KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA PPATK DAN KPK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

(1)

COORDINATION IN INVESTIGATION BETWEEN INTRAC COMMISSION IN THE ERADICATION OF MONEY LAUNDERING

Abi Hussein, Diah Gustiniati, SH, MH, Irzal Fardiansyah, SH, MH Legal Studies Program, Faculty of Law, University of Lampung

Email: abi.hussein @ yahoo.com. ABSTRACT

Financial Transaction Reports and Analysis Center (INTRAC) as stipulated in Law No.. 8 of 2010 on the Prevention and Eradication of Money Laundering, an independent agency under the President of the Republic of Indonesia, which has the task of preventing and combating money laundering. INTRAC in carrying out its duties and functions require close coordination with other law enforcement agencies in particular is the Corruption Eradication Commission (KPK). The problem in this study is: How is coordination between INTRAC investigation and the Commission in combating Money Laundering and Is inhibiting factors INTRAC coordination between the investigation and the Commission in the fight against Money Laundering. This study uses a normative approach and empirical judicial approach. Sources derived from the literature study and interviews with Vice Chairman INTRAC and lecturer at the Faculty of Law Unila. Results and discussion of research shows that: Forms of coordination between the Commission INTRAC is horizontal coordination. Coordination between INTRAC investigation and the Commission in combating Money Laundering occurs when there are cases of corruption investigation is being conducted by the Commission in such cases there is also the element of money laundering or vice versa money laundering investigation is being conducted by INTRAC in Inside are alleged cases of corruption where corruption was committed money laundering. Factors inhibiting coordination between INTRAC investigation and the Commission in combating Money Laundering are: facilities and infrastructure owned by INTRAC currently not optimal access and inspect all banking transactions; INTRAC and the Commission has the authority of each different; and INTRAC not have the authority investigation.


(2)

ABSTRAK

KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA PPATK DAN KPK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Oleh: Abi Hussein

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, merupakan lembaga independen di bawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. PPATK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk memberantas tindak pidana pencucian uang sangat memerlukan koordinasi yang erat dengan lembaga penegak hukum lain khususnya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan permasalahan: a) Bagaimanakah koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang? b) Apakah faktor-faktor penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang?

Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber berasal dari studi kepustakaan dan hasil wawancara dengan Wakil Ketua PPATK dan dosen Fakultas Hukum Unila. Data yang diperoleh kemudian diolah melalui proses klasifikasi data, editing, interpretasi, dan sistematisasi. Data yang telah diolah kemudian akan dianalisis secara kualitatif. Kesimpulan diambil menggunakan metode induktif.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: a) Bentuk koordinasi antara PPATK dengan KPK adalah koordinasi horizontal. Koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terjadi pada saat ada kasus tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan penyidikan oleh KPK yang di dalam kasus tersebut juga terdapat unsur tindak pidana pencucian uang atau sebaliknya kasus pencucian uang yang sedang dilakukan penyidikan oleh PPATK di dalamnya terdapat dugaan kasus korupsi dimana hasil korupsi tersebut dilakukan pencucian uang. Koordinasi yang dilakukan berdasarkan nota kesepahaman atau MoU yang ditandatangani pada tanggal 11 Februari 2011 ini merupakan perkembangan dari nota kesepahaman sebelumnya 29 April 2004 berupa pertukaran informasi, perumusan produk hukum, penanganan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, penelitian, serta


(3)

pengembangan sistem IT. b) Faktor-faktor penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah: dari sisi sarana atau fasilitas yang mendukung, yaitu sarana dan prasarana yang dimiliki oleh PPATK saat ini belum dapat secara optimal mengakses dan memeriksa semua transaksi perbankan; dari faktor aparat penegak hukum adalah PPATK dan KPK memiliki kewenangan masing-masing yang berbeda satu sama lainnya; dan sisi faktor hukum atau peraturan perundang-undangan adalah PPATK tidak memiliki kewenangan penyelidikan.

Adapun saran dalam penelitian ini adalah perlu dirumuskan kebijakan untuk mewujudkan koordinasi yang sinergis antara PPATK dengan KPK dalam rangka memberantas tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi melalui peningkatan sumber daya manusia dan perbaikan sistem koordinasi sebagai upaya membangun kemitraan (partnership building).


(4)

KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA PPATK DAN KPK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Oleh: ABI HUSSEIN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

Judui Skripsi

Nama Mahasiswa

Nomor Pokok Mahasiswa Program Studi

Fakultas

: KOOEI}INAST PBNMDII{ATI ANTTfiA

FPIlTff

DAI{ KPK

I}ALA}I

PDIilBDRAFTTNSAI{ TIN DAI{ PIDII"F{A PDNCUCIAIq UANG

'A6i

iHusssin

: O912Ol lO85 :

llukum

Pidana ; Hukurm

PIEF{TETUJUT 1. Komisi Pembimbing

s,H., ff.ril.

NrP 19790506 200604

l

OO2

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

rilP 196208L7 198705 2 003

Diah

,$ n iil;t'.r,:$ irriri:r$ I it;.n _,,..,,.l,r_,,.-r.,

i 1...r.,::iri.' i. -ar

I.-rt i.:ril, , . ir r: :r :.ll

t ,,, ,..:t.

I

t ' ''il, t...l r

r.ril'r t I t ...,'-r,a1Ii:I.'lf l-i:r:',i"i:l r ri lll I ii:,,'i:::.... .. ,.,lrlit l


(6)

1. Tim Pengqji

Ketua :

Diah

Gustiniati,

S.If.,

M.H.

Sekretari9Anggota : A"

Irzal

Fardianspa.h,

S,II.,

II.H

Penguji Utama :

Tfi

Andrisman,

S.il.,

M"Il.

