Formulasi Pupuk Bioorganik Campuran Trichoderma harzianum dengan Kascing

(1)

1

PENDAHULUAN

Pertumbuhan tanaman yang baik dapat dicapai dengan memperhatikan syarat-syarat tumbuh dan cara pemeliharaannya. Salah satu cara pemeliharaan tanaman adalah pemupukan. Pemakaian pupuk yang selama ini sering digunakan para petani adalah pupuk kimia atau organik. Pupuk kimia memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi kelestarian lingkungan dan dapat mempercepat pengurasan sumberdaya alam. Dilihat dari segi harga, pupuk kimia juga lebih mahal dibandingkan pupuk organik. Oleh karena itu, pemakaian pupuk kimia perlu dibatasi atau dihilangkan, sedangkan pemakaian pupuk organik perlu dibudayakan. Salah satu pupuk organik yang telah diteliti secara ilmiah dan mulai popular di kalangan petani di beberapa negara adalah kascing (Mulat 2003).

Kascing merupakan sumber bahan organik yang ramah lingkungan, mengandung unsur esensial yang berasal dari kotoran cacing 95% dan 5% material hasil dekomposisi mikroorganisme yang berguna untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Mulat 2003). Unsur hara mikro dan makro yang dibutuhkan tanaman antara lain unsur N, P, K, Ca, Mg, S, Fe, Mn, Al, Na, Cu, Zn, Bo dan Mo terdapat di dalam kascing (Palungkun 1999). Selain itu, kascing juga mengandung humus dan dapat dipergunakan sebagai pupuk alami ramah lingkungan yang berasal dari biodegradasi limbah organik dan bebas dari bahan kimia. Pupuk organik yang berasal dari kascing dapat memperbaiki pertumbuhan dan produksi tanaman seperti padi, jagung manis, melon, mentimun, melon, tomat, dan cabai (Mulat 2003). Kascing juga dapat dimanfaatkan untuk mengurangi penyakit layu Fusarium oxyporus pada tomat (Istifadah et al. 2000).

Selain pupuk, pestisida juga digunakan saat pemeliharaan tanaman. Organisme yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat diatasi dengan menggunakan pestisida. Sebagian besar pestisida terbuat dari bahan-bahan kimia, sehingga pemakaian dan kontak dengan zat dapat membahayakan manusia maupun makhluk hidup lainnya (Sa’id 1994). Oleh karena itu, perlu diupayakan pengurangan penggunaan pestisida kimia dan mengalihkannya dengan penggunaan suatu agen pengendali hayati yang lebih aman bagi lingkungan.

Salah satu agen pengendali hayati yang telah diteliti adalah biofungisida Trichoderma

harzianum. Sebagai biofungisida yang berbahan aktif mikroorganisme dan berasal dari alam, biofungisida mempunyai sifat yang ramah terhadap lingkungan karena tidak menimbulkan pencemaran atau berdampak negatif terhadap lingkungan melainkan dapat mengembalikan keseimbangan alamiah dan kesuburan tanah (Soesanto 2004). Agrios (1997) menyatakan bahwa pemanfaatan Trichoderma spp. sebagai agen pengendali hayati telah terbukti menghambat beberapa jamur tular tanah, antara lain patogen layu Fusarium oxysporum pada tomat dapat dihambat pertumbuhannya oleh penerapan T. harzianum (Djaja et al. 2003). Trichoderma spp. juga dilaporkan memiliki sifat pemacu pertumbuhan (Chang & Baker 1986). Melihat keuntungan yang dapat diperoleh dari kascing dan T. harzianum maka dilakukan penelitian mengenai formulasi pupuk dari campuran kascing dan T. harzianum sehingga menghasilkan pupuk bioorganik atau pupuk hayati yang dapat memperbaiki pertumbuhan dan produksi tanaman. Hipotesis pada penelitian adalah formula yang tersusun atas kascing dan T. harzianum dapat digunakan sebagai pupuk bioorganik.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formulasi pupuk bioorganik dan membandingkan pengaruh pemberian pupuk bioorganik 100%, pupuk NPK 100% dan campurannya terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman yang meliputi tinggi, bobot basah tanaman, dan panjang akar tanaman. Hasil penelitian bermanfaat untuk mendapatkan formula pupuk yang baik bagi pertumbuhan tanaman serta aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia.

TINJAUAN PUSTAKA

Cacing Tanah

Menurut Edwards dan Lofty (1972) Lumbricus rubellus diklasifikasikan ke dalam Kingdom Animalia, Filum Annelida, Kelas Oligochaeta, Ordo Opisthopora, Famili Lumbricidae, Genus Lumbricus dan Spesies Lumbricus rubellus.

Lebih dari 1800 spesies cacing tanah yang telah dipelajari. Jenis-jenis cacing tanah yang telah banyak dipelajari berasal dari Famili Megascolidae dan Lumbricidae dengan Genus Lumbricus, Eiscenia, Pheretima, Perionyx, Diplocardi, dan Lidrillus (Rukmana 1999). Kebanyakan cacing tanah memiliki kesamaan tingkah laku, antara lain hidup pada berbagai lapisan tanah, dekomposer tanaman dan organisme lain, penggali tanah, serta


(2)

1

PENDAHULUAN

Pertumbuhan tanaman yang baik dapat dicapai dengan memperhatikan syarat-syarat tumbuh dan cara pemeliharaannya. Salah satu cara pemeliharaan tanaman adalah pemupukan. Pemakaian pupuk yang selama ini sering digunakan para petani adalah pupuk kimia atau organik. Pupuk kimia memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi kelestarian lingkungan dan dapat mempercepat pengurasan sumberdaya alam. Dilihat dari segi harga, pupuk kimia juga lebih mahal dibandingkan pupuk organik. Oleh karena itu, pemakaian pupuk kimia perlu dibatasi atau dihilangkan, sedangkan pemakaian pupuk organik perlu dibudayakan. Salah satu pupuk organik yang telah diteliti secara ilmiah dan mulai popular di kalangan petani di beberapa negara adalah kascing (Mulat 2003).

Kascing merupakan sumber bahan organik yang ramah lingkungan, mengandung unsur esensial yang berasal dari kotoran cacing 95% dan 5% material hasil dekomposisi mikroorganisme yang berguna untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Mulat 2003). Unsur hara mikro dan makro yang dibutuhkan tanaman antara lain unsur N, P, K, Ca, Mg, S, Fe, Mn, Al, Na, Cu, Zn, Bo dan Mo terdapat di dalam kascing (Palungkun 1999). Selain itu, kascing juga mengandung humus dan dapat dipergunakan sebagai pupuk alami ramah lingkungan yang berasal dari biodegradasi limbah organik dan bebas dari bahan kimia. Pupuk organik yang berasal dari kascing dapat memperbaiki pertumbuhan dan produksi tanaman seperti padi, jagung manis, melon, mentimun, melon, tomat, dan cabai (Mulat 2003). Kascing juga dapat dimanfaatkan untuk mengurangi penyakit layu Fusarium oxyporus pada tomat (Istifadah et al. 2000).

Selain pupuk, pestisida juga digunakan saat pemeliharaan tanaman. Organisme yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat diatasi dengan menggunakan pestisida. Sebagian besar pestisida terbuat dari bahan-bahan kimia, sehingga pemakaian dan kontak dengan zat dapat membahayakan manusia maupun makhluk hidup lainnya (Sa’id 1994). Oleh karena itu, perlu diupayakan pengurangan penggunaan pestisida kimia dan mengalihkannya dengan penggunaan suatu agen pengendali hayati yang lebih aman bagi lingkungan.

Salah satu agen pengendali hayati yang telah diteliti adalah biofungisida Trichoderma

harzianum. Sebagai biofungisida yang berbahan aktif mikroorganisme dan berasal dari alam, biofungisida mempunyai sifat yang ramah terhadap lingkungan karena tidak menimbulkan pencemaran atau berdampak negatif terhadap lingkungan melainkan dapat mengembalikan keseimbangan alamiah dan kesuburan tanah (Soesanto 2004). Agrios (1997) menyatakan bahwa pemanfaatan Trichoderma spp. sebagai agen pengendali hayati telah terbukti menghambat beberapa jamur tular tanah, antara lain patogen layu Fusarium oxysporum pada tomat dapat dihambat pertumbuhannya oleh penerapan T. harzianum (Djaja et al. 2003). Trichoderma spp. juga dilaporkan memiliki sifat pemacu pertumbuhan (Chang & Baker 1986). Melihat keuntungan yang dapat diperoleh dari kascing dan T. harzianum maka dilakukan penelitian mengenai formulasi pupuk dari campuran kascing dan T. harzianum sehingga menghasilkan pupuk bioorganik atau pupuk hayati yang dapat memperbaiki pertumbuhan dan produksi tanaman. Hipotesis pada penelitian adalah formula yang tersusun atas kascing dan T. harzianum dapat digunakan sebagai pupuk bioorganik.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formulasi pupuk bioorganik dan membandingkan pengaruh pemberian pupuk bioorganik 100%, pupuk NPK 100% dan campurannya terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman yang meliputi tinggi, bobot basah tanaman, dan panjang akar tanaman. Hasil penelitian bermanfaat untuk mendapatkan formula pupuk yang baik bagi pertumbuhan tanaman serta aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia.

TINJAUAN PUSTAKA

Cacing Tanah

Menurut Edwards dan Lofty (1972) Lumbricus rubellus diklasifikasikan ke dalam Kingdom Animalia, Filum Annelida, Kelas Oligochaeta, Ordo Opisthopora, Famili Lumbricidae, Genus Lumbricus dan Spesies Lumbricus rubellus.

Lebih dari 1800 spesies cacing tanah yang telah dipelajari. Jenis-jenis cacing tanah yang telah banyak dipelajari berasal dari Famili Megascolidae dan Lumbricidae dengan Genus Lumbricus, Eiscenia, Pheretima, Perionyx, Diplocardi, dan Lidrillus (Rukmana 1999). Kebanyakan cacing tanah memiliki kesamaan tingkah laku, antara lain hidup pada berbagai lapisan tanah, dekomposer tanaman dan organisme lain, penggali tanah, serta


(3)

2

menggunakan tanah sebagai salah satu nutrisinya (Florkin 1969).

Menurut Simanjutak dan Waluyo (1982) cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang sehingga termasuk golongan invertebrata. Tubuhnya terdiri atas segmen-segmen teratur seperti cincin sehingga cacing tanah dimasukkan ke dalam Filum Anelida. Menurut Edwards dan Lofty (1977) segmentasi terjadi di luar maupun di dalam tubuh meliputi otot, syaraf, alat sirkulasi, alat sekresi maupun alat reproduksi.

Bagian pertama dari segmen adalah anterior atau kepala, terdiri atas mulut dan prostomium, suatu cuping yang menutupi mulut dan sebagai alat untuk membuka tanah (Edwards & Lofty 1977). Struktur seperti rambut-rambut kecil (disebut setae) yang dapat menarik atau mengulur terdapat di setiap segmen, dan difungsikan sebagai alat gerak. Terdapat juga kelenjar kulit yang akan mengeluarkan lendir yang dapat membantu pergerakan cacing ke dalam tanah, menstabilkan lubang yang telah digali dan untuk mempertahankan diri (Edwards & Lofty 1977). Oleh karena tubuhnya licin, cacing tanah sangat sukar ditangkap musuh-musuhnya. Cacing tanah hanya mengandalkan kulitnya karena tidak memiliki alat pernapasan (Sihombing 2002). Oksigen yang digunakan untuk proses metabolisme tubuh diambil dari udara dengan bantuan pembuluh darah yang terdapat di bagian bawah kutikula. Cacing tanah bereaksi negatif terhadap sinar matahari atau sinar lainnya. Sinar tersebut dapat mematikan cacing tanah hanya dalam waktu satu menit (Palungkun 1999). Oleh karena itu, sinar lampu dapat digunakan sebagai alat saat melakukan pemanenan cacing tanah.

