STUDI EKOLOGI TEMPAT PERINDUKAN VEKTOR MALARIA DI DAERAH RAWA DESA LEMPASING KECAMATAN PADANG CERMIN KABUPATEN PESAWARAN PROPINSI LAMPUNG

(1)

STUDI EKOLOGI TEMPAT PERINDUKAN VEKTOR MALARIA DI DAERAH RAWA DESA LEMPASING KECAMATAN PADANG CERMIN

KABUPATEN PESAWARAN PROPINSI LAMPUNG

Oleh

Annisa Mulia Anasis

Kabupaten Pesawaran merupakan wilayah dengan tingkat endemisitas malaria yang tinggi di Provinsi Lampung, karena sebagian wilayahnya berupa pantai berawa dan terdapat tambak yang terbengkalai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik tempat perindukan vektor malaria dan hubungan antara faktor abiotik dengan kepadatan larva nyamuk pada tempat perindukan vektor malaria di daerah rawa. Penelitian ini menggunakan metode observasi dengan mengamati faktor-faktor ekologi berupa faktor fisik dan kimia (suhu air, kedalaman air, pH, kadar oksigen terlarut (DO), dan salinitas air) dan faktor biologi yaitu jenis tumbuhan air, hewan yang terdapat di sekitar perindukan, dan kepadatan larva pada tiga rawa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik tempat perindukan vektor malaria di daerah rawa yaitu, suhu rata-rata 26,220C, Kedalaman rata 18,2 cm, pH rata-rata 6,77, DO rata-rata-rata-rata 2,71 mg/L, dan Salinitas rata-rata-rata-rata 3,430/00. Kepadatan larva hanya ditemukan pada Rawa 2 dengan rata-rata kepadatan sebesar 0,33 ekor/250 ml kemudian jenis tumbuhan yang ditemukan di sekitar tempat perindukan yaitu kangkung, alga, pohon kelapa, dan pohon asam serta hewan air berupa ikan mujair dan keong. Nilai faktor kimia seperti DO 2,71 mg/L dan salinitas 3,430/00 tidak mendukung kehidupan larva karena kedua nilai tersebut di bawah nilai optimum untuk menopang kehidupan organisme akuatik khususnya bagi larva Anopheles sp.


(2)

(3)

Oleh:

Annisa Mulia Anasis

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG


(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, Lampung pada tanggal 13 Desember 1992. Sebagai putri pertama dari dua bersaudara adalah anak dari Bapak Drs. Achmad Moelyono, M.H dan Ibu Dra. Trimauli.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Kartika pada tahun 1998. Sekolah Dasar diselesaikan di SDN 2 Gunung Terang tahun 2004. Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di SMP Al-Kautsar Bandar Lampung pada tahun 2007. Sekolah Menengah atas diselesaikan di SMA Negeri 7 Bandar Lampung pada tahun 2010.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Lampung pada Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun 2010. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten Biologi Umum dan Parasitologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung. Penulis juga aktif di Organisasi Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMBIO) FMIPA Unila sebagai Anggota Bidang Keilmuan.


(7)

(8)

MOTO:

Jadikanlah kekecewaan masa lalu menjadi

senjata sukses di masa depan.

Intelligence is not the determinant of success,

but hard work is the real

determinant of


(9)

Kupersembahkan karya kecil ini kepada

Kedua orang tuaku, Keluargaku, Para

pendidikku, Sahabatku, dan Almamaterku


(10)

SANWACANA

Alhamdulillah puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang maha pengasih dan maha penyayang karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Ekologi Tempat Perindukan Vektor Malaria di Daerah Rawa Desa Lempasing Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran

Propinsi Lampung”. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis tunjukan kepada semua yang telah membantu sejak memulai kegiatan sampai terselesaikan skripsi ini, ucapan tulus penulis sampaikan kepada :

1. Ibu Dra. Endah Setyaningrum, M.Biomed, selaku pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, semangat, ilmu, arahan, ide, saran, dan kritik dengan penuh kesabaran selama penulisan skripsi ini.

2. Bapak Drs. Suratman Umar, M.Sc, selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, ide, ilmu, saran, dan kritik dengan penuh kesabaran selama penulisan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Sri Murwani, M.Sc, selaku pembahas, atas saran, kritik, ilmu, dan dukungan yang telah diberikan sehingga tugas akhir ini terselesaikan. 4. Ibu Dra Nuning Nurcahyani, M.Sc, selaku Ketua Jurusan Biologi FMIPA


(11)

tersayang, terkasih dan tercinta yang telah memberikan kasih sayang, restu, do’a, pengertian dan dukungan moril maupun materi untuk penulis.

7. Bapak dan Ibu dosen, staf beserta laboran Jurussan Biologi FMIPA Unila atas ilmu dan pengalaman yang telah banyak diberikan kepada penulis.

8. Ibu Dra. Yulianty, M.S, selaku Pembimbing Akademik atas bimbingannya kepada penulis dalam menempuh pendidikan di Jurusan Biologi .

9. Teman seperjuangan selama perkuliahan di Jurusan Biologi FMIPA Unila, Windi Astika ‘NCE’ dan Latifa Sonia ‘IPEH’ yang selalu menjadi sahabat tercinta, tersayang dan terbaik selama masa perkuliahan.

10. Anggi Boler dan Rikza yang telah membantu penulis pada saat melakukan penelitian.

11. Sahabat-sahabat ku tercinta Shinta Agustina, Meutia utum, Gery spl, dan arie tapek atas kebersamaan, perhatian, dan dukungan kepada penulis.

12. Sahabat-sahabat GGT ku tersayang Nana, Ucen, Anha, Nisyak, Bela, Toni, Danan, Rio, Kiki, dan Tio atas kebersamaannya yang selalu menghibur penulis.

13. Teman-Teman Angkatan 2010, Desima Putri, Dwi, Isma, Ita, Anggi, Dewi Cus, Tina, Arin, Rodi, Rika, Yusrina, Suci, Ara, Ayu, Pipin, Wikke, Citra,


(12)

penulis.

14. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat Biologi FMIPA Universitas Lampung, Aris lekmin, Indah putri, Dita, Andesba, Errangga, Lia, Wida, Monik, Mba majo, Fenida, dan Rilla terimakasih atas dukungan dan semangatnya. 15. Keluarga Besar Mahasiswa KKN Desa Adimulyo, Kecamatan Pancajaya,

Mesuji atas pengalaman dan kebersamaannya.

16. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam proses perkuliahan,

penelitian hingga akhir, yang tidak dapat dituliskan satu persatu di skripsi ini. 17. Almamater tercinta Universitas Lampung.

Penulis berharap semoga Allah SWT membalas kebaikan yang telah mereka berikan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin Ya Robbal Alamin.

Bandar Lampung, Mei 2014 Penulis


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 4

C. Manfaat Penelitian ... 4

D. Kerangka Pemikiran ... 4

E. Hipotesis ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Anopheles sp. ... 6

1. Klasifikasi Nyamuk Anopheles sp. ... 6

2. Morfologi Nyamuk Anopheles sp. ... 7

3. Siklus Hidup Nyamuk Anopheles sp. ... 8

4. Perilaku Nyamuk Anopheles sp. ... 9

B. Penyakit Malaria ... 11

1. Definisi Malaria ... 11


(14)

C. Tempat Perindukan Larva Vektor Malaria ... 12

D. Faktor Ekologi Larva Vektor Malaria ... 14

1. Faktor Fisik ... 14

2. Faktor Kimia ... 18

3. Faktor Biologi ... 20

III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 23

B. Metode Penelitian ... 25

C. Cara Kerja ... 26

D. Analisis Data ... 29

IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengamatan 1. Karakteristik Tempat Perindukan Vektor Malaria ... 30

2. Hubungan Antara Faktor Fisik dan Kimia Dengan Kepadatan Larva ... 31

3. Faktor Biologi Tempat Perindukan Larva Nyamuk Anopheles sp ... 33

B. Pembahasan 1. Karakteristik Tempat Perindukan Vektor Malaria ... 34

2. Hubungan Parameter Fisik dan Kimia terhadap Kepadatan Larva ... 38

3. Faktor Biologi Tempat Perindukan Nyamuk Anopheles sp ... 39

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 42

B. Saran ... 42 DAFTAR PUSTAKA


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Karakteristik Tempat Perindukan Vektor Malaria dan

