BAB II Pembahasan
A. Paradigma Pendidikan Kita Terkini Pembangunan merupakan proses berkesinamabungan yang mencakup keseluruhan aspek
kehidupan masyarakat meliputi aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan
tersebut peranan pendidikan amatlah strategis. Menurut John C. Bock dalam buku Education and Development : A Conflik Meianing 1992 dinyatakan peran pendidikan antara lain :
a. memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio cultural bangsa, b. mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan dan mendorong
perubahan sosial, c. meratakan kesempatan dan pendapat.
Mencermati pendapat tersebut di atas kita dapat menyatakan begitu mulia dan indah peran pendidikan. Namun kenyataannya pengalaman selama ini menunjukkan pendidikan nasional kita
tak bisa berperan secara, optimal seperti yang dikemukakan oleh John C. Bock tersebut Justru sebaliknya pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi dengan
munculnya berbagai kesenjangan budaya sosial dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik Zamroni ; 2001 .
Persoalan yang muncul sebenarnya dialami banyak Negara berkembang yaitu bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan ? Sebab kualitas pendidikan inilah yang paling menentukan
tercapai tidaknya peran pendidikan. Pada umumnya kualitas pendidikan dikaitkan dengan tinggi rendahnya prestasi siswa dalam menempuh tes yang diadakan sekolah dan kemampuan lulusan
dalam mendapatkan dan melaksanakan pekerjaan di dunia kerja. Dengan indikator tersebut pendidikan nasional dewasa ini menghasilkan lulusan yang masih rendah prestasinya. Oleh karena
itulah untuk meningkatkan kualitas pendidikan perlu diadakan reformasi pendidikan sesuai dengan sekarang. Dalam gaung dan gegap gempitanya reformasi pendidikan berarti perubahan–
perubahan dalam system pendidikan akan mengemuka. Reformasi pendidikan inilah sebagai wujud lahirnya wawasan serta paradigma baru tentang sistem pendidikan. Paradigms baru yang
dimaksud antara lain : Pertama, perubahan dari sentralisasi menuju desentralisasi pendidikaan. Bergulirnya istilah desentralisasi di negeri kita ini bersamaan dengan diberlakukannya otonomi
daerah. Dalam dunia pendidikan muncul paradigma baru yakni desentralisasi pendidikan. Ada pun
2
arti desentralisasi pendidikan adalah penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom. Kedengarannya nyaring dan enak untuk dibayangkan tetapi desentralisasi pendidikan
tidaklah menguntungkan bagi sekolah di daerah yang sumber daya manusia dan sumber daya alamnya minus. Masalah pun timbul karena kekuatiran tentang mutu dan daya saing out put
lulusan sekolah yang diampu di era yang menuntut serba dengan persaingan . Untuk menyikapi tuntutan pergeseran paradigms pendidikan tersebut seharusnyalah dirancang
sedemikian hati-hati sehingga tidak menimbulkan kekecewaan di kemudian hari yang meliputi : a Pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah MBS. MBS adalah sebuah pendekatan pengelolaan
sekolah yang bertitik tolak dari pemikiran, pertimbangan, kebutuhan dan harapan sekolah itu sendiri. Suatu tanggung jawab yang sangat berat untuk melaksanakan proses pendidikan yang
bertitik tolak seperti di atas. Untuk itulah dibentuk dewan sekolah. Lembaga inilah yang menjadi mitra Kepala Sekolah dalam memikirkan perkembangan sekolah sesuai dengan yang diharapkan.
Artinya secara aktif bertanggung jawab dan berupaya memecahkan menghasilkan lulusan yang masih rendah prestasinya. Oleh karena itulah untuk meningkan kualitas pendidikan perlu diadakan
reformasi pendidikan sesuai dengan em sekarang. Dalam gaung dan gegap gempitanya reformasi pendidikan berarti perubahan– perubahan dalam sistem pendidikan akan mengemuka. Reformasi
pendidikan inilah sebagai wujud lahirnya wawasan serta paradigma baru tentang sistem pendidikan. Paradigms baru yang dimaksud antara lain :
Pertama, perubahan dari sentralisasi menuju desentralisasi pendidikaan. Bergulirnya istilah desentralisasi di negeri kita ini bersamaan dengan diberlakukannya otonomi daerah. Dalam dunia
pendidikan muncul paradigma baru yakni desentralisasi pendidikan . Ada pun arti desentralisasi pendidikan adalah penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom.
