TA : Perancangan Buku Pop-Up Museum Sangiran Sebagai Media Pembelajaran Peninggalan Sejarah.

(1)

TUGAS AKHIR

Nama : Anisah Khoirotun NIM : 09.42010.0056 Program : S1 (Strata Satu)

Jurusan : Desain Komunikasi Visual

SEKOLAH TINGGI

MANAJEMEN INFORMATIKA & TEKNIK KOMPUTER SURABAYA


(2)

TUGAS AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana Desain

Oleh : Nama : Anisah Khoirotun NIM : 09.42010.0056 Program : S1 (Strata Satu)

Jurusan : Desain Komunikasi Visual

SEKOLAH TINGGI

MANAJEMEN INFORMATIKA & TEKNIK KOMPUTER SURABAYA


(3)

viii

Anisah Khoirotun1

Achmad Yanu Alif Fianto, ST., M.B.A. Pembimbing 1 Abdullah Khoir Riqqoh, S.Sn. Pembimbing 2 1

Program Studi S1 Desain Komunikasi Visual

Museum Sangiran merupakan salah satu museum purbakala yang mempunyai koleksi fosil manusia purba terlengkap di Jawa. Museum ini didirikan sebagai tempat mempelajari peninggalan sejarah khususnya tentang manusia purba. Namun, remaja sekarang kurang tertarik untuk berkunjung ke Museum, karena Museum dianggap sebagai sebuah tempat yang membosankan. Sehingga pengetahuan remaja sekarang tentang sejarah khususnya manusia purba sangat terbatas. Oleh karena itu perancangan ini bertujuan untuk membuat alternatif media berupa buku pop-up yang digunakan sebagai media pembelajaran peninggalan sejarah. Perancangan ini menggunakan penelitian kualitatif yaitu dengan observasi, wawancara, dokumentasi dan studi pustaka untuk mendapatkan data-data yang digunakan sebagai pendukung pembuatan konsep perancangan branding. Data dianalisis dengan menggunakan beberapa tahap, yakni reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan. Melalui analisis data tersebut maka diperoleh tema konsep perancangan yaitu “simple & fun”. Deskripsi dari “Simple” adalah sebuah bentuk kesederhanaan dalam arti tidak berlebihan dan tidak kurang. Sedangkan Fun : menyenangkan yaitu dengan menampilkan bahwa mempelajari sejarah termasuk sesuatu hal yang menyenangkan, yaitu dengan membuat adanya komunikasi dalam penyampaian informasi dari isi buku ini. Hasil pembuatan buku diharapkan bisa menjadi alternatif media pembelajaran tentang peninggalan sejarah khususnya manusia purba.

Kata kunci: Buku Pop-Up, Museum Sangiran, Peninggalan Sejarah


(4)

xii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Batasan Masalah ... 5

1.4 Tujuan Perancangan ... 5

1.5 Manfaat Perancangan ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Perancangan ... 6

2.2 Sejarah ... 6

2.3 Peninggalan Sejarah ... 8

2.4 Media Pembelajaran ... 10

2.5 Buku ... 11

2.5.1 Anatomi Buku ... 12


(5)

xiii

2.9 Tipografi ... 23

2.10 Warna ... 23

2.11 Analisis SWOT ... 27

2.12 Segmentasi, Targeting dan Positioning (STP) ... 28

2.13 Museum Sangiran ... 29

BAB III METODOLOGI DAN PERANCANGAN KARYA ... 33

3.1 Metodologi Penelitian ... 33

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 33

3.3 Teknik Analisis Data ... 36

3.3.1 Hasil dan Analisis Data ... 38

3.3.2 Studi Eksisting ... 41

3.3.3 Analisis Kompetitor ... 44

3.3.4 Prosedur Segmentasi ... 48

3.3.5 Keyword ... 53

3.4Konsep Perancangan ... 55

3.5 Perencanaan Kreatif ... 55

3.5.1 Tujuan Kreatif ... 55


(6)

xiv

4.1 Implementasi Desain ... 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

5.1 Kesimpulan ... 86

5.2 Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 88


(7)

xv

Tabel 3.1 Tabel Kelemahan dan kelebihan competitor ... 46 Tabel 3.2 Tabel Matrik SWOT ... 51


(8)

xvi

Gambar 2.1 Gerbang Museum Sangiran ...29

Gambar 2.2 Fosil Tengkorak Homo Sapiens ...30

Gambar 2.3 Gambaran Evolusi Gajah...31

Gambar 2.4 Tahapan Evolusi Gajah……...32

Gambar 2.5 Diorama...32

Gambar 3.1 Skema Model Analisis Interaktif ... 38

Gambar 3.2 Buku Sangiran: Man, Culture and Environment in Pleistocene ... 42

Gambar 3.3 Brosur Sangiran ... 43

Gambar 3.4 Museum Ronggowarsito ... 44

Gambar 3.5 Gajah Purba di Museum Ronggowarsito ... 45

Gambar 3.6 Patung Gajah di Halaman Museum Trinil ... 47

Gambar 3.7 Koleksi Museum Trinil ... 47

Gambar 3.8 Identifikasi Pasar ... 49

Gambar 3.9 Analisis Keyword dari Hasil Segmentasi ... 54

Gambar 3.10 Skema Konsep Perancangan ... 55

Gambar 3.11 Warna Terpilih ... 58

Gambar 3.12 Font Minya Nouvelle ... 58

Gambar 3.13 Font Rabiohead ... 59

Gambar 3.14 Sketsa Alternatif Icon Cowok ... 60

Gambar 3.15 Sketsa Alternatif Icon Cewek ... 60


(9)

xvii

Gambar 3.19 SketsaLayout 2 ... 63

Gambar 3.20 SketsaLayout 3 ... 63

Gambar 3.21 SketsaLayout 4 ... 64

Gambar 3.22 SketsaLayout 5 ... 64

Gambar 3.23 SketsaLayout 6 ... 65

Gambar 4.1 Icon Manusia Purba ... 66

Gambar 4.2 Icon Manusia Purba 2 ... 67

Gambar 4.3 Icon Karakter Cewek Smart ... 68

Gambar 4.4 Icon Karakter Cowok ... 67

Gambar 4.5 Halaman Cover Depan ... 69

Gambar 4.6 Halaman Cover Belakang ... 70

Gambar 4.7 Halaman Copyright dan Hak Cipta ... 70

Gambar 4.8 Halaman Kata Pengantar ... 71

Gambar 4.9 Halaman Daftar Isi ... 72

Gambar 4.10 Halaman Pembukaan ... 72

Gambar 4.11 Halaman 1 Isi Buku ... 73

Gambar 4.12 Halaman 2 dan 3 Isi Buku ... 74

Gambar 4.13 Halaman 4 dan 5 Isi Buku ... 74

Gambar 4.14 Halaman 6 Isi Buku ... 75


(10)

xviii

Gambar 4.18 Halaman 12 dan 13 Isi Buku ... 78

Gambar 4.19 Halaman 14 Isi Buku ... 78

Gambar 4.20 Halaman 15 Isi Buku ... 79

Gambar 4.21 Halaman 16 dan 17 Isi Buku ... 79

Gambar 4.22 Halaman 18 dan 19 Isi Buku ... 80

Gambar 4.23 Halaman 20 dan 21 Isi Buku ... 81

Gambar 4.24 Halaman 22 dan 23 Isi Buku ... 81

Gambar 4.25 Halaman 24 dan 25 Isi Buku ... 82

Gambar 4.26 Halaman 26 dan 27 Isi Buku ... 83

Gambar 4.27 Halaman 28 dan 29 Isi Buku ... 83

Gambar 4.28 Halaman 29 dan 30 Isi Buku ... 84


(11)

xix


(12)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Sejarah merupakan segala sesuatu yang telah terjadi di masa lampau. Sejarah juga selalu menjadi hal yang penuh misteri bagi sebagian anak-anak, karena sejarah hanya bisa dilihat dari peninggalan-peninggalan maupun bukti-bukti otentik yang tidak begitu jelas. Sama halnya dengan sejarah manusia purba di Indonesia, yang sampai sekarang masih banyak anak-anak yang belum tahu atau bahkan tidak mau tahu. Padahal untuk mempelajari sejarah manusia purba tidaklah sulit, karena sudah disediakan Museum yang khusus mempelajari sejarah manusia purba serta kehidupannya. Salah satu diantaranya adalah Museum Sangiran yang berlokasi di Sragen Jawa Tengah. Namun, banyak anak-anak yang kurang tertarik untuk berkunjung ke Museum, karena Museum dianggap sebagai tempat yang membosankan. Untuk itu perlu adanya suatu media berbentuk buku yang berfungsi mengemas secara lengkap tentang apa saja yang ada di Museum tersebut. Dimana buku tersebut akan dibuat menarik sehingga tidak adanya kebosanan bagi anak-anak dalam membaca buku tersebut. Menarik disini maksudnya dengan membuat sebuah buku yang berbeda dan belum pernah digunakan sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk merancang buku pop-up Museum Sangiran sebagai media pembelajaran peninggalan sejarah.


(13)

Museum Sangiran merupakan museum purbakala yang terletak di Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen. Lokasi dari Museum Sangiran ini berdekatan dengan area Situs Sangiran. Situs Sangiran ditetapkan sebagai situs Warisan Budaya Dunia (No C 593 oleh UNESCO) sebagai kawasan The Sangiran Early Man Site, dengan pertimbangan pentingnya nilai sejarah yang terkandung di Situs Sangiran pada Desember 1996. Di dalam Museum Purbakala Sangiran ini dapat diperoleh informasi tentang manusia purba terutama yang ada di Pulau Jawa. Koleksi dari museum ini diantaranya fosil manusia purba, binatang bertulang belakang, fosil binatang air, batu-batuan, serta alat-alat yang digunakan manusia purba yang terbuat dari batu seperti kapak persegi, serpih dan bilah. Selain fosil terdapat pula diorama, yaitu sebuah gambaran patung manusia purba di tengah ekosistemnya yang menunjukan bagaimana cara manusia purba tersebut hidup serta dapat dilihat dengan jelas bagaimana raut wajah, bentuk tubuh serta lingkungan buatan. Sehingga nampak jelas bagaimana kehidupan manusia purba pada masa itu.

Dalam mempelajari peninggalan sejarah bisa dilakukan dengan mengunjungi tempat bersejarah secara langsung, salah satunya yaitu Museum. Museum dianggap sebagai tempat yang menyimpan banyak peninggalan sejarah. Museum adalah lembaga yang diperuntukkan bagi masyarakat umum. Museum berfungsi mengumpulkan, merawat, dan menyajikan serta melestarikan warisan budaya masyarakat untuk tujuan studi, penelitian dan kesenangan atau hiburan (Museum, 2009: 20).