Kepadatan Larva Nyamuk Anopheles ... 31 Tabel 2. Hasil analisis korelasi Pearson faktor abiotik dengan

kepadatan larva di tempat perindukan vektor pada

ketiga rawa ... 32 Tabel 3. Hasil pengamatan faktor-faktor biologi tempat perindukan

larva nyamuk Anopheles sp. ... 34 Tabel 4. Hasil pengukuran faktor abiotik dan kepadatan larva Rawa 1

minggu pertama ... 49 Tabel 5. Hasil pengukuran faktor abiotik dan kepadatan larva Rawa 2

minggu pertama ... 49 Tabel 6. Hasil pengukuran faktor abiotik dan kepadatan larva Rawa 3

minggu pertama ... 50 Tabel 7. Hasil pengukuran faktor abiotik dan kepadatan larva Rawa 1

minggu kedua ... 50 Tabel 8. Hasil pengukuran faktor abiotik dan kepadatan larva Rawa 2

minggu kedua ... 51 Tabel 9. Hasil pengukuran faktor abiotik dan kepadatan larva Rawa 3

minggu kedua ... 51 Tabel 10. Hasil pengukuran faktor abiotik dan kepadatan larva Rawa 1

minggu ketiga ... 52 Tabel 11. Hasil pengukuran faktor abiotik dan kepadatan larva Rawa 2


(16)

Tabel 12. Hasil pengukuran faktor abiotik dan kepadatan larva Rawa 3

minggu ketiga ... 53 Tabel 13. Hasil analisis korelasi Pearson faktor fisik dan kimia dengan

kepadatan larva di tempat perindukan vektor pada rawa 1

pagi hari ... 54 Tabel 14. Hasil analisis korelasi Pearson faktor fisik dan kimia dengan

kepadatan larva di tempat perindukan vektor pada rawa 2

pagi hari ... 55 Tabel 15. Hasil analisis korelasi Pearson faktor fisik dan kimia dengan

kepadatan larva di tempat perindukan vektor pada rawa 3

pagi hari ... 56 Tabel 16. Hasil analisis korelasi Pearson faktor fisik dan kimia dengan

kepadatan larva di tempat perindukan vektor pada rawa 1

siang hari ... 57 Tabel 17. Hasil analisis korelasi Pearson faktor fisik dan kimia dengan

kepadatan larva di tempat perindukan vektor pada rawa 2

siang hari... 58 Tabel 18. Hasil analisis korelasi Pearson faktor fisik dan kimia dengan

kepadatan larva di tempat perindukan vektor pada rawa 3

siang hari ... 59 Tabel 19. Hasil analisis korelasi Pearson faktor fisik dan kimia dengan

kepadatan larva di tempat perindukan vektor pada rawa 1

sore hari ... 60 Tabel 20. Hasil analisis korelasi Pearson faktor fisik dan kimia dengan

kepadatan larva di tempat perindukan vektor pada rawa 2

sore hari ... 61 Tabel 21. Hasil analisis korelsi Pearson faktor fisik dan kimia dengan

kepadatan larva di tempat perindukan vektor pada rawa 3


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Larva Anopheles sp ... 7

Gambar 2. Lokasi Penelitian Desa Lempasing ... 24

Gambar 3. Kondisi Tempat Perindukan Vektor Malaria: (3. a) Rawa ke-1, (3. b) Rawa ke-2, dan (3. c) Rawa ke-3 ... 25

Gambar 4. Kangkung (Ipomoea aquatica) yang berada di sekitar Rawa 2 .... 64

Gambar 5. Alga (Spyrogyra) yang berada disekitar TPV pada ketiga Rawa ... 64

Gambar 6. Ikan nila (Oreochromis niloticus) yang ditemukan di sekitar Rawa 1 ... 65

Gambar 7. Ikan mujair (Oreochromis mossambis) yang ditemukan di sekitar TPV pada ketiga rawa ... 65

Gambar 8. Kepiting (Uca pugnax) yang berada di sekitar Rawa 1 ... 66

Gambar 9. Keong yang berada di sekitar Rawa 1 ... 66

Gambar 10. Udang (Palaemonete sp) yang ditemukan di sekitar Rawa 3... 67

Gambar 11. Altosit sebagai larvasida yang digunakan oleh pihak Puskesmas untuk mengendalikan kepadatan larva di TPV ... 67

Gambar 12. Pohon Kelapa (Cocos nucifera) yang tumbuh di sekitar TPV pada ketiga rawa ... 68

Gambar 13. Pohon Asam (Tamarindus indica) yang tumbuh di sekitar Rawa 2 ... 68


(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit malaria merupakan penyakit yang penyebarannya sangat luas di dunia. Di seluruh pulau Indonesia penyakit malaria ini ditemukan dengan derajat dan berat infeksi yang bervariasi. Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh plasmodium melalui gigitan nyamuk Anopheles. Nyamuk Anopheles sangat banyak macamnya dan berbeda-beda jenisnya antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Jenis nyamuk Anopheles yang berperan dalam penularan penyakit malaria di daerah tertentu sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan (Soedarto, 1992).

Lingkungan fisik, lingkungan kimia maupun lingkungan biologi akan mengatur keseimbangan populasi nyamuk di alam. Lingkungan fisik yang sangat berpengaruh pada perkembangbiakan nyamuk malaria, yaitu suhu, curah hujan, kelembaban nisbi udara, angin, ketinggian lokasi, arus air, kedalaman air, dan sinar matahari, sedangkan lingkungan kimia, yaitu pH, DO dan salinitas serta lingkungan biologi, yaitu tumbuhan dan hewan. Pengaturan oleh lingkungan bila tidak terjadi, maka akan terjadi ledakan kepadatan populasi (Depkes RI, 2001).


(19)

manusia, sedangkan faktor abiotik antara lain cahaya, suhu, curah hujan, arah dan kecepatan angin, dan kelembapan. Bila lingkungan nyamuk sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan maka nyamuk dapat berkembang biak dengan baik (Ewusie, 1980). Kondisi ekologi perindukan vektor malaria di Pantai Puri Gading Kelurahan Sukamaju Kecamatan Teluk Betung Barat Bandar Lampung mendukung kehidupan larva vektor malaria (Pebrianto, 2008). Hasil analisisnya menunjukkan bahwa pada Bakau, Empang, dan Rawa terdapat hubungan antara faktor abiotik dengan kepadatan larva nyamuk Anopheles sp.

Kondisi geografis Provinsi Lampung merupakan daerah potensial tempat perindukan nyamuk Anopheles terutama di daerah pedesaan yang banyak genangan air payau di tepi laut, rawa, dan tambak ikan yang tidak terurus (Data kasus Provinsi Lampung 2009).

Salah satu kabupaten dengan tingkat endemisitas yang tinggi di Provinsi Lampung adalah kabupaten Pesawaran. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran menunjukkan angka Annual Parasite Incidence (API) malaria yang berfluktuatif di Kabupaten Pesawaran pada tahun 2007-2011. Pada tahun 2007 API malaria adalah 1,87 per 1000 penduduk dan pada tahun 2008 terus


(20)

dan menurun menjadi 1,65‰ pada tahun 2010 lalu meningkat kembali menjadi

4,76‰ pada tahun 2011 (Dinkes Pesawaran, 2011).

Kabupaten Pesawaran sangat berpotensial sebagai tempat berkembang biaknya nyamuk Anopheles sebagai vektor penular penyakit malaria karena sebagian wilayahnya berupa rawa dan daerah tambak yang terbengkalai. Berdasarkan hasil survei nyamuk Anopheles yang dilakukan oleh Departement Kesehatan pada tahun 2009, jenis Anopheles yang ditemukan adalah Anopheles kochi, Anopheles vagus, Anopheles aconitus, dan Anopheles sundaicus. Jenis nyamuk Anopheles sundaicus merupakan vektor penyakit penular malaria utama yang berkembang biak pada air payau daerah pantai yang terdapat di kabupaten pesawaran (Data Kasus Kabupaten Pesawaran 2009).

