Politik Hukum adat studi masyarakat

Politik Hukum
“Analisis UU No. 22 Tahun 2014 jo. UU No. 23 Tahun 2014
dan Perpu No. 1 Tahun 2014 jo. Perpu No. 2 Tahun 2014
Berkaitan dengan Pemilukada Gubernur”

Oleh :
Rudini Hasyim Rado

11010114410096

Kelas Akhir Pekan
Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro
Semarang
2015

Politik Hukum
Oleh : Rudini Hasyim Rado
Pe nd a h u l u a n
A. Latar Belakang
Setiap negara di dunia tentu punya pendekatan tersendiri dalam

mengelola bangsanya termasuk Indonesia. Baik dalam urusan ekonomi, hukum
sampai pada persoalan politik dan pemerintahan. Secara umum, dunia dibelah
oleh dua sistem demokrasi baik pemilihan yang secara perwakilan langsung dan
perwakilan tidak langsung. Tentu selain itu juga tidak dapat dimunafikan banyak
pula negara yang bahkan menganut sistem demokrasi campuran (sistem
demokrasi tidak murni baik perwakilan langung maupun tidak langsung)
Pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah (pemilu/pemilukada)
hakikatnya adalah alat atau instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat
hal ini dapat ditarik dari amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea keempat1 tujuan negara Republik
Indonesia salah satunya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia (social
deffent) dan untuk memajukan kesejahteraan umum (social walfare) tanpa
terkecuali terhadap seluruh rakyat dan bangsa dunia.
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya dilaksanakan
melalui sistem demokrasi perwakilan setidaknya pernah diterapkan sejak rezim
UU No. 22 Tahun 1948 dan berakhir pada rezim UU No. 22 Tahun 1999, baik
terhadap pemilihan presiden, gubernur, bupati dan walikota. Sedangkan sistem
perwakilan langsung mulai diterapkan sejak UU No. 32 Tahun 2004 hingga
sekarang.
Dengan


demikian,

pemilihan

yang

semula

dilakukan

melalui

perwakilan, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga
pemilukada gubernur pun dimasukkan ke dalam rangkaian pemilu. Sistem
demokrasi langsung ini mulai diterapkan sejak diterbitkannya Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 yang merevisi UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah, tentu dengan UU tersebut oleh sebagian khalayak menilai pemilukada
1


Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, alinea keempat
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum...”

2

telah menuju ke arah yang lebih demokratis. Yang menariknya berdasarkan UU
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda (telah mencabut UU terdahulu) khusus untuk
pemilukada gubernur dipilih secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, meski disayangkan UU yang baru seumur
jagung tersebut keluar langsung di counter dengan diterbitkannya Perpu No. 2
Tahun 2014 untuk membatalkan hal tersebut dan perpu tersebut telah ditetapkan
menjadi Undang-Undang oleh DPR RI. Meskipun penerbitan perpu tersebut
tentu masih debatable untuk lebih jelas akan dibahas di pembahasan.
Untuk tidak menjadi rancu dengan ini dibedakan mengenai istilah
pemilihan umum (pemilu) dengan pemilihan kepala daerah (pemilukada). Secara
umum istilah pemilu lebih sering merujuk kepada pemilihan anggota legislatif
dan presiden,2 sedangkan istilah pemilukada (merujuk pada Undang-Undang No.
32 Tahun 2004 dan diganti dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014) atau

hanya disebut pemilihan gubernur sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
No. 22 Tahun 2014 yang mengatur mengenai pemilihan gubernur, bupati dan
walikota yang diadakan setiap 5 (lima) tahun sekali yang sebagaimana disebut di
atas merupakan suatu rangkaian dari pemilu. Secara nyata dua produk DPR kita
ini memberikan pembedaan yang nyata di mana Undang-Undang No. 22 Tahun
2004 menamakan istilah “pemilihan gubernur” sedangkan Undang-Undang 23
Tahun 2014 menamakan istilah “pemilihan kepala daerah/pemilukada” (walau
hanya penamaan/istilah, tetapi jelas menunjukan ketidak-konsistenan dan
keberagaman), selanjutnya akan dikupas dibagian pembahasan.
Oleh karena itu, inilah alasan penulis perlu menganalisis UU No. 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah jo. Perpu No. 2 Tahun 2014 beserta
peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemilukada
gubernur lebih mendalam. Selain itu kasus perlu diangkat guna membandingkan
kedua sistem demokrasi tersebut serta akan diselipkan pula mengenai dasar
hukum pemilihan kepada daerah/pemilihan gubernur dilihat dari konsistensi
pada tataran ideal sebagainya.
B. Rumusan Masalah