(14)

Namun, sebagian anak-anak menganggap bahwa museum adalah suatu tempat yang gelap, angker dan dipenuhi benda-benda tua yang sudah berdebu. Sehingga membuat anak-anak enggan untuk berkunjung ke Museum. Hal itu membuat anak-anak banyak yang kurang tahu tentang sejarah. Selain dengan melakukan kunjungan langsung ke museum, mempelajari sejarah bisa dilakukan melalui buku. Buku merupakan media cetak yang dapat berperan mendidik untuk untuk semua kalangan. Buku adalah sumber ilmu pengetahuan dan sumber pembangun watak bangsa (Muktiono, 2003: 2).

Mempelajari sejarah melalui buku memanglah menarik bagi sebagian anak-anak yang memang tertarik dengan sejarah karena buku bisa dibaca dimanapun, kapanpun dan ketika lupa informasi tersebut masih tetap ada di buku tidak akan hilang. Namun bagi sebagian anak-anak yang tidak tertarik dengan sejarah menganggap bahwa mempelajari sejarah merupakan suatu kegiatan yang membosankan. Karena sampai sekarang, ketika mempelajari tentang sejarah pasti akan disodorkan sebuah buku yang tebal, penuh tulisan serta kurang adanya visual yang menarik. Hal ini merupakan salah satu alasan tidak tertariknya anak-anak dalam mempelajari sejarah.

Dari pada menghabiskan waktu mereka membaca buku sejarah yang membosankan tersebut, kebanyakan anak-anak memilih bermain atau membaca buku cerita fiksi yang mempunyai visual lebih menarik. Karena masa Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Sehingga pada masa ini mereka lebih mementingkan visual dari pada verbal.


(15)

Buku pop-up dianggap mempunyai daya tarik tersendiri bagi anak-anak yaitu dengan menyajikan visualisasi dengan bentuk-bentuk yang dibuat dengan melipat, menarik, membuka dan sebagainya. Buku pop-up merupakan sebuah buku yang memiliki bagian yang dapat bergerak atau memiliki unsur 3 dimensi. Sekilas pop-up hampir sama dengan origami dimana kedua seni ini mempergunakan teknik melipat kertas (Nancy dan Rondha, 2012: 1). Buku pop-up dibuat dengan memberikan kejutan-kejutan dalam setiap halamannya sehingga dapat membuat rasa kagum bagi anak-anak ketika membuka dari halaman yang satu ke halaman selanjutnya.

Buku pop-up ini difokuskan pada koleksi-koleksi yang ada di Museum Sangiran berupa fosil manusia purba, hewan purba serta alat-alat yang digunakan manusia purba pada masa itu. Buku ini tidak hanya berisikan visual saja tetapi akan ditambahkan unsur verbal. Unsur verbal digunakan untuk memberikan keterangan pada visualnya.

Berdasarkan uraian diatas maka Perancangan Buku Pop-up Museum Sangiran perlu dirancang sebagai media pembelajaran peninggalan sejarah.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan masalah dari perancangan ini adalah Bagaimana merancang Buku Pop-up Museum Sangiran sebagai media pembelajaran peninggalan sejarah?


(16)

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah dalam perancangan buku pop-up Museum Sangiran sebagai media pembelajaran peninggalan sejarah adalah:

1. Buku membahas tentang peninggalan sejarah yang ada di Museum Sangiran yaitu berupa koleksi fosil manusia purba.

2. Pada buku terdapat informasi penjelasan singkat tentang manusia purba tersebut.

3. Bahasa yang digunakan dalam buku ini adalah Bahasa Informal. 4. Biaya produksi 1 buku sebesar Rp 200.000,-

1.4 Tujuan Perancangan

Tujuan yang ingin dicapai pada Tugas Akhir ini adalah untuk merancang buku pop-up Museum Sangiran sebagai media pembelajaran peninggalan sejarah.

1.5 Manfaat Perancangan

Tugas akhir ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:

1. Memberikan masukan bagi Museum Sangiran tentang penggunaan media promosi berupa buku pop-up

2. Dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan ilmu pengetahuan desain komunikasi visual, khususnya yang terkait dengan perancangan buku pop-up sebagai media pembelajaran.


(17)

6 2.1 Perancangan

Perancangan adalah langkah pertama dalam fase pengembangan rekayasa produk atau sistem. Perancangan itu adalah proses penerapan berbagai teknik dan prinsip yang bertujuan untuk mendefinisikan sebuah peralatan, satu proses atau satu sistem secara detail yang membolehkan dilakukan realisasi fisik (Pressman, 2009: 399).

2.2 Sejarah

Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia, Sejarah merupakan kesusasteraan lama, silsilah, asal-usul (Poerwadarminta, 2003: 464). Sejarah juga merupakan kejadian yang terjadi pada masa lampau yang disusun berdasarkan peninggalan-peninggalan berbagai peristiwa. Dalam bahasa Yunani, kata sejarah disebut istoria, yang berarti belajar. Jadi, sejarah adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari segala peristiwa, kejadian yang terjadi pada masa lampau dalam kehidupan umat manusia. Adapun menurut Sartono Kartodirdjo, sejarah adalah rekonstruksi masa lampau atau kejadian yang terjadi pada masa lampau (Wardaya, 2009: 38).

Ada tiga aspek dalam sejarah, yaitu masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Masa lampau dijadikan titik tolak untuk masa yang akan datang sehingga sejarah mengandung pelajaran tentang nilai dan moral. Pada masa kini,


(18)

sejarah akan dapat dipahami oleh generasi penerus dari masyarakat yang terdahulu sebagai suatu cermin untuk menuju kemajuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Peristiwa yang terjadi pada masa lampau akan memberi kita gambaran tentang kehidupan manusia dan kebudayaannya di masa lampau sehingga dapat merumuskan hubungan sebab akibat mengapa suatu peristiwa dapat terjadi dalam kehidupan tersebut, walaupun belum tentu setiap peristiwa atau kejadian akan tercatat dalam sejarah (Wardaya, 2009: 40).

Sumber sejarah adalah bahan-bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Menurut bentuknya, sumber sejarah dapat dibagi menjadi empat, yaitu sumber lisan, sumber tertulis, sumber rekaman, dan sumber benda (Listiyani, 2009: 56). 1. Sumber Lisan

Sumber lisan adalah keterangan langsung dari pelaku atau saksi dari suatu peristiwa sejarah. Dalam sejarah kontemporer, banyak pelaku dan saksi sejarah yang masih hidup. Misalnya di zaman pendudukan Jepang, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Perang Kemerdekaan, Demokrasi Terpimpin, Peristiwa G 30 S PKI 1965, Orde Baru dan sebagainya. Mereka menjadi sumber sejarah yang penting sebagai pelengkap dari kekurangan atau kekosongan dokumen dari masa-masa tersebut (Listiyani, 2009: 56).

2. Sumber Tertulis

Sumber tertulis adalah keterangan tertulis yang berkaitan dengan peristiwa sejarah. Ada yang menyebut juga sumber tertulis ini adalah sumber


(19)

dokumenter, sebab sumber ini berupa bahan sejarah dalam bentuk tulisan. Macamnya antara lain : prasasti, kronik, babad, piagam, dokumen, laporan, arsip, dan surat kabar (Listiyani, 2009: 56).

3. Sumber Rekaman

Sumber rekaman dapat berupa rekaman kaset audio dan rekaman kaset video. Banyak peristiwa sejarah yang dapat terekam, misalnya Masa Pendudukan Jepang, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Perang Kemerdekaan dan sebagainya (Listiyani, 2009: 58).

4. Sumber Benda

Sumber benda disebut juga sebagai sumber korporal, yaitu benda-benda peninggalan masa lampau, seperti : bangunan, kapak, gerabah, perhiasan, patung, candi, gereja, masjid, dan sebagainya (Listiyani, 2009: 58).

2.3 Peninggalan Sejarah

Peninggalan sejarah merupakan benda-benda yang mempunyai nilai sejarah dan masih ada hingga kini. Berdasarkan pengertian tersebut peninggalan sejarah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Rishky, 2013).

1. Benda tersebut berasal dari masa lampau

2. Bernilai sejarah yang berarti bahwa benda tersebut terkait dengan peristiwa masa lalu

3. Benda tersebut masih ada hingga kini, baik dalam keadaan utuh maupun sudah rusak


(20)

Peninggalan-peninggalan sejarah dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk atau jenisnya dan masanya (periode waktunya) yaitu sebagai berikut: 1. Berdasarkan masanya

a. Peninggalan Masa Prasejarah

Masa Prasejarah adalah masa dikenalnya tulisan. Pada masa ini manusia hidup dengan peralatan yang masih sederhana. Peralatan hidup yang mereka buat dari bahan yang mereka dapat dari alam seperti batu dan tulang. Perkembangan kehidupan manusia pada masa itu berkembang sangat lambat. Dari mulai masa berburu dan mengumpulkan makanan dengan kehidupan berpindah-pindah hingga masa bercocok tanam dan hidup menetap. Untuk mengungkap kehidupan prasejarah, para ahli menggunakan temuan-temuan fisik dari masa ini yang berupa fosil, alat perkakas dari batu dan alat perkakas dari tulang (Rishky, 2013).

b. Peninggalan Masa Sejarah

Masa sejarah adalah masa telah dikenalnya tulisan oleh masyarakat. Dari peninggalan tertulis seperti prasasti dan kitab-kitab kuno, dapat diketahui lebih jauh kehidupan masyarakat masa lalu. Selain itu, bentuk-bentuk peninggalan lainnya berupa bangunan (Rishky, 2013).

2. Berdasarkan Jenis Wujudnya

Berdasarkan jenisnya, peninggalan sejarah dapat dikelompokkan ke dalam 4 macam yaitu (Rishky, 2013) :

a. Bangunan, seperti candi, masjid, gapura, istana, keraton, benteng b. Patung arca


(21)

c. Prasasti d. Karya sastra

2.4 Media Pembelajaran

Media adalah sebuah alat yang mempunyai fungsi menyampaikan pesan (Sanaky, 2011: 3). Media juga merupakan alat bantu dalam proses belajar mengajar baik dalam pendidikan formal maupun informal (Widada, 2010: 99). Dalam proses pembelajaran media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan pembelajaran), sehingga dapat merangsang perhatian, minat, pikiran dan perasaan siswa dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan belajar (Santyasa, 2007: 3).

Pembelajaran adalah proses komunikasi antara pembelajar, pengajar, dan bahan ajar (Sanaky, 2011: 3). Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran (Hamalik, 2010: 57).

Sementara Arif S. Sadiman dkk (Sanaky, 2011), menyatakan bahwa pembelajaran pada hakikatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan ke penerima melalui saluran atau media tertentu. Untuk itu proses komunikasi harus diciptakan dan diwujudkan melalui kegiatan peyampaian pesan, tukar menukar pesan atau informasi dari setiap pengajar kepada pembelajar atau sebaliknya. Manusia terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, seperti tenaga


(22)

laboratorium. Bahan ajar meliputi buku-buku, fotografi, slide, film, audio dan video tape.

