Faktor-Faktor Pengukuh Legitimasi Kuasa Adat di Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik
                                                                                202 Matrik 15. Faktor-Faktor Kekuatan Eksternal Pengukuh Legitimasi Kuasa Adat
Di Kasepuhan Dan Dayak Iban Sungai Utik
TNGHS SUNGAI UTIK
Konflik Internal  Terdapat konflik antar Kasepuhan dan Konflik di dalam Kasepuhan
Tidak ada konflik internal Kosmologi
Pancer Pangawinan yaitu melaksanakan Sara, Nagara Jeung
Mokaha. Sara adalah agama, Nagara adalah pemerintahan dan Mokaha
adalah keselamatan atau Kasepuhan. Sara, nagara dan mokaha harus
bersatu. Tanah Adalah Darah Ngau
Seput Kitae Hutan bukan kumpulan tegakan
pohon semata dalam pandangan masyarakat adat, bagi mereka
hutan adalah urat nadi kehidupan.
Unsur Perekat Masyarakat
Ada satu pusat adat yaitu imah gede rumah tempat tinggal abah selaku
ketua Adat. Masyarakat tinggal dirumah masing-masing.
Keseragaman keanggotaan sebagai warga Kasepuhan dicirikan oleh atap
rumah yang terbuat dari ijuk. Keanggotaan adat tidak ketat, boleh
bergabung atau keluar kapan saja, ditandai dengan penyerahan dana
keanggotaan yaitu sebesar Rp. 1000 per orang per tahun.
Masyarakat tinggal dalam satu rumah betang. Hanya beberapa
rumah yang berada diluar rumah betang, namun segala aturan
diatur oleh tuai rumah di rumah betang.
Keanggotaan sangat ketat dicirikan oleh keturunan dan
hubungan darah atau keterikatan terhadap lokasi dan jasa yang
diberikan terhadap suku Dayak Iban.
Soliditas Tidak terlalu solid.
Di lokasi TNGHS wilayah Sukabumi Desa Sirna Resmi ada tiga
Kasepuhan, diantara Kasepuhan tersebut juga terdapat konflik antar
group, dimana masing-masing Kasepuhan saling bersaing untuk
memperoleh dukungan dari incu putu pengikut, saling bersaing untuk
memperoleh dukungan pendanaan dari pemerintah daerah setempat baik
untuk pembangunan kampung maupun dalam pendanaan upacara
adat “seren tahun”. Tradisi Gotong royong yang
tergantung pada perintah abah Sangat solid.
Masyarakat bersatu dalam satu komando tuai rumah untuk
urusan-urusan yang bersifat adat dan menyangkut mata
pencaharian sebagai petani serta tata kelola hutan. Dalam
prakteknya kekuasaan tuai rumah tersebut juga dilegitimasi
oleh musyawarah dan mufakat diantara warga.
Tradisi gotong royog yang dibangun bersama seluruh
warga, dengan beban dan keuntungan dibagi rata diantara
anggota masyarakat. Dukungan Pihak
Luar Ada dukungan LSM dan pemerintah
daerah Dukungan LSM dan
Internasional sangat tinggi
Berdasarkan tabel di atas diketahui adanya kesamaan dan perbedaan faktor- faktor  Kekuatan  eksternal  pengukuh  legitimasi  kuasa  adat  di  Kasepuhan  dan
Dayak  Iban  Sungai  Utik.  Perbedaan  dan  kesamaan  tersebut  yang  membedakan keberadaan  dan  posisi  masyarakat  adatnya  dalam  hubungan  relasi  kuasa  dengan
negara.
203
Pertama, konflik internal di dalam kelembagaan adat. Pada Masyarakat
Sungai  Utik,  konflik  internal  relatif  hampir  tidak  ada  sehingga  perjuangan masyarakat  adat  melawan  negara  menjadi  kesatuan  yang  utuh.  Hal  ini  berbeda
dengan  Masyarakat  Kasepuhan,  terjadi  konflik  antar  kelembagaan  Kasepuhan yang  membuat  perjuangan  mendapatkan  hak  akses  kelola  hutan  menjadi
terpolarisasi.