2


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Pemilihan umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”***

3

Adapun yang akan diangkat sebagai rumusan masalah dalam penulisan
ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sistem demokrasi pemilihan kepala daerah (gubernur) di
Indonesia saat ini?
2. Bagaimanakah tataran ideal pemilihan kepala daerah (gubernur) dalam
konteks ke-Indonesiaan?

4

Pembahasan
A. Sistem Demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur) di Indonesia
1. Pengertian Demokrasi
Pada tanggal 18 Agustus 2000 merupakan hari bersejarah bagi bangsa
Indonesia karena pada hari tersebut bertepatan dengan amandemen UUD NRI

Tahun 1945 yang kedua, khususnya perubahan pada Pasal 18 ayat (4) berbunyi
sebagai berikut :3
Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.**
Dengan demikian ini merupakan babak baru dalam sistem pemilihan
kepada daerah dalam hal ini gubernur yang pada intinya dipilih secara
demokrasi. Sebelum kita terlalu jauh, dengan ini dipaparkan mengenai hakikat
atau arti daripada demokrasi itu sendiri.
Demokrasi (pemerintahan oleh rakyat) semula dalam pemikiran Yunani
berarti bentuk poltik di mana rakyat sendiri memiliki dan menjelankan seluruh
kekuasaan politik.4 Secara garis besar demokrasi adalah sebuah sistem sosial
politik modern yang paling baik dari sekian banyak sistem maupun ideologi yang
ada dewasa ini.
Menurut pakar hukum tata negara M. Mahfud MD, ada dua alasan
dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama,
hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas
fundamental; kedua, demokrasi sebagai asa kenegaraan secara esensial telah
mmberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara
sebagai organisasi tertingginya.5

Secara etimologi “demokrasi” terdiri dari dua kata Yunani yaitu
“demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau
“cratos” yang berarti kekuasaan dan kedaulatan. Gabungan dua kata demoscratein atau demos-cratos (demokrasi) memiliki arti suatu keadaan negara di
mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat,
3
4
5

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), Cet. III, hal. 154.
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006), hal. 130-131.

5

kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa,
pemerintahan rakyat, dan kekuasaan oleh rakyat.6
Sedangkan pengertian demokrasi menurut istilah atau terminologi
adalah seperti yang dinyatakan oleh para ahli sebagai berikut:7
a. Abraham


Lincoln

menyatakan

demokrasi

adalah

sistem

pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
b. Samuel Huntington berpendapat demokrasi ada jika para pembuat
keputusan kolektif yang paling kuat dalam sebuah sistem dipilih
melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan di
dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara
dan hampir seluruh penduduk dewasa dapat memberikan suara.
c. Charles Costello mengungkapkan demokrasi adalah sistem sosial
dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan
pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi

hak-hak perorangan warga negara.
d. C.F. Strong mengemukakan demokrasi adalah Suatu sistem
pemerintahan di mana mayoritas anggota dewan dari masyarakat
ikut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan yang
menjamin

pemerintah

akhirnya

mempertanggungjawabkan

tindakan-tindakannya pada mayoritas tersebut.
e. Hans Kelsen menyatakan Demokrasi adalah pemerintahan oleh
rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan Negara
ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin,
bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di
dalam melaksanakan kekuasaan Negara.
Beberapa pandangan dan pengertian di atas, maka demokrasi bisa
diartikan dengan keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya

kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan
bersama rakyat, kekuasaan oleh rakyat atau melalui perwakilan rakyat yang
merupakan representasi rakyat di DPRD.
2. Dasar Hukum Pemilihan Kepala Daerah atau Pemilihan Gubernur
6
7

Ibid, Lihat A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, hal. 131.
Diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, diakses pada hari/tanggal: Senin, 2
Februari 2015, Pukul: 11.58 Wib.

