Dinamika Kelembagaan Dalam Sistem Sosio Ekologi Hutan
                                                                                41 dari  yang  paling  sederhana  sampai  yang  paling  kompleks,  sebagaimana
dikemukakan  oleh  Knight  1992  bahwa  “social  institutions  are  prevalent wherever individuals attempt to live and work together. From the simplest to the
most  complex,  we  produce  them  while  conducting  all  aspects  of  our  social  life. From political decision making to economic production and exchange to the rules
governing  personal  relationships,  institutional  arrangements  establish  the framework  in  which  these  social  interactions  take  place.  To  be  a  member  of  a
communi ty or society is to live within a set of social institutions”.
Selanjutnya  Knight  1992  menjelaskan  bahwa  kelembagaan  itu  bervariasi. Pada  tingkat  paling  dasar  dari  masyarakat,  kelembagaan  disebut  sebagai
sekumpulan  konvensi  sosial,  aturan,  dan  norma  yang  mempengaruhi  cara bertindak dalam kehidupan manusia sehari-hari. Pengaruh kelembagaan terhadap
kehidupan  sosial  sangat  besar.  Kelembagaan  membangun  hubungan  antara  jenis kelamin  dan  urusan  yang  sedang  berlangsung  dalam  kehidupan  keluarga,
menetapkan  standar  perilaku  di  antara  para  anggota  suatu  lingkungan  atau masyarakat  dan  merupakan  sumber  penting  untuk  transmisi  pengetahuan  sosial
dan  informasi  dari  satu  generasi  ke  generasi  berikutnya.  Bahkan  kelembagaan informal  bisa  menjadi  landasan  dalam  membentuk  kelembagaan  formal  yang
mengatur  kehidupan  ekonomi  dan  politik.  Organisasi  ekonomi,  dari  perusahaan kecil hingga perusahaan multinasional, diatur oleh  kerangka kelembagaan. Lebih
umum,  pasar  ekonomi  sendiri  dibangun  oleh  kelembagaan-kelembagaan  yang mencakup sistem hak milik yang mendefinisikan pertukaran ekonomi. Pembuatan
keputusan  politik,  juga  dibingkai  oleh  aturan  kelembagaan  dan  prosedur.  Dalam prakteknya,  kelembagaan  ekonomi  dan  politik  tersebut  ditopang  oleh  kekuatan
hukum. Kelembagaan  bukan  hanya  melibatkan  adanya  rules,  ideologi,  norma,  dan
aktor,  tetapi  juga  perlunya  teritori.  Teritori  atau  bisa  juga  dimaknai  sebagai kontrol  wilayah  merupakan  upaya  langsung  untuk  mengatur  hubungan  antara
masyarakat  dan  sumberdaya,  misalnya  dengan  menggambar  batas-batas  dan mencoba  untuk  mengontrol  akses  ke  sumberdaya  alam  dalam  batas-batas  yang
dibuat  oleh  kelembagaan  tersebut.  Namun  ada  juga  kelembagaan  adat  yang dianggap tidak memiliki teritori. Seperti yang dikemukakan oleh  Vandergeest dan
42 Peluso  1995,  dalam  melihat  Masyarakat  Adat  Sama  Dua,  bahwa  tradisi  sistem
politik precolonial tidak terikat melakukan strategi dari jenis teritorial. Meskipun demikian,  jelas  kelompok  lokal  tidak  memiliki  konsep  adat  tingkat  wilayah
mereka. Secara historis orang-orang Sama Dua menggunakan wilayah  jangkauan yang  luas  melintasi  pegunungan  di  belakang  pantai  untuk  melakukan
pengumpulan hasil hutan, memancing di sungai, dan berburu mangsa. Para petani juga  membuka  plot  dalam  area  ini,  dan  menanam  tanaman  pada  wilayah  tanah
yang  cocok.  Seiring  waktu,  semua  praktek  ini  menandai  keberadaan  hutan  di belakang Sama Dua dalam arti lokal tempat.
Teritori terikat geografis, seperti daerah aliran sungai dan pegunungan, dan keberadaan  komunitas  tetangga  semua  membantu  mengkonsolidasikan  gagasan
teritorialitas  lokal  lihat,  McCarthy,  2005.  Dalam  konteks  kelembagaan pengaturan hutan, sistem pengaturan hutan tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
kelembagaan  pengaturan  pemerintah  dan  kelembagaan  adat  yang  dianut  oleh masyarakat  yang  hidup  disekitar  hutan  sejak  lama,  jauh  sebelum  hutan  tersebut
diklaim  sebagai  hutan  negara.  Negara  dalam  konteks  ini  adalah  sekumpulan organisasi  yang  melalui  pembuatan  peraturan  dan  pemaksaan  hendak  menguasai
dan mengontrol wilayah tertentu Hall dan Ickenberry, 1989. Berbagai organisasi negara  saling  bersaing  dan  bertentangan  dalam  memenuhi  kepentingan  masing-
masing. Masyarakat  dalam  konteks  ini  adalah  sekumpulan  manusia  yang
mengelompok berdasarkan kesamaan identitas dan norma Migdal, 1994. Seperti halnya  negara,  unsur-unsur  masyarakat  bisa  saling  bersaing  dan  bertentangan.