Puskesmas Hanura pada tahun 2009 merupakan salah satu wilayah Kabupaten Pesawaran dengan endemisitas tertinggi yaitu Annual Malaria Incidence (AMI)

88,7‰, API 22,9‰, dan Sporozoit Positive Rate (SPR) 27,2 %. Dari 7 kecamatan yang ada di Kabupaten Pesawaran, kecamatan yang merupakan daerah endemis malaria adalah Kecamatan Padang cermin (Puskesmas Padang Cermin), Puskesmas Hanura, dan Puskesmas Punduh Pidada (Data Kasus Kabupaten Pesawaran 2009).


(21)

nyamuk pada tempat perindukan vektor malaria di daerah rawa.

C. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dalam penanggulangan nyamuk vektor penyebab penyakit malaria dan sebagai dasar untuk menilai kondisi ekologis yang sangat berperan pada tempat perindukan vektor (TPV) malaria.

D. Kerangka Pemikiran

Salah satu penyakit infeksi adalah penyakit malaria yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus plasmodium yang dapat ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Anopheles betina (Depkes RI, 2001). Salah satu jenis vektor dari penyakit malaria yang sudah meluas hampir di seluruh Indonesia adalah Nyamuk Anopheles. Faktor parasit (plasmodium), faktor manusia (host), faktor nyamuk Anopheles (Vektor), dan faktor lingkungan merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi penularan malaria (Soejoeti, 1995).

Penanggulangan penyakit malaria seperti, pengobatan dan penggunaan kelambu telah dilakukan di Kabupaten Pesawaran, namun kasus malaria di


(22)

Pesawaran masih tinggi sehingga diperlukan penelitian tentang ekologi tempat perindukan vektor malaria di badan perairannya.

Secara geografis Padang Cermin merupakan

daerah yang terletak di pinggiran pantai, yang menjadikan Padang Cermin sebagai daerah yang berpotensi untuk dijadikan tambak udang, sehingga tersebar berbagai kolam tambak sepanjang tepi pantai, baik yang dikelola perseorangan maupun perusahaan. Selain itu, di pinggiran pantai juga terdapat rawa-rawa yang ditumbuhi pohon bakau yang merupakan daerah potensial sebagai habitat perkembangbiakkan Anopheles sundaicus karena memiliki kadar garam yang rendah.

Meningkatnya penyebaran penyakit malaria yang disebarkan oleh vektor dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang mendukung kehidupan larva. Kehidupan larva dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, yaitu faktor lingkungan fisik, kimia, dan biologi. Oleh karena itu diperlukan data ekologi tempat perindukan vektor malaria di daerah rawa untuk digunakan sebagai dasar dalam upaya pencegahan penyakit malaria di Desa Lempasing Kecamatan Padang Cermin.

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara faktor abiotik dengan kepadatan larva di tempat perindukan vektor malaria.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anopheles sp.

1. Klasifikasi Nyamuk Anopheles sp.

Klasifikasi nyamuk Anopheles sp. adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda Kelas : Insecta

Ordo : Diptera

Famili : Culicidae Sub famili : Anophelini Genus : Anopheles


(24)

2. Morfologi Nyamuk Anopheles sp.

Gambar 1. Larva Anopheles sp: (1. a) Thorax, (1.b) Palmate hairs, dan (1. c) Ventral brush.

(Sumber: http://fr.impact malaria.com/web/formation_paludisme/ morphologie_

taxonomie/larves_nymphes_anopheles/morphologie_larves).

Telur Anopheles sp berbentuk seperti perahu yang bagian bawahnya konveks dan bagian atasnya konkaf dan diletakkan satu per satu di atas permukaan air serta memiliki sepasang pelampung yang terletak di bagian lateral. Di tempat perindukan, larva Anopheles mengapung sejajar dengan permukaan air dengan bagian badan yang khas yaitu spirakel pada bagian posterior abdomen, batu palma pada bagian lateral abdomen, dan “tergal

1.a

1. b


(25)

udara. Stadium dewasa Anophelini jantan dan betina memiliki palpi yang hampir sama dengan panjang probosisnya, hanya pada nyamuk jantan palpi pada bagian apikal berbentuk gada yang disebut club form sedangkan pada nyamuk betina ruas itu mengecil. Bagian posterior abdomen agak sedikit lancip. Kosta dan vena 1 atau sayap pada bagian pinggir ditumbuhi sisik-sisik yang berkelompok sehingga membentuk belang-belang hitam putih (Safar, 2010).

3. Siklus Hidup Nyamuk Anopheles sp.

Anopheles mengalami metamorfosis sempurna yaitu stadium telur, larva, kepompong, dan dewasa yang berlangsung selama 7-14 hari. Tahapan ini dibagi ke dalam 2 (dua) perbedaan habitatnya yaitu lingkungan air

(aquatik) dan di daratan (terrestrial). Nyamuk dewasa muncul dari lingkungan aquatik ke lingkungan terresterial setelah menyelesaikan daur hidupnya. Oleh sebab itu, keberadaan air sangat dibutuhkan untuk

kelangsungan hidup nyamuk, terutama masa larva dan pupa. Nyamuk Anopheles betina dewasa meletakkan 50-200 telur satu persatu di dalam air atau bergerombol tetapi saling lepas. Telur Anopheles mempunyai alat pengapung dan untuk menjadi larva dibutuhkan waktu selama 2 sampai 3 hari, atau 2 sampai 3 minggu pada iklim-iklim lebih dingin. Pertumbuhan larva dipengaruhi faktor suhu, nutrien, ada tidaknya binatang predator yang berlangsung sekitar 7 sampai 20 hari bergantung pada suhu. Kepompong


(26)

(pupa) merupakan stadium terakhir di lingkungan aquatik dan tidak memerlukan makanan. Pada stadium ini terjadi proses pembentukan alat-alat tubuh nyamuk seperti alat-alat kelamin, sayap dan kaki. Lama stadium pupa pada nyamuk jantan antara 1 sampai 2 jam lebih pendek dari pupa nyamuk betina, karenanya nyamuk jantan akan muncul kira-kira satu hari lebih awal daripada nyamuk betina yang berasal dari satu kelompok telur. Stadium pupa ini memakan waktu lebih kurang 2 sampai dengan 4 hari (Rinidar, 2010).

4. Perilaku Nyamuk Anopheles sp.

Nyamuk betina merupakan nyamuk yang aktif menggigit karena

memerlukan darah untuk perkembangan telurnya. Pada saat nyamuk aktif mencari darah maka nyamuk akan terbang berkeliling untuk mencari rangsangan dari hospes yang cocok. Beberapa faktor seperti keberadaan hospes, tempat menggigit, frekwensi menggigit dan waktu menggigit merupakan hal dasar yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengamatan perilaku nyamuk menghisap darah.

Berdasarkan obyek yang digigit (hospes), nyamuk dibedakan menjadi antrofilik, zoofilik, dan indiscriminate biter. Nyamuk antrofilik adalah nyamuk yang lebih suka menghisap darah manusia, dan dikategorikan zoofilik apabila nyamuk lebih suka menghisap darah hewan. Apabila nyamuk menghisap darah tanpa kesukaan tertentu terhadap hospes disebut indiscriminate biter. Nyamuk akan menghisap darah dari hospes lain yang tersedia apabila darah hospes yang disukai tidak ada. Hal ini disebabkan


(27)

Selain berdasarkan objek yang digigit, berdasarkan tempat menggigitnya nyamuk juga dapat dibedakan menjadi eksofagik dan endofagik. Nyamuk dikatakan eksofagik apabila nyamuk lebih suka menggigit di luar rumah dan dikatakan endofagik apabila nyamuk lebih suka menggigit di dalam rumah. Namun nyamuk yang bersifat eksofagik dapat bersifat endofagik apabila terdapat hospes yang cocok di dalam rumah (Rumbiak, 2006).