Kedua,  Kosmologi  Masyarakat.  Pada  Masyarakat  Kasepuhan  dikenal
adanya  Konsep  konsmologi  state  of  belief “pancer  pangawinan”  yaitu
melaksanakan “sara, nagara jeung mokaha”. Sara adalah agama, nagara adalah
pemerintahan dan mokaha adalah keselamatan atau Kasepuhan. sara, nagara dan mokaha  harus  bersatu.  Setiap  keputusan  yang  diambil  oleh  Kasepuhan  harus
mengacu  pada  prinsip: ‘kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mufakat
jeung  balarea’  harus  mengacu  kepada  hukum,  mendukung  negara,  mufakat dengan  orang  banyak.  Konsep  ini  merupakan  pengakuan  adat  terhadap
keberadaan  dan  kekuasaan  negara.  Kosmologi  ini  pulalah  yang  membedakan sikap Masyarakat Kasepuhan dengan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik.
Adapun kosmologi Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yaitu: “darah ngau
seput  kitae darah  dan  nafas”.  Hutan  bukan  kumpulan  tegakan  pohon  semata
dalam pandangan masyarakat adat, bagi mereka hutan adalah urat nadi kehidupan, Dayak  Iban  menyebutnya
“darah  ngau  seput  kitae”  darah  dan  nafas.  Konsep inilah  yang  membuat  Dayak  Iban  mati-matian  mempertahankan  tanah  dan
hutannya, karena tanah dan hutan adalah urat nadinya artinya nyawanya, sehingga harus tetap dipertahankan sebagaimana mereka menjaga nyawanya. Kosmologi ini
telah  membuat  sikap  Masyarakat  Dayak  Iban  Sungai  Utik  sangat  keras,  tidak memberi ruang kepada negara untuk berbagi klaim atas wilayah.
Ketiga,  Figur  Pimpinan.  Pimpinan  Kasepuhan  adalah  abah.  Figur  abah
sangat  mutlak  sebagai  pemegang  keputusan  tertinggi.  Dalam  Masyarakat  Dayak Iban,  Musyawarah  adat  menjadi  pusat  pengambilan  keputusan  tertinggi.  Namun
dalam  tata  kelola  hutan,  figur  Ape  Janggut  selaku  tuai  rumah  sangat  terkenal sebagai  penjaga  hutan  yang    diciptakan  oleh  sistem  dan  situasi  internasional,
sebagai bagian dari perjuangan atas pengakuan hutan kelola adat.
204
Keempat,  Unsur  Perekat  Masyarakat.  Masyarakat  Kasepuhan  memiliki
imah  gede  sebagai  pusat  kegiatan  masyarakat.  Adapun  Masyarakat  Dayak  Iban Sungai  Utik  memiliki
“rumah  panjang”,  dimana  seluruh  anggota  masyarakat hidup  bersama  dalam  satu  rumah.  intensitas  komunikasi  dan  interaksi  dalam
rumah panjang jauh lebih efektif dibandingkan dengan imah gede di Kasepuhan.
Kelima,  Soliditas.  Tingkat  soliditas  Masyarakat  Kasepuhan  tidak  terlalu
besar  seperti  yang  ditunjukkan  oleh  Masyarakat  Dayak  Iban  Sungai  Utik.  Hal tersebut  karena  perbedaan  strata  dalam  struktur  kelembagaan  Kasepuhan  dan
Dayak  Iban,  maupun  karena  pemusatan  tempat  tinggal.  Soliditas  ini  juga dipengaruhi  oleh  adanya  tradisi  gotong  royong  yang  masih  kental  pada
Masyarakat  Kasepuhan  dan  Dayak  Iban  Sungai  Utik.  Pada  Masyarakat Kasepuhan,  kepentingan  abah  atau  adat  adalah  segalanya,  sedangkan  pada
Masyarakat  Dayak  Iban,  kepentingan  umum  adalah  segalanya.  itulah  yang membedakan tradisi gotong royong dikedua masyarakat adat.