Itas

tlukum

,

s.H.,

FI.S. 1109 198703 1 005


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 19 Januari 1991, yang merupakan putra kedua dari empat bersaudara pasangan Bapak Ismail dan Ibu Dra. Ummi Thoyibah Oemar. Penulis menyelesaikan studi pendidikan Sekolah Dasar di SDN 2 Palapa Bandar Lampung lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan studi di SMPN 1 Bandar Lampung lulus pada tahun 2005, kemudian melanjutkan studi di SMAN 3 Bandar Lampung lulus pada tahun 2008.

Penulis pada tahun 2009 diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Penulis pada tahun 2013 mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kampung Surabaya Udik, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lampung Timur.


(8)

MOTO

“Hendaklah kamu tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.”

(QS. Al-Maidah ayat (2))

“Always appreciate what you have, There is always someone out there who wishes

that had what you have.”


(9)

PERSEMBAHAN

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, serta sholawat dan salam tak hentinya kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW.

Penulis persembahkan karya skripsi ini untuk:

Ayah dan Ibu, serta kakak dan adikku tercinta yang dengan penuh memberikan dorongan moril dan kasih sayang, sehingga berhasil menyelesaikan perkuliahan

ini.

Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang telah banyak membantu, baik dalam suka maupun duka.

Para dosen pembimbingku, terima kasih untuk bantuan dan dukungannya dalam pembuatan skripsi ini.


(10)

SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul ”Koordinasi Penyidikan Antara PPATK dan KPK dalam Pemberantasan tindak Pidana Pencucian Uang” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Bagian Hukum Pidana dan Pembimbing I yang telah memberikan saran dan masukan yang bermanfaat di dalam perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Lampung; 3. Bapak Irzal Fardiansyah, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah sabar

memberi saran dan masukan yang bermanfaat guna perbaikan skripsi ini dan penyelesaian studi;

4. Bapak Tri Andriman, S.H., M.H. selaku Pembahas I yang telah membantu memberikan saran dan masukan sehingga penulisan skripsi ini lebih baik dan bermanfaat;

5. Ibu Dona Raisa, S.H, M.H. selaku Pembahas II yang yang telah memberi masukan guna perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini;


(11)

pengembangan wawasan penulis;

7. Kedua orang tuaku yang sabar mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis sampai menjadi seorang Sarjana Hukum. Semoga Allah SWT memberikan rahmat-Nya kepada kalian hingga akhir kelak;

8. Abangku Anshory dan adikku Marianun dan M. Rizki Romadlon yang tak henti hentinya memberikan semangat, terima kasih atas dukungannya selama ini; dan

9. Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu baik dalam suka maupun duka.

Akhir kata, Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 14 Juli 2014 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 17

A. Tinjauan Tentang PPATK ... 17

B. Tugas dan Wewenang PPATK ... 23

C. Tinjauan Tentang KPK ... 26

D. Tugas dan Wewenang KPK ... 29

E. Tindak Pidana Pencucian Uang ... 34

III. METODE PENELITIAN ... 41

A. Pendekatan Masalah ... 41

B. Sumber dan Jenis Data ... 41

C. Penentuan Nara Sumber ... 42

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 43


(13)

B. Koordinasi Penyidikan Antara PPATK dan KPK Dalam Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang ... 46

C. Faktor-Faktor Penghambat Koordinasi Penyidikan Antara PPATK dan KPK dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 68

V. PENUTUP ... 76

A. Simpulan ... 76

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pelaku tindak pidana pada umumnya berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pelaku dan hasil tindak pidana dalam konsep anti pencucian uang, dapat diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Apabila harta kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat menurunkan tingkat kriminalitas. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum,


(15)

efektifitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana.1

Penelusuran harta kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-Undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan Transaksi tertentu kepada otoritas (financial intelligence unit) sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan kepada penyidik.2

Lembaga keuangan tidak hanya berperan dalam membantu penegakan hukum, tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko, yaitu risiko operasional, hukum, terkonsentrasinya transaksi, dan reputasi karena tidak lagi digunakan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku tindak pidana untuk mencuci uang hasil tindak pidana. Dengan pengelolaan risiko yang baik, lembaga keuangan akan mampu melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga pada gilirannya sistem keuangan menjadi lebih stabil dan terpercaya.3

Tindak pidana pencucian uang dalam perkembangannya semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif,

memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Pemerintah dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui

1

Ferry Aries Suranta, Peranan PPATK Dalam Mencegah Terjadinya Praktik Money Laundering, Jakarta: Gramata Publishing, 2010, hlm. 64

2Ibid

.

3 Ibid.


(16)

forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan atau melibatkan Harta Kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi.4

Penanganan tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif.5

Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang ini.

4

Ferry Aries Suranta, Op. Cit, hlm. 65


(17)

Pemerintah dalam rangka untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional, maka disahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pencucian uang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dibedakan dalam tiga tindak pidana, yaitu:

1. Pertama, tindak pidana pencucian uang aktif sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan.

2. Kedua, tindak pidana pencucian uang pasif sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dikenakan kepada setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan


(18)

Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang, namun dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

3. Ketiga, dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.

Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah. Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:

a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika;


(19)

f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan;

k. cukai;

l. perdagangan orang;

m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme;

o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan;

s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi;

v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan;

x. di bidang lingkungan hidup;

y. di bidang kelautan dan perikanan; atau

z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Selain itu, termasuk pula Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) (Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center/INTRAC) sebagaimana dimandatkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, merupakan lembaga independen di bawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai tugas mencegah dan


(20)

memberantas tindak pidana pencucian uang serta mempunyai fungsi sebagai berikut:

a. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang; b. Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;

c. Pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan

d. Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain.

