makalah hukum perdata badan hukum perdata

MAKALAH HUKUM PERDATA
“HUKUM WARIS”

8111414146

Norman Sasongko

8111414152

Mohamad Shofi`I

8111414162

Faisal Abu Nida

8111414166

Muhammad Khoirul Anwar

8111414167


Soaloon Sihombing

8111414168

Muhammad Firdaus Reza Arianto

8111414230

Yusuf Adhi Wijaya

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015

DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .........................................................................................
DAFTAR ISI .........................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................2
A. Latar Belakang .....................................................................................
B. Rumusan masalah..................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3
BAB III PENUTUP...............................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................19

1

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan
dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris erat kaitannya
dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa
hukum yang dinamakan kematian mengakibatkan masalah bagaimana penyelesaian hak-hak
dan kewajiban . Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukup Perdata
(KUHPerdata) buku kedua tentang kebendaan dan juga dalam hukum waris Islam, dan juga
hukum waris adat.
Pada prinsipnya kewarisan adalah langkah-langkah penerusan dan pengoperaan harta

peninggalan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari seorang pewaris kepada
ahli warisnya. maksudnya dari pewaris ke ahli warisnya. Akan tetapi di dalam kenyataannya
prose serta langkah-langkah pengalihan tersebut bervariasi, dalam hal ini baik dalam hal
hibah, hadiah dan hibah wasiat. ataupun permasalahn lainnya . Disini penulis akan sedikit
memaparkan bagaimana hukum kewarisan dalam persfektif hukum perdata barat
KUHPedata(BW), hukum waris Islam dan Hukum adat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum waris menurut BW?
2. Bagaimana hukum waris menurut hukum islam?
3. Bagaimana hukum waris menurut hukum adat?

2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Waris Menurut BW
A.1 PENGERTIAN WARIS
Hukum waris ( erfrecht ) yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur

mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban ( harta kekayaan ) dari orang
yang meninggal dunia ( pewaris ) kepada orang yang masih hidup ( ahli waris) yang berhak
menerimanya. Atau dengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang mengatur
perpindahan harta kekayaan orang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang
lain.
Menurut Mr. A. Pitlo, hukum waris yaitu suatu rangkaian ketentuan – ketentuan, di
mana, berhubung dengan meninggalnya seorang, akibat- akibatnya di dalam bidang
kebendaan, diatur, yaitu : akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang
meninggal, kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun
dengan pihak ketiga.
A.2 UNSUR – UNSUR PEWARISAN
Di dalam membicarakan hukum waris maka ada 3 hal yang perlu mendapat perhatian,
di mana ketiga hal ini merupakan unsur – unsur pewarisan :
1. Orang yang meninggal dunia / Pewaria / Erflater
Pewaris ialah orang yang meninggal dunia dengan meningalkan hak dan kewajiban
kepada orang lain yang berhak menerimanya. Menurut pasal 830 BW, pewarisan hanya
berlangsung karena kematian. Menurut ketentuan pasal 874 BW, segala harta peninggalan
seorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang –
undang sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambil setelah ketetapan yang
sah. Dengan demikian, menurut BW ada dua macam waris :

Hukum waris yang disebut pertama, dinamakan Hukum Waris ab intestato (tanpa wasiat).
Hukum waris yang kedua disebut Hukum Waris Wasiat atau testamentair erfrecht.
2. Ahli waris yang berhak menerima harta kekayaan itu / Erfgenaam
Ahli waris yaitu orang yang masih hidup yang oleh hukum diberi hak untuk menerima
hak dan kewajiban yang ditinggal oleh pewaris. Lalu, bagaiman dengan bayi yang ada dalam
kandungan ?. Menurut pasal 2 BW, anak yang ada dalam kandungan dianggap sebagai telah
dilahirkan bilamanakeperluan si anak menghendaki. Jadi, dengan demikian seorang anak
yang ada dalam kandungan, walaupun belum lahir dapat mewarisi karena dalam pasal ini
hukum membuat fiksi seakan – akan anak sudah dilahirkan.

3

Ahli waris terdiri dari :
 Ahli waris menurut undang – undang ( abintestato )
Ahli waris ini didasarkan atas hubungan darah dengan si pewaris atau para keluarga
sedarah. Ahli waris ini terdiri atas 4 golongan. Golongan I, terdiri dari anak – anak, suami
( duda ) dan istri ( janda ) si pewaris; Golongan II, terdiri dari bapak, ibu ( orang tua ),
saudara – saudara si pewris; Golongan III, terdiri dari keluarga sedarah bapak atau ibu lurus
ke atas ( seperti, kakek, nenek baik garis atau pancer bapak atau ibu ) si pewaris; Golongan
IV, terdiri dari sanak keluarga dari pancer samping ( seperti, paman , bibi ).

 Ahli waris menurut wasiat ( testamentair erfrecht )
Ahli waris ini didasarkan atas wasiat yaitu dalam pasal 874 BW, setiap orang yang diberi
wasiat secara sah oleh pewaris wasiat, terdiri atas, testamentair erfgenaam yaitu ahli waris
yang mendapat wasiat yang berisi suatu erfstelling ( penunjukkan satu ataubeberapa ahli
waris untuk mendapat seluruh atau sebagian harta peninggalan ); legataris yaitu ahli waris
karena mendapat wasiat yang isinya menunjuk seseorang untuk mendapat berapa hak atas
satu atau beberapa macam harta waris, hak atas seluruh dari satu macam benda tertentu, hak
untuk memungut hasil dari seluruh atau sebagian dari harta waris.
Jadi, dengan demikian ada tiga dasar untuk menjadi ahli waris, yaitu, ahli waris atas dasar
hubungan darah dengan si pewaris, ahli waris hubungan perkawianan dengan si pewaris, ahli
waris atas dasar wasiat.
3. Harta Waris
Hal – hal yang dapat diwarisi dari si pewaris, pada prinsipnya yang dapat diwarisi hanyalah
hak – hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut
berupa, Aktiva ( sejumlah benda yang nyata ada dan atau berupa tagihan atau piutang kepada
pihak ketiga, selain itu juga dapat berupa hak imateriil, seperti, hak cipta ); Passiva ( sejumlah
hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak ketiga maupun kewajiban lainnya ). Dengan
demikian, hak dan kewajiban yang timbul dari hukum keluarga tidak dapat diwariskan.
A.3 HAK DAN KEWAJIBAN PEWARIS
1. Hak Pewaris

Pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya dalam testament atau
wasiat yang isinya dapat berupa, erfstelling / wasiat pengangkatan ahli waris ( suatu
penunjukkan satu atau beberapa orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan seluruh atau
sebagian harta peninggalan ( menurut pasal 954 BW ), wasiat pengangkatan ahli wari ini
terjadi apabila pewaris tidak mempunyai keturunanatau ahli waris ( menurut pasal 917 BW ));
legaat / hibah wasiat ( pemberian hak kepada seseorang atas dasar wasiat yang khusus berupa
hak atas satu atau beberapa benda tertentu, hak atas seluruh benda bergerak tertentu, hak
pakai atau memungut hasil dari seluruh atau sebagian harta warisan ( menurut pasal 957
BW )).

4

2. Kewajiban Pewaris
Pewaris wajib mengindahkan atau memperhatikan legitime portie, yaitu suatu bagian tertentu
dari harta peningalan yang tidak dapat dihapuskan atau dikurangi dengan wasiat atau
pemberian lainnya oleh orang yang meninggalkan warisan ( menurut pasal 913 BW ). Jadi,
pada dasarnya pewaris tidak dapat mewasiatkan seluruh hartanya, karena pewaris wajib
memperhatikan legitieme portie, akan tetapi apabila pewaris tidak mempunyai keturunan ,
maka warisan dapat diberikan seluruhnya pada penerima wasiat.
A.4 HAK DAN KEWAJIBAN AHLI WARIS

1. Hak Ahli Waris
Setelah terbukanya warisan ahli waris mempunyai hak atau diberi hak untuk menentukan
sikapnya, antara lain, menerima warisan secara penuh, menerima dengan hak untuk
mengadakan pendaftaran harta peninggalan atau menerima dengan bersyarat, dan hak untuk
menolak warisan.
2. Kewajiban Ahli Waris
Adapun kewajiban dari seorang ahli waris, antara lain, memelihara keutuhan harta
peninggalan sebelum harta peninggalan itu dibagi, mencari cara pembagian sesuai ketentuan,
melunasi hutang – hutang pewaris jika pewaris meninggalkan hutang, dan melaksanakan
wasiat jika pewarismeninggalkan wasiat.
A.5 PEMBAGIAN WARIS MENURUT BW
1. Golongan I,
Merupakan ahli waris dalam garis lurus ke bawah dari pewaris, yaitu anak, suami / duda, istri
/ janda dari si pewaris. Ahli waris golongan pertama mendapatkan hak mewaris
menyampingkan ahli waris golongan kedu, maksudnya, sepanjang ahli waris golongan
pertama masih ada, maka, ahli waris golongan kedua tidak bisa tampil.

pasal 852 : Seorang anak biarpun dari perkawinan yang berlain – lainan atau waktu
kelahiran , laki atau perempuan, mendapat bagian yang sama ( mewaris kepala demi kepala ).
Anak adopsi memiliki kedudukan yang sama seperti anak yang lahir di dalam perkawinannya

sendiri .
Berbicara mengenai anak, maka, kita dapat menggolongkannya sebagai berikut :
 Anak sah, yaitu anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan dengan
tidak mempermasalahkan kapan anak itu dibangkitkan oleh kedua suami istri atau orang
tuanya. Anak sah mewaris secara bersama – sama dengan tidak mempermasalahkan apakah ia
lahir lebih dahulu atau kemudian atau apakah ia laki – laki atau perempuan.
 Anak luar perkawinan, yaitu anak yang telah dilahirkan sebelum kedua suami istri itu
menikah atau anak yang diperoleh salah seorang dari suami atau istri dengan orang lain
sebelum mereka menikah. Anak luar perkawinan ini terbagi atas :

5

 Anak yang disahkan, yaitu anak yang dibuahkan atau dibenihkan di luar perkawinan,
dengan kemudian menikahnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, dengan pengakuan
menurut undang – undang oleh kedua orang tuanya itu sebelum pernikahan atau atau dengan
pengakuan dalam akte perkawinannya sendiri.
 Anak yang diakui, yaitu dengan pengakuan terhadap seorang anak di luar kawin, timbullah
hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya tau dengan kata lain, yaitu anak yang
diakui baik ibunya saja atau bapaknya saja atau kedua – duanya akan memperoleh hubungan
kekeluargaan dengan bapak atau ibu yang mengakuinya. Pengakuan terhadap anak luar kawin

dapat dilakukan dalam akte kelahiran anak atau pada saat perkawinan berlangsung atau
dengan akta autentik atau dengan akta yang dibuat oleh catatan sipil.
Menurut pasal 693, hak waris anak yang diakui; 1/3 bagian sekiranya ia sebagai anak sah,
jika ia mewaris bersama – sama dengan ahli waris golongan pertama, ½ dari harta waris jika
ia mewaris bersama – sama dengan golongan kedua, ¾ dari harta waris jika ia mewaris
bersama dengan sanak saudara dalam yang lebih jauh atau jika mewaris dengan ahli waris
golongan ketiga dan keempat, mendapat seluruh harta waris jika si pewaris tidak
meninggalkan ahli wari yang sah.
Jika anak diakui ini meninggal terlebih dahulu, maka anak dan keturunannya yang sah berhak
menuntut bagian yang diberikan pada merka menurut pasal 863, 865.
 Anak yang tidak dapat diakui, terdiri atas; anak zina ( anak yang lahir dari orang laki – laki
dan perempuan, sedangkan salah satu dari mereka itu atau kedua – duanya berada dalam
ikatan perkawinan dengan orang lain ), anak sumbang ( anak yang lahir dari orang lki – laki
dan perempuan, sedangkan diantara mereka terdapat larangan kawin atau tidak boleh kawin
karena masih ada hubungan kekerabatan yang dekat. Untuk kedua anak ini tidak
mendapatkan hak waris, mereka hanya mendapatkan nafkah seperlunya.
852 a. : Bagian seorang isteri ( suami ), kalau ada anak dari perkawinannya dengan yang
meninggal dunia, adalah sama dengan bagiannya seorang anak. Jika perkawinan itu bukan
perkawinan yang pertama, dan dari perkawinan yang dahulu ada juga anak – anak, maka
bagian dari janda ( duda ) itu tidak boleh lebih dari bagian terkecil dari anak – anak yang