Kedengarannya nyaring dan enak untuk dibayangkan tetapi desentralisasi pendidikan tidaklah menguntungkan bagi sekolah di daerah yang sumber daya manusia dan sumber daya alamnya
minus. Masalah pun timbul karena kekuatiran tentang mutu dan daya saing out put lulusan sekolah yang diampu di era yang menuntut serba dengan persaingan . Untuk menyikapi tuntutan
pergeseran paradigms pendidikan tersebut seharusnyalah dirancang sedemikian hati-hati sehingga tidak menimbulkan kekecewaan di kemudian hari yang meliputi :
a Pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah MBS. MBS adalah sebuah pendekatan pengelolaan sekolah yang bertitik tolak dari pemikiraft, pertimbangan, kebutuhan dan
harapan sekolah itu sendiri. Suatu tanggung jawab yang sangat berat untuk melaksanakan proses pendidikan yang bertitik tolak seperti di atas. Untuk itulah dibentuk dewan sekolah.
Lembaga inilah yang menjadi mitra Kepala Sekolah dalam memikirkan perkembangan
3
sekolah sesuai dengan yang diharapkan. Artinya secara aktif bertanggung jawab dan berupaya memecahkan masalah yang timbul dalam pengelolaan pendidikan sesuai dengan
visi dan misi sekolah. b Pemilihan buku pelajaran. Mendiknas menyatakan tidak keberatan jika sekolah ingin
memilih sendiri buku pelajaran yang akan dipakai para siswanya. Pemerintah dan Ikapi hanya bertindak sebagai penjaga standard mutu isi buku yang diterbitkan oleh penerbit. Hal
ini akan membawa konsekuensi bahwa pemerintah tidak akan memegang lagi proyek pengadaan buku pelajaran seperti tahun-tahun sebelumnya. Mungkin penyaluran lewan
block grand. Pada era otonomi daerah seperti sekarang ini buku pelajaran muatan lokal membuka kesempatan seluas-luasnya bagi daerah untuk menentukan isi buku yang
dibutuhkan. Kedua, perubahan sistem cawu menuju sistem semester. Perubahan yang dimulai sejak tahun
pelajaran 20022003, menurut Dirjen Dikdasmen di dunia ini yang menerapkan sistem cawu hanyalah Indonesia. Apabila dicermati memang ada keuntungan yang diperoleh pada siswa, guru
dan orang tua, yaitu : a siswa memiliki waktu leluasa untuk memperdalam suatu materi, b tingkat stress yang dihadapi siswa lebih rendah karena intensitas ujian lebih longgar, c guru
memiliki waktu yang lebih lama untuk mempersiapkan materi ajar, d guru dan siswa memiliki waktu yang cukup untuk persiapan evaluasi belajar, dan e liburan semester dapat bersama dengan
liburan mahasiswa sehingga bagi keluarga yang akan memanfaatkannya dapat lebih merasa senang dan puas.
Ketiga, diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Ungkapan yang menyatakan bahwa setiap ganti menteri tentu berganti pula
kurikulum agaknya dapat di benarkan. Menteri Pendidikan Nasional pada kabinet terakhir ini juga mengeluarkan peraturan kurikulum baru disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK pada
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP . Fokus kurikulum ini adalah siswa dapat beriman, sehat, mandiri, berbudaya, berakhlak mulia, beretos kerja, berpengetahuan, dan menguasai
teknologi serta cinta tanah air. Tujuan kurikulum ini adalah agar lulusan pendidikan nasional memiliki keungg ulan kompetitif dan komparatif sesuai standar mutu nasional dan internasional.