Koordinasi antar lembaga negara dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang sangat perlu dilakukan. PPATK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk memberantas tindak pidana pencucian uang sangat memerlukan koordinasi yang erat dengan lembaga penegak hukum lain khususnya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Koordinasi antara PPATK dengan KPK disebabkan karena berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa hasil tindak pidana pencucian uang yang pertama adalah uang hasil tindak pidana korupsi. Hampir semua uang hasil tindak pidana korupsi dilakukan pencucian uang oleh pelakunya, oleh karena itu maka sangat penting koordinasi antara PPATK dengan KPK. Contoh kasus korupsi yang di dalamnya terdapat pula unsur tindak pidana pencucian uang dapat dilihat pada kasus korupsi SKK Migas dengan tersangka Rudi Rubiandini, kasus korupsi Simulator SIM dengan tersangka Djoko Susilo dan masih banyak kasus korupsi lainnya.


(21)

Penandatangan perjanjian kerja sama atau MoU mengenai koordinasi antara PPATK dengan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian uang telah dilakukan pada hari Jumat tanggal 11 Februari 2011 sebagai tindak lanjut disahkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal-hal yang diatur dalam perjanjian kerja sama ini meliputi pertukaran informasi, perumusan produk hukum, penanganan perkara tindak pidana korupsi dan pencucian uang, penelitian, serta pengembangan sistem IT. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, “Koordinasi Penyidikan Antara PPATK dan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang?

b. Apakah faktor-faktor penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang?


(22)

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang Hukum Pidana pada umumnya dan khususnya mengenai koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Penelitian dilakukan pada tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

a. Mengetahui koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

b. Mengetahui faktor-faktor penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalampemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

2. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, kegunaan penelitian ini, yaitu: a. Kegunaan teoritis, yaitu berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya

pengembangan wawasan pemahaman di bidang ilmu Hukum Pidana, khususnya mengenai pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

b. Kegunaan praktis, yaitu sebagai saran dan masukan kepada aparat penegak hukum khususnya dalam koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.


(23)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang ada pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.6

koordinasi menurut T. Hani Handoko adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi secara efisien.7 Tanpa koordinasi, individu-individu atau departemen-departemen akan kehilangan pegangan atas peranan mereka dalam organisasi, sehingga akan mulai mengejar kepentingan-kepentingan sendiri yang sering merugikan pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan. Selain itu, G.R. Terry mengatakan koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan.8

Kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam satuan pelaksananya.9 Bila tugas-tugas tersebut memerlukan aliran informasi antar satuan, derajat koordinasi yang tinggi adalah yang paling baik.

6

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 125

7

T. Hani Handoko Manajemen. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2003, hlm. 195

8

Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bina Aksara: Jakarta, 2007, hlm. 85

9


(24)

Derajat koordinasi yang tinggi ini sangat bermanfaat untuk pekerjaan yang tidak rutin dan tidak dapat diperkirakan, faktor-faktor lingkungan selalu berubah-ubah serta saling ketergantungan adalah tinggi. Koordinasi juga sangat dibutuhkan bagi organisasi-organisasi yang menetapkan tujuan yang tinggi.

Menurut James D. Thompson, ada tiga macam saling ketergantungan di antara satuan-satuan organisasi, yaitu:

1. Saling ketergantungan yang menyatu, yaitu bila satuan-satuan organisasi tidak saling tergantung satu dengan yang lain dalam melaksanakan kegiatan harian, tetapi tergantung pada pelaksanaan kerja setiap satuan yang memuaskan untuk suatu hasil akhir.

2. Saling ketergantungan yang berurutan, yaitu dimana suatu satuan organisasi harus melakukan pekerjaannya terlebih dahulu sebelum satuan yang lain dapat bekerja.

3. Saling ketergantungan timbal balik merupakan hubungan memberi dan menerima antar satuan organisasi.10

Menurut Hasibuan terdapat 4 (empat) syarat koordinasi, yaitu:

1. Sense of cooperation (perasaan untuk bekerja sama), ini harus dilihat dari sudut bagian per bagian bidang pekerjaan, bukan orang per orang;

2. Rivalry, yaitu persaingan antara bagian-bagian, agar bagian-bagian ini berlomba-lomba untuk mencapai kemajuan;

3. Team spirit, artinya satu sama lain pada setiap bagian harus saling menghargai; dan

4. Esprit de corps, artinya bagian-bagian yang diikutsertakan atau dihargai, umumnya akan menambah kegiatan yang bersemangat.11

Terhadap permasalahan yang kedua digunakan teori yang dikemukan oleh Paul R. Lawrence dan Jay W. Locrh. Paul R. Lawrence dan Jay W. Locrh mengemukakan empat tipe perbedaan sikap dan cara kerja di antara bermacam-macam individu

10

Hani Handoko, Op.cit. hlm. 196

11


(25)

dan departemen-departemen dalam organisasi yang mempersulit tugas pengkoordinasian bagian-bagian organisasi secara efektif, yaitu:12

1. Perbedaan dalam orientasi terhadap tujuan tertentu; 2. Perbedaan dalam orientasi waktu;

3. Perbedaan dalam orientasi antar pribadi; dan 4. Perbedaan dalam formalitas struktur.

Komunikasi adalah kunci koordinasi yang efektif. Koordinasi secara langsung tergantung pada perolehan, penyebaran dan pemrosesan informasi. Semakin besar ketidakpastian tugas yang dikoordinasikan, semakin membutuhkan informasi. Menurut Hasibuan terdapat 2 (dua) tipe koordinasi, yaitu:

1. Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggungjawabnya.