Setiap tahun penggunaan media pembelajaran selalu mengalami perkembangan. Hal itu dikarenakan setiap media pasti mempunyai kelemahan, sehingga perlu diadakan penemuan baru dan pemanfaatan media yang diperbaharui. Penggunaan media dalam proses pembelajaran juga harus disesuaikan, oleh sebab itu pengajar harus dapat memilih media pembelajaran yang baik untuk digunakan saat mengajar. Media pembelajaran yang baik harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain: kesesuaian dengan materi pembelajaran, kemudahan dalam penggunaan, dan menarik bagi peserta didik, sehingga tercapai tujuan pembelajaran yang optimal (Widada, 2010: 99).

Penggunaan media pembelajaran disadari oleh praktisi pendidikan sangat membantu aktivitas proses pembelajaran baik di dalam maupun luar kelas, terutama peningkatan hasil belajar siswa (Sudjana dan Rivai, 2005: 2).

2.5 Buku

Buku merupakan media cetak yang dapat berperan mendidik untuk untuk semua kalangan. Buku adalah sumber ilmu pengetahuan dan sumber pembangun watak bangsa. Buku dapat dijadikan pula sebagai sarana informasi untuk memahami sesuatu dengan mudah. Dalam masyarakat, buku untuk anak-anak umumnya adalah buku bergambar, karena anak-anak lebih mudah memahami buku tersebut dengan banyak gambar dari pada tulisan. Sedangkan orang dewasa


(23)

lebih fleksibel untuk memahami apa yang ada pada buku walaupun tanpa gambar sekalipun (Muktiono, 2003: 3).

Buku dikelompokkan menjadi 2 jenis, antara lain: 1. Buku Fiksi

2. Buku fiksi merupakan salah satu buku yang paling banyak diterbitkan didunia. Adapun kisah dibalik cerita fiksi adalah tidak berdasarkan kehidupan nyata. Contoh dari buku fiksi adalah novel, komik, buku cerita anak.

3. Buku Non Fiksi

4. Dalam kepustakaan jenis-jenis buku non fiksi banyak digunakan sebagai bubu-buku referensi ataupun juga ensiklopedia. Adapun jenis buku non fiksi antara lain buku sekolah, buku jurnalistik, atlas, album, laporan tahunan dan sebagainya.

2.5.1 Anatomi Buku

Sebelum mendesain buku perlu diperhatikan beberapa hal, antara lain desain sampul muka, desain navigasi, kejelasan informasi, kenyamanan membaca, perbedaan yang jelas antar bagian, dan lain-lain. Pada umumnya buku dibagi menjadi tiga bagian yang nantinya akan terbagi lagi berdasarkan fungsinya masing-masing.

1. Bagian Depan dari buku terdiri dari cover, judul bagian dalam, Colohone (informasi percetakan buku), dedication (pesan atau ucapan terima kasih), proloque (halaman pengantar), sambutan dari pihak lain, content (daftar isi).


(24)

2. Bagian isi yang terdiri dari bab-bab dan sub-bab, serta dalam tiap bab membicarakan topik yang berbeda.

3. Bagian Belakang buku terdiri dari daftar pustaka, daftar istilah, daftar gambar, serta cover belakang yang bisanya berisi gambaran singkat mengenai buku.

2.6 Buku Pop-Up

Pop-up, merupakan salah satu bidang kreatif dari paper engineering yang kini semakin digemari dan sedang berkembang. Banyak buku pop-up yang beredar di pasaran. Hanya saja, masih didominasi oleh karya impor. Karya pop-up anak negeri sejauh ini lebih mendominasi pada kegiatan di kalangan komunitas (workshop) atau adanya kepentingan tertentu, misalnya karya pop-up untuk buku tahunan sekolah, atau untuk pesanan tertentu. Komunitas dengan spesialisasi pop-up dan atau yang berbasis pada paper engineering sudah bermunculan. Komunitas ini merupakan sebuah wadah untuk saling berbagi, belajar, maupun bersama menciptakan karya pop-up (Dewantari, 2014).

Buku pop-up merupakan buku yang menyajikan visualisasi dengan bentuk-bentuk yang dibuat dengan melipat dan sebagainya Nancy dan Rondha, 2012: 1). Buku pop-up merupakan sebuah buku yang memiliki bagian yang dapat bergerak atau memiliki unsur 3 dimensi. Sekilas pop-up hampir sama dengan origami dimana kedua seni ini mempergunakan teknik melipat kertas.

Namun origami lebih memfokuskan diri pada menciptakan objek atau benda. Sedangkan pop-up lebih cenderung pada pembuatan mekanis kertas yang


(25)

dapat membuat gambar tampak secara lebih berbeda baik dari sisi perspektif/ dimensi, perubahan bentuk hingga dapat bergerak yang disusun sealami mungkin (Montanaro, 1993: 55). Dengan demikian, buku pop-up dapat memberikan visualisasi yang lebih menarik. Mulai dari tampilan gambar yang terlihat lebih memiliki dimensi, gambar yang dapat bergerak ketika setiap halamannya dibuka.

Penggunaan buku up ini bermula dari abad ke-13, pada awalnya pop-up digunakan untuk mengajarkan anatomi, matematika, membuat perkiraan astronomi, menciptakan sandi rahasia dan meramalkan nasib. Selama berabad-abad lamanya buku seperti ini hanya digunakan untuk membantu pekerjaan ilmiah, hingga abad ke-18 tehnik ini mulai diterapkan pada buku yang dirancang sebagai hiburan terutama ditujukan untuk anak-anak (Hiner, 2006: 19).

Dalam perkembangannya, gaya Pop-up sudah sangat bervariasi penggunaannya tidak hanya sebatas sebagai hiasan dalam kartu ucapan, namun juga sebagai sarana berbagai macam promosi seperti sarana promosi sebuah perusahaan, misalnya saja sebagai coorporate sebuah perusahaan, panduan tur, panduan sejarah museum, real estate, restaurant, taman nasional, tempat wisata, dan hotel, serta sebagai kartu pos (Hiner, 2006: 20).

Kelebihan dari media ini adalah yang pertama buku pop-up ini praktis digunakan serta mudah dibawa, kedua buku pop-up berbeda dengan buku pada umumnya karena memiliki dimensi ketika buku itu dibuka sehingga menambah antusiasme remaja, ketiga mengajak interaktifitas siswa dalam penggunaannya, siswa dapat menggunakan secara mandiri maupun berkelompok. Selain mempunyai kelebihan, media buku pop-up ini juga memiliki kelemahan yaitu


(26)

ditinjau dari bahan bakunya sendiri dari kertas sehingga tingkat keawetannya juga masih kurang.

Jika dilihat secara keseluruhan, buku Pop-up tidak jauh berbeda dengan buku lainnya. Hanya saja, pada setiap pembuatan buku Pop-up desainer haruslah memiliki keterampilan khusus. Sama seperti buku lainnya, pembuatan buku diawali dengan penetuan konsep dan jalan cerita. Selanjutnya menentukan teknik -teknik yang dipakai dalam membuat bentuk Pop-up tersebut.

Jika dilihat dari sejarah perkembangannya, pop-up diawali dengan kontruksi yang masih sederhana, sekitar awal abad ke-13. Pada masa itu teknik ini disebut movable book (buku bergerak), dengan melibatkan peran mekanis pada kertas yang disusun sedemikian rupa sehingga gambar/ objek/ beberapa bagian pada kertas tampak bergerak, memiliki bentuk atau dimensi. Movable book pertama kali diterapkan di Eropa dan mulai diproduksi secara massal seiring berkembangnya movable type oleh Johannes Gutenberg. Movable book pertama kali muncul dengan teknik volvelles (atau yang kini dikenal sebagai teknik rotary), yakni melibatkan peranan poros pada susunan mekanis kertas. Teori tentang volvelles ini dicetuskan oleh Matthew Paris (1200-1259) dan Ramon Llull (1235-1316) (Dewantari, 2014).

Secara teknis, movable book pada volvelles dapat dinikmati dengan cara memutar bagian kertas yang berporos tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, tahun 1500, movable book dimanfaatkan untuk bidang medis dalam menggambarkan anatomi tubuh manusia. Andreas Vesalius (1514-1564), adalah seorang profesor anatomi dari Brussels yang menerapkan movable book pada


(27)

bukunya yang berjudul, De humani corporis fabrica librorum• pada 1543. Para medis menyebut naskah ini dengan istilah lift the flap. Lift the flap dikemas dengan menyusun/ menumpuk beberapa kertas, lalu mengunci salah satu sisi susunan kertas dan menyisakan sebagian besar bagian kertas agar dapat dibuka dan ditutup kembali (Dewantari, 2014).

Pada masa itu, lift the flap merupakan teknologi yang diciptakan dari material kertas yang mampu menjadi sarana para medis untuk menjelaskan bagaimana susunan anatomi tubuh manusia, sebelum adanya teknologi yang lebih canggih seperti saat ini. Andreas Vesalius memanfaatkan teknologi kertas ini untuk menjelaskan hasil pengamatannya mengenai anatomi tubuh manusia dengan melakukan pembedahan-pembedahan selama 4 tahun. Terdapat perguruan tinggi di bidang kesehatan yang masih menyimpan naskah ini. Bahkan beberapa diantaranya pernah mengadakan pameran koleksi lift the flap book tentang anatomi yang usianya telah mencapai ratusan tahun itu. Pameran ini mendapat respon yang sangat baik dari berbagai kalangan (Dewantari, 2014).

Teknologi buku semacam ini memiliki peranan yang sangat penting yang disertai pula dengan berkembangnya teknik cetak, sehingga buku dapat diproduksi secara massal. Perpaduan keduanya menjadikan ilmu pengetahuan (salah satunya tentang anatomi) menjadi semakin luas dan mudah untuk dipelajari. Sampai sekarang pun lift the flap masih sering kita jumpai di pasaran, dengan istilah yang sama dengan awal kemunculannya di bidang medis. Istilah inilah yang akhirnya semakin akrab dikenal dengan mekanis kertas yang menyerupai teknis membuka dan menutup jendela. Pada tahun 1765, penerbit Robert Sayer memproduksi lift


(28)

the flap book sebagai media hiburan baik untuk anak-anak maupun dewasa (Dewantari, 2014).

Lift the flap menjadi semakin berkembang dengan kekuatan ciri khas teknis yang dari dulu hingga kini masih dipertahankan. Mekanis yang sederhana dan ramah kiranya menjadikan lift the flap lebih dekat dengan target pasar anak-anak. Manfaatnya besar, secara tidak langsung kegiatan melihat, membuka dan menutup gambar pada lift the flap dapat melatih perkembangan motorik pada anak-anak (Dewantari, 2014).

Lift the flap dan pop-up pada produksi buku di masa kini, entah disadari atau tidak keduanya seolah tampak berdiri sendiri-sendiri. Bahkan bisa saja istilah movable book juga menjadi lebih asing lagi, yang akhirnya membuat kita tidak tertarik untuk mengetahui apa, mengapa, bagaimana, dan seterusnya. Lift the flap dan pop-up merupakan satu garis dari kisah perjalanan movable book (Dewantari, 2014).