Frekuensi menggigit nyamuk dipengaruhi oleh siklus gonotropik dan waktu mengggigit. Nyamuk dengan siklus gonotropik dua hari akan lebih efisien untuk menjadi vektor dibandingkan dengan nyamuk yang mempunyai siklus gonotropik tiga hari. Nyamuk yang menggigit beberapa kali untuk satu siklus gonotropik akan menjadi vektor yang lebih efisien dari pada nyamuk yang hanya menggigit satu kali untuk satu siklus gonotropiknya. Siklus gonotropik juga dipengaruhi oleh suhu dan tersedianya genangan air untuk tempat bertelur. Waktu menggigit harus diperhatikan, seperti

nyamuk Anopheles yang menggigit pada malam hari. Pada waktu malam hari pada umumnya manusia sedang beristirahat atau sedang tidur, mungkin satu kali menggigit sudah cukup untuk satu siklus gonotropik (Depkes RI, 2001). Berdasarkan waktu menggigit, secara umum nyamuk Anopheles aktif mencari darah pada waktu malam hari, mulai dari senja hingga tengah


(28)

malam tetapi ada pula yang mulai tengah malam hingga menjelang pagi (Depkes, 2004).

B. Penyakit Malaria 1. Definisi Malaria

Penyakit malaria merupakan penyakit yang penyebarannya sangat luas di dunia. Penyakit malaria ditemukan tersebar luas di seluruh pulau

Indonesia dengan derajat dan berat infeksi yang bervariasi. Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. Jenis nyamuk Anopheles yang berperan dalam penularan penyakit malaria di daerah tertentu sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Nyamuk Anopheles sangat banyak macamnya dan berbeda-beda jenisnya antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya (Soedarto, 1992).

2. Penyebaran Malaria di Propinsi Lampung

Di Indonesia salah satu daerah bagian baratnya yang belum terbebas dari penyakit malaria adalah provinsi Lampung. Situasi penyakit malaria baik di kota maupun kabupaten di provinsi Lampung cukup tinggi, berdasarkan Annual Malaria Incidence per 1000 penduduk. Daerah yang paling banyak

ditemukan malaria klinis adalah di Tanggamus yaitu sebesar 14,95‰, Lampung Utara sebesar 12,51‰, Bandar Lampung dan Way Kanan sebesar 11,58‰, Lampung Selatan sebesar 9,89‰, Lampung Barat sebesar 9,31‰, Tulang Bawang sebesar 3,37‰, Lampung Timur sebesar 0,77‰, Lampung


(29)

konstan.

Pada beberapa daerah yang telah belasan tahun tidak ada kasus malaria, tiba-tiba menjadi endemis kembali. Hal ini berhubungan dengan terjadinya perubahan lingkungan yang memudahkan perkembangan nyamuk vektor malaria. Dengan derajat infeksi yang bervariasi, penyakit malaria tersebar luas di berbagai daerah. Malaria dapat mudah menyebar pada sejumlah penduduk, terutama pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah perkebunan, pantai, hutan, dan persawahan (Anies, 2005).

C. Tempat Perindukan Larva Vektor Malaria

Habitat nyamuk diklasifikasikan menjadi dua, yaitu habitat air mengalir dan habitat air menggenang. Habitat air mengalir, dapat berupa saluran air (parit atau selokan) yang mengalir lambat, dan sungai yang alirannya deras maupun lambat. Pada saluran irigasi biasanya tumbuh tanaman menjalar yang dapat menahan arus air. Jenis Anopheles sp. yang hidup dalam habitat seperti ini antara lain: Anopheles palmatus, Anopheles barbumbrosus, Anopheles vagus, Anopheles hunteri, Anopheles barbirostris, Anopheles sinensis, Anopheles nigerrimus, Anopheles sundaicus, Anopheles subpictus, dan Anopheles maculates (Mattingly, 1969). Sedangkan habitat air menggenang dibagi dalam tiga kategori, yaitu: 1) Habitat air tanah, 2) Habitat air bawah


(30)

pada habitat air tanah dan habitat air bawah permukaan tanah, sedangkan pada kontainer belum didapatkan laporan (Safitri, 2009).

1. Habitat Air Tanah

Habitat air tanah yang tergolong air tanah permanen antara lain danau, kolam, atau lagun atau rawa-rawa. Beberapa spesies Anopheles yang hidup pada habitat seperti ini antara lain Anopheles lesteri, Anopheles bancrofti, Anopheles stigmaticus, Anopheles kochi, Anopheles tesselatus, Anopheles vagus, Anopheles aconitus, dan Anopheles japonicus. Sedangkan habitat air tanah yang tergolong air tanah sementara antara lain comberan atau kobakan, air kubangan serta jejak tapak kaki manusia atau hewan (Safitri, 2009). Beberapa spesies yang didapat adalah Anopheles barbirostris, Anopheles nigerrimus, dan Anopheles kochi.

2. Habitat Air Bawah Permukaan Tanah

Habitat yang dikategorikan sebagai air bawah permukaan tanah dapat berupa sumur/perigi, bekas galian tambang, dan waduk. Beberapa spesies Anopheles yang hidup di habitat ini antara lain An. vagus dan An. hunter (Safitri, 2009).


(31)

lingkungan biologi akan mengatur keseimbangan populasi nyamuk di alam. Faktor-faktor yang dapat mengatur keseimbangan populasi nyamuk di alam, antara lain:

1. Faktor Fisik

Lingkungan fisik yang sangat berpengaruh pada perkembangbiakan larva nyamuk malaria dan nyamuk malaria, antara lain:

a. Suhu

Secara umum, nyamuk Anopheles lebih menyukai temperatur yang tinggi jika dibandingkan dengan jenis Culicinae. Hal ini menyebabkan jenis Anopheles lebih sering dijumpai di daerah tropis. Suhu air sangat mempengaruhi perkembangbiakkan larva ditempat hidupnya (Takken dan Knols, 2008).

Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah namun proses

metabolismenya menurun bahkan terhenti bila suhu turun sampai suhu kritis dan pada suhu yang sangat tinggi akan mengalami perubahan proses fisiologisnya. Suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25o-27oC. Toleransi suhu bergantung pada jenis nyamuknya, biasanya pada suhu 5o-6oC spesies nyamuk tidak dapat bertahan hidup. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali bila suhu kurang dari


(32)

10o C atau lebih dari 40o C. Nyamuk termasuk hewan berdarah dingin sehingga siklus hidup dan proses metabolismenya tergantung pada suhu lingkungan. Pada tempat-tempat yang bersuhu lebih rendah dari 15o C hampir tidak mungkin terjadi penularan malaria meskipun nyamuk yang biasa menjadi vektor terdapat dalam jumlah yang besar. Selain berpengaruh pada vektor, suhu udara juga mempengaruhi pertumbuhan parasit di dalam tubuh vektor. Suhu kritis terendah rata-rata untuk siklus sporogonik di dalam tubuh nyamuk adalah 16o C. Pada suhu lebih rendah dari 16o C bila ada sporozoit di dalam tubuh nyamuk akan mengalami degenerasi. Pembentukan gamet dan siklus sporogonik memerlukan suhu yang sesuai. Pada suhu harian rata-rata 27o C siklus sporogonik memerlukan waktu 9 hari. Pada suhu 32o C, ookista di dalam tubuh nyamuk akan mati sehingga tidak terjadi pertumbuhan sporozoit dari rongga perut ke kelenjar ludah nyamuk (Depkes RI, 2001).

b. Kedalaman air

larva Anopheles hanya mampu berenang ke bawah permukaan air paling dalam 1 meter dan tingkat volume air akan dipengaruhi curah hujan yang cukup tinggi yang akan memperbesar kesempatan nyamuk untuk berkembang biak secara optimal pada kedalaman kurang dari 3 meter (Depkes RI, 2001).


