

Menurut legenda, asal usul Suku Tengger yaitu dahulu di pulau Jawa di perintah oleh Raja Brawijaya dari Majapahit yang mempunyai anak perempuan bernama Rara Anteng. Pada suatu hari, seorang Senopati berdarah Brahmana yang bernama Jaka Seger sedang menempuh perjalanan jauh melintasi daerah ini bertemu dengan Rara Anteng. Kedua muda-mudi tersebut saling tertarik dan jatuh cinta yang akhirnya dikawinkan oleh Resi Ki Dadap Putih. Sejak saat itu Rara Anteng dan Jaka Seger resmi menjadi pasangan suami-istri.

Bertahun-tahun Rara Anteng dan Jaka Seger mendambakan keturunan, namun Yang Maha Kuasa belum juga berkenan mengkaruniai putra. Maka bertapalah mereka di Watu Kuta menghadap gunung Bromo. Siang malam hanya berdoa semoga Sang Maha Agung mengabulkan permintaannya.

Suatu ketika, terjadi isyarat alam yang sangat dahsyat. Gunung Bromo berdentum hebat. Dari kawahnya menyembur api yang membiaskan sinar kemerahan, menerangi pekat malam dan menyadarkan kekhusukan Rara Anteng dan Jaka Seger yang sedang bertapa. Mereka yakin bahwa peristiwa alam dahsyat yang baru saja terjadi merupakan isyarat bahwa permohonan akan terkabul. Namun isyarat alam itu segera diikuti oleh terdengarnya suara gaib yang mengatakan : “Bahwa kelak apabila Sang Hyang Widhi berkenan mengaruniai putra-putri, salah seorang akan dijadikan korban persembahan ke kawah gunung Bromo”. Kembali dentuman dahsyat kawah gunung Bromo itu terjadi, seakan menjadi saksi, bahwa terkabulnya permohonan Rara Anteng dan Jaka Seger harus ditebus dengan persembahan salah seorang anaknya ke kawah gunung Bromo.

Ternyata isyarat alam itu benar. Selang beberapa waktu kemudian Rara Anteng melahirkan putra pertama. Anak sulung ini diberi nama Tumenggung Klewung. Disusul kemudian dengan putra-putri berikutnya yang jumlahnya sebanyak 25 orang. Anak paling bungsu diberi nama Raden Kusuma. Kehadiran

25 putra putri tersebut sangat membahagiakan. Namun dibalik kebahagiaan itu terselip kecemasan tentang syarat yang harus dipenuhi. Rara Anteng dan Jaka Seger senantiasa menjaga putra-putrinya dengan hati-hati. Kepada mereka disarankan untuk selalu menjauhi kawah gunung Bromo.

Ketika pada suatu hari terdengar dentuman keras dari kawah Gunung Bromo, pasangan suami istri ini kembali menjadi gundah. Mereka menangkap isyarat alam yang maknanya merupakan peringatan untuk menagih janjinya. Diam-diam ada pertentangan batin yang sangat mengusik, antara kewajiban untuk memenuhi syarat dengan naluri orang tua yang menyayangi putra-putrinya. Pada akhirnya diputuskan untuk tidak merelakan salah satu dari putra-putrinya dijadikan korban persembahan. Mereka tepis semua kecemasan, kesanggupan untuk memenuhi syarat korban persembahan secara perlahan mulai dilupakan.

Putra-putrinya disembunyikan dibalik gunung Penanjakan dengan harapan terhindar dari bahaya. Tetapi kehendak yang Sang Maha Agung tak bisa dielakkan lagi. Pada suatu hari kawah Gunung Bromo menyemburkan api, lidah api yang membara menjilat Raden Kusuma, menyeretnya masuk ke dalam kawah. Dengan misterius Raden Kusuma hilang. Setelah itu suasana alam menjadi tenang kembali dan dentuman api kawah reda. Dalam keheningan alam, terdengar suara gaib yang mengisyaratkan bahwa hilangnya Raden Kusuma adalah perwujudan dari syarat yang harus dipenuhi, sebagai persembahan kepada Dewata Sang Hyang Agung, atas terkabulnya permintaan ketika mereka bertapa. Selanjutnya suara gaib (Raden Kusuma) berpesan agar setiap tanggal 14 bulan Purnama, di Bulan KASADA, disediakan sebagian hasil ladang umtul dikirimkan kepada Raden Kusuma di kawah gunung Bromo.