Memang, pada perkembangannya masing-masing tampak memiliki ciri tersendiri. Namun, sebenarnya mereka adalah satu rangkaian proses perkembangan. Baik Lift the flap maupun pop-up adalah satu keluarga dalam movable book. Lift the flap dapat kita nikmati pada saat kita membuka susunan kertas (bertumpuk) yang terdapat pada halaman kertas. Jadi, teknik ini tidak harus dibantu oleh lipatan halaman seperti pada kartu atau buku (Dewantari, 2014).


(29)

2.7 Unsur Visual

Menurut Adi Kusrianto (2007: 275) untuk mewujudkan suatu tampilan visual, diperlukan beberapa unsur yang disusun menjadi karya desain yang selaras, serasi dan seimbang dalam kesatuan, unsur-unsur tersebut yaitu titik, garis, bidang, ruang, warna, dan tekstur.

1. Titik

Titik adalah salah satu unsur visual yang wujudnya relative kecil, dimana dimensi memanjang dan melebarnya dianggap tidak berarti. Titik cenderung ditampilkan dalam bentuk kelompok, dengan variasi jumalah, susunan dan kepadatan tertentu.

2. Garis

Garis dianggap sebagai unsur visual yang banyak berpengaruh terhadap pembentukan suatu obyek. Sehingga garis juga menjadi batas limit suatu bidang atau warna. Ciri khas garis adalah terdapatnya arah serta dimensi memanjang. Garis dapat ditampilkan dalam bentuk lurus, lengkung, gelombang, zigzag dan lainnya.

3. Bidang

Bidang merupakan unsur visual yang berdimensi panjang dan lebar. Ditinjau dari bentuknya, bidang bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu bidang geometri/ beraturan dan bidang non-geometri/tidak beraturan.

4. Ruang

Ruang dapat dihadirkan dengan adanya bidang atau jarak antar objek berunsur titik, garis, bidang dan warna. Ruang lebih mengarah pada


(30)

perwujudan tiga dimensi sehingga ruang dapat dibagi menjadi dua, yaitu nyata dan semu.

5. Warna

Warna sebagai unsur visual yang berkaitan dengan bahan yang mendukung keberadaannya ditentukan oleh jenis pigmennya. Kesan yang diterima mata lebih ditentukan oleh cahaya. Permasalahan mendasar dari warna diantaranya adalah Hue (spectrum warna), Saturation (nilai kepekatan) dan Lightness (nilai cahaya dari gelap ke terang).

6. Tekstur

Tekstur adalah nilai raba suatu permukaan. Secara fisik tekstur dibagi menjadi tekstur kasar dan halus. Sedangkan ditinjau dari efek tampilannya, tekstur digolongkan menjadi tekstur nyata dan tekstur semu.

2.8 Layout

Prinsip layout yang baik menurut Tom Lincy (Kusrianto, 2007: 277) proporsi, keseimbangan, kontras, irama dan kesatuan. Dalam penerapan perancangan ini desain layout menjadi landasan untuk dijadikan acuan dasar dalam memberikan panduang dalam mendesain layout dari perancangan buku pop-up. Untuk mengatur layout, diperlukan pengetahuan akan jenis-jenis layout. Berikut adalah jenis-jenis layout pada media cetak, baik brosur, majalah, iklan maupun pada buku.


(31)

1. Mondrian Layout

Mengacu pada konsep seorang pelukis Belanda bernama Piet Mondrian, yaitu mengacu pada bentuk-bentuk square/ landscape/ portrait. masing-masing dari bidangnya sejajar dengan bidang penyajian dan memuat gambar/ copy yang saling berpadu sehingga membentuk suatu komposisi yang konseptual.

2. Multi Panel Layout

Bentuk layout yang dalam satu bidang penyajian dibagi menjadi beberapa tema visual dalam bentuk yang sama (square/ double square semuanya) 3. Picture Window Layout

Tata letak yang menampilkan gambaran produknya secara close up. 4. Copy Heavy Layout

Tata letak yang mengutamakan pada bentuk copywriting (naskah) atau dengan kata lain komposisi layoutnya didominasi oleh penyajian teks.

5. Frame Layout

Suatu tampilan yang bordernya membentuk suatu naratif (mempunyai cerita). 6. Shilhoutte Layout

Sajian iklan yang berupa gambar ilustrasi atau teknik fotografi dimana hanya menonjolkan bayangannya saja.

7. Type Specimen Layout

Tata letak yang hanya menekankan pada penampilan jenis huruf dengan point size yang besar. Pada umumnya hanya berupa Head Line saja.


(32)

8. Sircus Layout

Penyajian buku dengan tata letak yang tidak mengacu pada ketentuan baku. Komposisi gambar visual, teks serta susunannya terkadang tidak beraturan. 9. Jumble Layout

Penyajian buku yang merupakan kebalikan dari sircus layout, yaitu mempunyai komposisi gambar serta teks yang teratur.

10. Grid Layout

Suatu tata letak yang mengacu pada konsep grid, yaitu desain tersebut seolah-olah bagian perbagian (gambar atau teks) berada di dalam skala grid.

11. Bleed Layout

Layout yang sekeliling bidangnya menggunakan frame (seolah-olah belum dipotong pinggirnya). Bleed berarti belum dipotong menurut pas cruis (utuh) kalau trim sudah dipotong.

12. Vertical Panel Layout

Tata letak yang menghadirkan garis pemisah secara vertical dan membagi layout iklan tersebut.

13. Alphabet Inspired Layout

Tata letak yang menentukan pada susunan huruf atau angka yang berurutan atau membentuk suatu kata dan diimprovisasikan sehingga menimbulkan kesan narasi (cerita).


(33)

14. Angular Layout

Penyajian layout buku dengan menggunakan susunan elemen visualnya membentuk sudut kemiringan, biasanya membentuk sudut antara 40-70 derajat.

15. Informal Balance Layout

Layout bulu dengan tampilan elemen visualnya merupakan suatu perbandingan yang tidak seimbang.

16. Brace Layout

Unsur unsur dalam tata letak yang membentuk letter L (L-shape) posisi bentuk L-nya bisa terbalik, dan dimuka bentuk L tersebut dibiarkan kosong. 17. Two Mortises Layout

Penyajian bentuk layout yang penggarapannya menghadirkan dua inset yang masing-masing menvisualkan secara deskriptif mengenai hasil penggunaan/ detail dari produk yang ditawarkan.

18. Quadran Layout

Bentuk tampilan iklan yang gambarnya dibagi menjadi empat bagian dengan volume yang berbeda. Misalnya kotak pertama 45%, kedua 5%,ketiga 12 % dan keempat 38% (mempunyai perbedaan yang menyolok apabila dibagi empat sama besar).

19. Comic Script Layout

Penyajian layout yang dirancang secara kreatif sehingga merupakan bentuk media komik, lengkap dengan captionsnya.


(34)

20. Rebus Layout

Susunan layout yang menampilkan perpaduan gambar dan teks sehingga membentuk suatu cerita.

2.9 Tipografi

Tipografi berasal dari kata Yunani tupos (yang diguratkan) dan graphoo (tulisan). Dulu tipografi hanya diartikan sebagai ilmu cetak-mencetak. Sehingga orang yang ahli dalam bidang cetak-mencetak disebut tipografer (Supriyono, 2010: 19).

Tipografi didefinisikan sebagai suatu proses seni untuk menyusun bahan publikasi menggunakan huruf cetak. Oleh karena itu, menyusun meliputi merancang bentuk huruf cetak hingga merangkainya dalam sebuah komposisi yang tepat untuk memperoleh suatu efek tampilan yang dikehendaki (Kusrianto, 2007: 190).

Tipografi (pemilihan huruf) mempunyai peran yang penting dalam sebuah iklan. Meskipun peran utamanya bersifat fungsional (menyampaikan kata pesan), tetapi huruf juga mempunyai peran estetika dan pemilihan huruf memberi kontribusi pada dampak dan mood pesan (Moriarty, 2009: 516).

2.10 Warna

Salah satu elemen visual yang dapat dengan mudah menarik perhatian pembaca adalah warna. Warna juga merupakan unsur yang sangat tajam untuk


(35)

menyentuh kepekaan penglihatan sehingga mampu merangsang munculnya rasa haru, sedih, gembira, mood atau semangat, dll.

Dalam bukunya, Kusrianto (2007: 232) menjelaskan bahwa secara visual, warna memiliki kekuatan yang mampu mempengaruhi citra orang yang melihatnya. Masing-masing warna mampu memberikan respons secara psikologis. Molly E. Holzschlag, seorang pakar warna, dalam tulisannya “Creating Color Scheme” membuat daftar mengenai kemampuan masing-masing warna ketika memberikan respons secara psikologis kepada pemirsanya sebagai berikut:

1. Merah : kekuatan, bertenaga, kehangatan, nafsu, cinta, agresifitas, bahaya. 2. Biru : kepercayaan, konservatif, keamanan, teknologi, kebersihan, perintah. 3. Hijau : alami, kesehatan, pandangan yang enak, kecemburuan, pembaruan. 4. Kuning : optimis, harapan, filosofi, ketidakjujuran/ kecurangan, pengecut,

penghianat.

5. Ungu : spiritual, misteri, keagungan, perubahan bentuk, galak, arogan. 6. Orange : energi, keseimbangan, kehangatan, bersemangat, aktif, gembira. 7. Coklat : bumi, dapat dipercaya, nyaman, bertahan.

8. Abu-abu : intelek, futuristik, modis, kesenduan, merusak

9. Putih : kemurnian/ suci, bersih, kecermatan, inocent (tanpa dosa), steril, kematian

10. Hitam : kekuatan, seksualitas, kemewahan, kematian, misteri, ketakutan, ketidakbahagiaan, keanggunan


(36)

Pada tahun 1831, Brewster (Nugroho, 2008: 35) mengemukakan teori tentang pengelompokan warna. Teori Brewster membagi warna–warna yang ada di alam menjadi empat kelompok warna, yaitu warna primer, sekunder, tersier, dan netral. Kelompok warna mengacu pada lingkaran warna teori Brewster dipaparkan sebagai berikut:

1. Warna Primer

Warna primer adalah warna dasar yang tidak berasal dari campuran dari warna–warna lain. Menurut teori warna pigmen dari Brewster, warna primer adalah warna–warna dasar (Nugroho, 2008: 37). Warna–warna lain terbentuk dari kombinasi warna–warna primer. Menurut Prang, warna primer tersusun atas warna merah, kuning, dan hijau (Nugroho, 2008: 37). Akan tetapi, penelitian lebih lanjut menyatakan tiga warna primer yang masih dipakai sampai saat ini, yaitu merah seperti darah, biru seperti langit/laut, dan kuning seperti kuning telur. Ketiga warna tersebut dikenal sebagai warna pigmen primer yang dipakai dalam seni rupa.