meninggal dunia. Bagaimanapun juga seorang janda ( duda ) tidak boleh mendapat lebih dari
½ dari harta warisan. Di atas disebut bahwa jika ada anak dari perkawinan yang dahulu, maka
bagian dari seorang janda ( duda ) tidak boleh lebih dari bagian terkecil dari anak – anak
peninggal warisan. Lebih dahulu telah ada ketentuan bahwa bagian dari seorang anak adalah
sama, meskipun dari lain perkawinan. Untuk dapat mengerti arti dari kata ” terkecil ” itu,
perlu diingat bahwa pasal ini adalah pasal yang disusulkan kemudian yaitu dengan Stbld.
1935 No. 486, dengan maksud supaya memperbaiki kedudukan seorang janda ( duda ) yang
dengan adanya pasal itu bagiannya dipersamakan dengan seorang anak.
2. Golongan II
Merupakan, ahli waris dalam garis lurus ke atas dari pewaris, yaitu, bapak, ibu dan saudara –
saudara si pewaris. Ahli waris ini baru tampil mewaris jika ahli waris golongan pertama tidak
ada sama sekali dengan menyampingkan ahli waris golongan ketiga dan keempat.
 Dalam hal tidak ada saudara tiri :

6

854 : Jika golongan I tidak ada, maka yang berhak mewaris ialah : bapak, ibu, dan saudara.
Ayah dan ibu dapat : 1/3 bagian, kalau hanya ada 1 saudara; ¼ bagian, kalau ada lebihh dari
saudara. Bagian dari saudara adalah apa yang terdapat setelah dikurangi dengan bagian dari
orang tua.
855 : Jika yang masih hidup hanya seorang bapak atau seorang ibu, maka bagiannya ialah : ½
kalau ada 1 saudara; 1/3 kalau ada 2 saudara; ¼ kalau ada lebih dari 2 orang saudara. Sisa
dari warisan, menjadi bagiannya saudara ( saudara – saudara )
856 : Kalau bapak dan ibu telah tidak ada, maka deluruh warisan menjadi bagian saudara –
saudara.
857 : Pembagian antara saudara – saudara adalah sama, kalau mereka itu mempunyai bapak
dan ibu yang sama.
 Dalam hal ada saudara tiri :
Sebelum harta waris dibagikan kepada saudara – saudaranya, maka harus dikeluarkan lebih
dulu untuk orang tua si pewaris, jika masih hidup. Kemudian sisanya baru dibagi menjadi dua
bagian yang sama. Bagian yang ke satu adalah bagian bagi garis bapak dan bagian yang
kedua adalah sebagai bagian bagi garis ibu. Saudara – saudara yang mempunyai bapak dan
ibu yang sama mendapat bagian dari bagian bagi gariss bapak dan bagian bagi garis ibu.
Saudara – saudara yang hanya sebapak atau seibu dapat bagian dari bagian bagi garis bapak
atau bagi garis ibu saja.
3. Golongan III
Merupakan, keluarga sedarah si bapak atau ibu pewaris, yaitu kakek, nenek baik pancer
bapak atau ibu dari si pewaris. Dalam hal ini, ahli waris golongan ketiga baru mempunyai
hak mewaris, jika ahli waris golongan pertama dan kedua tidak ada sama sekali dengan
menyampingkan ahli waris golongan keempat.
853 : 858 ayat 1. Jika waris golongan 1 dan garis golongan 2 tidak ada, maka warisan dibelah
menjadi dua bagian yang sama.
Yang satu bagian diperuntukkan bagi keluarga sedarah dalam garis bapak lurus ke atas; yang
lain bagian bagi keluarga sedarah dalam garis ibu lurus ke atas. Waris yang terdekat
derajatnya dalam garis lurus ke atas. Waris yang terdekat derajatnya dalam garis lurus ke atas
mendapat setengah warisan yang jatuh pada garisnya ( pancernya ). Kalau derajatnya sama,
maka waris itu pada tiap garis pancer mendapat bagian yang sama ( kepala demi kepala ).
Kalau di dalam satu garis ( pancer ) ada keluarga yang terdekat derajatnya, maka orang itu
menyampingkan keluarga dengan derajat yang lebih jauh.
Pasal ini menguraikan keadaan jika anak ( dan keturunannya ), isteri orang tua, dan saudara
tidak ada. Maka di dalam hal ini warisan jatuh pada kakek dan nenek. Karena tiap orang itu
mempunyai bapak dan ibu, dan bapak dan ibu itu mempunyai bapak dan ibu juga, maka tiap
orang mempunyai 2 kakek dan 2 nenek.
1 kakek dan 1 nenek dari pancer bapak dan 1 kakek dan 1 nenek dari pancer ibu. Dengan
telah meninggalnya bapak dan ibu maka adalah wajar jika warisan itu jatuh pada orang –
orang yang menurunkan bapak dan ibu. Di dalam hal ini maka warisan dibelah menjadi dua.
Satu bagian diberikan kepada kakek dan nenek yang menurunkan bapak dan bagian lain
7

