Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Ditinjau Dari Sistem Pembuktian

(1)

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA DITINJAU DARI SISTEM PEMBUKTIAN

SKRIPSI

Oleh :

LEONARD HM MARPAUNG NIM. 050200256

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA DITINJAU DARI SISTEM PEMBUKTIAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

LEONARD HM MARPAUNG NIM. 050200256

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP. 195703261986011001 Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

Liza Erwina, SH, M.Hum

NIP. 196110241989032002 NIP. 197404012002121001

Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Skripsi ini disusun untuk melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/I yang akan menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan adalah : “PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI SISTEM PEMBUKTIAN”, penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam menyusun skripsi ini. Namun, penulis menyadari masih banyak kekurangan dari segi isi maupun penulisan dari skripsi ini.

Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu:

1. Bapak Prof.Dr. Runtung, SH,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof.Dr. Budiman ginting, SH,M.Hum, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH,MH,DFM, Bapak Muhammad Husni, SH,M.Hum, yang masing-masing adalah selaku Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Dr.M. Hamdan, SH,M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana yang telah memberikan bimbingan ataupun arahan kepada penulis. 4. Ibu Liza Erwina, SH,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I dalam

penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

6. Ibu Megarita,SH, CN, selaku Dosen Wali penulis.

7. Bapak / Ibu Dosen dan Seluruh staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Buat Ayah tercinta Drs. HM. Marpaung dan Mama tercinta S. br Hutagalung, terimakasih buat kasih sayang, pengorbanan, dan perhatian yang sangat banyak diberikan kepada penulis.

9. Buat keluarga tercinta, M. br marpaung, Rudi Salomo Marpaung selaku Kakak dan Abang penulis terimakasih buat kebaikan dan dukungannya yang telah diberikan kepada penulis, semoga Tuhan Yesus melimpahkan berkatnya dan juga selalu menyertaimu.

10.Buat Keluarga besar Opung Marpaung dan Opung Hutagalung, terimakasih buat doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis selama ini.


(5)

11.Buat yang tecinta Tiur Fransiska sinaga yang telah memberikan dukungan dan perhatian serta kasih yang sangat besar kepada penulis, semoga Tuhan beserta kita.

12.Buat seluruh Mahasiswa FH USU, Lamgok Herianto Silalahi, Jahrent P, Okber J, Juned Lem, Deus Danica, David Punk, Rico samuel girsang, jery, Bonifasius babon, Ipho, dan yang tidak disebutkan satu persatu.

13.Buat seluruh keluarga besar Medan Liverpudlian Community, Wibowo adiputra, Faris, bang andi, Rizky, Roeny, Eka, Desi, Dinar, Thya, dan yang tidak disebutkan satu persatu.

14.Buat seluruh rekan-rekan Keluarga besar MAPALA FH-USU NATURAL JUSTICE, Jefri, Nanda, Barita, Rudi, Obe, iman, Hardi, dan yang tidak disebutkan satu persatu.

Besar harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana, bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca.

Medan, Desember 2011


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Pustaka ... 6

1. Pengertian Tindak Pidana ... 6

2. Pengertian Pencucian Uang... 11

3. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang ... 12

4. Pengertian Pembuktian ... 13

F. Metode Penelitian ... 14


(7)

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

MENURUT UU NO 8 TAHUN 2010 ... 18

A. Pengertian dan Sejarah Pencucian Uang di Indonesia ... 18

B. Objek Tindak Pidana Pencucian Uang ... 20

C. Faktor Pendorong Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang.. ... 22

D. Tahap-tahap Proses Pencucian Uang .. ... 25

E. Kriminalisasi Pencucian Uang ... 34

BAB III. PROSES PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ... 45

A. Transaksi Keuangan Mencurigakan ... 45

B. Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 71

C. Sistem Pembuktian.. ... 65

1. Pengertian Sistem Pembukitan .. ... 65

2. Teori Sistem Pembuktian .. ... 67

D. Alat-alat Bukti Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang ... 77

BAB IV. HAMBATAN DAN UPAYA PEMBARANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI SISTEM PEMBUKTIAN ... 91

A. Kendala-kendala yang Dihadapi Dalam Pembukitan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia ... 91

B. Upaya-upaya Yang Dilakukan Dalam Menanggulangi Kendala Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 104


(8)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .. ... 113

A. Kesimpulan ... 113

B. Saran ... 115


(9)

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI SISTEM PEMBUKTIAN

LIZA ERWINA, SH, M. Hum* Dr, MAHMUD MULYADI, SH, M. Hum**

LEONARD HM MARPAUNG***

A B S T R A K S I

Kejahatan pencucian uang adalah suatu kejahatan yang berdimensi internasional sehingga penaggulangannya harus dilakukan secara kerja sama internasional, prinsip dasar pencucian uang adalah menyembunyikan sumber dari segala pencucian uang dari aktivitas ilegal dengan melegalkan uang tersebut. Untuk melaksanakan hal tersebut uang diisyaratkan disalurkan melalui suatu penyesatan (imaze) guna menghapus jejak peredarannya dan orang-orang yang mempunyai uang tersebut menyalurkan bisnis yang fiktif yang tampaknya sebagai sumber penghasilan.

Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Hambatan apa yang dihadapi dalam proses pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, serta upaya apa yang dilakukan dalam menanggulangi kendala proses pembuktian dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundang-undangan dan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan teknologi informasi. Data sekunder yang berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah pendapat sarjana, artikel-artikel, dan sebagainya. Kemudian data diolah secara kualitatif.

Pada awalnya objek pencucian uang yang paling utama dilakukan adalah hasil dari penjualan obat-obatan terlarang dan penyelundupan. Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, disebutkan bahwa objek Tindak Pidana Pencucian Uang adalah korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang ,perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan.

*

Dosen Pembimbing I **

Dosen Pembimbing II ***


(10)

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI SISTEM PEMBUKTIAN

LIZA ERWINA, SH, M. Hum* Dr, MAHMUD MULYADI, SH, M. Hum**

LEONARD HM MARPAUNG***

A B S T R A K S I

Kejahatan pencucian uang adalah suatu kejahatan yang berdimensi internasional sehingga penaggulangannya harus dilakukan secara kerja sama internasional, prinsip dasar pencucian uang adalah menyembunyikan sumber dari segala pencucian uang dari aktivitas ilegal dengan melegalkan uang tersebut. Untuk melaksanakan hal tersebut uang diisyaratkan disalurkan melalui suatu penyesatan (imaze) guna menghapus jejak peredarannya dan orang-orang yang mempunyai uang tersebut menyalurkan bisnis yang fiktif yang tampaknya sebagai sumber penghasilan.

Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Hambatan apa yang dihadapi dalam proses pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, serta upaya apa yang dilakukan dalam menanggulangi kendala proses pembuktian dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundang-undangan dan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan teknologi informasi. Data sekunder yang berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah pendapat sarjana, artikel-artikel, dan sebagainya. Kemudian data diolah secara kualitatif.

Pada awalnya objek pencucian uang yang paling utama dilakukan adalah hasil dari penjualan obat-obatan terlarang dan penyelundupan. Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, disebutkan bahwa objek Tindak Pidana Pencucian Uang adalah korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang ,perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan.

*

Dosen Pembimbing I **

Dosen Pembimbing II ***


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Masalah money laundering belakangan makin mendapat perhatian khusus dari dunia internasional. Perhatian dipicu dengan semakin banyaknya tindak kejahatan ini dari waktu ke waktu, sementara kebanyakan negara belum menetapkan sistem hukumnya untuk memerangi atau menetapkannya sebagai kejahatan yang harus diberantas. Mantan Direktur Internasional Monetery Fund (IMF) Michel Camdessus pernah mengungkapkan bahwa diperkirakan volume dari money laundering adalah antara 2 hingga 5 persen GDP dunia.1

Pada tanggal 22 Juni 2001, FATF memasukkan Indonesia, disamping 19 negara lainnya ke dalam daftar hitam Non Coperative Countries or Territories (NCCTs) atau kawasan yang tidak koperatif dalam menangani kasus money laundering. Kesembilan belas Negara lain adalah Mesir, Rusia, Hongaria, Israel, Libanon, Filipina, Myanmar, Nauru, Nigeria, Niue, Cook Island, Republik Dominika, Guatemala, St.Kits dan Nevis, St.Vincvent dan Grenadines serta Ukraina.2

Di dalam penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang ini ada masalah yang perlu diperhatikan oleh aparat penegak hukum. Setiap kinerja dan profesionalitas penegak hukum yang tidak memadai akan menciptakan kendala dalam pengungkapan kejahatan sehingga mengalami kesulitan pembuktian dalam melakukan penyidikan terhadap kejahatan pencucian uang.

1

Siahaan, N.H.T,Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan., Mengurai UU No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan : 2002), hal.1.