Sistem pendidikan minimal harus dapat merespon secara proaktif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta tuntutan desentralisasi.
Kurikulum berbasis kompetensi mendasarkan pada aspek-aspek berikut: a diversifikasi kurikulum yang mengakomodasikan berbagai perbedaan sosial, lingkungan dan budaya, b
pengetahuan yang berstandar nasional, c empat pilar pendidikan kesejagatan yaitu learning to be,
4
learning to know, learning to do, dan learning to live together , d partisipasi dari masyarakat dan e manajemen berbasis sekolah. Kurikulum berbasis kompetensi ini akan memunculkan persoalan
ketika diterapkan pada tataran sekolah dasar. Letak persoalannya justru kompetensi yang ingin dikuasai mengingat filosofis tingkat SD adalah pendidikannya bukan untuk penguasaan disiplin
ilmu akan tetapi untuk pengembangan karakter atau hubungan dengan masyarakat Hamid Hasan, 2001.
Keempat, Tuntutan Profesionalisme Guru. Guru masa depan jauh berbeda dengan guru masa lampau. Kalau dulu pada era sentralisasi pendidikan, guru boleh dikata asalkan datang dan
mengajar sebagai konsekuensi minta gaji. Akan tetapi tidak di era otonomi daerah sekarang ini. Guru dituntut datang, mengajar dan mengembangkan profesionalismenya. Mengapa
profesionalisme harus ditingkatkkan ? Merujuk diberlakukannya kurikulum berbasis kompetensi, persaingan antar chetah dan tuntutan era globalisasi , menuntut profesionalisme guru untuk
ditingkatkan. Menurut Gary A Davis dan Margaret A. Thomas. Guru profesional adalah guru yang
melakukan pembelajaran di kelas dapat secara efektif. Adapun ciri guru efektif adalah sebagai berikut : a memiliki kemampuan membentuk iklim belajar yang segar, b memiliki kemampuan
menerapkan strategi manajemen pembelajaran yang menyenangkan, c memiliki kemampuan yang menumbuhkan pemberian umpan balik dan penguatan kepada siswa, d memiliki
kemampuan peningkatan diri Suyanto, 2001 Unttuk mewujudkan ciri-ciri guru efektif tersebut di satu sisi tergantung dedikasi dan disiplin guru itu sendiri terhadap pelaksanaan tugas dan
kewajibannya tetapi di sisi lain dipengaruhi oleh apresiasi masyarakat terhadap prestasi guru. Apresiasi masyarakat sekarang terhadap profesi guru sudah berada di tataran yang merendahkaan
profesi guru. Betapa tidak Pengakuan secara jujur seseorang terhadap keluarganya yang menjadi guru ditambahi embel-embel hanya di hadapan orang lain. Misalnya, bapak saya hanya seorang
guru. Sehubungan dengan hal tersebut menjadi keharusan adanya pembinaan terhadap guru oleh pembina yang profesional pula tentunya. Bagaimana dedikasi dan disiplin guru itu meningkat ?
Pertanyaan ini tentu membuat benak para pembina profesi guru tersentak. Pembinaan secara administratif harus segera ditanggalkan karena hal itu tidak membuat profesional, tidak membuat
guru pandai justru sebaliknya guru terbebani administrasi. Siswa pun rugi karena banyak ditinggalkan guru demi administrasi. Di samping hal tersebut sudah barang tentu upaya
pemerintah melakukan perbaikan dan peningkatan kesejahteraan guru tak dapat diabaikan. Karena peningkatan kesejahteraan merupakan sebagaian upaya menangkal apresiasi negatif profesi guru
oleh masyarakat.
5
Kelima, tuntutan penghapusan Unas. Salah satu penyebab produk pendidikan sekarang ini kurang dapat berpikir kritis adalah diadakannya pada evaluasi belajar yang disebut Unas.