kepada kakek dan nenek yang menurunkan ibu. Jika kakek dan nenek tidak ada maka warisan
jatuh kepada orang tuanya kakek dan nenek. Jika yang tidak ada itu hanya kakek atau nenek
maka bagian jatuh pada garisnya, menjadi bagian yang masih hidup.
4. Golongan IV
Merupakan, sanak keluarga dalamgaris ke samping dari si pewaris, yaitu paman, bibi.
858 ayat 2. Kalau waris golongan 3 tidak ada maka bagian yang jatuh pada tiap garis sebagai
tersebut dalam pasal 853 dan pasal 858 ayat 2, warisan jatuh pada seorang waris yang
terdekatpada tiap garis. Kalau ada beberapa orang yang derajatnya sama maka warisan ini
dibagi – bagi berdasarkan bagian yang sama.
861. Di dalam garis menyimpang keluarga yang pertalian kekeluargaannya berada dalam
suatu derajat yang lebih tinggi dari derajat ke – 6 tidak mewaris.
Kalau hal ini terjadi pada salah satu garis, maka bagian yang jatuh pada garis itu,menjadi
haknya keluarga yang ada di dalam garis yang lain, kalau orang ini mempunyai hak
kekeluargaan dalam derajat yang tidk melebihi derajat ke – 6.
873. Kalau semua orang yang berhak mewaris tidak ada lagi maka seluruh warisan dapat
dituntut oleh anak di luar kawin yang diakui.
832. Kalau semua waris seperti disebut di atas tidak ada lagi, maka seluruh warisan jatuh
pada Negara.
5. Ahli Waris berdasarkan Penggantian Tempat / Ahli Waris Pengganti (Plaatsvervulling /
representatie)
Adapun syarat – syarat untuk menjadi ahli waris pengganti adalah sebagai berikut :
 Orang yang digantikan tempatnya itu harus telah meninggal dunia terlebih dahulu dari si
pewaris.
 Orang yang sudah meninggal dunia itu meninggalkan keturunan .
 Orang yang digantikan tempat itu tidak menolak warisan.
WARIS WASIAT ( TESTAMENT )
Suatu wasiat atau testament ialah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang
dikehendaki setelahnya ia meninggal.
Pasal 875, surat wasiat atau testament adalah suatu akta yang berisi pernyataan sesorang
tentang apa yang akan terjadi setelah ia meninggal, dan yang olehnya dapat ditarikkembali.
SYARAT – SYARAT WASIAT
1. Syarat – Syarat Pewasiat
Pasal 895 : Pembuat testament harus mempunyai budi – akalnya, artinya tidak boleh
membuat testament ialah orang sakit ingatan dan orang yang sakitnya begitu berat, sehingga
ia tidak dapat berpikir secara teratur.

8

Pasal 897 : Orang yang belum dewasa dan yang belum berusia 18 tahun tidak dapat membuat
testament.
2. Syarat – Syarat Isi Wasiat
Pasal 888 : Jika testament memuat syarat – syarat yang tidak dapat dimengerti atau tak
mungkin dapat dilaksanakan atau bertentangan dengan kesusilaan, maka hal yang demikian
itu harus dianggap tak tertulis.
Pasal 890 : Jika di dalam testament disebut sebab yang palsu, dan isi dari testament itu
menunjukkan bahwa pewaris tidak akan membuat ketentuan itu jika ia tahu akan
kepalsuannya maka testament tidaklah syah.
Pasal 893 : Suatu testament adalah batal, jika dibuat karena paksa, tipu atau muslihat.
Selain larangan – larangan tersebut di atas yang bersifat umum di dalam hukum waris
terdapat banyak sekali larangan – larangan yang tidak boleh dimuat dalam testament. Di
antara larangan itu, yang paling penting ialah larangan membuat suatu ketentuan sehingga
legitieme portie ( bagian mutlak para ahli waris ) menjadi kurang dari semestinya.
JENIS – JENIS WASIAT
1. Jenis Wasiat menurut Isinya
Menurut isinya, maka ada 2 jenis wasiat :
 Wasiat yang berisi ” erfstelling ” atau wasiat pengangkatan waris. Seperti disebut dalam
pasal 954 wasiat pengangkatan waris, adalah wasiat dengan mana orang yang mewasiatkan,
memberikan kepada seorang atau lebih dari seorang, seluruh atau sebagian ( setengah,
sepertiga ) dari harta kekayaannya, kalau ia meninggal dunia. Orang – orang yang mendapat
harta kekayaan menurut pasal itu adalah waris di bawah titel umum.
 Wasiat yang berisi hibah ( hibah wasiat ) atau legaat. Pasal 957 memberi keterangan seperti
berikut : ” Hibah wasiat adalah suatu penetapan yang khusus di dalam suatu testament,
dengan mana yang mewasiatkan memberikan kepada seorang atau beberapa orang; beberapa
barang tertentu, barang – barang dari satu jenis tertentu, hak pakai hasil dari seluruh atau
sebagian dari harta peninggalannya. Orang – orang yang mendapat harta kekayaan menurut
pasal ini disebut waris di bawah titel khusus.
2. Jenis Wasiat menurut Bentuknya
Selain pembagian menurut isi, masih ada lagi beberapa jenis wasiat dibagi menurut
bentuknya. Menurut pasal 931 ada 3 rupa wasiat menurut bentuk :
 Wasiat ologafis, atau wasiat yang ditulis sendiri
Wasiat ini harus ditulis dengan tangan orang yang akan meninggalkan warisan itu sendiri,
harus diserahkan sendiri kepada seorang notaris untuk disimpan, penyerahan harus dihadiri
oleh dua orang saksi.
 Wasiat umum ( openbaar testament )