2. Koordinasi horisontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat.13

Asas koordinasi adalah asas skala (hirarki) artinya koordinasi itu dilakukan menurut jenjang-jenjang kekuasaan dan tanggung jawab yang disesuaikan dengan jenjang-jenjang yang berbeda-beda satu sama lain. Asas hirarki ini mengatur bahwa setiap atasan (koordinator) harus mengkoordinasikan bawahan langsungnya.

12

T. Hani Handoko, Op.cit. hlm. 197-198

13


(26)

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto14, dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-Undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Sementara itu Satjipto Rahardjo15, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan Undang-Undang (lembaga legislatif). Kedua, unsur penegakan hukum (polisi, jaksa dan hakim). Unsur ketiga, yaitu unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial. Pada sisi lain, Jerome Frank16, juga berbicara tentang berbagai faktor yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta simpati dan antipati pribadi.

14

Soerjono Soekanto. Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, 1983, Hlm. 15; Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, 2007, hlm. 4-5.

15

Satjipto Rahardjo. Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, 1983, hlm. 23-24.

16


(27)

Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.17

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti atau diketahui.18 Adapun batasan pengertian dan istilah yang ingin dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi secara efisien.19

17

Lawrence M, Friedman. Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc, 1977, hlm. 6-7.

18

Soerjono Soekanto. Op. cit. 1986. hlm. 124

19


(28)

b. PPATK adalah lembaga independen di bawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang.

c. KPK adalah lembaga independen di bawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.

d. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.20

e. Tindak Pidana Pencucian Uang adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.21

E. Sistematika Penulisan

Peneliti dalam melakukan penulisan skripsi ini, menggunakan sistematika sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang permasalahan, ruang lingkup dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

20

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 55

21

NTH Siahaan, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002, hlm. 7


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang landasan teori yang nantinya akan sangat membantu dalam analisis hasil-hasil penelitian yang mencakup: Tinjuan Tentang PPATK, Tugas dan Wewenang PPATK, Tinjauan Tentang KPK, Tugas dan Wewenang KPK dan Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang.

III.METODE PENELITIAN

Bab ini diuraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu tentang langkah-langkah atau cara yang dipakai dalam penelitian yang memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan analisis data dan pembahasan atas hasil pengolahan data. Pembahasan tersebut mengenai koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dan faktor-faktor penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.

V. PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan dan saran yang dianggap perlu sebagai masukan bagi pihak-pihak yang terkait.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang PPATK

Praktek internasional di bidang pencucian uang lembaga semacam dengan PPATK disebut dengan nama generik Financial Intelligence Unit (FIU). Keberadaan FIU ini pertama kali diatur secara implisit dalam empat puluh rekomendasi dari Fanancial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Kebanyakan negara membentuk atau menugaskan badan tertentu untuk menerima laporan tersebut yang secara umum sekarang dikenal dengan nama Financial Intelligence Unit (FIU).22

Financial Intelligence Unit (FIU) adalah lembaga permanen yang khusus menangani masalah pencucian uang. Lembaga ini merupakan salah satu infrastruktur terpenting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang di tiap negara. Keberadaan lembaga khusus ini mutlak ada dan memainkan peranan sangat strategis karena masalah pencucian uang merupakan persoalan yang cukup rumit, melibatkan organized crime yang memahami berbagai teknik dan modus kejahatan canggih. Penanganan issue pencucian uang

22

Yunus Husein, PPATK: Tugas, Wewenang Dan Peranannya Dalam Memberantas Tindak

Pidana Pencucian Uang. Makalah disampaikan pada Seminar Pencucian Uang yang diadakan

bersama oleh Business Reform and Reconstruction Corporation (BRRC), PPATK, Law Office of Remy and Darus (R&D) dan Jurnal Hukum Bisnis, di Bank Indonesia, Jakarta, pada tanggal 6 Mei 2003.


(31)

menjadi bertambah berat terlebih karena karakteristik kejahatan ini pada umumnya dilakukan melewati batas-batas negara.23

Pembentukan lembaga khusus yang menangani masalah pencucian uang telah dilakukan cukup lama di beberapa negara. Australia misalnya memiliki AUSTRAC (Australian Transaction Reports and Analysis Centre) yang didirikan pada tahun 1989. FINCEN (Financial Crime Intelligence Network) yang dikenal sebagai Financial Intelligence Unit di Amerika Serikat yang didirikan pada tahun 1990. Sementara itu kehadiran lembaga sejenis di wilayah Asia Tenggara relatif baru dikenal beberapa tahun belakangan ini. Lembaga tersebut antara lain AMLO (Anti Money Laundering Office) di Thailand yang didirikan pada tahun 1999, Unit Perisikan Kewangan di Malaysia yang berdiri pada tahun 2001, STRO (Suspicious Transaction Reports Office) Singapura pada tahun 2000 serta The Office of Anti Money Laundering di Filipina sejak tahun 2001. Indonesia sendiri dalam rangka menjalankan misi di atas telah didirikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 17 April 2002.24

Sejarah singkat pembentukan PPATK di Indonesia diawili dengan didirikan The Asia/Pacific Group on Money Laundering (APG) pada tahun 1997 yang merupakan organisasi internasional otonom dan kolaboratif di Bangkok, Thailand. Saat ini memiliki 41 anggota dan sejumlah international and regional observers. Beberapa organisasi internasional kunci yang berpartisipasi dan mendukung, upaya APG di wilayah ini termasuk Financial Action Task Force, Internasional Moneter Fund, Bank Dunia, OECD, United Nations Office on Drugs and Crime,

23

Yunus Husein, Op. cit. Makalah 2013.