Tingkat soliditas kelembagaan adat juga menenntukan kuat lemahnya posisi relasi  kuasa  antara  kelembagaan  adat  dengan  negara.  Pada  wilayah  TNGHS
Daerah  Sukabumi  Desa  Sirna  Resmi,  terdapat  3  tiga  Kasepuhan,  masing- masing  Kasepuhan  memiliki  kepentingan  sendiri  terhadap  warganya  dan
pemerintah.  Karena  keanggotaan  sifatnya  bebas,  masyarakat  boleh  keluar  atau masuk menjadi warga Kasepuhan kapan saja mereka mau, tanpa ada perekat yang
kuat,  menyebabkan  masing-masing  kelembagaan  Kasepuhan  bersaing  untuk memperoleh dukungan dari pengikut incu putu atau mempertahankan incu putu
agar  tidak  keluar  dari  kelembagaan  Kasepuhannya.  Begitupun  dalam hubungannya  dengan  pemerintah.  Kepentingan  masyarakat  terhadap  dukungan
pemerintah,  khususnya  pemerintah  daerah  menyebabkan  sikap  masyarakat menjadi  longgar  terhadap  pemerintah.  Begitupun  dengan  pemerintah  daerah,
politik  lokal  regional  bermain  disitu,  Masyarakat  Kasepuhan  merupakan  aset terbaik untuk melanggengkan kekuasaan aktor pemerintah bupati wakil bupati,
baik  secara  perhitungan  suara  maupun  kekuatan  mistis  yang  dipercaya  dapat memuluskan  jalannya  para  aktor  tersebut  dalam  menduduki  jabatan  tertinggi
dalam  pemerintahan.  Para  aktor  yang  meminta  dukungan  warga  Kasepuhan
205 tersebut  bukan  hanya  berasal  dari  aktor  daerah  tetapi  juga  berasal  dari  aktor
pemerintah pusat. Konflik  yang  terjadi  antar  lembaga  Kasepuhan  tersebut  menjadikan
Lembaga  Kasepuhan  tidak  satu  unit  kesatuan  yang  utuh,  sehingga    ketika berhadapan  dengan  tantangan  luar  negara,  mereka  menjadi  lemah,  mudah
dipecah belah. Mengapa kekuatan di Sungai Utik lebih solid dibandingkan dengan kelembagaan  Kasepuhan,  tentunya  tidak  terlepas  dari  soliditas  yang  dibangun
secara  adat  dan  teritorial,  dimana  Masyarakat  Dayak  Iban  tinggal  dalam  satu rumah betang yang sama, sehingga interaksi antar warga menjadi lebih intens.
Keenam,  dukungan  pihak  luar.  Isu  perjuangan  Masyarakat  Dayak  Iban
melawan  negara  dan  pengusaha  lebih  menguntungkan  dibandingkan  dengan  isu Masyarakat  Kasepuhan  melawan  taman  nasional.  Perbedaan  jenis  hutan  yang
dihadapi  membuat  perbedaan  dukungan  luar  yang  didapat.  Ketika  kelembagaan masyarakat  adat  berhadapan  dengan  kelembagaan  negara  hutan  produksi  maka
dukungan  kelembagaan  dan  dukungan  lainnya  baik  dari  tingkat  nasional  dan internasional menjadi banyak karena isu yang diusung adalah isu pelestarian hutan
yang  dijalankan  oleh  masyarakat  adat  yang  sedang  berhadapan  dengan  ekonomi kapitalisnya  negara.  Lain  halnya  dengan  ketika  masyarakat  adat  berhadapan
dengan  hutan  konservasi,  maka  menempatkan  masyarakat  sebagai  tertuduh kerusakan hutan, maka dukungan dari pihak luarpun mejadi terbatas.
Posisi masyarakat Dayak Iban menjadi semakin kuat ketika dukungan pihak luar  tersebut  mampu  mendorong  Masyarakat  Dayak  Iban  memperoleh  sertifikat
ekolabeling  untuk  tata  kelola  hutan  berbasis  masyarakat,  yaitu  penghargaan  dari Lembaga  Ekolabel  Indonesia  dengan  nomor  certificate  08SCBFM005  yang
diberikan untuk Pengelolaan hutan oleh Rumah Panjae Menua Sungai Utik forest management  unit  of  Rumah  Panjae  Menua  Sungai  Utik,  dalam  lingkup
“sustainable community Based Forest Management SCBFM Unit with an area of 9.453,40 hectares
”.
206 Dari  penjelasan  di  atas  diketahui  bahwa  posisi  kelembagaan  adat
Masyarakat Dayak  Iban Sungai Utik masih kuat  dan diterapkan, sedangkan pada Masyarakat Kasepuhan, kelembagaan adat sudah mulai melemah. Nilai-nilai adat
Kasepuhan  dalam  mengelola  dan  memanfaatkan  sumberdaya  hutan  tidak  lagi dijalankan  secara  penuh.  Hanya  pegetahuan  tentang  pertanian  saja  yang  masih
secara  utuh  dijalankan.  Lemahnya  kelembagaan  adat  Kasepuhan  tersebut menunjukkan  bahwa  posisi  negara  sebagai  superordinat  sangat  kuat  dan
menundukkan  aktor  Masyarakat  Kasepuhan  sebagai  kelompok  yang  dikuasai subordinat.  Sementara  itu,  kuatnya  legitimasi  kuasa  Masyarakat  Dayak  Iban
Sungai  Utik  jika dibandingkan dengan Masyarakat  Kasepuhan dalam pengaturan tata  kelola  hutan  dipengaruhi  oleh  berbagai  faktor,  antara  lain,  soliditas,  jenis
hutan yang diperjuangkan serta dukungan pihak luar.
