4.4. Hidrologi
Berdasarkan peta batimetri Danau Maninjau dari  LIPI  2001, morfometri Danau Maninjau dapat dilihat pada Tabel 3
Tabel 3 Morfometri Danau Maninjau
No. Parameter
Satuan Nilai
1. Luas permukaan air
Ha 9.737,50
2. Panjang maksimum
Km 16,46
3. Lebar maksimum
Km 7,50
4. Kedalaman maksimum
M 168,00
5. Kedalamam rata-rata
M 105,20
6. Panjang garis pantai
Km 52,68
7. Volume air
m3 10.226.001.629,20
8. Catchment area
Ha 13.260,00
Sumber: RTRW Kabupaten Agam 2004 Dari Tabel di atas, Danau Maninjau berkedudukan memanjang arah utara –
selatan  dengan  panjang  16,46  Km  dan  lebar  7,5  km,  dan  memiliki  outlet  yaitu sunhai  Batang  Antokan  yang  mengalir  ke  arah  Barat.  Direktorat  Geologi  Tata
Lingkungan  1997  menyebutkan  Danau  Maninjau  merupakan  kaldera  yang berada  di  bagian  tengah  gunung  Maninjau  yang  berukuran  panjang  20  km  dan
lebar  8  km.  Di  dalam  danau  terdapat  beberapa  pulau  kecil  dengan  luas  hanya beberapa  ratus  m2.  Semakin  ke  arah  selatan  danau  kedalaman  semakin
meningkat  dengan  kemiringan  dasar  yang  semakin  curam.  Titik-titik  terdalam dari  danau  ini  berada  di  wilayah  bagian  selatan.  Daerah  bagian  barat  danau
memiliki kedalaman lebih dari 20 meter dengan dasar danau yang terjal. Dinding kaldera  secara  keseluruhan  hampir  berupa  tangga  undak-undak,  khususnya  di
bagian  selatan  dan  tenggara,  yang  merupakan  hutan  primer.  Dibagian  utara relatif landai dan terbuka, merupakan areal persawahan penduduk.
Sumber Air Danau Keberadaan Danau Maninjau tidak terlepas dari siklus hidrologis. Air yang
masuk ke danau berasal dari:
1  Air hujan yang langsung masuk danau
Dengan didasari pada pengamatan hujan selama 1983 – 2004, rata-rata curah hujan bulanan di Maninjau dapat dilihat pada Tabel 4. Dari Tabel 4 tersebut,
wilayah  Danau  Maninjau  secara  klimatologis  berdasarkan  Schmidt  dan Fergusson
sangat basah. Tabel 4 Rata-Rata Curah Hujan Danau Maninjau dalam mm Tahun
1983 – 2004
No. Bulan
Curah Hujan mm
1 Januari
261 2
Pebruari 169
3 Maret
277 4
April 309
5 Mei
260 6
Juni 167
7 Juli
271 8
Agustus 256
9 September
317 10
Oktober 320
11 Nopember
473 12
Desember 338
Rata-Rata Tahunan 3.418
Neraca  air  danau  inflow  dan  outflow  serta  evaluasi  muka  air  danau  erat kaitannya dengan curah hujan seperti terlihat pada Tabel 4.
2  Air permukaan
Air  permukaan  yang  mengalir  melalui  penyaluran  yang  telah  terbentuk, berdasarkan data yang ada Laporan Rencana Tata Ruang Danau Maninjau,
2003 ada 88 sungai-sungai kecil yang bermuara di Danau Maninjau dan 33 sungai  yang  senantiasa  berair  sepanjang  tahun.  Sisanya  hanya  berair  pada
musim  hujan.  Berdasarkan  laporan  LIPI  2001,  fluktuasi  permukaan  air danau  adalah  sebanding  dengan  pola  curah  hujan.  Hal  ini  mengindikasikan
bahwa curah hujan yang jatuh ke danau maupun yang mengalir melalui pola penyaluran  memiliki  kontribusi  sangat  besar.  Jadi  komponen  yang  terkait
dengan  aliran  permukaan  run  off  mempunyai  pengaruh  yang  signifikan terhadap kuantitas dan kualitas air Danau Maninjau.