2


(12)

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat adanya peningkatan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) sepanjang 2008 yakni hampir 100 persen. Jika selama 2007 LTKM tercatat hanya 11.668 transaksi, maka sepanjang 2008 bertambah hingga 95,6 persen menjadi 22.824 LTKM. Laporan tahun 2008 tersebut merupakan hasil laporan yang dilakukan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepada PPATK. Sebanyak 652 hasil analisis dari 1.240 LTKM telah disampaikan PPATK kepada penegak hukum berdasarkan laporan statistik per 31 Desember 2008. Penyerahan ini terdiri dari 602 kasus atau hasil analisis dari 1.041 LTKM dan 23 kasus atau hasil analisis disampaikan ke Kejaksaan Agung (yang merupakan hasil dari 199 LTKM). Sementara itu, laporan kejahatan yang disampaikan PPATK ke Kejaksaan Agung sebanyak 16 kasus. Saat ini terdapat 13 putusan pengadilan menggunakan dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang. 3

Kondisi demikian ini menyebabkan Indonesia mengalami kegagalan dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, karena tidak seimbangnya jumlah kasus temuan PPATK tentang transaksi keuangan mencurigakan yang berindikasi pencucian uang, dengan jumlah kasus yang diselesaikan aparat penegak hukum. Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam penyelesaian suatu perkara, karena ketentuan-ketentuan dalam hukum acaranya bertujuan untuk memperoleh jaminan maksimal atas kebenaran dan keadilan melalui suatu putusan Hakim, didasarkan pada penerapan hukum pembuktian. Dengan perkataan lain, maka untuk memperoleh jaminan maksimal atas kebenaran dan keadilan suatu

3


(13)

perkara sangat tergantung dalam proses pembuktian yang sesuai dengan ketentuan.

Alat-Alat bukti yang digunakan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundring) terdapat dalam Pasal 73 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Nomor 8 Tahun 2010 menyatakan :

“Alat bukti yang sah dalam pembukitan Tindak Pidana Pencucian Uang ialah :

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; dan/atau

b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan dokumen.”

Dengan demikian alat-alat pembuktian yang ditentukan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang jauh lebih banyak dan lebih beragam jika dibandingkan dengan apa yang ditentukan dalam KUHAP mengingat cara-cara yang digunakan pelaku untuk melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan cara-cara yang canggih. Akan tetapi alat bukti yang ditentukan KUHAP tersebut merupakan bagian dari alat-alat bukti yang terdapat dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.

Hal inilah yang mendorong Penulis untuk membahas “Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Di Indonesia Ditinjau Dari Sistem Pembuktian” dalam proses pelaksanaan pembuktian perkara pidana Tindak Pidana Pencucian Uang diwujudkan sesuai dengan ketentun-ketentuan pembuktian.


(14)

B. Perumusan Masalah

Dari uraian tersebut diatas Penulis akan membahas permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang? 2. Bagaimana Proses Pembuktian dalam Tindak Pidana Pencucian Uang?

3. Hambatan apa yang dihadapi dalam proses pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, serta upaya apa yang dilakukan dalam menanggulangi kendala proses pembuktian dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

C. Tujuan dan Manfaat penulisan 1. Tujuan Penulisan

Bahwa setiap karya ilmiah memiliki tujuan yang akan diperoleh berdasarkan suatu permasalahan yang ada. Adapun tujuan yang akan dicapai dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui secara garis besar pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Nomor 8 Tahun 2010.

b. Untuk mengetahui fungsi pembuktian dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.

c. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.


(15)

d. Untuk mengetahui dan menelaah upaya yang dilakukan dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Untuk memberikan informasi kontribusi pemikiran dan menambah khasanah dalam bidang hukum pidana pada umumnya dan tentang tindak pidana pencucian uang pada khususnya, sehingga diharapkan skripsi ini dapat menjadi bahan masukan bagi mahasiswa serta dapat memperluas dan menambah pengetahuan mengenai hukum pidana pada umumnya dan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tindak pidana pencucian uang pada khususnya.

b. Manfaat Praktis

1. Untuk memberikan masukan bagi masyarakat yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan perannya dalam mencegah dan memberantas tindak pidana yang berkaitan dengan Pencucian Uang di Indonesia

2. Untuk memberikan masukan bagi aparat penegak hukum untuk dapat meningkatkan profesionalisme kerja dalam upaya penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana yang berkaitan dengan Pencucian Uang.


(16)

D. Keaslian Penulisan

Skripsi dengan judul “Kesulitan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia Ditinjau Dari Sistem Pembuktian” belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pada prinsipnya dalam penulisan karya ilmiah ini penulis memperolehnya berdasarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan, media masa cetak maupun elektronik, ditambahkan pemikiran penulis. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang ada kalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari Recht. Sudarto mengemukakan bahwa istilah “hukuman” kadang-kadang digunakan untuk mengganti perkataan “straf” namun menurut beliau “pidana” lebih baik dari pada “hukuman”.4

Menurut Moelyatno, hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

4


(17)

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenai atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana penggunaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.5

Strafbaarfeit dalam bahasa Belanda berasal dari dua unsur pembentuk kata, yaitu strafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan “sebagian dari kenyataan”, sedangkan strafbaar berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harafiah perkataan strafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah tentu tidak tepat. Bahwa di sini yang dapat dihukum adalah manusia pribadi bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan.6

Menurut J.E Jonkers, peristiwa pidana adalah perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.7

Mengenai definisi dari tindak pidana ada 2 pandangan yang berbeda dari para sarjana yakni pandangan dualisme dan pandangan monisme. Pertama, Pandangan dualisme adalah pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan

5

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta), 1993, hal.1 6

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika), 2005, hal 5 7

Jonkers, dalam buku, Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2002, hal. 75


(18)

orang yang melakukan. Salah satu sarjana terkenal penganut pandangan ini adalah Moeljatno.8

Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana, asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatannya (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan).9

Kedua, pandangan monisme adalah pandangan yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya. Salah satu sarjana terkenal yang menganut pandangan ini adalah Simon.10

Simon merumuskan strafbaarfeit itu adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Alasan dari Simon mengapa strafbaarfeit harus dirumuskan seperti di atas karena:11

a. Untuk adanya suatu srafbaarfeit diisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan Undang-Undang

8

Ibid, hal. 72 9

Evi Hartanti, Op.Cit, hal.7 10

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2002, hal.75

11


(19)

dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewjiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.

b. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum, maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan oleh Undang-Undang.

c. Setiap strafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut Undang-Undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.

Adapun unsur-unsur dari tindak pidana adalah sebagai berikut :

1. Unsur Subjektif, yaitu unsur yang ada dalam diri si pelaku itu sendiri, yaitu: kesalahan dari orang yang melanggar aturan-aturan pidana, artinya pelanggaran itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada pelanggar. 2. Unsur Objektif, terdiri dari:

a. Perbuatan manusia, yaitu perbuatan yang positiv, atau suatu perbuatan yang negativ yang menyebabkan pidana.

b. Akibat perbuatan manusia, yaitu akibat yang terdiri atas merusakkan atau membahayakan kepentingan-kepentingan hukum, yang menurut norma hukum itu perlu ada supaya dapat dihukum.

c. Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan-keadaan ini bisa jadi terdapat pada waktu melakukan perbuatan.


(20)

d. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan itu melawan hukum, jika bertentangan dengan Undang-Undang.12

Sehubungan dengan kepentingan pidana Soedarto mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.13 Roeslan Saleh menyatakan pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu Nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuatan delik itu.14

Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana, kita menganut azas yang dinamakan azas legalitas (principle of legality), yakni suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana, jika ditentukan terlebih dahulu dalam suatu ketentuan perundang-undangan (Pasal 1 ayat 1 KUHP). Dalam bahasa latin, berbunyi: Nullum delictum nulla poena sine previa legi poenalli (tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu).15

Akan tetapi, dalam memidana seseorang yang telah disangka melakukan perbuatan pidana tersebut, dikenal asas yang berbunyi : “Tindak pidana tanpa kesalahan”. Dalam bahasa Belanda: “Geen straf zonder schuld”. Penentuan mengenai dengan cara bagaimana melakukan perbuatan pidana diatur didalam hukuman pidana formal atau Hukum Acara Pidana. Van Bemmelen mengatakan:

12

M. Hamdan, Tindak Pidana Suap dan Money Politics, (Medan: Pustaka Bangsa Pers), 2005, hal.10

13

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni), 1984, hal. 2.

14

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru), 1983, hlm .2. 15

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama), 2003, hal.42


(21)

Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran Undang-undang.16

2. Pengertian Pencucian Uang

Jika melihat pengertian money laundering yang diartikan secara terpisah akan mendapatkan kata money dan laundering. Sehingga kata money (noun) dalam Kamus Lengkap Inggris-Indonesia :17

“Money adalah uang “

Dan arti Laundering berasal dari kata dasar Laundry (verb) dalam Kamus Lengkap Inggris-Indonesia :

“Laundry adalah pencucian ; cucian”

Sehingga jika digabungkan kata money laundering akan menjadi suatu istilah dan akan memperoleh pengertian sebagai kata kerja (verb) yaitu “Pencucian Uang” yang diartikan lebih luas lagi adalah uang yang telah dicuci, dibersihkan atau diputihkan.

Secara umum pencucian uang dapat dirumuskan sebagai suatu proses dimana seseorang menyembunyikan penghasilannya yang berasal dari sumber ilegal dan kemudian menyamarkan penghasilan tersebut agar tampak legal (money laundering is the proces by which once conceals the existence of it’s illegals sources, or it illegal application of income and the disquises that income, to make it appear legimate). Dengan perkataan lain perumusan tersebut berarti suatu

16

Mohammad Taufik Makarao, Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan

Preaktek, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 2004, hal. 2

17

S. Wijowasito-Tito Wasito, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia & Indonesia Inggris Dengan Ejaan Yang Disempurnakan, (Malang , C.V Hasta : 1980), hal 117.