9

Dibuat oleh seorang notaris, orang yang akan meninggalkan warisan menghadap para notaris
dan menyatakan kehendaknya. Notaris ini membuat suatu akta dengan dihadiri oleh 2 orang
saksi.
 Wasiat rahasia atau wasiat tertutup
Dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggalkan warisan, tetapi tidak diharuskan
menuliskan dengan tangannya sendiri, testament ini harus selalu tertutup dan disegel.
Penyerahannya kepada notaris harus disaksikan 4 orang saksi.
II.4 PENCABUTAN DAN WASIAT
Di antara pencabutan dan gugurnya wasiat ada perbedaan; pencabutan ialah di dalam hal ini
ada suatu tindakan dari pewaris yang meniadakan suatu testament, sedangkan, gugur ialah
tidak ada tindakan dari pewaris tapi wasiat tidak dapat dilaksanakan, karena ada hal – hal di
luar kemauan pewaris.
1. Tentang Pencabutan Suatu Wasiat
Mengenai pencabutan wasiat secara tegas ada ketentuan – ketentuan seperti berikut :
992 : Suatu surat wasiat dapat dicabut dengan ; surat wasiat baru dan akta notaris khusus. Arti
kata ” khusus ” di dalam hal ini ialah bahwa isi dari akta itu harus hanya penarikan kembali
itu saja.
2. Tentang Gugurnya Suatu Wasiat
997 : Jika suatu wasiat memuat suatu ketetapan yang bergantung kepada suatu peristiwa yang
tak tentu : maka jika si waris atau legataris meninggal dunia, sebelum peristiwa itu terjadi,
wasiat itu gugur.
998 : Jika yang ditangguhkan itu hanya pelaksanaannya saja, maka wasiat itu tetap berlaku,
kecuali ahli waris yang menerima keuntungan dari wasiat itu.
B. Hukum Waris Dalam Islam

B.1. RUKUN WARIS
Menurut bahasa, sesuatu dianggap rukun apabila posisinya kuat dan dijadikan
sandaran, seperti ucapan: “saya berukun kepada Umar.” Maksudnya adalah “saya bersandar
pada pendapat Umar.”
Menurut istilah, rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas
keberadaan sesuatu yang lain. Contohnya adalah sujud dalam shalat. Sujud dianggap sebagai
rukun, karena sujud merupakan bagian darai shalat. Karena itu, tidak dikatan shalat jika tidak
sujud. Dengan kata lain, rukun adalah sesuatu yang keberadaannya mampu menggambarkan
sesuatu yang lain, baik sesuatu itu hanya bagian dari sesuatu yang lain maupun yang
mengkhususkan sesuatu itu.
Dengan demikian, rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan
bagian harta waris di mana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukunrukunnya. Rukun-rukun untuk mewarisi ada tiga.
10

1.
Al-Muwaris, yaitu orang yang meninggal dunia atau mati, baik mati hakiki maupun
mati hukmiy ‘suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa
sebab, kendati sebenarnya ia belum mati, yang meninggalkan harta atau hak.
2.
Al-Warits, yaitu orang hidup atau anak dalam kandungan yang mempunyai hak
mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang.
3.
Al-Mauruts, yaitu harta benda yang menjadi warisan. Sebagian ulama faraidh
menyebutnya dengan mirats atau irts. Termasuk dalam kategorti warisan adalah harta – harta
atau hak – hak yang mungkin dapat diwariskan, seperti hak qishash (perdata), hak menahan
barang yang belum dilunasi pembayaranya, dan hak menahan barang gadaian.

B.2. Syarat Waris
Lafal syuruth ‘syarat – syarat’ adalah bentuk jamak dari syarath ‘syarat’. Menurut
bahasa syarat berarti tanda, seperti syarth as-sa’ah ‘tanda-tanda hari kiamat’. Allah swt
berfirman.
Sedangkan syarat menurut istilah adalah sesuatu yang karena ketiadaannya, tidak
akan ada hukum. Misalnya thahara ‘bersuci’ adalah syarat sahnya shalat. Jika tidak bersuci
sebelum
melakukan
shalat,
niscaya
shalatnya
tidak
sah. Akan
tetapi,
melakukan thaharar bukan berarti hendak shalat saja. Dengan demikian, apabila tidak ada
syarat-syarat waris, berarti tidak ada pembagian harta waris. Meskipun syarat-syarat waris
terpenuhi, tidak serta merta harta waris langsung dibagikan. Contoh untuk kasus ini adalah
keberadaan ahli waris yang masih hidup merupakan salah satu syarat mewarisi harta si mayit.
Jika syarat hidupnya tidak terpenuhi, tentunya pembagian harta waris juga tidak bisa
dilakukan. Meskipun syarat-syarat itu telah terpenuhi, tidak serta merta ahli waris
mendapatkan harta waris, karena ahli waris dapat terhalang oleh ahli waris yang lain untuk
mendapatkan bagian harta waris kendati syarat mendapatkan harta waris telah terpenuhi.
Oleh karena itu, persoalan warisan memerlukan syarat-sayarat sebagai berikut.
Pertama, matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang mewariskan,
menurut ulama dibedakan menjadi tiga: 1) mati hakiki (sejati); 2) matihukmiy (menurut
putusan hakim); dan 3) mati taqdiriy (menurut perkiraan).
Kedua, ahli waris yang hidup, baik secara hakiki maupun hukmiy, setelah kematian si
mayit, sekalipun hanya sebentar, memiliki hak atas harta waris. Sebab Allah swt. di dalam
ayat-ayat waris dengan huruf lam yang mewujudkan kepemilikan, di mana kepemilikan tidak
terwujud, kecuali hanya bagi orang yang hidup.
Adapun cara penyelidikan hidup tidaknya ahli waris setelah kematian si mayit,
dilakukan dengan pengujian, pendeteksian, dan kesaksian dua orang yang adil. Contoh dari
hidupnya ahli waris secara hukmiy adalah anak yang berada di dalam kandungan. Ia dapat
mewarisi dari si mayit, jika keberadaannya benar-benar terbukti di saat kematian si mayit,
dengan satu syarat bahwasannya ia benar-benar hidup ketika lahirnya nanti.
Ketiga, mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris dengan si mayit, seperti
garis kekerabatan perkawinan, dan perwalian. Maksudnya, ahli waris harus mengetahui
bahwa dirinya adalah termasuk ahli waris dari garis kerabat nasab (kerabat yang tidak
11

memperoleh bagian tertentu, tetapi mendapatkan sisa dari ash-habul furudh atau
mendapatkan peninggalan bila tidak ada ash-habul furudhseorang pun), atau garis kerabat
nasab dan perkawinan, serta dari garis wala’. Hal yang seperti itu diberitahukan karena setiap
garis keturunan memiliki hukum yang berbeda-beda.

B.3. SEBAB-SEBAB MEWARISKAN
1. Sebab-Sebab Mewariskan yang Disepakati.
a.