Cacing tanah bersifat hermafrodit atau biseksual (Rukmana 1999). Namun, untuk pembuahan cacing tanah tidak dapat melakukannya sendiri tetapi harus dilakukan oleh sepasang cacing tanah. Menurut Lee (1985) siklus hidup cacing tanah dibagi menjadi empat tahap yaitu (1) produksi kokon, (2) waktu inkubasi, (3) penetasan dan (4) pertumbuhan. Lama siklus hidup ini tergantung pada kesesuaian kondisi lingkungan, cadangan makanan, dan jenis cacing tanah (Sihombing 2002). Lama siklus hidup cacing tanah Lumbricus rubellus hingga mati mencapai 1-5 tahun (Palungkun 1999).

Beberapa kegunaan cacing tanah antara lain sebagai pengurai limbah dan sampah kota, pengatur aerasi dan penghasil pupuk

organik dalam bentuk kascing (Mulat 2003). Cacing tanah di alam berperan sebagai hewan pengurai bahan organik dan melepaskannya sebagai nutrisi dalam bentuk kascing. Kemampuan penguraian cacing tanah 3-5 kali lebih cepat dibandingkan dengan mikrob (Palungkun 1999). Bahan organik berupa rumen termasuk salah satu makanan cacing tanah, bahkan pembuatan kompos dari rumen menggunakan cacing tanah.

Cacing tanah akan memakan tanah (termasuk sisa dekomposisi bahan organik di dalam tanah) atau sisa-sisa tanaman pada permukaan tanah (Sihombing 2002). Cacing tanah mempunyai otot yang kuat untuk mencampurkan meterial-material tersebut dan melewatkannya ke saluran pencernaan sebagai cairan untuk dicampur dengan enzim. Enzim tersebut akan melepaskan asam-asam amino, gula dan molekul organik kecil lainnya dari residu bahan organik yang terdapat di dalam tanah maupun media pemeliharaannya (Rukmana 1999). Hasil penguraian bahan organik tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kascing (feses cacing tanah).

Media Pemeliharaan Cacing Tanah Media pemeliharaan yang baik harus disesuaikan dengan kehidupan cacing tanah. Kondisi lingkungan di sekitar cacing tanah mempunyai pH sekitar 6,0-7,2 dengan kelembaban sekitar 60-90% (Palungkun 1999). Kondisi ini dibutuhkan cacing tanah untuk kegiatan bernapas karena media yang lembab biasanya mengandung oksigen cukup tinggi (Rukmana 1999). Selain itu, juga mendukung proses eksresi cacing tanah. Kondisi tanah yang kering akan membuat cacing tanah mati. Kesesuaian media tanah dengan kehidupan cacing tanah dikarenakan sifat cacing tanah yang memakan tanah.

Penggunaan bahan organik sebagai nutrisi bagi tanaman maupun cacing tanah dapat memperbaiki atau menambah kandungan hara pada tanah. Menurut Basroch (1982), adanya bahan organik mampu meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah dengan pemantapan agregat tanah, aerasi, dan daya menahan air. Bahan organik dalam bentuk pupuk kandang maupun sampah organik disamping sebagai nutrisi bagi tanaman juga digunakan oleh cacing tanah sebagai makanannya.

Penyebaran cacing tanah dalam tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi bahan organik. Bahan organik sebagai media harus sudah mengalami pelapukan atau fermentasi


(4)

3

terlebih dahulu (Simanjuntak & Waluyo 1982). Semua kotoran ternak terutama yang sudah dingin dapat dimanfaatkan sebagai media. Kotoran ini sangat baik digunakan karena dapat langsung berfungsi sebagai makanan cacing tanah dan memiliki kandungan protein yang dapat langsung dicerna sekitar 15% (Palungkun 1999). Selain kotoran ternak, bahan lain yang dapat digunakan sebagai media antara lain serbuk gergaji, jerami, sekam, ampas tebu, tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dan bubur kertas.

Kascing

Kascing ialah bahan organik yang ramah lingkungan, mengandung unsur esensial yang berasal dari kotoran cacing 95% dan 5% material hasil dekomposisi mikroorganisme yang berguna untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Mulat 2003). Menurut Rodale et al. yang dikutip Mashur (2001), kascing adalah kotoran cacing tanah yang berasal dari campuran bahan organik, bahan mineral, enzim serta mikrob yang dimakannya. Nama lain dari kascing adalah casting, kasting, vermicast atau vermicompost yang merupakan hasil akhir dari vermicomposting dengan bantuan cacing tanah. Bentuk kascing menyerupai partikel-partikel tanah berwarna kehitaman yang ukurannya lebih kecil dari partikel tanah biasa sehingga cocok untuk tanaman (Palungkun 1999). Struktur yang remah ini dapat memperbaiki kelemahan tanah liat. Tanah yang sangat liat cenderung menjadi jenuh air secara cepat, sehingga mencegah air dan udara masuk ke dalam tanah. Hasil penelitian Susilorini (2003) menyebutkan bahwa temperatur akhir dicapai antara 27,2 oC-28,7 o

C dan pH sedikit asam yaitu 7,94-8,15. Kascing juga dapat digunakan sebagai pupuk organik tanaman sayur-sayuran, buah-buahan dan palawija.

Menurut Mulat (2003) kandungan kascing yang dihasilkan oleh L. rubellus meliputi karbon (C) 20,20%, nitrogen (N) 1,58%, fosfor (P) 70,30 mg/100 g, kalium (K) 21,80 mg/100g, kalsium (Ca) 34,99 mg/100 g, magnesium (Mg) 21,43 mg/100 g, natrium (Na) 15,40 mg/kg, tembaga (Cu) 1,7 mg/kg, seng (Zn) 33,55 mg/kg, manganium (Mn) 661,50 mg/kg, besi (Fe) 13,50 mg/kg, dan boron (Bo) 34,37 mg/kg. Unsur-unsur kimia ini dapat diserap tanaman dan sangat berguna bagi pertumbuhan dan produksinya. Kandungan unsur hara kascing tergantung

pada media dan jenis pakannya (Musnamar 2003).

Selain itu, kascing juga mengandung banyak mikrob, dan hormon perangsang pertumbuhan tanaman, seperti giberelin 2,75%, sitokinin 1,05%, dan auksin 3,80% (Mulat 2003). Auksin berfungsi terhadap pembelahan dan perbesaran sel, menginduksi pertumbuhan akar pada stek, pembentukan dan pertumbuhan buah serta memperlambat perbesaran buah. Respon terhadap giberelin meliputi peningkatan pembelahan, perbesaran sel, perpenjangan batang, dan mendorong perkecambahan beberapa jenis benih. Hormon tumbuh lainnya yaitu sitokinin berfungsi untuk mendorong pembentukan tunas, mendorong perumbuhan tunas lateral, perbesaran daun dan pembentukan kloroplas (Pantastico 1989). Jumlah mikrob yang banyak dan aktivitasnya yang tinggi dapat mempercepat mineralisasi atau pelepasan unsur-unsur hara dari kotoran cacing menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman (Daniel & Anderson 1992). Selain hormon, kascing juga mengandung enzim protease, amilase, fosfatase, lipase, selulase, dan kitinase yang membantu menguraikan bahan organik (Palungkun 1999).

Kascing mengandung zat humat sebesar 13,88% (Mulat 2003). Zat humat bersama-sama dengan tanah liat berperan terhadap sejumlah reaksi kimia dalam tanah, terlibat dalam reaksi kompleks baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Secara langsung, zat-zat humat dapat merangsang pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya terhadap sejumlah proses-proses dalam tubuh tanaman. Secara tidak langsung, zat humat dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan mengubah kondisi-kondisi fisik, kimia, dan biologi tanah.

Trichoderma harzianum

Trichoderma harzianum merupakan jamur yang tergolong ke dalam Divisi Ascomycota dan terdapat hampir pada semua tanah ataupun habitat lain, khususnya pada bagian akar tanaman (McGovern et al. 1992). Jamur ini tumbuh membentuk miselium yang berupa benang-benang halus yang disebut hifa. Reproduksi dilakukan secara aseksual melalui pembentukan spora di ujung fialid atau cabang hifa yang memiliki bentuk dan fungsi khusus. Miselium T. harzianum dapat tumbuh cepat di atas bantalan miselium dan dapat dihasilkan berjuta-juta spora sehingga


(5)

4

jamur ini memiliki daya kompetitif yang tinggi (Chang & Baker 1986). Morfologi T. harzianum yang menonjol, antara lain koloninya berwarna hijau muda sampai hijau tua yang memproduksi konidia aseksual berbentuk globus dengan konidia tersusun seperti buah anggur dan pertumbuhannya cepat (Kleifeld & Chet 1992).

T. harzianum termasuk salah satu jamur mikoparasitik, yaitu bersifat parasit terhadap jamur lain dan dapat dimanfaatkan sebagai agen biokontrol terhadap jenis-jenis jamur fitopatogen (Suryanti et al. 2003). Jamur ini menghasilkan zat antibiotik, bersifat hiperparasit, dan mempunyai sifat kompetisi yang tinggi terhadap jamur patogen. Jenis antibiotik yang dihasilkan adalah alametisin, dermadin, gramicidin, sozukasilin dan tirosidin. T. harzianum dapat dimanfaatkan sebagai biofungisida atau agen pengendali hayati karena sifatnya yang antagonistik yaitu memiliki kemampuan melilit dan menembus (penetrasi) hifa jamur lawan hingga lisis, serta menghasilkan enzim perusak dinding sel hifa lawan, seperti kitinase, glukanase, pektinase, selulase dan silanase (Siswanto et al. 1997). Pemanfaatan T. harzianum sebagai biofungisida dapat diaplikasikan kepada hampir semua jenis tanaman pertanian, seperti jenis sayur-sayuran, palawija, jagung, kedelai, kacang-kacangan, pohon buah, dan jenis tanaman perkebunan. Trichoderma spp. juga dilaporkan memiliki sifat pemacu pertumbuhan. Hal ini dapat dikarenakan (1) kontrol pada patogen minor yang menghasilkan pertumbuhan akar yang lebih kuat dan pemasukan nutrien yang lebih baik, (2) sekresi faktor regulator pertumbuhan tanaman seperti fitohormon (Windham et al. 1986; Chang et al. 1986; Baker 1988) dan pelepasan nutrien dan mineral bagi tanah melalui peningkatan aktivitas saprofitik Trichoderma spp. dalam tanah (Ousley et al. 1994).

Gambar 1 Trichoderma harzianum pada media PDA (foto diambil setelah inkubasi pada suhu kamar selama 5 hari).

Pupuk Bioorganik

Pupuk bioorganik merupakan campuran antara pupuk organik dan pupuk mikrob. Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa tanaman, hewan atau manusia seperti pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos baik berbentuk cair maupun padat (Setyorini 2005). Pupuk mikrob (microbial fertilizer) atau pupuk hayati secara umum adalah mikrob yang dipakai untuk perbaikan kesuburan tanah antara lain mikrob pelarut fosfat, dan mikrob perombak selulosa.

Salah satu pupuk organik adalah kascing. Keunggulan kascing dibandingkan pupuk organik lainnya adalah kascing mengandung asam humat sebesar 13,88% (Mulat 2003) sehingga pemberian kascing sebagai pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah dan dapat mempertahankan kestabilan dan aerasi tanah. Selain mengandung unsur hara tanah (N, P, K, Ca, dan Mg), kascing juga mengandung mikrob penambat N, sehingga kascing dapat meningkatkan kesuburan tanah dan tanaman (Zahid 1994). Menurut Mulat (2003) kascing dapat memacu pertumbuhan tanaman tomat, melon, dan cabe. Pemberian kascing pada dosis 0,75 kg per polybag dapat memberikan pertumbuhan dan hasil yang optimal pada bobot basah daun, bobot kering daun dan panjang akar (Siswanto et al. 2004). Penelitian Krishnawati (2003) juga menyebutkan bahwa pemberian pupuk kascing dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif meliputi tinggi, berat basah dan berat kering tanaman kentang.