(22)

proses merubah uang haram (dirty money) atau uang yang diperoleh dari aktivitas ilegal menjadi halal (legimate money).18

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 dalam Pasal 1 Angka (1) mencantumkan pengertian dari Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

3. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

Kejahatan pencucian uang adalah suatu kejahatan yang berdimensi internasional sehingga penaggulangannya harus dilakukan secara kerja sama internasional, prinsip dasar pencucian uang adalah menyembunyikan sumber dari segala pencucian uang dari aktivitas ilegal dengan melegalkan uang tersebut. Untuk melaksanakan hal tersebut uang diisyaratkan disalurkan melalui suatu penyesatan (imaze) guna menghapus jejak peredarannya dan orang-orang yang mempunyai uang tersebut menyalurkan bisnis yang fiktif yang tampaknya sebagai sumber penghasilan.19

Sepanjang penyimpangan, investasi, penghibahan dan sebagainya uang itu di dalam negeri, penelusuran masih agak mudah, meskipun dengan mengadakan ketentuan-ketentuan khusus dalam pengumpulan bukti-bukti atau barang-barang bukti dengan penuntutan serta dalam pemeriksaan peradilan. Namun apabila uang kotor itu dicucikan ke luar negeri, maka penelusurannya memerlukan bantuan atau kerjasama atau dengan Interpol asing. Sejauh uang itu hasil kejahatan narkotika, maka telah ada perangkat pengaturannya yaitu adnya : “Convention Against Illict

18

Suparapto, Money Laundering, (Warta BRI) , hal 8. 19


(23)

Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance” dimana money laundering dikualifikasikan sebagai kejahatan Internasional.20

4. Pengertian Pembuktian

Menurut Sudikno Mertokusumo pembuktian adalah: pembuktian secara juridis tidak lain merupakan pembuktian secara historis. Pembuktian yang bersifat juridis ini mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkret. Baik dalam pembuktian secara juridis maupun ilmiah, maka membuktikan pada hakikatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.21

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah

20

Andy Hamzah, Korupsi dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan, Edisi 1, (Jakarta, Akademik Pressindo : 1985), hal 56.

21

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty), 1999, hal.109.


(24)

ditentukan undang-undang secara “limitatif” sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.22

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan di sidang pengadilan, dimana melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP maka terdakwa dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan sanksi. Oleh karena itu, hakim harus berhati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian meneliti sampai dimana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau Bewijs Kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.23

F. Metode Penelitian

Untuk mengumpulkan bahan-bahan di dalam penyusunan skripsi ini dipergunakan suatu cara atau metode yaitu :

a. Jenis penelitian.

Dalam penulisan skripsi ini, agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan,dipergunakan metode penelitian hokum Normatif atau penelitian Yuridis Normatif

b. Data dan Sumber Data

22

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahn dan Penerapan Kuhap Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika),

hal.252-253. 23


(25)

Sebagaimana umumnya,penelitian normative dilakukan dengan penelitian pustaka,yaitu penelitian yang dilakukan ddengan mempelajari bahan pustaka atau data sekunder. Data sekunder diperoleh dari bahan hukum primer,bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

a. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan

b. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku,artikel,Koran dan majalah c. Bahan hukum tertier,seperti kamus yang relevan dengan skripsi ini. c. Metode Pengumpulan Data

Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research),yakni melakukan penelitian menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan,buku-buku,majalah,dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Data-data yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut diatas dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif. Analisa kualitatif ini ditujukan untuk mengungkapkan secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan akan diurai secara komprehensif untuk menjawab berbagai permasalahan yang telah dirumuskan dalan skripsi ini.


(26)

G. Sistematika Penulisan

Penulisan hukum ini terdiri dari 5 (lima) bab, dan masing-masing bab dari sub-sub bab. Adapun susunannya :

BAB I. Berisikan pendahuluan yang didalamnya memaparkan mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan skripsi, keaslian penulisan, tinjauan pustaka yang mengemukakan berbagai definisi, rumusan dan pengertian dari istilah yang terdapat dalam judul untuk memberi batasan dalam pemahaman mengenai istilah-istilah tersebut, metode penulisan dan terakhir diuraikan sistematika penulisan skripsi

BAB II. Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut UU No. 8 Tahun 2010. Dalam Bab ini Penulis akan memberikan uraian secara garis besar dituangkan ke dalam 5 (lima) sub, yaitu : Pengertian dan Sejarah Pencucian Uang di Indonesia, Objek Tindak Pidana Pencucian Uang, Faktor Pendorong Terjadinya Pencucian Uang, Tahap-Tahap Proses Pencucian Uang dan Kriminalisasi Pencucian Uang.

BAB III. Proses Pembukitan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Bab ini Penulis mencoba menguraikan secara keseluruhan, yang dalam garis besarnya dituangkan ke dalam 5 (lima) sub, yaitu : Pengertian Sistem Pembuktian, Teori Sistem Pembuktian, Alat-Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang baik menurut KUHAP dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, Sistem Pembuktian


(27)

Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia dan Proses Pembuktian Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Pencucian Uang.

BAB IV. Hambatan dan Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Ditinjau Dari Sistem Pembuktian. Dalam Bab ini Penulis akan memberikan uraian secara garis besar dituangkan ke dalam 2 (dua) sub, yaitu : Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang dan Upaya-Upaya Yang Dilakukan Dalam Menanggulangi Kendala Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


(28)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UU NO. 8 TAHUN 2010

A. Pengertian dan Sejarah Pencucian Uang Di Indonesia

Problematik pencucian uang yang dalam bahasa inggris dikenal dengan nama money laundering sekarang mulai dibahas dalam buku-buku teks apakah itu didalam buku teks hukum pidana atau kriminologi. Al Capone, penjahat terbesar di Amerika masa lalu, mencuci uang hitam dari usaha kejahatannya dengan memakai si genius Meyer Lansky. Orang Polandia Lansky seorang akuntan mencuci uang kejahatan Al Capone melalui usaha binatu (laundry) demikianlah asal muasal muncul nama “money laundering”.24

Istilah pencucian uang telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat, yaitu ketika mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai salah satu strateginya. Investasi terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian atau disebut laundromats yang ketika itu terkenal di Amerika Serikat. Usaha pencucian pakaian ini berkembang maju dan berbagai perolehan uang hasil kejahatan seperti dari cabang usaha lainnya ditanamkan ke perusahaan pencucian pakaian ini, seperti uang hasil minuman keras illegal, hasil perjudian dan hasil usaha pelacuran.25

24

Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 2008, Hal. 1 25


(29)

Pada tahun 1980-an uang hasil kejahatan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya bisnis haram, seperti perdagangan narkotik dan obat bius yang mencapai miliaran rupiah, karenanya kemudian muncul istilah “narco dollar” yang berasal dari uang haram hasil perdagangan narkotik.26

Sedangkan pengertian pencucian uang menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang No. 8 Tahun 2010 adalah:

“Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.”

Kemudian Alford menyatakan pengertian pencucian uang sebagai berikut :27 “Pencucian uang (money laundering) adalah proses yang dilakukan untuk mengubah hasil kejahatan dari korupsi, kejahatan narkotika, perjudian, penyelundupan dan lain-lain dengan menggunakan sarana lembaga keuangan sehingga uang hasil dari kegiatan yang sah karena asal-usulnya sudah disamarkan atau disembunyikan.”

Melihat pada pengertian diatas, maka pencucian uang (money laundering) pada intinya melibatkan aset pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah / legal.

Semula pandangan beberapa negara utama Amerika Serikat (leading country to combat laundering) melihat, kriminalisasi terhadap perbuatan pencucian uang merupakan strategi jitu untuk memberantas berbagai kejahatan yang sulit ditangkap

26 Ibid 27


(30)

pelakunya, seperti korupsi atau sindikat narkotika. Maka dimunculkan strategi untuk menaggulangi kejahatan yaitu dengan menghadang hasil kejahatannya. Bahkan, pertama kali pencucian uang diatur di Amerika Serikat tahun 1986 karena saat itu Amerika Serikat kewalahan menaggulangi kejahatan perdagangan gelap narkotika (illict drug trafficking) yang amat merugikan keuangan negara.28

B. Objek Tindak Pidana Pencucian Uang

Menurut N. Welling, objek utama pencucian uang adalah “uang kotor” atau “uang haram”. Uang dapat menjadi “kotor” dengan dua cara yaitu :29

a. melalui pengelakkan pajak (tax evasion), yaitu memperoleh uang secara ilegal tetapi jumlah uang yang dilaporkan kepada emerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit dari pada yang sebenarnya diperoleh.

b. memperoleh uang melalui cara-cara melanggar hukum, misalnya hasil penjualan obat terlarang (drug sales), perjudian gelap (ilegal gambling), penyuapan (bribery), terorisme (terrorism), pelacuran (prostitution), perdangangan senjata (arms trafficking), penyelundupan (smuggling), dan kejahatan kerah putih (white collar crime).