Secara teknis, warna merah, kuning, dan biru bukan warna pigmen primer. Tiga warna pigmen primer adalah magenta, kuning, dan cyan. Oleh karena itu, apabila menyebut merah, kuning, biru sebagai warna pigmen primer, maka merah adalah cara yang kurang akurat untuk menyebutkan magenta, sedangkan biru adalah cara yang kurang akurat untuk menyebutkan cyan. 2. Warna Sekunder

Warna sekunder merupakan hasil campuran dua warna primer dengan proporsi 1:1. Teori Blon (Darma, 1989: 18) membuktikan bahwa campuran


(37)

warna–warna primer menghasilkan warna–warna sekunder. Warna jingga merupakan hasil campuran warna merah dengan kuning. Warna hijau adalah campuran biru dan kuning. Warna ungu adalah campuran merah dan biru. 3. Warna Tersier

Warna tersier merupakan campuran satu warna primer dengan satu warna sekunder. Contoh, warna jingga kekuningan didapat dari pencampuran warna primer kuning dan warna sekunder jingga. Istilah warna tersier awalnya merujuk pada warna–warna netral yang dibuat dengan mencampur tiga warna primer dalam sebuah ruang warna. Pengertian tersebut masih umum dalam tulisan-tulisan teknis.

4. Warna Netral

Warna netral adalah hasil campuran ketiga warna dasar dalam proporsi 1:1:1. Campuran menghasilkan warna putih atau kelabu dalam sistem warna cahaya aditif, sedangkan dalam sistem warna subtraktif pada pigmen atau cat akan menghasilkan coklat, kelabu, atau hitam. Warna netral sering muncul sebagai penyeimbang warna–warna kontras di alam.

Munsell (Darma, 1989: 70) mengemukakan teori yang mendukung teori Brewster. Munsell mengatakan bahwa: Tiga warna utama sebagai dasar dan disebut warna primer, yaitu merah (M), kuning (K), dan biru (B). Apabila warna dua warna primer masing–masing dicampur, maka akan menghasilkan warna kedua atau warna sekunder. Bila warna primer dicampur dengan warna sekunder akan 9 dihasilkan warna ketiga atau warna tersier. Bila antara warna tersier dicampur lagi dengan warna primer dan sekunder akan dihasilkan warna netral.


(38)

2.11 Analisis SWOT

Didalam buku Metode Riset untuk Desain Komunikasi visual, (Sarwono dan Lubis, 2007: 18-19) mengatakan bahwa SWOT dipergunakan untuk menilai dan menilai ulang (reevaluasi) suatu hal yang telah ada dan telah diputuskan sebelumnya dengan tujuan meminimumkan resiko yang mungkin timbul. Langkahnya adalah dengan mengoptimalkan segi positif yang mendukung serta meminimalkan segi negatif yang berpotensi menghambat pelaksanaan keputusan perancangan yang telah diambil.

Langkah analisis: Mengkaji hal atau gagasan yang akan dinilai dengan cara memilah dan menginventarisasi sebanyak mungkin segi kekuatan (strenght), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threat).

Segi kekuatan dan kelemahan merupakan kondisi internal yang dikandung oleh obyek yang dinilai, sedangkan peluang dan ancaman merupakan faktor eksternal.

Hasil kajian dari keempat segi ini kemudian disimpulkan, meliputi strategi pemecahan masalah, perbaikan, pengembangan, dan optimalisasi.

Penyusunan kesimpulan lazim dilakukan dengan cara meramu (sedapat mungkin) hal-hal yang dikandung oleh keempat faktor menjadi sesuatu yang positif, netral atau minimal dipahami. Penyusunan kesimpulan ini ditampung dalam Matriks Pakal yang terdiri dari:

1. Strategi PE-KU (S-O) / Peluang dan Kekuatan: Mengembangkan peluang menjadi kekuatan.


(39)

2. Strategi PE-LEM (W-O) / Peluang dan Kelemahan: Mengembangkan peluang untuk mengatasi kelemahan.

3. Strategi A-KU (S-T) / Ancaman dan Kekuatan: Mengenali dan mengantisipasi ancaman untuk menambah kekuatan.

4. Strategi A-LEM (W-T) / Ancaman dan Kelemahan: Mengenali dan mengantisipasi ancaman untuk meminimumkan kelemahan. (Sarwono dan Lubis, 2007:18-19).

2.12 Segmentasi, Targeting, dan Positioning (STP)

Segmentasi merupakan upaya untuk membagi calon konsumen dalam kelompok-kelompok tertentu (Harjanto, 2009: 262). Upaya ini dilakukan untuk memudahkan usaha penjualan seseorang karena segmentasinya yang dipertajam.

Targeting adalah tahap selanjutnya dari analisis segmentasi. Targeting yang dimaksdukan disini adalah target market (pasar sasaran), yakni beberapa segmen pasar yang akan menjadi focus pemasaran (Kasali, 2000).

Positioning merupakan tindakan merancang produk dan bauran pemasaran agar dapat tercipta kesan tertentu di ingatan konsumen. Dengan kata lain Positioning adalah bagaimana menempatkan produk kedalam pikiran audience, sehingga calon konsumen memiliki pemikiran tertentu dan mengidentifikasikan produknya dengan produk tersebut.


(40)

2.13 Museum Sangiran

Museum Purbakala Sangiran merupakan salah satu museum arkeologi yang berada di Indonesia. Dimana lokasi dari museum tersebut berada di Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah. Museum tersebut terletak berdekatan dengan area situs fosil purbakala sangiran.

Pada tahun 1977, Wilayah Sangiran dan sekitarnya ditetapkan sebagai cagar budaya (SK. Mendikbud No. 070/0/1977). Dan pada tahun 1996 Sangiran ditetapkan sebagai kawasan world heritage (warisan dunia) No. 593 pada tanggal 5 Desember 1996 dengan nama Sangiran Early Man Site (Dokumen WHC-96-Conf.2201-21).

Gambar 2.1 Gerbang Museum Sangiran Sumber: Museum Sangiran

Pada gerbang pintu masuk Museum terdapat 2 gading gajah raksasa berwarna emas. Selain itu terdapat pohon-pohon rindang yang membuat suasana terlihat sejuk. Telihat tulisan “Museum Purbakala Sangiran” pada pintu masuk tersebut.


(41)

Di Sangiran ini pertama kali dilakukan penelitian oleh seorang ahli Palaeonthologi yang berasal dari Jerman, G.H.R. Von Koenigswald pada tahun 1930an. Sejak saat itu mulai ditemukan fosil-fosil serta alat-alat serpih yang kebanyakan berasal dari batu. Pada awalnya penemuan-penemuan itu diletakkan di sebuah rumah Kepala Desa Krikilan, Bapak Toto Marsono sampai tahun 1975.

Pada waktu itu banyak wisatawan yang berkunjung ke rumah tersebut, maka muncul gagasan untuk mendirikan sebuah museum. Awalnya museum hanya dibangun seluas 1000 m², yang lokasinya berada di sebelah Kantor Kepala Desa. Dikarenakan semakin banyak ditemukan fosil pada kawasan tersebut maka dibangunlah museum baru seluas 16.675 m² dengan ruangan museum seluas 750 m². Hingga saat ini telah ditemukan lebih dari 13.685 fosil, 2.931 fosil diletakkan di museum sisanya disimpan di gudang penyimpanan.

Gambar 2.2 Fosil Tengkorak Homo Sapiens Sumber: Museum Sangiran

Di dalam Museum Purbakala Sangiran ini dapat diperoleh informasi tentang manusia purba terutama yang ada di Pulau Jawa. Koleksi dari


(42)

museum ini diantaranya fosil manusia purba, binatang bertulang belakang, fosil binatang air, batu-batuan, serta alat-alat yang digunakan manusia purba yang terbuat dari batu.

Gambar 2.3 Gambaran Evolusi Gajah Sumber: Museum Sangiran

Seperti yang terlihat pada gerbang pintu masuknya, di dalam Museum sendiri juga terdapat fosil gajah lengkap dengan gambaran tentang evolusi gajah. Tampak evolusi gajah yang pernah ditemukan di Sangiran ini dari jaman purba sampai gajah sekarang. Evolusi tersebut terlihat sekali pada kepala, gading serta gigi gajah-gajah tersebut. Di sebelah fosil ini terdapat tahapan evolusi gajah lengkap sejak 40 juta tahun yang lalu sampai sekarang. Tahapan ini berdasarkan lapisan tanah pada penemuan fosil dari gajah-gajah tersebut yang dimulai dari lapisan tanah terdalam yaitu eosen sampai lapisan tanah holosen.


(43)

Gambar 2.4 Tahapan Evolusi Gajah Sumber: Museum Sangiran

Selain fosil terdapat pula diorama, yaitu sebuah gambaran patung manusia purba di tengah ekosistemnya yang menunjukan bagaimana cara manusia purba tersebut hidup sehingga dapat dilihat dengan jelas bagaimana raut wajah, bentuk tubuh serta lingkungan buatan.

Gb. 2.5 Diorama Sumber: Museum Sangiran


(44)

33 3.1 Metodologi Penelitian

Perancangan ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme. Metode ini digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal. Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi (observasi, wawancara dan dokumentasi). Analisis data pada penelitian ini bersifat induktif/ kualitatif berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan dan kemudian dikonstruksikan menjadi hipotesis atau teori. Hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2009: 15).

Dalam penelitian kualitatif tidak ada cara yang mudah untuk menentukan berapa lama penelitian tersebut dilaksanakan. Lamanya penelitian akan tergantung pada keberadaan sumber data, interest dan tujuan penelitian. Selain itu penelitian kualitatif juga akan tergantung pada cakupan penelitian serta bagaimana peneliti mengantur waktu yang digunakan dalam setiap hari atau tiap minggu (Sugiyono, 2009: 19)


(45)

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data lebih cenderung pada observasi berperan serta (participan observation), wawancara mendalam (in depth interview) dan dokumentasi (Sugiyono, 2009: 309). Observasi dilakukan untuk menghasilkan informasi yang detail dan kaya yang akurat dan tidak biasa. Wawancara merupakan cara pengumpulan data yang paling penting dalam kualitatif. Wawancara dilakukan untuk menguatkan atau memverifikasi observasi yang sudah dilakukan. Dokumentasi dilakukan dengan cara pengambilan foto, arsip, dan seluruh gambar-gambar objek penelitian serta bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan informasi yang ada di Museum Sangiran.

1. Observasi

Metode observasi merupakan suatu proses yang komplek, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologi dan psikologis. Dengan observasi dilapangan peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, sehingga akan dapat diperoleh pandangan yang holistik atau menyeluruh. Selain itu dengan observasi peneliti dapat melihat hal – hal yang kurang atau tidak diamati oleh orang lain, khususnya orang yang berada dalam lingkungan itu, karena telah dianggap “biasa” dan karena itu tidak akan terungkap dalam wawancara (Sugiyono, 2011: 58). Dalam penelitian ini observasi dilakukan dengan cara mengamati secara detail tentang koleksi-koleksi yang ada Museum Sangiran.


(46)

2. Wawancara

Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terbuka. Peneliti bertanya langsung kepada informan yang dipilih, yaitu pihak-pihak yang berkompeten yang dianggap mampu memberikan gambaran dan informasi yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian ini (Sugiyono, 2009: 140). Wawancara dilakukan untuk mendukung data yang diperoleh ketika melakukan observasi. Sehingga ketika ada informasi yang tidak begitu jelas bisa ditanyakan pada wawancara tersebut.