6

Ketentuan peraturan perundang-undangan sebelumnya yakni UU No.
22 Tahun 1948 dan berakhir dengan UU No. 22 Tahun 1999 pemilihan kepala
daerah gubernur dipilih secara perwakilan tidak langsung. Praktis pasca
reformasi keadaan pun berubah dan pemilihan dilakukan melalui perwakilan
langsung seiiring dengan amandemen kedua UUD NRI Tahun 1945, kemudian
menyusul UU baik tentang pemerintahan daerah maupun UU pemilihan
pemilu/pemilukada lainnya. Secara sederhana dan gamblang dijelaskan maka

akan dibagi menjadi tiga generasi pemberlakuan peraturan perundang-undangan
(generasi orde lama, generasi orde baru, generasi reformasi) khususnya
mengenai pemilihan kepala daerah gubernur.
Generasi orde lama ditandai dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1948
Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di
Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya
Sendiri8 yang pada intinya menyatakan bahwa kepala daerah gubernur harus
diajukan oleh DPRD Provinsi untuk diangkat oleh Presiden.
Generasi orde baru salah satunya ditandai oleh UU No. 5 Tahun 1974
Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah9 yang memilih kepala daerah
tingkat I (gubernur) yakni DPRD Provinsi melalui musyawarah mufakat
setelahnya akan diajukan kepada Presiden untuk diangkat. Dapat disimpulkan
bahwa di sini lebih pada penggunaan peran sistem perwakilan tidak langsung.
Awal munculnya generasi reformasi pasca lengsernya Soeharto diganti
Presiden B. J. Habibie dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah10 masih tetap menggunakan tradisi pemilihan perwakilan
tidak langsung.
Menariknya tonggak reformasi menuju puncaknya berkaitan dengan
pemilihan kepala daerah gubernur pasca keluarnya UU No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah11 dimana ditentukan bahwa pemilihan kepala
8

Pasal 18 ayat (1) “Kepala Daerah Propinsi diangkat oleh Presiden dari sedikitnya-sedikitnya
dua atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Propinsi.”
9 Pasal 15 ayat (1) Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah...”, ayat (2) Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri sedikit-dikitnya dua (2) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya
10 Pasal 18 (1) huruf a “DPRD mempunyai tugas dan wewenang memilih Gubernur/Wakil
Gubernur...”
11 Pasal 56 ayat (1) “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon
yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,

