Analisis Dampak Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap Tingkat Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Aceh

1

ANALISIS DAMPAK PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN
TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DAN PERTUMBUHAN
EKONOMI DI PROVINSI ACEH

ANDRIAN TRI SASONGKO

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

2

3

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Analisis Dampak

Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap Tingkat Kemiskinan dan Pertumbuhan
Ekonomi di Provinsi Aceh adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Andrian Tri Sasongko
NIM H14090025

4

ABSTRAK
ANDRIAN TRI SASONGKO. Analisis Dampak Pembangunan Sektor Pertanian
Terhadap Tingkat Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Aceh.
Dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI.

Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sumber utama
perekonomiannya berasal dari sektor pertanian yang terlihat dari kontribusi
terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan penyerapan tenaga kerja. Dalam 5
tahun terakhir Produk Domestik Regional Bruto sektor pertanian terus mengalami
peningkatan akan tetapi tingkat kemiskinan di Provinsi Aceh masih relatif tinggi
dan pertumbuhan ekonomi mengalami fluktuasi serta lebih rendah dibandingkan
dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu tujuan penelitian ini
adalah menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pembangunan sektor
pertanian dan dampaknya terhadap tingkat kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi
di Provinsi Aceh. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data time
series tahun 1993-2012 yang kemudian diolah dan dianalisis dengan
menggunakan model ekonometrika persamaan simultan. Hasil penelitian
menunjukan bahwa terdapat hubungan antara output pertanian, tingkat
kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi sehingga peningkatan pengeluaran
pemerintah di sektor pertanian dapat menurunkan tingkat kemiskinan dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh.
Kata kunci : Pertanian, Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, Persamaan Simultan

ABSTRACT
ANDRIAN TRI SASONGKO. The Impact Analysis of Agricultural Development

on Poverty and Economics Growth in The Province of Aceh. Supervised by YETI
LIS PURNAMADEWI.
Aceh is one of the provinces in Indonesia which is the main source of the
economy by the agricultural sector which is visible from the contribution to Gross
Regional Domestic Product and labor absorption. In the last 5 years the
agricultural sector Gross Regional Domestic Product continues to increase but the
level of poverty in the province of Aceh are still relatively high and fluctuating
economic growth as well as lower than the growth of the national economy.
Therefore, the study aims to analyze the factors that influence the development of
the agricultural sector and its impact on poverty and economic growth in the
province of Aceh. This study uses secondary data with time series data type from
1993-2012 then processed and analyzed by using a simultaneous equation
econometric models. The results showed that there is a relationship between
agricultural output, poverty, and economic growth so that the increasing of
government spending on the agricultural sector would reduce poverty and
promote economic growth in the Province of Aceh.
Keyword : Agricultural, Poverty, Economics Growth, Simultaneous Equations

5


ANALISIS DAMPAK PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN
TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DAN PERTUMBUHAN
EKONOMI DI PROVINSI ACEH

ANDRIAN TRI SASONGKO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

6


7

Judul Skripsi : Analisis Dampak Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap
Tingkat Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Aceh
Nama
: Andrian Tri Sasongko
NIM
: H14090025

Disetujui oleh

Dr. Yeti Lis Purnamadewi
Pembimbing

Diketahui oleh

Dedi Budiman Hakim, Ph.D
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


8

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Analisis Dampak Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap Tingkat Kemiskinan
dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Aceh”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Yeti Lis Purnamadewi selaku
dosen pembimbing, Bapak Dr. Muhammad Firdaus selaku dosen penguji utama,
dan Bapak Dr. Muhammad Findi selaku dosen penguji komisi pendidikan. Terima
kasih penulis ucapkan kepada Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan
Kementerian Keuangan yang telah menyediakan dan melayani penulis selama
proses pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang
tua dan keluarga penulis, yakni Bapak H. Basiran dan Ibu Hj. Djumiati, S.Pd serta
kakak-kakak dari penulis, yakni Cahyo Priyo Pambudi, S.Kom dan Bayu Aji
Prasetyo, SE atas segala doa dan dukungan yang selalu diberikan. Kepada
Dwinda, Farah, Tiara, dan Adini sebagai teman satu bimbingan sekaligus teman
diskusi dalam penulisan karya ilmiah ini. Kepada sahabat penulis Perdana, Galuh,
Distia, Irman, Rangga, Niken, dan teman-teman Departemen Ilmu Ekonomi 46,

serta seluruh pihak yang telah menyemangati dan selalu mendoakan yang terbaik
bagi penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