negara  dan  masyarakat  senantiasa  saling  membentuk  melalui  upaya  penguasaan dan  penolakan  di  berbagai  arena  Migdal  dkk.,  1994.  Arena  yang  berkaitan
dengan  hutan  mencakup  hak  kepemilikan,  pembagian  manfaat  dari  hutan, pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya hutan, peluang kerja, jaminan politik,
infrastruktur, pengetahuan, dan akses terhadap informasi. Negara dan masyarakat memiliki jalur pengaruh yang berbeda lihat, Moeliono, Wollenberg dan Limberg
2009. Negara  dan  masyarakat  bisa  saling  bersaing  dan  bertentangan  dalam
memperebutkan  pengelolaan  dan  pemanfaatan  hutan.  Dalam  perkembangannya
43 kelembagaan masyarakat tersebut bisa berubah sejalan dengan adanya perubahan
dari  kelembagaan  lain,  misalnya  kelembagaan  negara  atau  Internasional. Kemampuan  masyarakat  untuk    menyesuaikan  dan  mengadaptasikan  berbagai
aturan  dari  kondisi  yang  sudah  ada,  menunjukkan  ketangguhan  sebagai  satu lembaga Ostrom, 1990; Wollenberg, 1998; Buck dkk, 2001.
Negara  dalam  konteks  Indonesia  dalam  hal  ini  pemerintah  pusat mengelola  sumberdaya  wilayah  dengan  menggunakan  berbagai  jenis  mekanisme
hukum. UU No. 26 Tahun 2007 tentang  Penataan Ruang,  yang mengelola ruang- udara,  tanah,  dan  air  untuk  mencapai  kesejahteraan  umum  dan  keadilan  sosial
sebagaimana  diamanatkan  oleh  konstitusi.  Ini  adalah  dasar  hukum  untuk  semua kegiatan  dan  perencanaan  tata  ruang  di  tingkat  yurisdiksi  yang  berbeda.
Menurut  hukum  ini,  ada  dua  jenis  lahan  dibedakan  menurut  fungsi  mereka, Kawasan  lindung  zona  lindung  dan  Kawasan  budi  daya  zona  pemanfaatan
untuk  pertanian  atau  bidang  produksi  lainnya.  Tujuan  utama  dari  Kawasan lindung  adalah  untuk  menjamin  keberlangsungan  lingkungan,  termasuk
sumberdaya  alam  dan  sumberdaya  buatan,  sedangkan  Kawasan  budi  daya memiliki  tujuan  utama  yang  memungkinkan  pemanfaatan  berdasarkan
ketersediaan dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan.  Kawasan  lindung  mencakup  taman  nasional,  taman  alam,  taman
ekowisata,  hutan  lindung,  hutan  lindung  gambut,  hutan  lindung  mangrove,  dan cadangan  kelautan.  Kawasan  budi  daya  meliputi  hutan  produksi  terbatas,  hutan
produksi,  hutan  yang  memenuhi  syarat  untuk  konversi  ke  penggunaan  lain,  dan daerah non-hutan.
Moeliono,  Wollenberg  dan  Limberg  2009  mengemukakan  bahwa pengaruh negara terhadap hutan biasanya berdasarkan penguasaan atas kebijakan,
kegiatan  kehutanan,  atau  kepemilikan  hutan  dan  lahan  hutan  Finger-Stich  dan Finger, 2003.  Di  negara  yang kaya dengan sumberdaya hutan seperti indonesia,
penguasaan oleh negara seringkali terpusat pada Departemen Kehutanan di tingkat nasional.  Unsur  masyarakat  dapat  mempengaruhi  melalui  jejaring  informal,
gerakan sosial,  atau pun organisasi-organisasi  resmi seperti perusahaan, lembaga keagamaan, kelompok donor dan advokasi.