(32)

Asian Development Bank and the Egmont Group of Financial Intelligence Units. Anggota APG berkomitmen untuk pelaksanaan yang efektif dan penegakan standar-standar yang diterima secara internasional terhadap pencucian uang dan pendanaan terorisme, khususnya 40 Rekomendasi dan 9 Rekomendasi Khusus tentang Pembiayaan Teroris dari Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Indonesia meratifikasi The UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 tentang Narkotika. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-Iangkah agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil perdagangan obat bius.25

Indonesia pada tahun 2002 menjadi anggota Asia Pasific Group on Money Laundering. Bank Indonesia pada tanggal 18 Juni 2001 mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Know Your Customer yang mewajibkan lembaga keuangan untuk melakukan identifikasi nasabah, memantau profil transaksi dan mendeteksi asal-usul dana. Berdasarkan PBI ini Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan disampaikan ke Bank Indonesia dan dilakukan analisis oleh Unit Khusus Investigasi Perbankan (UKIP) Bank Indonesia. Sejak bulan Juni 2001 Indonesia bersama sejumlah negara lain dinilai kurang kooperatif dan dimasukkan ke dalam daftar Non Cooperative Countries and Territories oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Predikat sebagai NCCTs diberikan kepada suatu negara atau teritori yang

25


(33)

dianggap tidak mau bekerja sama dalam upaya global memerangi kejahatan money laundering. FATF pada bulan Oktober 2001 mengeluarkan 8 Special Recommendations untuk memerangi pendanaan terorisme atau yang dikenal dengan counter terrorist financing.26

Pemerintah pada tahun 2002 resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang secara tegas mengamanatkan pendirian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pemerintah RI mengangkat Dr. Yunus Husein dan Dr. I Gde Made Sadguna sebagai Kepala dan Wakil Kepala PPATK pada bulan Oktober 2002 berdasarkan Keputusan Presiden No. 201/M/2002. Selanjutnya pada tanggal 24 Desember 2002 keduanya mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Mahkamah Agung RI.27

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Pada tanggal 13 Oktober 2003 mengalami perubahan dengan disahkannya Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. PPATK diresmikan oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Soesilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 20 Oktober 2003, dan mulai saat itu PPATK telah beroperasi secara penuh dan berkantor di Gedung Bank Indonesia.28

Sejalan dengan berdirinya PPATK dan untuk menunjang efektifnya pelaksanaan rezim anti pencucian uang di Indonesia, melalui Keputusan Presiden No. 1 Tahun 2004 tanggal 5 Januari 2004, Pemerintah RI membentuk Komite Koordinasi

26

http://www.ppatk.go.id/, Sejarah Pembentukkan PPATK, diakses tanggal 01 Maret 2014

27Ibid 28Ibid


(34)

Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) yang diketuai oleh Menko Politik, Hukum dan Keamanan dengan wakil Menko Perekonomian dan Kepala PPATK sebagai sekretaris Komite. Anggota Komite TPPU lainnya adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan, Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN dan Gubernur Bank Indonesia. Komite ini bertugas antara lain merumuskan arah kebijakan penanganan tindak pidana pencucian uang dan mengkoordinasikan upaya penanganan pencegahan dan pemberantasannya.29

Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) pada Bulan Juni 2004 menetapkan rekomendasi kesembilan dalam rangka memerangi terorisme. Sembilan rekomendasi khusus FATF mencakup serangkaian tindakan, perlu dilakukan setiap yuridiksi dalam mengimplementasikan secara efektif upaya melawan pendanaan teroris. Pemerintah mengangkat tiga Wakil Kepala PPATK lainnya untuk masa jabatan 2004-2008, yaitu: Priyanto Soewarno yang membidangi administrasi: Susno Duaji, membidangi Hukum dan Kepatuhan; Bambang Setiawan, membidangi Teknologi Informasi. Ketiga Wakil Kepala PPATK tersebut mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Mahkamah Agung RI pada tanggal 29 Agustus 2004.30

29

http://www.ppatk.go.id/, Sejarah Pembentukkan PPATK, diakses tanggal 01 Maret 2014


(35)

Indonesia pada Bulan Februari 2005 berhasil keluar dari daftar hitam Non Cooperative Countries and Territories oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Pada tanggal 8 November 2006, Yunus Husein diangkat kembali sebagai Kepala PPATK untuk masa jabatan 2006-2010.31

Pemerintah dalam upaya penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dan menguatkan keberadaan PPATK pada tahun 2010 mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 22 Oktober 2010.

Keberadaan Undang-Undang ini diharapkan dapat menjawab kebutuhan mendesak terhadap upaya penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana lain, serta dapat memberikan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektifitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana. Lebih dari itu Undang-Undang ini mengakomodir berbagai ketentuan dan standar internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme atau yang dikenal “FATF Revised 40+9 Recommendations”.32

31

http://www.ppatk.go.id/, Sejarah Pembentukkan PPATK, diakses tanggal 01 Maret 2014


(36)

B. Tugas dan Wewenang PPATK

PPATK adalah lembaga independen di bawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang. Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mengatur bahwa PPATK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan mana pun. PPATK bertanggung jawab kepada Presiden. Setiap orang dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK. PPATK wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewenangannya. PPATK berkedudukan di Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dalam hal diperlukan, perwakilan PPATK dapat dibuka di daerah.

PPATK berdasarkan Pasal 39 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. PPATK dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, PPATK mempunyai fungsi sebagai berikut:

a. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; b. Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; c. Pengawasan terhadap kepatuhan pihak pelapor; dan


(37)

d. Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

PPATK berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, PPATK berwenang:

a. Meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu;

b. Menetapkan pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan; c. Mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang

dengan instansi terkait;

d. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang;

e. Mewakili pemerintah republik indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;

f. Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan antipencucian uang; dan

g. Menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

PPATK berdasarkan Pasal 41 ayat (2) menyatkan bahwa penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dengan Peraturan Pemerintah.


