Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Menuntut Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

(1)

DAFTAR PUSTAKA Buku:

Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,

Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, Graha Ilmu, Yokyakarta, 2010

Ian McWalters, SC. Memerangi Korupsi Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia, 2006

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1992

Djoko Prakoso, Peranan Pengawasan dalam Penangkalan Tindak Pidana Korupsi, Aksara Persada Indonesia, Semarang

Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, Bandung, 2004

Budiman Ginting, Syafruddin Kalo, dan Aflah, Hukum Antikorupsi, Jakarta, Hal. 182-183

Mahrus Ali, Asas-asas dan Praktek Hukum PidanaKorupsi, UII Press, Yokyakarta

Evi Hertanti, Tindak Pidana Korupsi: Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 Sarwedi Oemarmadi dkk, Tool Kit Anti Korupsi, Lima Belas Langkah Pengadaan barang dan Jasa Pemerintah Indonesia Procurement, Watch-Hivos, 2005

Erman Rajagukguk, Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) Peraturan Perundang-undangan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga studi Hukum dan Ekonomi, Jakarta, 2004

Bismar Nasution, Rejim Anti Money Laundering di Indonesia, Books Terrace & Library, Pusat Informasi hukum Indonesia, Jakarta

Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Pustaka Juanda Tiga Lima, Jakarta, Cetakan ke-1, 2008

Muhammad Yusuf dkk, Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program (NLRP), Jakarta, 2010

Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag 1, Grafindo, Jakarta, 2002 Bambang Poernomo, Asas-asas hukum Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia


(2)

Sultan Zanti Arbi dan Wayan Ardana, Rencana Penelitian dan Kebijakan Sosial,

CV. Rajawali, Jakarta, 1997

Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1994 Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT citra Aditya Bakti, 2002

Wahyudin Husein dan H. Hufron, Hukum Politik dan Kepentingan, LaksBang PRESSindo Yokyakarta, Surabaya, 2008

Muh. Zainal Arif, “Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Merugikan Negara” Desertasi, Makassar, 2013

IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi” Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum,Pustaka Pelajar, yokyakarta, 2010 Ermansjah Djaja, Topologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,CV. Mandar maju, Balikpapan 2010

Siahaan N.H.T, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2007

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 2001

Hari Sasangka dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana,

Mandar Maju, Bandung, 2003

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Edisi II, cetakan I, Jakarta, 2008

Moeljatno, Hukum Acara Pidana, Yokyakarta

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1998

Adib Bahari dan Khotibul Umam, Komisi Pemberantasan Korupsi dari A sampai Z, Pustaka Yustisia, Yokyakarta, 2009

Philips Darwin, Money Laundering (Cara Memahami Dengan Tepat dan Benar Soal Pencucian Uang), Sinar Ilmu, Jakarta, 2012


(3)

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2005

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (pemeriksaan sidang pengadilan, banding, kasasi dan peninjauan kembali), Jakarta, 2000

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit P.T Alumni, Bandung, 2008

M. Akil Mochtar, Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi , 2009

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T Alumni, Bandung, 2007

Andrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008

Sunarmi dkk, dalam jurnal, Tinjauan Yuridis Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, 2011

Harun Husein, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991

Ansori Sabuan dkk, Hukum Acara Pidana, Penerbit Angkasa, Bandung, 1990 Suharto RM, Penuntutan dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika, Jakarta, 1997 A. Soetomo, Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan dan Suplemen, Pradya Paramita, Jakarta, 1989

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 H.M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2004

Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian 2: penafsiran hukum pidana, dasar peniadaan, pemberatan & peringanan, kajahatan aduan, perbarengan dan ajaran kausalitas, 2009

Andi Zainal Abidin Farid & Andi Hamzah, Bentuk Khusus Perwujudan Delik dan HukumPenitensier , 2006

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Kukum Pidana , Politea; Bogor Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik hukum pidana, 2005


(4)

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, 2003

Ivan Yustiavandana Et.All., Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal, Cetakan I, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010

Marwan Efendi, Korupsi dan Pencegahan, Timpani, Jakarta Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000

E. Sumaryono, Etika Hukum (Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas),

Kanisius, Yogyakarta, 2000

Joko Sumaryanto, Pembalikan Beban Pembuktian Korupsi (BagianI), Artikel, 15 Januari, 2009, Dimuat dalam Media online GagasanHukum.WordPress.Com Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta

Jurnal, Majalah, MakalahHukum:

Suparapto, Money Laundering, Warta BRI

Harry Murti, dalam jurnal ilmiah, Beban Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Juridis Sosiologis, 2011

Sarah N. Welling, Smurfs, Money Laundering, and the United States Criminal Federal Law, yang dimuat dalam Brent Fisse, David Fraser & Graeme Coss

Jeane Neltje Saly, Pengembalian Asset Negara Hasil Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif United Convention Againts Corruption 2002 (UNTAC), Artikel, Legislasi Indonesia, Vol. 7. No. 4 Desember 2010.

YunusHusein, LLM makalah Tindak Pidana Pencucian Uang,disampaikan dalam seminar tentang Money Laundering kerjasama antara KPK dan Kehakiman Australia di Semarang dari tanggal 20 Mei 2014 s.d tanggal 22 Mei 2014

Majalah Mahkamah Agung Nomor 5 edisi September Tahun 2014

Putusan:

Mahkamah Konstitusi RI, Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 Tentang PengujianUndang-undang Nomor 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. hlm. 290

Keputusan Kepala PPATK No. 2/1/KEP.PPATK/2003 Pedoman I: Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi PJK, PPATK, Jakarta, 2003


(5)

PeraturanPerundang-Undangan:

Undang-UndangNomor 31 Tahun 1991 jo Undang-Undang Nomor 30 Tahun 22001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-UndangNomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahandan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-UndangNomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-UndangNomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Situs Internet:

M. Jasin, PERC: Indonesia Negara Terkorup di Asia-Pasific, dapat dilihat dalam:

http://metrotvnews.com/read/news/2011/08/11/60962/PERC-indonesia-negara-terkorup-di-asia-pasific, akses pada tanggal 10 Desember 2015

Yenti Garnasih, Korupsi Pasti Diikuti Pencucian Uang, dapat dilihat dalam: http://www.suaramerdeka.com/vl/index.php/read/cetak/2012/03/05/17925

9/Korupsi-pasti-diikuti-pencucian-uang, diakses pada tanggal 10 Januari 2016.

Razif Novwan Putranto & Law Firm Penerapan Azas Pembuktian Terbalik dalam Perkara Korupsi, http://www.rnplawfirm.com/?p=publication&id=8&title=azaz-pembuktian, diakses pada tanggal 2 Mei 2016


(6)

BAB III

LEGALITAS KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN TERHADAP TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG

A. Penuntutan dalam Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

1. Tugas dan wewenang Penuntut Umum

Di dalam pasal 13 KUHAP dinyatakan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang diberi kewenangan untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Dari perumusan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penuntut umum adalah Jaksa, tetapi sebaliknya Jaksa belum tentu penuntut umum. Atau dengan kata lain tidak semua jaksa adalah penuntut umum, tetapi semua penuntut umum adalah Jaksa. Karena menurut ketentuan tersebut hanya jaksalah yang dapat bertindak sebagai penuntut umum. Seorang jaksa baru memperoleh kapasitasnya sebagai penuntut umum apabila menangani tugas penuntutan.90

Menurut Pasal 14 KUHAP penuntut umum mempunyai wewenang:

1. Menerima dan memeriksa berkas penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;

2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

4. Membuat surat dakwaan;

90

Harun Husein, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal 223


(7)

5. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk dastang pada sidang yang telah ditentukan;

7. Melakukan penuntutan;

8. Menutup perkara demi kepentingan umum;

9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan perundang-undangan ini; 10.Melaksanakan penetapan hakim.

Di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa, yang dimaksud dengan “tindakan lain” ialah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum, dan pengadilan.91

Setelah penuntut umum menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak diadakan penuntutan.92

Tujuan penuntutan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menempatkan ketentuan hukum acara pidanasecara jujur dan tepat dengan tuuan untuk mencari siapakah pelaku yang didakwakan melakukan tindak pidana, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah orang yang didakwakan itu dapat dinyatakan salah, di samping hukum acara

91

Ansori Sabuan dkk, Hukum Acara Pidana, Penerbit Angkasa, Bandung, 1990, hal 121

92


(8)

pidana khususnya dalam penuntutan juga bertujuan melindungi hak asasi tiap individu baik yang menjadi korban maupun si pelanggar hukum.93

Dalam pasal 139 KUHAP mengatur setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkao dari penyidik maka ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan yuridis untuk dapat atau tidaknya didilpahkan ke pengadilan.

Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, penuntut umum dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal 140 ayat (1) KUHAP.

2. Surat Dakwaan

Surat dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan.94

Pasal 140 ayat (1) KUHAP berbunyi: dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.

Dalam Pasal 143 ayat 1 juga disebutkan penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.

93

Suharto RM, Penuntutan dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika, Jakarta, 1997, hal 19

94


(9)

`Soetomo95 memberikan batasan surat dakwaan sebagai surat yang dibuat atau disiapkan oleh penuntut umum yang dilampirkan pada waktu melimpahkan melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan, dan dimana perbuatan pidana dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan tersebut yang didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu dari undang-undang yang tertentu pula yang nantinya merupakan dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan untuk membuktikan apakah benar perbuatan yang didakwakan itu betul dilakukan dan apakah betul terdakwa adalah pelakunya yang dapat dipertanggungjawabkan untuk perbuatan tersebut.

Syarat sahnya surat dakwaan diatur dalam Pasal 143 ayat (2), dimana penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:

a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka;

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan;

95

A. Soetomo, Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan dan Suplemen, Pradya Paramita, Jakarta, 1989, hal.4


(10)

Syarat yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a disebut dengan syarat formil dan ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b disebut dengan syarat materil.96

Ayat (3) juga menyebutkan surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.

Penuntut Umum dapat melakukan perubahan atas surat dakwaan apabila ia merasa ada kesalahan baik syarat formal atau material dalam surat dakwaan.97 Hal ini diatur dalam pasal 144 KUHAP yang berbunyi:

(1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya;

(2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai;

(3) Dalamhal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik. Hanya penuntut umum saja yang berwenang mengubah surat dakwaan adalah mutlak dan hakim tidak diperkenankan mengubah surat dakwaan.98

Bentuk-bentuk surat dakwaan dibagi dalam beberapa bentuk, secara teoritis ada 3 (tiga) macam bentuk dari surat dakwaan yaitu bentuk tunggal, alternatif, dan bentuk kumulatif. Sedangkan dalam praktek peradilan selain dikenal ketiga macam bentuk surat dakwaan tersebut dikenal pula satu macam bentuk yaitu bentuk subsidairitas (bersusun lapis).99

96

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.41-43

97

Ibid, hal 51

98

Ibid, hal.52

99


(11)

a. Dakwaan Tunggal/Biasa

Dalam surat dakwaan tunggal terhadap terdakwa hanya didakwakan satu tindak pidana, misalnya hanya tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHP), atau hanya tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP).100 Umumnya apabila Penuntut Umum mendakwa seseorang dengan dakwaan tunggal, dalam diri penuntut umum telah yakin bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang didakwakan atau setidak-tidaknya terdakwa tidak lepas dari jerat tindak pidana yang didakwakan. Apabila terdakwa didakwa dengan dakwaan tunggal, sebenarnya hal ini mengandung resiko besar, karena apabila dakwaan tersebut gagal dibuktikan Penuntut Umum di persidangan, terdakwa jelas akan dibebaskan (vrijspraak) oleh Majelis Hakim.101

b. Dakwaan Alternatif

Dalam praktek peradilan, sering dakwaan alternatif disebut dengan istilah dakwaan saling “mengecualikan” atau dakwaan ”relative”, atau berupa istilah dakwaan “pilihan” (keuze tenlastelegging). Pada dakwaan alternatid maka hakim dapat langsung memilih atau menentukan dakwaan mana yang sekiranya cocok serta sesuai dengan hasil pembuktian di peridangan.102

Menurut Van Bemmelen, dakwaan alternatif dibuat oleh karena:103

1) Penuntut umum tidak mengetahui secara pasti perbuatan mana dari ketentuan hukum pidana sesuai dakwaan nantinya akan terbukti di

100

H.M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2004, hal.223

101

Lilik Mulyadi, Op.cit, hal.56

102

Ibid, hal.57

103


(12)

persidangan (misalnya suatu perbuatan apakah merupakan penadahan atau mengangkut kayu tanpa dokumen yang sah)

2) Penuntut umum ragu terhadap peraturan hukum pidana mana akan diterapkan hakim atas perbuatan yang menurut pertimbangan telah nyata terbukti.

c. Dakwaan Kumulatif

Surat dakwaan kumulasi biasa juga disebut dakwaan yang berbentuk pilihan, yakni surat dakwaan yang disusun berupa rangkaian dari beberapa dakwaan atau pelanggaran dari beberapa dakwaan sekaligus.104 Hal ini didasarkan atas pasal 141 KUHAP yang berbunyi: penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:

(a) Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;

(b) Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain; (c) Beberapa tindak pidana yang bersangkt paut satu dengan yang lain,

akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

Apa yang dimaksud dengan kata “penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan” tidak disebut, dan penjelasan pasal tersebut mengatakan cukup jelas. Yang dijelaskan ialah kata “bersangkut-paut”:

104

Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hal.74


(13)

a) Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;

b) Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya;

c) Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan dipergunakan untuk melakukan delik lain atau menghindarkan diri dari pemindahan karena delik lain.105

d. Dakwaan Subsidairitas (bersusun lapis)

Ciri utama dari dakwaan ini adalah disusun secara berlapis-lapis, yaitu dimulai dari dakwaan terberat sampai yang ringan, berupa susunan secara primer, subsider, lebih-lebih subsider, dan seterusnya atau dapat juga disusun dengann istilah terutama, penggantinya, penggantinya lagi, dan seterusnya.106

Pada hakikatnya dakwaan subsidairitas hampir sama dengan jenis dakwaan alternatif, akan tetapi perbedaannya kalau dalam dakwaan alternatif hakim dapat langsung memilih dakwaan yang sekiranya cocok dengan pembuktian di persidangan, sedangkan pada dakwaan subsidairitas hakim terlebih dahulu mempertmbangkan dakwaan terberat dahulu (misalnya primer), apabila dakwaan primer tidak terbukti kemudian hakim mempertimbangkan dakwaan berikutnya ( subsider) dan seterusnya, dan sebaliknya apabila dakwaan primer

105

Darwin Prist, Loc.cit

106


(14)

telah terbukti maka dakwaan selebihnya (subsider dan seterusnya) tidak perlu dibuktikan lagi.107

3. Kewenangan menuntut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam hal penuntutan diatur dalam BAB IV Pasal 38 s/d Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dimana dalam bab itu terdapat pengaturan mengenai Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan.

Dalam Pasal 38 ayat (1) disebutkan “segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi Penyelidik, Penyidik, dan Penuntut Umum pada Komis Pemberantasan Korupsi”.

Dalam Pasal 39 ayat (1) disebutkan bahwa “Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang Nomor 20 Tahun 2001, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”. Ayat (2) disebutkan juga bahwa “Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi”. Dan Ayat (3) “Penyelidik, Penyidik, dan penuntut Umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi”.

107


(15)

Berdasarkan Pasal 40 disebutkan “Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi”.

Dalam Pasal 51 ayat (1) disebutkan bahwa “penuntut adalah penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”. Ayat (2) disebutkan bahwa “penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi”. Dan ayat (3) dikatakan bahwa “ Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jaksa Penuntu Umum”.

Dalam Pasal 52 ayat (1) disebutkan “Penuntut Umum setelah meneriman berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut ke Pengadilan Negeri”. Dan ayat (2) menyebutkan “ dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa dan diputus”.