Andrian Tri Sasongko

9

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA
Teori Pertumbuhan Ekonomi : Kaitan antara Pembangunan
Sektor Pertanian dengan Pertumbuhan Ekonomi
Konsep Kemiskinan
Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis dan Pengolahan Data
Identifikasi, Validasi, dan Simulasi Model
Definisi Operasional
GAMBARAN UMUM
Kondisi Geografi
Kondisi Kemiskinan
Kondisi Pertumbuhan Ekonomi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kajian Pembangunan Sektor Pertanian Provinsi Aceh
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Output Pertanian

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Dampak Pengeluaran Pemeritah di Sektor Pertanian Terhadap
Tingkat Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
1
6
6
7
7


7
10
11
13
15
16
16
16
18
20
21
23
24
25
29
30
31
32
34
34

35
37
43

10

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Produk Domestik Regional Bruto atas harga tahun konstan 2000
menurut lapangan usaha (miliar rupiah)
Jumlah tenaga kerja menurut lapangan usaha Provinsi Aceh (jiwa)
Identifikasi model dari masing-masing persamaan
Faktor-faktor yang memengaruhi output pertanian
Faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan
Faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi
Nilai validasi variabel endogen pada persamaan simultan
Dampak peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian
sebesar 30 % terhadap output pertanian, kemiskinan, dan
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh

2
3
18
29
30
31
33

33

DAFTAR GAMBAR
1

Persentase jumlah penduduk miskin menurut tempat tinggal
di Provinsi Aceh tahun 2012
2 Persentase tingkat kemiskinan provinsi-provinsi di Indonesia
tahun 2008 dan tahun 2012
3 Grafik fungsi produksi
4 Kurva U terbalik Kuznets (Inverted U curve hypothesis)
5 Kerangka pemikiran operasional
6 Pengeluaran pemerintah Provinsi Aceh di sektor pertanian tahun
2008-2012
7 Peta Provinsi Aceh
8 Persentase kemiskinan Provinsi Aceh dan Indonesia tahun 1993-2012
9 Laju PDRB Provinsi Aceh dan PDB Indonesia tahun 2003-2012
10 Rata-rata persentase luas lahan pertanian menurut penggunaan tahun
1993-2012
11 Rata-rata produktivitas komoditi unggulan subsektor tanaman pangan
tahun 2003-2012
12 Persentase luas lahan sawah menurut jenis pengairan tahun 2003-2012

4
5
10
12
15
20
22
23
24
26
27
28

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil pendugaan faktor-faktor yang memengaruhi output pertanian
2 Hasil pendugaan faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan
3 Hasil pendugaan faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi
4 Nilai dasar simulasi
5 Nilai simulasi

38
39
40
41
42

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang berarti negara yang
mengandalkan sektor pertanian baik sebagai sumber mata pencaharian maupun
sebagai penopang pembangunan. Sektor pertanian meliputi subsektor tanaman
pangan, subsektor hortikultura, subsektor pekebunan, subsektor perikanan,
subsektor peternakan, dan subsektor kehutanan. Pertanian merupakan salah satu
sektor yang sangat dominan dalam pendapatan masyarakat di Indonesia karena
mayoritas penduduk Indonesia bekerja sebagai di sektor pertanian. Era globalisasi
yang akan datang memberikan peluang bagi sektor pertanian untuk berkembang
lebih cepat, tetapi sekaligus memberikan tantangan baru karena komoditas
pertanian harus mempunyai keunggulan daya saing dan kemandirian produk
pertanian sedemikian rupa sehingga produk pertanian mampu bersaing baik di
pasar domestik maupun pasar internasional.
Seiring berkembangnya zaman, sektor pertanian mulai ditinggalkan dan
beralih ke sektor non pertanian seperti sektor industri dan sektor jasa-jasa. Sektor
pertanian sering dianggap hanya sebagai sektor pendukung bagi sektor-sektor non
pertanian, selain itu sektor ini juga kurang mendapat perhatian secara serius dari
pemerintah, mulai dari proteksi, kredit hingga kebijakan lain yang tidak satu pun
menguntungkan bagi sektor pertanian. Padahal di banyak negara sektor pertanian
merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor non pertanian misalnya sektor
industri, karena output yang dihasilkan dari sektor pertanian merupakan pasokan
bahan baku untuk keperluan kegiatan produksi di sektor-sektor non pertanian,
terutama industri pengolahan makanan dan minuman, tekstil, pakaian jadi, serta
barang-barang dari kulit dan farmasi. Selain itu jika melihat kondisi di saat krisis
tahun 1998 maka hanya sektor pertanian satu-satunya sektor yang mampu
bertahan dan memiliki pertumbuhan positif serta masih mampu menyerap tenaga
kerja, maka dari itu sudah seharusnya sektor pertanian ditempatkan pada posisi
prioritas dalam perencanaan pembangunan nasional.
Pembangunan pertanian dianggap penting dalam pembangunan nasional
karena pembangunan pertanian memiliki potensi yang cukup besar terkait dengan
kontribusi terhadap perekonomian nasional. Menurut Jhingan (2000) terdapat
beberapa bentuk kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan dan
pembangunan nasional yaitu: (1) menyediakan surplus pangan yang semakin
besar kepada penduduk yang kian meningkat, (2) meningkatkan permintaan akan
produk industri dan dengan demikian mendorong keharusan diperluasnya sektor
sekunder dan tersier, (3) menyediakan tambahan penghasilan devisa untuk impor
barang-barang modal bagi pembangunan melalui ekspor hasil pertanian secara
terus-menerus, dan (4) memperbaiki kesejahteraan penduduk desa.
Pranadji (1995), menjelaskan bahwa sektor pertanian merupakan leading
sector bagi perekonomian nasional karena pada sektor ini memiliki ciri-ciri: (1)
tangguh, yang bearti unggul dalam persaingan, mampu menghadapi gejolak
ekonomi dan politik, mampu mengatasi goncangan internal dan eksternal serta
memiliki stabilitas yang tinggi sehingga dapat berfungsi sebagai penopang bagi
perekonomian, (2) progresif, yang berarti dapat tumbuh positif secara