(33)

kelembaban nisbi udara dan menambah jumlah tempat

perkembangbiakan (breeding places) dan terjadinya epidemi malaria. Besar kecilnya pengaruh bergantung pada jenis dan derasnya hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan (Harijanto, 2000). Curah hujan yang cukup tinggi dalam jangka waktu yang lama akan

memperbesar kesempatan perkembangbiakkan nyamuk secara optimal (Depkes RI, 2001).

d. Kelembaban nisbi udara

Kelembaban nisbi udara merupakan banyaknya kandungan uap air dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen (%).

Kelembaban yang rendah tidak mempengaruhi parasit nyamuk namun dapat memperpendek umur nyamuk. Tingkat kelembaban paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk adalah 60 %. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk dapat menjadi lebih sering menggigit dan lebih aktif sehingga meningkatkan penularan malaria. Cara hidup nyamuk dipengaruhi kelembaban udara, dengan

beradaptasi pada keadaan lembab yang tinggi dan pada suatu ekosistem kepulauan atau ekositem hutan. Kemampuan terbang nyamuk juga dipengaruhi oleh kelembaban udara. Pada waktu terbang, nyamuk memerlukan oksigen lebih banyak sehingga trachea terbuka.


(34)

Untuk mempertahankan cadangan air dalam tubuh dari penguapan, maka jarak terbang nyamuk menjadi terbatas (Depkes RI, 2001).

e. Angin

Kecepatan angin 11-14 m/detik atau 25-31 mil/jam dapat menghambat penerbangan nyamuk. Angin berpengaruh pada penerbangan nyamuk dan ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dengan manusia (Harijanto, 2000), dan juga mempengaruhi jarak terbang nyamuk. Jarak terbang nyamuk dapat diperpendek atau diperpanjang tergantung dari arah angin. Angin yang kencang dapat membawa Anopheles terbang sejauh 30 km atau lebih. Pada jarak 2-3 km dari lokasi tempat perindukan vektor (TPV) tidak ditemukan Anopheles betina yang mempunyai sedikit kemampuan untuk terbang jauh (Hoedojo, 1998).

f. Ketingggian lokasi

Secara umum, malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah pada ketinggian di atas 2000 m jarang ada transmisi malaria. Jika perbedaan tempat cukup tinggi, maka perbedaan suhu udara juga cukup banyak dan mempengaruhi faktor-faktor yang lain, termasuk siklus pertumbuhan parasit di dalam nyamuk, penyebaran nyamuk, dan musim penularan. Setiap ketinggian naik 100 meter maka selisih suhu udara dengan tempat semula adalah ½o C (Harijanto, 2000).


(35)

yang deras sedangkan Anopheles letifer menyukai air tergenang, dan Anopheles barbirostris menyukai perindukan yang airnya

statis/mengalir lambat (Depkes RI, 1993).

h. Sinar matahari

Pengaruh sinar matahari dapat berbeda-beda terhadap pertumbuhan larva nyamuk. Beberapa jenis Anopheles menyukai tempat yang terbuka dan tempat yang teduh. An. punctulatus dan An. hyrcanus lebih menyukai tempat yang terbuka sedangkan An. sundaicus lebih menyukai tempat yang teduh, dan An. barbirostis dapat hidup baik ditempat yang terbuka maupun yang teduh (Harijanto, 2000).

2. Faktor Kimia

pH, salinitas, dan oksigen terlarut (DO) merupakan lingkungan kimia yang paling mendukung terhadap kelanjutan perkembangbiakan vektor malaria. pH berpengaruh besar terhadap pertumbuhan organisme yang berkembang biak di akuatik. pH dipengaruhi suhu air, oksigen terlarut, dan adanya berbagai anion dan kation serta jenis stadium organisme (Takken dan Knols, 2008).


(36)

a. Derajat Keasaman (pH air)

pH di perarian secara alamiah dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 dan senyawa-senyawa yang bersifat asam. Proses fotosintesis dan respirasi mempengaruhi kadar CO2 dalam suatu perairan. Oleh karena itu, pada pagi hari nilai pH menjadi rendah, meningkat pada siang hari, dan maksimum pada sore hari. Besarnya konsentrasi ion hidrogen yang terdapat di dalam perairan tersebut adalah besarnya pH dalam suatu perairan (Mulyanto, 1992). Nilai pH sangat berpengaruh terhadap proses biokimiawi suatu perairan, seperti proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Sebagian besar biota akuatik sangat sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5 (Effendi, 2003).

b. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air. Proses respirasi tumbuhan air dan hewan serta proses dekomposisi bahan organik dapat menyebabkan hilangnya oksigen dalam suatu perairan. Selain itu, peningkatan suhu akibat semakin meningkatnya intensitas cahaya juga mengakibatkan berkurangnya oksigen (Effendi, 2003). Meningkatnya suhu air akan menurunkan kemampuan air untuk mengikat oksigen, sehingga tingkat kejenuhan oksigen di dalam air juga akan menurun. Peningkatan suhu juga akan mempercepat laju respirasi dan dengan demikian laju pengunaan oksigen juga meningkat (Afrianto dan


(37)

Salinitas air sangat mempengaruhi ada tidaknya malaria di suatu daerah (Prabowo, 2004). Berdasarkan kemampuannya untuk menyesuaikan diri terhadap salinitas, organisme perairan dapat digolongkan menjadi stenohaline dan euryhaline. Stenohaline merupakan organisme perairan yang mempunyai kisaran kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap salinitas sempit, sedangkan

euryhaline merupakan organisme perairan yang mempunyai kisaran kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap salinitas yang lebar (Odum, 1998). Salinitas merupakan ukuran yang dinyatakan dengan jumlah garam-garam yang larut dalam suatu volume air. Banyaknya garam-garam yang larut dalam air menentukan tinggi rendahnya salinitas (Odum, 1998). Danau, genangan air, persawahan, kolam ataupun parit disuatu daerah yang merupakan tempat perindukan nyamuk, meningkatkan kemungkinan timbulnya penularan penyakit malaria.

3. Faktor Biologi

Lingkungan biologi di tempat perindukan nyamuk antara lain flora dan fauna, yang tumbuh dan saling mempengaruhi:


(38)

a. Pengaruh tumbuhan

Jenis tumbuhan seperti bakau, lumut, ganggang dan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan lain dapat melindungi kehidupan larva nyamuk karena dapat menghalangi sinar matahari yang masuk atau melindungi larva dari serangan mahluk hidup lain (Gunawan, 2000).

b. Predator nyamuk (Hewan Pemangsa)

Hewan pemangsa yang umum memangsa larva nyamuk seperti ikan kepala timah (Panchax spp), gambusia, nila, dan mujair akan

mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Adanya ternak besar seperti sapi dan kerbau dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila kandang hewan tersebut diletakkan di luar rumah, tetapi tidak jauh jaraknya dari rumah (Cattle barrier) (Gunawan,2000).

Setiap spesies serangga sebagai bagian dari kompleks komunitas dapat diserang atau menyerang organisme lain. Jenis binatang yang menjadi musuh alami nyamuk sudah banyak diteliti, baik terhadap nyamuk dewasa maupun larva di air. Musuh-musuh alami tersebut bersama faktor-faktor lainnya berperan penting dalam mengatur keseimbangan untuk mencegah terjadi ledakan populasi nyamuk (Hadi dkk, 2009). Salah satunya adalah predator, predator merupakan hubungan antara pemangsa dan yang dimangsa. Hewan air yang berperan sebagai predator larva nyamuk terdiri dari :


(39)

Larva Culex fuscanus, Culex halifaxii dan Toxorhychities memangsa larva nyamuk lain seperti Anopheles. Bila larva Anopheles terlalu padat di satu tempat perindukan dapat terjadi kanibalisme, larva instar IV bisa memakan larva dari jenis yang sama atau larva Anopheles yang lain yang masih muda. Serangga air dari golongan Hemiptera adalah pemangsa larva nyamuk terutama instar III dan instar IV, dengan cara menusuk tubuh larva dengan moncong dan menghisap cairan tubuh larva (Hadi dkk, 2009), selain itu Gerris (anggang-anggang) memangsa larva nyamuk seperti juga nyamuk dewasanya (Depkes RI, 2004). b. Vertebrata

Anak katak dapat memangsa larva nyamuk terutama pada habitat yang kecil dengan air yang dangkal. Tetapi yang terpenting dari semua predator larva nyamuk adalah ikan pemakan larva (Hadi dkk, 2009).