B. Concursus Realis dalam hubungan Tindak Pidana Korupsi sebagai tindak Pidana awal dari Tindak Pidana Pencucian Uang

1. Pengertian Penggabungan Tindak Pidana (Concursus atau samenloop) Concursus atau beberapa pakar hukum dalam bahasa indonesia lebih senang menyebutnya perbarengan tindak pidana, yang dimaksud dengan perbarengan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara


(16)

tindak pidana awal dan tindak pidana berikutnya tidak dibatasi dengan suatu putusan hakim.108

Terdapat bermacam-macam pandangan mengenai gabungan delik atau concursus ini. Ada yang mengupasnya sebagai bagian tersendiri, ada pula yang memandangnya hanya sebagai hal penentuan pidana yang akan dijatuhkan. Van hammel menguraikan gabungan delik sebagai bagian hukum pidana tersendiri. Van Hattum juga membahas gabungan delik sebagai satu lembaga hukum pidana sendiri dengan alasan lain, yaitu berkaitan dengan masalah nebis in idem dan ajaran rumusan delik (delictsomschrijvingen).109

Concursus atau juga dapat dikatakan samenloop dikenal dalam buku I KUHP tentang ketentuan umum. menarik untuk dibahas dalam tinjauan pustaka dalam pembahasan tentang money laundring (tindak pidana Khusus) ini adalah menurut Pasal terakhir dari Buku I yakni Pasal 103 mengatakan bahwa ketentuan dari delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan perundangundangan lain, kecuali apabila ada undang-undang (wet) tindakan umum pemerintah algemene maatgelen van bestuur atau ordonansi menentukan peraturan lain.110

Hal ini berarti semua ketentuan dari bab 1 sampai bab 8 buku I KUHP masih berlaku kepada semua peraturan perundangundangan yang ada di Indonesia kecuali undang-undang baru menentukan sendiri ketentuan barunya, tentu jika hal

108

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian 2: penafsiran hukum pidana, dasar peniadaan, pemberatan & peringanan, kajahatan aduan, perbarengan dan ajaran kausalitas, 2009, Hal 109.

109

Andi Zainal Abidin Farid & Andi Hamzah, Bentuk Khusus Perwujudan Delik dan Hukum Penitensier , 2006. hal 239-240.

110


(17)

ini terjadi maka asas yang dipergunakan adalah asas lex spesialis derogate lege generali atau paling tidak asas lex superior derogate lege Inferiori. Hal yang berbeda adalah tidak diaturnya ketentuan tentang concursus samenloop dalam bab manapun dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Concursus yang dalam bahasa belanda disebut samenloop van strafbaar feit atau dalam hukum pidana berarti tindak pidana berlanjut memiliki rumusan dalam bab VI buku I KUHP Pasal 63 ayat (1) yang berbunyi “jika suatu perbuatan termasuk dalam beberapa tindak pidana, maka hanyalah dikenakan satu saja dari ketentuan itu, jika berlainan, maka yang dikenakan adalah ketentuan yang terkait dengan hukuman pokoknya”.

Di dalam ilmu hukum pidana dikenal 3 bentuk Concursus yang juga disebut ajaran hukum pidana sebagai berikut yakni: 111 Concursus idealis (eendaadsche samenloop); Perbuatan lanjutan (voortgezette handeling); Concursus realis (meerdaadsche samnloop).

a. Concorsus idealis (eendaadsche samenloop)

Ilmu hukum pidana mengatakan bahwa concursus idealis yang jika diindonesiakan maka berarti gabungan satu perbuatan, Hal ini oleh Adami Chazawi mengatakan bahwa concursus sesungguhnya hanya ada satu perbuatan yang dilakukan hanya saja perbuatan tersebut melanggar beberapa ketentuan pidana.112

111

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik hukum pidana, 2005, hal 32

112


(18)

Concursus idealis dalam pembahasan diatas menjelaskan tentang bunyi Pasal 63 KUHP. Hazelwinkel Suringa menjelaskan “perbuatan” (feit) yang dimuat dalam Pasal 63 KUHP sebagai berikut:

“Perbuatan yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang berguna menurut hukum pidana, yang karena cara melakukannya, atau karena tempatnya, atau karena orang yang melakuannya, atau karena objek yang ditujunya, juga merusak kepentingan hukum, yang telah dilindungi oleh undang-undang lain”113

Sampai pada tahun 1932, feit diartikan sebagai perbuatan atau tindakan materiil. Hal ini dapat diketahui dari arrest hoge raad, masing-masing tanggal 15 Oktober 1917, N.J. 1917 dan tanggal 26 Mei 1930 N.J. 1930 antara lain berbunyi sebagai berikut:

“Feit adalah suatu tindakan dalam arti materiil. Perbuatan bersepeda disebuah jalan yang terlarang dan tanpa memakai sebuah bel itu merupakan satu tindakan. Demikian halnya perbuatan bersepeda ke arah yang terlarang dan tanpa memakai tanda pembayaran pajak sepeda” 114

b. Perbuatan lanjutan (voortgezette handeling)

Perbuatan berlanjut atau voortgezette handeling yang Utrech menyebutnya perbuatan terus-menerus dan R. Soesilo menyebutnya perbuatan yang diteruskan. Apapun sebutannya oleh para pakar kita harus tetap melihat Pasal 64 yang rumusannya sebagai berikut:

“Jika beberapa perbuatan berhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang diteruskan, maka hanya satu ketentuan pidana saja yang digunakan walaupun masing-masing perbuatan itu menjadi kejahatan atau pelanggaran, dan jika hukumannya berlaianan,

113

Leden Marpaung, Op.cit, hal 53.

114


(19)

maka yang digunakan ialah peraturan yang terberat hukuman utamanya” 115

Sampai dimana eratnya hubungan antara beberapa perbuatan ini tidak ada penjelasan resmi. Bahkan, penjelasan memorie van toelichting dari Belanda mengatakan bahwa ini merupakan soal faktual yang penetuannya diserahkan pada kebijaksanaan pada pelaksana undang-undang.116

Adapun istilah yang dipergunakan mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut pada rumusan ayat pertama, pada dasarnya adalah “beberapa perbuatan baik berupa pelanggaran maupun kejahatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang diteruskan”. Dari rumusan Pasal tersebut dapat ditarik unsur dari perbuatan berlanjut adalah:117

1) Adanya beberapa perbuatan, meskipun berupa: a) Pelanggaran, atau

b) Kejahatan

2) Antara perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai sebuah perbuatan berlanjut.

Di dalam penjelasan Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2) tersebut R. Soesilo memberi pengertian bahwa beberapa perbuatan yang satu sama lain ada

115

R. Soeslio, Loc.Cit

116

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, 2003, hal 147

117


(20)

hubungannya supaya dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan yang diteruskan menurut pengetahuan harus memenuhi syarat:

1) Harus timbul dari satu niat, atau kehendak atau keputusan, misalnya seseorang tukang berniat mempunyai (mencuri) radio, tetapi tidak ada kesepakatan untuk mencuri satu pesawat radio yang komplit. Ia hanya berkesempatan hari ini mencuri beberapa lampu radio dari gudang majikannya, lain hari mencuri pengeras suara beberapa lampu radio gudang kawat, lain hari mencuri pengeras suara lain minggu lagi mencuri kawat dan seterusnya.

2) Perbuatan-perbuatannya itu harus sama macamnya, misalnyapencurian dengan pencurian, penggelapan dengan penggelapan dari yang terberat sampai yang teringan dan seterusnya.

3) Waktu antaranya tidak boleh terlalu lama. Penyelesaian mungkin makan tempo sampai tahunan, akan tetapi perbuatan berulang-ulang untuk menyelesaikan tidak boleh terlalu lama.

c. Concursus realis (meerdaadsche samenloop)

Concursus Realis dalam bahasa Belanda disebut meerdaadsche samenloop, diatur dalam Pasal 65 dan 66 KUHP masing masing terdapat dalam ayat (1) dan berbunyi “beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan”. Pengertian perbuatan dalam rumusan Pasal ini adalah perbuatan yang telah memenuhi seluruh syarat dari suatu tindak pidana tertentu dan dirumuskan dalam undang-undang. Perbedaan antara realis dan idealis adalah idealis adalah satu


(21)

perbuatan tetapi melanggar beberapa aturan hukum sedangkan realis adalah beberapa perbuatan yang berdiri sendiri dan masingmasing melanggar aturan juga sendiri-sendiri. Berbicara tentang concursus maka tidak akan jauh dari sistem panjatuhan pidana yang diberikan terhadap pelaku kejahatan yang masuk dalam ketegori concursus.

2. Penerapan sanksi Pidana korupsi yang berbarengan dengan tindak pidana Pencucian Uang (concursus realis)

Seperti dikemukan diatas, bahwa menurut doktrin hukum pidana dan KUHP , terdapat perkara tindak pidana concursus realis (meerdaadsche samenloop), dimana penerapan saksinya memakai sistem absorbsi yang dipertajam. Tindak Pidana Korupsi sebagai salah satu predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang sehingga dapat dikategorikan sebagai penggabungan tindak pidana. Dijelaskan juga menurut Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip oleh Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, dan Adiwarman,

predicate crime atau predicate offence adalah delik-delik yang menghasilkan

criminal proceeds atau hasil kejahatan yang kemudian dicuci.118

Upaya mengefektifkan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menggabungkannya dengan tindak pidana pencucian uang, tampaknya menjadi semakin strategis ke depan. Hal ini, dikarenakan upaya untuk menyembunyikan uang hasil korupsi semakin kompleks, namun dapat diantisipasi oleh Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.