Pada awalnya objek pencucian uang yang paling utama dilakukan adalah hasil dari penjualan obat-obatan terlarang dan penyelundupan. Namun sejak terjadinya bom WTC Amerika Serikat, maka kegiatan terorismepun mulai menjadi salah satu prioritas objek pencucian uang. Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, disebutkan bahwa objek Tindak Pidana Pencucian Uang adalah :

28

Chaikin Money Laundering. Crm. L.R Vol 2 No.3. (Spring : 1991), hal 417. 29

Sutan Reny Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan


(31)

1. Harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana berupa : a. korupsi;

b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika;

e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan;

k. cukai;

l. perdagangan orang;

m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme;

o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi;

v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan;

x. di bidang lingkungan hidup;

y. di bidang kelautan dan perikanan; atau

z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

2. Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.


(32)

C. Faktor Pendorong Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang

Praktik money laundering tidak mudah memberantasnya. Ada beberapa faktor yang menjadi pendorong maraknya kegiatan pencucian uang di berbagai negara, menurut Sutan Remy Sjahdeini terdapat 10 (sepuluh) faktor pendorong, yaitu sebagai berikut :30

1. Faktor Globalisasi

Globalisasi pada perputaran sistem keuangan internasional merupakan impian para pelaku money laundering dan dari kegiatan kriminal ini arus uang yang berjalan jutaan dollar per tahun berasal dari pertumbuhan ekonomi dimana uang yang sehat pada setiap negara sebagai dasar pada daerah pasar global.

2. Faktor cepatnya kemajuan teknologi

Kemajuan teknologi yang paling mendorong maraknya pencucian uang adalah teknologi di bidang informasi, yaitu dengan munculnya internet yang memperlihatkan kemajuan yang luar biasa.

3. Faktor Rahasia Bank yang begitu ketat

Ketatnya suatu peraturan bank dalam hal kerahasiaan atas nasabah dan data-data rekeningnya menyebabkan para pemilik dana gelap sulit dilacak dan disentuh. 4. Faktor belum diterapkannya azas “Know Your Customer”

Perbankan dan Penyedia Jasa Keuangan lainnya belum secara sungguh-sungguh menerapkan sistem ini, sehingga seseorang dapat menyimpan dana dari suatu bank dengan menggunakan nama samaran (anonim).

30


(33)

5. Faktor electronic banking

Dengan diperkenalkan sistem ini dalam perbankan maka diperkenankannya ATM (Automated Teller Machine) dan wire transfer. Electronic memberikan peluang bagi pencucian uang model baru dengan menggunakan jaringan internet yang disebut cyber laundering.

6. Faktor electronic money atau e-money

Dengan munculnya jenis uang baru ini yang disebut e-money yang merupakan suatu sistem yang secara digital ditandatangani suatu lembaga penerbit melalui kunci enkripsi pribadi dan melalui enkripsi ini dapat ditransmisikan kepada pihak lain maka memudahkan pelaku electronic commerce melaui jaringan internet, pelaku tersebut juga sebagai cyberspace atau cyber laundering.

7. Faktor layering

Penggunaan secara berlapis pihak pemberi jasa hukum (lawyer) dimana sumber pertama sebagai pemilik sesungguhnya atau siapa sebagai penyimpan pertama tidak diketahui lagi jelas, karena deposan yang terakhir hanyalah sekedar ditugasi untuk mendepositkannya di suatu bank. Pemindahan demikian dilakukan beberapa kali sehingga sulit dilacak petugas.

8. Faktor pemberi jasa hukum (lawyer)

Adanya faktor ketentuan hukum bahwa hubungan lawyer dengan klien adalah hubungan kerahasiaan yang tidak boleh diungkapkan. Akibatnya, seorang lawyer tidak bisa dimintai keterangan mengenai hubungan dengan kliennya.


(34)

9. Faktor kesungguhan pemerintah

Adanya ketidaksungguhan dari negara-negara untuk melakukan pemberantasan praktik pencucian uang dengan sistem perbankan. Ketidakseriusan demikian adalah karena suatu negara memandang bahwa penempatan dana-dana di suatu bank sangat diperlukan untuk pembiyaan pembangunan.

10.Faktor peraturan setiap negara

Belum adanya peraturan-peraturan money laundering di dalam suatu negara tertentu, sehingga menjadikan praktik money laundering menjadi subur.

Faktor penyebab timbulnya money laundering berdasarkan pernyataan di atas dapat dibagi atas 5 (lima) faktor utama, yaitu sebagai berikut :

1. Globalisasi sistem perputaran secara internasional

2. Kemajuan teknologi di bidang perbankan yang menciptakan electronic banking dan e-money sehingga pelayanan bank dapat dilakukan dengan internet.

3. Kerahasiaan bank untuk setiap rekening para nasabahnya sehingga memungkinkan para nasabahnya menggunakan nama samaran (anonim) dalam proses penyimpanan dananya, serta dimungkinkan terjadinya layering (pelapisan), dimana sumber pertama sebagai pemilik sesungguhnya tidak diketahui jelas, karena deposan yang terkahir hanyalah sekedar ditugasi untuk mendepositkan di suatu bank.

4. Ketentuan hukum dimana hubungan lawyer dengan klien adalah hubungan kerahasiaan yang tidak boleh diungkapkan.


(35)

Faktor penyebab timbulnya money laundering begitu komplek. Berbagai hal pendorong terjadinya praktik ini menimbulkan makin tumbuh dan berkembangnya bagi pelaku money laundering untuk melakukan aktifitasnya baik dalam negaranya sendiri maupun orang lain.

D. Tahap-Tahap Proses Pencucian Uang

Tidak mudah untuk membuktikan adanya suatu money laundering, karena kegiatannya sangat kompleks sekali, namun para pakar telah berhasil menggolongkan proses money laundering ke dalam 3 (tiga) tahap, yaitu :31

1. Tahap Placement

Tahap ini merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan mendepositkan uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan. Sejumlah uang yang ditempatkan dalam suatu bank, kemudian uang tersebut masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan. Jadi misalnya melalui penyelundupan, ada penempatan dari uang tunai dari suatu bersifat ilegal dengan uang yang diperoleh secara legal. Variasi lain dengan menempatkan uang giral ke dalam deposito bank ke dalam saham, mengkonversi ke dalam valuta asing.

2. Tahap Layering

Tahap kedua ialah dengan cara pelapisan (layering). Berbagai cara dapat dilakukan melalui tahap pelapisan ini yang tujuannya menghilangkan jejak, baik

31


(36)

ciri-ciri aslinya atau asal-usul uang tersebut. Misalnya melakukan transfer dana dari berbagai rekening ke lokasi lainnya atau dari suatu negara ke negara lain dan dapat dilakukan berkali-kali, memecah-mecah jumlah dananya di bank dengan maksud mengaburkan asal-usulnya, mentransfer dalam bentuk valuta asing, membeli saham, melakukan transaksi deriviatif dan lain-lain. Sering kali juga terjadi si penyimpan dana itu sudah merupakan lapis-lapis yang jauh, karena sudah diupayakan berkali-kali simpan menyimpan sebelumnya. Cara lain misalnya si pemilik uang kotor meminta kredit di bank dan dengan uang kotornya dipakai untuk membiayai suatu kegiatan usaha secara legal. Dengan melakukan cara seperti ini, maka kelihatan bahwa kegiatan usahanya secara legal tersebut tidak merupakan hasil dari uang kotor itu melainkan dari perolehan kredit bank tadi.

3. Tahap Intergration

Tahap ini merupakan tahap menyatukan kembali uang kotor tersebut setelah melalui tahap placement atau layering di atas, yang untuk selanjutnya uang tersebut dipergunakan dalam berbagai kegiatan ilegal sebelumnya dan dalam tahap inilah kemudian uang kotor itu telah tercuci.

Proses diatas dimulai pada saat pelaku kejahatan menggabungkan uang dari bermacam-macam sumber. Pada tahap kedua si pelaku membuat simpanan pribadi di bank. Dana tersebut kemudian melalui wire transferring (transfer dana melalui elektronik) dikirim ke bank lain di luar negeri. Dengan mudah pelaku dapat


(37)

memanipulasi dan terhindar dari jangkauan penyelidik dari negara-negara yang telah mengundangkan anti pencucian uang. Tahap berikutnya, agitation meliputi penggunaan uang tadi dengan berselebung bisinis yang sah agar dapat ditempatkan dimana saja. Setelah beberapa kali transaksi akan sulit mengikuti jejak uang tersebut karena tidak dapat dibedakan dari uang yang beredar. Ketika mencapai tahap ini, uang akan menjadi halal dan aman tanpa jejak yang jelas dari mana sumbernya.32

Secara rinci dan konkrit, modus operasional kejahatan pencucian uang, terdapat 13 (tiga belas) modus, yaitu :33

1. Modus secara Loan Back

Dengan cara meminjam uangnya sendiri. Modus terinci lagi dalam bentuk direct loan, yakni dengan cara meminjam uang dari perusahaan luar negeri, yakni semacam perusahaan bayangan (immbolen investement company), yang direksi dan pemegang sahamnya ialah ia sendiri. Dalam bentuk back to loan, dimana si pelaku meminjam uang dari cabang bank asing di negaranya. Peminjam dengan jaminan bank asing secara stand bay letter of credit atau certificate of deposit bahwa uang didapat atas dasar uang dari kejahatan. Peminjam itu kemudian itu kemudian tidak dikembalikan, sehingga jaminan bank dicairkan. Bentuk lainnya dari modus ini ialah parallel loan, yakni pembiayaan internasional yang memperoleh aset dari luar negeri. Karena ada hambatan restriksi mata uang, maka

32 Ibid 33


(38)

dicari perusahaan di luar negeri untuk sama-sama mengambil loan dan dana dari loan itu di pertukarkan satu sama lain.