Kekerabatan

Kekerabatan ialah hubungan nasab antara rang yang mewariskan dengan orang yang
mewarisi, yang disebabkan oleh kelahiran, baik dekat maupun jauh.
Yang dapat mewarisi dari garis hubungan kekerabatan adalah ushul ‘leluhur’ si
mayit, furu’ ‘keturunan’ mayit dan hawasyi si mayit ‘keluarga dari jalur horizontal’.
a.

Golongan ushul adalah;

·

Ayah, kakek dan jalurnya keatas

·

Ibu, nenek (ibunya suamai dan ibunya istri), dan jalur keatasnya.

b.

Golongan furu’ adalah;

·

Anak laki-laki, cucu, cicit dan jalur ke bawahnya.

·

Anak perempuan, cucu, cicit dan jalur ke bawahnya.

c.

Golongan hawasyi adalah;

·
Saudara laki-laki dan perempuan secara mutlak, baik saudara kandung maupun,
seayah, atau seibu.
·

Anak-anak saudara kandung atau seayah.

·

Paman sekandung, seayah, dan anak laki-lakinya paman sekandung.

Terkadang, Faktor nasab menjadi sebab seorang dapat mewarisi harta peninggalan
dari dua jalur, seperti anak laki-laki mewarisi bersama ayahnya, saudara laki-lakinya. Faktor
nasab pun dapat menjadi sebab seseorang mewarisi harta peninggalan dari satu jalur, seperti
anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah mewarisi bersama saudara perempuan
ayah. Ketika saudara perempuan ayah meninggal dunia, anak laki-laki dari saudara laki-laki
sekandung atau seayah dapat mewarisi harta peninggalan saudara perempuan ayah, dan
bukan sebaliknya.
Demikian juga ketika anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung atau seayah
meninggal dunia, saudara perempuan ayah tidak bisa mewarisi harta peninggalannya, karena
saudara perempuan ayah termasuk golongan dzawi al-arham, seperti ibunya mewarisi
bersama anak dari anak perempuannya. Oleh karena itu, nenek dari ibu dapat mewarisi
peninggalan cucu dari anak perempuan jika ia meninggal dunia. Bukan sebaliknya, cucu dari
anak perempuan tidak bisa mewarisi warisan nenek dari ibu karena cucu dari anak
12

perempuan termasuk golongan dzawi al-arham. Ketetapan ini dibuat berdasarkan pendapat
ulama yang menegaskan bahwa golongan dzawi al-arham tidak bisa mewarisi.
b.

Pernikahan

Pernikahan merupakan akad yang sah (menurut sytariat) sekalipun hubungan intim
dan khulwah belum dilakukan, dan meskipun orang yang menikah menderita sakit keras.
Sementara itu, Imam Malik berpendapat bahwa akad dianggap batal jika salah satu dari orang
yang menikah sakit keras. Kalau kondisinya demikian, waris-mewarisi tidak dapat dilakukan.
Dalil yang menyebutkan adanya ikatan perkawinan sebagai salah satu sebab terjadinya warismewarisi adalah,
Lalu, siapa saja dari ahli waris yang dapat mewarisi karena garis perkawinan? Mereka
adalah suami yang istrinya meninggal dan istri yang suaminya meninggal. Mereka telah
terikat dengan akad yang sah, mesikpun belum terhubung intim dan khulwah, karena
keumuman ayat, “ bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istriistrimu”. Seorang wanita menjadi istri seorang laki-laki melalui akad perkawinan di mana ia
tidak dapat menjadi seorang istri melainkan dengan akad perkawinan yang sah.
c. Hak Waris bagi Istri yang Ditalak
Talak ada yang berstatus raj’iy sewaktu-waktu bisa kembali, bain tidak dapat kembali
lagi, dalam keadaan sehat, atau dalam keadaan sakit keras. Bila talak dilakukan ketika suami
istri dalam keadaan sakit keras, waris-mewarisi dapat dilakukan dan dalam kondisi yang lain
tidak dapat dilakukan. Jika talaknya adalahrajiy, yakni bila suami menalak istrinya dalam
suatu pernikahan yang sah, baik sudah digauli atau belum, yang kurang dari tiga kali talak,
dengan tanpa membayar mas kawin baru.
Talak rajiy tidak dapat menjadi penghalang bagi laki-laki dan perempuan yang pernah
memiliki akad pernikahan untuk saling mewarisi, baik seseorang suami menalak istrinya
dalam keadaan sehat maupun sakit. Dengan demikian, hak suami-istri untuk saling mewarisi
tidak hilang. Jadi, bila suami meninggal dunia, dengan meninggalkan istrinya yang
sedang iddah rajiy, maka istrinya masih dapat mewarisi harta peninggalan suaminya.
Demikian pula sebaliknya, suami dapat mewarisi harta peninggalan istrinya yang meninggal
dunia sebelum masa iddah-nya berakhir.
Adapun jika talaknya adalah bain (tidak dapat kembali) dan jatuh di saat
penalakannya dalam keadaan sehat, talak semacam ini dapat menghalangi hak warismewarisi, dengan demikian, istri yang ditalak oleh suaminya, pada kondisi seperti ini, tidak
dapat mewarisi harta peninggalan suaminya, menurut kesepakatan para ulama; karena
putusnya ikatan perkawinan sejak talak dijatuhkan. Demikian pula suami, tidak dapat
mewarisi peninggalan istri, bila istri meninggal dunia dalam kondisi seperti ini, karena sebab
yang sama, yakni putusnya tali perkawinan, sehingga hak waris-mewarisi menjadi hilang.
d. Wala’
Wala berarti tetapnya hukum syara’ karena membebaskan budak. Dalam konteks
ini, wala yang dimaksud adalah wala al-ataqah, yakni yang disebabkan adanya pembebasan
budak, dan bukan dimaksudkan dengan wala al-mawlah danmuhalafah membebaskan budak