(40)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitan dilaksanakan di Desa Lempasing Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran pada akhir Desember 2013-Januari 2014.

a. Deskripsi Lokasi Penelitian

Kondisi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran merupakan daerah yang dekat dengan pantai dan rawa. Lokasi penelitian adalah rawa yang terdapat di Desa Lempasing yang berada di sekitar pantai. Lokasi ini bila ditempuh dengan jalan darat dari kota Bandar Lampung ±1,5 jam dengan jarak 42 Km. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.


(41)

(42)

B. Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan menggunakan metode observasi dengan tujuan untuk menentukan tempat perindukan nyamuk vektor malaria sebagai stasiun pengamatan yang berupa rawa pada ekosistem pantai di daerah endemis malaria, yaitu Desa Lempasing di Kecamatan Padang Cermin. Tempat perindukan vektor yang diamati terdiri dari tiga lokasi rawa. Tiga lokasi rawa yang diambil yaitu lokasi rawa pertama yang dekat dengan pantai (Gambar 3 a), lokasi rawa kedua yang berjarak ± 100 meter dari lokasi rawa pertama (Gambar 3 b), dan lokasi rawa ketiga berjarak ± 7,5 meter dari lokasi rawa kedua (Gambar 3 c). Pada lokasi rawa kedua dan ketiga sudah dimasukkan benih ikan dan dijadikan tempat memancing oleh warga sekitar. Kondisi tempat perindukan vektor malaria pada ketiga rawa dapat dilihat pada Gambar 3.

(Gambar 3. a) (Gambar 3. b) (Gambar 3. c) Gambar 3. Kondisi Tempat Perindukan Vektor Malaria: (3. a) Rawa ke-1, (3. b) Rawa ke-2, dan (3. c) Rawa ke-3.

Pengamatan langsung dilakukan dengan mengukur dan mengamati beberapa faktor ekologi di tempat perindukan vektor malaria pada lokasi penelitian satu kali setiap minggunya pada waktu pagi, siang, dan sore hari selama tiga


(43)

jenis tumbuhan air, hewan yang terdapat di sekitar perindukan, dan kepadatan larva.

C. Cara Kerja

1. Penentuan tempat perindukan vektor

Survei pendahuluan dilakukan untuk mengetahui tempat perindukan vektor malaria di rawa yang ditandai dengan adanya larva nyamuk.

2. Pengamatan faktor-faktor ekologi

Faktor-faktor ekologi pada tempat perindukan nyamuk yang diukur dan diamati, antara lain berupa faktor fisik, kimia, dan biologi. Pengukuran faktor fisik dan kimia dilakukan pada tiga lokasi rawa, satu kali setiap minggunya pada waktu pagi, siang, dan sore hari selama tiga minggu dengan pengulangan sebanyak tiga kali.

a. Suhu air

Suhu air diukur dengan menggunakan thermometer air raksa, yaitu dengan cara mencelupkan bagian ujung yang terdapat bintik perak ke dalam air rawa, ditunggu 5 menit hingga angka menunjukkan angka konstan (Mulyanto, 1992).


(44)

b. Kedalaman air

Pengukuran kedalaman air dilakukan dengan cara memasukkan kayu kedalam air sampai dasar, kemudian ditandai sampai batas

kedalamannya dan diukur kedalamannya dengan menggunakan meteran (Mulyanto, 1992).

c. Derajat keasaman (pH air)

Pengukuran pH air menggunakan pH stick. Bagian ujung kertas pH stick dimasukkan ke dalam air, ditunggu sampai terjadi perubahan warna kemudian dicocokkan dengan pH standar. Warna yang sama menunjukkan pH air tersebut (Mulyanto, 1992).

d. Kadar oksigen terlarut

Pengukuran kadar oksigen dilakukan dengan menggunakan DO meter, yaitu dengan cara memasukkan probe ke dalam air sampel lalu di diamkan. Setelah itu nilai skala dapat dilihat pada pencatat DO meter sampai angka menunjukkan angka konstan (Mulyanto, 1992).

e. Salinitas air

Pengukuran salinitas air dengan menggunakan refraktometer, yaitu dengan cara mengambil satu tetes air sampel dan diteteskan pada kaca refraktometer setelah itu ditutup. Skala dibaca lewat lubang pengintai dan alat diarahkan ke sumber cahaya matahari (Mulyanto, 1992).


(45)

Jenis tumbuhan air diamati dan didata di Laboratorium Zoologi FMIPA Universitas Lampung dan juga didokumentasikan. b. Kepadatan larva nyamuk

Dengan menggunakan cidukan plastik yang berukuran 250 ml, larva nyamuk diambil dari genangan air. Setelah itu dituangkan kedalam plastik untuk dihitung kepadatannya dan diidentifikasi. Setiap titik sampel dari 3 lokasi rawa diambil 3 kali ulangan. Larva nyamuk yang diperoleh dari tiap titik dihitung dengan menggunakan rumus yang dipergunakan Depkes RI (1999):

Kepadatan larva : Jumlah larva yang didapat (ekor/250ml) Jumlah cidukan

c. Jenis-jenis ikan dan hewan lain yang sehabitat dengan daerah perindukan nyamuk

Hewan predator potensial yang ada di lokasi penelitian diamati dan diidentifikasi di laboratorium Zoologi FMIPA Universitas Lampung dan juga didokumentasikan.


(46)

D. Analisis data

Data yang berupa faktor ekologi (fisik, kimia,dan biologi) akan disajikan dalam bentuk tabel disertai dengan gambar untuk menggambarkan kondisi ekologis tempat perindukan larva nyamuk di Desa Lempasing Padang Cermin. Untuk mengetahui hubungan antara faktor abiotik terhadap kepadatan larva, data diambil dengan korelasi Pearson program SPSS for Windows version 17.0.


(47)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Karakteristik tempat perindukan vektor malaria di daerah rawa yaitu, suhu

rata-rata 26,220C, Kedalaman rata-rata 18,2 cm, pH rata-rata 6,77, DO rata-rata 2,71 mg/L, dan Salinitas rata-rata 3,430/00.

2. Kepadatan larva hanya ditemukan pada Rawa 2 dengan rata-rata kepadatan sebesar 0,33 ekor/250 ml kemudian jenis tumbuhan yang ditemukan di sekitar tempat perindukan yaitu kangkung, alga, pohon kelapa, dan pohon asam serta hewan air berupa ikan mujair dan keong.

3. Nilai faktor kimia seperti DO 2,71 mg/L dan salinitas 3,430/00 tidak mendukung kehidupan larva karena kedua nilai tersebut di bawah nilai optimum untuk menopang kehidupan organisme akuatik khususnya bagi larva Anopheles sp.

B. Saran

Perlu penelitian lebih lanjut tentang ekologi tempat perindukan vektor malaria pada beberapa tempat perindukan vektor, tidak berfokus pada rawa saja, tetapi


(48)

pada genangan air dan selokan dalam kurun waktu yang lebih lama baik musim hujan dan kemarau.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, F dan F. Liviawati. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Kanisius.Yogjakarta.

Alto, BW, Griswold MW, Lounibos LP. 2005. Habitat Complexity and Sex- Dependent Predation of Mosquito Larvae in Containers. J. Oecol. 146: 300–310.

Anies. 2005. Manajemen Berbasis Lingkungan (Solusi Mencegah dan

Menanggulangi Penyakit Menular). PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. Bonne-Wepster, J. Dan N.H. Swellengrebel. 1953. The Anopheline Mosquitoes of

Indo-Australian Region. J.H. De Bussy. Amsterdam.

Borror, D., J. Triplehorn, dan N.F, Johnson. 1992. Pengenelan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6. Alih bahasa S.Partosoedjono, Penyunting M.D.Brotowidjoyo. Gadjah Mada University. Yogyakarta.

