pembelajaran inklusi Apa yang pemerintah persiapkan untuk wajib belajar 12 tahun ? Apa saja Fungsi KKM ? Bagaimana langkah-langkah penetapan KKM

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting dan merupakan modal utama untuk seseorang yang harus ditingkatkan dalam rangka melaksanakan pembangunan suatu negara. Bahkan dapat dikatakan masa depan bangsa bergantung pada keberadaan pendidikan yang berkualitas yang berlangsung dimasa kini. Pendidikan yang berkualitas hanya akan muncul dari sekolah yang berkualitas. Upaya peningkatan kualitas sekolah merupakan titik sentral upaya menciptakan pendidikan yang berkualitas demi terciptanya tenaga kerja yang berkualitas pula. Dengan kata lain upaya peningkatan kualitas sekolah adalah merupakan tindakan yang tidak pernah bergenti, kapanpun, dimanapun dan dalam kondisi apapun. Tetapi pada praktek pendidikan selama ini masih jauh dari hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Berdasarkan pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 menunjukkan bahwa semua warga negara wajib mendapatkan pendidikan yang layak dan wajib mengikuti pendidikan dasar yang sudah direncanakan oleh pemerintah yaitu mensukseskan program wajib belajar. Guru, masyarakat dan pemerintah perlu bersikap dan bertindak positif demi mensukseskan program wajib belajar.

B. Rumusan Masalah

A. Bagaimana Paradigma Pendidikan Terkini ? B. Apa maksud dari Wajib Belajar ?

C. Apa yang pemerintah persiapkan untuk wajib belajar 12 tahun ? D. Apa Pengertian KKM ?

E. Apa prinsip KKM? F. Apa saja Fungsi KKM ?

G. Bagaimana langkah-langkah penetapan KKM ? C. Tujuan

A. Mahasiswa mengetahui paradigma pendidikan terkini B. Mengetahui dan bisa menjelaskan maksud dari wajib belajar C. Mengetahui dan bisa menjabarkan pengertian KKM

D. Mengetahui dan bisa menjabarkan Prinsip KKM E. Mengetahui dan bisa menjabarkan prinsip KKM F. Mengetahui dan bisa menjabarkan fungsi KKM


(2)

BAB II Pembahasan A. Paradigma Pendidikan Kita Terkini

Pembangunan merupakan proses berkesinamabungan yang mencakup keseluruhan aspek kehidupan masyarakat meliputi aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis. Menurut John C. Bock dalam buku Education and Development : A Conflik Meianing (1992) dinyatakan peran pendidikan antara lain :

a. memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio cultural bangsa,

b. mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan dan mendorong perubahan sosial,

c. meratakan kesempatan dan pendapat.

Mencermati pendapat tersebut di atas kita dapat menyatakan begitu mulia dan indah peran pendidikan. Namun kenyataannya pengalaman selama ini menunjukkan pendidikan nasional kita tak bisa berperan secara, optimal seperti yang dikemukakan oleh John C. Bock tersebut Justru sebaliknya pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi dengan munculnya berbagai kesenjangan budaya sosial dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik ( Zamroni ; 2001 ).

Persoalan yang muncul sebenarnya dialami banyak Negara berkembang yaitu bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan ? Sebab kualitas pendidikan inilah yang paling menentukan tercapai tidaknya peran pendidikan. Pada umumnya kualitas pendidikan dikaitkan dengan tinggi rendahnya prestasi siswa dalam menempuh tes yang diadakan sekolah dan kemampuan lulusan dalam mendapatkan dan melaksanakan pekerjaan di dunia kerja. Dengan indikator tersebut pendidikan nasional dewasa ini menghasilkan lulusan yang masih rendah prestasinya. Oleh karena itulah untuk meningkatkan kualitas pendidikan perlu diadakan reformasi pendidikan sesuai dengan sekarang. Dalam gaung dan gegap gempitanya reformasi pendidikan berarti perubahan– perubahan dalam system pendidikan akan mengemuka. Reformasi pendidikan inilah sebagai wujud lahirnya wawasan serta paradigma baru tentang sistem pendidikan. Paradigms baru yang dimaksud antara lain : Pertama, perubahan dari sentralisasi menuju desentralisasi pendidikaan. Bergulirnya istilah desentralisasi di negeri kita ini bersamaan dengan diberlakukannya otonomi daerah. Dalam dunia pendidikan muncul paradigma baru yakni desentralisasi pendidikan. Ada pun


(3)

arti desentralisasi pendidikan adalah penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom. Kedengarannya nyaring dan enak untuk dibayangkan tetapi desentralisasi pendidikan tidaklah menguntungkan bagi sekolah di daerah yang sumber daya manusia dan sumber daya alamnya minus. Masalah pun timbul karena kekuatiran tentang mutu dan daya saing out put (lulusan) sekolah yang diampu di era yang menuntut serba dengan persaingan .