Pupuk mikrob yang umum digunakan adalah Rhizobium, Azotobacter, Azospirillum, Pseudomonas, Bacillus dan Trichoderma spp. Penggunaan pupuk mikrob dapat meningkatkan pertumbuhan, serapan N dan P tanaman serta hasil kedelai (Harley & Smith 1983). Penggunaan T. harzianum sebagai pupuk mikrob selain dapat memacu pertumbuhan tanaman, juga berperan dalam menekan laju penyakit tanaman yang disebabkan oleh mikrob antagonis. Prabowo et al. (2006) melaporkan bahwa pemberian T. harzianum sebagai pupuk mampu menurunkan intensitas penyakit dan meningkatkan hasil rimpang kencur. Pemanfaatan pupuk mikrob yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik dan organik telah diketahui mampu memperbaiki, meningkatkan kesuburan tanah dan pertumbuhan tanaman (Prihatini et al.1966). Berdasarkan hasil tersebut, pada penelitian ini diteliti penggunaan kascing dan


(6)

5

T. harzianum sebagai pupuk bioorganik yang dapat menghasilkan pupuk yang lebih berkualitas karena kandungan bahan organik dalam kascing yang tidak tersedia bagi tanaman dapat digunakan oleh T. harzianum dan dilepas kembali ke tanah dalam bentuk tersedia bagi tanaman. Selain itu, T. harzianum mampu mengendalikan serangan patogen pada tanaman.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah kentang, glukosa, agar, beras, tanah, tandan kosong kelapa sawit (TKKS), pupuk kandang, air destilata, alkohol 70%, CaCl2, NaOH, buffer asetat, nitrofenilfosfat (pNPP), p-nitrofenol (pNP), pereaksi Salkowski (FeCl3.6H2O 0,5 M, H2SO4 pekat), pupuk NPK, T. harzianum, dan L. rubellus dari Laboratorium Mikrob dan Bioproses BPBPI.

Alat-alat yang digunakan adalah tabung reaksi, cawan petri, neraca kasar, neraca analitik, bak plastik berukuran 40 x 12 x 8 cm, botol jam, hemasitometer, vortex, mikroskop cahaya, autoklaf, oven, laminar air flow cabinet, pipet Mohr, inkubator, Erlenmeyer, sentrifus Eppendorf 5417R, gelas ukur, polybag, spektrofotometer UV-Vis dan pipet Eppendorf.

Metode Penelitian Penyiapan Tanah dan Cacing Tanah

Bak plastik berukuran 40 x 12 x 8 cm sebanyak 4 buah. Pupuk kandang ditimbang sebanyak 200 gram dan dicampur dengan 200 gram TKKS yang telah dicacah. Setelah itu, dimasukkan ke dalam bak plastik dan dicampur dengan tanah hingga berat akhirnya mencapai 7 kg dan diaduk hingga homogen. Kadar air campuran diatur menjadi 60-90% dengan cara menambahkan air sebanyak 300 mL pada masing-masing bak plastik, kemudian diaduk kembali hingga homogen (Palungkun 1999). Cacing tanah yang telah diperoleh dari lahan di belakang Laboratorium Mikrob dan Bioproses BPBPI dimasukkan ke dalam masing-masing bak plastik sebanyak 10 ekor. Bak plastik yang telah berisi cacing tanah dan media pemeliharaannya, disimpan pada tempat yang tidak terkena sinar matahari. Penyiraman dilakukan tiga hari sekali sambil diaduk-aduk untuk mempertahankan kelembaban dan jumlah oksigen yang tersedia.

Pembuatan Media

Potato Dextrose Agar (PDA). Media

umum PDA dibuat dengan cara sebagai berikut (Fassatiova 1986). Kentang dikupas, dibersihkan, dicacah, dan ditimbang 200 gram. Air diukur 1 L dengan menggunakan gelas ukur dan dimasukkan ke dalam wadah untuk merebus air, kemudian dicampur dengan ketang yang telah ditimbang. Campuran air dan kentang direbus hingga mendidih. Setelah mendidih, air rebusan kentang disaring dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 1 L, dicampur dengan 20 gram gula, 0,07 gram pepton dan diaduk hingga larut, kemudian dibagi ke dalam 2 Erlenmeyer 500 mL. Larutan ini merupakan media Potato Dextrose Broth (PDB). Media PDA dibuat dengan cara menambahkan sebanyak 10 gram agar ke dalam masing-masing Erlenmeyer dan dipanaskan sambil diaduk hingga homogen. Selanjutnya media PDA ini disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 oC, 1 atm selama 15 menit.

Pemeliharaan Jamur T. harzianum

Pemeliharaan Stok Kultur (Fassatiova 1986). Media PDA yang telah steril, dituang pada cawan petri yang telah steril dan dibiarkan hingga padat pada suhu kamar. Media PDA disimpan pada suhu 4-8 oC untuk masa penyimpanan selama dua minggu. Sebanyak satu ujung jarum spora jamur T. harzianum ditaruh ke dalam media PDA padat dan diinkubasi pada suhu kamar selama 1 minggu sebagai kultur stok

Pemeliharaan Stok Kerja (Fassatiova 1986). Kultur T. harzianum dari cawan petri (stok kultur) dipindahkan ke dalam botol jam yang berisi nasi setengah matang sebanyak 1 spatula secara steril dan diinkubasi pada suhu kamar selama 1 minggu sebagai stok kerja. Penghitungan Jumlah Spora

Penghitungan jumlah spora dilakukan dengan menggunakan metode mikroskopi langsung (Hadioetomo 1985). Sebanyak 0,1 gram spora T. harzianum yang dibiakkan pada media nasi setengah matang ditimbang, dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9,9 mL air steril dan disuspensikan dengan vortex (a), kemudian 100 μL suspensi ini diencerkan ke dalam 9,9 mL air steril sehingga diperoleh pengenceran 10-4 (b). Setelah itu, 100 μL larutan b dicampur dengan 9,9 ml air steril, dikocok dengan vortex dan diperoleh pengenceran 10-6 (c). Terakhir, 100


(7)

5

T. harzianum sebagai pupuk bioorganik yang dapat menghasilkan pupuk yang lebih berkualitas karena kandungan bahan organik dalam kascing yang tidak tersedia bagi tanaman dapat digunakan oleh T. harzianum dan dilepas kembali ke tanah dalam bentuk tersedia bagi tanaman. Selain itu, T. harzianum mampu mengendalikan serangan patogen pada tanaman.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah kentang, glukosa, agar, beras, tanah, tandan kosong kelapa sawit (TKKS), pupuk kandang, air destilata, alkohol 70%, CaCl2, NaOH, buffer asetat, nitrofenilfosfat (pNPP), p-nitrofenol (pNP), pereaksi Salkowski (FeCl3.6H2O 0,5 M, H2SO4 pekat), pupuk NPK, T. harzianum, dan L. rubellus dari Laboratorium Mikrob dan Bioproses BPBPI.

Alat-alat yang digunakan adalah tabung reaksi, cawan petri, neraca kasar, neraca analitik, bak plastik berukuran 40 x 12 x 8 cm, botol jam, hemasitometer, vortex, mikroskop cahaya, autoklaf, oven, laminar air flow cabinet, pipet Mohr, inkubator, Erlenmeyer, sentrifus Eppendorf 5417R, gelas ukur, polybag, spektrofotometer UV-Vis dan pipet Eppendorf.

Metode Penelitian Penyiapan Tanah dan Cacing Tanah

Bak plastik berukuran 40 x 12 x 8 cm sebanyak 4 buah. Pupuk kandang ditimbang sebanyak 200 gram dan dicampur dengan 200 gram TKKS yang telah dicacah. Setelah itu, dimasukkan ke dalam bak plastik dan dicampur dengan tanah hingga berat akhirnya mencapai 7 kg dan diaduk hingga homogen. Kadar air campuran diatur menjadi 60-90% dengan cara menambahkan air sebanyak 300 mL pada masing-masing bak plastik, kemudian diaduk kembali hingga homogen (Palungkun 1999). Cacing tanah yang telah diperoleh dari lahan di belakang Laboratorium Mikrob dan Bioproses BPBPI dimasukkan ke dalam masing-masing bak plastik sebanyak 10 ekor. Bak plastik yang telah berisi cacing tanah dan media pemeliharaannya, disimpan pada tempat yang tidak terkena sinar matahari. Penyiraman dilakukan tiga hari sekali sambil diaduk-aduk untuk mempertahankan kelembaban dan jumlah oksigen yang tersedia.

Pembuatan Media

Potato Dextrose Agar (PDA). Media

umum PDA dibuat dengan cara sebagai berikut (Fassatiova 1986). Kentang dikupas, dibersihkan, dicacah, dan ditimbang 200 gram. Air diukur 1 L dengan menggunakan gelas ukur dan dimasukkan ke dalam wadah untuk merebus air, kemudian dicampur dengan ketang yang telah ditimbang. Campuran air dan kentang direbus hingga mendidih. Setelah mendidih, air rebusan kentang disaring dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 1 L, dicampur dengan 20 gram gula, 0,07 gram pepton dan diaduk hingga larut, kemudian dibagi ke dalam 2 Erlenmeyer 500 mL. Larutan ini merupakan media Potato Dextrose Broth (PDB). Media PDA dibuat dengan cara menambahkan sebanyak 10 gram agar ke dalam masing-masing Erlenmeyer dan dipanaskan sambil diaduk hingga homogen. Selanjutnya media PDA ini disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 oC, 1 atm selama 15 menit.

Pemeliharaan Jamur T. harzianum

Pemeliharaan Stok Kultur (Fassatiova 1986). Media PDA yang telah steril, dituang pada cawan petri yang telah steril dan dibiarkan hingga padat pada suhu kamar. Media PDA disimpan pada suhu 4-8 oC untuk masa penyimpanan selama dua minggu. Sebanyak satu ujung jarum spora jamur T. harzianum ditaruh ke dalam media PDA padat dan diinkubasi pada suhu kamar selama 1 minggu sebagai kultur stok

Pemeliharaan Stok Kerja (Fassatiova 1986). Kultur T. harzianum dari cawan petri (stok kultur) dipindahkan ke dalam botol jam yang berisi nasi setengah matang sebanyak 1 spatula secara steril dan diinkubasi pada suhu kamar selama 1 minggu sebagai stok kerja. Penghitungan Jumlah Spora

Penghitungan jumlah spora dilakukan dengan menggunakan metode mikroskopi langsung (Hadioetomo 1985). Sebanyak 0,1 gram spora T. harzianum yang dibiakkan pada media nasi setengah matang ditimbang, dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9,9 mL air steril dan disuspensikan dengan vortex (a), kemudian 100 μL suspensi ini diencerkan ke dalam 9,9 mL air steril sehingga diperoleh pengenceran 10-4 (b). Setelah itu, 100 μL larutan b dicampur dengan 9,9 ml air steril, dikocok dengan vortex dan diperoleh pengenceran 10-6 (c). Terakhir, 100


(8)

6

μL larutan c dicampur dengan 9,9 mL air steril, dikocok dengan vortex dan diperoleh pengenceran 10-8.

Permukaan hitung hemasitometer dibersihkan dengan kertas lensa, setelah itu kaca tutup hemasitometer diletakkan di atas hemasitometer. Sebanyak 1 tetes suspensi T. harzianum pada pengenceran 10-8, diteteskan pada lekukan berbentuk V pada tepi kaca tutup hemasitometer. Selanjutnya hemasitometer diletakkan di atas pentas mikroskop dan diamati dengan obyektif berkekuatan rendah. Jumlah spora pada kotak bagian tengah yang berukuran 1 mm dihitung dengan teliti. Hasil perhitungan yang diperoleh digunakan untuk menentukan jumlah spora pada langkah selanjutnya. Jumlah spora T. harzianum per gram dihitung dengan cara mengalikan hasil perhitungan dengan angka 5 x 103 x faktor pengenceran. Analisis Produksi IAA (Indole Acetic Acid) oleh Trichoderma harzianum.