44 Masyarakat yang sebenarnya mempunyai kepentingan langsung dan dampak
langsung yang mempengaruhi kehidupan mereka atas keberadaan hutan ini adalah masyarakat  lokal  adat.  Namun  dalam  praktiknya  masyarakat  lokal  kurang
memiliki  pengaruh  resmi  terhadap  sumberdaya  hutan  yang  bernilai  tinggi. Moeliono,  Wollenberg  dan  Limberg  2009  menyebutkan  bahwa  ketika
pemerintah dan pihak yang berwenang lemah, kelompok masyarakat menerapkan prinsip,  norma,  aturan  dan  praktik  mereka  sendiri  dan  secara  selektif  mematuhi
atau  mengesampingkan  hukum  negara.  Kelompok  demikian  bertindak  sebagai ‘bidang  sosial  yang  semi-otonom’  Moore,  1973.  Di  Chaggaland,  Tanzania,
warga  desa  tidak  mengindahkan  upaya  reformasi  untuk  mengubah  lahan  milik perorangan  menjadi  hak  guna  milik  pemerintah  dan  tetap  membagikan  hak  atas
lahan  berdasarkan  adat  setempat  Moore,  1973.  Di  Taman  Nasional  Bosawas, Nikaragua Kaimowitz dkk., 2003, Sumatra bagian utara McCarthy, 2000b dan
Kalimantan  Timur  Obidzinski,  2004,  para  pimpinan  politik  setempat  secara terbuka  mengatur  pembalakan  yang  dianggap  illegal.  Meskipun  membuka
peluang  bagi  masyarakat  hutan  untuk  mempengaruhi  lingkungannya,  otonomi demikian tidak memberi peluang keterlibatan masyarakat dalam kerangka politik
yang lebih luas. Ketika  kehadiran  negara  dan  yang  berwenang  kuat,  masyarakat  lokal
berupaya  mempengaruhi  pejabat  setempat  melalui  senjata  kaum  lemah  Scott, 1998,  yaitu  mengkooptasi  pejabat  Lipsky,  1980  membangun  jejaring  patron-
klien  pribadi  dengan  pejabat  Shue,  1994;  mengabaikan,  melawan,  atau melaksanakan  kebijakan  secara  buruk  Manor,  1999.  Pada  kasus  ekstrim,  yang
digunakan adalah protes dengan membakar, merusak, mengambil, mencabut bibit, dan menyita peralatan Peluso, 1992.
Di  Indonesia,  semangat  reformasi  dan  munculnya  peraturan  perundang- undangan  yang  mengatur  desentralisasi,  telah  memicu  kebangkitan  kelembagaan
lokal.  Beberapa  letusan  mengenai  perebutan  sumberdaya  lokal  mulai bermunculan. McCarthy 2005 menyebutkan bahwa reformasi  dan desentralisasi
baru,  menumbuhkan  minat  baru  peran  pengaturan  kelembagaan  adat  dalam pemerintahan desa, kepemilikan tanah, dan pengelolaan hutan.
45 Dalam  perkembangannya  kelembagaan  masyarakat  tersebut  bisa  berubah
sejalan  dengan  adanya  perubahan  dari  kelembagaan  lain,  misalnya  kelembagaan negara  atau  internasional.  Bagaimana  kelembagaan  tersebut  berkembang?  atau
berubah,  kapan  dan  bagaimana  kelembagaan  itu  berubah?  Knight  1992 mengemukakan  bahwa  banyak  jawaban  yang  bertentangan  dari  berbagai  sumber
intelektual  telah  ditawarkan  untuk  pertanyaan  ini.  Implikasi  dari  bagaimana jawaban  tersebut  sangat  banyak.  Dari  perspektif  explanatory,    penjelasan  sosial
pengembangan  kelembagaan  dan  perubahan  membantu  kita  memahami  sejarah masyarakat dan peristiwa kontemporer. Dari perspektif kritis, pemahaman tentang
perubahan  kelembagaan  memungkinkan  untuk  menentukan  apakah  kelembagaan yang  ada  lebih  jauh  menjadi  justifikasi  bagi  pencapaian  tujuan.  Dari  perspektif
normatif, pemahaman
tentang bagaimana
kelembagaan berkembang
mempengaruhi kemampuan untuk mereformasi kelembagaan yang ada. Mengingat  karakteristik  pluralisme  kelembagaan  daerah  ini,  studinya
McCarthy  2005    menyimpulkan  bahwa,  negara  dan  kelembagaan    adat  sering bersaing  untuk  mengontrol  arah  perubahan  sosial,  mereka  juga  selalu  membuat
akomodasi,  tetapi  dalam  beberapa  hal  perlu  dianggap  sebagai  saling menyesuaikan.  Kelembagaan pengaturan pengelolaan sumberdaya hutan  maupun
dalam  mengontrol  perubahan  sosial,  bukan  hanya  terbatas  pada  kelembagaan negara  dan  kelembagaan  adat,  namun  jauh  kompleks  dari  itu.  Negara  bisa
bermakna  berbagai  macam  organisasi,  misalnya  pemerintahan  tingkat  pusat dalam  hal  ini  Departemen  Kehutanan,  bisa  juga  pemerintah  daerah  akibat
semangat  desentralisasi  otonomi  daerah  mulai  dari  pemerintah  provinsi, kabupaten, kecamatan sampai pada tingkat desa.
                