2. Modus Operasi C-Chase

Modus ini cukup rumit karena memiliki sifat lika-liku sebagai cara menghapus jejak. Contoh seperti kasus dalam BCCI, dimana kurir-kurir datang ke bank di Florida untuk menyimpan dana sebesar US $ 10.000, supaya lolos dari kewajiban lapor. Kemudian beberapa kali dilakukan transfer, yakni dari New York ke Luxemburg, dari Luxemburg ke cabang bank di Inggris, lalu disana dikonversi dalam bentuk Cerificate of Deposit untuk menjamin loan dalam jumlah yang sama yang diambil oleh orang di Florida. Loan dibuat di negara Karabia yang terkenal dengan tax heaven-nya. Disini loan itu tidak pernah ditagih, namun hanya dengan mencairkan sertifikat deposito itu saja. Dari rekening drug dealer dan disana uang itu di distribusikan menurut keperluan dan bisnis yang serba gelap. Hasil investasi ini dapat tercuci dan aman.

3. Modus transaski dagang internasional

Modus ini menggunakan sarana dokumen L/C. Karena yang menjadi fokus urusan bank, baik bank koresponden maupun opening bank adalah dokumen bank itu sendiri dan tidak mengenai keadaan barang, maka hal ini dapat menjadi sasaran money laundering berupa invoice yang besar terhadap barang-barang yang kecil atau malahan barang itu tidak ada.


(39)

Modus ini menyelundupkan sejumlah uang fisik uang itu ke luar negeri. Berhubung dengan cara ini terdapat resiko-resiko seperti dirampok hilang atau tertangkap dalam pemeriksaan, dicari modus berupa electronic transfer, yakni mentranfer dari suatu negara ke negara lain tanpa perpindahan fisik uang itu. 5. Modus Akuisisi

Yang dimaksud adalah perusahaan sendiri. Contohnya, seorang pemilik perusahaan di Indonesia , yang memiliki perusahaan di Indonesia, yang memiliki perusahaan secara gelap pula di Cayman Island, negara tax heaven. Hasil usaha di Cayman didepositkan atas nama perusahaan yang ada di Indonesia. Kemudian perusahaan yang ada di Cayman membeli saham-saham dari perusahaan yang ada di Indonesia (secara akuisisi). Dengan cara ini pemilik perusahaan di Indonesia memiliki dana sah, karena telah tercuci melalui hasil penjualan saham-sahamnya di perusahaan yang ada di Indonesia.

6. Modus Real Estate Corousule

Dengan menjual suatu properti beberapa kali kepada paerusahaan di dalam kelompok yang sama. Pelaku money laundering memiliki sejumlah perusahaan (pemegang saham mayoritas) dalam bentuk real estate. Dari satu ke lain perusahaan dalam grup usaha properti melakukan penjualan pada perusahaan lain di lingkungan perusahaan itu juga dengan pola harga penjualan yang makin meningkat. Sasarannya supaya melalui transaksi ini, hasil uang penjualan menjadi putih, disamping itu pula, pemilik saham minoritas dapat ditarik memodali dalam proses money laundering. Modus yang sama pula dilakukan di dalam pasar


(40)

modal, yakni pembeli saham itu hanya perusahaan-perusahaan di lingkungannya saja dengan tawaran harga tinggi.

7. Modus Investasi tertentu

Investasi tertentu ini biasanya dalam bisnis transaksi barang lukisan atau antik. Misalnya pelaku membeli barang lukisan dan kemudian menjualnya kepada seseorang yang sebenarnya adalah suruhan si pelaku itu sendiri dengan harga yang mahal. Lukisan dengan harga yang tidak terukur, dapat ditetapkan dengan harga penjualan yang bersifat tinggi ini dapat dipandang sebagai dana yang sudah sah (tercuci).

8. Modus Over Invoices atau Double Invoice

Modus ini dilakukan dengan mendirkan perusahaan ekspor-impor di negara sendiri, lalu di luar negeri (yang bersifat sistem tax heaven) mendirikan pula perusahaan bayangan (shell company). Perusahaan di negara tax heaven ini mengekspor barang ke Indonesia dan perusahaan yang ada di luar negeri itu membuat invoice pembelian dengan harga tinggi dan bila dibuat 2 invoices, maka disebut double invoices. Supaya perusahaan di Indonesia terus bertahan, maka perusahaan yang ada di luar nergri memberikan loan. Dengan cara loan ini, uang kotor di perusahaan di luar negeri.

9. Modus perdagangan saham

Modus ini pernah terjadi di Belanda. Dalam suatu kasus di Bursa Efek Amsterdam, dengan melibatkan perusahaan efek Nusse Brink, dimana beberapa nasabah perusahaan efek ini, menjadi pelaku kejahatan pencucian uang. Artinya,


(41)

dana dari nasabahnya yang diinvestasi ini bersumber dari uang gelap. Nusse Brink membuat 2 buah rekening bagi nasabah-nasabah tersebut, yang satu untuk transaksi yang menderita kerugian, dan satunya lain untuk transaksi yang mempunyai keuntungan. Rekening itu diupayakan dibuka di tempat yang sangat terjamin proteksi kerahasiaannya, supaya sulit ditelusuri siapa beneficial owner dari rekening tersebut.

10.Modus Pizza Connection

Modus ini dilakukan dengan menginvestasikan hasil perdagangan obat bius diinvestasikan untuk mendapat koneksi Pizza, sementara sisi lainnya diinvestasikan di Karabia dan Swiss.

11.Modus La Mina

Kasus yang dipandang sebagai modus dalam money laundering terjadi di Amerika Serikat tahun 1990. Dana yang diperoleh dari perdagangan obat bius diserahkan kepada pedagang grosiran emas dan permata sebagai suatu sindikat. Kemudian emas batangan diekspor dari Uruguay dengan maksud supaya impornya bersifat legal. Uang disimpan dalam desain kotak kemasan emas, kemudian dikirim kepada pedagang perhiasan yang bersindikat mafia obat bius. Penjualan dilakukan di Los Angles. Hasil uang tunai dibawa ke bank, dengan maksud supaya seakan-akan berasal dari penjualan emas dan permata dan dikirim ke Bank New York dan dari kota ini dikirim ke bank di Eropa melalui negara Panama. Uang tersebut akhirnya sampai di Kolombia guna didistribusi dalam


(42)

berupa membayar ongkos-ongkos, untuk investasi perdagangan obat bius, tetapi sebagian besar untuk investasi jangka panjang.

12.Modus Deposit Taking

Mendirikan perusahaan keuangan seperti Deposit Taking Institutions (DTI) di Canada. DTI ini terkenal dengan sarana pencucian uang seperti charatered banks, trust companie dan credit union. Kasus money laundering yang melibatkan DTI antara lain transfer melalui telex, surat berharga penukaran valuta asing, pembelian obligasi pemerintah dan treasury buills.

13.Modus Identitas Palsu

Dengan cara memanfaatkan lembaga perbankan sebagai mesin pemutih uang, dengan cara mendepositokan secara nama palsu, menggunakan safe deposit box untuk menyembunyikan hasil kejahatan menyediakan fasilistas transfer supaya dengan mudah ditransfer ke tempat yang dikehendaki, atau menggunakan electronic fund transfer untuk melunasi kewajiban transaksi gelap. Menyimpan atau mendistribusikan transfer gelap itu.

Selanjutnya perlu diketahui bagaimana para pelaku money laundering melakukan money laundering, sehingga bisa dicapai hasil dari uang legal. Secara metodik dikenal 3 (tiga) metode dalam money laundering :34

1. Metode Buy and Sell Conversions

Metode ini dilakukan melalui transaksi barang-barang dan jasa. Katakan suatu aset dapat dibeli dan dijual kepada konspirator yang bersedia membeli atau

34


(43)

menjual secara lebih mahal dari harga normal dengan mendapatkan fee atau diskon. Selisih harga dibayar dengan uang ilegal dan kemudian dicuci secara transaksi bisnis. Barang atau jasa itu dapat diubah seolah-olah menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan yang ada di suatu bank.

2. Metode Offshore Conversions

Dengan cara ini uang kotor dikonversi ke suatu wilayah yang merupakan tempat yang sangat menyenangkan bagi penghindaran pajak (tax heaven money laundering centers) untuk kemudian didepositkan di bank yang berada di wilayah tersebut. Di negara-negara yang termasuk atau berciri tax heaven demikian memang terdapat sistem hukum perpajakan yang tidak ketat, terdapat sistem rahasia bank yang sangat ketat, birokrasi bisnis yang cukup mudah untuk memungkinkan adanya rahasia bisnis yang ketat serta pembentukan usaha trust fund. Untuk mendukung kegiatan demikian, para pelakunya memakai jasa-jasa pengacara, akuntan atau konsultan keuangan dan para pengelola dana yang handal untuk memanfaatkan segala celah yang ada dalam negara itu.