118

Ivan Yustiavandana Et.All., Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal, Cetakan I, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 54.


(22)

. Pencucian uang merupakan sarana bagi pelaku kejahatan korupsi untuk melegalkan uang hasil kejahatannya dengan cara menyembunyikan ataupun menghilangkan asal-usul uang yang diperoleh dari hasil kejahatan melalui mekanisme lalulintas keuangan.119

Korupsi sebagai tindak pidana asal Tindak Pidana Pencucian Uang seperti yang sudah dijelaskan diatas menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, hal ini merupakan concursus realis (perbarengan perbuatan) yang diatur dalam Pasal 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71 KUHP, dimana Korupsi dan Pencucian Uang merupakan dua tindak pidana yang berdiri sendiri. Sebagai konsekuensi dari adanya tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang, maka pemrosesan terhadap kedua tindak pidana itu dilaksanakan secara bersamaan/digabung. Hal ini dalam istilah hukumnya disebut dengan istilah

concursus realis pada saat mana penghukuman terjadi apabila seseorang sekaligus merealisasikan beberapa perbuatan.120

Penanganan perkara tidak pidana pencucian uang mempunyai arti penting bagi pengembalian aset negara terkait dengan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Money Laindering hanya diperlukan dalam hal uang yang tersangkut jumlahnya besar, karena bila jumlahnya kecil uang itu dapat terserap ke dalam peredaran secara tidak kentara. Uang kotor itu harus dikonversikan menjadi uang

119

Marwan Efendi, Korupsi dan Pencegahan, Timpani, Jakarta, 2010, hal. 71

120


(23)

sah sebelum uang tersebut dapat diinvestasikan atau dibelanjakan, yaitu denga cara yang disebut pencucian uang (money laundering).121

Sebagaimana diketahui, pola tindak pidana pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam tiga pola kegiatan, yakni : placement, layering dan

integration.122

a. Placement

Merupakan upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial sistem) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan. Dalam proses penempatan uang tunai kedalam sistem keuangan ini, terdapat pergerakan fisik uang tunai baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, penggebungan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, atau cara-cara lain seperti pembukaan deposito, pembelian saham-saham atau juga mengkonversikannya ke dalam mata uang negara lain.123

Bentuk kegiatan dari placment antara lain:124

121

Sarah N. Welling, Smurfs, Money Laundering, and the United States Criminal Federal Law, yang dimuat dalam Brent Fisse, David Fraser & Graeme Coss, hal. 201

122

Keputusan Kepala PPATK No. 2/1/KEP.PPATK/2003 Pedoman I: Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi PJK, PPATK, Jakarta, 2003

123

Bismar Nasution, Op.cit, hal. 19

124

Keputusan Kepala PPATK No. 2/1/KEP.PPATK/2003 Pedoman I: Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi PJK, PPATK, Jakarta, 2003


(24)

1) Menempatkan dana pada bank, kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan pengejuan kredit/pembiayaan;

2) Menyetorkan uang kepada penyedia jasa keuangan sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail;

3) Menyeludupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain;

4) Membiayai suatu usaha yang seolah-olah atau terkait dengan usaha yang sah berupa kredit/pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi kredit/pembiayaan;

5) Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mehal sebagai penghargaan/hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui penyedia jasa keuangan.

b. Layering

Pekerjaan pencucian uang belum berakhir dengan placement, jumlah uang haram yang sangat besar, yang ditempatkan di suatu bank tetapi tidak dapat dijelaskan asal-usulnya, akan menarik perhatina otoritas moneter negara yang bersangkutan, yang pada gilirannya akan menarik pula perhatian para penegak hukum. Layering adalah upaya memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana tersebut.125

125


(25)

Bentuk kegiatan dari Layering antara lain:126

1) Transfer dana dari suatu bank ke bank lain dan atau antar wilayan negara;

2) Penggunaan simpanan tunai sebagaiagunan untuk mendukung transaksi yang sah;

3) Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell compaby (perusahaan gadungan).

Teknik lain dari layering adalah memberi (saham atau obligasi), kendaraan dan pesawat terbang atas nama orang lain. Kasino sering juga digunakan karena kasino menerima uang tunai. Sekali uang tunai tersebut dikonversikan ke dalam

chips dari kasino tersebut, maka dana yang telah dibelikan chips tersebut dapat diterik kembali dengan menukarkan chips tadi dengan cek yang dikeluarkan oleh kasino tersebut.127

c. Integration

Merupakan suatu upaya menggunakan harta yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui placement

dan layering sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang halal. Poses ini merupakan upaya untuk mengembalikan uang yang telah dikaburkan jejaknya sehingga pemilik semula dapat menggunakan dengan aman. Disini uang yang dicuci melalui placement dan layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi

126

Keputusan Kepala PPATK No. 2/1/KEP.PPATK/2003 Pedoman I: Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi PJK, PPATK, Jakarta, 2003

127


(26)

sehingga tampak seperti tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan yang menjadi sumber dari uang tersebut.128

Bentuk kegiatan dari integration antara lain:129

1) Mengggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan materialmaupun keuangan;

2) Dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah; ataupun 3) Untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.

Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Jeffrey Robinson, tahap placement adalah tahap yang paling rentan (vulnerable) bagi pencuci uang karena apabila pencuci uang tidak dapat memasukkan uang haram tersebut ke dalam proses pencucian, maka ia tidak akan dapat mencuci uang haram tersebut. Namun, sekali uang haram itu berhasil dikonversikan ke dalam ke dalam nomor-nomor atau rekening bank yang muncul di suatu layar komputer dan nomor-nomor tersebut berhasil dipindahkan mondar-mandir melintas dunia, maka hal itu seperti halnya riak air sebagaimana digambarkan di atas lenyap dan batu tersebut terkubur di dalam lumpur di dasar kolam.130

Hubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal (predicate crime) sudah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang

128

Bismar Nasution, Op.Cit, hal. 63

129

Keputusan Kepala PPATK No. 2/1/KEP.PPATK/2003 Pedoman I: Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi PJK, PPATK, Jakarta, 2003

130


(27)

diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Sehingga tepat sekali pendapat yang menyatakan tidak akan ada money laundering kalau tidak ada kejahatan yang menghasilkan uang/harta kekayaan (no crime no money laundering).

Penanganan tindak pidana pencucian uang mempunyai arti penting bagi pengembalian aset negara terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang percepatan Pemberantasan Korupsi yang dikeluarkan oleh presiden pada tanggal 9 Desember 2004 bertepatan dengan hari anti Korupsi Sedunia menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang hasil korupsi tersebut sekaligus menjadi suatu instrumen hukum yang memerintahkan aparat penegak hukum untuk secepatnya memulihkan kerugian negara (asset recovery).131

Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan negara. Terhadap kerugian keuangan negara ini membuat UU Korupsi baik yang lama yaitu UU No. 3 tahun 1971 maupun yang baru yaitu UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001, menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan negara itu harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi (Asset Recovery).

131


(28)

Yang menjadi pertanyaan, mengapa kerugian keuangan negara harus dikembalikan oleh pelaku tindak pidana korupsi? Unrtuk itu dapat dianalisis dari pemikiran Utilitarianisme yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, dengan prinsip the principle of utility yang berbunyi the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar). Prinsip kegunaan ini menjadi norma untuk tindakan-tindakan pribadi ataupun kebijakan pemerintah melalui pembentukan hukum. Dengan demikian, undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik. Karena itu tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Tegasnya memelihara kegunaan.132

Pandangan Thomas Aquinas juga dapat membenarkan tindakan negara dalam pengaturan pengembalian asset negara. Bahwa dasar pemikirannya terkait apa yang menurut Aquinas sebagai keadilan umum (justitia generalis). Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak undang-undang yang harus ditunaiikan demi kepentingan umum.133

Pasal 17 UU No. 31 Tahun 1999 dengan tegas menentukan: “Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18”. Kemudian Pasal 18 ayat (1) huruf a dan b menentukan, bahwa:

132

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hal. 271

133

E. Sumaryono, Etika Hukum (Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas), Kanisius, Yogyakarta, 2000, hal. 160


(29)

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

Menurut Pasal 18 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999, Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut..