2

berkelanjutan tanpa menimbulkan efek negatif terhadap kualitas lingkungan
hidup, dan (3) dominan, yang bearti merupakan sektor andalan yang diukur
dengan volume produksi, peyerapan tenaga kerja, dan pangsa pasar.
Salah satu provinsi di Indonesia yang mengandalkan sektor pertanian
sebagai penopang perekonomian adalah Provinsi Aceh. Provinsi ini memiliki
potensi yang cukup besar pada sektor pertanian karena didukung oleh kondisi
lahan dan agroklimat yang cukup baik. Sektor pertanian mampu berkontribusi
besar dalam pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh. Hal ini dapat dilihat dari share
yang diberikan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) Provinsi Aceh.
Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto atas harga tahun konstan 2000
menurut lapangan usaha (miliar rupiah)
Lapangan Usaha
Pertanian
Pertambangan & Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas & Air Bersih
Konstruksi
Perdagangan, Hotel & Restoran
Pengangkutan & Komunikasi
Keuangan & Jasa Perusahaan
Jasa-jasa
Total PDRB

2008
8 224
(24.12)
5 308
(15.57)
4 118
(12.08)
91
(0.27)
2 162
(6.34)
5 921
(17.36)
2 175
(6.38)
545
(1.60)
5 554
(16.29)
34 098
(100)

2009
8 434
(26.18)
2 798
(8.68)
3 795
(11.78)
104
(0.32)
2 230
(6.92)
6 214
(19.29)
2 281
(7.08)
588
(1.83)
5 776
(17.93)
32 219
(100)

Tahun
2010
8 857
(26.74)
2 610
(7.88)
3 491
(10.54)
122
(0.37)
2 344
(7.08)
6 609
(19.96)
2 431
(7.34)
621
(1.88)
6 034
(18.22)
33 118
(100)

2011
9 349
(26.88)
2 613
(7.51)
3 558
(10.23)
132
(0.38)
2 489
(7.16)
7 060
(20.30)
2 624
(7.54)
661
(1.90)
6 294
(18.10)
34 780
(100)

2012
9 860
(26.94)
2 591
(7.08)
3 594
(9.82)
141
(0.39)
2 669
(7.29)
7 568
(20.68)
2 847
(7.78)
707
(1.93)
6 618
(18.08)
36 599
(100)

Sumber: BPS Provinsi Aceh, 2012
Keterangan: ( ) nilai persentase

Tabel 1 menunjukan kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik
Regional Bruto sebesar 8 224 miliar rupiah (24.12 persen) pada tahun 2008
mengalami peningkatan setiap tahunnya hingga pada tahun 2012 yaitu sebesar 9
860 miliar rupiah (26.94 persen). Kondisi berbanding terbalik dengan yang terjadi
di Indonesia, dimana share sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto
cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2008 sektor pertanian hanya mampu
menyumbang sebesar 284 671 miliar rupiah (13.67 persen) dari total Produk
Domestik Bruto Indonesia. Share dari sektor pertanian di Indonesia terus
mengalami penurunan hingga tahun 2012 yaitu sebesar 327 549 miliar rupiah
(12.51 persen). Peningkatan PDRB sektor pertanian pada kenyataannya kurang

