Bahan MAKALAH perdata LANJUT

18 ayat 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan : “ pelaku
usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian apabila Menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang
di beli konsumen secara angsuran. Dan Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa
kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran.
Dan di dalam UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris disebutkan bahwa didalam
proses pembuatan satu akta harus “dihadiri oleh para penghadap, dihadiri oleh paling
sedikit dua saksi, dibacakan saat itu juga oleh notaris di depan para penghadap dan saksi,
di tanda tangani saat itu juga oleh notaris dan kedua penghadap serta kedua saksi
tersebut, dan masing-masing pihak diberikan salinan akta tersebut”.
· Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat fidusianya atau yang sertifikat fidusianya
dibuat secara sepihak maka objek jaminan fidusia tersebut tidak mempunyai hak eksekusi
langsung (parate eksekusi). Maka disaat terjadi ‘Wan Prestasi” atau kemacetan dari
konsumen pihak finance tidak bisa melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia
tersebut. Fakta di lapangan pihak finance justru melakukan eksekusi secara sepihak tanpa
melalui instansi pemerintahan terkait dan berdasarkan aturan perundang-undangan yang
berlaku, biasanya pihak finance menggunakan tangan-tangan “Debt Collector” untuk
melakukan eksekusi, Padahal perbuatan mereka tersebut bisa dikategorikan Perbuatan

Melawan hukum (PMH) sebagaimana disebutkan dalam pasal 1365 KUHPerdata, dan
konsumen pun dapat melakukan gugatan ganti ruggi menurut pasal ini.
Bahkan dalam konsep hukum pidana, eksekusi objek jaminan fidusia yang dilakukan
dibawah tangan masuk dalam tindak pidana apabila pihak finance melalui tangan Debt
Collector tersebut melakukan intimidasi, menakut-nakuti, serta melakukan pemaksaan
dan ancaman perampasan, sebagai mana disebutkan dala pasal 368 KUHPidana. Pasal ini
menyebutkan : “barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain, secara melawan hukum memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu barang, yang sepenuhnya atau
sebagian adalah milik orang itu atau orang lain, untuk supaya membuat hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan.”
Ketentuan pasal 365 ayat dua, tiga, dan empat berlaku juga untuk kejahatan ini.
Pelanggaran-pelanggaran yang sering dilakukan debitur adalah sebagai berikut :
1. Debitur menjaminkan lagi obyek jaminan fidusia (Fidusia ulang). Undang-Undang
tentang Jaminan Fidusia melarang adanya tindakan fidusia ulang sebagaimana diatur
dalam Pasal 17. Ketentuan ini dibuat dalam rangka untuk melindungi kepentingan pihak
kreditur yang telah memberikan pinjaman kepada debitur dan obyek jaminannya tetap
dikuasai oleh debitur. Ketentuan tersebut sangat logis karena atas obyek jaminan fidusia
dimaksud hak kepemilikannya telah beralih dari pemberi fidusia (debitur) kepada
penerima fidusia (kreditur) sehingga tidak mungkin lagi dijaminkan kepada pihak lain.

Apabila atas benda yang sama menjadi obyek jaminan fidusia lebih dari satu perjanjian
jaminan fidusia maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27
diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya di Kantor Pendaftaran
Fidusia (pasal 28).

2. Pemberi fidusia (debitur) menggadaikan, mengalihkan atau menyewakan obyek
jaminan fidusia tanpa seijin penerima fidusia (kreditur).
Tindakan ini biasanya dilakukan oleh debitur yang telah mendapatkan pembiayaan dari
perusahaan finance untuk pembelian kendaraan bermotor, di mana hutangnya belum
lunas tapi kendaraannya telah digadaikan secara di bawah tangan kepada pihak ketiga.
Terhadap perbuatan tersebut, Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 telah
mengatur ancaman pidana bagi debitur yang mengadaikan atau mengalihakan obyek
jaminan fidusia tanpa seijin kreditur yaitu diancam pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
3. Debitur mengubah dan atau mengganti isi dari benda yang menjadi obyek jaminan
sehingga kualitasnya menjadi turun (jelek). Misalnya mengganti onderdil kendaraan
bermotor dengan onderdil palsu atau onderdil bekas.
Perbuatan debitur tersebut tidak dapat dibenarkan karena pada saat ditandatanganinya
perjanjian kredit dan perjanjian jaminan fidusia, hak kepemilikan atas obyek jaminan
fidusia telah beralih dari pemberi fidusia (debitur) kepada penerima fidusia (kreditur),

sehingga pemberi fidusia (debitur) hanya dianggap sebagai penyewa yang mempunyai
kewajiban untuk menjaga, memelihara dan memakai obyek jaminan yang dikuasainya
dengan baik.
Akibat Hukum Jaminan Fidusia yang Belum Didaftarkan
Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia (“UUJF”), jaminan fidusia baru lahir pada tanggal yang
sama dengan tanggal dicatatnya jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia dan
kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “ Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dengan mendapat sertifikat jaminan
fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi
langsung (parate executie), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam
perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan putusan pengadilan
yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Selain

itu,

untuk


pembebanan

jaminan

fidusia, Pasal

5

ayat

(1)

UUJFmengamanatkan Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan
akta

notaris

dalam


Fidusia. Mengutip

bahasa

tulisan

Indonesia

advokat Grace

dan
P.

merupakan

Nugroho,

akta

Jaminan


S.H.dalam

artikel

berjudul Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia Dengan Akta
di Bawah Tangan, saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank
(bank

umum maupun

perkreditan)

menyelenggarakan

pembiayaan

bagi

konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang

(factoring).

Mereka

umumnya

menggunakan

tata

cara

perjanjian

yang

mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia, namun
ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor

Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut

akta jaminan fidusia di bawah tangan.

Namun, sesuai dengan amanat UUJF, untuk mendapat perlindungan hukum
sebagaimana diatur dalam UUJF, pembebanan benda dengan akta jaminan fidusia
harus dibuat dengan akta otentik dan dicatatkan dalam Buku Daftar Fidusia. Jika
ketentuan tersebut tidak dipenuhi, hak-hak kreditur tidak mendapat perlindungan
sebagaimana disebutkan dalam UUJF.