Analisis produksi IAA diukur dengan menggunakan metode Gordon dan Webber (1950). T. harzianum yang ditumbuhkan pada media PDA dipindahakan ke dalam botol jam yang berisi media PDB secara aseptik. Pada hari ke-3 dan ke-6 diambil 3 mL biakan dari botol kemudian dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf masing-masing 1,5 mL. Suspensi diendapkan dengan sentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 11000 g. Sebanyak 1 mL supernatan dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambah pereaksi Salkowski (FeCl3.6H2O 0,5 M dalam H2SO4 pekat) dan dikocok dengan menggunakan vortex. Larutan didiamkan selama 30 menit untuk pengembangan warna, kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 530 nm. Kadar IAA dihitung dengan menggunakan bantuan kurva deret standar regresi linier IAA.

Penentuan Aktivitas Fosfatase

Penentuan Aktivitas Fosfatase Asam (Joner & Jabkosen 1992). Sebanyak 1 g kascing dimasukkan ke dalam 12 mL buffer asetat 0,1 M pH 5,2 berisi p-nitrofenilfosfat (pNPP) 1 mg/mL sebagai substrat pada botol kocok, kemudian diinkubasi pada shaker water bath dengan suhu 35 oC sambil dikocok selama 1 jam. Setelah itu reaksi enzimatik dihentikan dengan penambahan 10 mL NaOH 0,5 M dan 2 mL CaCl2 0,5 M, dibiarkan

mengendap, lalu disaring. Perubahan warna yang terjadi diamati dan hasil yang positif ditandai dengan terbentuknya warna kuning.

Penentuan Aktivitas Fosfatase Basa. Aktivitas fosfatase basa diukur dengan menggunakan metode Joner dan Jabkosen (1995). Sebanyak 1 gram kascing dimasukkan ke dalam 12 mL NaHCO3 0,1 M pH 8,5 berisi p-nitrofenilfosfat (pNPP) 1 mg/mL sebagai substrat. Setelah itu, diinkubasi pada shake water bath bersuhu 35 oC sambil dikocok selama 1 jam. Selanjutnya reaksi enzimatik dihentikan dengan penambahan 10 mL NaOH 0,5 M dan 2 mL CaCl2 0,5 M, dibiarkan mengendap, lalu disaring. Perubahan warna yang terjadi diamati dan hasil yang positif ditandai dengan terbentuknya warna kuning. Blanko dibuat dengan perlakuan yang sama tetapi tanpa penggunaan substrat pNPP. Formulasi Pupuk Bioorganik

Campuran T. harzianum dan Gambut. Pemanfaatan gambut sebagai bahan pembawa mikrob telah dilaporkan memberikan hasil yang baik yaitu dalam hal ketahanan yang tetap tinggi dengan masa penyimpanan beberapa bulan (Saraswati et al., Suharyanto 1995). Cara kerjanya adalah sebanyak 0,5 gram spora T. harzianum ditimbang, dicampur dengan gambut sebanyak 5 kg dan dicampur hingga homogen untuk mendapatkan 109 spora/g gambut (a). Selanjutnya, 500 gram campuran gambut dan spora (a) dicampur dengan 4,5 kg gambut, diaduk hingga homogen untuk mendapatkan jumlah spora sebesar 108 spora/g gambut (b). Campuran gambut dan spora b diambil, ditimbang sebanyak 500 gram, dan ditambahkan gambut 4,5 kg sehingga diperoleh jumlah spora 108 spora/gram gambut.

Campuran Kascing dan Gambut (yang telah mengandung spora T. harzianum). Pupuk bioorganik formula A dibuat dengan mencampurkan 1.5 kg gambut yang mengandung spora T.harzianum 109, 108 dan 107 spora/gram dengan 0,5 kg kascing, sedangkan pupuk bioorganik formula B dibuat dengan mencampurkan 1,8 kg gambut yang mengandung spora T. harzianum dengan 200 gram kascing.

Uji Pertumbuhan Tanaman Tomat dan Jagung

Jagung. Sebanyak 24 buah polybag ukuran 250 gram dilabel dan diisi dengan tanah steril. Setelah itu pada masing-masing polybag ditambahkan 2 gram pupuk


(9)

7

bioorganik formula A, 2 gram formula B, 2 gram pupuk yang terdiri atas 50% NPK dan 50% pupuk bioorganik formula A serta 2 gram pupuk yang merupakan campuran 50% pupuk NPK dengan 50% pupuk bioorganik formula B. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Sebagai kontrol positif (K+) digunakan pupuk NPK dengan dosis 2 gram/polybag 250 gram (Setiawan & Widyastuti 1999), sedangkan kontrol negatif (K-) tanpa penambahan pupuk. Benih jagung dengan umur yang sama ditanam pada masing-masing polybag, dan disimpan di rumah kaca. Penyiraman dilakukan setiap hari. Tinggi batang sebelum ditanam, diukur dan dicatat terlebih dahulu. Perubahan tinggi batang diamati, diukur dan dicatat dua hari sekali selama 1 bulan.

Tomat. Sebanyak 24 buah polybag ukuran 250 gram dilabel dan diisi dengan tanah steril. Setelah itu pada masing-masing polybag ditambahkan 2 gram pupuk bioorganik formula A, 2 gram formula B, 2 gram pupuk yang terdiri atas 50% NPK dan 50% pupuk bioorganik formula A serta 2 gram pupuk yang merupakan campuran 50% pupuk NPK dengan 50% pupuk bioorganik formula B. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Sebagai kontrol positif (K+) digunakan pupuk NPK dengan dosis 2 gram/polybag 250 gram (Setiawan & Widyastuti 1999), sedangkan kontrol negatif (K-) digunakan polybag tanpa penambahan pupuk. Benih tomat dengan umur yang sama ditanam pada masing-masing polybag, dan disimpan di rumah kaca. Penyiraman dilakukan setiap hari. Tinggi batang sebelum ditanam, diukur dan dicatat terlebih dahulu. Perubahan tinggi batang diamati, diukur dan dicatat dua hari sekali selama 1 bulan.

Analisis Statistika

Analisis statistika yang digunakan adalah rancangan percobaan dua faktor dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Model rancangannya (Mattjik & Sumertajaya 2002): Yij = μ + τi + εij

Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

μ = Pengaruh rataan umum τ = Pengaruh perlakuan ke-i

ε = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan

ulangan ke-j

Rancangan ini digunakan pada tinggi, bobot basah tanaman dan panjang akar

tanaman. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA (Analysis of varience) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0,05. Uji lanjut yang digunakan adalah uji Duncan. Semua data dianalisis dengan SPSS 15.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi Indole Acetic Acid (IAA) oleh

Trichoderma harzianum

Analisis produksi hormon IAA oleh T. harzianum diukur dengan menggunakan metode Gordon dan Webber (1950). Hasil analisis menunjukkan bahwa produksi hormon IAA dihasilkan secara optimal oleh T. harzianum pada hari ke-3 inkubasi yaitu dengan kadar IAA 9.656 µM dan mengalami penurunan pada hari ke-7 inkubasi dengan kadar IAA 4.049 µM. Penurunan produksi IAA pada hari ke-7 inkubasi dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah nutrisi yang ada dalam media tumbuhnya. Produksi IAA yang dihasilkan T. harzianum lebih kecil dibandingkan bakteri Rhizosfer. Menurut Maslahat dan Suharyanto (2005) produksi IAA optimum oleh bakteri Rhizosfer pada 3 hari inkubasi adalah 413,75 µM. Namun hal ini tidak dapat menjadi perbandingan karena adanya perbedaan jenis mikroorganisme dan kondisi pertumbuhan.

Berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui bahwa hormon IAA dapat dihasilkan oleh T. harzianum walaupun dengan nilai yang sangat kecil. Ini sesuai dengan pernyataan bahwa T. harzianum dapat memacu pertumbuhan tanaman karena jamur ini mensekresikan faktor regulator pertumbuhan tanaman seperti fitohormon (Windham et al. 1986; Chang & Baker 1986). Artinya di dalam pupuk bioorganik terdapat mikroorganisme yaitu T. harzianum yang dapat menghasilkan hormon IAA yang berperan dalam pertumbuhan tanaman antara lain perbesaran sel dan pertumbuhan akar.

Uji Kualitatif Fosfatase

Uji kualitatif fosfatase asam dan basa yang dilakukan terhadap kascing memberikan hasil yang positif dengan terbentuknya warna kuning (Gambar 2). Enzim fosfatase akan bereaksi dengan p-nitrofenil fosfat dan melepaskan p-nitrofenol sehingga membentuk warna kuning (Tabatabai & Bremner 1969). Adanya hasil yang positif membuktikan bahwa di dalam kascing terdapat enzim fosfatase. Hal ini sesuai


(10)

FORMULASI PUPUK BIOORGANIK CAMPURAN

Trichoderma harzianum DENGAN KASCING

DWI RAMADHANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Program Studi Biokimia

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(11)

7

bioorganik formula A, 2 gram formula B, 2 gram pupuk yang terdiri atas 50% NPK dan 50% pupuk bioorganik formula A serta 2 gram pupuk yang merupakan campuran 50% pupuk NPK dengan 50% pupuk bioorganik formula B. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Sebagai kontrol positif (K+) digunakan pupuk NPK dengan dosis 2 gram/polybag 250 gram (Setiawan & Widyastuti 1999), sedangkan kontrol negatif (K-) tanpa penambahan pupuk. Benih jagung dengan umur yang sama ditanam pada masing-masing polybag, dan disimpan di rumah kaca. Penyiraman dilakukan setiap hari. Tinggi batang sebelum ditanam, diukur dan dicatat terlebih dahulu. Perubahan tinggi batang diamati, diukur dan dicatat dua hari sekali selama 1 bulan.

Tomat. Sebanyak 24 buah polybag ukuran 250 gram dilabel dan diisi dengan tanah steril. Setelah itu pada masing-masing polybag ditambahkan 2 gram pupuk bioorganik formula A, 2 gram formula B, 2 gram pupuk yang terdiri atas 50% NPK dan 50% pupuk bioorganik formula A serta 2 gram pupuk yang merupakan campuran 50% pupuk NPK dengan 50% pupuk bioorganik formula B. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Sebagai kontrol positif (K+) digunakan pupuk NPK dengan dosis 2 gram/polybag 250 gram (Setiawan & Widyastuti 1999), sedangkan kontrol negatif (K-) digunakan polybag tanpa penambahan pupuk. Benih tomat dengan umur yang sama ditanam pada masing-masing polybag, dan disimpan di rumah kaca. Penyiraman dilakukan setiap hari. Tinggi batang sebelum ditanam, diukur dan dicatat terlebih dahulu. Perubahan tinggi batang diamati, diukur dan dicatat dua hari sekali selama 1 bulan.

Analisis Statistika

Analisis statistika yang digunakan adalah rancangan percobaan dua faktor dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Model rancangannya (Mattjik & Sumertajaya 2002): Yij = μ + τi + εij

Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

μ = Pengaruh rataan umum τ = Pengaruh perlakuan ke-i

ε = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan

ulangan ke-j

Rancangan ini digunakan pada tinggi, bobot basah tanaman dan panjang akar

tanaman. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA (Analysis of varience) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0,05. Uji lanjut yang digunakan adalah uji Duncan. Semua data dianalisis dengan SPSS 15.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi Indole Acetic Acid (IAA) oleh

Trichoderma harzianum

Analisis produksi hormon IAA oleh T. harzianum diukur dengan menggunakan metode Gordon dan Webber (1950). Hasil analisis menunjukkan bahwa produksi hormon IAA dihasilkan secara optimal oleh T. harzianum pada hari ke-3 inkubasi yaitu dengan kadar IAA 9.656 µM dan mengalami penurunan pada hari ke-7 inkubasi dengan kadar IAA 4.049 µM. Penurunan produksi IAA pada hari ke-7 inkubasi dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah nutrisi yang ada dalam media tumbuhnya. Produksi IAA yang dihasilkan T. harzianum lebih kecil dibandingkan bakteri Rhizosfer. Menurut Maslahat dan Suharyanto (2005) produksi IAA optimum oleh bakteri Rhizosfer pada 3 hari inkubasi adalah 413,75 µM. Namun hal ini tidak dapat menjadi perbandingan karena adanya perbedaan jenis mikroorganisme dan kondisi pertumbuhan.

Berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui bahwa hormon IAA dapat dihasilkan oleh T. harzianum walaupun dengan nilai yang sangat kecil. Ini sesuai dengan pernyataan bahwa T. harzianum dapat memacu pertumbuhan tanaman karena jamur ini mensekresikan faktor regulator pertumbuhan tanaman seperti fitohormon (Windham et al. 1986; Chang & Baker 1986). Artinya di dalam pupuk bioorganik terdapat mikroorganisme yaitu T. harzianum yang dapat menghasilkan hormon IAA yang berperan dalam pertumbuhan tanaman antara lain perbesaran sel dan pertumbuhan akar.

Uji Kualitatif Fosfatase

Uji kualitatif fosfatase asam dan basa yang dilakukan terhadap kascing memberikan hasil yang positif dengan terbentuknya warna kuning (Gambar 2). Enzim fosfatase akan bereaksi dengan p-nitrofenil fosfat dan melepaskan p-nitrofenol sehingga membentuk warna kuning (Tabatabai & Bremner 1969). Adanya hasil yang positif membuktikan bahwa di dalam kascing terdapat enzim fosfatase. Hal ini sesuai


(12)

8

dengan pendapat Palungkun (1999) yang menyatakan bahwa kascing mengandung beberapa enzim seperti fosfatase. Enzim fosfatase sangat berperan dalam pertumbuhan tanaman karena menjadikan senyawa fosfat sukar larut menjadi fosfat terlarut sehingga dapat diserap oleh tanaman. Senyawa fosfat yang dapat diserap oleh tanaman dalam bentuk H2PO4

dan HPO4

2-. Senyawa ini merupakan salah satu unsur hara makro yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman karena terlibat dalam pembelahan sel, pembungaan, dan perkembangan akar (Brady 1982).

Gambar 2 Hasil uji kualitatif fosfatase (B= blanko, S= Sampel). Pertumbuhan Tanaman

Tinggi Tanaman. Tinggi, bobot basah dan panjang akar merupakan parameter-parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian pupuk yang berbeda terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman. Pupuk bioorganik formula A terdiri atas 25% kascing dan 75% gambut yang telah mengandung spora T. harzianum 109, 108 dan 107 spora/gram, sedangkan formula B merupakan campuran 10% kascing dan 90% gambut yang mengandung jumlah spora T. harzianum 109, 108 dan 107 spora/gram.

Berdasarkan data yang diperoleh, tinggi tanaman jagung yang diberi pupuk campuran (50% pupuk NPK dan 50% pupuk bioorganik) memberikan pengaruh yang lebih baik dibandingkan pupuk bioorganik 100% dan berbeda nyata secara statistika pada taraf 0,05. Gambar 3 menunjukkan bahwa rataan tinggi tanaman jagung tertinggi pada akhir pengamatan terlihat pada pemberian campuran 50% pupuk NPK dan 50% pupuk bioorganik formula B dengan konsentrasi spora T. harzianum 107 (NPK + B107)yaitu sebesar 65,67 cm dan terendah pada perlakuan pupuk bioorganik 100% yaitu 36,17%. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian pupuk bioorganik 100% belum dapat menyediakan unsur hara yang cukup bagi tanaman dan menyebabkan tanaman menjadi lebih pendek

karena pembelahan sel pada ujung batang berlangsung lambat dan pembentukan cabang batang daun menjadi lebih sedikit dibanding pada tanaman yang diberi pupuk NPK 100% maupun pupuk campuran.

Berdasarkan uji statistika, rataan tinggi tanaman jagung pada perlakuan pupuk campuran yaitu NPK + B107 memberikan pengaruh yangtidak berbeda nyata terhadap perlakuan pupuk NPK 100% (kontrol +) dan pupuk campuran lainnya. Artinya pemakaian campuran 50% pupuk NPK dan 50% pupuk bioorganik dapat menyediakan hara yang cukup bagi tanaman dan memiliki pengaruh yang sama dengan pemakain pupuk NPK 100% sehingga dapat mengurangi pemakaian pupuk kimia sebesar 50%. Hal ini sesuai dengan pendapat Saraswati et al (1998) yang menyatakan bahwa penerapan pupuk bioorganik pada kedelai dapat menghemat penggunaan pupuk urea sampai 100% dan pupuk P sampai 50% sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.

Berbeda dengan tanaman jagung, hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan tinggi tanaman tomat tertinggi yaitu 17,17 cm dihasilkan oleh pupuk NPK (Gambar 4) dan memberikan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pupuk bioorganik 100%. Walaupun pupuk bioorganik mengandung enzim fosfatase yang berasal dari kascing dan hormon IAA yang diproduksi oleh T. harzianum, namun hal ini tidak menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibandingkan pemberian pupuk NPK 100%. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya jumlah dan jenis unsur hara yang terkandung di dalam pupuk bioorganik sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan tanaman secara keseluruhan.

Selain itu, rataan tinggi tanaman tomat yang diberi pupuk NPK 100% lebih tinggi dibandingkan campurannya dengan pupuk bioorganik, namun berdasarkan uji beda nyata Duncan pengaruh perlakuan pupuk NPK 100% terhadap tinggi tanaman tomat tidak berbeda nyata terhadap tanaman yang diberi campuran 50% pupuk NPK dan 50% pupuk bioorganik formula B pada konsentrasi spora T. harzianum 107 (NPK + B107). Hal ini membuktikan bahwa dalam pemupukan tanaman, pupuk bioorganik masih memerlukan tambahan unsur hara lain yang terdapat di dalam pupuk NPK sehingga dapat mencukupi kandungan unsur hara yang diperlukan tanaman dan menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik.


(13)

9

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00

1 x 109 1 x 108 1 x 107 K(+) K(-)

konsetrasi T. harzianum

ti n gg i t a n a m a n ( cm )

109 108 107 K (+) K (-)

Gambar 3 Rataan tinggi tanaman jagung pada tiap perlakuan. Formula A (=),

formula B (=), 50% NPK + 50%

formula A (=), 50%NPK + 50%

formula B (=).

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

109 108 107 K (+) K (-)

Konsentrasi T. harzianum

ti n gg i t a n a m a n ( cm )

1 x 109 1 x 108 1 x 107 K (+)

K (-)

Gambar 4 Rataan tinggi tanaman tomat pada tiap perlakuan. Formula A (=),

formula B (=), 50% NPK + 50%

formula A (=), 50%NPK + 50%

formula B (=).

Bobot Basah Tanaman. Peningkatan tinggi tanaman disertai dengan peningkatan bobot basah tanaman. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa bobot basah tanaman jagung pada perlakuan pupuk campuran (NPK + B107)lebih besar dan berbeda nyata secara statistika terhadap pupuk bioorganik 100% (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk bioorganik secara tunggal tanpa penambahan pupuk NPK belum mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman secara maksimum. T. harzianum yang terdapat dalam pupuk bioorganik tidak dapat menghasilkan nutrien yang diperlukan oleh tanaman tetapi hanya melarutkan nutrien dalam tanah yang tidak tersedia menjadi

tersedia bagi tanaman (Ousley et al. 1994), sehingga tanaman masih memerlukan tambahan nutrien yang berasal dari pupuk buatan yaitu NPK. Secara umum campuran 50% pupuk NPK dan 50% pupuk bioorganik mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung dan memberikan pengaruh yang sama dengan pemberian pupuk NPK 100%. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kompleksitas kelebihan dari campuran pupuk NPK dan pupuk bioorganik yang terkandung di dalamnya seperti unsur hara (jumlah maupun jenis), hormon tumbuh, serta faktor lainnya yang akan mendorong tanaman untuk hidup lebih baik.

Gambar 6 menunjukkan bobot basah tanaman tomat tertinggi terlihat pada perlakuan pupuk NPK 100% (kontrol +) yaitu 4,34 gram dan terendah pada perlakuan tanpa pupuk (kontrol -) yaitu 0,68 gram. Berdasarkan uji Duncan tanaman tomat pada perlakuan pupuk NPK 100% memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pupuk, pupuk bioorganik 100% dan pupuk campuran. Artinya pupuk NPK 100% masih memberikan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pupuk lainnya. Hal ini terjadi karena pupuk NPK 100% mengandung unsur hara yang lebih tersedia bagi pertumbuhan vegetatif tanaman tomat dibandingkan dengan pupuk bioorganik maupun pupuk campuran. Walaupun campuran 50% pupuk NPK dan 50% pupuk bioorganik tidak memberikan bobot basah tanaman yang lebih besar dibandingkan pupuk NPK 100%, tetapi dapat memberikan pengaruh yang hampir sama.

0 5 10 15 20 25

109 108 107 K (+) K(-)

konsentrasi T. harzianum

b obot ba s a h t a na m a n (g ra m )

1 x 109 1 x 108 1 x 107 K (+) K (-)

Gambar 5 Bobot basah tanaman jagung pada tiap perlakuan. Formula A (=),

formula B (=), 50% NPK + 50%

formula A (=), 50%NPK + 50%


(14)

10

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5

109 108 107 K (+) K (-)

Konsentrasi T. harzianum

b o b o t b asah t an am an (g ra m )

1x 109 1 x 108 1 x 107 K (+) K (-)

Gambar 6 Bobot basah tanaman tomat pada tiap perlakuan. Formula A (=),

formula B (=), 50% NPK + 50%

formula A (=), 50%NPK + 50%

formula B (=).

Panjang Akar. Pengukuran terhadap panjang akar tanaman jagung menunjukkan bahwa panjang akar terendah pada perlakuan tanpa pupuk yaitu 24 cm (Gambar 7). Berdasarkan uji Duncan panjang akar tanaman jagung yang terukur pada perlakuan tanpa pupuk tidak berbeda nyata dengan perlakuan pupuk bioorganik 100%. Pada tanaman yang diberi pupuk NPK 100% juga memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan pupuk bioorganik 100% dan pupuk campuran. Artinya panjang akar tanaman jagung tidak dipengaruhi oleh pemberian pupuk yang berbeda.

Panjang akar tertinggi dihasilkan oleh tanaman tomat yang diberi pupuk NPK 100% yaitu 15 cm dan terendah pada tanaman yang tidak diberi pupuk yaitu 7,5 cm (Gambar 8). Tanaman tomat yang diberi pupuk NPK 100% memberikan hasil yang sangat berbeda nyata secara statistika terhadap perlakuan tanpa pupuk dan tidak berbeda nyata dengan campuran 50% pupuk NPK dan 50% pupuk bioorganik. Adanya peningkatan komponen-komponen pertumbuhan terutama unsur P akan berpengaruh pada organ-organ tanaman terutama akar. Namun berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang akar tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Tanaman yang memiliki akar yang panjang belum tentu memiliki pertumbuhan yang lebih baik. Akar berfungsi dalam penyerapan nutrien dalam tanah, sehingga panjang akar akan dipengaruhi oleh keberadaan unsur yang terkandung di dalam tanah.