3

mampu memengaruhi pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh, hal ini terlihat pada
nilai total PDRB Provinsi Aceh yang mengalami fluktuasi dan nilai PDRB per
kapita Provinsi Aceh yang lebih kecil dibandingkan dengan PDB per kapita
Indonesia. PDRB per kapita Provinsi Aceh tahun 2008 sebesar 7 907 ribu rupiah,
cenderung mengalami penurunan hingga pada tahun 2012 yaitu sebesar 7 795 ribu
rupiah dengan rata-rata laju PDRB perkapita tahun 2008 sampai dengan 2012
sebesar -1.67 persen. Kondisi berbanding terbalik dengan PDB per kapita
Indonesia yaitu di tahun 2008 sebesar 9 016 ribu rupiah, mengalami peningkatan
setiap tahunnya hingga tahun 2012 yaitu sebesar 10 590 ribu rupiah dengan ratarata laju PDB per kapita sebesar 4.18 persen. Tabel 1 memperlihatkan bahwa
sektor pertanian Provinsi Aceh mempunyai kontribusi terbesar dalam
pertumbuhan ekonomi, hal ini membuktikan bahwa sektor pertanian memiliki
potensi yang besar terhadap perekonomian Provinsi Aceh.
Sektor pertanian merupakan motor penggerak perekonomian masyarakat
Provinsi Aceh, selain itu sektor ini juga merupakan sumber pendapatan bagi
masyarakat terutama masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, dampak dari
rendahnya pendidikan adalah adanya keterbatasan jenis pekerjaan yang bisa
dilakukan. Berdasarkan karakteristik sektor pertanian yang tidak memerlukan
tingkat pendidikan tinggi maka sektor ini merupakan sumber lapangan pekerjaan
utama bagi kebanyakan orang. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sangat
mendominasi dibandingkan tenaga kerja di sektor lainnya, kondisi ini dapat
dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Jumlah tenaga kerja menurut lapangan usaha Provinsi Aceh (jiwa)
Lapangan Usaha
Pertanian
Pertambangan & Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas & Air Bersih
Konstruksi
Perdagangan, Hotel & Restoran
Pengangkutan & Komunikasi
Keuangan & Jasa Perusahaan
Jasa-jasa
Total
Sumber: BPS-RI, 2012
Keterangan: ( ) nilai persentase

2008
786 198
(48.47)
8 660
(0.53)
86 762
(5.35)
2 691
(0.17)
103 816
(6.40)
252 853
(15.59)
88 841
(5.48)
9 427
(0.58)
282 749
(17.43)
1 621 998
(100)

2009
847 095
(48.89)
10 681
(0.62)
80 772
(4.66)
3 902
(0.23)
105 567
(6.09)
264 453
(15.26)
77 903
(4.50)
10 680
(0.62)
331 508
(19.13)
1 732 561
(100)

Tahun
2010
809 788
(45.59)
11 591
(0.65)
77 828
(4.38)
3 630
(0.20)
109 023
(6.14)
314 323
(17.70)
74 456
(4.19)
13 644
(0.77)
361 971
(20.38)
1 776 254
(100)

2011
898 225
(48.49)
11 739
(0.63)
72 509
(3.91)
3 966
(0.21)
113 934
(6.15)
299 183
(16.15)
69 173
(3.73)
25 040
(1.35)
358 704
(19.36)
1 852 473
(100)

2012
842 866
(46.86)
14 171
(0.79)
73 844
(4.11)
3 171
(0.18)
130 746
(7.27)
282 455
(15.70)
72 815
(4.05)
24 763
(1.38)
353 716
(19.67)
1 798 547
(100)