(38)

PPATK dalam melaksanakan fungsi pengelolaan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b, PPATK berwenang menyelenggarakan sistem informasi. PPATK dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf c, PPATK berwenang:

a. Menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi Pihak Pelapor;

b. Menetapkan kategori Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan tindak pidana pencucian uang;

c. Melakukan audit kepatuhan atau audit khusus;

d. Menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Pihak Pelapor;

e. Memberikan peringatan kepada Pihak Pelapor yang melanggar kewajiban pelaporan;

f. Merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang mencabut izin usaha Pihak Pelapor; dan

g. Menetapkan ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali Pengguna Jasa bagi Pihak Pelapor yang tidak memiliki Lembaga Pengawas dan Pengatur.

PPATK sebagaimana Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dalam rangka melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf d, PPATK dapat:

a. Meminta dan menerima laporan dan informasi dari Pihak Pelapor; b. Meminta informasi kepada instansi atau pihak terkait;

c. Meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan pengembangan hasil analisis PPATK;

d. Meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan permintaan dari instansi penegak hukum atau mitra kerja di luar negeri;

e. Meneruskan informasi dan/atau hasil analisis kepada instansi peminta, baik di dalam maupun di luar negeri;

f. Menerima laporan dan/atau informasi dari masyarakat mengenai adanya dugaan tindak pidana pencucian uang;

g. Meminta keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan tindak pidana pencucian uang;

h. Merekomendasikan kepada instansi penegak hukum mengenai pentingnya melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau


(39)

dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-Undangan;

i. Meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana;

j. Meminta informasi perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal dan tindak pidana Pencucian Uang;

k. Mengadakan kegiatan administratif lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; dan

l. Meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik.

C. Tinjauan Tentang KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada periode 2011-2015 KPK dipimpin oleh Ketua KPK Abraham Samad, bersama 4 orang wakil ketuanya, yakni Zulkarnain, Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas, dan Adnan.33

Badan pemberantasan korupsi di masa Orde Lama tercatat dua kali dibentuk. Pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi

33


(40)

keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.34

Melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.35

Alasan politis kembali menyebabkan terhambatnya, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan

34

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberatasan_Korupsi, diakses tanggal 01 Maret 2014


(41)

bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.36

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung, namun ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.37

Empat tokoh bersih ini jadi tanpa kekuatan ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.38

36

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberatasan_Korupsi, diakses tanggal 01 Maret 2014

37 Ibid 38Ibid


(42)

Usaha pemberantasan korupsi di era reformasi, dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK merupakan lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.39

D. Tugas dan Wewenang KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat dengan KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, berasaskan pada:40

39

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberatasan_Korupsi, diakses tanggal 01 Maret 2014

40

Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm 178-188


(43)

a. Kepastian hukum. Asas Kepastian Hukum merupakan asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-Undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara. b. Keterbukaan. Asas Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap

hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

c. Akuntabilitas. Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-Undangan yang berlaku.

d. Kepentingan umum. Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

e. Proporsionalitas. Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) mempunyai tugas sebagai berikut:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;


(44)

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

KPK dalam hal melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana yang dimaksud dalam tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka KPK berwenang:

a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;

d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan

e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal melaksanakan tugas supervisi berwenang pula melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.


(45)

KPK juga berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Apabila Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Penyerahan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan, sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan terhadap tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan sebagai berikut:

a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau

tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau


(46)

f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani jika ditemukan salah satu alasan sebagaimana yang dimaksud di atas. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan berwenang:

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;


(47)

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait; menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;

g. Meminta bantuan interpol indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;

h. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

E. Tindak Pidana Pencucian Uang

Pencucian uang (Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau harta kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.41 Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) secara populer dapat dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan, menggunakan atau melakukan

41


(48)

perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organisasi kriminal (organized crime) maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika dan tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa uang tersebut berasal dari kegiatan illegal.42 Keterlibatan perbankan dalam kegiatan pencucian uang dapat berupa:

1. Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu atau dalam safe deposit box;

2. Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/tabungan/giro; 3. Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal;

4. Pengajuan permohonan kredit dengan jaminan uang yang disimpan pada bank yang bersangkutan;

5. Penggunaan fasilitas transfer atau eft;

6. Pemalsuan dokumen-dokumen l/c yang bekerjasama dengan oknum pejabat bank terkait; dan

7. Pendirian/pemanfaatan bank gelap.

Non-bank financial institution juga merupakan target yang tak kalah menarik bagi para pelaku pencucian uang. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir para pelaku pencucian uang telah membuat langkah terobosan dengan mempergunakan lembaga keuangan non bank sebagai sarana pencucian uang. Placement merupakan metode yang paling banyak digunakan oleh para pelaku dalam hubungan dengan lembaga keuangan non bank. Perusahaan asuransi misalnya dapat dimanfaatkan melalui pembelian asuransi jiwa yang merupakan suatu tahapan melakukan penempatan (placement) dan sekaligus memuat unsur layering dan integration. Pengiriman uang melalui perusahaan pengiriman uang (money transfer), placement pada lembaga pembiayaan dan venture capital serta

42

Yunus Husein, PPATK: Tugas, Wewenang, dan Peranannya Dalam Memberantas Tindak


(49)

pelunasan pinjaman pada perusahaan sewa guna usaha (leasing) merupakan modus-modus yang dapat digunakan oleh para pelaku pencucian uang dengan menggunakan non-bank financial institution.43

Secara sederhana terdapat tiga tahap dalam proses pencucian yaitu: 1. Placement (penempatan)