Meskipun masih diliputi suasana sedih, suara gaib yang mereka dengar merupakan petunjuk yang mereka yakini untuk kemudian dapat mereka laksanakan. Rara Anteng dan Jaka Seger menyadari meskipun mereka sudah Meskipun masih diliputi suasana sedih, suara gaib yang mereka dengar merupakan petunjuk yang mereka yakini untuk kemudian dapat mereka laksanakan. Rara Anteng dan Jaka Seger menyadari meskipun mereka sudah

Maka setiap tanggal 14 bulan purnama di bulan Kasada, dikirimilah Raden Kusuma beragam hasil ladang ke kawah gunung Bromo. Upacara persembahan tersebut menjadi tradisi yang diselenggarakan secara turun temurun hingga sekarang yang diberi nama Yadnya Kasada. Secara etimologi, Tengger memiliki arti berdiri tegak, sedangkan secara filosofi Tengger bermakna “Tenggering Budi Luhur”. Maksudnya, masyarakat Tengger selalu berorientasi pada sifat dan kepribadian yang berbudi pekerti luhur. Hal ini menyangkut sikap, pandangan hidup, perilaku, hubungan antar manusia, siklus kehidupan dan konsep tentang manusia, menurut masyarakat Tengger.

4.3 Keunikan Masyarakat Tengger

Masyarakat Tengger memiliki keunikan yang berbeda dari suku-suku asli dari setiap daerah objek wisata yang ada di Indonesia dan menjadi daya tarik yang khas bagi wisatawan yang datang, diantaranya yaitu:

4.3.1 Tradisi dan Bahasa

Masyarakat Tengger merupakan salah satu komunitas masyarakat di kepulauan Jawa yang masih setia terhadap adat istiadat warisan nenek moyang. masyarakat adat Tengger tidak pernah bisa lepas dari tradisi luhur yang telah diwarisinya selama ini. Kemampuan untuk mempertahankan tradisi tersebut menjadikan masyarakat Tengger dianggap sebagai bagian dari masyarakat adat di nusantara. Penghormatan terhadap tradisi tersebut memberikan bukti bahwa

mereka cenderung ‘berbeda’ dengan masyarakat Jawa pada umumnya, meskipun sama-sama menggunakan bahasa Jawa dalam pergaulan sehari-hari, tetapi dialek yang dipergunakan adalah bahasa Jawa dialek Tengger. Ciri bahasa Jawa dialek Tengger ini adalah dominasi ucapan berbunyi “a” pada akhir suku kata, bukannya diucapkan “o” seperti pada kebanyakan bahasa jawa dialek Jawa Tengah atau Jawa Timur. Sepintas mirip dialek Banyumas namun cengkokan (intonasi) kalimatnya datar. Dialek Tengger ini mirip perpaduan antara bahasa jawa dialek Banyumas (bunyi “a”, bukan “o”) bercampur dialek Banyuwangi. Misalnya, sira (artinya kamu, bentuk lugas) diucapkan “sira”, bukan “siro”; rika (artinya anda, atau kamu dalam bentuk sopan) diucapkan “rika”, bukan “riko”. Ada sedikit pembeda dalam penyebutan kata ganti orang menurut jenis kelamin seperti lazimnya pada bahasa Perancis atau Spanyol. Misalnya “reang” untuk menyebut saya (bagi orang laki-laki). Sedangkan para perempuan akan menggunakan kata “ingsun” untuk menyebut 'saya'. Kemiripan dengan bahasa Bali misalnya muncul pada kata “odalan” (nama salah satu upacara di Tengger), yang digunakan (diucapkan) warga Tengger, bersamaan artinya dengan kata wedalan (keluaran, mengeluarkan, bahasa jawa).