Kemudian pada Pasal 18 ayat (3) yang menormatifkan: Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksirnum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Menurut Jeane Neltje Saly, dasar pemikiran yang terkait dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional ataupun internasional akan penyelamatan keuangan negara untuk kesejahteraan rakyat. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah semakin


(30)

meluas ke berbagai elemen, termasuk pada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tindak pidana korupsi ini sangat mengganggu perekonomian negara-negara di dunia, seperti di Indonesia, yang tidak saja semata-mata merugikan keuangan negara,tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat orang mengatakannya dapat disebut sebagai extraordinary crime.134

Pengembalian Aset (asset recovery) dalam United Nations Convention Against Corruption, 2003 (UNCAC) diatur pada Bab IV Pasal 51-Pasal 59). Untuk mengedepankan asset recovery dalam penanganan tindak pidana korupsi, setiap negara di samping membuka hubungan kerja sama yang lebih 1uas, tidak hanya dalam penegakan hukum para pelakunya melainkan juga dalam mengembalikan aset hasil korupsi yang dilarikan/disembunyikan di wilayah negara lain, baik yang terkait aspek pidana maupun aspek perdata.135

Hal tersebut merupakan isu strategis dan terobosan besar dalam pemberantasan korupsi masa kini. Bagi Indonesia, isu tersebut memiliki persoalan hukum tersendiri baik secara konsepsional maupun operasional. Istilah asset recovery (pengembalian aset) tidak diatur secara eksplisit dalam dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ataupun dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, juga tidak

134

Jeane Neltje Saly, Pengembalian Asset Negara Hasil Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif United Convention Againts Corruption 2002 (UNTAC), Artikel, Legislasi Indonesia, Vol. 7. No. 4 Desember 2010.

135


(31)

diatur di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang terakhir dengan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.136

Ditinjau dari aspek pidana, Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor yang menentukan mengenai "perampasan barang", "pembayaran uang pengganti", dan "pencabutan hak atau keuntungan". "Perampasan barang" dapat diartikan secara konseptual dengan "confiscation proceedings". Selain itu "pembayaran uang pengganti" dan "pencabutan hak atau keuntungan", secara konseptual dapat diartikan sebagai "cash forfeiture proceedings", walaupun terdapat perbedaan dalam urutan prosesnya, yaitu pada pembayaran uang pengganti ditempuh melalui proses peradilan pidana terlebih dahulu, meskipun kemudian dapat muncul proses pelelangan yang ditempuh berdasarkan hukum perdata.137

Djoko Sumaryanto juga berpendapat, bahwa upaya pengembalian aset yang dikorupsi oleh para koruptor harus terus dilakukan oleh Pemerintah/Penegak Hukum dengan alasan:138

a. dana atau aset yang dikorupsi adalah harta kekayaan negara Indonesia yang harus diperuntukkan bagi pembangunan dalam upaya meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Tindak pidana korupsi telah mengakibatkan hilangnya kesempatan

136

Ibid

137

Ibid

138

Joko Sumaryanto, Pembalikan Beban Pembuktian Korupsi (Bagian I), Artikel, 15 Januari, 2009, Dimuat dalam Media online GagasanHukum.WordPress.Com.


(32)

rakyat Indonesia untuk menikmati hak-haknya dan menempatkan sebagian besar rakyat hidup di bawah garis kemiskinan;

b. negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya melalui pencapaian alternatif sumber pendanaan. Salah satu sumber pendanaan tersebut harus diambil dari dana atau aset hasil tindak pidana korupsi;

c. upaya pengembalian aset memiliki makna preventif terletak pada pengungkapan kepada publik bahwa tidak ada tempat yang aman di dunia bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Sedangkan makna represif terletak pada pemidanaan para pelaku tindak pidana korupsi; d. tindak pidana korupsi korupsi sangat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, dan akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi;

e. tindak pidana korupsi sudah terjadi pada semua bidang tata pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Bahkan disinyalir tidak sedikit hakim di semua tingkatan peradilan yang melakukan Korupsi. Akibat integritas yang rendah dan kemampuan terbatas dari hakim ini menyebabkan banyak putusan pengadilan dalam kasus korupsi yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat.


(33)

Dalam perkembangannya, pengaturan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebagaimana diatur oleh UU No. 31 taun 1999 Jo Perubahannya UU No. 20 Tahun 2001, juga bersesuaian dengan Konvensi Anti Korupsi (KAK) tahun 2003, yang telah membuat terobosan besar mengenai Pengembalian Kekayaan Negara (Aset Recovery) yang meliputi sistem pencegahan dan deteksi hasil tindak pidana korupsi (Pasal 52), sistem pengembalian aset secara langsung (Pasal 53), sistem pengembalian aset secara tidak langsung dan kerjasama internasional untuk tujuan penyitaan (Pasal 55). Ketentuan esensial yang teramat penting dalam konteks ini adalah ditujukan khusus terhadap pengembalian aset-aset hasil korupsi dari negara ketempatan (custodial state) kepada negara asal (country of origin) aset korupsi.139

Strategi pengembalian aset hasil korupsi secara eksplisit diatur dalam mukadimah KAK 2003, Pasal 8 menentukan, bahwa : ”Bertekad untuk mencegah, melacak dan menghalangi dengan cara yang lebih efektif transfer-transfer internasional atas aset-aset yang diperolah secara tidak sah, dan untuk memperkuat kerjasama internasional dalam pengembalian aset.” UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) menekankan pada pengembalian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.

Ketentuan-ketentuan tentang pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi menghadapi kendala dalam pelaksanaannya, antara lain, karena perbedaan sistem hukum di antara negara-negara, kemauan politik negara-negara penerima

139


(34)

aset hasil tindak pidana korupsi. Pentingnya masalah pengembalian aset bagi negara-negara berkembang yang mengalami kerugian karena tindak pidana korupsi, melihat masalah ini sebagai hal yang harus mendapat perhatian serius. Bahkan sebenarnya beberapa negara menginginkan agar pengembalian aset diperlakukan sebagai hak yang tidak dapat dihapus atau dicabut.140

Pengembalian aset hasil korupsi dapat dilakukan melalui jalur Pidana (Aset Recovery secara tidak langsung melalui Criminal recovery) dan jalur perdata (Aset Recovery secara langsung melalui civil recovery). Khusus terhadap jalur hukum pidana (Penal) yaitu aset recovery secara tidak langsung maka proses pengembalian aset lazimnya dapat dilakukan melalui 4 (empat) tahapan, yaitu:141

a. pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi aset, bukti kepemilikan aset, lokasi penyimpanan aset dalam kapasitas hubungan dengan delik/tindak pidana yang dilakukan.

b. pembekuan atau perampasan aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf KAK 2003 aspek ini ditentukan meliputi larangan sementara untuk mentransfer, mengkonversi, mendisposisi, atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawab mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten.

140

Ibid

141


(35)

c. penyitaan aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf g KAK 2003 diartikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berkompeten.

d. pengembalian dan penyerahan aset-aset kepada negara korban.

Pengembalian aset secara tidak langsung diatur dalam ketentuan Pasal 54-55 KAK 2003 dimana sistem pengembalian aset tersebut dilakukan melalui proses kerjasama internasional atau kerjasama untuk melakukan penyitaan. Apabila diperinci secara global maka dapat melalui aspek-aspek sebagai berikut:

a. Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan otoritas yang berkompeten untuk memberlakukan perintah penyitaan yang dikeluarkan oleh suatu pengadilan dari negara peserta lain;

b. Mengambil tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan otoritas yang berkompeten, dimana mereka mempunyai yurisdiksi untuk memerintahkan penyitaan atas kekayaan yang berasal dari luar negeri dengan putusan pengadilan atas kejahatan pencucian uang atau kejahatan lainnya, sebagaimana dalam yurisdiksi mereka atau dengan prosedur lain berdasarkan hukum nasionalnya;

c. Mempertimbangkan untuk mengambil tindakan yang mungkin diperlukan untuk memperkenankan penyitaan atas harta kekayaan tanpa penuntutan (pidana) dalam kasus dimana pelakunya meninggal dunia atau tidak diketahui keberadaannya atau dalam kasus-kasus khusus lainnya.


(36)

Sehingga ke depan, upaya pemiskinan koruptor dengan cara menggabungkan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang dan/atau dengan tindak pidana lainnya yang menjadi predicate crime, serta penerapan sanksi dengan sistem absorbsi yang dipertajam dan sanksi pidana tambahan uang pengganti kerugian Negara, maka diprediksikan akan lebih memberikan effek jera yang efektif, baik kepada si pelaku (koruptor) maupun prevensi umum bagi para penyelenggara Negara, penyelenggara pemerintahan, korporasi, dan masyarakat luas.