3. Metode Legitimate Busnises Conversions

Metode ini dilakukan melalui kegiatan bisnis yang sah sebagai cara pengalihan atau pemanfaat dari sesuatu hasil uang kotor. Hasil uang kotor ini kemudian dikonversi secara transfer, cek atau alat pembayaran lain untuk disimpan di rekening bank atau ditransfer kemudian ke rekening bank lainnya. Biasanya para pelaku bekerja sama dengan suatu perusahaan yang rekeningnya dapat dipergunakan sebagai “terminal” untuk menampung uang kotor tersebut.


(44)

E. Kriminalisasi Pencucian Uang

Kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy).35

Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat bahwa dalam kebijakan penegakan hukum dalam rangka penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiel dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pendekatan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat.

Berbicara mengenai syarat kriminalisasi pada hakikatnya berbicara tentang kriteria untuk menjadikan suatu perbuatan sebagai kejahatan. Oleh karena terlebih

35


(45)

dahulu harus diketahui apa yang disebut sebagai kejahatan. Mengenai kejahatan ada banyak pendapat. Menurut Roeslan Saleh menyatakan :36

“Sejak lama orang menaruh perhatian terhadap pertanyaan : syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi, baru pembentuk undang-undang dapat menentukan suatu perbuatan atau perbuatan-perbuatan sebagai perbuatan pidana atau delik? Mencari jawaban atas pertanyaan ini mengakibatkan pula bahwa haruslah dipersoalkan terlebih dahulu mengenai tujuan apakah pada umumnya akan dicapai pembentuk undang-undang dengan menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana. Selagi mengenai tujuan dari hukum pidana orang masih berbeda pendapat, selama itu pula pembentuk undang-undang pun akan menghadapi kesulitan untuk menetapkan apakah bentuk-bentuk baru dari kelakuan yang dipandang mengganggu ketenteraman masyarakat, akan dinyatakan suatu perbuatan pidana.”

Hukum Pidana juga mengakui adanya bantuan dari kriminologi, dalam menentukan kriteria suatu perbuatan sebagai kejahatan. J.M van Bammelen menetapkan kriteria suatu perbuatan sebagai kejahatan, yaitu :37

“Kejahatan adalah tiap-tiap kelakuan yang berbahaya dan juga tidak susila, yang menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk menyatakan celaan dan perlawanannya terhadap kelakuan itu dalam bentuk sengaja membebankan derita yang dikaitkan dengan kelakuan tersebut.”

Sejak defenisi yang mengacu pada pandangan kriminilogi ini maka muncul berbagai defenisi tentang kejahatan, antara lain pandangan yang menyatakan bahwa perbuatan jahat adalah perbuatan yang lebih dari sekedar licik atau akal-akalan

36

Roselan Saleh, Dari Lembaran Kepustkaan Hukum Pidana.(Jakarta, Sinar Grafitia : 1998), hal 73-74.

37

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar


(46)

(criminal conduct more than slippery still), dan perbuatan itu dinyatakan melanggar hukum dan dapat dikenai pidana.38

Sedangkan Moelyatno menyatakan bahwa perbuatan yang oleh hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dinamakan perbuatan pidana. Selanjutnya, dikatakan pula bahwa menurut wujud dan sifatnya, perbuatan ini adalah perbuatan melawan hukum, merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tata pergaulan masyarakat dan disebut juga sebagai anti sosial.39

Namun yang penting dalam mengukur suatu perbuatan sebagai kejahatan tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Hal ini dinyatakan pula oleh Roeslan Saleh :40

“Istilah kejahatan tidak dapat digunakan begitu saja untuk mengganti perbuatan pidana-pengertian perbuatan pidana lain isinya dari pengertian starbaar feit-Perbuatan pidana hanya menunjukkan sifatnya perbuatan yang terlarang-Dalam merumuskan perbuatan pidana hendaknya diperhatikan… Oleh karena perbuatan pidana ini sehari-hari juga disebut dengan “kejahatan” maka isitlah kejahatan lalu tidak dapat digunakan begitu saja dalam hukum pidana.”

Selain itu ada pula yang menyatakan kejahatan adalah bentuk prilaku penyimpangan dari aturan normatif yang berlaku, yang dipandang membahayakan norma-norma sosial yang melandasi kehidupan atau keteraturan sosial yang dapat

38

Hyaman Gross, A Theory Of Criminal Justice. (New York, Oxford University Press : 1979), hal 48-49.

39

Moeljatno, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada Tahun 1995, hal 9

40


(47)

menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial dan mengancam terjaminnya ketertiban dalam dalam masyarakat.41

Uraian mengenai kejahatan diatas bagaimana dengan pencucian uang, apakah perbuatan ini dapat dikatagorikan sebagai kejahatan? Menyatakan pencucian uang sebagai kejahatan dapat dilihat dari proses tujuan menyimpang, misalnya, dengan menggelapkan identitas dan asal-usul uang dicuci. Dari sudut tujuan jelas sekali bahwa pencucian uang tersebut dimaksudkan untuk mengelak beberapa kewajiban, misalnya, berkaitan dengan pajak, atau untuk menyamarkan agar sumber uang yang berasal dari kejahatan yang tidak diketahui. Sedangkan dari sudut kerugian jelas bahwa perbuatan tersebut sangat merugikan masyarakat karena berkembangnya kejahatan pokok. Dari uraian mengenai indikasi yang ada maka praktik pencucian menyalahi norma yang ada dalam masyarakat, menimbulkan kerugian dan mendatangkan pencelaan. Selain itu membiarkan praktik pencucian uang berarti mengijinkan atau memungkinkan kejahatan yang mendasarinya tetap berkembang dengan subur. Berkaitan dengan hal itu dinyatakan bahwa praktik pencucian uang sangat erat kaitannya dengan kelangsungan kejahatan lain, yaitu bahwa hasil pencucian uang untuk membiayai kejahatan lain.

42

41

Sapirah Sadli, Persepsi Sosial Mengenai Perlakuan Menyimpang. (Jakarta, Bulan Bintang : 1996), hal 56.

42

Sarah N Welling, Smurf. Money Laundering And The U.S Fed. Criminal Law : The Crime Of Structuring Transactions. (Flo. L. Rev. Vol 41 : 1989), hal 291.


(48)

Kriminalisasi termasuk salah satu dari masalah pokok dalam hukum pidana.43 Menganalisis syarat kriminalisasi, tidak mungkin lepas dari konsepsi integral antar kebijakan kriminal dan kebijakan sosial. Berkaitan dengan hal tersebut diatas terdapat syarat kriminalisasi yanag harus didahalui pertimbangan-pertimbangan :44

a. Penggunaan Hukum Pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional;

b. Penggunaan Hukum Pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penaggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman itu sendiri;

c. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki karena perbuatan mendatangkan kerugian bagi masyarakat;

d. Penggunaan Hukum Pidana harus pula menggunakan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle)

Dari pertimbangan tersebut diatas maka syarat kriminal pada umumnya meliputi :45

1. adanya korban;

2. kriminalsasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan; 3. harus berdasarkan azas ratio principle dan;

4. adanya kesepakatan sosial (public support)

Syarat yang menyebutkan adanya korban ini menyiratkan bahwa perbuatan tersebut harus menimbulkan sesuatu yang buruk atau menimbulkan kerugian. Berkaitan dengan pencucian uang, setelah perdebatan panjang maka disepakati bahwa

43

Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. (Bandung, Alumni : 1992), hal 160.

44

Sudarto, Op. Cit, hal 14-18 45

Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia. Makalah Dalam Rangka Hari Ulang Tuhan Fakultas Hukum UNDIP, (11 Januari 1998), hal 22-23.


(49)

pencucian uang tidak merugikan individu secara langsung tetapi berdampak pada munculnya kerugian keuangan nasional bahkan dianggap membahayakan keuangan global.46

Berkaitan dengan pandangan bahwa masyarakat (awam) secara individu tidak merasa dirugikan, hal itu tidak benar.47 Bagaimanapun juga kerana pencucian uang melibatkan uang dalam jumlah besar, akan mempengaruhi perekonomian secara nasional bahkan internasional. Oleh karenanya seharusnyalah masyarakat berkepentingan merasa menjadi korban.48

Selain itu kejahatan ini sangat merugikan lembaga keuangan, terutama perbankan. Karena pada umumnya mereka menggunakan sarana ini untuk melakukan proses pencucian uang. Apabila suatu bank terbukti digunakan untuk proses pencucian uang, maka bank tersebut akan kehilangan kepercayaan dari nasabahnya. Dengan memanfaatkan sarana lembaga keuangan mereka membangun jaringan bisnis sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi. Oleh karena itu pencucian uang juga dimasukkan sebagai kejahatan ekonomi bahkan ada yang menyatakan pencucian uang sebagai economic crime industry, bila dikaitkan dengan pernyataan :49

“What is the economic crime industry? Or what does it consist? The activities, which make up economic crime, as a broad as the expression it self. The industriy comprises all nation of mafia, drug dealers, or any Organized criminal activity involving the funneling of money out of legitimate hands into criminal hands within the economic an umbrella”

46

Scott Sultzer, “Op Cit.”, hal 144. 47

Rajeev Savena, Cyber Laundering : The Next Step For Money Launders? (St.Thomas L. Rev. Vol 10 : 1998), hal 687.