13

karena kepemimpinan dan adanya ikatan sumpah, karena keduanya mempunyai muatan yang
berbeda-beda dalam sebab-sebab pewarisan.
Adapun yang dimaksud dengan wala al-ataqah adalah ushubah. Penyebabnya adalah
kenikmatan pemilik budak yang dihadiahkan kepada budaknya dengan membebaskan budak
melalui pencabutan hak mewakilkan dan hak mengurusi harta bendanya, baik secara
sempurna maupun tidak. Tujuannya adalah tathawwu melaksanakan anjuran syariat atau
kewajiban, sekalipun dengan imbalan. Dalam hal ini bentuk pembebasan mengakibatkan
pada penetapan hakwala.
Adapun yang dapat mewarisi dengan sebab wala’ adalah pemilik budak laki-laki dan
perempuan yang telah melangsungkan pembebasan budak. Lalu, keduanya
menjadi ‘ashabah, yaitu ashabah bin nafs . sebab, wala’ dapat mewarisi dan bukan diwarisi.
Tanpa budak yang dibebaskan, niscaya wala’ tidak dapat mewarisi dari pembebasan budak
atau tuannya. Dengan demikian, wala’dapat mewarisi hanya dari satu sisi saja, yakni sisi
orang yang memerdekakan budak.
2. Sebab-Sebab Mewariskan yang Diperselisihkan
Termasuk sebab-sebab mewariskan yang diperselisihkan oleh para ulama faraid adalah
baitulmal dan wala al-muwalah. Berikut secara ringkas mengenai keduanya.
a.

Baitulmal

Para ahli fiqih berselisih pendapat tentang baitulmal yang menjadi salah satu sebab
boleh tidaknya mewarisi. Dalah hal ini, ada tiga pendapat sebagaimana berikut.
Pertama, baitulmal sebagai penyebab mewarisi secara mutlak, baik baitulmal yang
terorganisasi maupun tidak. Jika seorang muslim mengenai dunia dan tidak mempunyai
seorang pun ahli waris yang mewarisi harta peninggalannya, dengan salah satu dari sebabsebab mewarisi yang telah disepakati, maka baitulmal berhak mewarisi harta peninggalan
tersebut serta menggunakannya untuk kemaslahatan kaum muslimin. Sebab, kaum muslimin
pun dibebani kewajiban membayar diyah (denda) untuk saudaranya sesama muslim yang
tidak berkerabat. Dengan demikian, kedudukan mereka bagaikan ashabah (golongan yang
mewarisi) dalam lingkungan kerabat. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Malikiyah
dan Imam Syafi’I dan qaul qadim pendapat lamanya berbeda di Baghdad.
Kedua, baitulmal menjadi ahli waris jika terorganisasi. Dengan demikian, andai
seorang muslim meninggal dunia tidak memiliki ahli waris sama sekali, harta peninggalan
tersebut diserahkan ke baitulmal, bukan atas dasar kemaslahatan tau kepentingan sosial,
tetapi untuk diwarisi oleh kaum muslimin secara ushubah. Pendapat ini dikemukakan Imam
Syafi’i dalam qaul jadid ‘fatwa-fatwa beliau ketika beliau pindah ke Mesir’. Kalangn
Malikiyah dan Syafi’iyyah yang bersandar pada pendapat ini berargumentasi dengan sabda
Rasulullah saw.,“Aku adalah ahli waris yang tidak mempunyai ahli waris. Aku dapat
membayar dendanya dan mewarisi.”
Ketiga, baitulmal bukan menjadi penyebab mewarisi secara mutlak, naik ia
terorganisir maupun tidak. Ini adalah pendapat kalangan Hanafiyyah dan Hambaliyyah.

14

b.

Wala al-Muawalah

Wala al-muwalah adalah waris-mewarisi dengan akad muawalah(perwalian). Ada tiga
pendapat mengenai waris-mewarisi dengan sebab wala al-muwalah di dalam Islam. Pertama,
wala al-muwalah sama sekali tidak dikenal di dalam ajaran Islam. Pendapat ini diceritakan
oleh ar-Rafiiy dari al-Qhadi ar-Rayyaniy. Kedua, wala al-muwalah telah dikenal di masa
awal-awal Islam, kemudian di-nashkan. Ini adalah pendapat Imam Malik, dan Imam Syafi’i.

B.4. BEBERAPA PENGHALANG DALAM HUKUM WARIS

Penghalang-penghalang yang Disepakati
a.

Berlainan Agama

Para ahli fiwih telah bersepakat bahwasannya, berlainan agama antara orang yang mewarisi
dengan orang yang mewariskan, merupakan salah satu penghalang dari beberapa penghalang
mewarisi. Berlainan agama terjadi anatara satu agama dengan syariat yang berbeda.
Agama ahli waris yang berlainan merupakan penghalang untuk mewarisi dalam hulum waris.
Dengan demikian, orang kafir tidak bisa mewarisi orang Islam dan seorang muslim tidak
dapat mewarisi harta orang kafir.
b.

Perbudakan

Perbudakaan dianggap sebagai penghalang waris-mewarisi ditinaju dari dua sisi. Oleh karena
itu, budak tidak dapat mewarisi harta peningggalan dari ahli warisnya dan tidak dapat tidak
dapat mewariskan harta untuk ahli warisnya. Sebab, ketika ia mewarisi harta peninggalan dari
ahli warisnya, niscaya yang memiliki warisan tersebut adalah tuannya, sedangkan budak
tersebut merupakan orang asing (bukan anggota keluarga tuannya).
c.

Pembunuhan

Pembunuhan ialah kesengajaan seseorang mengambil nyawa orang lain secara langsung atau
tidak. Para ulama fiqih telah bersepakat bahwa pembunuhan merupakan salah satu
penghalang dalam hukum waris. Dengan demikian seorang pembunuh tidak bisa mewarisi
harta peninggalan orang yang dibunuhnya.