4

Tabel 2 menunjukan bahwa sektor pertanian mampu menyerap hampir
setengah dari total tenaga kerja pada tahun 2008 yaitu 786 198 jiwa (48.47 persen)
dari total tenaga kerja di Provinsi Aceh. Secara umum penyerapan tenaga kerja di
sektor pertanian mengalami fluktuatif yaitu meningkat pada tahun 2009 lalu turun
pada tahun 2010, kemudian jumlah tenaga kerja di sektor pertanian meningkat
kembali pada tahun 2012 dimana jumlah tenaga kerjanya sebesar 842 866 jiwa.
Kondisi ini menunjukan bahwa sektor pertanian mampu menjadi penopang dalam
perekonomian Provinsi Aceh khususnya dalam hal penyerapan tenaga kerja.
Kondisi penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Provinsi Aceh
berbanding terbalik dengan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di
Indonesia. Tenaga kerja sektor pertanian Indonesia tahun 2008 sebesar 41 331 706
jiwa (40 persen) dari total tenaga kerja, penyerapan tenaga kerja pada sektor ini
terus mengalami penurunan setiap tahunnya hingga tahun 2012 yaitu 38 882 134
jiwa (35 persen) dari total tenaga kerja Indonesia.
Sektor pertanian memiliki hubungan yang cukup erat dengan kemiskinan.
Menurut BAPPENAS kemiskinan diartikan ketika seseorang tidak mampu
memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan) dan tidak
adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan,
sanitasi, dan air bersih) serta tidak adanya akses dalam lapangan kerja. Adanya
keterbatasan terhadap ketersediaan lapangan kerja yang dialami oleh penduduk
miskin berbanding terbalik dengan sektor pertanian yang mampu menyediakan
lapangan kerja dalam jumlah yang besar, oleh karena itu terdapat hubungan di
antara kemiskinan dan pertanian. Jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh pada
tahun 2012 sebesar 909 000 jiwa dimana sekitar 171 800 jiwa tinggal di kota dan
737 200 jiwa tinggal di desa.

18.90%
81.10%

Kota
Desa

Sumber: BPS-RI, 2012 (diolah)

Gambar 1 Persentase jumlah penduduk miskin menurut tempat tinggal di
Provinsi Aceh tahun 2012
Persentase jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh lebih banyak dialami
di pedesaan yaitu sebesar 81.10 persen dibandingkan dengan di perkotaan yaitu
sebesar 18.90 persen. Sebagian besar penduduk miskin di pedesaan pada
umumnya bekerja di sektor pertanian. Pada tahun 2008 hingga 2012 rata-rata
persentase masyarakat pedesaan di Provinsi Aceh yang bekerja pada sektor
pertanian adalah sebesar 61.83 persen, sektor jasa 15.20 persen, sektor

5

perdagangan 11.84 persen, sektor bangunan 7.58 persen, sektor industri 4.07
persen selanjutnya sektor pengangkutan, sektor pertambangan, sektor keuangan,
serta sektor listrik dan gas masing-masing sebesar 3.41 persen, 0.88 persen, 0.62
persen, dan 0.03 persen. Kondisi ini menunjukan bahwa sektor pertanian memiliki
kaitan yang erat dengan pedesaan dan kemiskinan.
Tingkat kemiskinan di Provinsi Aceh masih tergolong tinggi. Tingkat
kemiskinan yang tinggi akan berdampak buruk bagi perekonomian, selain itu
kemiskinan yang tinggi juga memiliki pengaruh negatif baik dari sisi sosial
maupun sisi ekonomi. Menurut Centre for Strategic and International Studies
(CSIS) persoalan kemiskinan mengandung beberapa permasalah pokok antara
lain masalah kerentanan, tertutupnya akses terhadap berbagai peluang kerja,
tingginya tingkat ketergantungan, menimbulkan masalah ketidakpercayaaan,
meningkatnya tindakan kriminalitas, rendahnya konsumsi yang akan mengganggu
tingkat kecerdasan, terjadinya ekploitasi yang menuntut kerja keras dalam jam
kerja panjang dengan imbalan rendah, rendahnya kualitas sumberdaya manusia
yang berdampak pada rendahnya produktivitas, menurunkan kualitas lingkungan
dan akhirnya berdampak pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi bahkan dapat
menurunkan pertumbuhan ekonomi jika kemiskinan terjadi secara berkepanjangan
serta dapat menimbulkan kematian.
Tahun 2008

Tahun 2012

Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia

Persen

40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00

Provinsi-provinsi di Indonesia
Sumber: BPS-RI, 2012 (diolah)

Gambar 2 Persentase tingkat kemiskinan provinsi-provinsi di Indonesia tahun
2008 dan tahun 2012
Gambar 2 menunjukan bahwa persentase tingkat kemiskinan di Provinsi
Aceh relatif tergolong tinggi. Persentase tingkat kemiskinan tahun 2008 sebesar
23.53 persen, kondisi ini masih jauh berada di atas persentase tingkat kemiskinan
Indonesia yaitu 15.42 persen. Persentase tingkat kemiskinan Provinsi Aceh
mengalami penurunan pada tahun 2012 yaitu 19.46 persen namun kondisi ini tetap
berada jauh di atas persentase tingkat kemiskinan Indonesia yang juga mengalami