Tabel 5 Necara Air Danau Maninjau 2001 – 2005
N o.
Neraca Air Bulan
Jan Peb
Mar April
Mei Juni
Juli Agus
Sept Okt
Nop Des
I Tahun
2001 1.
Curah Hujan
mm 169
257 160
159 200
193 99
224 200
428 278
115 2.
Inflow m3dtk
13.40 29.56
16.12 17.84
14.12 12.91
7.35 8.28
11.23 10.44
13.40 11.12
3. Outflow
m3dtk 12.79
34.31 22.69
12.90 15.75
15.67 17.01
12.36 12.59
12.00 13.02
13.49 4.
Elevasi mdpl
463.98 463.82
463.55 463.88
463.23 463.37
463.34 463.05
462.71 463.71
463.02 463.33
II Tahun
2002 1.
Curah Hujan
mm 144
88 188
400 387
255 288
150 435
368 441
409 2.
Inflow m3dtk
9.43 6.41
7.17 11.83
15.70 10.51
11.28 9.70
14.96 18.04
17.04 17.84
3. Outflow
m3dtk 8.82
9.03 4.44
4.00 6.49
5.50 10.56
15.73 18.43
21.40 10.60
9.14 4.
Elevasi mdpl
462.57 462.38
462.48 462.88
463.23 463.23
463.34 463.05
462.71 462.71
463.02 463.33
II I
Tahun 2003
1. Curah
Hujan mm
503 56
432 554
203 131
26 347
207 165
208 288
2. Inflow
m3dtk 12.09
7.70 13.56
33.64 19.22
9.48 9.24
15.14 17.55
19.20 22.24
28.48 3.
Outflow m3dtk
7.91 8.37
6.58 22.57
28.54 8.25
9.56 12.53
18.87 17.03
18.45 25.16
4. Elevasi
mdpl 463.48
463.42 463.50
464.05 463.66
463.61 463.61
463.69 463.62
463.67 463.81
463.84
I V
Tahun 2004
1. Curah
Hujan mm
29 165
96 238
90 36
163 61
240 361
163 361
2. Inflow
m3dtk 20.12
17.29 15.91
11.82 11.77
6.59 9.84
6.38 9.93
11.77 16.35
6.38 3.
Outflow m3dtk
20.27 17.29
15.99 11.75
13.60 13.07
14.81 11.87
11.67 11.16
10.63 11.93
4. Elevasi
mdpl 463.39
463.30 463.08
463.34 463.27
463.03 462.84
462.63 462.54
462.84 463.11
463.45
V Tahun
2005 1.
Curah Hujan
mm 290
185 162
238 90
36 163
81 241
361 163
163 2.
Inflow m3dtk
13.80 5.60
9.80 12.30
8.40 2.80
5.10 14.60
24.10 20.05
19.50 18.00
3. Outflow
m3dtk 12.89
9.89 7.32
7.04 7.47
7.78 8.86
12.86 19.13
20.76 24.26
22.83 4.
Elevasi mdpl
463.45 463.47
463.31 463.39
463.57 463.59
463.50 463.34
463.39 463.56
463.49 463.29
Sumber: Laporan PLTA-Maninjau – Tahun 2005
Sungai-sungai  yang  bermuara  di  Danau  Maninjau  memiliki  perbedaan  tipe. Sungai-sungai  yang  bermuara  di  utara  danau  memiliki  pola  linier  tidak
bercabang  dan  yang  sungai-sungai  yang  bermuara  di  sebelah  barat  danau berpola dendritik. Artinya di daerah yang sungai berpola linier, keterbatasan
air  menjadi  persoalan.  Sementara  itu  di  daerah  dengan  pola  dendritik, pembukaan lahan lebih cepat terjadi.