6.5.    Strategi  Adaptasi  Ekologi  Masyarakat  Dalam  Rangka  Keberlanjutan Sistem Sosioekologi Hutan
Meskipun  berbagai  persoalan  sudah  menyerang  mereka,  Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban masih memiliki loyalitas terhadap tradisi
mereka.  Mereka  memiliki  peraturan  sendiri  untuk  mengelola  dan  memanfaatkan lahan,  terutama  untuk  pengelolaan  hutan  dan  penanaman  padi.  Kesetiaan  dalam
menjalankan tradisi budaya tersebut merupakan strategi adaptasi ekologi mereka. Dari sudut perspektif ekologi fungsional, adaptasi  yang dilakukan individu dapat
dilihat sebagai suatu respon individu atau sistem respon human response dengan tujuan  untuk  memelihara  homeostasis.  Sebaliknya,  dari  sudut  perspektif  ekologi
prosessual,  sistem  adaptasi  dilihat  sebagai  suatu  sistem  perilaku  yang  dibentuk
Sejumlah  prestasi  pembuktian  kuatnya  pengetahuan  lokal  dalam  tata  kelola hutan pada hutan Sungai Utik: Rumah panjang Sungai Utik diakui sebagai situs budaya
Kabupaten  Putussibau,  Mendapat  piagam  penghargaan  dari  Gubernur  Kalimantantan Barat, bidang pelestarian lingkungan dengan kategori penyelamatan lingkungan, tahun
2005;  mendapat  sertifikat  ekolabel  dari  LEI  Lembaga  Ekolabel  Indonesia,  yang  di serahkan  langsung  oleh  Menteri  Kehutanan  di  Sungai  Utik  tahun  2008;  mendapat
piagam  penghargaan  dari  Badan  Registrasi  Wilayah  Adat  tahun  2010,  seluruh Indonesia baru 5lima wilayah adat yang telah di registrasi; Juara I  lomba penghijauan
dan  konservasi  alam  tingkat  Kabupaten  Kapuas  Hulu  tahun  2011;  Juara  I  lomba penghijauan  dan  konservasi  alam  tingkat  provinsi  Kalimantan  Barat  tahun  2011;
Mendapat  penghargaan  nasional  sebagai  “Desa  Perduli  Hutan”  dalam    lomba penghijauan dan konservasi alam tingkat nasional tahun 2011
207 sebagai hasil proses adaptasi terhadap perubahan lingkungan Vayda and McCay,
1975 : 293-306; Vayda and Rappaport, 1968 : 477:497. Dalam kasus  Masyarakat  Kasepuhan dan Masyarakat  Dayak  Iban, adaptasi
dilihat  lebih  sebagai  suatu  proses  sebagaimana  yang  diacu  oleh  perspektif  yang kedua,  dimana  terjadinya  perubahan  sosial  yang  diakibatkan  oleh  adanya
intervensi  kebijakan  negara  atas  suatu  kawasan  yang  tadinya  dikuasai  oleh masyarakat adat berdasarkan right yang dimaknai budaya masyarakatnya. Namun
seiring dengan perubahan kelembagaan hutan, menyebabkan terjadinya perubahan sosial sebagai bentuk strategi adaptasi terhadap perubahan kelembagaan hutan dan
dalam  rangka  memperoleh  sumber  livelihood  baru.  Mengacu  pada  apa  yang dikemukakan  Vayda  and  McCay  1975  bahwa  Proses  adaptasi  sebagai  suatu
respon terhadap perubahan fisik sumberdaya hutan atau perubahan sosial bersifat temporer.  Pola  adaptasi  ditunjukkan  melalui  pola  perilaku  tertentu  seperti
perubahan dalam mata pencaharian. Dalam  pengelolaan  hutan,  mereka  memiliki  kearifan  lokal  yang  membagi
hutan dalam beberapa zonasi. Salah satu zona dimanfaatkan oleh masyarakat adat sebagai  lahan  garapan.  Di  wilayah  lahan  garapan  inilah,  Masyarakat  Kasepuhan
dan  Dayak  Iban  melakukan  budidaya  tanaman  padi  dengan  pola  tertentu.  Pada Masyarakat  Dayak  Iban,  pola  ini  mirip  dengan  petani  ladang  berpindah  namun
masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai  pola gilir balik, di mana penduduk desa  akan  kembali  melakukan  penanaman  pada  wilayah  yang  sama  setelah
interval  10-15  tahun  kemudian.  Setelah  10  atau  15  tahun  ditinggalkan,  tanah tersebut  akan  memiliki  kesuburan  yang  sama.  Sebenarnya,  pola  tanam  di
Masyarakat Kasepuhan juga hampir sama dengan Masyarakat Dayak Iban, namun karena  perubahan  status  wilayah  lahan  garapan  menjadi  taman  nasional,
Masyarakat  Kasepuhan  tidak  lagi  memiliki  akses  untuk  membuka  lahan  baru  di wilayah tersebut.