6

penurunan yaitu 11.96 persen. Sektor pertanian yang memiliki kaitan erat dengan
kemiskinan diharapkan mampu mengatasi persoalan ini. Untuk itu perlu adanya
peningkatan produktivitas pertanian melalui inovasi teknologi dan peningkatan
investasi dalam meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan. Produksi
pertanian yang meningkat akan menciptakan pasar bagi barang-barang industri.
Peningkatan permintaan untuk barang-barang industri berdampak pada terjadinya
transfer sumberdaya dari sektor pertanian, kemudian diikuti dengan pertumbuhan
di sektor non pertanian dan pada akhirnya akan memicu meningkatnya
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi (Purnamadewi, 2010).

Rumusan Masalah
Sektor pertanian di Provinsi Aceh dalam 5 tahun terakhir dari tahun ke
tahun terus mengalami peningkatan dengan rata-rata tingkat pertumbuhan sebesar
3.88 persen sebagaimana yang terlihat pada Tabel 1. Produk Domestik Regional
Bruto sektor pertanian pada tahun 2008 sebesar 8 224 miliar rupiah meningkat
menjadi 9 860 miliar rupiah pada tahun 2012. Di samping itu kontribusi sektor
pertanian terhadap perekonomi wilayah dalam kurun waktu tersebut juga terus
mengalami peningkatan, dari 24.12 persen di tahun 2008 menjadi 26.94 persen di
tahun 2012.
Namun demikian di sisi lain, di tahun 2008 sampai dengan 2012 pendapatan
wilayah Provinsi ini mengalami fluktuasi dan pertumbuhan ekonominya relatif
rendah. Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh dalam kurun waktu tersebut
kurang dari 5 persen per tahun, lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi
nasional yang lebih dari 5 persen yang sebagaimana terlihat pada Gambar 9. Di
samping itu, tingkat kemiskinan di Provinsi Aceh relatif tinggi. Persentase tingkat
kemiskinan Provinsi Aceh tahun 2008 sebesar 23.53 persen lebih besar
dibandingkan persentase tingkat kemiskinan Indonesia yaitu 15.42 persen. Pada
tahun 2012 persentase tingkat kemiskinan di Provinsi Aceh mengalami penurunan
menjadi 19.46 persen namun kondisi ini juga masih berada di atas persentase
tingkat kemiskinan Indonesia yaitu sebesar 11.96 persen.
Sehubungan dengan pemaparan fakta dan data tersebut maka permasalahan
pokok yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:
1 Bagaimana kondisi pembangunan sektor pertanian di Provinsi Aceh ?
2 Faktor-faktor apa yang memengaruhi output pertanian, tingkat kemiskinan,
dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh ?
3 Bagaimana dampak pengeluaran pemerintah di sektor pertanian terhadap
output pertanian, tingkat kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Aceh ?

Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1 Mengkaji pembangunan sektor pertanian di Provinsi Aceh.
2 Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi output pertanian, tingkat
kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh.

7

3

Menganalisis dampak pengeluaran di sektor pertanian terhadap output
pertanian, tingkat kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh.

Manfaat Penelitian
1

2

Dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
Memberikan masukan bagi pemerintah Provinsi Aceh dalam mengelola
kebijakan pembangunan khususnya yang berkaitan dengan pembangunan
sektor pertanian.
Menjadi bahan acuan dan referensi bagi peneliti lain yang ingin meneliti
lebih lanjut dan lebih mendalam tentang pertanian, kemiskinan, dan
pertumbuhan ekonomi.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalan penelitian ini adalah Provinsi Aceh dalam kurun waktu
tahun 1993 sampai dengan 2012. Data yang digunakan pada penelitian ini
seluruhnya menggunakan data pada tingkat provinsi. Penelitian ini dilakukan
untuk mengkaji kondisi pembangunan sektor pertanian, mengetahui fakor-faktor
yang memengaruhi output pertanian, tingkat kemiskinan dan pertumbuhan
ekonomi, serta menganalisis dampak pengeluaran di sektor pertanian terhadap
output pertanian, tingkat kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini
menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPSRI), BPS Provinsi Aceh, dan Kementrian Keuangan.