7

daerah gubernur dipilih melalui perwakilan langsung (one man one vote), di
mana kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat (kekuasaan rakyat). Namun
dalam perkembangan terkini UU di tersebut dicabut dan diundangkannya UU
No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah12 mengatur bahwa gubernur
dipilih oleh DPRD Provinsi sehingga berbeda dengan UU sebelumnya yang jelas
menyatakan bahwa gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal ini makin
diperkuat dengan UU No. 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota yang sudah lebih dahulu keluar diatur dalam Pasal 1 angka 5
“Pemilihan gubernur... yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan
kedaulatan rakyat di provinsi... untuk memilih gubernur... demokratis melalui
lembaga perwakilan rakyat.”
Namun meski demikian UU No. 22 Tahun 2014 langsung di-counter
dengan dikeluarkannya Perpu No. 1 Tahun 2014 untuk mengganti UU No. 22
Tahun 2014. Ketentuan tersebut disertai pula Perpu No. 2 Tahun 2014 untuk
membatalkan/menghapus ketentuan Pasal 101 ayat (1) huruf d UU No. 23 Tahun
2014. Sebagaimana diketahui bersama bahwa presiden memilih hak prerogatif
dalam mengeluarkan perpu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, 13 dan
kedudukan perpu tersebut telah sejajar/setingkat dengan UU karena telah
diobjektifkan/disahkan oleh DPR RI. Dalam hal ini dapat dilihat bersama apakah
ada kegentingan memaksa tersebut atau tidak.
Bila kita kembali pada UU No. 22 Tahun 2014 penamaan/istilah
pemilihan kepala daerah (pemilukada) berganti istilah langsung disebut
pemilihan gubernur saja (tanpa kepala daerah), anehnya berdasarkan UU No. 23
Tahun 2014 penamaan/istilah tetap pemilukada gubernur. Hal sederhana
meskipun hanya persoalan penamaan/istilah namun para wakil rakyat kita yang
mengeluarkan produk tersebut tidak konsisten atau terjadi keberagaman
penamaan/istilah tersebut. Juga yang cukup menarik dari kedua UU tersebut di
atas pemilihan gubernur, bupati dan walikota bersifat tunggal tidak berpasangpasangnya dengan wakil-wakilnya seperti yang diatur oleh UU terdahulu. Salah
satu yang menjadi pertimbangan adalah sesuai penjelasan umum UU No. 22
Tahun 2014 yakni:
jujur, dan adil.”
12 Pasal 101 ayat (1) huruf d DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang: memilih
gubernur.
13 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 22 (1).

8

Berdasarkan evaluasi atas penyelenggaraan pemilihan gubernur/wakil
gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota secara
langsung dan satu paket, sejauh ini menggambarkan fakta empiris
bahwa biaya yang harus dikeluarkan oleh Negara dan oleh pasangan
calon untuk menyelenggarakan dan mengikuti Pemilihan
gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil
walikota secara langsung sangat besar juga berpotensi pada
peningkatan korupsi, penurunan efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan, peningkatan eskalasi konflik serta penurunan partisipasi
pemilih.
B. Tataran Ideal Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur) dalam Konteks keIndonesiaan
Sila ke-4 Pancasila mengajarkan kepada kita untuk menentukan sebuah
pilihan

melalui

cara

musyawarah.

Mengutamakan

musyawarah

dalam

mengambil putusan untuk kepentingan bersama. Musyawarah untuk mencapai
mufakat diliputi semangat kekeluargaan, sehingga kalau di breakdown falsafah
“musyawarah” mengandung 5 (lima) prinsip sebagai berikut: pertama,
conferencing (bertemu untuk saling mendengar dan mengungkapkan keinginan);
kedua, search solutions (mencari solusi atau titik temu atas masalah yang sedang
dihadapi); ketiga, reconciliation (berdamai dengan tanggungjawab masingmasing); keempat, repair (memperbaiki atas semua akibat yang timbul); dan
kelima, circles (saling menunjang).14
Tentu tidak dapat dielakan lagi musyarawah dalam menentukan pilihan
baik melalui sistem pemilihan langsung maupun tidak langsung masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Terlepas dari itu semua DPR RI telah
mengesahkan Perpu No. 2 Tahun 2014 yang intinya mengembalikan pemilihan
kepala daerah melalui perwakilan langsung (one man one vote).
Sebagai kajian keilmuan tentu kita tidak lantas berhenti sampai di situ,
karena tetap penting pula untuk mendalami mengenai bagaimana idealnya
pemilihan kepala daerah (gubernur) dalam konteks ke-Indonesiaan dewasa ini.
Dengan ini diberikan sedikit gambaran sistem atau mekanisme
pemilhan langsung. Sadu Wasistiono berpendapat bahwa kelebihan dan
kelemahan pemilihan Kepala Daerah secara langsung sebagai berikut :15
14 Kuat Puji Prayitno, Jurnal “Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis
Filasofis dalam Penegakan hukum In Concreto, (FH. Univ. Jenderal Soedirman, 2012), hlm.
414.
15 Sadu Warsistiono, Bahan Diskusi Panel “Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Menurut
UU No. 32 Tahun 2004 Dan Dampaknya Secara Politis, Hukum, Pemerintahan Serta Sosial