Dalam penelitian ini wawancara dilakukan kepada Kepala seksi Pemanfaatan Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) serta informan dari Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga (DISPORA) tentang koleksi-koleksi yang ada di Museum Sangiran. Untuk membantu dalam proses wawancara ini peneliti menggunakan alat perekam berupa tape recorder. Dengan alat bantu ini diharapkan data yang dikumpulkan selama wawancara dapat terekam secara lengkap, sehingga diperoleh gambaran yang utuh.

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek. Moleong mengemukakan dua bentuk dokumen yang dapat dijadikan bahan dalam studi dokumentasi, yaitu dokumen harian yang meliputi catatan harian (diary), surat pribadi serta autobiografi (Herdiansyah, 2010:143). Dokumen yang kedua adalah dokumen resmi (internal dan eksternal).


(47)

4. Studi Pustaka.

Studi pustaka (kepustakaan) dilakukan dengan mencari data-data yang bersumber dari buku-buku referensi. Tujuan dilakukannya studi pustaka adalah untuk memperkuat dan memperdalam materi tentang buku pop-up sebagai media pembelajaran. Selain itu studi pustaka juga digunakan sebagai dasar melakukan perancangan. Studi pustaka ini penting untuk mendukung data penelitian yang akan diimplementasikan kedalam perancangan buku pop-up.

3.3 Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yangtelah diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting danyang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2009:89).

Masih dalam Sugiyono, Bogdan menyatakan bahwa analisis data adalah proses mencari dan menyusun data secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain (Sugiyono, 2009:88).

Analisis data ini dilakukan untuk mendapatkan sebuah gambaran yang jelas serta masih berhubungan dengan pokok permasalah yang diteliti yaitu tentang pembuatan buku pop-up untuk Museum Sangiran.


(48)

Dalam penelitian dengan menggunakan metode kualitatif, analisis data dilakukan sejak awal penelitian dan selama proses penelitian itu berlangsung. Data diperoleh melalui wawancara, observasi, serta dokumentasi. Setelah itu data diolah secara sistematis. Adapun prosedur dalam menganalisis data kualitatif, menurut Miles dan Huberman (1984) adalah sebagai berikut (Sugiyono, 2009: 91-99):

1. Reduksi Data, mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

2. Penyajian Data, setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya dengan menggunakan teks yang bersifat naratif.

3. Kesimpulan atau Verifikasi, langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.


(49)

Gambar 3.1 Skema Model Analisis Interaktif Sumber: Sugiyono, 2009: 99

3.3.1 Hasil dan Analisis Data

Berdasarkan hasil observasi & wawancara yang dilakukan di Museum Sangiran pada tanggal 15 Agustus 2013 kepada Bapak Sukron Edi selaku Kepala Seksi Pemanfaatan Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) dan informan dari Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga (DISPORA), menjelaskan bahwa Museum Sangiran ini merupakan Museum yang fokus pada manusia purba. Museum pertama kali didirikan pada tahun 1982 dalam rangka kepentingan kepariwisataan.

Pada awalnya, museum dikelola oleh warga sekitar, namun dengan semakin banyaknya kunjungan dari berbagai kota, Pemkab turut serta dalam pengelolaan Museum dibantu dengan warga-warga sekitar. Kemudian sejalan dengan adanya status Sangiran sebagai warisan dunia yang ditetapkan UNESCO pada tanggal 5 Desember 1996, pemerintah membentuk Unit Pelaksana Teknis


(50)

yang bertugas khusus mengelola Sangiran yang diberi nama Balai Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP). BPSMP ini berada dibawah tanggung jawab Direktorat Jenderal Kebudayaan & Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Museum Sangiran ini mempunyai ruang Audio Visual untuk memutar film tentang kehidupan manusia prasejarah. Untuk ruang pamer, di Museum ini terbagi menjadi 3 ruangan yaitu ruang pamer 1 yang berisikan tentang kekayaan Sangiran, ruang pamer 2 tentang langkah-langkah kemanusiaan serta ruang pamer 3 berisikan diorama raksasa berukuran 24 meter dan tinggi 12 meter.

Diorama adalah pemandangan (scene) tiga dimensi yang dibuat dalam ukuran kecil untuk memperagakan atau menjelaskan suatu kejadian atau fenomena yang menunjukkan suatu aktivitas (Munadi, 2008: 109). Dalam diorama terdapat benda-benda tiga dimensi dalam ukuran kecil pula. Benda-benda kecil itu berupa orang-orangan, pohon-pohonan, rumah-rumahan, dan lain-lain sehingga tampak seperti dunia sebenarnya dalam ukuran mini.

Diorama biasanya terdiri atas bentuk-bentuk sosok atau objek-objek yang ditempatkan di pentas yang berlatar belakang lukisan yang disesuaikan dengan penyajian. Diorama sebagai media pengajaran terutama berguna untuk mata pelajaran ilmu bumi, ilmu hayat, sejarah bahkan dapat diusahakan pula untuk berbagai macam mata pelajaran (Sudjana dan Rivai, 2010: 170). Diorama belum berkembang luas, diorama lebih dikenal hanya dilingkup museum dan monumen saja sebagai peraga kisah sejarah perjalanan bangsa dan kisah kehidupan manusia purba.


(51)

Setiap museum pasti mempunyai kelebihan serta kelemahan yang berbeda-beda, begitu juga dengan Museum Sangiran. Kelebihan yang dimiliki dari Museum ini adalah memiliki temuan fosil jenis Hominid Purba terbanyak di dunia. Selain itu juga terdapat bermacam-macam diorama yang menggambarkan kehidupan manusia zaman prasejarah seperti cara hidupnya, cara berburu dan lain-lain. Yang paling menarik, di ruang pamer terakhir dari museum ini akan membawa pengunjung merasakan suasana zaman purbakala. Sedangkan kelemahan dari Museum Sangiran ini salah satunya adalah kurangnya SDM yang menguasai bidang paleoantropologi.

Paleontropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia-manusia purba sehingga disebut antropologi ragawi. Objek yang dipelajari ialah fosil-fosil manusia purba. Ilmu ini bertujuan merekonstruksi asal-usul manusia, evolusinya, pesebarannya, lingkungan, cara hidup dan budayanya.

Dari segi pengembangan, Museum ini baru melakukan pengembangan sejak tahun 2009 sampai sekarang. Pengembangan yang dilakukan oleh pihak Museum bisa dibilang sangat drastis. Buktinya selama proses pengembangan jumlah pengunjung bisa dikatakan lebih meningkat. Pengunjung kebanyakan berasal dari kalangan akademis, namun dijelaskan bahwa tidak ada batasan pengunjung Museum. Sehingga dari kalangan apa saja serta umur berapa saja bisa menjadi target dari Museum tersebut.

Untuk media, museum belum mempunyai media khusus yang ditujukan untuk anak-anak. Padahal masa anak-anak merupakan masa awal dari seseorang mulai mengenal serta mempelajari sesuatu. Sehingga apabila pengetahuan sejarah


(52)

sudah ditanamkan sejak kecil mereka akan tumbuh rasa ingin tahu yang berlebih di usia remaja bahkan dewasa.

3.3.1.1Kesimpulan Hasil dan Analisis Data

Berdasarkan hasil dan analisis data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam museum sangiran terdapat bermacam-macam koleksi tentang prasejarah, dari manusia purba, hewan purba serta alat-alat yang digunakan pada masa prasejarah. Namun untuk anak-anak koleksi-koleksi tersebut dianggap kurang menarik sehingga tidak ada minat untuk mempelajarinya secara mendalam. Hal ini dikarenakan belum adanya media pembelajaran yang ditujukan untuk anak-anak dengan menggunakan media yang menarik. Media pembelajaran yang sudah ada hanya berupa buku yang penuh dengan tulisan.

Maka dari itu perlu dirancang sebuah buku yang mempunyai daya tarik untuk anak-anak dengan memanfaatkan warna dan bentuk-bentuk yang disukai anak-anak. Salah satu media yang dianggap menarik tersebut adalah dengan media pop-up. Media pop-up ini akan dijadikan menjadi sebuah buku pembelajaran dengan target konsumen anak-anak.

3.3.2 Studi Eksisting

Analisa studi eksisting dalam perancangan ini mengacu pada observasi yang telah dilakukan terhadap objek yang diteliti, buku yang pernah dibuat oleh Museum serta brosur yang berisi tentang koleksi dari Museum.


(53)

Studi eksisting yang didapatkan dari observasi berupa data-data tertulis maupun observasi yang dilakukan. Dari observasi yang dilakukan, didapatkan buku tentang Sangiran yang menggunakan Bahasa Inggris. Selain itu juga didapatkan brosur yang diletakkan di Museum berisikan koleksi Museum. Kemudian untuk studi eksisting kompetitor, didapatkan dari data berupa file dan artikel-artikel sebagai pendukung analisis yang berada di lapangan.

Studi eksisting mengacu pada objek yang diteliti yaitu, Museum Sangiran. Media yang bisa dijadikan sebagai media pembelajaran serta pernah dibuat tentang Sangiran salah satunya adalah Buku “Sangiran: Man, Culture and Environment In Pleistocene Times”. Selain buku, terdapat juga brosur yang bisa menjadi media pembelajaran karena brosur berisi tentang pengetahuan yang ada di dalam museum.

Gambar 3.2 Buku “Sangiran: Man, Culture and Environment In Pleistocene Times”

Sumber: Museum Sangiran

Yang pertama untuk Buku Sangiran, mempunyai kelebihan dalam segi informasinya. Buku ini mengulas secara detail tentang Sangiran. Bukan hanya tentang Museum atau fosil yang pernah ditemukan, namun juga membahas tentang lapisan-lapisan tanah serta batu di daerah tersebut.


(54)

Namun dalam segi bahasa, buku ini menggunakan bahasa inggris secara keseluruhan. Hal ini menjadi salah satu faktok tidak efektifnya buku ini jika digunakan sebagai media pembelajaran bagi . Walaupun kebanyakan dari sudah menguasai bahasa inggris, namun hal ini juga akan membuat kurang tertarik. Selain itu dari segi layout, buku ini hanya mementingkan unsur verbalnya saja tanpa memperhatikan dari unsur visualnya. Padahal sekarang lebih mudah menghafal serta memahami ketika menggunakan unsur visual.

Gambar 3.3 Brosur Sangiran Sumber: Museum Sangiran

Tidak jauh dari bukunya, brosur yang dibuatpun memiliki kelebihan serta kelemahan yang sama. Sehingga kedua media ini apabila diberikan kepada mereka hanya akan melihat kemudian diletakkan kembali. Karena memang tidak adanya unsur menarik pada kedua media tersebut


(55)

3.3.3 Analisis Kompetitor

Studi kompetitor menjelaskan kemiripan produk yang diangkat. Untuk kompetitor Museum Sangiran yang mempunyai koleksi berupa fosil manusia purba maka dipilihlah Museum Trinil dan Museum Ronggowarsito. Kedua kompetitor sama-sama mempunyai koleksi berupa fosil manusia dan hewan purba.

