Strategi Penelitian Langkah Penelitian

63 Tabel 1. Langkah-Langkah Penelitian No Kegiatan Penjelasan 1 disain penelitian Peninjauan ulang literatur teknis dan memetakan kerangka pemikiran penelitian. 2 pengumpulan data Kegiatan pembuatan indikator penelitan, parameter penelitan, penetapan unit analisis penelitian, populasi dan sampel penelitian, dan terjun ke lapangan untuk pengumpulan data 3 penyajian data Penyusunan data berdasarkan urutan kejadian secara kronologis dan konteks penelitian, yang dibedakan sebagai berikut: a. Konflik sumberdaya hutan b. Dinamika kelembagaan adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan c. Konstelasi kekuasaan adat versus negara 4 analisis data Analisis data dilakukan pada level material, yaitu melihat konflik dari kepentingan, klaim atas wilayah dan otoritas yang menyertainya. Selain itu, analisis data dilakukan pada level immaterial dengan melihat pengetahuan dan pemaknaan aktor yang mendasari konflik sumberdaya hutan. 5 Perbandingan literatur Melakukan perbandingan literatur yang muncul mengenai teori yang digunakan sebagai acuan, yaitu teori konflik Dahrendorf 3.7. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan datanya yang utama adalah observasi-partisipasi dan wawancara terbuka serta mendalam dalam jangka waktu yang relatif lama serta diinventarisasi dalam catatan harian. Metode pencarian sumber informasi menggunakan metode snowballing yaitu perolehan sumber berikutnya berdasarkan informasi dari sumber informasi sebelumnya. Setelah melakukan pendeskripsian dari observasi dan wawancara itulah akan ditemukan beberapa ciri khas yang nampak bila kultur tersebut diperbandingkan dengan kultur lain yang juga telah terdeskripsikan. Hal demikian memberi pengertian, bahwa tujuan studi tersebut adalah untuk mengalami pengertian bersama. Wax dalam Maleong 2000 mengatakan hal tersebut sebagai shared meaning pengertian yang dialami bersama. 64

3.8. Analisis Data

Analisis data dilakukan terhadap masalah konflik sumberdaya hutan, dan konflik yang menyebabkan terjadinya dinamika kelembagaan adat. Untuk menganalisis rumusan masalah konflik sumberdaya hutan, Teori konflik Dahrendorf akan menjadi acuan utama dalam melihat konflik sumberdaya hutan yang melibatkan adanya dua kelompok, yaitu: kelompok subordinat masyarakat adat dan kelompok superordinat pemerintah yang kemungkinan berafiliasi dengan pengusaha kapitalis. Dalam teori konflik Dahrendorf, konflik dapat menyebabkan terjadinya perubahan. Oleh karena itu, teori konflik Dahrendorf akan digunakan untuk menganalisis masalah konflik dan masaah dinamika perubahan kelembagaan adat sebagai pihak yang tersubordinasi. Dalam melihat konflik sumberdaya hutan ini, akan dipetakan juga aktor- aktor yang berkonflik, kepentingan setiap aktor terhadap sumberdaya hutan, ideologi yang mendasarinya afiliasi yang mungkin terjadi serta perilaku yang ditunjukkan oleh setiap aktor. Dalm konteks ini, Teori Foucault tentang arkeologi pengetahuan dan geneologi kekuasaan akan digunakan untuk menganalisis konflik pemaknaan. Dalam menganalisis dinamika perubahan kelembagaan adat akan melihat rules, ideologi, norma, aktor dan teritori dari kelembagaan adat dan negara, kemudian dianalisis apakah terjadi perubahan kelembagaan sebagai akibat dari konflik sumberdaya hutan tersebut. Selanjutnya akan dibandingkan kelembagaan asli dan adaptasi dari setiap aktor yang berkonflik. 65 4 SISTEM SOSIO EKOLOGI HUTAN 4.1. TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK: 4.1.a. Perkembangan Status Taman Nasional Gunung Halimun Salak Dan Implikasinya Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang selanjutnya disebut sebagai TNGHS merupakan kawasan hutan konservasi taman nasional darat yang terletak di dua Provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten dan 3 tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. Jumlah desa yang berada di dalam kawasan adalah 114 desa dan 26 kecamatan. Sejarah TNGHS berawal dari kawasan Cagar Alam Gunung Halimun CAGH sejak tahun 1935 yang memiliki luas 40.000 ha. Kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282Kpts-II1992 tanggal 28 Pebruari 1992 dengan luas 40.000 ha dibawah pengelolaan sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun TNGH. Perubahan luas dan nama menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS dilakukan sejak tahun 2003 dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No.175Kpts-II2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang Penunjukkan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas Pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak Seluas 113.357 Hektar di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Penunjukan Gunung Halimun, Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasan hutan disekitarnya sebagai kawasan taman nasional TNGHS, karena kawasan ini mempunyai karakteristik kawasan pegunungan yang masih memiliki ekosistem hutan hujan tropis di Jawa. Kawasan ini selain berfungsi sebagai kawasan tangkapan air juga merupakan habitat satwa yang unik, seperti Owa Jawa, Elang Jawa dan Macan Tutul. Selanjutnya dengan dimasukkannya Gunung Salak sebagai kawasan taman nasional, membuat kawasan ini juga menjadi potensi wisata yang unik yaitu “Kawah Ratu”.