53
BAB III TANGGUNGJAWAB PENGANGKUT UDARA PADA PENGANGKUTAN
PENUMPANG MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
D. Tanggung Jawab Pada Kecelakaan Pesawat Terbang
Pada kegiatan seperti penerbangan dan angkutan udara dengan sendirinya terdapat risiko-risiko tertentu, yang dapat menimbulkan kerugian pada berbagai
pihak. pesawat Pada peristiwa kecelakaan udara maka kerugian yang mungkin ditimbulkan pada pihak adalah sebagai berikut:
33
a. Pemilik pesawat udara, berupa kehilangan pesawat udara;
b. Penumpang atau ahliwarisnya dalam hal penumpang tewas;
c. Pemilik barangmuatan yang diangkut;
d. Pihak ketiga.
Pihak yang mungkin bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi pada kecelakaan pesawat udara tersebut adalah:
34
a. Pembuat pesawat udara;
b. Pembuat bahan bakar;
c. Perusahaan penerbangan atau pegawainya; termasuk awak pesawat;
d. Pengatur lalu lintas udara;
e. Penumpang;
f. Pemilik barangmuatan
g. Pihak ketiga.
33
E. Suherman, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan, Bandung : Alumni, 1979, hal.18
34
Ibid
Mengenai tanggung jawab pada angkutan udara sebagaimana diatur dalam konvensi Warsawa, Konvensi Roma, Protokol Guatemala, Protokol Guadalajara
dan Ordonansi pengangkutan Udara dikenal prinsip-prinsip sebagai berikut 1. Prinsip “presumption of liability”
2. Prinsip “presumption of non-liability” 3. Prinsip “absolute liability”
4. Prinsip “limitation of liability Sebuah pesawat terbang, baik miliknya sendiri, maupun yang dioperate
olehnya, musnah, mungkin dalam beberapa detik saja, bersama dengan seluruh penumpang, awak pesawat dan barang muatannya. Bagi sseorang ahli hokum
tentunya timbul pertanyaan-pertanyaan mengenai aspek-aspek yuridis dari peristiwa itu.
35
Misalnya : Tiga jumlah ganti rugi saya jumpai dalam berita-berita, pertama sejumlah Rp. 4000.000,- kemudian dibantah, Rp. 50.000,- asuransi jasa
Raharja dan akhirnya 12.500 gulden. Akan tetapi baiklah sebelum saya mendalami persoalan jumlah ganti rugi saya akan mencoba meneliti terlebih
Setelah saya ikuti pemberitaan-pemberitaan dalam surat-surat kabar akhir-akhir ini, dapat saya tarik kesimpulan bahwa suatu aspek yuridis yang
terpenting pada peristiwa semacam itu, yaitu soal tanggung jawab untuk kerugian –kerugian yang ditimbulkan, baik karena meninggalnya penumpang maupun
karena musnahnya harta benda, tidak ada kepastian, malah beritanya agak simpang siur.
35
E. Suherman, Hukum Udara Indonesia dan Internasional, Jakarta: Eresco, 1978, hal 38
dahulu pokok-pokok persoalan mengenai tanggung jawab pada suatu kecelakaan pesawat terbang.
36
Tiap peristiwa kecelakan pesawat terbang tentunya mempunyai sebab- sebab dan akibat-akibat tersendiri. Ada kecelakan yang ringan, ada yang demikian
beratnya hingga dapat disebut suatu bencana yang membawa korban puluhan orang dan menimbulkan kerugian materil puluhan atau ratusan juta rupiah.
Pada umumnya pada suatu kecelakaan pesawat terbang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung, beberapa pihak, yaitu: Pemllik pesawat terbang,
operator pesawat terbang, pabrik pesawat terbang, penumpang, pengirim barang, Scarch and Rescue,
penjual pesawat terbang, pengatur lalu lintas udara, perusahaan asuransi dan.pihak ketiga didarat atau dilaut.
Pada suatu kecelakaan dimana atau pesawat terbang langsung mencebur kelaut, sudah tidak ada pihak ketiga yang dirugikan, kecuali kalau kebetulan
sekali jatuh keatas sebuah kapal. Begitu pula pada suatu take-off yang gagal disuatu lapangan terbang tidak
akan ada team-team Search and Rescue yang kadang-kadang berhari-hari naik gunung, turun gunung untuk mencari sisa-sisa pesawat terbang yang jatuh,
dengan bekerja bersama dengan pesawat-pesawat terbang , baik sipil maupun militer.
Dilihat dari segi hukum khususnya maka pada tiap kecelakan, dua pihak yang memegang peranan utama yaitu pengangkut disatu pihak dan orang-orang
yang dirugikan dilain pihak.
36
Ibid
Tiga problema pokok akan dikemukakan, yaitu: a.
Apakah ada ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur secara khusus tanggung jawab dalam bidang pengangkutan dengan pesawat terbang?
b. Bagaimana prinsip-prinsip tanggung jawab diatur dalam peraturan-peraturan
tersebut? c.
Khususnya mengenai jumlah ganti-rugi : apakah ada suatu jumlah yang pasti ? Ad. a persoalan ini erat hubungannya dengan keadaan Hukum Udara dewasa ini.
Hukum Udara tidak begitu dikenal seperti Hukum laut, dan menurut pengalaman saya tidak pernah disinggung-singgung dalam kuliah Fakultas Hukum.