Tahap ini merupakan menempatakan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan mendepositkan uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan. Sejumlah uang yang ditempatkan dalam suatu bank, akan kemudian uang tersebut masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan melalui penyeludupan, ada penempatan dari uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang bersifat illegal itu dengan uang yang diperoleh secara legal. Variasi lain dengan menempatkan uang giral ke dalam deposito bank, ke dalam saham, mengkonversi dan menstranfer ke dalam valuta asing. Bentuk kegiatan ini antara lain sebagai berikut:

a. Menempatkan dana pada bank;

b. Menyetorkan uang pada bank pada bank sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail;

c. Menyeludupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain;

d. Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah sehingga mengubah kas menjadi kredit pembiayaan; dan

e. Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya tinggi/mahal sebagai penghargaan/hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui bank atau perusahaaan jasa keuangan lain.44

43

Yunus Husein, Op.cit, hlm. 28

44Ibid


(50)

2. Layering.

Diartikan sebagai memindah-mindahkan hasil kejahatan dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan maksud agar sumber dan pemiliknya dapat dikaburkan (pembukaan sebanyak mungkin rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif). Tahap kedua ini ialah dengan cara pelapisan (layering).45

Berbagai cara dapat dilakukan melalui tahap pelapisan ini yang tujuannya menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya atau asal usul dari uang tersebut, misalnya melakukan transfer dana dari beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari suatu negara ke negara lain dan dapat dilakukan beberapa kali, memecah-mecah jumlah dananya di bank dengan maksud mengaburkan asal usulnya, menstranfer dalam bentuk valuta asing, membeli saham, melakukan transaksi derivatif, dan lain-lain. Seringkali pula terjadi bahwa si penyimpan dana tersebut bukan justru si pemilik sebenarnya dan si penyimpan dana itu sudah merupakan lapis-lapis yang jauh, karena sudah diupayakan berkali-kali simpan menyimpan sebelumnya. Bisa juga cara ini dilakukan misalnya si pemilik uang kotor meminta kredit di bank dan dengan uang kotornya dipakai untuk membiayai suatu kegiatan usaha secara legal. Dengan melakukan cara seperti ini, maka kelihatannya bahwa kegiatan usahanya yang secara legal tersebut tidak merupakan hasil dari uang kotor itu melainkan dari perolehan kredit bank tadi. Bentuk kegiatan ini, antara lain:

a. Transfer dana dari suatu bank ke bank lain;

b. Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah; dan

45


(51)

c. Memindahkan uang tunai lintas batas Negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah.

3. Integration

Tahap ini merupakan tahap menyatukan kembali uang-uang kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering di atas, yang untuk selanjutnya uang tersebut dipergunakan dalam berbagai kegiatan-kegiatan legal. Dengan cara ini akan tampak bahwa aktifitas yang dilakukan sekarang tidak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan illegal sebelumnya dan tahap inilah kemudian uang kotor itu tercuci. 46

Tindak pidana pencucian uang di Indonesia, diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang, yaitu:

a. Pertama tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan.

46


(52)

b. Kedua tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

c. Ketiga dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.

Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah. Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:

a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika;


(53)

f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan;

k. cukai;

l. perdagangan orang;

m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme;

o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan;

s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi;

v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan;

x. di bidang lingkungan hidup;

y. di bidang kelautan dan perikanan; atau

z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.


(54)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Peneliti dalam melakukan penelitian ini mengunakan metode pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari dan menelaah norma-norma, asas-asas, serta peraturan yang berkaitan dengan hubungan koordinasi antara PPATK dan KPK dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian prilaku, pendapat dan sikap aparat penegak hukum yang berkaitan dengan hubungan koordinasi antara PPATK dan KPK dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, sebagai berikut:

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari studi lapangan. Data primer dalam penelitian ini, diperoleh dengan mengadakan wawancara kepada pihak-pihak yang memahami dan mengetahui tentang permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. 2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Data sekunder diperoleh dengan mempelajari dan mengkaji literatur-literatur dan


(55)

peraturan perundang-Undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan koordinasi antara PPATK dan KPK dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, antar lain:

1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan

2) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer, seperti rancangan Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, dan petunjuk pelaksanaan maupun teknis yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder, seperti makalah, jurnal hukum, ensiklopedi, kamus dan bahan yang didapat dari internet yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini.

C. Penentuan Nara Sumber

Nara sumber dalam penelitian ini adalah Wakil Ketua PPATK dan akademisi di bidang hukum, yaitu Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(56)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan melalui serangkaian kegiatan membaca, mencatat, mengutip dan menelaah bahan-bahan pustaka yaitu berupa karya tulis dari para ahli yang tersusun dalam literatur dan peraturan perundang-Undangan yang berlaku, serta ada kaitannya dengan permasalahan yang berkaitan dalam penulisan skripsi ini. b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan merupakan usaha yang dilakukan untuk memperoleh data primer. Kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh data primer tersebut dengan mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan kepada beberapa pihak yang dianggap mengetahui masalah yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari penelitian kemudian akan diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan dan kesalahan-kesalahan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang dibahas;


(57)

b. Interpretasi, yaitu menghubungkan, membandingkan dan menguraikan data serta mendeskripsikan data dalam bentuk uraian untuk kemudian ditarik kesimpulan; dan

c. Sistematisasi, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok bahasannya sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Data yang telah diolah kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan cara mendeskripsikan data dalam bentuk uraian kalimat. Peneliti dalam mengambil kesimpulan menggunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat khusus, untuk kemudian ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan.