Depkes RI. 1993. Petunjuk Teknik Pemberantasan Nyamuk Penular Penyakit Demam Berdarah Dengue. Dirjen PPM-PLP. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Depkes RI. 1999. Modul Entomologi Malaria 3. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Depkes RI. 2001. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor. Jakarta : Direktorat Jenderal Pemberantas Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (DITJEN.PPM dan PLP).

Depkes RI. 2004. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor. Ditjen P2MPL. Jakarta.

Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran. 2009. Profil Kesehatan Kabupaten Pesawaran. Dinkes Pesawaran. Lampung.

Dinkes Pesawaran. 2011. Program Pengendalian Penyakit Malaria di Kabupaten Pesawaran. Dalam Seminar dan Workshop Pengembangan Program Pengelolaan TPV Malaria Berkelanjutan di Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Hal 3-5.


(50)

Dinkes Provinsi Lampung. 2007. Evaluasi Program Pemberantasan Penyakit Malaria. Dinkes. Lampung.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm.

Ernamaiyanti. 2009. Faktor-faktor Ekologis Habitat Larva Nyamuk Anopheles Di Desa Muara Kelantan Kecamatan Sungai Mandau Kabupaten Siak Provinsi Riau Tahun 2009. Skripsi. Program Studi Ilmu Lingkungan PPs Universitas Riau. Pekanbaru.

http://www.google.com.

Ewusie, J.Y. 1980. Pengantar Ekologi Tropika. Penerbit ITB Bandung. Bandung. Gunawan, S. 2000. Epidemiologi Malaria, dalam : Harijanto, P.N. Malaria

Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta.

Hadi, M., U. Tarwotjo., dan R. Rahadian. 2009. Biologi Insekta Entomologi. Graha Ilmu: Yogyakarta. hlm: 127.

Harijanto, P. N. 2000. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan Penanganan Malaria. EGC. Jakarta.

Hoedojo. 1993. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Hoedojo, 1998. Morfologi, Daur Hidup dan Perilaku Nyamuk dalam Parasitologi Kedokteran. Edisi ke – 3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Mattingly, P.F. 1969. The Biology of Mosquito-Borne Disease. George Allen and Unwin LTD. London.

Mulyanto. 1992. Manajemen Perairan. LUW-UNIBRAW. Fisheries Project. Universitas Brawijaya. Malang.

Odum, E.P. 1998. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ke – 3. UGM-Press. Yogyakarta. Pangastowo, S. 1999. Aspek-aspek Ekologi tempat perindukan nyamuk Anopheles

sundaicus di dusun Selesung, Pulau Legundi, Lampung Selatan. Skripsi. FMIPA Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Pebrianto, A.M. 2008. Ekologi Perindukan Nyamuk Vektor Malaria di Pantai Puri Gading Kelurahan Sukamaju Kecamatan Teluk Betung Bandar


(51)

Indonesia.

Puskesmas Hanura. 2008. Profil Puskesmas Hanura 2007. Kabupaten Pesawaran, Lampung.

Raharjo, M. dan S.J. Sutikno. 2003. Karakterisitik Wilayah Sebagai Determinan Sebaran Anopheles aconitus di Kabupaten Jepara. Dalam First Congress of Indonesian Mosquito Control Association in the Commemoration of Mosquito Day. Yogyakarta. Indonesia. Hal 56-54.

Rinidar, 2010. Pemodelan Kontrol Malaria Melalui Pengelolaan Terintegrasi Di Kemukiman Lamteuba, Nangroe Aceh Darussalam. Thesis. Sekolah Pascasarjana Program Doktor Universitas Sumatera Utara 2010. Medan. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18650/4/Chapter%20II.p df

Rumbiak, H. 2006. Situasi Penyakit Parasitik pada Manusia di Propinsi

Lampung. Makalah Seminar Pengendalian Penyakit Parasitik Manusia dan Hewan pada Era Desentralisasi. Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasitik Indonesia Cabang Bandar Lampung.

Safar, R. 2010. Parasitologi Kedokteran Edisi Khusus. Yrama Widya. Bandung. Safitri. 2009. Habitat Perkembangbiakan Dan Beberapa Aspek Perilaku

Anopheles sundaicus Di Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan. Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)

Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan.

Oseana, Volume XXX, Nomor 3, 2005 : 21 – 26.

Septiani, L. 2012. Studi Ekologi Tempat Perindukan Vektor Malaria Di Desa Sukamaju Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. Lampung.

Setyaningrum, E. 1998. Aspek Ekologi Tempat Perindukan Nyamuk Anopheles sundaicus di Pulau Legundi Padang Cermin Lampung. Jurnal Manajemen dan Kualitas Lingkungan. Volume 1 Nomor 3. Pusat Studi Lingkungan Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Lampung.


(52)

Soedarto. 1992. Penyakit-penyakit Infeksi di Indonesia. Widya Medika, Jakarta. Soejoeti, S. Z. 1995. Persepsi Masyarakat Mengenai Penyakit Malaria

Hubungannya dengan Kebudayaan dan Perubahan Lingkungan. Media Litbangkes. Vol. V. No. 02/1995.

Soekirno, M., dan J.H. Bang, Sudomo., C.P. Pamayun, dan G.A. Fleming. 1983. Bionomics of Anopheles sundaicus and Other Anophelines Associated with Malaria Coastal Areas of Bali (Indonesia). Sirkuler WHO/VBC/83.885. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Bisnis. CV. Alfabeta. Bandung.

Syarif, H. S. 2003. Studi Ekologi Perindukan Nyamuk Vektor Penyakit Malaria di Desa Sukajaya Lempasing Kec. Padang Cermin Lampung Selatan.

Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung (tidak diterbitkan). Takken, W dan B.G.J. Knols. 2008. Malaria Vector Control: Current and Future

Strategiess. Laboratory of Entomology, Wegeningen University and Research Centre. Netherland.

Tjitra, E. L., T. Rhicie dan W.J.R. Taylor. 1997. Evalution of Antimalarial Drugs in Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan 25 (1): 27-58.


(1)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Karakteristik tempat perindukan vektor malaria di daerah rawa yaitu, suhu

rata-rata 26,220C, Kedalaman rata-rata 18,2 cm, pH rata-rata 6,77, DO rata-rata 2,71 mg/L, dan Salinitas rata-rata 3,430/00.

2. Kepadatan larva hanya ditemukan pada Rawa 2 dengan rata-rata kepadatan sebesar 0,33 ekor/250 ml kemudian jenis tumbuhan yang ditemukan di sekitar tempat perindukan yaitu kangkung, alga, pohon kelapa, dan pohon asam serta hewan air berupa ikan mujair dan keong.

3. Nilai faktor kimia seperti DO 2,71 mg/L dan salinitas 3,430/00 tidak mendukung kehidupan larva karena kedua nilai tersebut di bawah nilai optimum untuk menopang kehidupan organisme akuatik khususnya bagi larva Anopheles sp.

B. Saran

Perlu penelitian lebih lanjut tentang ekologi tempat perindukan vektor malaria pada beberapa tempat perindukan vektor, tidak berfokus pada rawa saja, tetapi


(2)

pada genangan air dan selokan dalam kurun waktu yang lebih lama baik musim hujan dan kemarau.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, F dan F. Liviawati. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Kanisius.Yogjakarta.

Alto, BW, Griswold MW, Lounibos LP. 2005. Habitat Complexity and Sex- Dependent Predation of Mosquito Larvae in Containers. J. Oecol. 146: 300–310.

Anies. 2005. Manajemen Berbasis Lingkungan (Solusi Mencegah dan

Menanggulangi Penyakit Menular). PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. Bonne-Wepster, J. Dan N.H. Swellengrebel. 1953. The Anopheline Mosquitoes of

Indo-Australian Region. J.H. De Bussy. Amsterdam.

Borror, D., J. Triplehorn, dan N.F, Johnson. 1992. Pengenelan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6. Alih bahasa S.Partosoedjono, Penyunting M.D.Brotowidjoyo. Gadjah Mada University. Yogyakarta.

Depkes RI. 1993. Petunjuk Teknik Pemberantasan Nyamuk Penular Penyakit Demam Berdarah Dengue. Dirjen PPM-PLP. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Depkes RI. 1999. Modul Entomologi Malaria 3. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Depkes RI. 2001. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor. Jakarta : Direktorat Jenderal Pemberantas Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (DITJEN.PPM dan PLP).