Untuk menyikapi tuntutan pergeseran paradigms pendidikan tersebut seharusnyalah dirancang sedemikian hati-hati sehingga tidak menimbulkan kekecewaan di kemudian hari yang meliputi : a) Pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS adalah sebuah pendekatan pengelolaan sekolah yang bertitik tolak dari pemikiran, pertimbangan, kebutuhan dan harapan sekolah itu sendiri. Suatu tanggung jawab yang sangat berat untuk melaksanakan proses pendidikan yang bertitik tolak seperti di atas. Untuk itulah dibentuk dewan sekolah. Lembaga inilah yang menjadi mitra Kepala Sekolah dalam memikirkan perkembangan sekolah sesuai dengan yang diharapkan. Artinya secara aktif bertanggung jawab dan berupaya memecahkan menghasilkan lulusan yang masih rendah prestasinya. Oleh karena itulah untuk meningkan kualitas pendidikan perlu diadakan reformasi pendidikan sesuai dengan em sekarang. Dalam gaung dan gegap gempitanya reformasi pendidikan berarti perubahan– perubahan dalam sistem pendidikan akan mengemuka. Reformasi pendidikan inilah sebagai wujud lahirnya wawasan serta paradigma baru tentang sistem pendidikan. Paradigms baru yang dimaksud antara lain :

Pertama, perubahan dari sentralisasi menuju desentralisasi pendidikaan. Bergulirnya istilah desentralisasi di negeri kita ini bersamaan dengan diberlakukannya otonomi daerah. Dalam dunia pendidikan muncul paradigma baru yakni desentralisasi pendidikan . Ada pun arti desentralisasi pendidikan adalah penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom. Kedengarannya nyaring dan enak untuk dibayangkan tetapi desentralisasi pendidikan tidaklah menguntungkan bagi sekolah di daerah yang sumber daya manusia dan sumber daya alamnya minus. Masalah pun timbul karena kekuatiran tentang mutu dan daya saing out put ( lulusan) sekolah yang diampu di era yang menuntut serba dengan persaingan . Untuk menyikapi tuntutan pergeseran paradigms pendidikan tersebut seharusnyalah dirancang sedemikian hati-hati sehingga tidak menimbulkan kekecewaan di kemudian hari yang meliputi :

a) Pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS adalah sebuah pendekatan pengelolaan sekolah yang bertitik tolak dari pemikiraft, pertimbangan, kebutuhan dan harapan sekolah itu sendiri. Suatu tanggung jawab yang sangat berat untuk melaksanakan proses pendidikan yang bertitik tolak seperti di atas. Untuk itulah dibentuk dewan sekolah. Lembaga inilah yang menjadi mitra Kepala Sekolah dalam memikirkan perkembangan


(4)

sekolah sesuai dengan yang diharapkan. Artinya secara aktif bertanggung jawab dan berupaya memecahkan masalah yang timbul dalam pengelolaan pendidikan sesuai dengan visi dan misi sekolah.

b) Pemilihan buku pelajaran. Mendiknas menyatakan tidak keberatan jika sekolah ingin memilih sendiri buku pelajaran yang akan dipakai para siswanya. Pemerintah dan Ikapi hanya bertindak sebagai penjaga standard mutu isi buku yang diterbitkan oleh penerbit. Hal ini akan membawa konsekuensi bahwa pemerintah tidak akan memegang lagi proyek pengadaan buku pelajaran seperti tahun-tahun sebelumnya. Mungkin penyaluran lewan block grand. Pada era otonomi daerah seperti sekarang ini buku pelajaran muatan lokal membuka kesempatan seluas-luasnya bagi daerah untuk menentukan isi buku yang dibutuhkan.

Kedua, perubahan sistem cawu menuju sistem semester. Perubahan yang dimulai sejak tahun pelajaran 2002/2003, menurut Dirjen Dikdasmen di dunia ini yang menerapkan sistem cawu hanyalah Indonesia. Apabila dicermati memang ada keuntungan yang diperoleh pada siswa, guru dan orang tua, yaitu : a) siswa memiliki waktu leluasa untuk memperdalam suatu materi, b) tingkat stress yang dihadapi siswa lebih rendah karena intensitas ujian lebih longgar, c) guru memiliki waktu yang lebih lama untuk mempersiapkan materi ajar, d) guru dan siswa memiliki waktu yang cukup untuk persiapan evaluasi belajar, dan e) liburan semester dapat bersama dengan liburan mahasiswa sehingga bagi keluarga yang akan memanfaatkannya dapat lebih merasa senang dan puas.

Ketiga, diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Ungkapan yang menyatakan bahwa setiap ganti menteri tentu berganti pula kurikulum agaknya dapat di benarkan. Menteri Pendidikan Nasional pada kabinet terakhir ini juga mengeluarkan peraturan kurikulum baru disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ). Fokus kurikulum ini adalah siswa dapat beriman, sehat, mandiri, berbudaya, berakhlak mulia, beretos kerja, berpengetahuan, dan menguasai teknologi serta cinta tanah air. Tujuan kurikulum ini adalah agar lulusan pendidikan nasional memiliki keungg ulan kompetitif dan komparatif sesuai standar mutu nasional dan internasional. Sistem pendidikan minimal harus dapat merespon secara proaktif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta tuntutan desentralisasi.

Kurikulum berbasis kompetensi mendasarkan pada aspek-aspek berikut: a) diversifikasi kurikulum yang mengakomodasikan berbagai perbedaan sosial, lingkungan dan budaya, b) pengetahuan yang berstandar nasional, c) empat pilar pendidikan kesejagatan yaitu learning to be,


(5)

learning to know, learning to do, dan learning to live together , d) partisipasi dari masyarakat dan e) manajemen berbasis sekolah. Kurikulum berbasis kompetensi ini akan memunculkan persoalan ketika diterapkan pada tataran sekolah dasar. Letak persoalannya justru kompetensi yang ingin dikuasai mengingat filosofis tingkat SD adalah pendidikannya bukan untuk penguasaan disiplin ilmu akan tetapi untuk pengembangan karakter atau hubungan dengan masyarakat (Hamid Hasan, 2001).