15

C. Hukum Waris Adat
Secara sederhana hukum waris adat merupakan tata cara pengalihan atau penerusan warisan
menurut hukum adat yang berlaku. Hal ini sebagai konsekuensi atas berlakunya dan masih
terpeliharanya hukum adat di beberapa daerah di Indonesia sebagai bagian dari kekayaan
budaya bangsa Indonesia.
Hukum waris adat pada dasarnya merupakan hukum kewarisan yang bersendikan prinsipprinsip komunal atau kebersamaan sebagai bagian dari kepribadian bangsa Indonesia. Prinsip
kebersamaan dalam hukum waris adatmembuat hukum waris adat tidak mengenal bagianbagian tertentu untuk para ahli waris dalam sistem pembagiannya.
Pengertian Hukum Waris Adat
Terdapat beberapa pengertian mengenai hukum waris adat menurut para ahli, sebagai berikut:
Hukum waris adat menurut soepomo merupakan peraturan yang memuat pengaturan
mengenai proses penerusan serta pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang
yang tidak termasuk harta benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.
Hukum waris adat menurut Ter Haar merupakan peraturan yang meliputi peraturan hukum
yagn bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan
tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materil dan immateril dari satu generasi kepada
turunannya.
Pengertian mengenai hukum waris adat tersebut diatas mengantarkan kita pada kesimpulan
bahwa hukum waris adat adalah suatu proses mengenai pengalihan dan penerusan harta
kekayaan baik yang bersifat materil maupun immateril dimana pengalihan dan penerusan
harta kekayaan tersebut dilakukan oleh suatu generasi kepada generasi berikutnya.
Istilah dalam Hukum Waris Adat
Dalam hukum waris adat dikenal beberapa istilah, antara lain:

Warisan dalam hukum waris adat merujuk pada harta kekayaan dari pewaris yang
wafat baik harta kekayaan yang telah dibagi maupun harta kekayaan yang belum dibagi;

Peninggalan dalam hukum waris adat merujuk pada harta warisan yang belum bisa
dibagi atau belum terbagi-bagi disebabkan salah seorang pewaris masih hidup;

Pusaka dalam hukum waris adat dibagi atas dua kategori, yakni harta
pusaka tinggi yakni harta peninggalan dari jaman leluhur yang sifatnya tidak dapat dibagi
serta tidak pantas pula untuk dibagi-bagi dan harta pusaka rendah, yakni harta pusaka yang
diwariskan dari beberapa generasi sebelumnya;

Harta perkawinan dalam hukum waris adat merujuk pada harta yang telah diperoleh
oleh seorang pewaris selama pewaris menjalani perkawinan;

Harta pemberian dalam hukum waris adat merujuk pada harta yang diberikan oleh
seseorang kepada pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan;
Sistem Pewarisan dalam Hukum Waris Adat
Dalam hukum waris adat dikenal beberapa sistem pewarisan sebagai berikut:
16

Sistem pewarisan individual yakni sistem pewarisan dimana harta warisan atau yang
ditinggalkan dapat dibagikan dan dimiliki secara individual diantara para ahli waris;
Sistem pewarisan kolektif yakni sistem pewarisan dimana harta warisan atau harta
yang ditinggalkan oleh pewaris hanya diwarisi oleh sekelompok ahli waris yang merupakan
persekutuan hak karena harta tersebut dianggap sebagai pusaka yang tidak dapat dibagi
kepada para ahli waris untuk dimiliki secara individual;
Sistem pewarisan mayorat yakni sistem pewarisan dimana harta warisan yang
ditinggalkan oleh pewaris menjadi hak tunggal mayorat. Mayorat adalah ahli waris tunggal.
Terdapat dua macam mayorat, yakni mayorat laki-laki dan mayorat perempuan yang
dibeberapa daerah di Indonesia berbeda penerapannya. Mayorat laki-laki berlaku di beberapa
daerah seperti di Bali dan Batak, sedangkan Mayorat perempuan dapat dijumpai berlaku di
daerah sumatera selatan, Tanah semendo dan kalimantan barat serta suku dayak.

17

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perbandingan waris dalam hukum waris islam, hukum perdata barat (BW), dan
hukum adat terdapat beberapa persamaan dan perbedaan pengaturan waris. Dalam hal
persamaan terdapat sepuluh persamaan yaitu mengenai keadaan masyarakat dan pengaruh
politik hukum terhadap hukum waris, persamaan pengertian perwarisan, tujuan perwarisan,
konsep harta warisan harus sudah bersih, unsur-unsur pewarisan, sifat komulatif, sistematika
unsur, konsep harta, sistim pewarisan/pembagian, dan terbukanya warisan setelah adanya
kematian, namum tidak menutup kemungkinan masih ada hal-hal lain yang sama dan masih
belum dituliskan oleh penulis. Sedangkan untuk perbedaannya terdapat 22 perbedaan hal
itupun masih dirasa kurang oleh penulis.
Sedangkan dalam Perbandingan Pengaturan Waris menurut Hukum Islam, Hukum
Adat Minangkabau dan Hukum Waris Adat Jawa.Hanya terdapat 6 persamaan meskipun
masih banyak persamaan-persamaan yang lainnya. Pengertian pewarisan,Tujuan Pewarisan,
Unsur-unsur pewarisan, Sifat kumulatif, Konsep Harta, Sistim pewarisan/ pembagian, dan
terdapat 20 perbedaan.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengaturan waris di Indonesia terdapat bermacammacam pengaturan perwarisan, maka dari itu pemerintah menyerahkan urusan perwarisan
terserah pada hukum masing-masing golongan.
B. Saran
Untuk masalah waris di serahkan sepenuhnya pada hukum masing-masing golongan,
diharapkan dalam pembgian waris ini harus adil, meskipun adil itu berbeda-beda
pemahamannya.
Untuk anggota keluarga yang bukan ahli waris seperti anak angkat, dan kerabat yang lain
diharapkan tetap mendapatkan warisan seperti dalam pengaturan dalam KHI yaitu wasiat
wajibah.

18

Daftar Pustaka

R, Subekti. 1977. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
Komite Fakultas Syariah Univ Al-Azhar, Mesir. 2004. Hukum Waris (ahkamul-Mawaarits
fil-Fiqahil-Islami). Jakarta : Senayan Abadi
Publishing.
http://statushukum.com/hukum-waris-adat.html (diakses tanggal 09 Maret 2015)
http://dupenet.blogspot.com/2014/06/makalah-hukum-waris.html (diakses tanggal 09 Maret
2015)

19