Penampakan akar tanaman jagung dan tomat yang diberi pupuk NPK 100% lebih

banyak jumlahnya jika dibandingkan dengan tanaman yang diberi perlakuan pupuk bioorganik maupun pupuk campuran (50% pupuk NPK dan 50% pupuk bioorganik). Akar tanaman yang diberi pupuk NPK 100% dan pupuk campuran lebih kuat akarnya dibandingkan dengan pupuk bioorganik 100%. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury dan Ross (1995) yang menyatakan bahwa peningkatan komponen-komponen pertumbuhan terutama P akan berpengaruh pada organ-organ tanaman terutama akar karena akar akan memanfaatkan P yang diserap untuk membentuk ATP. Kemudian ATP yang dihasilkan dapat digunakan oleh akar untuk menjalankan proses transpor aktif untuk penyerapan hara mineral yang lain. Pertumbuhan akar yang lebih baik akan berpengaruh pada pertumbuhan organ-organ tanaman yang lain seperti batang dan daun.

0 5 10 15 20 25 30 35

1 x 109 1 x 108 1 x 107 K (+) K (-)

konsentrasi T. harzianum

p an jan g ak ar ( cm )

1 x 109 1 x 108 1 x 107

K (+) K (-)

Gambar 7 Panjang akar tanaman jagung pada tiap perlakuan. Formula A (=),

formula B (=), 50% NPK + 50%

formula A (=), 50%NPK + 50%

formula B (=).

0 2 4 6 8 10 12 14 16

109 108 107 K (+) K (-)

konsentrasi T. harzianum

p an jan g akar ( cm )

1 x 109 1 x 108 1 x 107 K (+) K (-)

Gambar 8 Panjang akar tanaman tomat pada tiap perlakuan. Formula A (=),

formula B (=), 50% NPK + 50%

formula A (=), 50%NPK + 50%


(15)

11

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Produksi IAA secara optimum dihasilkan oleh T. harzianum pada hari ke 3 inkubasi. Kascing mengandung enzim fosfatase yang bekerja pada pH asam dan basa. Campuran 50% pupuk NPK dan 50% pupuk bioorganik formula B yang mengandung T. harzianum dengan konsentrasi 107 (NPK + B107) menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan pupuk bioorganik 100% serta tidak berbeda nyata dengan pupuk NPK 100%. Oleh karena itu, pupuk bioorganik dapat mengurangi pemakaian pupuk NPK sebesar 50%.

Saran

Perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut terhadap tanaman hingga menghasilkan buah dan pengujian pertumbuhan tanaman terhadap campuran pupuk NPK dan bioorganik dengan berbagai konsentrasi. Dengan demikian akan terlihat perbedaan terhadap produk yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002. Biofungisida yang ramah lingkungan.http://www.google.com /biofungisida/ragam. htm [19 Maret 2007].

Agrios GN. 1997. Plant Pathology. New York: Academi Pr.

Djaja AA, Mulya RB, Giyarto, Marsiah. Uji keefektifan mikroorganisme antagonis dan bahan organik terhadap layu Fusarium oxysporum pada tanaman tomat. Prosiding Kongres Nasional XVII. Bandung. 6-8 Agustus 2003. hlm 61-70. Chang YC, Baker R. 1986. Increased growth

of plants in the presence of the biological control agent Trichoderma harzianum. J Plant Dis 70: 145-148.

Edward CA, Lofty JR. 1972. Biology of Earthworm. USA: Agriculture Research Centre.

Fassatiova O. 1986. Moulds and Filamentaous Fungi in Technical Microbiology. New York: Elsevier.

Effendi S. 1984. Bercocok Tanam Jagung. Jakarta: Yasaguna.

Florkin M. 1969. Chemical Zoology. New York: Academi Pr.

Gonggo B, Purwanto, Bilman W, Simanihuruk, Arto J. 2004. Pertumbuhan dan hasil jagung pada lahan gambut dengan penerapan teknologi tempurin. J Ilmu-ilmu Pertanian. 6;1:14-21.

Hadioetomo RS. 1985. Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium Mikrobiologi. Jakarta: Gramedia.

Isroi. 2003. Bioteknologi mikrob untuk pertanian organik. http://www. Kompas.com/kompascetak0412/17/ilpeng /1442850.htm [10 Maret 2007].

Istifadah et al. 2000. Pengaruh pemberian kascing terhadap penyakit layu Fusarium pada tomat. Laporan hasil penelitian. Bandung: Lambaga Penelitian Unpad. Kleifield O, Chet I. 1992. Trichoderma

harzianum interaction with plants and effect on growth response. J Plant and Soil 144: 267-272.

Maslahat M, Suharyanto. 2005. Produksi Indole Acetic Acid (IAA) oleh bakteri yang diisolasi dari akar tanaman karet (Hevea brasiliensis) J kimia 5: 26-35. McGovern RJ, Datnoff LE. 1992. Effect of

mixed infection and irrigation method on colonization of tomato roots by Trichoderma harzianum and Glomus intraradix. J Plant Path 105:361-363.

Mulat Tri. 2003. Membuat dan Memanfaatkan Kascing Pupuk Organik Berkualitas. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Musnamar EI. 2003. Pembuatan dan Aplikasi Pupuk Organik Berkualitas. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Ousley MA, Lynch JM, Whipps JM. 1993. Effect of Trichoderma on plant growth: a balance between inhibition and growth promotion. Microbial Ecology 2000;26:277-285.


(16)

12

Palungkun R. 1999. Sukses Beternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Jakarta: Penebar Swadaya.

Pantastico EB. 1989. Fisiologi Pasca Panen. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Pelczar MJ, Chan ESC. 1988. Dasar- dasar Mikrobiologi 2. Ratna SH dkk, penerjemah. Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Elements of Mircobiology.

Prabowo AKE, Prihatiningsih N, Soesanto L. 2006. Potensi Trichoderma harzianum dalam mengendalikan sembilan isolat Fusarium oxysporum Schlecht. F.sp. zingiberi Trujillo pada kencur. J Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 8;2:76-84.

Prihatini T, Kentjanasari A, Adiningsih JS. 1996. Peningkatan kesuburan tanah melalui pemanfaatan biofertilizer dan bahan organik. Di dalam: Seminar Nasional Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi. Malang: Universitas Brawijaya.

Prihmantoro H. 1995. Memupuk Tanaman Buah. Jakarta: Penebar Swadaya.

Rao S. 1986. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi ke-2. H. Susilo, penerjemah; Jakarta:UI Pr. Terjemahan dari: Soil Microorganism and Plant Growth.

Rukmana R. 1999. Budidaya Cacing Tanah. Yogyakarta: Kanisius.

Sa’id EG. 1994. Dampak negatif pestisida, sebuah catatan bagi kita semua. J. Agrotek: 2;1:71-72

Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Lukman DR. Sumaryono, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Plant Physiology.

Saraswati R. 1999. Teknologi pupuk mikrob multiguna menunjang keberlanjutan sistem produksi kedelai. J. Mikrobiologi Indonesia. 4;1:1-9.

Setiawan AI, Widyastuti. 1999. Pembudidayaan Tomat Secara Komersial. Bogor: Penebar Swadaya.

Sihombing DTH. 1999. Satwa Harapan I: Pengantar Ilmu dan Teknologi Budidaya. Bogor: Pustaka Wira Usaha Muda.

Soesanto L, Pratiningsih, Soedarmono, Pramono J. 2005. Potensi agensia hayati dan nabati dalam mengendalikan penyakit busuk rimpang jahe. J HPT Tropika 5;1:50-57.

Srihartati. Kemampuan minyak cengkeh dan filtrat Trichoderma harzianum dalam mengendalikan Rhizopus stolonifer penyebab penyakit lodoh semai Pinus merkusii [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sudadi. 2005. Interaksi mineral lempung,

bahan organik dan mikrob tanah. J Ilmu Tanah dan Lingkungan 5;1:18-29.

Sudarmo S. 1991. Pestisida. Yogyakarta: Kanisius.

Suprayogi Y. 1995. Pengaruh pemberian kascing cacing tanah (Eisenia foetida savigny) terhadap pertumbuhan dan produksi melon. [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Susilorini N. 2003. Kualitas vermicompost feses domba dan sisa pakan rumput gajah (Pennisetum purpureum) dengan inokulan stardec dan orgadec. [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Untung K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: UGM Pr

Usman S, Entang I, Sukarjo, Risnaily. 2004. Respon tanaman tempuyung (Sonchus arvensis L) pada berbagai takaran vermikompos. J Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. 6;2:83-90.

Wijaya S. 2002. Isolasi kitinase dari Scleroderma columnare dan Trichoderma harzianum. Jurnal Ilmu dasar 3;1:30-35.

Windham M, Y. Elad, R. Baker. 1986. A mechanism for increased plant growth induced by Trichoderma spp. J Phytopathology 76:518-521.


(17)

FORMULASI PUPUK BIOORGANIK CAMPURAN

Trichoderma harzianum DENGAN KASCING

DWI RAMADHANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Program Studi Biokimia

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(18)

Judul Skripsi : Formulasi Pupuk Bioorganik Campuran

Trichoderma harzianum

dengan Kascing

Nama

: Dwi Ramadhani

NIM

: G 44103012

Disetujui

Komisi Pembimbing

Drs. Djarot Sasongko Hamiseno, M.S.

Dr. Tri Panji, M.S, APU

Ketua

Anggota

Diketahui

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S.

NIP 131 473 999


(19)

ABSTRAK

DWI RAMADHANI. Formulasi Pupuk Bioorganik Campuran

Trichoderma

harzianum

dengan Kascing. Dibimbing oleh DJAROT SASONGKO HAMISENO

dan TRI PANJI.

Penggunaan pupuk kimia yang berlebihan dapat memberikan dampak

negatif bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Oleh karena itu, diujikan pupuk

bioorganik sebagai salah satu pupuk alternatif yang lebih aman terhadap

lingkungan dan kesehatan manusia. Pupuk bioorganik terdiri atas campuran

kascing dan

T. harzianum

pada konsentrasi 10

9

, 10

8

, dan 10

7

gram/spora.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formulasi pupuk bioorganik dan

membandingkan pengaruh pemberian pupuk bioorganik 100%, NPK 100%, dan

campurannya terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman.

Kascing diketahui mengandung enzim fosfatase asam dan basa melalui uji

kualitatif fosfatase dan analisis produksi

Indole Acetic Acid

(IAA) dengan metode

spektrofotometer menunjukkan bahwa.

T. harzianum

mampu memproduksi IAA

secara optimum pada hari ke-3 inkubasi yaitu 9,656

μ

M. Tanaman jagung

berumur 1 bulan yang telah diberi pupuk campuran (NPK 50% + pupuk

bioorganik 50%) memiliki rataan tinggi tanaman yaitu 65,67 cm dan rataan bobot

basah yaitu 19,17 gram. Pada tanaman tomat, walaupun pemberian NPK 100%

lebih baik dibandingkan pupuk campuran, tetapi tidak berbeda nyata secara

statistika. Oleh karena itu, pemberian pupuk bioorganik dapat digunakan sebagai

pengganti pupuk NPK sehingga mengurangi jumlah pemakaian pupuk kimia.


(20)

ABSTRACT

DWI RAMADHANI. Mixed Formulation of Bioorganic Fertilizer came from

Trichoderma harzianum

and Kascing. Under the direction of DJAROT

SASONGKO HAMISENO and TRI PANJI.

Over utilize of chemist fertilizer may give a negative impact to the

environment and human health. Therefore, we need bioorganic fertilizer an

alternative fertilizer in which safe and ecofriendly. Its contain vermicompost and

T. harzianum

which concentration 10

9

, 10

8

, and 10

7

spore/gram. The aim of this

research was to determine formulation of bioorganic fertilizer and studies the

effect of bioorganic fertilizer (100%), NPK (100%) and its mix on vegetative

stage plant.

Vermicompost containing enzyme phosphatase acid and alkalin.