(1)

44

b. Interpretasi, yaitu menghubungkan, membandingkan dan menguraikan data serta mendeskripsikan data dalam bentuk uraian untuk kemudian ditarik kesimpulan; dan

c. Sistematisasi, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok bahasannya sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Data yang telah diolah kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan cara mendeskripsikan data dalam bentuk uraian kalimat. Peneliti dalam mengambil kesimpulan menggunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat khusus, untuk kemudian ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan.


(2)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

a. Koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu terjadi pada saat adanya kasus tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan penyidikan oleh KPK yang di dalam kasus tersebut juga terdapat unsur tindak pidana pencucian uang atau sebaliknya kasus pencucian uang yang sedang dilakukan penyidikan oleh PPATK di dalamnya terdapat dugaan kasus korupsi dimana hasil korupsi tersebut dilakukan pencucian uang. Koordinasi yang dilakukan berdasarkan nota kesepahaman atau MoU yang ditandatangani pada tanggal 11 Februari 2011 ini merupakan perkembangan dari nota kesepahaman sebelumnya 29 April 2004 berupa pertukaran informasi, perumusan produk hukum, penanganan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, penelitian, serta pengembangan sistem IT. Selain itu, KPK juga sudah dapat menggunakan Secure Online Communication milik PPATK. Sistem SOC memungkinkan kedua lembaga ini saling bertukar informasi secara online dan aman.


(3)

77

b. Faktor-faktor penghambat hubungan koordinasi antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah:

1. Faktor penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK dengan KPK dari sisi sarana atau fasilitas yang mendukung, yaitu sarana dan prasarana yang dimiliki oleh PPATK saat ini belum dapat secara optimal mengakses dan memeriksa semua transaksi perbankan, sehingga tidak semua transaksi diketahui atau dapat dicari PPATK. Hal ini karena begitu banyak transaksi yang dilakukan dalam satu bank. Transaksi perbankan yang dilakukan dalam satu hari dapat mencapai jutaan transaksi. PPATK saat ini belum dapat secara optimal mengakses dan memeriksa semua transaksi perbankan yang dicurigai merupakan hasil tindak pidana korupsi secara cepat tanpa didukung dengan informasi yang lengkap yang diberikan oleh KPK. 2. Faktor penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK

dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dari faktor aparat penegak hukum adalah PPATK dan KPK memiliki kewenangan masing-masing yang berbeda satu sama lainnya, PPATK dan KPK juga sebagai dua lembaga yang berbeda memiliki sistem kerja yang berbeda. Terlebih lagi PPATK tidak hanya melakukan penelitian atau pemeriksaan terhadap dugaan pencucian uang yang diduga berasal dari hasil tindak pidana korupsi saja.

3. Faktor penghambat tugas PPATK dari sisi faktor hukum atau peraturan perundang-undangan adalah PPATK tidak memiliki kewenangan penyelidikan.


(4)

78

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti menyarankan:

a. Perlu dirumuskan kebijakan untuk mewujudkan koordinasi yang sinergis antara PPATK dengan KPK dalam rangka memberantas tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi melalui peningkatan sumber daya manusia dan perbaikan sistem koordinasi sebagai upaya membangun kemitraan (partnership building).

b. Sebaiknya PPATK dan KPK terus meningkatkan koordinasi dalam rangka penegak hukum guna terciptanya hubungan lintas instansi yang sinergis yang dilakukan melalui upaya melakukan pemetaan terhadap masalah-masalah yang timbul terkait koordinasi, meningkatkan pembentukan lembaga kerja sama, melakukan pertemuan secara periodik baik formal maupun informal untuk membicarakan berbagai permasalah yang timbul terkait masalah koordinasi sekaligus menemukan solusinya dan peningkatan forum diskusi dan pertemuan antar aparat penegak hukum yang bertujuan untuk memperoleh kesamaan pandangan dalam melaksanakan tugas penyidikan tindak pidana pencucian uang.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Chazawi, Adami, 2005. Hukum Pidana Matriil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia, Malang

Djaja, Ermansjah. 2008. Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta

Handoko, T. Hani, 2003. Manajemen. BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta.

Harahap, M. Yahya. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika, Jakarta

Hartanti, Evi, 2005. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika, Jakarta

Husein,Yunus. 2002. Upaya Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang. PPATK, Jakarta.

---. 2003. Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi Penyedia Jasa Keuangan. PPATK, Jakarta.

---. 2003. PPATK: Tugas, Wewenang, dan Peranannya Dalam Memberantas Tindak Pidana Pencucuian Uang”, Jurnal Hukum Bisnis Volume 22 No. 3, 2003.

Hasibuan, Malayu S. P. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia, Bina Aksara, Jakarta

Marpaung, Leden, 1992. Tindak Pidana Korupsi: Masalah dan Pemecahannya Bagian kedua. Sinar Grafika, Jakarta

Nasution, Bismar. 2005. Rezim Anti Money Laundering di Indonesia. Pusat Informasi Hukum Indonesia, Bandung

Prodjodikoro, Wirjono. 2010. Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Refika Aditama, Bandung.


(6)

Rahardjo, Satjipto. 1983. Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung Rasjidi, Lilik, 1991. Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?, Remaja Rosdakarya,

Bandung

Siahaan, NTH. 2002. Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

Soekanto, Soerjono, 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta

---. 2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Suranta, Ferry Aries. 2010 Peranan PPATK Dalam Mencegah Terjadinya Praktik Money Laundering. Gramata Publishing, Jakarta

Sitompul, Zulkarnain. 2005. Upaya Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang. Pelatihan Penerapan Undang-Undang Anti Pencucian Uang, Medan

Universitas Lampung. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Sumber Internet:

http://www.ppatk.go.id/, Sejarah Pembentukkan PPATK, diakses tanggal 01 Maret 2014

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberatasan_Korupsi, diakses tanggal 01 Maret 2014