Bacaan mengenai Hukum Udara hampir tidak ada di Indonesia. Satu- satunya legislative adalah undang-undang tentang penerbangan U.U.No.83 tahun
1958 yang sudah tidak up- to- date lagi dan sebagian besar hanyalah salinan dari luchtvaartbesluit Staatsblad 1933 No. 118 dan dari Luchtvaartordonnantie
staatsblad 1934 No. 206 Mengenai tanggung jawab harus kita bedakan apakah kecelakaan terjadi
pada suatu penerbangan internasional atau dalam negeri, karena hal ini mempunyai akibat bagi pihak yang dirugikan. Perbedaan dapat kita lihat dari tiket
atau surat muatan udara. Tanggung jawab pada penerbangan internasional diatur dalam beberapa
perjanjian internasional, yaitu perjanjian warsawa 1929 Protokol Den Haag 1955, Perjanjian Gua-dalajara 1961, dan Protokol Guatemala 1971. Indonesia
baru turut sebagai pihak dalam perjanjian warsawa.
Perjanjian warsawa inilah yang menjadi dasar bagi peraturan yang mengatur tangung jawab pada pengangkutan dalam negeri, yaitu peraturan yang
dikenal dengan nama Ordonansi pengnagkutan udara Luchtvervoerordonnantic, Staatsblad 1939 No. 100. Oleh karena hingga kini belum ada peraturan-peraturan
tentang tanggung jawab pada pengangkutan udara, maka Ordonansi inilah yang masih berlaku .
ad.b. persoalan utama yang diatur dalam Ordonansi ini adalah persoalan tanggung jawab pengangkutan. Prinsip pokok dalam Ordonansi adalah bahwa
“Pengangkutan selalu dianggap bertanggung jawab”. Pihak yang dirugikan, baik penumpang maupun pengirim barang harus membuktikan besarnya kegian yang di
derita. Dengan sendirinya prinsip demikian sangat berat bagi pengangkutan. Oleh karena itu sebagai imbangannya ditetapkan sebagia prinsip kedua bahwa
“tanggung jawab pengangkutan terbatas sampai suatu jumlah tertentu” Dari dua prinsip pokok diatas ada dua penyimpangan yaitu:
1. Pengangkutan bertanggung jawab sampai seluruh jumlah yang dituntut, jadi
tidak terikat pada batas maksimum yang ditentukan 2.
Pengangkutan bebas sama sekali dari tanggung jawab. ad.1. Pengangkutan bertanggung jawab tanpa batas dalam dua hal yaitu:
a. Kalau ada perbuatan sengaja dari pengangkutan untuk menimbulkan
kerugian, dan b.
Kalau ada suatu kesalahan berat dari pengangkutan. Dalam hal-hal demikian beban pembuktian ada pada pihak yang menderita
kerugian.
Ad.2. Pengangkutan dapat membebaskan diri dari tanggung jawab seluruhnya dalam 4 hal, yaitu:
a. Pengangkutan telah mengalami semua tindakan yang diperlukan untuk
menghindarkan kerugian timbul. b.
Pengangkutan tidak mungkin mengambil tindakan yang disebut pada a. c.
Kerugian ditimbulkan karena kesalahan pada pengemudian, handling pesawat atau navigasi, dan semua tindakan yang perlu untuk mencegah
timbulnya kerugian telah diambil mungkin dalam bahasa inggrisnya lebih jelas : “ error in piloting, Handling of the aircraft and navigation
d. Kerugian timbul dalam karena kesalahan pihak yang dirugikan
Dalam hal-hal tersebut diatas, beban pembuktian ada pada pengangkut. ad.c. Dari pihak yang dirugikan yang terpenting tentunya bukanlah pembahasan
mengenai aspek-aspek yuridis yang pelik, akan tetapi berapa besarnya rugi yang dapat diterima. Yang pasti adalah jumlah yang dapat diterima oleh ahliwaris dari
ansuransi Jas Raharja, Rp.50.000,-{se-karang Rp.100.000,-} yang dapat diperoleh tanpa harus membuktikan besarnya kerugian yang sebenarnya diderita. Akan
tetapi tidak boleh kita lupakan bahwa jumlah ini tidak membebaskan pengangkut dari tanggung jawabnya berdasarkan Ordonansi Pengangkutan Udara.
Dalam bentuk aslinya tahun 1939 Ordonansi ini menyebutkan beberapa jumlah, yaitu limit-limit ganti rugi untuk penumpang , barang dan bagasi, dan
bagasi tangan. Suatu perjanjian antara pengangkut dan penumpang atau pengirim barang untuk menetapkan limit yang lebih rendah adalah tidak sah. Ordonansi
menetapkan bahwa limit ganti rugi untuk kerugian pada penumpang berupa
cedera yang diderita atau kematian, adalah 12.500 gulden, limit ganti rugi untuk bagasi atau barang adalah 25 gulden per kilogram dan limit ganti rugi untuk
bagasi tangan bagasi yang dibawa sendiri oleh penumpang adalah 500 gulden per penumpang .
Dengan sendirinya timbul persoalan apakah jumlah –jumlah ini dapat dipergunakan dalam tahun 1971. Secara yudiris mungkin jawabannya adalah
bahwa selama belum ada ketentuan lain yang merubahnya, gulden adalah sama dengan rupiah. Secara ekonomis sudah pasti jawabannya adalah bahwa jumlah-
jumlah tersebut tidak layak, kalau hanya dirupiahkan saja. Hal-hal lain yang perlu saya kemukakan adalah bahwa ada kemungkinan
pihak-pihak lain yang menimbulkan ke-rugian, misalnya pabrik pesawat terbang karena kesalahan pembuatan}, pengatur lalu lintas udara air traffic control,
karena misalnya member petunjuk-petunjuk yang salah . Persoalan-persoalan ini tidak diatur dalam Ordonansi pengangkutan udara dan memerlukan pembahasan
tersendiri.
E. Besarnya Ganti Rugi Pada Kecelakaan Pesawat Terbang