Keempat, Tuntutan Profesionalisme Guru. Guru masa depan jauh berbeda dengan guru masa lampau. Kalau dulu pada era sentralisasi pendidikan, guru boleh dikata asalkan datang dan mengajar sebagai konsekuensi minta gaji. Akan tetapi tidak di era otonomi daerah sekarang ini. Guru dituntut datang, mengajar dan mengembangkan profesionalismenya. Mengapa profesionalisme harus ditingkatkkan ? Merujuk diberlakukannya kurikulum berbasis kompetensi, persaingan antar chetah dan tuntutan era globalisasi , menuntut profesionalisme guru untuk ditingkatkan.

Menurut Gary A Davis dan Margaret A. Thomas. Guru profesional adalah guru yang melakukan pembelajaran di kelas dapat secara efektif. Adapun ciri guru efektif adalah sebagai berikut : a) memiliki kemampuan membentuk iklim belajar yang segar, b) memiliki kemampuan menerapkan strategi manajemen pembelajaran yang menyenangkan, c) memiliki kemampuan yang menumbuhkan pemberian umpan balik dan penguatan kepada siswa, d) memiliki kemampuan peningkatan diri (Suyanto, 2001) Unttuk mewujudkan ciri-ciri guru efektif tersebut di satu sisi tergantung dedikasi dan disiplin guru itu sendiri terhadap pelaksanaan tugas dan kewajibannya tetapi di sisi lain dipengaruhi oleh apresiasi masyarakat terhadap prestasi guru. Apresiasi masyarakat sekarang terhadap profesi guru sudah berada di tataran yang merendahkaan profesi guru. Betapa tidak ! Pengakuan secara jujur seseorang terhadap keluarganya yang menjadi guru ditambahi embel-embel (hanya) di hadapan orang lain. Misalnya, bapak saya hanya seorang guru. Sehubungan dengan hal tersebut menjadi keharusan adanya pembinaan terhadap guru oleh pembina yang profesional pula tentunya. Bagaimana dedikasi dan disiplin guru itu meningkat ? Pertanyaan ini tentu membuat benak para pembina profesi guru tersentak. Pembinaan secara administratif harus segera ditanggalkan karena hal itu tidak membuat profesional, tidak membuat guru pandai justru sebaliknya guru terbebani administrasi. Siswa pun rugi karena banyak ditinggalkan guru demi administrasi. Di samping hal tersebut sudah barang tentu upaya pemerintah melakukan perbaikan dan peningkatan kesejahteraan guru tak dapat diabaikan. Karena peningkatan kesejahteraan merupakan sebagaian upaya menangkal apresiasi negatif profesi guru oleh masyarakat.


(6)

Kelima, tuntutan penghapusan Unas. Salah satu penyebab produk pendidikan sekarang ini kurang dapat berpikir kritis adalah diadakannya pada evaluasi belajar yang disebut Unas. Indikator prestasi siswa ditekan dari tinggi rendahnya angka nilai hasil Unas. Apanya yang salah ? Jawabnya, orientasi belajar siswa yang selalu pada hasil Unas. Orientasi yang demikian inilah meningkatkan pola pembelajaran di kelas tidak menumbuhkan kreativitas baik siswa maupun gurunya, Siswa tidak merasa bangga belajar di kelas namun lebih merasa bangga sebagai pelajar yang siap melaju apabila sudah mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah.

Jika kita cermati soal-soal Unas memberikan kontribusiyang signifikaan terhadap produk pendidikan yang kurang bermutu ini. Siswa belajar sepotong-sepotong, kurang jeli melihat persoalan dan merasa sukar menemukan konsep- konsep pokok suatu keadaan sekalipun ada di sekitarnya. Hal ini disebabkan : a) Pembelajaran di kelas berorientasi Unas sehingga mata pelajaran selain yang diunaskan tidak diminati untuk dipelajari secara mendalam. b) Soal-soal Unas yang bebentuk pilihan ganda, dan c) Kajian soal-soal Unas hanya hafalan. Misalnya di mana P. Diponegoro wafat ? Mestinya kalau ingin menumbuhkan proses berpikir siswa ditanyakan mengapa terjadi perang Diponegoro ? Untuk biologi tidak hanya ditanyakan enzim apa yang dihasilkan dinding lambung tetapi bagaimana proses pencernaan di dalam lambung ? Dan lain-lain. Nah, keadaan seperti itulah yang melibatkan munculnya pendapat, bubarkan saja sekolah ganti dengan bimbingan belajar, jika keberadaan dan model Unas dengan soal pilihan ganda masih diterapkan.

B. Wajib Belajar

Wajib belajar merupakan salah satu program yang gencar digalakkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Program ini mewajibkan setiap warga negaraIndonesia untuk bersekolah selama 9 (sembilan) tahun pada jenjang pendidikan dasar, yaitu dari tingkat kelas 1 Sekolah Dasar(SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga kelas 9 Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs).

Landasan pokok keberadaan sistem pendidikan nasional adalah UUD 45 Bab XIII, Pasal 31, ayat (1) Yang menyatakan bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Dengan adanya langkah Program Pemerintah Wajib Belajar 12 Tahun Gratis, Berlaku Juni 2015, pemerintahan Presiden Jokowi sepenuhnya siap dalam membiayai dan memberikan semua fasilitas sampai anak bangsa memiliki  pendidikan yang minimum sampai pada tingkat sekolah menengah atas (SMA).