9

Kelebihan pemilihan Kepala Daerah secara langsung :
1. Demokrasi langsung akan dapat dijalankan secara lebih baik, sehingga
makna kedaulatan ditangan rakyat akan nampak secara nyata;
2. Akan diperoleh kepala daerah yang mendapat dukungan luas dari rakyat
sehingga memiliki legitimasi yang kuat. Pemerintah Daerah akan kuat karena
tidak mudah diguncang oleh DPRD;
3. Melalui pemilihan Kepala Daerah secara langsung, suara rakyat menjadi
sangat berharga. Dengan demikian kepentingan rakyat memperoleh perhatian
yang lebih besar oleh siapapun yang berkeinginan mencalonkan diri sebagai
Kepala Daerah;
4. Permainan politik uang akan dapat dikurangi karena tidak mungkin menyuap
lebih dari setengah jumlah pemilih untuk memenangkan pemilihan Kepala
Daerah.
Kelemahan pemilihan Kepala Daerah secara langsung :
1. Memerlukan biaya yang besar karena calon Kepala Daerah harus kampanye
langsung menghadapi rakyat pemilih, baik secara fisik (door to
door) maupun melalui media masa. Hanya calon yang memiliki cadangan
dana yang besar atau didukung oleh sponsor saja yang mungkin akan ikut
maju ke pemilihan Kepala Daerah;
2. Mengutamakan figur publik (public figure) atau aspek akseptabilitas saja,
tetapi kurang memperhatikan kapabilitasnya untuk memimpin organisasi
maupun masyarakat;
3. Kemungkinan akan terjadi konflik horisontal antar pendukung apabila
kematangan politik rakyat di suatu daerah belum cukup matang. Pada masa
lalu, rakyat sudah terbiasa dengan menang-kalah dalam berbagai pemilihan.
Tetapi pada masa orde baru pemilihan Kepala Daerah penuh dengan
rekayasa, sehingga sampai saat ini rakyat masih belum percaya (distrust)
pada sistem yang ada;
4. Kemungkinan kelompok minoritas baik dilihat dari segi agama, suku, ras,
maupun golongan akan tersisih dalam percaturan politik, apabila dalam
kampanye faktor-faktor primordial itu yang lebih ditonjolkan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Muhadam Labolo dalam makalah
“Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Prospek dan Tantangan dalam Masa
Transisi di Indonesia”:16
Ekonomi”, 2003, hal. 122.
16 Muhadam Labolo, “Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Prospek dan Tantangan dalam Masa
Transisi di Indonesia”, Makalah Lembaga Pengkajian Strategik Pemerintahan IIP. Jakarta,
2004.

10

Pemilihan Kepala Daerah Langsung secara umum akan menyerap dana
yang tidak sedikit. Pertimbangan dilakukannya Pilkada Langsung
dalam satu putaran tanpa alasan yang penting menunjukkan bahwa
Pemerintah tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai proses
Pilkada Langsung secara terus menerus. Pertanyaannya, dari mana dana
harus diperoleh?...
Lebih lanjut selain masalah di atas, masalah-masalah yang terjadi dari
proses persiapan sampai proses pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah,
diantaranya: terjadinya konflik elite dan konflik terbuka antar massa pendukung,
masih terjadinya money politics, partisipasi politik masyarakat yang rendah
dalam pemilihan kepala daerah (gubernur), dan juga tentang kinerja KPUD yang
dinilai kurang optimal dalam menjalankan tugas sebagai lembaga penyelenggara
pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah, serta masalah-masalah
strategis yang lain, menjadi berbagai hal yang perlu dicermati dan dianalisis
secara lebih mendalam agar dicapai suatu pemecahan untuk perbaikan ke depan.
Terlepas dari pro-kontra di atas, berangkat dari kegelisahan penulis
sendiri, di mana penulis menilai bahwa presiden terkesan terburu-buru
mengeluarkan perpu tersebut di atas (berkaitan dengan pemilukada gubernur).
Penulis justru lebih sepakat bahwa dalam hal ini pemilihan gubernur harus
dipilih secara perwakilan tidak langsung dan itu terbatas hanya untuk pemilihan
gubernur karena selain gubernur merupakan perpanjangan tangan pemerintah
pusat di daerah serta mengingkat banyaknya kabupaten dan kota maka perlu
waktu yang banyak dan matang untuk diberlakukan pula di tingkatan II. Ada
pihak yang beranggapan bahwa pemilihan perwakilan adalah kemunduran justru
bagi penulis ini anggapan yang terlalu emosional, karena selama itu dapat
dipertanggungjawabkan,