Baik  dalam  Masyarakat  Dayak  Iban  maupun  Masyarakat  Kasepuhan, mereka  memiliki  konsep  kearifan  lokal  dalam  penanaman  padi.  Misalnya  dalam
Masyarakat Kasepuhan, dikenal adanya kearifan lokal tentang tindakan melarang masyarakat untuk menjual beras, pemilihan lahan pertanian sampai pada perintah
untuk pindah ke tempat baru. Kearifan lokal tersebut masih dilakukan secara terus
208 menerus  sampai  sekarang.  Semua  tradisi  ini  selalu  dikaitkan  dengan  kehadiran
perintah  leluhur  wangsit,  yang  terus  dipertahankan  oleh  kepala  suku  dan  para pengikutnya.  Penolakan  wangsit  akan  memberikan  dampak  dalam  bentuk
hukuman, baik hukuman yang bersifat gaib maupun sanksi hukum adat. Hukuman yang  bersifat  gaib  tersebut  disebut  “Kabendon”  pada  Masyarakat  Kasepuhan
atau “Tulah” pada Masyarakat Dayak  Iban. Masyarakat masih percaya bahwa
pelanggaran  hukum  adat  akan  dikenakan  sanksi  adat  yang  disebut  Kabendon Tulah, seperti bentuk penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis.
Pada  dasarnya,  meskipun  kondisi  ekologi  dan  kebijakan  lokal  berubah, namun  tidak  terlalu  banyak  mempengaruhi  mata  pencaharian  penduduknya.
Misalnya  pada  Masyarakat  Kasepuhan,  mereka  memiliki  keterlibatan  dengan sejarah  perkembangan  hutan.  Komunitas  ini  memiliki  mata  pencaharian  utama
sebagai  petani  padi.  Umumnya  masyarakat  memiliki  areal  pertanian  mereka  di taman nasional.
Ketika  perubahan  status  hutan  menjadi  taman  nasional  pada  tahun  2003, beberapa  orang  telah  kehilangan  hak  akses  terhadap  tanah.  Tetapi  beberapa  dari
mereka  masih  tetap  bekerja  di  kawasan  taman  nasional.  Sebagai  hasil  negosiasi, Taman  Nasional  masih  memberikan  kesempatan  kepada  masyarakat  untuk
memanfaatkan  lahan  untuk  menanam  padi  di  tempat  yang  sama,  tetapi  ada beberapa  larangan:  menebang  pohon,  meskipun  di  tanah  lahan  garapan  mereka
sendiri dan pembukaan lahan baru. Perubahan  ini  tentu  saja  merubah  kehidupan  mata  pencaharian
masyarakatnya.  Namun  demikian,  masyarakat  harus  tetap  bertahan  dengan kondisi  lingkungan  yang  baru.  Dalam  mengatasi  berbagai  kesulitan  tersebut,
masyarakat melakukan strategi adaptasi. Umumnya Masyarakat Kasepuhan masih tetap  menjadi  petani,  menggarap  lahan  garapan  ditempat  yang  sama,  hanya  saja
kalau dulu, matapencaharian ini aman, nyaman dan pasti karena ada perlindungan dari  abah.  Namun  sekarang  menggarap  lahan  di  lahan  garapan  menjadi  tidak
aman, tidak nyaman dan tidak pasti, karena harus kucing-kucingan dengan polisi hutan,  karena  sekarang  tidak  ada  perlindungan  dan  legitimasi  dari  abah.  Selain
menanam  padi,  masyarakat  mulai  menanam  tanaman  komersial  seperti  kapolaga
209 atau  tanaman  rempah  lainnya.  Hal  ini  ditujukan  untuk  mengatasi  kesulitan
keuangan karena hasil dari panen padi menjadi tidak pasti. Adaptasi  lainnya  ditunjukkan  dengan  memberdayakan  anggota  keluarga