Indikator prestasi siswa ditekan dari tinggi rendahnya angka nilai hasil Unas. Apanya yang salah ? Jawabnya, orientasi belajar siswa yang selalu pada hasil Unas. Orientasi yang demikian inilah
meningkatkan pola pembelajaran di kelas tidak menumbuhkan kreativitas baik siswa maupun gurunya, Siswa tidak merasa bangga belajar di kelas namun lebih merasa bangga sebagai pelajar
yang siap melaju apabila sudah mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah. Jika kita cermati soal-soal Unas memberikan kontribusiyang signifikaan terhadap produk
pendidikan yang kurang bermutu ini. Siswa belajar sepotong-sepotong, kurang jeli melihat persoalan dan merasa sukar menemukan konsep- konsep pokok suatu keadaan sekalipun ada di
sekitarnya. Hal ini disebabkan : a Pembelajaran di kelas berorientasi Unas sehingga mata pelajaran selain yang diunaskan tidak diminati untuk dipelajari secara mendalam. b Soal-soal
Unas yang bebentuk pilihan ganda, dan c Kajian soal-soal Unas hanya hafalan. Misalnya di mana P. Diponegoro wafat ? Mestinya kalau ingin menumbuhkan proses berpikir siswa ditanyakan
mengapa terjadi perang Diponegoro ? Untuk biologi tidak hanya ditanyakan enzim apa yang dihasilkan dinding lambung tetapi bagaimana proses pencernaan di dalam lambung ? Dan lain-
lain. Nah, keadaan seperti itulah yang melibatkan munculnya pendapat, bubarkan saja sekolah ganti dengan bimbingan belajar, jika keberadaan dan model Unas dengan soal pilihan ganda masih
diterapkan. B. Wajib Belajar
Wajib belajar merupakan salah satu program yang gencar digalakkan oleh Departemen Pendidikan Nasional Depdiknas. Program ini mewajibkan setiap warga negaraIndonesia untuk
bersekolah selama 9 sembilan tahun pada jenjang pendidikan dasar, yaitu dari tingkat kelas 1 Sekolah DasarSD atau Madrasah Ibtidaiyah MI hingga kelas 9 Sekolah Menengah Pertama
SMP atau Madrasah Tsanawiyah MTs. Landasan pokok keberadaan sistem pendidikan nasional adalah UUD 45 Bab XIII, Pasal 31,
ayat 1 Yang menyatakan bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Dengan adanya langkah Program Pemerintah Wajib Belajar 12 Tahun Gratis, Berlaku Juni 2015,
pemerintahan Presiden Jokowi sepenuhnya siap dalam membiayai dan memberikan semua fasilitas sampai anak bangsa memilikinbsp; pendidikan yang minimum sampai pada tingkat
sekolah menengah atas SMA.
6
Rencana program wajib belajar 12 tahun lahir setelah pemerintah berhasil menyelenggarakan wajib belajar sembilan tahun, sukses ini tidak lepas dari upaya keras Pemerintah yang
membangun sekolah-sekolah baru, khususnya SMP atau MTs. Sementara sekolah yang sudah ada, ditambah ruang kelasnya untuk bisa menampung para lulusan SD dan MI. Dengan demikian, tidak
ada lagi SMP atau MTs yang tidak bisa menerima lulusan SD atau MI. Selain itu, Pemerintah juga membuka SMP Terbuka untuk menampung siswa lulusan SD.