C. Legalitas Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang.

Kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan. Seperti yang dijelaskan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan tindak pidana (criminal policy) dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara, yaitu:142

a. Criminal law application;

b. Prevention without punishment;

c. Influencing views of society on crime and punishment

Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat difungsionalisasikan dan dioperasionalisasikan melalui beberapa tahap, yaitu:143

142

Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana : Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Cetakan III, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012, hlm.17

143


(37)

a. tahap formulasi atau kebijakan legislatif yaitu tahap perencanaan dan perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap ini merupakan tahap awal yang paling strategis karena menjadi dasar, landasan dan pedoman bagi tahap-tahap selanjutnya.

b. tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif yaitu tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dilanggar. c. tahap eksekusi atau kebijakan administratif yaitu tahap pelaksanaan

dari putusan pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam melakukan proses penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang, khususnya tahapan penuntutan, ketentuan yang dijadikan pedoman adalah Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU) yang berbunyi :

“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang- Undang ini”

Ketentuan Pasal 68 UU PPTPPU menegaskan berlakunya azas “lex specialis derogate legi generali”, yang mana UU PPTPPU menjadi ketentuan yang bersifat khusus sedangkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) sebagai ketentuan yang bersifat umum.


(38)

Dalam hal penuntut umum tindak pidana pencucian uang yang bersumber dari tindak pidana korupsi maka perlu dicermati Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), Pasal 6 menjelaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai beberapa tugas yaitu :

1. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

2. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

3. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

4. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan 5. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Dari penjelasan Pasal 6 tersebut, wewenang serta tugas Komisi Pemberantasan Korupsi dijelaskan lebih mendalam yaitu pada Pasal 8 Undang-Undang KPK yaitu, pelaksanaan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang bersangkutan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi


(39)

Pemberantasan Korupsi. Penyerahan sebagaimana dimaksud, dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.144

Berdasarkan pada Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan dan penuntutan dapat diambilalihkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan-alasan yang dijelaskan oleh Pasal 9 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu:

1. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;

2. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

3. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

5. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau

6. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam melaksanakan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:

1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

144

Penjelasan Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahuun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


(40)

Tindak Pidana Korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum yang berdasarkan dari korupsi atau pendapatan tidak sah, suap dan gratifikasi. Umumnya Tindak Pidana Korupsi akan bersamaan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dimana modus pelaksaannya adalah placement, layering

dan integration. Placement adalah tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum terkait dengan uang tunai hasil dari kejahatan yang biasanya adalah hasil dari Tindak Pidana Korupsi dimasukan kedalam sistem keuangan agar asal-usul uang tersebut sulit dilacak atau tersamarkan. Setelah melewati placement, modus selanjutnya adalah layering dimana melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk memutuskan/ memisahkan hubungan antara dana yang tersimpan di bank dan tindak pidana yang menjadi sumber dana tersebut. Tujuannya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana. Setelah melewati layering, modus terakhir adalah integration yaitu upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah secara hukum, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Penyatuan uang melibatkan pemindahan sejumlah dana yang telah melewati proses pelapisan yang diteliti dan kemudian disatukan dengan dana yang berasal dari kegiatan legal ke dalam arus perputaran dana global yang begitu besar.145 Berdasarkan klasifikasi dari Pasal 3, 4, 5 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan tujuan untuk menyamarkan atau menyembunyikan asal-usul dari harta kekayaan.

145


(41)

Dalam hal kewenangan KPK menuntut TPPU, Dr. H.Sigit Herman Binaji, S.H., M.Hum hakim ad hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Serang Banten berpendapat bahwa:146

1. Sebagai konsekuensi pasal 2 ayat (1) huruf (b) UU TPPU No.8 Tahun 2010, yakni TPPU dengan Predikat Crime korupsi, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 14 UU Tipikor No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001, KPK berwenang menuntut perkara TPPU dengan dakwaan kumulatif, karena secara historis embrio lahirnya Pengadilan Tipikor melalui UU No.46 Tahun 2009 adalah pasal 53 UU KPK No.30 Tahun 2002 (sudah dibatalkan MK) di mana Pengadilan Tipikor awalnya menerima limpahan perkara dari Jaksa KPK, sehingga logis Jaksa KPK berwenang menuntut perkara TPPU.

2. Putusan Hakim Progresif dengan menerobos positivisme hukum sangat dibutuhkan manakala norma hukum positif dirasa tidak memadai guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia.

3. Pasal 50 ayat (3) UU KPK No.30 Tahun 2002 menyatakan: “Dalam hal KPK sudah mulai menyidik perkara Tipikor, Kepolisian atau Kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan Penyidikan”. sehingga menjadi tidak efektif dan tidak efisien manakala Penyidikan dan Penuntutan Tipikor (sebagai Predicat Crime TPPU) sudah dilakukan Jaksa pada KPK namun kemudian Penuntutan perkara TPPU-nya diambil alih lagi atau dituntut oleh Jaksa pada Kejaksaan.

146


(42)

Demikian juga menurut ahli/pakar tentang TPPU, yakni Dr.YunusHusein, S.H., LLM, yang jugamantanKepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK):147

1. Adalah benar UU TPPU Nomor 8 tahun 2010 tidak menyebut secara jelas kewenangan KPK menuntut TPPU, namun pasal 75 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang TPPU menyatakan apabila dalam menyidik tindak pidana asal (Predicate Crime ) “korupsi” ditemukan ada TPPU, maka Penyidik (KPK) menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan TPPU (Concursus Realis) Dalam hal Penyidikannya digabung di mana KPK menuntut tindak pidana asal (Korupsi) juga wajar menuntut perkara TPPU-nya,

2. Kalau penuntutan TPPU diserahkan kepada Instansi Kejaksaan sebagai Penuntut Umum, sedangkan Penuntutan korupsinya oleh KPK, tidak efekti dan efisien, bertentangan dengan prisip sederhana, cepat dan biaya ringan dalam beracara sebagaimana amanat UU Pokok kekuasaan Kehakiman No.48 Tahun 2009, dan terdakwa juga akan diadili 2 kali dengan berkas berbeda sedangkan materi perkaranya sangat berhubungan, sehingga kurang memberikan kepastian hukum bagi terdakwa,

3. Menyerahkan penuntutan kepada lembaga Kejaksaan tidak memiliki dasar hukum kuat, karena justru KPK berwenang mengambil alih

147

YunusHusein, LLM makalah Tindak Pidana Pencucian Uang, disampaikan dalam seminar tentang Money Laundering kerjasama antara KPK dan Kehakiman Australia di Semarang dari tanggal 20 Mei 2014 s.d tanggal 22 Mei 2014


(43)

perkara korupsi yang sedang ditangani Kepolisian atau Kejaksaan sesuai Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK,

4. Menurut para ahli hukum tujuan hukun adalah keadilan (Justice), kemanfaatan (Utility) dan kepastian hukum (Certainty), dari ketiganya, keadilan yang harus didahulukan sebab hukum yang efisien yang merupakan tujuan hukum,

5. Dalam menyidik dan menuntut tindak pidana asal (korupsi) dengan perkara TPPU, baik hukum formil maupun hukum materiil digabungkan yang berasal dari berbagai UU. Pasal 68 UU No.8 tahun 2010 tentang TPPU menyatakan: “ Hukum Acara yang berlaku adalah hukum Acara sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini KUHAP dan UU lainnya, seperti UU KPK, UU TPPU, UU Tipikor. Bahwa UU KPK No.30 Tahun 2002 memberi kewenangan KPK sebagai Penyidik dan Penuntut, memblokir rekening, meminta keterangan keadaan keuangan tersangka dan terdakwa tanpa izin Gubernur BI, tanpa perlu menggunakan UU TPPU,

6. UU No.46 Tahun 2009 memberi kewenangan kepada Pengadilan Tipikor memeriksa, mengadili dan memutus perkara Tipikor, tindak pidana Pencucian uang (Predicat Crime korupsi) dan tindak pidana lain yang ditentukan sebagai Tipikor (pasal 6 UU No.46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor), sehingga secara historis Pengadilan


(44)

Tipikor menerima penyerahan perkara dari KPK, oleh karenanya Penuntut Umum KPK dapat melimpahkan perkara TPPU yang

predicate crime-nya tipikor kepada Pengadilan Tipikor,

7. Sesuai Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Kejaksaan adalah satu dan tidak dapat dipisahkan dalam melaksanakan tugas Penuntutan tindak pidana dan kewenangan lain, dengan demikian Penuntut Umum di Kejaksaan dan di KPK adalah satu kesatuan. KPK tidak merekrut Penuntut Umum di luar Kejaksaan, 8. Sistem Anti Pencucian Uang untuk mencegah dan memberantas tindak

pidana pada umumnya, termasuk korupsi, sehingga sebaiknya Penuntutan perkara TPPU yang disidik KPK dilakukan oleh KPK yang menyidik dan menuntut perkara korupsi, sesuai dengan tugas KPK yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi.