istri  dan  anak  bekerja  untuk  menghasilkan  pendapatan.  Hasil  penelitian menunjukkan  bahwa  pendapatan  total  keluarga  masyarakat  sekitar  TNGHS
berkisar  antara  Rp  480.000,-  sampai  Rp  5.000.000,-  pendapatan  tersebut termasuk  pendapatan  kepala  keluarga,  pendapatan  ibu  rumah-tangga,  dan
pendapatan anggota keluarga lainnya. Namun demikian pekerjaan sebagai petani di  lahan  garapan  mereka  setelah  perluasan  Taman  Nasional  tidak  lagi
memberikan rasa aman, nyaman dan pasti. Mereka harus kucing-kucingan dengan polisi  hutan  dalam  menggarap  lahannya.  Kelembagaan  adat  dengan  hukum  adat
dan kekuasaan  abah tidak lagi  dapat  melindungi  dan melegitimasi  mereka dalam menggarap  lahannya.  Keputusan  Menteri  Kehutanan  untuk  perluasan  taman
nasional telah menegasikan otoritas kelembagaan adat Kasepuhan. Adapun pada  Masyarakat  Dayak  Iban Sungai  Utik,  pendapatan masyarakat
jauh  lebih  besar  dari  masyarakat  di  sekitar  Taman  Nasional  Gunung  Halimun Salak.  Sumber  utama  pendapatan  mereka  adalah  padi  ladang  dan  perkebunan
karet.  Apalagi  musim  panen  tahun  ini  memperoleh  hasil  yang  lebih  banyak  dari tahun-tahun sebelumnya.
Sebagai  respon  adaptasi  atas  perubahan  kelembagaan  tata  kelola  hutan, Masyarakat  Dayak  Iban  mulai  mengembangkan  tanaman  komersial  karet.
Pendapatan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yang berwujud uang  cash dapat
Seperti yang dikemukakan ole h Pak RM, sebagai berikut: “Musim tanam kali ini
di Sungai Utik terbilang cukup bagus. Padi yang dihasilkan sekarang tidak serta merta dihabiskan  untuk  tahun  sekarang,  namun  disimpan  pula  sebagai  cadangan  manakala
tahun  depan  dikahwatirkan  gagal  panen.  Hasil  pertanian  padi  Masyarakat  Dayak  Iban tidak dijual, melainkan digunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari. Tahun ini lahan
pertanian  saya  menghasilkan  100  karung  gabah  kering  dalam  satu  kali  panen,  dalam sekarung ada 50 kg, berarti tahun ini saya mendapatkan 5000 kg atau 5 ton. Hasil panen
tersebut tidak dijual, karena adat disini tidak mengenal jual beli gabah atau beras.
” Begitu  pak  RM  menjelaskan  bahwa  dalam  adat  Dayak  Iban  Sungai  Utik  tidak
mengenal jual beli gabah. Adapun apabila ada tetangga atau saudara yang kekurangan maka  diberikannya  dengan  sukarela.  Jika  mereka  memberikan  beras,  kemudian  orang
yang diberi beras tersebut memberi uang, maka itu boleh dilakukan, karena maknanya bukan  makna  jual  beli,  melainkan  saling  memberi.  Mereka  menolak  ketika  apa  yang
mereka lakukan itu disebut transaksi jual beli, namun hanya sebatas barter saja.
210 diperoleh  dari  hasil  menoreh  karet.  Paling  sedikit  masyarakat  memiliki  pohon
karet  sebanyak  500  pohon,  paling  banyak  10.000  pohon.  Dengan  rataan kepemilikan  dan  kemampuan  menoreh  karet  per  hari  sebanyak  500  pohon.  Jika
dari  satu  pohon  karet  paling  sedikit  3  kg  dan  paling  banyak  5  kg  getah  maka pendapatan  terkecil  masyarakat  per  hari  sekitar  Rp.  36.000  per  hari  atau  Rp.