3  Air tanah
Pada  dasarnya  air  tanah  merupakan  air  permukaan  yang  tertampung  dalam bumi  dan  terakumulasi  pada  lapisan  batuan  pembawa  air  atau  yang  disebut
sebagai  akuifer.  Berdasarkan  peta  hidrogeologi  Indonesia  tahun  1990  dapat diketahui  bahwa  daerah  sekitar  Danau  Maninjau  termasuk  dalam  satuan
morfologi gunung api strato yang tersusun terutama atas litologi andesit dan tufa  batu  apung.  Dengan  satuan  litologi  seperti  diatas,  maka  sistim  akuifer
daerah  ini  dikelompokkan  kedalam  sistim  akuifer  dengan  aliran  melalui ruang  antar  butir  dan  rekahan.  Struktur  hidrogeologi  seperti  diatas  juga
menyebabkan di beberapa daerah sekitar Danau Maninjau merupakan daerah dengan ketersediaan air tanah langka.
Kondisi hidrologi seperti diatas berimplikasi pada pemenuhan kebutuhan air  penduduk.  Makin  mendekati  bibir  danau,  maka  penduduk  di  sekitar  danau
akan  cenderung  untuk  langsung  mengambil  air  danau  dan  memanfaatkannya. Danau  Maninjau  mempunyai  daerah  resapan  seluas  13.260  Ha.  Luas  daerah
resapan tersebut  relatif  kecil  dibandingkan  dengan  luas  permukaan  air  danau
9.737,50  Ha  dengan  volume  air  danau  sebesar  10.226.001.629,2  m3  dimana Volume  Quotient
dan  Area  Quotient  masing-masing  sebesar  0,013  dan  1,38 LIPI,  Juli  2001.  Hal  ini  merupakan  indikator  peranan  aliran  air  tanah  cukup
besar.
Erosi dan Sedimentasi
Dengan melihat pentingnya air permukaan dan air tanah sebagai pemasok air  Danau  Maninjau,  maka  pengelolaan  daerah  tangkapan  catchment  area
menjadi  kunci  dalam  pengelolaan  dan  pemanfaatan  Danau  Maninjau. Penggunaan  tanah  pada  daerah  tangkapan,  disamping  berpengaruh  terhadap
neraca air water balance juga berpengaruh terhadap kualitas air danau seperti
penggunaan  pupuk  dan  pestisida  dari  kegiatan  pertanian,  dan  sampah  domestic yang  berasal  dari  permukiman  sekitar  danau  serta  pakan  dari  keramba  apung.
Pola pemanfaatan tanah di kawasan danaupun mengalami perubahan yang cukup signifikan  selama  20  tahun  terakhir.  Tekanan  ekonomi  menyebabkan  migrasi
petani  ke  lereng-lereng  gunung  sehingga  menyebabkan  terjadinya  erosi  akibat kerusakan hutan, perubahan pola tata air.
Spot  penyebaran  pembukaan  dan  pemanfaatan  lahan  terlihat  semakin meluas di daerah sebelah utara dan timur danau. Berdasarkan kenampakan citra
satelit, penggunaan tanah existing didominasi oleh kegiatan lading, hutan, sawah dan  semak  belukar.  Kegiatan  yang  sifatnya  produktif  adalah  lahan  basah  dan
persawahan. Semak belukar mengindikasikan adanya lahan terlantar di kawasan danau, penggunaan lahan juga tersebar di dalam kawasan.
Dampak  dari  penggunaan  tanah  diatas  bahwa  kalau  pada  tahun  1929 kedalaman  maksimum  danau  Maninjau  169  meter  Thienemann,  1957,  maka
kedalaman  maksimum  pada  tahun  2001  Laporan  LIPI,  Nop  2001  adalah  165 meter.  Berarti  dalam  jangka  waktu  72  tahun  terjadi  perubahan  kedalaman
maksimum  danau  Maninjau  sebesar  4  meter.  Perubahan  ini  karena  adanya endapan  sediment  akibat  erosi  karena  terbukanya  lahan-lahan  di  sekitar  danau
Maninjau.