TINJAUAN PUSTAKA
Teori Pertumbuhan Ekonomi : Kaitan antara Pembangunan Sektor
Pertanian dengan Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Tarigan (2005), pertumbuhan ekonomi wilayah adalah
pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu kenaikan
seluruh nilai tambah yang terjadi di suatu daerah. Pertambahan pendapatan itu
diukur dengan nilai riil, artinya dinyatakan dengan harga konstan. Menurut
Boediono (1999), pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses dari kenaikan output
perkapita dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi disini meliputi tiga aspek,
yaitu: (1) Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses yang berkembang atau
berubah dari waktu ke waktu, (2) Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan adanya
kenaikan output perkapita, dalam hal ini ada dua aspek penting yaitu output total
dan jumlah penduduk, dan (3) Pertumbuhan ekonomi dikaitkan dengan perspektif
waktu, suatu perekonomian dikatakan tumbuh bila dalam jangka waktu yang
cukup lama mengalami kenaikan output perkapita.
Teori pertumbuhan ekonomi klasik dipelopori oleh Adam Smith, David
Ricardo, dan Thomas Robert Malthus. Adam Smith mengemukakan bahwa
pertumbuhan ekonomi terjadi dengan adanya penambahan jumlah penduduk.

8

Adam Smith berpendapat bahwa faktor manusia sebagai sumber pertumbuhan
ekonomi. Manusia dengan melakukan spesialisasi akan meningkatkan
produktivitas, Smith bersama dengan Ricardo percaya bahwa batas dan
pertumbuhan ekonomi adalah ketersediaan tanah. Tanah bagi kaum klasik
merupakan faktor yang tetap. Kaum klasik juga yakin bahwa pertumbuhan
ekonomi dapat berlangsung akibat adanya pembentukan akumulasi modal. Teori
pertumbuhan ekonomi klasik berkembang menjadi teori neoklasik yang dipelopori
oleh Harrod-Domar dan Robert Solow. Harror-Domar beranggapan modal harus
dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh
peranan pembentukan modal tersebut. Berdasarkan beberapa teori pertumbuhan
ekonomi yang ada maka dapat diambil kesimpulan terdapat empat faktor
pertumbuhan ekonomi yaitu sumber daya manusia (pendidikan, disiplin,
motivasi), sumber daya alam (tanah, mineral, bahan bakar), pembentukan modal
(mesin, pabrik, jalan), dan teknologi (sains, rekayasa, dan manajemen).
Model Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan
persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi
berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pegaruhnya terhadap output
barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan. Penawaran barang dalam model
Solow didasarkan pada fungsi produksi. Fungsi produksi merupakan hasil akhir
dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan. Di
bidang pertanian, untuk menghasilkan output maka digunakan beberapa faktor
produksi sekaligus seperti tanah, bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja dan
teknologi. Pembangunan sektor pertanian dalam penelitian ini diwujudkan dengan
meningkatkan pengeluaran pada sektor pertanian, dimana pengeluaran ini
merupakan bentuk investasi. Jika investasi di sektor pertanian yang dilakukan
oleh pemerintah lebih besar dibandingkan dengan penyusutannya maka akan
terjadi peningkatan akumulasi persediaan modal sehingga akan berdampak pada
peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan asumsi pertumbuhan investasi di
sektor lainnya tetap sebagaimana terlihat pada Gambar 3. Kondisi ini dapat
dijelaskan secara lebih rinci sebagai berikut:
Solow menyatakan bahwa output bergantung pada persediaan modal dan
angkatan kerja:
Y = F(K,L)
Model Solow mengasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki skala
pengembalian konstan atau skala hasil konstan (constan return to scale). Fungsi
produksi memiliki skala pengembalian yang konstan jika
zY = F(zK, zL)
dengan z bernilai positif. Jika modal dan tenaga kerja dikalikan dengan z maka
output yang dihasilkan juga dikalikan dengan z. Fungsi produksi dengan
pengembalian konstan digunakan untuk menganalisis seluruh variabel dalam
perekonomian dengan dibandingkan jumlah tenaga kerja. Kemudian z = 1/L
dimasukkan dalam persamaan di atas untuk mendapatkan
Y/L = F(K/L, 1)
Persamaan ini menunjukkan bahwa jumlah output per pekerja Y/L adalah fungsi
dari jumlah modal per pekerja K/L. Asumsi skala pengembalian konstan
menunjukkan bahwa besarnya perekonomian sebagaimana diukur oleh jumlah
pekerja tidak memengaruhi hubungan antara output per pekerja dan modal per
pekerja. Karena besarnya perekonomian tidak menjadi masalah, maka cukup