1.080.000,-  per  bulan.  Rata-rata  penghasilan  masyarakat  dari  karet  tersebut sebesar  15  kg  x  Rp.  12.000,-  =  Rp.  160.000,-  atau  Rp.  4.800.000,-  per  bulan.
Pendapatan tersebut merupakan pendapatan utama yang berasal dari kebun karet, Pendapatan  tersebut  digunakan  sepenuhnya  untuk  konsumsi  membeli
berbagai  macam  lauk  pauk,  membeli  bensin  atau  solar  untuk  kebutuhan penerangan  diesel.  Jika  satu  hari  menyalakan  listrik  selama  2  jam,
menghabiskan bensin sekitar 2 liter dengan harga bensin Rp. 9.000,- per liternya. Artinya pengeluaran untuk diesel selama satu bulan sebesar Rp. 18.000 x 30 hari
=  Rp.  540.000,-.  Dengan  kata  lain,  untuk  mendapatkan  penerangan  selama  dua jam per hari harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 540.000,- per bulan.
Sekalipun  pendapatan  Masyarakat  Dayak  Iban  Sungai  Utik  relatif  besar, namun  biaya  hidup  di  daerah  ini  juga  cukup  mahal.  Berbagai  macam  barang
kebutuhan pokok harganya 2 dua kali lipat lebih mahal daripada di Pulau Jawa, sehingga  ada  kalanya  uang  tersebut  tidak  cukup  untuk  biaya  hidup  sehari-hari,
apalagi  jika  memiliki  anak  yang  sekolah  di  SMA  karena  harus  pergi  ke  Benua Martinus  atau  Putussibau.  Beberapa  kebiasaan  lain  yang  merogoh  penghasilan
cukup besar adalah kebiasan merokok dan minum minuman keras yang dibeli dari warung.
Ada beberapa situasi yang menempatkan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban dalam kondisi sulit, tetapi karena dukungan kelembagaan dan sosial, mereka
bisa  mengatasi  kesulitan  tersebut.  Pola  adaptasi  ekologi  dan  strategi  nafkah Masyarakat  Kasepuhan  dan  Masyarakat  Dayak  Iban  masih  di  sekitar  pertanian.
Tapi  perjuangan  mereka  untuk  mendapatkan  pengakuan  hak  ulayat  hak  akses terhadap sumberdaya hutan tidak pernah berhenti.
211
7  REFLEKSI TEORITIK TENTANG KONFLIK PENGUASAAN SUMBERDAYA HUTAN
7.1.  Teori  Konflik  Dahrendorf  dan  Teori  Pengetahuan  dan  Kekuasaan
Foucault
Teori  yang  digunakan  dalam  analisis  konflik  sumberdaya  hutan  di  Taman Nasional  Gunung  Halimun  Salak  dan  Hutan  Sungai  Utik  adalah
“Teori  Konflik Dahrendorf
”  dan  “Teori  Pengetahuan  dan  Kekuasaan”  Foucault.  Teori  Foucault digunakan untuk menganalisis konflik pemaknaan.
Pendekatan  teori  konflik  Dahrendorf  menekankan  pada  bagaimana memahami masyarakat dan bagaimana mereka berfungsi pada dua pusat perhatian
utama lihat Rodgers, 2003. Pertama adalah kekuasaan merupakan penentu utama dalam  memahami  bagaimana  struktur  sosial  ada  dan  dalam  pemahaman  bahwa
keutamaan kekuasaan menyebabkan konflik tak terelakkan dimana individu akan sejajar dengan kelompok-kelompok yang berbeda untuk memperoleh tujuan yang
diinginkan.  Perhatian  kedua,  adalah  bagaimana  lembaga-lembaga  sosial  yang sistematis  menghasilkan  kelompok-kelompok  yang  memiliki  kepentingan  yang
saling bertentangan dan  bagaimana konflik itu menjadi  aktif Wallace dan Wolf, 1995.
Pendekatan  Dahrendorf  dalam  Turner,  1998  berlandaskan  pada  anggapan yang  menyatakan  bahwa  semua  sistem  sosial  itu  dikoordinasi  secara  imperatif.
Dalam hal ini, koordinasi yang mengharuskan adanya otoritas merupakan sesuatu yang  sangat  esensial  sebagai  dasar  dari  semua  organisasi  sosial.  Berkenaan
dengan  hal  tersebut  maka  dalam  suatu  sistem  sosial  mengharuskan  adanya otoritas,  dan  relasi-relasi  kekuasaan  yang  menyangkut  pihak  superordinat  dan
subordinat.  Dengan  demikian  maka  tampaklah  bahwa  ada  pembagian  wewenang dan  otoritas  yang  jelas  antara  pihak  yang  berkuasa  dengan  pihak  yang  dikuasai.