berpegang

pada

konstitusi

hal

tersebut

justru

merupakan loncatan/trobosan gemilang, tentu tanpa maksud mengkebiri hak
rakyat, toh anggota DPRD Provinsi adalah representasi dari rakyat, bila rakyat
tidak percaya pada pilihannya sendiri atas orang-orang yang ada di DPRD
kenapa bisa sampai orang tersebut ada di dewan, kalau memang anggota DPRD
“buruk” kenapa mau dipilih.
Penulis punya analisa tersendiri melihat dari pada tataran ideal
pemilihan kepala daerah gubernur saat ini di Indonesia untuk menyambut
kesejahteraan, integrasi masyarakat dan sebagainya, penulis menekankan bahwa

11

bukan menolak sistem perwakilan langsung namun untuk sekarang belum
saatnya. Untuk jelasnya diberikan alasan dan solusi, antara lain :


Dari segi APBN jelas terjadi penghematan keuangan negara yang sangat
besar yang bisa dimanfaatkan/dialokasikan ke sektor lain yang lebih tepat
guna dan sasaran. Ini pun akan menjawab keinginan presiden Joko Widodo
untuk sebisa mungkin melakukan penghematan keuangan negara.



Segi masyarakat, Indonesia adalah masyarakat yang beragam dengan
tingkatan kekerabatan/komunal. Kekerabatan ini “mudah” rusak dalam kaitan
dengan perbedaan pilihan yang berujung pada konflik horizontal bahkan
vertikal.



Segi pendidikan/pemahaman politik masyarakat kita belum terlalu bisa
menerima kalah menang, pemilihan langsung cocoknya untuk masyarakat
yang tingkat pendidikan/intektual yang matang. Sehingga jangan hanya
beranggapan bahwa politik uang hanya pada DPRD bila memilih. Namun
rakyat yang tingkat pendidikan dan ekonomi lemah (mayoritas) akan
“dipermainkan” dengan uang bahwa uang yang menyalir fantastis dan ketika
terpilih rakyat melarat karena si gubernur beranggapan kewajiban/hubungan
sudah selesai dengan rakyat karena telah memberikan uang saat pemilihan.



Segi geografi di mana kebanyakan adalah kepulauan justru makin
mempersulit baik dari askes, informasi, sarana dan prasarana serta
pendukung lainnya.



Bagi lawan politik bila kalah dalam percaturan pemilihan kepala daerah,
maka “haram” baginya dan pendukungnya diperlakukan baik, maka
segeralah angkat kaki dari kampung halaman sampai 5 (lima) tahun akan
datang. Serta lebih melihat golongan masing-masing. Dan masing banyak
hambatan-hambatan lainnya.
Solusi penulis (dapat dikoreksi) atas pemilihan perwakilan tidak

langsung untuk menepis anggapan sebagian masyarkat adalah :


Mulai dari tahap seleksi-pemilihan-pengumuman dilakukan secara cepat,
misalnya dari satu tahapan ke tahapan berikutnya waktu yang ditentukan 7
(tujuh) hari harus sudah selesai. Hal ini untuk menutup ruang/celah terjadi
deal “kotor” atau politik uang beredar.

12



Beberapa saat sebelum sampai setelahnya pemilihan oleh DPRD Provinsi,
setiap anggota dewan disadap, bisa juga diawasi pergerakannya (oleh aparat
maupun masyarakat luas) hal ini untuk menghindari telah terjadinya mufakat
sebelum musyawarah.