Satu lagi yang unik (berbeda dengan bahasa Jawa) dalam dialek Tengger ini, adalah mengucapkan kata yang berarti “...kan” (bahasa Indonesia) seperti pada kata “mengumpulkan”, yang dalam bahasa Jawa disebut “nglumpukna” atau “nglumpukke”, dalam dialek Tengger diucapkan “nglumpuken”. Begitu juga dengan “nglebokna” atau “nglebokke” (artinya: memasukkan), diucapkan “ngleboken”.

Menurut Vina Salviana (2000: 18), kemampuan kohesi sosial antar warga Tengger di manapun mereka berada ditengarai karena dalam kehidupannya, masyarakat adat Tengger cenderung mengadakan hubungan dengan sesama yang berkembang menjadi hubungan dengan alam sebagai usahanya menanggapi secara aktif dan responsif terhadap lingkungan. Pola ini berkembang menjadi pola kebudayaan yang menjadi dasar dan suatu interaksi sosial dalam kelompok masyarakatnya. Bahkan dalam konstruksi sosialnya, dalam sistem kekeluargaannya, masyarakat adat Tengger memiliki ikatan keluarga dan kekerabatan antar sesama manusia yang sangat erat, sehingga tercipta suasana tenteram dan damai tanpa kekerasan dan konflik.

Komunitas masyarakat Tengger memiliki keragaman budaya yang sarat dengan nilai-nilai ritual yang menjadi tuntunan kehidupan warganya. Keberagaman budaya yang yang diwariskan dari nenek moyang secara turun temurun itu selalu ditaati dan dijunjung tinggi, yang pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk-bentuk upacara adat seperti; upacara ritual Yadnya Kasada, Karo dan Unang-unang.

4.3.2 Busana Tradisional

Keunikan pakaian sehari-hari masyarakat Tengger adalah cara mereka bersarung (memakai sarung) yang berfungsi sebagai pengusir hawa dingin yang memang akrab dengan keseharian mereka. Tidak kurang dari 7 (tujuh) cara bersarung yang mereka kenal. Masing- masing cara ini memiliki istilah dan kegunaan sendiri.

Untuk bekerja, mereka menggunakan kain sarung yang dilipat dua, kemudian disampirkan ke pundak bagian belakang dan kedua ujungnya diikat jadi satu. Cara ini disebut kakawung, yang dimaksudkan agar bebas bergerak pada waktu ke tempat mengambil air atau kepasar. Cara bersarung seperti ini tidak boleh digunakan untuk bertamu dan melayat. Sedang untuk pekerjaan yang lebih berat, seperti bekerja diladang atau pekerjaan-pekerjaan lain yang memerlukan tenaga lebih besar, mereka menggunakan sarung dengan cara sesembong. Sarung dilingkarkan pada pinggang kemudian diikatkan seperti dodot (di dada) agar tidak mudah terlepas.

Saat bertamu, mereka mengenakan sarung sebagaimana masyarakat umumnya, yaitu ujung sarung dilipat sampai kegaris pinggang. Cara ini disebut Sempetan. Sementara itu, pada saat santai dan sekedar berjalan-jalan, mereka menggunakan sarung dengan cara kekemul. Setelah disarungkan pada tubuh, bagian atas dilipat untuk menutupi kedua bagian tangannya, kemudian digantungkan di pundak. Agar terlihat rapi pada saat bepergian mereka menggunakan cara sengkletan. Kain sarung cukup disampirkan pada pundak secara terlepas atau bergantung menyilang pada dada. Cara lain yang sangat khas, yang sering dijumpai pada saat masyarakat Tengger berkumpul di tempat - tempat upacara atau keramaian lainnya di malam hari adalah cara kekodong. Dengan ikatan di bagian belakang kepala kain sarung dikerudungkan sampai menutupi seluruh bagian kepala, sehingga yang terlihat hanya mata saja. Anak-anak muda Tengger pun memiliki cara bersarung tersendiri, yang disebut Sampiran. Kain Saat bertamu, mereka mengenakan sarung sebagaimana masyarakat umumnya, yaitu ujung sarung dilipat sampai kegaris pinggang. Cara ini disebut Sempetan. Sementara itu, pada saat santai dan sekedar berjalan-jalan, mereka menggunakan sarung dengan cara kekemul. Setelah disarungkan pada tubuh, bagian atas dilipat untuk menutupi kedua bagian tangannya, kemudian digantungkan di pundak. Agar terlihat rapi pada saat bepergian mereka menggunakan cara sengkletan. Kain sarung cukup disampirkan pada pundak secara terlepas atau bergantung menyilang pada dada. Cara lain yang sangat khas, yang sering dijumpai pada saat masyarakat Tengger berkumpul di tempat - tempat upacara atau keramaian lainnya di malam hari adalah cara kekodong. Dengan ikatan di bagian belakang kepala kain sarung dikerudungkan sampai menutupi seluruh bagian kepala, sehingga yang terlihat hanya mata saja. Anak-anak muda Tengger pun memiliki cara bersarung tersendiri, yang disebut Sampiran. Kain