Kualitas Air Danau
Kajian  mengenai  kualitas  air  danau  Maninjau  yang  dilaksanakan  oleh Tim  Geologi  dan  Sumberdaya  Mineral,  Kanwil  Deptamben  Sumatera  Barat
tahun  1997  di  8  titik  lokasi  air  permukaan  sekitar  danau  Maninjau  dan  pada kedalaman  10  meter  terlihat  bahwa  kondisi  keasaman  pH  di  8  lokasi  adalah
normal.  Hanya  Nitrit  di  lokasi  yakni  Muko-Muko  yang  melebihi  nilai  ambang batas, sementara 6 lokasi lainnya tidak terdeteksi. Kadar oksigen cukup baik, dan
kandungan sulfide dan asam sulfat tidak terdeteksi. Tingginya konsentrasi asam tersebut  tidak  terlepas  dari  fenomena  tubo  belerang.  Fenomena  tubo  belerang
merupakan  sebuah  fenomena  alam.  Dalam  sejarah  geologi  pembentukan  danau Maninjau  bahwa  di  dasar  terdapat  deposit  senyawa  belerang  sebagai  sisa-sisa
kawahkaldera gunung api. Kandungan belerang yang terendapkan di kedalaman yang tidak memungkinkan cahaya masuk telah mengakibatkan terjadinya proses
anaerob oleh bakteri, sehingga belerang yang sebelumnya tidak membahayakan bereaksi  membentuk  senyawa  kimia  beracun.  Senyawa  inilah  yang
menyebabkan matinya ikan-ikan jala apung di Danau Maninjau. Hampir  setiap  tahun  di  kala  musim  angin  kencang  angin  darek  istilah
lokal  yaitu  bulan  Desember,  Januari,  dan  Pebruari,  tubo  belerang  keluar  dari bagian  dasar  danau  dan  menghantam  tempat-tempat  tertentu  di  permukaan
danau. Seringnya tubo belerang naik ke permukaan menyebabkan matinya ikan dalam jumlah yang besar. Pada tahun 1997 jumlah ikan yang mati sebanyak 30,5
ton. Daerah perairan bagian barat Danau Maninjau pada umumnya terhindar dari bencana  itu.  Sebelum  budidaya  ikan  dalam  jala  apung  berkembang  di  danau
Maninjau,  justru  tubo  belerang  sangat  menguntungkan  bagi  penduduk  karena dapat  mengambil  ikan  yang  telah  mabok  akibat  tubo  belerang  dengan  mudah.
Disamping  kasus  tubo  belerang  juga  terjadi  kasus  blooming  microcytis  dimana permukaan  danau  dipenuhi  oelh  ganggang  microcytis  yang  mengapung  dan
menyebabkan air danau menjadi berwarna hijau. Kasus itu diindikasikan adanya eutrofikasi  air  danau,  yaitu  penumpukan  unsure  hara  secara  berkelebihan  pada
badan  air  danau.  Bentuk  morfologi  danau  dengan  kedalaman  mencapai  165 meter menyebabkan tidak terhindarinya endapan bahan organic dari pakan ikan
yang  terendapkan  di  dasar  danau  yang  secara  alamiah  akan  terdegradasi  secara anaerobic degradasi mikrobiologis pada kondisi tanpa adanya udara yang akan
menghasilkan beberapa gas, diantaranya menimbulkan bau dan beracun. Gas ini akan  keluar  pada  periode  tertentu  tergantung  seberapa  besar  akumulasi  gas  di
dasar danau. Penelitian mengenai kualitas air Danau Maninjau oleh Universitas Bung
Hatta  memperlihatkan  bahwa  sebelum  bulan  Desember  1999  ternyata  suhu  air, kecerahan, pH, O
2
, CO
2
, NH
3
, H
2
SO dan PO
4
mendukung aktivitas budaya ikan keramba apung. Namun kualitas air Danau Maninjau pada bulan Desember 1999
sangat jelek, karena pada waktu itu terjadi peristiwa umbalan pembalikan masa air  akibat  hujan,  angina  dan  arus  air  yang  kencang  sehingga  air  permukaan
mengalami Sindrom Oksigen Terlarut SOT Hafrijal  Sandri, 2004 yang diikuti meningkatnya  kandungan  CO
2
bebas,  NH
3
,  dan  turunnya  pH,  terlepasnya  gas beracun H
2
S dan kekeruhan sangat tinggi.
4.5. Biologi