48

Fletcher N Baldwin Jr, Money Laundering And Wire Transfer : When The New

RegulationTake Affect. Will They Help?. (DICK. J. Int’l, Vol 14 : 1996), hal 413.

49


(50)

Terjemahan bebas oleh Penulis :

“Apa saja kejahatan ekonomi industri? Atau terdiri dari apa yang dilakukan? Merupakan kegiatan yang melakukan kejahatan atas ekonomi, yang luas sebagaimana ungkapan kejahatan ekonomi industri itu sendiri. Industri yang terdiri dari semua bangsa mafia, bandar narkoba, atau apapun yang diselenggarakan, kegiatan kriminal yang melibatkan penyaluran uang dari tangan ke tangan dengan payung hukum pidana ekonomi. ”

Dimasukkan pencucian uang dalam kriteria kejahatan tersebut karena perbuatan itu menimbulkan kerugian. Kerugian perekonomian akan semakin meningkat manakala dihubungkan dengan globalisasi. Globalisasi telah memacu tidak saja aktifitas ekonomi antar negara yang sah tetapi juga memicu aktifitas yang ilegal.50

Kejahatan pencucian uang dalam konsep akutansi internasional juga mengakibatkan adanya defisit neraca transaksi berjalan, menimbulkan statistical error dan tidak mustahil menimbulkan secret money.51

Pencucian uang adalah suatu proses untuk menyembunyikan sumber uang yang berasal dari kejahatan, sehingga para pelaku kejahatan dengan leluasa bisa menggunakan uang tersebut dengan aman. Dalam hal ini termasuk juga untuk membiayai kejahatan tertentu seperti yang dilakuakan organized crime. Pencucian

50

Wolfgang H Reinicke, Global Public Policy : Governing Without Government. (Brookings Institution Pess : 1998), hal 135.

51

Hariyiadi Ramelan dan Delfiano Ras, Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan. (Vol 1 No.4 : Maret 1999).


(51)

dengan demikian mendukung berkembangnya suatu kejahatan, artinya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat.52

Kriminalisasi dilakukan tidak semata-mata ditujukan untuk membalas dendam, artinya bahwa dalam melihat permasalahan tidak hanya untuk memberikan suatu sanksi saja tetapi lebih dari itu, harus dipikirkan efektifitas pemberian sanksi. Selain itu kriminalisasi harus mempunyai tujuan yang lebih luas, seperti menjaga stabilisasi keuangan, kepercayaan terhadap lembaga keuangan.53

Mengingat sifatnya sebagai follw up crimes maka kriminalsasi pada akhirnya diharapkan untuk menanggulangi tidak saja kejahatan pencucian uang, tetapi juga menanggulangi kejahatan utamanya (core crimes). Misalnya, dengan menangkap pelaku pencucian uang dari hasil kejahatan organized crime diharapkan dapat pula ditangkap pelaku kejahatan utamanya. Selain itu sebagaimana disebutkan dalam konvensi-konvensi internasional, kriminalisasi pencucian uang tidak hanya ditujukan untuk menghukum pelaku tetapi juga harus diupayakan untuk melakukan penyitaan.54

Selanjutnya kriminalsasi tetap harus memperhatikan ratio principle, artinya kriminalsasi harus benar-benar menunjang tujuan yang dicapai. Harus

52

Yenti Garnasih, Kriminalsasi Pencucian Uang (Money Laundering)”. Cet.1, (Jakarta), Perpustakaan Nasional-Katalog Dalam Terbitan (KDT) : 2003, hal 72-73.

53

Fletcher N Baldwin Jr, Op Cit , hal 413. 54

Andrew Haynes, Money Laundering And Changes In International Banking Regulation. J.Int’l Banking Law, (1993), hal 454.


(52)

memperhitungkan prinsip keuntungan bila dibandingkan dengan kerugian yang timbul kalau tidak dilakukan kriminalisasi.55

Dalam kaitan dengan ini jelas sekali betapa kerugian yang diakibatkan oleh pencucian uang. Begitu besar angka pencucian uang di seluruh dunia telah memperlihatkan pentingnya dilakukan krimilasasi. Kemudian begitu gencar perhatian internasional tehadap masalah ini, termasuk munculnya desakan bagi Indonesia untuk melakukan kriminalsasi terhadap pencucian uang. Sekilas memang nampak adanya dilema, kalau melakukan kriminalsasi, berarti dana yang diharapkan masuk akan berkurang. Sebaliknya kalau tidak dilakukan kriminalsasi, Indonesia akan berhadapan dengan sanksi ekonomi dari masyarakat internasional. Indonesia tidak mempunyai pilihan lain kecuali melakukan kriminalisasi. Selain secara moral sangatlah tidaklah terpuji, menutup mata atas modal yang tidak jelas asalnya, masuk dan turut membiayai pembangunan nasional Indonesia. Membiarkan modal yang berasal dari kejahatan masuk ke Indonesia berarti juga membiarkan berkembangnya kejahatan yang melandasi (underlying crime) pencucian uang tersebut.56

Dalam menyusun suatu ketentuan perundang-undangan baru, antara lain harus dipikirkan mengenai anggaran untuk menegakkan peraturan perundang-undangan tersebut.57

55

Muladi, Op Cit , hal 24.

Misalnya dalam melaksanakan peraturan perbankan biaya penegakkan

56

Yenti Garnasih, Op Cit , hal 74. 57

John Braithwaite, Following The Money Trail To What Desnatioan? An Introdiction To The Symposium. Ala. L. Rev Vol 44 : 3 : 657 (1993), hal 658.


(53)

peraturan tersebut harus diperhitungkan pula.58 Selain itu juga harus diperhitungkan anggaran untuk penegakkan hukum pencucian uang dan diperhitungkan mengenai pendapatan pajak yang hilang karena ulah para penjahat.59

Sama pentingnya juga harus dipertimbangkan adanya kemungkinan hak pribadi yang hilang pada nasabah yang tidak bersalah, yang informasi keuangannya telah dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Kesepakatan sosial yang diperlukan untuk melakukan kriminalisasi pencucian uang sangatlah jelas. Berbagai konvensi telah membahas tentang pentingnya kriminalisasi. Berbagai diskusi dalam seminar-seminar baik nasional maupun internasiomal diadakan untuk mendorong dilakukannya kriminalisasi. Berbagai pandangan muncul berkaitan tentang kesepakatan tentang sifat tercela dan merugikannya pencucian uang. Pentingnya kesepakatan sosial, adalah adanya suatu penilaian yang sama terhadap suatu perbuatan yang sudah sepantasnya dianggap sebagai perbuatan yang anti sosial.

Terlebih lagi kalau ada kecendrungan internasioanl yang mendorong negara-negara di dunia melakukan kriminalisasi pencucian uang, walaupun dibatasi hanya terhadap hasil kejahatan yang berkaitan dengan hasil kejahatan yang berkaitan dengan obat bius.60

58

John J. Byrne, The Bank Secrecy Act, Do Reporting Requirments Really Assist The Government?. Ala L. Rev, Vol 44 (1993), hal 801.

59

John Braithwaite, Op Cit, 658. 60


(54)

Demikian juga adanya dorongan dari Financial Action Task Force, yang antara lain menyatakan :61

“Each country should consider extending the offences of drug money laundering to any other crimes for which there is a link to narcotics : an alternative approach is to criminalize money laundring based on serious offences, and / or on all offences that generate a significant amount of proceeds, or on certain serious offences”.

Terjemahan bebas oleh Penulis :

“Setiap negara harus mempertimbangkan memperluas pelanggaran pencucian uang dari narkoba kepada kejahatan lainnya yang terdapat hubungan dengan perdagangan ilegal : alternatif pendekatan adalah untuk kriminalisasi pencucian uang berdasarkan pelanggaran serius, dan / atau pada semua pelanggaran yang menghasilkan sejumlah besar hasil, atau pada beberapa pelanggaran serius”.

Selain keempat syarat tersebut, upaya kriminalsasi tersebut harus dilakuakan dilakukan dengan cepat dan analisis yang mendalam. Ketidakcermatan dalam melakukan kriminalisasi hanya akan menimbulkan permasalahan dalam penegakannya.62

61

Financial Action Task Force On Money Laundering,, Report (1990), hal 16. 62


(55)

BAB III

PROSES PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Transaksi Keuangan Mencurigakan

Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 memberikan kewajiban bagi pihak Penyedia Jasa Keuangan untuk melaporkan kepada PPATK. Sebagaimana disebutkan Pasal 23 UU No. 8 Tahun 2010:

“Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a wajib menyampaikan laporan kepada PPATK yang meliputi:

a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;

b. Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali Transaksi maupun beberapa kali Transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; dan/atau

c. Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri.”

Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a UU No. 8 Tahun 2010, memberikan pengertian lebih luas sebagaimana dapat dilihat di dalam Pasal 1 butir 5 UU No. 8 Tahun 2010, yang diistilahkan dengan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan. Pengertian transaksi keuangan mencurigakan menurut ketentuan tersebut dijelaskan sebagai berikut :

“Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:

a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;

b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;

c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau


(56)

d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana”

Bank Indonesia dalam peraturan ini membuat 6 (enam) katagori terhadap transaksi yang bersifat mencurigakan (suspicious transaction) sebagaimana bisa digunakan dalam praktik money laundering, kategori itu adalah :63

1. Transaksi dengan menggunakan pola tunai berupa antara lain penyetoran dalam jumlah besar yang tidak lazim, penyetoran tanpa penjelasan yang memadai, penyetoran dengan beberapa slip serta penyetoran dalam jumlah besar melalui rekening titipan setelah jam kerja kas;

2. Transaksi dengan menggunakan rekening bank. Termasuk dalam katagori ini antara lain pemeliharaan beberapa rekening bank atas nama pihak lain;

3. Transaksi yang berkaitan dengan insvestasi. Transaksi dengan jenis ini biasanya terkait dengan pembelian surat berharga untuk disimpan di bank sebagai kustodian;

4. Transaksi melalui aktivitas bank luar negeri yang diantaranya melalui penghimpunan saldo dalam jumlah besar yang tidak sesuai dengan karateristik perputaran usaha, serta transfer elektronis tanpa penjelasan yang memadai; 5. Transaksi yang melibatkan karyawan bank atau agen dengan melihat

terjadinya peningkatan karyawan-karyawan dalam bank. Kecuali itu, hubungan transaksi melalui agen yang tidak dilengkapi dengan informasi yang memadai;

63


(57)

6. Transaksi pinjam-meminjam yaitu terjadinya pelunasan pinjaman secara tidak terduga, serta permintaan pembiyaan yang porsi dana nasabahnya tidak jelas asal-usulnya;

Laporan transaksi keuangan yang mencurigakan dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah diketahui oleh Penyedia Jasa Keuangan. Sementara laporan transaksi keuangan secara tunai dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak transaksi dilakukan.64

Selanjutnya Pasal 28 UU No.8 Tahun 2010 menyatakan :

“Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Pihak Pelapor dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang berlaku bagi Pihak Pelapor yang bersangkutan.”

Pengecualian dari ketentuan rahasia bank, petugas bank untuk membuat dan menyampaikan laporan keuangan nasabah, merupakan suatu hal yang sangat penting dalam pelaksanaan dari ketentuan pengecualian ini petugas bank akan dikenakan sanski yang serius karena melanggar rahasia bank. Kalau tidak ketentuan pelanggran terhadap rahasia bank, upaya pemberantasan pencucian uang tidak mungkin bisa optimal. Bahkan dikatakan bahwa ketentuan rahasia bank yang ketat dari suatu negara sebagai faktor utama yang mendorong praktik pencucian uang.65

Kemudian Pasal 29 UU No. 8 Tahun 2010 menyatakan :

“Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak Pelapor, pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, atas pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang ini.”

64

Ibid , hal 67. 65

Mark Irvine. R and Daniel R. King, The Money Laundering Control Act 1986 : Tainted


(1)

Adapun saran-saran yang dapat diberikan oleh Penulis adalah sebagai berikut :

1. Agar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dirubah dengan menghapuskan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UTPPU yang secara limitatif memberikan batasan hanya pada 25 jenis tindak pidana juga tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dikatagorikan sebagai bentuk Tindak Pidana Pencucian Uang dan mempertegas pengertian yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” adalah cukup dengan 1 (alat) bukti sah, serta pembuktian dalam Pasal 77 UU No 8 Tahun 2010 yang diterapkan juga dalam tahap penyidikan selain dalam pemeriksaan di persidangan sehingga filosofi pembuatan Undang-udang Tindak Pidana Pencucian Uang tercapai. Atau alternatif kedua, Pasal 2 ayat (1) harus diubah dengan melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dalam politik hukum Indonesia terhadap Pasal 2 ayat (1) dengan tindak pidana asal

(predicate crime) dibawah 4 (empat) tahun yang menghasilkan harta kekayaan

yaitu dengan menaikkan ancaman hukumannya menjadi lebih dari 4 (empat) tahun atau menambah tindak pidana asal (predicate crime) pada Pasal 2 ayat (1).

2. Diberikannya suatu pendidikan dan pelatihan kepada para penegak hukum dengan pengetahuan yang komperhensif dalam menghadapi Tindak Pidana Pencucian Uang yang tindak pidana asalnya (predicate offence) adalah


(2)

diperlukan bagi para penegak hukum tetapi juga ilmu perbankan atau akuntansi, yang dalam prakteknya sangat diperlukan koordinasi antara aparat penegak hukum dengan para ahlinya guna diminta keterangan sebagai ahli sehingga profesionalitas penegak hukum memadai.

3. Agar ditingkatkan hubungan antara penegak hukum, khususnya Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim melalui lembaga Criminal Justice System

Intergrated untuk mengatasi kekosongan hukum dan perbedaan penafsiran

dalam sistem pembuktian sehingga pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dapat berjalan dengan baik dan ruang gerak pelaku kejahatan dapat dibatasi tanpa harus menunggu adanya perubahan Undang – Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Amin, S.M, 2002 Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradya Paramitha, Jakarta Amzah, Andi, 1983 Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Grafika

Indonesia, Jakarta

Chazawi, Adami, 2002 Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Hamdan, M, 2005 Tindak Pidana Suap dan Money Politics, Pustaka Bangsa Pers, Medan

Harahap, Yahya, 2000 Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta

Hartanti, Evi, 2005 Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta

Hamzah, Andi, 1985 Korupsi dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan, Edisi 1, Akademik Pressindo, Jakarta

Loqman, Loebby, 1990, Kekuasaan Kehakiman Ditinjau dari Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Mertokusumo, Sudikno, 1999 Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta

Moeljatno, 1993 Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984 Teori-Teori Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung

Nasution, Bismar, 2005 Rezim Pencucian Anti Money Laundering Di Indonesia, Bandung

Nawawi, Barda, 2003 Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung


(4)

Prodjodikoro, Wirjono, 1976, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Sumur Badung, Jakarta

Prodjodikoro, Wirjono, 2003 Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung

Reny Sjahdeini, Sutan, 2004 Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan

Pembiayaan Terorisme. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta

Sadli, Sapirah, 1996, Persepsi Sosial Mengenai Perlakuan Menyimpang. Bulan Bintang, Jakarta

Saleh, Ruslan, 1968 Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua

Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Centra, Jakarta

Saleh, Roeslan, 1983 Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta

Saleh, Ruslan, 1998 Dari Lembaran Kepustkaan Hukum Pidana, Sinar Grafitia, Jakarta

Siahaan, N.H.T , 2002 Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

Soedarto, R, 1981 Hukuman dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung Subekti, R, 2005 Hukum Pembuktian. PT. Pradnya Paramita, Jakarta Sutedi, Adrian 2008 Tindak Pidana Pencucian Uang, Citra Aditya Bakti,

Bandung

Taufik Makarao, Mohammad, Suhasril, 2004 Hukum Acara Pidana dalam Teori

dan Preaktek, Ghalia Indonesia, Jakarta

Wasito, S. Wijowasito-Tito, 1980 Kamus Lengkap Inggris-Indonesia & Indonesia

Inggris Dengan Ejaan Yang Disempurnakan, C.V Hasta, Malang

B. Undang-undang

Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan


(5)

Peraturan Bank Indonesia No.3/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) tangal 18 Juni 2001

Keputusan Kepala Pusat Pelaporan Transaksi Keuangan Nomor: 21/KEP.PPATK/2003

C. Jurnal

Alford, Money Laundering. N.C.J Int’l & Com Reg. Vol 19, 1994 Chaikin Money Laundering. Crm. L.R Vol 2 No.3. 1991

Didik Miroharjo, Peran Polri Sebagai Penyidik Dalam Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang , Tesis untuk memperoleh gelar Magister

Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Jumat 7 Juli 2006.

Fletcher N Baldwin Jr, Money Laundering And Wire Transfer : When The New

RegulationTake Affect. Will They Help? DICK. J. Int’l, Vol 14, 1996

Hariyiadi Ramelan dan Delfiano Ras, Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan. Vol 1 No.4, Maret 1999

John Braithwaite, Following The Money Trail To What Desnatioan? An

Introdiction To The Symposium. Ala. L. Rev Vol 44, 1993

John J. Byrne, The Bank Secrecy Act, Do Reporting Requirments Really Assist

The Government?. Ala L. Rev, Vol 44, 1993

Mark Irvine. R and Daniel R. King, The Money Laundering Control Act 1986 :

Tainted Money And The Criminal Lawyers . Pacific Law Journal. Vol 19,

1987

Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia. Makalah Dalam Rangka Hari Ulang Tuhan Fakultas Hukum UNDIP, 11 Januari 1998

Nawawi, Barda, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Badan Penyedia Bahan Kuliah, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1999

Rajeev Savena, Cyber Laundering : The Next Step For Money Launders St.Thomas L. Rev. Vol 10: 1998


(6)

Sarah N Welling, Smurf. Money Laundering And The U.S Fed. Criminal Law : The Crime Of Structuring Transactions. Flo. L. Rev. Vol 41 1989

Sutanto, Peran Polri Untuk Peningkatan Efektifitas Penerapan UU TPPU. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Keynote address pada Pelatihan Anti Tindak Pidana Pencucian Uang, Medan, tanggal 15 September 2005,

Wolfgang H Reinicke, Global Public Policy : Governing Without Government. Brookings Institution Pess : 1998

D. Internet