1. Museum Ronggowarsito Semarang a. Keunggulan Museum Ronggowarsito

Museum Ronggowarsito merupakan museum yang terletak di jalan Abdurrahman Saleh dan merupakan museum terlengkap di Semarang. Nama “Ronggowarsito” diberikan berdasarkan KEPMEN Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0223/1990 tertanggal 4 April 1990. Dengan nama yang diambil dari nama salah satu pujangga Indonesia, yang terkenal dengan hasil karyanya dalam bidang filsafat dan kebudayaan, museum ini menempati luas tanah 1,8 hektare.

Gambar 3.4 Museum Ronggowarsito


(56)

Peresmian museum ini dilakukan oleh Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Dr, Fuad Hassan pada tanggal 5 Juli 1989. Untuk melengkapi identitasnya, diruang pendopo museum ditempatkan patung Ronggowarsito, karya Suhartono, seorang seniman dan pegawai dari Direktorat Kesenian Jakarta. Museum Ronggowarsito ini dibagi dalam empat gedung masing-masing gedung A terdiri dari dua lantai, gedung B dua lantai, gedung C dua lantai, gedung D dua lantai.

Gambar 3.5 Gajah Purba di Museum Ronggowarsito Sumber: Seputar Semarang (https://seputarsemarang.com)

Dari segi koleksi, museum ini mempunyai koleksi bermacam-macam jenis mulai dari proses terjadinya alam, arkeologi , koleksi peradaban Hindu-Budha, Islam, Eropa serta Keraton. Selain itu juga ada koleksi tentang sejarah budaya, sejarah perjuangan bangsa, sampai era pembangunan. b. Peluang dan tantangan Museum Ronggowarsito

Peluang sebagai museum terlengkap yang ada di Jawa Tengah, karena kebanyakan museum yang ada hanya fokus pada satu bidang. Yang


(57)

menjadi ancaman adalah dari museum yang fokus pada satu bidang, tetapi mempunyai kelengkapan yang detail tentang satu bidang tersebut.

Tabel 3.1 Tabel Kelemahan dan Kelebihan Kompetitor (Ronggowarsito) Kelebihan Museum Ronggowarsito Kelemahan Museum Ronggowarsito  letak strategis (berada ditengah

kota)

 koleksi sangat lengkap dan bermacam-macam jenis criteria  transportasi umum mendukung  Perkembangan Kota yang semakin

pesat

 Terlalu banyak criteria dalam koleksinya menjadikannya tidak fokus

 Tidak adanya kendaraan tour

2. Museum Trinil Ngawi

Museum Trinil merupakan museum kepurbakalaan yang terletak di Dukuh Pilang, desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi. Berjarak 14 km dari Kota Ngawi ke arah Barat Daya, pada km 10 jalan Raya Ngawi, Solo. Yang paling terkenal di Museum ini adalah adanya gading gajah purba yang sangat besar jika dibandingkan dengan ukuran gading gajah biasa. Oleh karena itu di depan museum terdapat patung gajah yang digunakan sebagai simbol museum. Selain itu juga terdapat fosil manusia purba, yang terkenal adalah Pithecanthropus Erectus.


(58)

Gambar 3.6 Patung Gajah di Halaman Museum Trinil Sumber: East Java (https://eastjava.com)

Museum Purbakala Trinil telah dilengkapi berbagai fasilitas, seperti lahan parkir yang cukup luas, pendopo atau ruang pertemuan, kantor layanan informasi, tempat istirahat bagi tamu atau peneliti yang ingin tinggal selama beberapa hari, mushola, serta toilet. Selain berbagai fasilitas tersebut, wisatawan yang ingin beristirahat usai mengunjungi museum bisa rehat sejenak dengan duduk-duduk di taman yang dilengkapi dengan sarana bermain anak. Taman ini telertak di sebelah utara museum.

Gambar 3.7 Koleksi Museum Trinil Sumber: Native People Art


(59)

Taman bermain anak tersebut menyediakan berbagai sarana permainan anak, seperti ayunan, papan seluncur, serta jungkat-jungkit. Selain dihiasi oleh bunga-bunga, taman ini juga diperindah dengan patung-patung hewan yang merupakan rekonstruksi dari bentuk-bentuk hewan purba. Disana juga dapat melihat langsung aliran Bengawan Solo dapat duduk-duduk di kursi panjang yang menghadap sungai yang terkenal berkat lagu keroncong ciptaan Gesang ini. Sungai ini memanjang persis di sebelah museum dengan dilingkupi rerimbunan pohon yang menyejukkan suasana.

3.3.4 Prosedur Segmentasi

Pendekatan kontemporer dalam perencanaan strategi memerlukan pengertian yang tepat tentang pasar, namun pertanyaan tentang bagaimana mengidentifikasikan pasar dengan benar itu sangatlah sulit. Tergantung bagaimana mengidentifikasikan pasar tersebut (Jain, 2000: 105).

Langkah pertama dalam mengidentifikasikan pasar adalah menentukan customer need atau kebutuhan konsumen. Berdasarkan kebutuhan tersebut, maka muncullah pasar (Market Emergence). Karena kebutuhan konsumen yang luas, maka perlu ditetapkan batasan-batasan pasar (Market Bondary).


(60)

Gambar 3.8 Identifikasi Pasar Sumber: Jain, 2000: 107

a. Customer Need

Kepuasan akan kebutuhan konsumen merupakan sebuah ujian akhir dari keberhasilan suatu bisnis. Dengan demikian, strategi pemasaran yang efektif harus bertujuan melayani kebutuhan konsumen dan ingin lebih baik dari pesaing tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa fokus pada konsumen adalah inti dari pemasaran strategi.

Dalam perancangan ini didapatkan bahwa kebutuhan konsumen adalah apa yang akan konsumen dapatkan dari buku. Dengan kata lain manfaat apa yang nantinya konsumen dapatkan dari buku tersebut. Perancangan buku ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan pengetahuan tentang sejarah khususnya manusia purba. Sehingga menjadikan buku ini sebagai salah satu media pembelajaran untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.


(61)

Kebutuhan akan pengetahuan sejarah sangat dibutuhkan terutama bagi anak-anak. Dengan mempelajari sejarah sejak usia dini mereka akan mengetahui bagaimana kehidupan yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Sehingga akan tumbuh rasa bangga ketika mengetahui bagaimana kisah-kisah yang dahulu kala terjadi.

b. Market Emergence

Adanya kebutuhan konsumen menimbulkan adanya peluang pasar, dan munculnya pasar. Untuk menilai-nilai pasar ini, perkiraan potensi pasar sangat penting. Dalam perancangan ini adanya kebutuhan konsumen akan pengetahuan sejarah terutama sejarah manusia purba menimbulkan kesadaran untuk mempelajari sejarah terutama sejarah manusia purba tersebut.

c. Market Bondary Definition

Berdasarkan munculnya pasar tersebut, apabila pasar yang muncul menarik, maka diperlukan strategi berikutnya yaitu dengan menentukan batasan-batasan pasar. Dalam perancangan ini batasan-batasan pasar tersebut akan ditentukan melalui analisis SWOT.

Analisis SWOT perancangan buku pop-up Museum Sangiran akan dijelaskan pada tabel 3.3 dengan menggunakan tabel matriks SWOT yang akan dijabarkan sebagai berikut:


(62)

(63)

Berdasarkan tabel tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa batasan-batasan pasar yang akan dituju adalah mengarah ke pendidikan. Sehingga buku ini akan dijadikan sebagai buku pembelajaran tentang manusia purba melalui Museum Sangiran.

b. Served Market

Pasar yang akan dilayani dalam perancangan buku ini adalah anak-anak yang mempunyai kebutuhan akan pengetahuan tentang sejarah manusia purba. Selain itu juga masyarakat yang menyukai sejarah manusia purba.

e. Customer Segmentation 1. Segmentation

a. Demografis

i. Usia : 5-12 tahun (anak-anak) ii. Jenis kelamin : Laki-laki dan Perempuan iii. Profesi : Pelajar

iv. Pendidikan : SD b. Geografis

i. Wilayah : Jawa Tengah ii. Iklim : Tropis c. Psikografis

i. Gaya hidup : suka bermain, gengsi tinggi, aktifitas padat, produktif, sibuk dengan diri sendiri, ingin langsung memenuhi keinginannya, santai


(64)

ii. Kepribadian : suka mencari perhatian, labil, ego tinggi, mudah terpengaruh, aktif, manja, bandel

d. Behaviour

i. Manfaat : sebagai media pembelajaran tentang sejarah manusia purba

ii. Sikap : menyukai sejarah dan berkeinginan untuk mempelajarinya

2. Targeting

Target yang dituju dalam pembuatan buku ini adalah seseorang khususnya anak-anak yang menyukai sejarah manusia purba dan ingin mempelajarinya 3. Positioning

Positioning adalah bagaimana menempatkan produk kedalam pikiran audience, sehingga calon konsumen memiliki pemikiran tertentu dan mengidentifikasikan produknya dengan produk tersebut. Sehingga Positioning untuk buku pembelajaran ini adalah diposisikan sebagai buku pembelajaran tentang manusia purba dengan menggunakan gaya pop-up.

3.3.5 Keyword

Dalam mendukung penyelesaian masalah diperlukan data-data yang ada di lapangan yang melatarbelakangi permasalahan tersebut, dari latar belakang tersebut dapat ditemukan pemecahan masalah sesuai dengan tujuan dan target yang akan dicapai.


(65)

Untuk pemilihan kata kunci atau keyword dari perancangan buku pop-up museum sangiran ini sudah dipilih dengan menggunakan dasar acuan terhadap analisis data yang sudah dilakukan. Penentuan keyword diambil berdasarkan prosedur segmentasi. Dan hasil dari prosedur segmentasi diatas dapat disimpulkan bahwa keyword dalam perancangan buku ini adalah “simple and fun”.

Gambar 3.9 Analisis Keyword dari hasil segmentasi Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2013


(66)

3.4 Konsep Perancangan

Gambar 3.10 Skema Konsep Perancangan Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2013

Gambar 3.10 menjelaskan skema konsep perancangan yang digunakan dalam perancangan buku pop-up Museum Sangiran. Fungsinya adalah sebagai urutan skema pemikiran dan urutan proses penelitian agar runtut dan terencana.

3.5 Perencanaan Kreatif 3.5.1 Tujuan Kreatif

Untuk membuat perancangan sebuah buku yang dapat menarik masyarakat dibutuhkan perhatian khusus tentang layout, warna, tipografi serta konsep yang sudah matang. Apalagi jika target konsumennya seorang anak-anak, salah dalam pemilihan salah satu visual saja akan jadi masalah yang sangat besar.


(67)

Tujuan kreatif dari pembuatan buku ini adalah untuk membuat sebuah media pembelajaran tentang manusia purba melalui koleksi-koleksi yang ada di Museum Sangiran kepada masyarakat khususnya anak-anak yang sesuai dengan hasil analisis data dan keyword sehingga diharapkan akan didapatkan visualisasi yang sesuai dengan konsep perancangan. Dengan konsep “simple & fun” diharapkan buku ini mampu menjadi alternatif media pembelajaran yang menarik.