Yunus Husein juga memberikan pandangan tentang kewenangan KPK menuntut Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai saksi ahli dalam Perkara di Mahkamah Konstitusi dengan pemohon Akil Mochtar, dimana beliau berpendapat:148

1. Dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Disana disebutkan kalau penyidik tindak pidana asal menemukan adanya tindak pidana tindak pidana pencucian uang, dia harus menggabungkan dua tindak pidana. Pasal 141 KUHP mengenai kemungkinan menggabungkan dua perkara dengan dibuat dakwaan kumulatif di

148


(45)

dalam satu berkas. Kemudian dalam Pasal 76 ada kata-kata penuntut umum melimpahkan berkas ke pengadilan kurang lebih dalam waktu sebulan. Penuntut umum bukan hanya penuntut umum yang ada di Kejaksaan Agung, tetapi juga bisa juga penuntut umum yang ada di KPK karena selama ini juga menuntut perkara-perkara korupsi, dan pencucian uang adalah perkara yang lahir dari tindak pidana korupsi. Itulah yang menjadi kewenangan Pengadilan Tipikor untuk memeriksa perkara cuci uang berasal dari tindak pidana korupsi.

2. Kenapa KPK berwenang (menuntut TPPU)? Kalau penuntutan perkara TPPU saja atau penuntut perkara tindak pidana korupsi dan TPPU diserahkan kepada Kejaksaan sebagai Penuntut Umum. Jadi yang menyidik KPK, perkara korupsi, yang menuntut juga. Lalu untuk TPPU diserahkan kepada Kejaksaan Agung, ini tidak sesuai dengan asas hukum yaitu pengadilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Satu perkara saja bisa setahun lebih, bagaimana apalagi dipisah. Kasihan terdakwa, kasihan saksi, semuanya dipanggil. Apalagi time management dalam pengadilan kurang begitu bagus, seringkali menunggu lama sekali dan sudah tentu sangt tidak sesuai dengan peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Hal ini diatur bukan saja dalam KUHP, tetapi juga dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

3. Menurut Gustav Radbruch yang menyebutkan tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, sama dengan pendapat


(46)

Prof. Sadiman. Dimana diantara ketiganya Keadilanlah yang paling utama. Dan menurut para ekonom, hukum yang adil adalah hukum yang efisien dan efisienlah yang merupakan tujuan dari hukum. Hukum tidak noleh megatur kalau tidak efisien. Jadi pengertian sederhana, cepat dan biaya ringan itu sesuai dengan keadilan, paling tidak keadilan yang sesuai dengan prinsip-prinsip ekonimi. Apalagi kita semua merupakan homo ekomonikus.

4. Menyerahkan penuntutan perkara TPPU kepada Kejaksaan tidak memiliki dasar hukum kuat. Tidak ada pasal yang menyebutkan harus demikian. Justru sebaliknya, KPK memiliki kewenangan supervisi. Dalam kewenangan supervisi ini KPK bisa mengambil alih perkara-perkara korupsi yang dianggap tidak berjalan sebagaimana mestinya. Justru dengan mengambil alih, bukan menyerahkan. Ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5. Pasal 58 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang mengenai hukum acara. Dalam rangka perkara TPPU yang berlaku hukum acara gabungan yaitu bukan hanya Undang-Undang TPPU sendiri, akan tetapi undang-undang lain yang memiliki hukum acara. Misalnya KUHAP, UU KPK, ITE, dan UU Tipikor sendiri satu sama lain saling memperkuat. Seandainya UU TPPU ada kekurangan, misalnya kekurangan dalam hal KPK meminta keterangan dari penyedia jasa keuangan misalnya tidak diatur, KPK dapat meminta keterangan dari


(47)

penyedia jasa keuangan berdasarkan undang-undang KPK itu sendiri. Ini diatur dalam Pasal 12C UU KPK. Jadi hukum acara sangat kuat, saling melengkapi, sehingga yang dipakai bukan saja UU TPPU tapi juga undang-undang lainnya.

6. Menurut Pasal 6 UU Pengadilan Tipikor menyebutkan Pengadilan Tipikor berwenang mengadili tiga jenis perkara yaitu perkara korupsi, perkara TPPU yang berasal dati korupsi dan perkara lannya yang dianggap juga perkara tindak pidana korupsi. Dan menurut Jaksa Senior Reda Mantovani dan Nerendra sebenarnya dengan menggunakan intepretasi sistematis dan historis sudah dapat diambil suatu sikap bahwa penuntut umum KPK dapat juga menuntut tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. Karena memang secara historis dulu KPK hanya menyerahkan perkara ke pengadilan tipikor. Kalau pengadilan tipikor berwenang mengadili perkara TPPU yang tindak pidana asalnya korupsi, maka KPK juga berwenang menyerahkan perkara yang dia sidik, dan dituntut sendiri ke pengadilan tipikor.

7. Menurut Prof. Satjipto Rahardjo yang terkenang dengan teori hukum progresif ini kita tidak boleh terlalu tekstual, terlalu legalistis, bisa kita berpikir beyond in the teks lebih di luar teks yang tertulis. Memang kalau dikaju secara mendalam setiap undang-undang pasti ada kelemahan itulah beda ciptaan manusia dengan ciptaan Tuhan. Jadi kekurangan-kekurangan itu bisa dijawab dengan sistem baik oleh


(48)

Yuriprudensi, oleh penafsiran, dan lain sebagainya, termasuk penafsiran dengan menggunakan teori hukum yang progresid ini. Jadi haruslah juga dilihat Yurisprudensi, dipergunakan oleh hati nurani, dilihatlah keadilan dalam rangka memproses kasus yang dihadapi oleh Pengadilan Tipikor yang disidik dan dituntut oleh KPK.

8. Yudrisprudensi. Dalam kasus tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya Korupsi sudah ada beberapa kasus yang

inkracht, dan semua penuntutan dilakukan oleh KPK, yaitu kasus Wa Ode Nurhayati, Djoko Susilo, Lutfi Hasan Ishak, Ahmad Fatonah, Rudi Rubiandini, dan Deviardi.

9. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang tersebut menyebutkan Kejaksaan adalah satu dan tidak dipisahkan dalam menjalankan tugas penuntutan tindak pidana dan kewenangan lain. Jadi jaksa-jaksa yang menuntut di KPK adalah dari Kejaksaan juga belum berhenti dan jaksa KPK menuntut untuk kepentingan umum, kepentingan negara sama dengan jaksa-jaksa di Kejaksaan Agung.

10.Penuntutan oleh KPK akan lebih meningkatkan aset recovery, pemulihan aset hasil korupsi. Kalau hanya dipakai Undang-Undang Korupsi dan hanya menghukum berat pelakunya tanpa mengejar hasil tindak pidananya orang tidak akan jera, orang akan lebih takut kalau asetnya diambil hasil kejahatan.