(7)

Rencana program wajib belajar 12 tahun lahir setelah pemerintah berhasil menyelenggarakan wajib belajar sembilan tahun, sukses ini tidak lepas dari upaya keras Pemerintah yang membangun sekolah-sekolah baru, khususnya SMP atau MTs. Sementara sekolah yang sudah ada, ditambah ruang kelasnya untuk bisa menampung para lulusan SD dan MI. Dengan demikian, tidak ada lagi SMP atau MTs yang tidak bisa menerima lulusan SD atau MI.

Selain itu, Pemerintah juga membuka SMP Terbuka untuk menampung siswa lulusan SD. Selama ini banyak lulusan SD yang tidak melanjutkan ke SMP karena alasan kondisi ekonomi keluarga, transportasi, letak geografis, atau harus membantu bekerja orang tua. Dengan adanya SMP Terbuka, mereka kini bisa belajar dimana saja dan kapan saja serta tidak perlu datang ke sekolah. Kebijakan pemerintah yang membebaskan uang sekolah (SPP) sekolah negeri juga dinilai sangat mendorong suksesnya program nasional ini.

Terkait dengan itu semua sebagai masyarakat yang baik, Kita harus ikut berpatisipasi atau ikut serta dalam mendukung Wajib Belajar 12 Tahun ini. Karena program ini sangat baik untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat terhadap masa depan generasi penerus bangsa yang berkualitas serta upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

C. Pemerintah Siapkan Perangkat untuk Wajib Belajar 12 Tahun. 15 Desember 2015

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sedang menyiapkan peta jalan atau road map wajib belajar (wajar) 12 tahun. Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, beberapa  perangkat yang disiapkan menuju wajar 12 tahun itu antara lain perangkat hukum dan sisi penyediaan sarana dan prasarana berupa guru, unit sekolah baru (USB) dan ruang kelas baru (RKB).

“(Dulu) wajib belajar enam tahun itu ditetapkan pada tahun 1984 setelah  pemerintah menyiapkan supply side-nya. Sekolah-sekolah SD itu dibangunnya tahun 70an, lalu tahun 1984 baru (diberlakukan) wajar enam tahun. Yang kita harus lakukan juga adalah menyiapkan supply side-nya, yaitu gurunya, sekolahnya, sehingga begitu nanti ketok palu untuk wajib belajar 12 tahun, kita sudah siap,” ujarnya usai berbicara pada Seminar Nasional Wajib Belajar 12 Tahun di Kantor Kemendikbud, Jakarta, (15/12/2015).

Mendikbud mengatakan, mengelola wajar 12 tahun dari sisi penyediaan, artinya pemerintah harus menambah kemampuan untuk bisa menampung semua lulusan SMP yang akan melanjutkan ke pendidikan menengah, baik SMA atau SMK. Namun ia menegaskan, usaha memperluas sisi penyediaan sarana dan prasarana tersebut tidak boleh mengesampingkan kualitas sarana dan


(8)

prasarana serta kualitas tenaga didik dan tenaga kependidikan. Pendidikan, katanya, merupakan suatu proses yang dilakukan secara bertahap.

“Kita melihatnya bertahap. Membangun sekolah itu cepat. Tapi mengisi anaknya tidak cepat. Anak-anak itu lulus SMP dan SMA juga tahunan. Kita membayangkan pertumbuhan sekolah seimbang dengan pertumbuhan lulusan,” tutur Mendikbud.

Ia juga mengatakan hasil dari proses pendidikan tidak dapat dilihat dengan instan, melainkan akan terlihat dalam jangka waktu panjang. Pendidikan diharapkan bisa menjadi eskalator sosial-ekonomi dan bisa mengalahkan ketertinggalan dan kemiskinan di berbagai daerah di Indonesia. “Karena itu road map (peta jalan) yang disusun mencerminkan kondisi tiap daerah karena setiap daerah berbeda-beda,” ujarnya. Sementara terkait perangkat hukum, Mendikbud mengatakan akan ada pembahasan dengan DPR mengenai payung hukum untuk wajib belajar 12 tahun.

D. Pengertian Kriteria Ketuntasan Minimal

Salah satu prinsip penilaian pada kurikulum berbasis kompetensi adalah menggunakan acuan kriteria, yakni menggunakan kriteria tertentu dalam menentukan kelulusan peserta didik. Kriteria paling rendah untuk menyatakan peserta didik mencapai ketuntasan dinamakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) harus ditetapkan sebelum awal tahun ajaran dimulai. Seberapapun besarnya jumlah peserta didik yang melampaui batas ketuntasan minimal, tidak mengubah keputusan pendidik dalam menyatakan lulus dan tidak lulus pembelajaran. Acuan kriteria tidak diubah secara serta merta karena hasil empirik penilaian. Pada acuan norma, kurva normal sering digunakan untuk menentukan ketuntasan belajar peserta didik jika diperoleh hasil rata-rata kurang memuaskan.

Nilai akhir sering dikonversi dari kurva normal untuk mendapatkan sejumlah peserta didik yang melebihi nilai 6,0 sesuai proporsi kurva. Acuan kriteria mengharuskan pendidik untuk melakukan tindakan yang tepat terhadap hasil penilaian, yaitu memberikan layanan remedial bagi yang belum tuntas dan atau layanan pengayaan bagi yang sudah melampaui kriteria ketuntasan minimal.