Selama ini banyak lulusan SD yang tidak melanjutkan ke SMP karena alasan kondisi ekonomi keluarga, transportasi, letak geografis, atau harus membantu bekerja orang tua. Dengan adanya
SMP Terbuka, mereka kini bisa belajar dimana saja dan kapan saja serta tidak perlu datang ke sekolah. Kebijakan pemerintah yang membebaskan uang sekolah SPP sekolah negeri juga
dinilai sangat mendorong suksesnya program nasional ini. Terkait dengan itu semua sebagai masyarakat yang baik, Kita harus ikut berpatisipasi atau
ikut serta dalam mendukung Wajib Belajar 12 Tahun ini. Karena program ini sangat baik untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat terhadap masa depan generasi penerus
bangsa yang berkualitas serta upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. C. Pemerintah Siapkan Perangkat untuk Wajib Belajar 12 Tahun. 15 Desember 2015
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud sedang menyiapkan peta jalan atau road map wajib belajar wajar 12 tahun. Mendikbud Anies
Baswedan mengatakan, beberapanbsp; perangkat yang disiapkan menuju wajar 12 tahun itu antara lain perangkat hukum dan sisi penyediaan sarana dan prasarana berupa guru, unit sekolah
baru USB dan ruang kelas baru RKB. “Dulu wajib belajar enam tahun itu ditetapkan pada tahun 1984 setelahnbsp; pemerintah
menyiapkan supply side-nya. Sekolah-sekolah SD itu dibangunnya tahun 70an, lalu tahun 1984 baru diberlakukan wajar enam tahun. Yang kita harus lakukan juga adalah menyiapkan supply
side-nya, yaitu gurunya, sekolahnya, sehingga begitu nanti ketok palu untuk wajib belajar 12 tahun, kita sudah siap,” ujarnya usai berbicara pada Seminar Nasional Wajib Belajar 12 Tahun di
Kantor Kemendikbud, Jakarta, 15122015. Mendikbud mengatakan, mengelola wajar 12 tahun dari sisi penyediaan, artinya pemerintah
harus menambah kemampuan untuk bisa menampung semua lulusan SMP yang akan melanjutkan ke pendidikan menengah, baik SMA atau SMK. Namun ia menegaskan, usaha memperluas sisi
penyediaan sarana dan prasarana tersebut tidak boleh mengesampingkan kualitas sarana dan
7
prasarana serta kualitas tenaga didik dan tenaga kependidikan. Pendidikan, katanya, merupakan suatu proses yang dilakukan secara bertahap.
“Kita melihatnya bertahap. Membangun sekolah itu cepat. Tapi mengisi anaknya tidak cepat. Anak-anak itu lulus SMP dan SMA juga tahunan. Kita membayangkan pertumbuhan sekolah
seimbang dengan pertumbuhan lulusan,” tutur Mendikbud. Ia juga mengatakan hasil dari proses pendidikan tidak dapat dilihat dengan instan, melainkan
akan terlihat dalam jangka waktu panjang. Pendidikan diharapkan bisa menjadi eskalator sosial- ekonomi dan bisa mengalahkan ketertinggalan dan kemiskinan di berbagai daerah di Indonesia.
“Karena itu road map peta jalan yang disusun mencerminkan kondisi tiap daerah karena setiap daerah berbeda-beda,” ujarnya. Sementara terkait perangkat hukum, Mendikbud mengatakan akan
ada pembahasan dengan DPR mengenai payung hukum untuk wajib belajar 12 tahun. D. Pengertian Kriteria Ketuntasan Minimal
Salah satu prinsip penilaian pada kurikulum berbasis kompetensi adalah menggunakan acuan kriteria, yakni menggunakan kriteria tertentu dalam menentukan kelulusan peserta didik.
Kriteria paling rendah untuk menyatakan peserta didik mencapai ketuntasan dinamakan Kriteria Ketuntasan Minimal KKM harus ditetapkan sebelum awal tahun ajaran dimulai. Seberapapun
besarnya jumlah peserta didik yang melampaui batas ketuntasan minimal, tidak mengubah keputusan pendidik dalam menyatakan lulus dan tidak lulus pembelajaran. Acuan kriteria tidak
diubah secara serta merta karena hasil empirik penilaian. Pada acuan norma, kurva normal sering digunakan untuk menentukan ketuntasan belajar peserta didik jika diperoleh hasil rata-rata kurang
memuaskan. Nilai akhir sering dikonversi dari kurva normal untuk mendapatkan sejumlah peserta didik
yang melebihi nilai 6,0 sesuai proporsi kurva. Acuan kriteria mengharuskan pendidik untuk melakukan tindakan yang tepat terhadap hasil penilaian, yaitu memberikan layanan remedial bagi
yang belum tuntas dan atau layanan pengayaan bagi yang sudah melampaui kriteria ketuntasan minimal.