Dalam hal berbusana, pakaian sehari-hari yang dikenakan masyarakat Tengger memang tidaklah jauh berbeda dari masyarakat jawa. Kaum wanitanya menggunakan kebaya pendek dan kain panjang tanpa wiron atau sarung tutup kepala dan selendang batik lebar. Kaum prianya berpakaian sehari-hari sebagaimana masyarakat pertanian di Jawa. Biasanya mereka memakai baju longgar dan celana panjang di atas mata kaki, berwarna hitam. Di bagian dalam, memakai kaos oblong, udeng dan sarung tidak tertinggal. Untuk pakaian resmi pun mereka menggunakan beskap, kain wiron dan udeng, dengan segala perlengkapannya, sebagaimana yang digunakan di Jawa.

Gambar 4.5 Pria Suku Tengger

Berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat yang sangat diyakini dan telah dilaksanakan secara turun menurun, masyarakat Tengger memiliki banyak upacara yang tidak saja berkaitan dengan siklus kehidupan, melainkan juga yang berhubungan dengan alam.Setidaknya ada dua upacara besar, yang tetap dilaksanakan dan mengundang perhatian masyarakat luar, termasuk wisatawan, yaitu upacara adat Kasada dan Karo.

Kedudukan seorang dukun, yang juga merupakan pemimpin upacara adat di Tengger sangat dihormati oleh masyarakat. Busana yang digunakan seorang dukun pada saat memimpin upacara cukup unik, yaitu yang disebut baju anta kusuma atau rasukan dukun, lengkap dengan peralatan upacara seperti prasen, genta dan talam. Biasanya busana yang dikenakan oleh seorang dukun adalah ikat kepala atau udeng batik, baju warna putih, jas tutup warna gelap, jarik (kain) batik yang dibebatkan, celana panjang warna gelap dan selempang panjang warna hitam batikan. Namun ada pula dukun yang menggunakan jas tutup dan celana panjang warna putih. Selempang pun ada yang berwarna hitam, kuning, maupun putih dan ke arah krem. Selempang ini dianggap sebagai lambang keagungan dan tanda jabatan yang dipangkunya. Setelah selesai upacara, umumnya selempang ini dilepas dan disimpan kembali.

Masyarakat Tengger senantiasa memiliki daya tarik tersendiri. Tidak hanya eksotisme pemandangan alam dengan relief dan lanskap Gunung Bromonya, melainkan juga daya pikat kehidupan sosio-kultural yang direpresentasikan oleh komunitas adat Tengger. Keadaan alam Tengger yang terletak di lereng gunung Bromo dengan hasil pertaniannya yang khas (kentang, kol dan bawang prei), juga lautan pasir seluas 5.250 hektar, berada pada ketinggian 2.392 meter dpl. Pegunungan Bromo-Semeru merupakan pegunungan yang masih aktif, sekaligus terkenal sebagai salah satu objek wisata di Jawa Timur.