Kriteria ketuntasan minimal ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan hasil musyawarah guru mata pelajaran di satuan pendidikan atau beberapa satuan pendidikan yang memiliki karakteristik yang hampir sama. Pertimbangan pendidik atau forum MGMP secara akademis menjadi pertimbangan utama penetapan KKM. Kriteria ketuntasan menunjukkan persentase tingkat pencapaian kompetensi sehingga dinyatakan dengan angka maksimal 100 (seratus). Angka maksimal 100 merupakan kriteria ketuntasan ideal. Target ketuntasan secara


(9)

nasional diharapkan mencapai minimal 75. Satuan pendidikan dapat memulai dari kriteria ketuntasan minimal di bawah target nasional kemudian ditingkatkan secara bertahap.

Kriteria ketuntasan minimal menjadi acuan bersama pendidik, peserta didik, dan orang tua peserta didik. Oleh karena itu pihak-pihak yang berkepentingan terhadap penilaian di sekolah berhak untuk mengetahuinya. Satuan pendidikan perlu melakukan sosialisasi agar informasi dapat diakses dengan mudah oleh peserta didik dan atau orang tuanya. Kriteria ketuntasan minimal harus dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar (LHB) sebagai acuan dalam menyikapi hasil belajar peserta didik.

E. Fungsi Kriteria Ketuntasan Minimal Fungsi kriteria ketuntasan minimal:

1. Sebagai acuan bagi pendidik dalam menilai kompetensi peserta didik sesuai kompetensi dasar mata pelajaran yang diikuti. Setiap kompetensi dasar dapat diketahui ketercapaiannya berdasarkan KKM yang ditetapkan.Pendidik harus memberikan respon yang tepat terhadap pencapaian kompetensi dasar dalam bentuk pemberian layanan remedial atau layanan pengayaan;

2. Sebagai acuan bagi peserta didik dalam menyiapkan diri mengikuti penilaianmata pelajaran. Setiap kompetensi dasar (KD) dan indikator ditetapkan KKM yang harus dicapai dan dikuasai oleh peserta didik. Peserta didik diharapkandapat mempersiapkan diri dalam mengikuti penilaian agar mencapai nilai melebihi KKM. Apabila hal tersebut tidak bias dicapai, peserta didik harus mengetahui KD-KD yang belum tuntas dan perlu perbaikan;

3. Dapat digunakan sebagai bagian dari komponen dalam melakukan evaluasi program pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah. Evaluasi keterlaksanaan dan hasil program kurikulum dapat dilihat dari keberhasilan pencapaian KKM sebagai tolok ukur. Oleh karena itu hasil pencapaian KD berdasarkan KKM yang ditetapkan perlu dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang peta KD-KD tiap mata pelajaran yang mudah atau sulit, dan cara perbaikan dalam proses pembelajaran maupun pemenuhan sarana prasarana belajar di sekolah;

4. Merupakan kontrak pedagogik antara pendidik dengan peserta didik dan antara satuan pendidikan dengan masyarakat. Keberhasilan pencapaian KKM merupakan upaya yang harus dilakukan bersama antara pendidik, peserta didik, pimpinan satuan pendidikan, dan orang tua. Pendidik melakukan upaya pencapaian KKM dengan memaksimalkan proses pembelajaran dan penilaian. Peserta didik melakukan upaya pencapaian KKM dengan proaktif mengikuti kegiatan pembelajaran serta mengerjakan tugas-tugas yang telah didesain pendidik. Orang tua dapat membantu dengan memberikan motivasi dan dukungan penuh bagi putra-putrinya dalam mengikuti pembelajaran. Sedangkan pimpinan satuan pendidikan berupaya memaksimalkan pemenuhan kebutuhan untuk mendukung terlaksananya proses pembelajaran dan penilaian di sekolah;


(10)

5. Merupakan target satuan pendidikan dalam pencapaian kompetensi tiapmata pelajaran. Satuan pendidikan harus berupaya semaksimal mungkin untuk melampaui KKM yang ditetapkan. Keberhasilan pencapaian KKM merupakan salah satu tolok ukur kinerja satuan pendidikan dalam menyelenggarakan program pendidikan. Satuan pendidikan dengan KKM yang tinggi dan dilaksanakan secara bertanggung jawab dapat menjadi tolok ukur kualitas mutu pendidikan bagi masyarakat.

F. Prinsip Penetapan KKM

Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal perlu mempertimbangkan beberapa ketentuan sebagai berikut:

1. Penetapan KKM merupakan kegiatan pengambilan keputusan yang dapat dilakukan melalui metode kualitatif dan atau kuantitatif. Metode kualitatif dapat dilakukan melalui professional judgement oleh pendidik dengan mempertimbangkan kemampuan akademik dan pengalaman pendidik mengajar mata pelajaran di sekolahnya. Sedangkan metode kuantitatif dilakukan dengan rentang angka yang disepakati sesuai dengan penetapan kriteria yang ditentukan;

2. Penetapan nilai kriteria ketuntasan minimal dilakukan melalui analisis ketuntasan belajar minimal pada setiap indikator dengan memperhatikan kompleksitas, daya dukung, dan intake peserta didik untuk mencapai ketuntasan kompetensi dasar dan standar kompetensi