Production analyzed of

Indole Acetic Acid

(IAA) with spectrophotometer

methode showed that

T. harzianum

can give optimum IAA production at the third

day of incubation (9,656

μ

M). Corn crops which were given mix fertilizer (50%

of NPK and 50% of bioorganic fertilizer) showed that its heigh average is 65,67

cm and its fresh weight average value is 19,17 gram. However, on tomatoes

treatment it was found that 100% of NPK treatment resulted better than mix

fertilizer but it was not statistically significant. Therefore, bioorganic fertilizer can

be an alternative way to substitute NPK fertilizer that can reduce the chemist

fertilizer utilization.


(21)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 21 Mei 1985 dari ayah Eriadi

Nurtanis dan ibu Darnawati. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara.

Penulis lulus dari SMAN 5 Bengkulu pada tahun 2003 dan pada tahun

yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Seleksi

Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Departemen Biokimia, Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di Ikatan Mahasiswa Kimia

(IMASIKA) periode 2004/2005. Penulis pernah menjadi asisten pratikum Kimia

Dasar I S1 Biokimia 2004/2005, Biokimia II S1 kimia 2006/2007, Metabolisme I

S1 Biokimia 2006/2007 dan Biokimia Umum D3 Perikanan 2006/2007. Penulis

melaksanakan Praktik Lapang di PT Indofood, Tbk dengan tema Validasi Metode

Penentuan Asam Folat pada Bubur Bayi Secara Mikrobiologi selama bulan

Juli-Agustus 2006.


(22)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai Juli 2007 di Laboratorium

Mikrob dan Bioproses Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia ini

ialah Formulasi Pupuk Bioorganik Campuran Kascing dengan

Trichoderma

harzianum

.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drs. Djarot Hamiseno, MS

dan Dr. Tri Panji MS, APU atas bimbingan, saran dan dorongannya. Ungkapan

terima kasih juga disampaikan kepada teknisi di Laboratorium Mikroba dan

Bioproses BPBPI, rekan-rekan penelitian terutama Ayu, Tisha, dan Aried, serta

rekan-rekan Biokimia angkatan 40 diantaranya Hurri, Metty, Ashfa, Ina, dan Eka

atas bantuan dan partisipasinya selama penelitian. Terima kasih kepada Ayah, Ibu,

Kakak, Adik serta seluruh keluarga atas segala doa, nasehat dan kasih sayangnya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya ilmiah ini masih banyak

kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun

sangat diharapkan. Akhirnya penulis berharap, semoga karya ilmiah ini

bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi untuk memperkaya wawasan dan

ilmu pengetahuan alam.

Bogor, Agustus 2007


(23)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Cacing Tanah ... 1

Media Pemeliharaan Cacing Tanah ... 2

Kascing ... 3

Trichoderma harzianum

... 3

Pupuk Bioorganik ... 4

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat ... 5

Metode Penelitian ... 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi

Indole Acetic Acid

(IAA) oleh

T. harzianum

... 7

Uji Kualitatif Fosfatase ... 7

Pertumbuhan Tanaman... 8

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ... 11

Saran ... 11

DAFTAR PUSTAKA ... 11

LAMPIRAN ... 13


(24)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Trichoderma harzianum

pada media PDA ... 4

2 Hasil uji kualitatif fosfatase ... 8

3 Rataan tinggi tanaman jagung ... 9

4 Rataan tinggi tanaman tomat ... 9

5 Rataan bobot basah tanaman jagung ... 9

6 Rataan bobot basah tanaman tomat ... 10

7 Rataan panjang akar tanaman jagung ... 10

8 Rataan panjang akar tanaman tomat ... 10


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Tahapan penelitian ... 14

2 Hasil analisis produksi IAA oleh

T. harzianum

... 15

3 Rata-rata tinggi tanaman jagung ... 16

4 ANOVA tinggi tanaman jagung ... 16

5 ANOVA bobot basah tanaman jagung ... 16

6 ANOVA panjang akar tanaman jagung ... 17

7 Analisis Duncan tinggi tanaman jagung ... 17

8 Analisis Duncan bobot basah tanaman jagung ... 17

9 Analisis Duncan panjang akar tanaman jagung ... 18

10 Rata-rata tinggi tanaman tanaman tomat ... 18

11 ANOVA tinggi tanaman tomat ... 18

12 ANOVA bobot basah tanaman tomat ... 18

13 ANOVA panjang akar tanaman tomat ... 19

14 Analisis Duncan tinggi tanaman tomat ... 19

15 Analisis Duncan bobot basah tanaman tomat ... 20

16 Analisis Duncan panjang akar tanaman tomat ... 20

17 Tanaman jagung pada beberapa perlakuan ... 21

18 Tanaman tomat pada beberapa perlakuan ... 22

19 Akar tanaman tomat dan jagung ... 23


(26)

FORMULASI PUPUK BIOORGANIK CAMPURAN

Trichoderma harzianum DENGAN KASCING

DWI RAMADHANI

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(27)

1

PENDAHULUAN

Pertumbuhan tanaman yang baik dapat dicapai dengan memperhatikan syarat-syarat tumbuh dan cara pemeliharaannya. Salah satu cara pemeliharaan tanaman adalah pemupukan. Pemakaian pupuk yang selama ini sering digunakan para petani adalah pupuk kimia atau organik. Pupuk kimia memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi kelestarian lingkungan dan dapat mempercepat pengurasan sumberdaya alam. Dilihat dari segi harga, pupuk kimia juga lebih mahal dibandingkan pupuk organik. Oleh karena itu, pemakaian pupuk kimia perlu dibatasi atau dihilangkan, sedangkan pemakaian pupuk organik perlu dibudayakan. Salah satu pupuk organik yang telah diteliti secara ilmiah dan mulai popular di kalangan petani di beberapa negara adalah kascing (Mulat 2003).

Kascing merupakan sumber bahan organik yang ramah lingkungan, mengandung unsur esensial yang berasal dari kotoran cacing 95% dan 5% material hasil dekomposisi mikroorganisme yang berguna untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Mulat 2003). Unsur hara mikro dan makro yang dibutuhkan tanaman antara lain unsur N, P, K, Ca, Mg, S, Fe, Mn, Al, Na, Cu, Zn, Bo dan Mo terdapat di dalam kascing (Palungkun 1999). Selain itu, kascing juga mengandung humus dan dapat dipergunakan sebagai pupuk alami ramah lingkungan yang berasal dari biodegradasi limbah organik dan bebas dari bahan kimia. Pupuk organik yang berasal dari kascing dapat memperbaiki pertumbuhan dan produksi tanaman seperti padi, jagung manis, melon, mentimun, melon, tomat, dan cabai (Mulat 2003). Kascing juga dapat dimanfaatkan untuk mengurangi penyakit layu Fusarium oxyporus pada tomat (Istifadah et al. 2000).

Selain pupuk, pestisida juga digunakan saat pemeliharaan tanaman. Organisme yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat diatasi dengan menggunakan pestisida. Sebagian besar pestisida terbuat dari bahan-bahan kimia, sehingga pemakaian dan kontak dengan zat dapat membahayakan manusia maupun makhluk hidup lainnya (Sa’id 1994). Oleh karena itu, perlu diupayakan pengurangan penggunaan pestisida kimia dan mengalihkannya dengan penggunaan suatu agen pengendali hayati yang lebih aman bagi lingkungan.

Salah satu agen pengendali hayati yang telah diteliti adalah biofungisida Trichoderma

harzianum. Sebagai biofungisida yang berbahan aktif mikroorganisme dan berasal dari alam, biofungisida mempunyai sifat yang ramah terhadap lingkungan karena tidak menimbulkan pencemaran atau berdampak negatif terhadap lingkungan melainkan dapat mengembalikan keseimbangan alamiah dan kesuburan tanah (Soesanto 2004). Agrios (1997) menyatakan bahwa pemanfaatan Trichoderma spp. sebagai agen pengendali hayati telah terbukti menghambat beberapa jamur tular tanah, antara lain patogen layu Fusarium oxysporum pada tomat dapat dihambat pertumbuhannya oleh penerapan T. harzianum (Djaja et al. 2003). Trichoderma spp. juga dilaporkan memiliki sifat pemacu pertumbuhan (Chang & Baker 1986). Melihat keuntungan yang dapat diperoleh dari kascing dan T. harzianum maka dilakukan penelitian mengenai formulasi pupuk dari campuran kascing dan T. harzianum sehingga menghasilkan pupuk bioorganik atau pupuk hayati yang dapat memperbaiki pertumbuhan dan produksi tanaman. Hipotesis pada penelitian adalah formula yang tersusun atas kascing dan T. harzianum dapat digunakan sebagai pupuk bioorganik.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formulasi pupuk bioorganik dan membandingkan pengaruh pemberian pupuk bioorganik 100%, pupuk NPK 100% dan campurannya terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman yang meliputi tinggi, bobot basah tanaman, dan panjang akar tanaman. Hasil penelitian bermanfaat untuk mendapatkan formula pupuk yang baik bagi pertumbuhan tanaman serta aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia.

TINJAUAN PUSTAKA

Cacing Tanah

Menurut Edwards dan Lofty (1972) Lumbricus rubellus diklasifikasikan ke dalam Kingdom Animalia, Filum Annelida, Kelas Oligochaeta, Ordo Opisthopora, Famili Lumbricidae, Genus Lumbricus dan Spesies Lumbricus rubellus.

Lebih dari 1800 spesies cacing tanah yang telah dipelajari. Jenis-jenis cacing tanah yang telah banyak dipelajari berasal dari Famili Megascolidae dan Lumbricidae dengan Genus Lumbricus, Eiscenia, Pheretima, Perionyx, Diplocardi, dan Lidrillus (Rukmana 1999). Kebanyakan cacing tanah memiliki kesamaan tingkah laku, antara lain hidup pada berbagai lapisan tanah, dekomposer tanaman dan organisme lain, penggali tanah, serta


(28)

2

menggunakan tanah sebagai salah satu nutrisinya (Florkin 1969).

Menurut Simanjutak dan Waluyo (1982) cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang sehingga termasuk golongan invertebrata. Tubuhnya terdiri atas segmen-segmen teratur seperti cincin sehingga cacing tanah dimasukkan ke dalam Filum Anelida. Menurut Edwards dan Lofty (1977) segmentasi terjadi di luar maupun di dalam tubuh meliputi otot, syaraf, alat sirkulasi, alat sekresi maupun alat reproduksi.

Bagian pertama dari segmen adalah anterior atau kepala, terdiri atas mulut dan prostomium, suatu cuping yang menutupi mulut dan sebagai alat untuk membuka tanah (Edwards & Lofty 1977). Struktur seperti rambut-rambut kecil (disebut setae) yang dapat menarik atau mengulur terdapat di setiap segmen, dan difungsikan sebagai alat gerak. Terdapat juga kelenjar kulit yang akan mengeluarkan lendir yang dapat membantu pergerakan cacing ke dalam tanah, menstabilkan lubang yang telah digali dan untuk mempertahankan diri (Edwards & Lofty 1977). Oleh karena tubuhnya licin, cacing tanah sangat sukar ditangkap musuh-musuhnya. Cacing tanah hanya mengandalkan kulitnya karena tidak memiliki alat pernapasan (Sihombing 2002). Oksigen yang digunakan untuk proses metabolisme tubuh diambil dari udara dengan bantuan pembuluh darah yang terdapat di bagian bawah kutikula. Cacing tanah bereaksi negatif terhadap sinar matahari atau sinar lainnya. Sinar tersebut dapat mematikan cacing tanah hanya dalam waktu satu menit (Palungkun 1999). Oleh karena itu, sinar lampu dapat digunakan sebagai alat saat melakukan pemanenan cacing tanah.

Cacing tanah bersifat hermafrodit atau biseksual (Rukmana 1999). Namun, untuk pembuahan cacing tanah tidak dapat melakukannya sendiri tetapi harus dilakukan oleh sepasang cacing tanah. Menurut Lee (1985) siklus hidup cacing tanah dibagi menjadi empat tahap yaitu (1) produksi kokon, (2) waktu inkubasi, (3) penetasan dan (4) pertumbuhan. Lama siklus hidup ini tergantung pada kesesuaian kondisi lingkungan, cadangan makanan, dan jenis cacing tanah (Sihombing 2002). Lama siklus hidup cacing tanah Lumbricus rubellus hingga mati mencapai 1-5 tahun (Palungkun 1999).