Kriteria ketuntasan minimal ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan hasil musyawarah guru mata pelajaran di satuan pendidikan atau beberapa satuan pendidikan yang
memiliki karakteristik yang hampir sama. Pertimbangan pendidik atau forum MGMP secara akademis menjadi pertimbangan utama penetapan KKM. Kriteria ketuntasan menunjukkan
persentase tingkat pencapaian kompetensi sehingga dinyatakan dengan angka maksimal 100 seratus. Angka maksimal 100 merupakan kriteria ketuntasan ideal. Target ketuntasan secara
8
nasional diharapkan mencapai minimal 75. Satuan pendidikan dapat memulai dari kriteria ketuntasan minimal di bawah target nasional kemudian ditingkatkan secara bertahap.
Kriteria ketuntasan minimal menjadi acuan bersama pendidik, peserta didik, dan orang tua peserta didik. Oleh karena itu pihak-pihak yang berkepentingan terhadap penilaian di sekolah
berhak untuk mengetahuinya. Satuan pendidikan perlu melakukan sosialisasi agar informasi dapat diakses dengan mudah oleh peserta didik dan atau orang tuanya. Kriteria ketuntasan minimal
harus dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar LHB sebagai acuan dalam menyikapi hasil belajar peserta didik.
E. Fungsi Kriteria Ketuntasan Minimal Fungsi kriteria ketuntasan minimal:
1. Sebagai acuan bagi pendidik dalam menilai kompetensi peserta didik sesuai kompetensi dasar mata pelajaran yang diikuti. Setiap kompetensi dasar dapat diketahui
ketercapaiannya berdasarkan KKM yang ditetapkan.Pendidik harus memberikan respon yang tepat terhadap pencapaian kompetensi dasar dalam bentuk pemberian layanan
remedial atau layanan pengayaan;
2. Sebagai acuan bagi peserta didik dalam menyiapkan diri mengikuti penilaianmata pelajaran. Setiap kompetensi dasar KD dan indikator ditetapkan KKM yang harus
dicapai dan dikuasai oleh peserta didik. Peserta didik diharapkandapat mempersiapkan diri dalam mengikuti penilaian agar mencapai nilai melebihi KKM. Apabila hal tersebut
tidak bias dicapai, peserta didik harus mengetahui KD-KD yang belum tuntas dan perlu perbaikan;
3. Dapat digunakan sebagai bagian dari komponen dalam melakukan evaluasi program pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah. Evaluasi keterlaksanaan dan hasil program
kurikulum dapat dilihat dari keberhasilan pencapaian KKM sebagai tolok ukur. Oleh karena itu hasil pencapaian KD berdasarkan KKM yang ditetapkan perlu dianalisis
untuk mendapatkan informasi tentang peta KD-KD tiap mata pelajaran yang mudah atau sulit, dan cara perbaikan dalam proses pembelajaran maupun pemenuhan sarana
prasarana belajar di sekolah;
4. Merupakan kontrak pedagogik antara pendidik dengan peserta didik dan antara satuan pendidikan dengan masyarakat. Keberhasilan pencapaian KKM merupakan upaya yang
harus dilakukan bersama antara pendidik, peserta didik, pimpinan satuan pendidikan, dan orang tua. Pendidik melakukan upaya pencapaian KKM dengan memaksimalkan
proses pembelajaran dan penilaian. Peserta didik melakukan upaya pencapaian KKM dengan proaktif mengikuti kegiatan pembelajaran serta mengerjakan tugas-tugas yang
telah didesain pendidik. Orang tua dapat membantu dengan memberikan motivasi dan dukungan penuh bagi putra-putrinya dalam mengikuti pembelajaran. Sedangkan
pimpinan satuan pendidikan berupaya memaksimalkan pemenuhan kebutuhan untuk mendukung terlaksananya proses pembelajaran dan penilaian di sekolah;
9
5. Merupakan target satuan pendidikan dalam pencapaian kompetensi tiapmata pelajaran. Satuan pendidikan harus berupaya semaksimal mungkin untuk melampaui KKM yang
ditetapkan. Keberhasilan pencapaian KKM merupakan salah satu tolok ukur kinerja satuan pendidikan dalam menyelenggarakan program pendidikan. Satuan pendidikan
dengan KKM yang tinggi dan dilaksanakan secara bertanggung jawab dapat menjadi tolok ukur kualitas mutu pendidikan bagi masyarakat.