3. Kriteria ketuntasan minimal setiap Kompetensi Dasar (KD) merupakan rata-rata dari indicator yang terdapat dalam Kompetensi Dasar tersebut. Peserta didik dinyatakan telah mencapai ketuntasan belajar untuk KD tertentu apabila yang bersangkutan telah mencapai ketuntasan belajar minimal yang telah ditetapkan untuk seluruh indikator pada KD tersebut;

4. Kriteria ketuntasan minimal setiap Standar Kompetensi (SK) merupakan rata-rata KKM Kompetensi Dasar (KD) yang terdapat dalam SK tersebut;

5. Kriteria ketuntasan minimal mata pelajaran merupakan rata-rata dari semua KKM-SK yang terdapat dalam satu semester atau satu tahun pembelajaran, dan dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar (LHB/Rapor)peserta didik;

6. Indikator merupakan acuan/rujukan bagi pendidik untuk membuat soal-soal ulangan, baik Ulangan Harian (UH), Ulangan Tengah Semester (UTS) maupun Ulangan Akhir Semester (UAS). Soal ulangan ataupun tugas-tugasharus mampu mencerminkan/menampilkan pencapaian indicator yang diujikan. Dengan demikian pendidik tidak perlu melakukan pembobotan seluruh hasil ulangan, karena semuanya memiliki hasil yang setara;

7. Pada setiap indikator atau kompetensi dasar dimungkinkan adanya perbedaan nilai ketuntasan minimal.


(11)

Penetapan KKM dilakukan oleh guru atau kelompok guru mata pelajaran. Langkah penetapan KKM adalah sebagai berikut:

1. Guru atau kelompok guru menetapkan KKM mata pelajaran dengan mempertimbangkan tiga aspek kriteria, yaitu kompleksitas. Hasil penetapan KKM indikator berlanjut pada KD, SK hingga KKM mata pelajaran;

2. Hasil penetapan KKM oleh guru atau kelompok guru mata pelajaran disahkan oleh kepala sekolah untuk dijadikan patokan guru dalam melakukan penilaian;

3. KKM yang ditetapkan disosialisaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu peserta didik, orang tua, dan dinas pendidikan;

4. KKM dicantumkan dalam LHB pada saat hasil penilaian dilaporkan kepada orang tua/wali peserta didik.


(12)

BAB III Penutup A. Kesimpulan

Pembangunan merupakan proses berkesinamabungan yang mencakup keseluruhan aspek kehidupan masyarakat meliputi aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan.Untuk menyikapi tuntutan pergeseran paradigms pendidikan tersebut seharusnyalah dirancang sedemikian hati-hati sehingga tidak menimbulkan kekecewaan di kemudian hari yang meliputi : a) Pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS adalah sebuah pendekatan pengelolaan sekolah yang bertitik tolak dari pemikiran, pertimbangan, kebutuhan dan harapan sekolah itu sendiri. Suatu tanggung jawab yang sangat berat untuk melaksanakan proses pendidikan yang bertitik tolak seperti di atas.

Kurikulum berbasis kompetensi mendasarkan pada aspek-aspek berikut: a) diversifikasi kurikulum yang mengakomodasikan berbagai perbedaan sosial, lingkungan dan budaya, b) pengetahuan yang berstandar nasional, c) empat pilar pendidikan kesejagatan yaitu learning to be, learning to know, learning to do, dan learning to live together , d) partisipasi dari masyarakat dan e) manajemen berbasis sekolah. Kurikulum berbasis kompetensi ini akan memunculkan persoalan ketika diterapkan pada tataran sekolah dasar.

Wajib belajar merupakan salah satu program yang gencar digalakkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Salah satu prinsip penilaian pada kurikulum berbasis kompetensi adalah menggunakan acuan kriteria, yakni menggunakan kriteria tertentu dalam menentukan kelulusan peserta didik. Kriteria paling rendah untuk menyatakan peserta didik mencapai ketuntasan dinamakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) harus ditetapkan sebelum awal tahun ajaran dimulai.


(13)

Daftar Pustaka

Minarty,sri.2011.Manajemen Sekolah.Ar-Ruzz Media:Yogyakarta

Trimo.2012.Manejemen Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inkluisi:Kajian Aplikatif Pentingnya Menhargai Keberagaman Anak-anak Berkebutuhan Khusus.JMP Volume 1 Nomor 2.


(1)

prasarana serta kualitas tenaga didik dan tenaga kependidikan. Pendidikan, katanya, merupakan suatu proses yang dilakukan secara bertahap.

“Kita melihatnya bertahap. Membangun sekolah itu cepat. Tapi mengisi anaknya tidak cepat. Anak-anak itu lulus SMP dan SMA juga tahunan. Kita membayangkan pertumbuhan sekolah seimbang dengan pertumbuhan lulusan,” tutur Mendikbud.

Ia juga mengatakan hasil dari proses pendidikan tidak dapat dilihat dengan instan, melainkan akan terlihat dalam jangka waktu panjang. Pendidikan diharapkan bisa menjadi eskalator sosial-ekonomi dan bisa mengalahkan ketertinggalan dan kemiskinan di berbagai daerah di Indonesia. “Karena itu road map (peta jalan) yang disusun mencerminkan kondisi tiap daerah karena setiap daerah berbeda-beda,” ujarnya. Sementara terkait perangkat hukum, Mendikbud mengatakan akan ada pembahasan dengan DPR mengenai payung hukum untuk wajib belajar 12 tahun.