Konsep tersebut akan memunculkan tujuan kreatif visual dari perancangan buku ini yang disajikan dengan tampilan visual bergaya modern dengan menghadirkan teknik pop-up untuk menimbulkan kesan menyenangkan. Tujuan kreatif disetiap visual memiliki penyampaian pesan dengan pendekatan persuasif kepada masyarakat, agar masyarakat tertarik untuk mempelajari peninggalan sejarah khususnya manusia purba.

3.5.2 Strategi Kreatif

Strategi Kreatif merupakan langkah yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan kreatif yang diinginkan. Untuk mencapai tujuan kreatif tersebut, maka langkah-langkah yang harus dilakukan yaitu menentukan apa yang hendak disampaikan kepada publik, dan menentukan bagaimana pesan tersebut akan disampaikan kepada publik. Strategi kreatif yang digunakan untuk pembuatan buku ini adalah:


(68)

1. Ide/ Konsep

Konsep yang akan diangkat dalam buku ini adalah “simple & fun”. Deskripsi dari “Simple” adalah sebuah bentuk kesederhanaan dalam arti tidak berlebihan dan tidak kurang. Dalam perancangan ini menampilkan kesederhanaan kehidupan manusia purba yaitu dengan membuat desain yang sederhana dan tidak terlalu ramai. Sedangkan Fun : menyenangkan yaitu dengan menampilkan bahwa mempelajari sejarah termasuk sesuatu hal yang menyenangkan, yaitu dengan membuat adanya komunikasi dalam penyampaian informasi dari isi buku ini. 2. Warna

Untuk penggunaan warna pada buku ini digunakan warna yang sesuai dengan keyword “Simple & Fun”. Untuk itu digunakan warna melalui psikologis warna berdasarkan buku dari Kusrianto yang menjabarkan pengertian bahwa warna memiliki kekuatan yang mampu mempengaruhi citra orang yang melihatnya. Masing-masing warna mampu memberikan respons secara psikologis (Kusrianto:2007). Sehingga berdasarkan keyword tersebut dihasilkan warna sebagai berikut:

Putih : kesederhanaan, kemurnian/ suci, bersih, kecermatan, inocent (tanpa dosa), steril, kematian

Biru : kesenangan, kepercayaan, konservatif, keamanan, teknologi, kebersihan, perintah.

Magenta : keceriaan, kekuatan, bertenaga, kehangatan, nafsu, cinta, agresifitas, bahaya.


(69)

Gambar 3.11 Warna Terpilih Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2013

3. Tipografi

Berdasarkan pertimbangan kesesuaian jenis tipografi, keyword serta konsep, maka tipografi yang digunakan berkarakter tegas namun tidak terlihat kaku. Sehingga dalam pengaplikasiannya digunakan font serif serta script. Font serif digunakan pada Headline serta Tagline masing-masing halaman. Font yang terpilih adalah font “Minya Nouvelle”. Sedangkan untuk font script digunakan untuk body pada buku. Dan font script yang terpilih adalah “Rabiolead” yang terlihat seperti coretan tangan yang memberi kesan sederhana sesuai dengan keyword dalam perancangan ini.

Gambar 3.12 Font “Minya Nouvelle” Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2013


(70)

Gambar 3.13 Font “Rabiohead” Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2013

4. Teknik Pop-Up

Perancangan buku ini menggunakan teknik pop-up sebagai salah satu keunikan serta ciri khas dari buku ini. Teknik pop-up yang digunakan pada buku ini adalah lift the flap. Awalnya Lift the flap merupakan teknologi yang diciptakan dari material kertas yang mampu menjadi sarana para medis untuk menjelaskan bagaimana susunan anatomi tubuh manusia, sebelum adanya teknologi yang lebih canggih seperti saat ini.

Lift the flap menjadi semakin berkembang dengan kekuatan ciri khas teknis yang dari dulu hingga kini masih dipertahankan. Mekanis yang sederhana dan ramah kiranya menjadikan lift the flap lebih dekat dengan target pasar anak-anak. Manfaatnya besar, secara tidak langsung kegiatan melihat, membuka dan menutup gambar pada lift the flap dapat melatih perkembangan motorik pada anak-anak.


(71)

5. Icon

Dalam visualisasinya, buku ini akan menggunakan icon sebagai daya tarik utama. penggunaan icon terinspirasi dari tokoh dalam kartun The Flintstones, kartun manusia purba yang paling populer. Icon digunakan pada percakapan dalam isi buku. Dimana informasi yang disampaikan dalam buku ini akan dituangkan dalam percakapan tersebut. Icon menggambarkan seorang anak-anak. Icon sengaja dibuat cowok dan cewek dengan tujuan bahwa buku ini ditujukan untuk semua anak-anak tanpa memandang cowok apa ceweknya.

Gambar 3.14 Sketsa alternatif icon cowok Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2013

Untuk Icon cowok, dibuat menggunakan karakter seorang anak cowok. Selain itu berdasarkan konsep yang diangkat, icon yang digunakan juga harus dibuat simple.

Gambar 3.15 Sketsa alternatif icon cewek Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2013


(72)

Sedangkan untuk icon ceweknya juga menggunakan karakter seorang anak perempuan dengan mempertahankan konsep simple. Icon dibuat menarik sehingga membuat konsumen menyukainya.

6. Buku

Buku ini menggunakan ukuran medium book dengan ukuran 20cm x 20cm. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan ukuran tersebut akan memudahkan penyusunan informasi yang disajikan dalam buku. Pertimbangan lainnya adalah dengan menggunakan ukuran tersebut buku akan mudah. Selain itu juga berdasarkan pertimbangan meminimalisir pembuangan bahan yang digunakan yaitu kertas Art-Paper dengan ukuran 65x100 cm sehingga akan menghasilkan 15 halaman. Buku ini berisikan tentang koleksi yang ada di Museum Sangiran meliputi sejarah manusia serta tahapan evolusi gajah.

Gambar 3.15 Sketsa alternatif Cover depan Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2013

Untuk cover depan akan berisi informasi tentang judul buku serta dua karakter yang dijadikan icon pada buku tersebut. Selain itu dituliskan nama pengarang buku untuk memberikan informasi siapa pengarang buku tersebut.


(1)

Halaman 28 berisi tahapan evolusi gajah di seluruh dunia. Pada tahapan tersebut disebutkan nama dari gajah-gajah serta gambarannya. Gambaran dari gajah-gajah tersebut dapat dilihat apabila tulisan tersebut dibuka. Sedangkan pada halaman 29 berisi gambaran gajah yang masih ada sampai sekarang yaitu gajah asia dan gajah afrika.

Gambar 4.28 Halaman 29 dan 30 Isi Buku Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2013

Pada halaman ini akan mewakili halaman terakhir dari buku, yaitu ajakan untuk mengunjungi Museum Purbakala Sangiran yang berada di Sragen, Jawa Tengah.

3. Merchandise

Merchandise merupakan media yang diperlukan untuk dapat menarik perhatian audience terhadap keberadaan buku ini. Jenis merchandise yang akan digunakan berupa stiker dan pembatas buku. Dapat menunjang buku ini sehingga buku ini dapat menarik audiens.


(2)

85

Gambar 4.29 Merchandise (a) pembatas buku (b) stiker Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2013


(3)

86 5.1 Kesimpulan

Pembuatan buku ini bertujuan untuk membuat media pembelajaran tentang peninggalan sejarah dengan menggunakan teknik pop-up. Maka dari penjelasan tentang pembuatan buku tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pembuatan buku pembelajaran tentang peninggalan sejarah, memerlukan perhatian lebih dari masyarakat, karena ilmu ini merupakan ilmu yang sudah mulai hilang atau sudah tidak diketahui oleh masayarakat luas.

2. Penerapan teknik pop-up dalam buku pembelajaran ini ditampilkan sebagai isi utama dari buku dengan ditambahkan beberapa teks pendukung yang menjelaskan dari pop-up tersebut.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian pembuatan buku pop-up, beberapa saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

1. Buku pop-up ini bisa menjadi alternatif media pembelajaran tentang peninggalan sejarah terutama tentang manusia purba yang ditujukan untuk anak-anak.


(4)

87

2. Dalam konsep perancangan sebuah buku hendaknya mengacu pada citra dari Museum Sangiran sendiri sehingga akan mudah diingat.


(5)

88

Darma, S. P. 1989. Warna sebagai Salah Satu Unsur Desain dan Seni. Jakarta: DEPDIKBUD.

Hamalik, O. 2010. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Harjanto, R. 2009. Prinsip-Prinsip Periklanan. Jakarta: Gramedia.

Herdiansyah, H. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Hiner, M. 2006. Paper Enginering for Pop-Up Book and Cards. London.

Jain, S. C. 2000. Marketing Planning & Strategy 6th Edition. New Jersey: Prentice Hall.

Kasali, R. 2000. Membidik Pasar Indonesia, Segmentasi Targeting Positioning. Jakarta: Gramedia.

Kusrianto, A. 2007. Pengantar Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: Andi. Listiyani, D. A. 2009. Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Montanaro, A. 1993. Pop-Up and Movable Books: A bibliography. New Jersey: Scarecrow Press .

Moriarty, S., & dkk. 2009. Advertising. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Muktiono, J. D. 2003. Aku Cinta Buku: Menumbuhkan Minat Baca pada Anak.

Jakarta: PT. Elex Mrdia Komputindo.

Munadi, Y. 2008. Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Press.

Museum, D. 2009. Ayo Kita Mengenal Museum. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Nancy, L. B., & Rhonda, H. T. 2012. Pop-Up Books : A guide for Teachers and Librarians. California: Santa Barbara.

Nugroho, E. 2008. Pengenalan Teori Warna. Yogyakarta: Andi.

Poerwadarminta, W. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.


(6)

89

Pressman, R. 2009. Rekayasa Perangkat Lunak. Yogyakarta: Andi. Sanaky, H. 2011. Media Pembelajaran. Yogyakarta: Kaukaba.

Santyasa, I. W. 2007. Landasan Konseptual Media Pembelajaran. Singajara: Banjar Angkan : Universitas Pendidikan Ganesha.

Sarwono, J., & Lubis, H. 2007. Metode Riset untuk Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: Andi.

Sudjana, N., & Rivai, A. 2010. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Supriyono, R. 2010. Desain Komunikasi Visual Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Andi.

Wardaya. 2009. Cakrawala Sejarah I. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Widada. 2010. Mudah Membuat Media Pembelajaran Multimedia Interaktif untuk

Guru dan Profesional. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Sumber Website

Dewantari, A. A. 2014, Januari 16. Sekilas tentang Pop-up, Lift the Flap dan Movable Book. Retrieved Januari 25, 2014, from http://dgi-indonesia.com/sekilas-tentang-pop-up-lift-the-flap-dan-movable-book/ Rishky. 2013, Juli 18. Peninggalan Sejarah. Retrieved November 10, 2013, from