F. Prinsip Penetapan KKM Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal perlu mempertimbangkan beberapa ketentuan
sebagai berikut: 1. Penetapan KKM merupakan kegiatan pengambilan keputusan yang dapat dilakukan
melalui metode kualitatif dan atau kuantitatif. Metode kualitatif dapat dilakukan melalui professional judgement oleh pendidik dengan mempertimbangkan kemampuan
akademik dan pengalaman pendidik mengajar mata pelajaran di sekolahnya. Sedangkan metode kuantitatif dilakukan dengan rentang angka yang disepakati sesuai dengan
penetapan kriteria yang ditentukan;
2. Penetapan nilai kriteria ketuntasan minimal dilakukan melalui analisis ketuntasan belajar minimal pada setiap indikator dengan memperhatikan kompleksitas, daya
dukung, dan intake peserta didik untuk mencapai ketuntasan kompetensi dasar dan standar kompetensi
3. Kriteria ketuntasan minimal setiap Kompetensi Dasar KD merupakan rata-rata dari indicator yang terdapat dalam Kompetensi Dasar tersebut. Peserta didik dinyatakan
telah mencapai ketuntasan belajar untuk KD tertentu apabila yang bersangkutan telah mencapai ketuntasan belajar minimal yang telah ditetapkan untuk seluruh indikator
pada KD tersebut;
4. Kriteria ketuntasan minimal setiap Standar Kompetensi SK merupakan rata-rata KKM Kompetensi Dasar KD yang terdapat dalam SK tersebut;
5. Kriteria ketuntasan minimal mata pelajaran merupakan rata-rata dari semua KKM-SK yang terdapat dalam satu semester atau satu tahun pembelajaran, dan dicantumkan
dalam Laporan Hasil Belajar LHBRaporpeserta didik;
6. Indikator merupakan acuanrujukan bagi pendidik untuk membuat soal-soal ulangan, baik Ulangan Harian UH, Ulangan Tengah Semester UTS maupun Ulangan Akhir
Semester UAS. Soal ulangan ataupun tugas-tugasharus mampu mencerminkanmenampilkan pencapaian indicator yang diujikan. Dengan demikian
pendidik tidak perlu melakukan pembobotan seluruh hasil ulangan, karena semuanya memiliki hasil yang setara;
7. Pada setiap indikator atau kompetensi dasar dimungkinkan adanya perbedaan nilai ketuntasan minimal.
G. Langkah-Langkah Penetapan KKM
10
Penetapan KKM dilakukan oleh guru atau kelompok guru mata pelajaran. Langkah penetapan KKM adalah sebagai berikut:
1. Guru atau kelompok guru menetapkan KKM mata pelajaran dengan mempertimbangkan tiga aspek kriteria, yaitu kompleksitas. Hasil penetapan KKM indikator berlanjut pada
KD, SK hingga KKM mata pelajaran;
2. Hasil penetapan KKM oleh guru atau kelompok guru mata pelajaran disahkan oleh kepala sekolah untuk dijadikan patokan guru dalam melakukan penilaian;
3. KKM yang ditetapkan disosialisaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu peserta didik, orang tua, dan dinas pendidikan;
4. KKM dicantumkan dalam LHB pada saat hasil penilaian dilaporkan kepada orang tuawali peserta didik.
11
BAB III Penutup