D. Pengertian Kriteria Ketuntasan Minimal

Salah satu prinsip penilaian pada kurikulum berbasis kompetensi adalah menggunakan acuan kriteria, yakni menggunakan kriteria tertentu dalam menentukan kelulusan peserta didik. Kriteria paling rendah untuk menyatakan peserta didik mencapai ketuntasan dinamakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) harus ditetapkan sebelum awal tahun ajaran dimulai. Seberapapun besarnya jumlah peserta didik yang melampaui batas ketuntasan minimal, tidak mengubah keputusan pendidik dalam menyatakan lulus dan tidak lulus pembelajaran. Acuan kriteria tidak diubah secara serta merta karena hasil empirik penilaian. Pada acuan norma, kurva normal sering digunakan untuk menentukan ketuntasan belajar peserta didik jika diperoleh hasil rata-rata kurang memuaskan.

Nilai akhir sering dikonversi dari kurva normal untuk mendapatkan sejumlah peserta didik yang melebihi nilai 6,0 sesuai proporsi kurva. Acuan kriteria mengharuskan pendidik untuk melakukan tindakan yang tepat terhadap hasil penilaian, yaitu memberikan layanan remedial bagi yang belum tuntas dan atau layanan pengayaan bagi yang sudah melampaui kriteria ketuntasan minimal.

Kriteria ketuntasan minimal ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan hasil musyawarah guru mata pelajaran di satuan pendidikan atau beberapa satuan pendidikan yang memiliki karakteristik yang hampir sama. Pertimbangan pendidik atau forum MGMP secara akademis menjadi pertimbangan utama penetapan KKM. Kriteria ketuntasan menunjukkan persentase tingkat pencapaian kompetensi sehingga dinyatakan dengan angka maksimal 100 (seratus). Angka maksimal 100 merupakan kriteria ketuntasan ideal. Target ketuntasan secara


(2)

nasional diharapkan mencapai minimal 75. Satuan pendidikan dapat memulai dari kriteria ketuntasan minimal di bawah target nasional kemudian ditingkatkan secara bertahap.

Kriteria ketuntasan minimal menjadi acuan bersama pendidik, peserta didik, dan orang tua peserta didik. Oleh karena itu pihak-pihak yang berkepentingan terhadap penilaian di sekolah berhak untuk mengetahuinya. Satuan pendidikan perlu melakukan sosialisasi agar informasi dapat diakses dengan mudah oleh peserta didik dan atau orang tuanya. Kriteria ketuntasan minimal harus dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar (LHB) sebagai acuan dalam menyikapi hasil belajar peserta didik.

E. Fungsi Kriteria Ketuntasan Minimal Fungsi kriteria ketuntasan minimal:

1. Sebagai acuan bagi pendidik dalam menilai kompetensi peserta didik sesuai kompetensi dasar mata pelajaran yang diikuti. Setiap kompetensi dasar dapat diketahui ketercapaiannya berdasarkan KKM yang ditetapkan.Pendidik harus memberikan respon yang tepat terhadap pencapaian kompetensi dasar dalam bentuk pemberian layanan remedial atau layanan pengayaan;

2. Sebagai acuan bagi peserta didik dalam menyiapkan diri mengikuti penilaianmata pelajaran. Setiap kompetensi dasar (KD) dan indikator ditetapkan KKM yang harus dicapai dan dikuasai oleh peserta didik. Peserta didik diharapkandapat mempersiapkan diri dalam mengikuti penilaian agar mencapai nilai melebihi KKM. Apabila hal tersebut tidak bias dicapai, peserta didik harus mengetahui KD-KD yang belum tuntas dan perlu perbaikan;

3. Dapat digunakan sebagai bagian dari komponen dalam melakukan evaluasi program pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah. Evaluasi keterlaksanaan dan hasil program kurikulum dapat dilihat dari keberhasilan pencapaian KKM sebagai tolok ukur. Oleh karena itu hasil pencapaian KD berdasarkan KKM yang ditetapkan perlu dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang peta KD-KD tiap mata pelajaran yang mudah atau sulit, dan cara perbaikan dalam proses pembelajaran maupun pemenuhan sarana prasarana belajar di sekolah;

4. Merupakan kontrak pedagogik antara pendidik dengan peserta didik dan antara satuan pendidikan dengan masyarakat. Keberhasilan pencapaian KKM merupakan upaya yang harus dilakukan bersama antara pendidik, peserta didik, pimpinan satuan pendidikan, dan orang tua. Pendidik melakukan upaya pencapaian KKM dengan memaksimalkan proses pembelajaran dan penilaian. Peserta didik melakukan upaya pencapaian KKM dengan proaktif mengikuti kegiatan pembelajaran serta mengerjakan tugas-tugas yang telah didesain pendidik. Orang tua dapat membantu dengan memberikan motivasi dan dukungan penuh bagi putra-putrinya dalam mengikuti pembelajaran. Sedangkan pimpinan satuan pendidikan berupaya memaksimalkan pemenuhan kebutuhan untuk mendukung terlaksananya proses pembelajaran dan penilaian di sekolah;


(3)

5. Merupakan target satuan pendidikan dalam pencapaian kompetensi tiapmata pelajaran. Satuan pendidikan harus berupaya semaksimal mungkin untuk melampaui KKM yang ditetapkan. Keberhasilan pencapaian KKM merupakan salah satu tolok ukur kinerja satuan pendidikan dalam menyelenggarakan program pendidikan. Satuan pendidikan dengan KKM yang tinggi dan dilaksanakan secara bertanggung jawab dapat menjadi tolok ukur kualitas mutu pendidikan bagi masyarakat.