Keunikan dan kekhasan komunitas adat Tengger itu menarik tidak hanya wisatawan untuk datang berkunjung, tetapi juga para ilmuwan antropologi dan Keunikan dan kekhasan komunitas adat Tengger itu menarik tidak hanya wisatawan untuk datang berkunjung, tetapi juga para ilmuwan antropologi dan

Dipandang dari sisi manapun, Tengger tetap mempesona. Pesona tersebut membuat orang tergerak untuk menyelami lebih dalam tentang aktivitas di sekitar pengunungan Tengger. Publikasi tersebut tidak saja dari hasil penelitian untuk skripsi sampai pada disertasi. (Sumber : www.from The Corner OfArchipelago.com)

4.4 Atraksi Wisata

4.4.1 Matahari Terbit (Sunrise)

Salah satu atraksi yang paling menarik di atas Gunung Bromo adalah Matahari terbit. Gumpalan awan yang menutup langit perlahan - lahan tersibak oleh bola putih kekuning - kuningan. Cahaya merah merona diufuk timur, perlahan - lahan timbulah temberang yang kian membesar hingga membentuk setengah lingkaran sang surya yang merah menyala. Berangsur - angsur warnanya berubah menjadi keemasan. Udara sekitar mulai menerang. Mulailah suatu hari dan kehidupan yang baru. Semuanya mengingatkan kita akan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Kecuali di puncak Bromo, atraksi matahari terbit bisa di lihat di puncak Pananjakan.

Ada dua alternatif lokasi untuk menyaksikan matahari terbit, yaitu dari tepi kawah Bromo dan dari gunung Pananjakan di utara gunung Batok. Kebanyakan Ada dua alternatif lokasi untuk menyaksikan matahari terbit, yaitu dari tepi kawah Bromo dan dari gunung Pananjakan di utara gunung Batok. Kebanyakan

Tidak sulit untuk mencapai lokasi wisata Bromo, karena sarana transportasi menuju Bromo banyak tersedia. jalur menuju Bromc bisa ditempuh lewat Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang. Namun jalur yang mudah dan biasa ditempuh yakni melalui Probolinggo yang berjarak 36 km dari Bromo dengan menumpang angkutan yang banyak tersedia di terminal Probolinggo.Dari Probolinggo menuju Cemoro Lawang yang merupakan gerbang masuk wisata Bromo memakan waktu kurang dari 2 jam dengar tarif Rp 10.000,- per orang

Bagi mereka yang membawa kendaraan pribadi hanya bisa dipergunakan sampai desa Ngadisari atau desa Cemoro Lawang Selanjutnya perjalanan menuju Bromo dapat mempergunakan kuda atau jip tua milik penduduk yang memang disewakan untuk keperluan tersebut. Perlu diketahui, bila ingin mencapai puncak Bromo, para pengunjung harus melewati lautan pasir sepanjang tiga kilometer dan menaiki 255 anak tangga. Bagi yang enggan berjalan kaki bisa menyewa kuda dari Cemoro Lawang dengan ongkos Rp 50.000,00. Bromo seperti melihat sunrise di gunung Penanjakan, mengelilingi hamparan laut pasir dan berkeliling di desa Cemoro Lawang, kita bisa menyewa mobil dengan tarif Rp 100.000,00. Di desa Ngadisari dan Cemoro Lawang banyak terdapat penginapan dan hotel dengan tarif mulai dari harga Rp 50.000,00 sampai Rp 200.000,00 sedangkan untuk memasuki kawasan Bromo, setiap pengunjung di dikenakan biaya masuk Rp 4.000,00.

Ketika menikmati sunrise di gunung Penanjakan kita harus memakai pakaian yang cukup tebal karena suhu di sini sangat rendah (sekitar 5° Celsius). Jangan lupa juga membekali diri dengan jaket tebal, sweater, kaos kaki, kaos tangan dan kain penutup kepala atau penutup wajah. Agar tidak terlalu kedinginan telinga harus ditutup rapat-rapat. Bagi yang tidak sempat membawa jaket kita bisa menyewanya dengan tarif Rp 20.000,00 yang tersedia di penginapan.