Keduanya  itu  mempunyai  kepentingan  yang  berbeda  dan  bahkan  mungkin bertentangan.  Adapun  proposisi  model  teori  konflik  dialektiknya  Dahrendorf
lihat Turner, 1998; Kinseng, 2013, dapat dikemukakan sebagai berikut:
212 I.  Konflik kemungkinan besar terjadi jika anggota ‘kuasi grup’ dalam ICA
menyadari kepentingan objektif mereka dan membentuk  grup konflik, yang pada gilirannya berkaitan dengan:
A.  Kondisi teknis organisasi, yang tergantung pada: 1.  Pembentukan kepemimpinan di dalam ‘kuasi grup’
2.  Kodifikasi sistem ide B.  Kondisi politik, tergantung apakah kelompok dominan mentolerir
pengorganisasian kelompok yang berlawanan kepentingannya C.  Kondisi sosial, yang tergantung pada:
1.  Kesempatan bagi anggota kuasi grup untuk berkomunikasi 2.  Kesempatan untuk merekrut anggota
II. Semakin tidak terpenuhi kondisi teknis, politis, dan sosial tersebut, semakin
intens konflik yang terjadi. III.  Semakin terkait distribusi otoritas dan rewards satu sama lain
superimposed, semakin intens konflik yang terjadi. IV.  Semakin rendah mobilitas antara kelompok super ordinat dan subordinat,
semakin intens konflik yang terjadi. V.
Semakin tidak terpenuhi kondisi teknis, politis, dan sosial, semakin brutal konflik yang terjadi.
VI.  Semakin deprivasi distribusi rewards kelompok yang tertindas itu distribusi rewards bergeser dari absolut ke relatif, semakin brutal konflik yang terjadi.
VII.  Semakin rendah kemampuan kelompok yang bertikai untuk membangun kesepakatan aturan main, semakin brutal konflik yang terjadi.
VIII.  Semakin intens konflik, semakin besar tingkat perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi.
IX.  Semakin brutal konflik, semakin tinggi kecepatan perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi.
Selain  teori  Dahrendorf,  teori  pengetahuan  dan  kekuasaannya  Foucault digunakan  untuk  menganalisis  konflik  pemaknaan  terhadap  sumberdaya  hutan.
Teori Foucault yang digunakan untuk analisis dalam peneltian ini adalah karyanya yang  menelaah  pengetahuan  dan  kekuasaan.  Dalam  memahami  konsep
pengetahuan dan kekuasaan, ada dua ide di inti metodologi Foucault “arkeologi
213 ilmu pengetahuan” Foucault, 1966 dan “genealogi kekuasaan” Foucault, 1969.
Pengetahuan  adalah  wilayah  koordinasi  dan  subordinasi  pernyataan-pernyataan dimana  konsep  tampak  didefinisikan,  diaplikasikan  dan  ditransformasikan.
Pengetahuan  itu  netral,  obyektif  dan  tak  berdosa.  Menurut  Foucault  dalam geneologi  kekuasaan  menyatakan  bahwa  ada  hubungan  antara  kekuasaan  dan
pengetahuan.  Genealogi  memperhatikan  hubungan  antara  pengetahuan  dan kekuasaan  dalam  ilmu  kemanusiaan  dan  praktik-  praktiknya  yang  berhubungan
dengan  regulasi  tubuh,  pengaturan  perilaku  dan  pembentukan  diri.  Kebenaran berhubungan  langsung  dengan  geneologi  kekuasaan.  Kebenaran  diproduksi  oleh
setiap  kekuasaan,  kekuasaan  menghasilkan  pengetahuan,  sementara  pengetahuan memberikan  kekuasaan.  Kekuasaan  dan  pengetahuan  secara  langsung  saling
memperngaruhi. Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa ada konstitusi korelatif dari bidang  pengetahuannya.  Relasi  kekuasaan  terdapat  pada  setiap  aspek  kehidupan.
Kekuasaan  selalu  terakumulasikan  melalui  pengetahuan,  dan  pengetahuan  selalu punya efek kuasa. Jika umumnya kekuasaan hanya tertuju pada negara, pemikiran
Foucault  membuka  kemungkinan  untuk  membongkar  semua  dominasi  dan  relasi kekuasaan.
                