(49)

Jika lembaga yang berwenang melakukan penuntutan terhadap tindak pidana asal dan lembaga yang berwenang melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang adalah lembaga yang berbeda, maka berpotensi terjadi tumpang tindih kewenangan serta ketidakpastian yang menghambat proses penuntutan. Kondisi ini tidak sesuai dengan harapan tercapainya peradilan pidana yang efektif yang diindikasikan melalui 3 (tiga) faktor yang saling berkaitan, yaitu adanya undang-undang yang baik (good legislation), pelaksanaan yang cepat dan pasti (quick and certain enforcement), dan pemidanaan yang layak dan seragam (moderate and uniform sentencing).149

Dalam pertimbangan oleh Mahkamah Kostitusi dalam perkara Nomor 77/PPU-XII/2014 menyatakan “menimbang bahwa mengenai Pasal 76 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010 yakni ketentuan bahwa penuntut umum wajib menyerahkan berkas perkara tindak pidana pencucian uang kepada pengadilan negeri yang menurut pemohon hanya penuntut umum pada Kejaksaan RI yang berwenang sedangkan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang, menurut mahkamah penuntut umum merupakan suatu kesatuan sehingga apakah penuntut umum yang bertugas di Kejaksaan RI atau yang bertugas di KPK adalah sama. Selain itu, demi peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, penuntutan oleh jaksa yang bertugas di KPK akan lebih cepat daripada harus dikirim lagi ke Kejaksaan Negeri. Apalagi tindak pidana pencucian

149

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, 2005, Hal 57


(50)

uang tersebut terkait dengan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. Dengan demikian dalil pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum”.150

Dengan ditolaknya permohonan pemohon oleh Mahkamah Konstitusi maka semakin menguatkan kewenangan KPK menuntut tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi dimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi:

MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3) Memutus pembubaran partai politik;

4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa Putusan Mahkamah Kostitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Kostitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.151

150

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PPU-XII/20014, hal 205

151

Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi


(51)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai garda terdepan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dalam memberantas Korupsi yaitu sebagai Penyelidik, Penyidik, dan Penuntut Umum berpatokan pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dan kaitannya dengan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah dimana Tindak Pidana Pencucian Uang tidak dapat dilepaskan dari tindak pidana Korupsi, tindak pidana korupsi merupakan salah satu predicate crime daripada tindak pidana pencucian uang. Sehingga apabila telah diduga tersangka korupsi melakukan tindak pidana korupsi yang dibarengi tindak pidana pencucian uang sudah seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi menggabungkan perbuatan tersebut dalam satu surat dakwaan yang sama. Dan juga hukum acara yang dipakai dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang diluar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah juga Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Legalitas Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang sebenarnya sudah cukup jelas


(52)

diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan, walaupun terdapat banyak perdebatan, salah satunya yaitu tentang kewenangan penuntut umum dalam menggabungkan beberapa tindak pidana yang saling berhubungan satu sama lain, dalam hal ini tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dimana tindak pidana korupsi merupakan salah satu predicate crime dari tindak pidana pencucian uang. Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang predicate crime-nya adalah tindak pidana korupsi dapat memaksimalkan pengembalian kerugian negara karena selama ini koruptor tetap dapat menikmati hasil tindak pidana korupsi walaupun sudah dihukum penjara atau denda karena hasil tindak pidana sudah disamarkan melalui pencucian uang, sehingga penerapan Undang-Undang Pencucian Uang dapat mengikuti peredaran uang hasil tindak pidana tersebut (follow the money). Sedangkan khusus untuk pidana denda para koruptor lebih memilih untuk menjalani masa hukuman lebih banyak di balim jeruji besi daripada membayar denda yang dijatuhkan oleh hakim. Mahkamah Konstitusi juga sudah memutuskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Penuntut Umumnya berwenang melakukan penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PPU-XII/20014.


(53)

B. Saran

1. Diperlukan adanya perubahan terhadap ketentuan Hukum Acara Pidana di Indonesia karena sudah tindak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi saat ini, terutama dalam hal Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi dimana perlu penguatan kewenangan institusi penegakan hukum di Indonesia terutama Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai garda terdepan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Perlu segera dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan menguatkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menggabungkan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam hal kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menuntut tindak pidana pencucian uang dengan mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PPU-XII/20014.


(54)

BAB II

KETENTUAN HUKUM ACARA TENTANG KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KAITANNYA DENGAN PENCUCIAN UANG A. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Membicarakan hukum acara tindak pidana korupsi tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan terkait dengan hukum acara pidana. Hukum acara pidana secara garis besarnya dibagi dalam 5 (lima) tahapan yang dilaksanakan oleh subjek pelaksana hukum acara pidana : (1) tahap penyidikan dilaksanakan oleh penyidik, (2) tahap penuntutan dilaksanakan oleh penuntut umum, (3) tahap mengadili dilaksanakan oleh hakim, (4) tahap eksekusi dilaksanakan oleh jaksa, dan tahap pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan oleh hakim pengawas dan pengamat.55

Van Bemmelen, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, mendefenisikan hukum acara pidana sebagai peraturan-peraturan yang diciptakan negara karena adanya pelanggaran-pelanggaran undang-undang pidana, yaitu:56 (1) Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran, (2) Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu, (3) Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat kalau perlu menahannya, (4) Mengumpulkan bahan-bahan bukti yang diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut, (5) Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk

55

Hari Sasangka dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, Hal.2.

56

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Edisi II, cetakan I, Jakarta, 2008, Hal.6


(55)

itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib, (6) upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut, (7) Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib. Lebih lanjut van Bammelen menegaskan bahwa tiga fungsi hukum acara pidana, yaitu: 57 (1) mencari dan menemukan kebenaran, (2) pemberian keputusan oleh hakim, dan (3) pelaksanaan keputusan.

Menurut Moeljatno, hukum acara pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberikan dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa, ancaman pidana yang ada pada sesuatu tidak pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik. Selanjutnya berdasarkan defenisi tersebut, fungsi hukum acara pidana adalah melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum pidana, dan hukum acara pidana diperlukan apabila ada sangkaan bahwa orang atau orang-orang telah melanggar larangan hukum pidana.58

Dalam hukum acara pemberantasan tindak pidana korupsi selain berlakunya KUHAP juga berlaku peraturan lain diluar KUHAP yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang KPK.

Menurut Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Penyidikan, penyelidikan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan sesuai

57

Ibid, hal.8

58


(1)

MENUNTUT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (TPPU)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

FREDRIGK ROGATE H. NIM: 090200438

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan,SH,M.Hum NIP: 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Prof.Dr.Syafruddin Kalo,SH,M.Hum) (Dr.Mahmud Mulyadi,SH,M.Hum) NIP:195102061980021001 NIP: 197404012002121001


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan akan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan kasih-Nya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis unutk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun skripsi ini berjudul: “Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)”. Penulis menyadari adanya keterbatasan dalam pengerjaan skripsi ini. Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan, semangat, saran, motivasi, dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

3. Selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

4. Selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen


(3)

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Prof. Dr. Syafriddin Kalo, SH, M.Hum, selaku Dosen

Pembimbing I penulis, terimaksih atas bimbingan dan dukungan Bapak kepada penulis selama menulis skripsi.

8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing

II penulis, terimaksih atas bimbingan dan dukungan Bapak kepada penulis selama menulis skripsi.

9. Khusus kepada Orang Tua Penulis H.T.P. Hutajulu dan R. Sidabutar

dan Abang, Kakak, dan Adik penulis (Basten, Ruth, Sarah, dan Firma) yang tanpa lelah memberikan dukungan, semangat dan doa kepada penulis.

10.Seluruh staf Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

11.Seluruh Bapak dan Ibu guru penulis yang telah berjasa mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat dalam memberikan ilmu pendidikan dari SDN 173795 Ambarita, SMPN 1 Simanindo, SMAN 1 MATAULI Pandan.

12.Keluarga Besar Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)

banyak pengalaman dan pelajaran yang penulis dapat selama ikut berorganisasi terimakasih buat seluruh keluarga GMKI Komisariat Fakultas Hukum USU khususnya.


(4)

13.Seluruh teman-teman penulis baik yang merupakan bagian dari Fakultas Hukum Sumatera Utara maupun yang ada di luar yang memberikan dorongan serta doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini (Jefri, Sahat, Sastro, Weni, Citra, Haris, Sartika, Sonya, Ismail, Deni, Julius, Montes, Yosua, dan seluruh teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu).

14.Untuk semua pihak yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, atas segala kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2016


(5)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 14

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 15

D. Keaslian Penulisan ... 16

E. Tinjauan Kepustakaan ... 16

1. Pengertian Tindak Pidana ... 16

2. Politik Hukum Pidana di Indonesia dalam Pemeberantasan Korupsi ... 20

3. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Tindak Pidana Korupsi ... 27

F. Metode Penelitian ... 33

G. Sistematika Penulisan ... 35

BAB II :KETENTUAN HUKUM ACARA PIDANA TENTANG KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KAITANNYA DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ... 37


(6)

Acara Pidana dalam Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi di Indonesia ... 51

C. Tindak Pidana Korupsi sebagai Predicate Crime dalam Tindak

Pidana Pencucian Uang dan Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian uang ... 58

BAB III :LEGALITAS KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Penuntutan dalam Tindak Pidana Korupsi Oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi ... 71

B. Concursus Realis dalam hubungan Tindak Pidana Korupsi

sebagai tindak Pidana awal dari Tindak Pidana Pencucian Uang ... 80

C. Legalitas Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan

Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian

Uang ... 101 BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan... 116 B. Saran ... 118 DAFTAR PUSTAKA