Kita akan lebih terpesona bila berhasil melihat matahari terbit tanpa terhalang mendung. Sungguh suatu pemandangan yang sangat indah. Namun, tidak jarang pengunjung gagal menyaksikan keindahan matahari terbit karena terhalang oleh mendung. Waktu yang terbaik untuk datang ke tempat ini adalah pada bulan Juni, Juli dan Agustus. Pada bulan-bulan tersebut Bromo terasa lebih bersahabat karena cuacanya bagus.(Sumber : http//www.kumpulan.info )

4.4.2 Upacara Adat Upacara Kasodo

Pada tanggal 14 dan 15 bulan ke duabelas (tahun Jawa) atau bulan Desember/Januari (tahun Masehi) diadakan upacara Kasada. Dalam upacara ini dikorbankan sebagian hasil sawah, ladang dan ternak masyarakat dengan melemparkannya ke kawah Gunung Bromo sebagai tanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Upacara ini disebut juga sebagai Hari Raya Kurban. Biasanya lima hari sebelum upacara Yadnya Kasada, diadakan berbagai tontonan seperti; tari-tarian, balapan kuda di lautan pasir, jalan santai, pameran. Melalui upacara tersebut, masyarakat suku Tengger memohon panen yang berlimpah atau meminta tolak bala dan kesembuhan atas berbagai penyakit. Sekitar pukul 05.00 WIB, Pada tanggal 14 dan 15 bulan ke duabelas (tahun Jawa) atau bulan Desember/Januari (tahun Masehi) diadakan upacara Kasada. Dalam upacara ini dikorbankan sebagian hasil sawah, ladang dan ternak masyarakat dengan melemparkannya ke kawah Gunung Bromo sebagai tanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Upacara ini disebut juga sebagai Hari Raya Kurban. Biasanya lima hari sebelum upacara Yadnya Kasada, diadakan berbagai tontonan seperti; tari-tarian, balapan kuda di lautan pasir, jalan santai, pameran. Melalui upacara tersebut, masyarakat suku Tengger memohon panen yang berlimpah atau meminta tolak bala dan kesembuhan atas berbagai penyakit. Sekitar pukul 05.00 WIB,

Gambar 4.6 Pelaksanaan Upacara Kasodo

Upacara Karo

Hari raya terbesar masyarakat Tengger adalah Upacara Karo atau Hari Raya Karo. Masyarakat menyambutnya dengan penuh suka cita, mereka mengenakan pakaian baru kadang membeli pakaian baru hingga 2-5 pasang, perabotpun juga baru. Makanan dan minumanpun melimpah. Upacara ini

dilaksanakan tanggal 7 bulan kedua dan tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah: Mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang Widi Wasa dan dilaksanakan tanggal 7 bulan kedua dan tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah: Mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang Widi Wasa dan

Upacara Kapat

Upacara Kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka disebut pujan kapat, bertujuan untuk memperingati sedulur papat lima pancer, momong jangkung atau momong dusun (yang menjaga desa) dan monco papating dusun atau kiblat empat desa (memohon berkah keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin). Upacara ini dilakukan dibalai desa .

Upacara Kawulu

Upacara ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tahun saka. Pujan Kawolu sebagai penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa, dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan bintang.

Upacara Kasanga

Upacara ini jatuh pada bulan sembilan (sanga) tahun saka. Masyarakat berkeliling desa dengan membunyikan kentongan dan membawa obor. Upacara diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke rumah kepala desa, untuk dimantrai oleh pendeta. Selanjutnya pendeta dan para sesepuh desa membentuk barisan, berjalan mengelilingi desa. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan Masyarakat Tengger.

Upacara Unan-Unan

Upacara ini diadakan hanya setiap lima tahun sekali. Tujuan dari unan- unan adalah untuk mengadakan penghormatan terhadap roh leluhur. Dalam upacara ini selalu diadakan penyembelihan binatang ternak yaitu Kerbau. Kepala kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu, diarak ke sanggar pemujaan.