Beberapa kegunaan cacing tanah antara lain sebagai pengurai limbah dan sampah kota, pengatur aerasi dan penghasil pupuk

organik dalam bentuk kascing (Mulat 2003). Cacing tanah di alam berperan sebagai hewan pengurai bahan organik dan melepaskannya sebagai nutrisi dalam bentuk kascing. Kemampuan penguraian cacing tanah 3-5 kali lebih cepat dibandingkan dengan mikrob (Palungkun 1999). Bahan organik berupa rumen termasuk salah satu makanan cacing tanah, bahkan pembuatan kompos dari rumen menggunakan cacing tanah.

Cacing tanah akan memakan tanah (termasuk sisa dekomposisi bahan organik di dalam tanah) atau sisa-sisa tanaman pada permukaan tanah (Sihombing 2002). Cacing tanah mempunyai otot yang kuat untuk mencampurkan meterial-material tersebut dan melewatkannya ke saluran pencernaan sebagai cairan untuk dicampur dengan enzim. Enzim tersebut akan melepaskan asam-asam amino, gula dan molekul organik kecil lainnya dari residu bahan organik yang terdapat di dalam tanah maupun media pemeliharaannya (Rukmana 1999). Hasil penguraian bahan organik tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kascing (feses cacing tanah).

Media Pemeliharaan Cacing Tanah Media pemeliharaan yang baik harus disesuaikan dengan kehidupan cacing tanah. Kondisi lingkungan di sekitar cacing tanah mempunyai pH sekitar 6,0-7,2 dengan kelembaban sekitar 60-90% (Palungkun 1999). Kondisi ini dibutuhkan cacing tanah untuk kegiatan bernapas karena media yang lembab biasanya mengandung oksigen cukup tinggi (Rukmana 1999). Selain itu, juga mendukung proses eksresi cacing tanah. Kondisi tanah yang kering akan membuat cacing tanah mati. Kesesuaian media tanah dengan kehidupan cacing tanah dikarenakan sifat cacing tanah yang memakan tanah.

Penggunaan bahan organik sebagai nutrisi bagi tanaman maupun cacing tanah dapat memperbaiki atau menambah kandungan hara pada tanah. Menurut Basroch (1982), adanya bahan organik mampu meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah dengan pemantapan agregat tanah, aerasi, dan daya menahan air. Bahan organik dalam bentuk pupuk kandang maupun sampah organik disamping sebagai nutrisi bagi tanaman juga digunakan oleh cacing tanah sebagai makanannya.

Penyebaran cacing tanah dalam tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi bahan organik. Bahan organik sebagai media harus sudah mengalami pelapukan atau fermentasi


(1)

Lampiran 9 Analisis Duncan panjang akar tanaman jagung

Perlakuan N α = 0,05

1 2 3 1

Kontrol - 2 24.0000

A 107 2 25.0000 25.0000

A 108 2 26.5000 26.5000 26.5000

Kontrol + 2 27.0000 27.0000 27.0000

NPK + A109 2 29.0000 29.0000

NPK + B108 2 29.0000 29.0000

NPK + A107 2 29.5000

A 109 2 30.0000

B 109 2 30.0000

B 108 2 30.0000

NPK + A108 2 30.5000

NPK + B109 2 30.5000

B 107 2 31.0000

NPK + B107 2 31.0000

Sig. .156 .069 .052

Keterangan : seperti lampiran 7

Lampiran 10 Rata-rata tinggi tanaman tomat

Perlakuan 1 hst 6 hst 12 hst 18 hst 24 hst

A 109 1.10 2.67 3.50 5.00 6.17

A 108 1.13 2.60 3.17 4.67 6.50

A 107 1.27 2.27 3.00 4.67 6.83

B 109 1.07 2.10 3.33 5.00 6.50

B108 1.13 2.13 3.17 4.67 6.33

B 107 1.07 2.23 3.40 4.33 7.17

NPK + A109 1.00 1.63 3.00 7.67 13.00

NPK + A108 1.13 2.10 2.73 5.83 11.33

NPK + A107 1.10 2.33 3.00 8.00 11.67

NPK + B109 1.07 1.43 4.00 9.33 11.67

NPK + B108 1.10 2.10 3.67 8.33 10.67

NPK + B107 0.93 1.87 2.33 10.33 15.67

kontrol + 1.40 1.97 4.17 11.83 17.17

kontrol - 0.93 1.63 1.67 3.00 3.83

Keterangan : hst (hari setelah tanam)

A, B, NPK + A dan NPK + B (seperti lampiran 7)

Lampiran 11 ANOVA tinggi tanaman tomat

Sumber Keragaman Jumlah kuadrat Db Kuadrat Tengah F

Perlakuan 620.435 13 47.726 24.595

Galat 54.333 28 1.940

Total 674.768 41


(2)

Lampiran 12 ANOVA bobot basah tanaman tomat

Sumber

Keragaman

Jumlah kuadrat

Db Kuadrat Tengah

F hitung

Perlakuan 31.611 13 2.432 18.460

Galat 1.844 14 .132

Total 33.455 27

Keterangan: α = 0,05

Lampiran 13 ANOVA panjang akar tanaman tomat

Sumber

Keragaman

Jumlah Kuadrat

Db Kuadrat Tengah

F hitumg

Between Groups 90.429 13 6.956 5.729

Within Groups 17.000 14 1.214

Total 107.429 27

Keterangan: α = 0,05

Lampiran 14 Analisis Duncan tinggi tanaman tomat

Perlakuan N α = 0,05

1 2 3 4 1

Kontrol - 3 3.8333

A 109 3 6.1667

B 109 3 6.3333

A 108 3 6.5000

B 108 3 6.5000

A 107 3 6.8333

B 107 3 7.1667

NPK + B108 3 10.6667

NPK + A108 3 11.3333

NPK + A107 3 11.6667

NPK + B109 3 11.6667

NPK + A109 3 13.0000

NPK + B107 3 15.6667

Kontrol + 3 17.1667

Sig. 1.000 .447 .075 .198


(3)

Lampiran 15 Analisis Duncan bobot basah tanaman tomat

Perlakuan N α = 0,05

1 2 3 4 5 6 1

Kontrol - 2 .6800

B 109 2 .9645

A 109 2 1.0615

B 108 2 1.0745

A 107 2 1.1600

A 108 2 1.5175 1.5175

B 107 2 2.0250 2.0250

NPK + A109 2 2.1800 2.1800 2.1800

NPK + B109 2 2.4780 2.4780

NPK + A108 2 2.7900 2.7900 2.7900

NPK + A107 2 2.8415 2.8415 2.8415

NPK + B108 2 3.0005 3.0005

NPK + B107 2 3.5600

Kontrol + 2 4.3425

Sig. .057 .104 .060 .059 .069 1.000

Keterangan : Seperti lampiran 7

Lampiran 16 Analisis Duncan panjang akar tanaman tomat

Perlakuan N α = 0,05

1 2 3 4 5 1

Kontrol - 2 7.5000

NPK + B109 2 9.0000 9.0000

B 107 2 9.5000 9.5000 9.5000

NPK + A107 2 9.5000 9.5000 9.5000

B 108 2 10.5000 10.5000 10.5000

A 108 2 11.0000 11.0000 11.0000

A 109 2 11.5000 11.5000 11.5000

NPK + A108 2 11.5000 11.5000 11.5000

NPK + B108 2 11.5000 11.5000 11.5000

NPK + A109 2 12.0000 12.0000

A 107 2 12.5000 12.5000

B 109 2 12.5000 12.5000

NPK + B107 2 12.5000 12.5000

Kontrol + 2 15.0000

Sig. .115 .064 .064 .131 .054


(4)

Lampiran 17 Tanaman jagung pada beberapa perlakuan

Keterangan: 1 = Pupuk bioorganik formula A

2 = Campuran 50% pupuk NPK dan 50% pupuk bioorganik

3 = Formula B (10

9

) + pupuk NPK

4 = Formula B (10

8

) + pupuk NPK

5 = Formula B (10

7

) + pupuk NPK

6 = Formula A (10

7

) + pupuk NPK

7 = Formula A (10

8

) + pupuk NPK

8 = Formula A (10

9

) + pupuk NPK

1

2

3

4

5

7


(5)

Lampiran 18 Tanaman tomat pada beberapa perlakuan

Keterangan: 1 = formula A (10

7

) + NPK Keterangan: 1 = formula A (10

9

)

2 = formula A (10

8

) + NPK 2 = formula A (10

8

)

3 = formula A (10

9

) + NPK 3 = formula A (10

7

)

Keterangan: 1 = formula B (10

9

) Keterangan : 1 = formula B (10

7

) + NPK

2 = formula B (10

8

) 2 = formula B (10

8

) + NPK

3 = formula B (10

7

) 3 = formula B (10

9

) + NPK

Keterangan: 1 = tanpa pupuk (kontrol -) Keterangan: 1 = tanpa pupuk (kontrol -)

2 = formula A 2 = formula B

3 = formula A + pupuk NPK 3 = formula B + pupuk NPK

4 = pupuk NPK (kontrol +) 4 = pupuk NPK (kontrol +)

1 4

4 2

2 3

1

3 1

2 3

1 2 3

1

2


(6)

Lampiran 19 Akar tanaman jagung dan tomat

Keterangan: A = formula B + NPK Keterangan : A = formula B + NPK

B = formula B B = formula B

C = pupuk NPK C = tanpa pupuk

D = tanpa pupuk D = pupuk NPK

C

D B

A

A

B C D


Dokumen yang terkait

Pemanfaatan Fungi Aspergillus flavus, Aspergillus tereus, dan Trichoderma harzianum untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bruguiera gymnorrhiza

1 48 56

Pengaruh Fungi Aspergillus flavus, Aspergillus terreus dan Trichoderma harzianum Terhadap Pertumbuhan Bibit Avicennia officinalis

1 78 45

Pemanfaatan Fungi Aspergillus flavus, Aspergillus terreus dan Trichoderma harzianum untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bibit Rhizophora mucronata Lamk

0 46 57

Pemanfaatan Fungi Aspergillus Flavus, Aspergillus Tereus Dan Trichoderma Harzianum Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bibit Rhizophora Apiculata Di Desa Pulau Sembilan Kabupaten Langkat

0 42 51

Pemanfaatan Trichoderma Harzianum Dan Pupuk Kandang Dalam Menekan Pertumbuhan Penyakit Busuk Pangkal Batang (Sclerotium rolfsii) Pada Kacang Tanah (Arachis hipogaea L)

2 36 83

Uji Efektifitas Trichoderma harzianum dengan Formulasi Granular Ragi untuk Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih {Rigidoporus microporus(Swartz:fr.)van Ov} pada Tanaman Karet di Pembibitan

3 50 87

Penggunaan Jamur Antagonis Trichoderma harzianum Rifai Dan Kompos Dalam Menekan Penyakit Layu Fusarium oxysporum f.sp. passiflora Pada Pembibitan Markisa

5 50 125

Pengaruh Jamur Antagonis Trichoderma harzianum Dan Pupuk Organik Untuk Mengendalikan Patogen Tular Tanah Sclerotium rolfsii Sacc. Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) Di Rumah Kasa

4 83 73

EFEKTIVITAS FORMULASI TEPUNG BIOFUNGISIDA BERBAHAN AKTIF Trichoderma harzianum

1 14 4

Penggunaan Campuran Trichoderma Harzianum Dengan Berbagai Pupuk Kandang Untuk Menekan Akar Gada (Plasmodiophora Brassicae Wor.) Pada Tanaman Pakcoy

0 5 40