Bila masing tetap terjadi krisis kepercayaan, libatkan baik secara penuh atau
sebagian kepada tokoh-tokoh agama, masyarakat, tokoh pemuda/lembaga
swadaya masyarakat, dan lainnya yang dipercaya oleh masyarakat untuk
memiliki hak suara dalam memilih gubernur.
Tambahan mengenai makalah ini, Sebagaimana diatur dalam Pasal 3

Perpu No. 1 Tahun 2014 mengenai pemilukada serentak di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia baik di tingkat I dan tingkat II, manfaatnya
paling tidak akan menghemat anggaran negara namun disisi lain juga bisa
muncul persoalan bila tidak diantisipasi akan banjir sengketa pemilihan
sebagaimana diketahui dalam Perpu tersebut dikatakan penyelesaian pemilihan
merupakan sengketa Tata Usaha Negara17 yang sebelumnya diperiksa oleh
Mahkamah Konstitusi telah dikembalikan di bawah peradilan Mahkamah Agung
dengan dibentuk majelis khusus.

17 Pasal 154, Perpu No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

13

Pe nu t u p
Kesimpulan
Demokrasi langsung adalah bentuk demokrasi dimana semua warga
negara ikut serta secara aktif dan langsung dalam pengambilan keputusan
pemerintah. Dalam demokrasi ini, semua rakyat memiliki hak untuk membuat
keputusan. Sehingga, keputusan yang mereka buat akan mempengaruhi keadaan
politik di negara tersebut. Kemudian, demokrasi ini juga menuntut partisipasi
yang tinggi dari masyarakat. Namun, tidak semua masyarakat sadar atau melek
politik. Ditambah lagi, banyak juga diantara mereka yang tidak memiliki waktu
untuk memikirkan politik dan sadar akan pentingnya peran mereka dalam
penentuan kebijakan negara.
Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan terjadi dimana
seluruh rakyat memilih pewakilan mereka melalui suatu pemilukada. Pemilihan
umum kepala daerah dilakukan untuk menyampaikan pendapat serta sebagai
media pengambil keputusan. Pada intinya, rakyat memiliki hak dan daulat.
Namun, dalam jenis demokrasi ini, kedaulatan tersebut diwakilkan melalui
dewan disebut dengan demokrasi perwakilan tidak langsung. Dengan kata lain,
rakyat telah diwakili oleh seseorang kalau di Indonesia adalah DPR/DPRD.
Anggota dewan melalui pemilukada dan bertugas untuk menyampaikan pendapat
rakyat serta mengambil keputusan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sebenarnya rakyat memiliki
peran yang sangat penting untuk mewujudkan cita-cita negara. Cita-cita tersebut
antara lain adalah menajdi negara yang maju, makmur, dan sejahtera. Namun,
untuk mewujudkan hal tersebut, maka rakyat harus berperan aktif dan menjadi
masyarakat yang cerdas. Sehingga, rakyat dapat mengkritisi hal-hal yang
berkaitan dengan kebijakan sampai penerapan kebijakan di negara tersebut.

14

Daftar Pustaka
Buku-buku :
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak
Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2006.
Karya Ilmiah dan Sumber Internet:
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, diakses pada hari/tanggal: Senin, 2 Februari
2015, Pukul: 11.58 Wib.
Kuat Puji Prayitno, Jurnal “Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia
(Perspektif Yuridis Filasofis dalam Penegakan hukum In Concreto, FH.
Univ. Jenderal Soedirman, 2012.
Muhadam Labolo, “Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Prospek dan Tantangan
dalam Masa Transisi di Indonesia”, Makalah Lembaga Pengkajian
Strategik Pemerintahan IIP. Jakarta, 2004.
Sadu Wasistiono, Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Menurut UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Dan Dampaknya Secara Politis, Hukum,
Pemerintahan Serta Sosial Ekonomi, Bahan Diskusi Panel PPMP dan
Alumni Universitas Satyagama. Indramayu, 7 Februari 2005
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok
Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur
dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

15

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah.

16