Depkes RI. 2004. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor. Ditjen P2MPL. Jakarta.

Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran. 2009. Profil Kesehatan Kabupaten Pesawaran. Dinkes Pesawaran. Lampung.

Dinkes Pesawaran. 2011. Program Pengendalian Penyakit Malaria di Kabupaten Pesawaran. Dalam Seminar dan Workshop Pengembangan Program Pengelolaan TPV Malaria Berkelanjutan di Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Hal 3-5.


(4)

Dinkes Provinsi Lampung. 2007. Evaluasi Program Pemberantasan Penyakit Malaria. Dinkes. Lampung.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm.

Ernamaiyanti. 2009. Faktor-faktor Ekologis Habitat Larva Nyamuk Anopheles Di Desa Muara Kelantan Kecamatan Sungai Mandau Kabupaten Siak Provinsi Riau Tahun 2009. Skripsi. Program Studi Ilmu Lingkungan PPs Universitas Riau. Pekanbaru.

http://www.google.com.

Ewusie, J.Y. 1980. Pengantar Ekologi Tropika. Penerbit ITB Bandung. Bandung. Gunawan, S. 2000. Epidemiologi Malaria, dalam : Harijanto, P.N. Malaria

Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta.

Hadi, M., U. Tarwotjo., dan R. Rahadian. 2009. Biologi Insekta Entomologi. Graha Ilmu: Yogyakarta. hlm: 127.

Harijanto, P. N. 2000. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan Penanganan Malaria. EGC. Jakarta.

Hoedojo. 1993. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Hoedojo, 1998. Morfologi, Daur Hidup dan Perilaku Nyamuk dalam Parasitologi Kedokteran. Edisi ke – 3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Mattingly, P.F. 1969. The Biology of Mosquito-Borne Disease. George Allen and Unwin LTD. London.

Mulyanto. 1992. Manajemen Perairan. LUW-UNIBRAW. Fisheries Project. Universitas Brawijaya. Malang.

Odum, E.P. 1998. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ke – 3. UGM-Press. Yogyakarta. Pangastowo, S. 1999. Aspek-aspek Ekologi tempat perindukan nyamuk Anopheles

sundaicus di dusun Selesung, Pulau Legundi, Lampung Selatan. Skripsi. FMIPA Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Pebrianto, A.M. 2008. Ekologi Perindukan Nyamuk Vektor Malaria di Pantai Puri Gading Kelurahan Sukamaju Kecamatan Teluk Betung Bandar


(5)

Lampung. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Prabowo A. 2004. Hubungan Pekerja yang Menginap di Hutan dengan Kejadian Malaria di Kecamatan Cempaga, Kabupaten Kota Waringin Timur, Kalimantan Tengah. Thesis. Jakarta: Pascasarjana IKM Universitas Indonesia.

Puskesmas Hanura. 2008. Profil Puskesmas Hanura 2007. Kabupaten Pesawaran, Lampung.

Raharjo, M. dan S.J. Sutikno. 2003. Karakterisitik Wilayah Sebagai Determinan Sebaran Anopheles aconitus di Kabupaten Jepara. Dalam First Congress of Indonesian Mosquito Control Association in the Commemoration of Mosquito Day. Yogyakarta. Indonesia. Hal 56-54.

Rinidar, 2010. Pemodelan Kontrol Malaria Melalui Pengelolaan Terintegrasi Di Kemukiman Lamteuba, Nangroe Aceh Darussalam. Thesis. Sekolah Pascasarjana Program Doktor Universitas Sumatera Utara 2010. Medan. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18650/4/Chapter%20II.p df

Rumbiak, H. 2006. Situasi Penyakit Parasitik pada Manusia di Propinsi

Lampung. Makalah Seminar Pengendalian Penyakit Parasitik Manusia dan Hewan pada Era Desentralisasi. Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasitik Indonesia Cabang Bandar Lampung.

Safar, R. 2010. Parasitologi Kedokteran Edisi Khusus. Yrama Widya. Bandung. Safitri. 2009. Habitat Perkembangbiakan Dan Beberapa Aspek Perilaku

Anopheles sundaicus Di Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan. Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)

Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana, Volume XXX, Nomor 3, 2005 : 21 – 26.

Septiani, L. 2012. Studi Ekologi Tempat Perindukan Vektor Malaria Di Desa Sukamaju Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. Lampung.

Setyaningrum, E. 1998. Aspek Ekologi Tempat Perindukan Nyamuk Anopheles sundaicus di Pulau Legundi Padang Cermin Lampung. Jurnal Manajemen dan Kualitas Lingkungan. Volume 1 Nomor 3. Pusat Studi Lingkungan Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Lampung.


(6)

Soedarto. 1992. Penyakit-penyakit Infeksi di Indonesia. Widya Medika, Jakarta. Soejoeti, S. Z. 1995. Persepsi Masyarakat Mengenai Penyakit Malaria

Hubungannya dengan Kebudayaan dan Perubahan Lingkungan. Media Litbangkes. Vol. V. No. 02/1995.

Soekirno, M., dan J.H. Bang, Sudomo., C.P. Pamayun, dan G.A. Fleming. 1983. Bionomics of Anopheles sundaicus and Other Anophelines Associated with Malaria Coastal Areas of Bali (Indonesia). Sirkuler WHO/VBC/83.885. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Bisnis. CV. Alfabeta. Bandung.

Syarif, H. S. 2003. Studi Ekologi Perindukan Nyamuk Vektor Penyakit Malaria di Desa Sukajaya Lempasing Kec. Padang Cermin Lampung Selatan.

Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung (tidak diterbitkan). Takken, W dan B.G.J. Knols. 2008. Malaria Vector Control: Current and Future

Strategiess. Laboratory of Entomology, Wegeningen University and Research Centre. Netherland.

Tjitra, E. L., T. Rhicie dan W.J.R. Taylor. 1997. Evalution of Antimalarial Drugs in Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan 25 (1): 27-58.


Dokumen yang terkait

STRATEGI PENGEMBANGAN KOPERASI SINAR BANYU MANDIRI DI DESA PESAWARAN INDAH KECAMATAN PADANG CERMIN KABUPATEN PESAWARAN

0 12 53

Potensi Penyerapan Karbon pada Sistem Agroforestri di Desa Pesawaran Indah Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung

8 75 82

KOMPOSISI TANAMAN AGROFORESTRI DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA DI DESA PESAWARAN INDAH KECAMATAN PADANG CERMIN KABUPATEN PESAWARAN LAMPUNG

1 33 70

Analisis Finansial Pola Tanam Agroforestri di Desa Pesawaran Indah Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung

3 45 57

Studi Ekologi Tempat Perindukan Vektor Malaria Di Desa Sukamaju Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung

1 12 34

SPESIES-SPESIES DAN KEPADATAN NYAMUK VEKTOR MALARIA DI DESA SUKAMAJU KECAMATAN PUNDUH PEDADA KABUPATEN PESAWARAN PROPINSI LAMPUNG

0 25 34

PENGARUH TINGKAT KEPERCAYAAN MASYARAKAT KEPADA KEPALA DESA TERHADAP PARTISIPASI POLITIK (Studi Pada Masyarakat Desa Sukajaya Lempasing Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran)

3 21 148

PENGARUH TINGKAT KEPERCAYAAN MASYARAKAT KEPADA KEPALA DESA TERHADAP PARTISIPASI POLITIK (Studi Pada Masyarakat Desa Sukajaya Lempasing Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran)

10 75 74

ANALISIS PENDAPATAN DAN KESEJAHTERAAN NELAYAN JARING INSANG HANYUT DI PANTAI MUTUN DESA LEMPASING KECAMATAN PADANG CERMIN KABUPATEN PESAWARAN LAMPUNG.

0 0 5

TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG JUAL BELI IKAN DENGAN CARA MEMANCING (Studi Di Pemancingan Flobamora Desa Sukajaya Lempasing Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Lampung) - Raden Intan Repository

0 1 102