F. Prinsip Penetapan KKM

Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal perlu mempertimbangkan beberapa ketentuan sebagai berikut:

1. Penetapan KKM merupakan kegiatan pengambilan keputusan yang dapat dilakukan melalui metode kualitatif dan atau kuantitatif. Metode kualitatif dapat dilakukan melalui professional judgement oleh pendidik dengan mempertimbangkan kemampuan akademik dan pengalaman pendidik mengajar mata pelajaran di sekolahnya. Sedangkan metode kuantitatif dilakukan dengan rentang angka yang disepakati sesuai dengan penetapan kriteria yang ditentukan;

2. Penetapan nilai kriteria ketuntasan minimal dilakukan melalui analisis ketuntasan belajar minimal pada setiap indikator dengan memperhatikan kompleksitas, daya dukung, dan intake peserta didik untuk mencapai ketuntasan kompetensi dasar dan standar kompetensi

3. Kriteria ketuntasan minimal setiap Kompetensi Dasar (KD) merupakan rata-rata dari indicator yang terdapat dalam Kompetensi Dasar tersebut. Peserta didik dinyatakan telah mencapai ketuntasan belajar untuk KD tertentu apabila yang bersangkutan telah mencapai ketuntasan belajar minimal yang telah ditetapkan untuk seluruh indikator pada KD tersebut;

4. Kriteria ketuntasan minimal setiap Standar Kompetensi (SK) merupakan rata-rata KKM Kompetensi Dasar (KD) yang terdapat dalam SK tersebut;

5. Kriteria ketuntasan minimal mata pelajaran merupakan rata-rata dari semua KKM-SK yang terdapat dalam satu semester atau satu tahun pembelajaran, dan dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar (LHB/Rapor)peserta didik;

6. Indikator merupakan acuan/rujukan bagi pendidik untuk membuat soal-soal ulangan, baik Ulangan Harian (UH), Ulangan Tengah Semester (UTS) maupun Ulangan Akhir Semester (UAS). Soal ulangan ataupun tugas-tugasharus mampu mencerminkan/menampilkan pencapaian indicator yang diujikan. Dengan demikian pendidik tidak perlu melakukan pembobotan seluruh hasil ulangan, karena semuanya memiliki hasil yang setara;

7. Pada setiap indikator atau kompetensi dasar dimungkinkan adanya perbedaan nilai ketuntasan minimal.


(4)

Penetapan KKM dilakukan oleh guru atau kelompok guru mata pelajaran. Langkah penetapan KKM adalah sebagai berikut:

1. Guru atau kelompok guru menetapkan KKM mata pelajaran dengan mempertimbangkan tiga aspek kriteria, yaitu kompleksitas. Hasil penetapan KKM indikator berlanjut pada KD, SK hingga KKM mata pelajaran;

2. Hasil penetapan KKM oleh guru atau kelompok guru mata pelajaran disahkan oleh kepala sekolah untuk dijadikan patokan guru dalam melakukan penilaian;

3. KKM yang ditetapkan disosialisaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu peserta didik, orang tua, dan dinas pendidikan;

4. KKM dicantumkan dalam LHB pada saat hasil penilaian dilaporkan kepada orang tua/wali peserta didik.


(5)

BAB III Penutup A. Kesimpulan

Pembangunan merupakan proses berkesinamabungan yang mencakup keseluruhan aspek kehidupan masyarakat meliputi aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan.Untuk menyikapi tuntutan pergeseran paradigms pendidikan tersebut seharusnyalah dirancang sedemikian hati-hati sehingga tidak menimbulkan kekecewaan di kemudian hari yang meliputi : a) Pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS adalah sebuah pendekatan pengelolaan sekolah yang bertitik tolak dari pemikiran, pertimbangan, kebutuhan dan harapan sekolah itu sendiri. Suatu tanggung jawab yang sangat berat untuk melaksanakan proses pendidikan yang bertitik tolak seperti di atas.

Kurikulum berbasis kompetensi mendasarkan pada aspek-aspek berikut: a) diversifikasi kurikulum yang mengakomodasikan berbagai perbedaan sosial, lingkungan dan budaya, b) pengetahuan yang berstandar nasional, c) empat pilar pendidikan kesejagatan yaitu learning to be, learning to know, learning to do, dan learning to live together , d) partisipasi dari masyarakat dan e) manajemen berbasis sekolah. Kurikulum berbasis kompetensi ini akan memunculkan persoalan ketika diterapkan pada tataran sekolah dasar.

Wajib belajar merupakan salah satu program yang gencar digalakkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Salah satu prinsip penilaian pada kurikulum berbasis kompetensi adalah menggunakan acuan kriteria, yakni menggunakan kriteria tertentu dalam menentukan kelulusan peserta didik. Kriteria paling rendah untuk menyatakan peserta didik mencapai ketuntasan dinamakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) harus ditetapkan sebelum awal tahun ajaran dimulai.


(6)

Daftar Pustaka

Minarty,sri.2011.Manajemen Sekolah.Ar-Ruzz Media:Yogyakarta

Trimo.2012.Manejemen Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inkluisi:Kajian Aplikatif Pentingnya Menhargai Keberagaman Anak-anak Berkebutuhan Khusus.JMP Volume 1 Nomor 2.