Upacara Kapitu

Dilaksanakan pada tanggal 1 bulan ketujuh. Diadakan puasa pati-geni, tidak boleh makan dan tidur sehari semalam suntuk, diam di kamar atau di tempat yang sepi, kemudian dilanjutkan dengan puasa mutih, hanya makan nasi putih dan air tawar selama sebulan penuh dan diakhiri dengan puasa pati-geni lagi. Puasa ini biasanya hanya dilakukan oleh pamong desa, terutama dukun, legend dan wong sepuh. Hampir setiap tahun Masyarakat Tengger menyelenggarakan upacara sesuai dengan sifat dan kepentingannya, sebagai bukti kepatuhan menjalankan adat dan tradisi.

BAB V KESIMPULAN

Objek wisata gunung Bromo yang terletak di desa Cemoro lawang, kabupaten Probolinggo, Jawa Timur merupakan objek wisata yang sangat unik dan menarik.Gunung ini mempunyai potensi yang sangat besar untuk dapat menarik hati wisatawan domestik maupun mancanegara karena mempunyai banyak daya tarik, seperti gunng beromo yang mempunyai kawah di atas kawah, melihat keindahan matahari terbit (sunrise), atraksi wisata yang diadakan setiap tahun (upacara kasodo), dan masih banyak lagi.

Pemerintah daerah dan pemerintah pusat perlu bekerja sama dan memberikan suatu perhatian terhadap objek wisata ini, yaitu dengan suatu program pembangunan dan pengembangan untuk daerah tersebut, yaitu meliputi pengadaan fasilitas sarana dan prasarana yang memadai, memberikan penyuluhan kepada masyarakat setempat dalam hal sapta pesona, khususnya mengenai kebersihan, karena berdasarkan pengalaman penulis sewaktu mengunjungi gunung bromo, daerah lautan pasir gunung Bromo tersebut banyak terdapat kotoran yang berserakan dari kuda-kuda yang dijadikan masyarakat Tengger sebagai mata pencaharian hidup. Sehingga pengunjung yang datang ke sana merasa tidak nyaman dengan baunya dan tidak nyaman pula untuk berjalan kaki. Untuk itu, perlu dibuatnya suatu sistem dalam menangani masalah ini. Pemerintah juga perlu mengikutsertakan peran masyarakat dalam pengembangan pariwisata di Jawa Timur, khususnya di daerah gunung bromo dan memberikan kesempatan memperoleh sebagian pendapatan dari kegiatan pariwisata untuk

masyarakat setempat, misalnya dengan membuat suatu sanggar tari untuk tari- tarian daerah masyarakat tengger, sehingga para remaja juga ikut berperan dan dampak negatif dari pariwisata sendiri dapat terhalangi. Sama seperti halnya masyarakat di Bali yang memiliki kepercayaan yang sama, sampai saat ini masyarakat tengger juga masih mempertahankan kebudayaan dan adat- istiadat yang mereka miliki, hal ini dilihat dari banyaknya kegiatan atau atraksi yang dilakukan secara berkelanjutan, khususnya pada upacara-upacara keagamaan dan mereka lebih menghormati pemimpin ritual (dukun/pendeta) dari pada pemimpin pemerintahan.Para dukun atau pendeta ini pun tidak dapat dijabat oleh sembarang orang ,banyak persyaratan yang harus dipenuhi dengan mengadakan upacara- upacara tertentu. Sehingga jika kebudayaan ini dapat terus dilestarikan dan dikembangkan maka kemungkinan daerah ini dapat menyaingi Bali.

Setelah penulis selesai menguraikan mengenai seluk-beluk gunung bromo yang berada di desa Cemoro Lawang, kabupaten Probolinggo, maka penulis memberikan saran kepada para pembaca kertas karya ini.Satu, setelah penulis mengunjungi gunung bromo beberapa pekan yang lalu,penulis menyadari bahwa betapa Indonesia sangat kaya akan objek wisata alam maupun kebudayaan yang sangat menarik yang tidak dimiliki oleh Negara lain di dunia. Maka dari itu kita sebagai warga negara Indonesia sangat perlu melestarikan budaya yang telah kita miliki, agar tidak terjadi lagi perampasan hak cipta budaya yang sebelumnya telah diambil alih oleh negara tetangga.