9

beralasan untuk menyatakan seluruh variabel dalam istilah per pekerja. Jika
seluruh variabel dilambangkan dengan huruf kecil dimana y = Y/L adalah output
per pekerja dan k = K/L adalah modal per pekerja maka akan didapatkan fungsi
produksi sebagai berikut:
y = f(k)
dimana f(k) didefinisikan sebagai F(k,1). Kemiringan dari fungsi produksi ini
menunjukkan berapa banyaknya output tambahan yang dihasilkan seorang pekerja
ketika mendapatkan satu unit modal tambahan. Angka yang diperoleh merupakan
produk marjinal modal MPK, secara sistematis dapat ditulis sebagai berikut:
MPK = f(k + 1) – f(k)
Gambar 3 memperlihatkan ketika jumlah modal meningkat, kurva fungsi
produksi menjadi lebih datar, yang mengindikasikan bahwa fungsi produksi
mencerminkan produk marjinal modal yang kian menurun. Ketika k rendah, ratarata pekerja hanya memiliki sedikit modal untuk bekerja, sehingga satu unit modal
tambahan begitu berguna dan dapat memproduksi banyak output tambahan.
Ketika k tinggi, rata-rata pekerja memiliki banyak modal, sehingga satu unit
modal tambahan hanya sedikit meningkatkan produksi.
Permintaan terhadap barang dalam model Solow berasal dari konsumsi dan
investasi, dengan kata lain output per pekerja merupakan konsumsi per pekerja (c)
dan investasi per pekerja (i):
y=c+i
Persamaan ini adalah versi per pekerja dari identitas perhitungan pendapatan
nasional untuk suatu perekonomian tanpa memasukan belanja pemerintah dan
ekspor bersih karena diasumsikan perekonomian tertutup. Model Solow
mengasumsikan bahwa setiap tahun orang menabung sebagian s dari pendapatan
mereka dan mengkonsumsi sebagian (1-s) yang dinyatakan dalam fungsi
konsumsi sederhana:
c = (1-s)y
di mana s tingkat tabungan yang bernilai antara nol dan satu. Kebijakan
pemerintah secara potensial dapat memengaruhi tingkat tabungan nasional,
sehingga salah satu tujuan disini adalah mencari berapa tingkat tabungan yang
diinginkan. Untuk melihat apakah fungsi konsumsi berpengaruh terhadap
investasi, substitusikan (1-s)y kepada c dalam identitas perhitungan pendapatan
nasional:
y = (1-s)y + i
kemudian diubah lagi menjadi
i = sy
persamaan ini menunjukan bahwa investasi sama dengan tabungan dan tingkat
tabungan s juga merupakan bagian dari output yang menunjukan investasi. Jadi
model solow memperkenalkan dua muatan utama yaitu fungsi produksi dan fungsi
konsumsi, di mana fungsi produksi y = f(k) menentukan berapa produksi yang
diproduksi perekonomian dan tingkat tabungan s menentukan alokasi output itu di
antara konsumsi dan investasi.
Untuk memasukan depresiasi ke dalam model, maka diasumsikan bahwa
sebagian tertentu dari persediaan modal
menyusut setiap tahun. Dampak
investasi dan depresiasi terhadap persediaan modal dapat dinyatakan sebagai
berikut:
k=i– k

10

di mana k adalah perubahan persediaan modal antara satu tahun tertentu dengan
tahun berikutnya. Karena investasi sama dengan sf(k), maka persamaan menjadi
k = sf(k) – k
semakin tinggi persediaan modal semakin besar jumlah output dan investasi,
namun semakin tinggi persediaan modal semakin besar pula jumlah depresiasinya.
f(k), sf(k),
f(k)

c

sf(k)

i
k
Sumber: Mankiw, 2006

Gambar 3 Kurva fungsi produksi

Konsep Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa
dimiliki seseorang seperti makanan, air minum, pakaian, dan tempat berlindung,
hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga
berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu
mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai
warga negara.
Menurut Suryawati (2005), kemiskinan dapat dibedakan dalam empat
pengertian antara lain:
1 Kemiskinan absolut adalah situasi dimana seseorang hanya dapat memenuhi
makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal yang sangat diperlukan
untuk mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.
2 Kemiskinan natural adalah keadaan kemiskinan yang dialami seseorang
secara turun-temurun, kelompok masyarakat ini miskin karena tidak
memiliki sumber daya yang memadai, baik sumber daya alam, sumber daya
manusia, maupun sumber daya pembangunan lainnya sehingga mereka tidak
dapat ikut serta aktif dalam pembangunan.
3 Kemiskinan struktural adalah keadaan kemiskinan yang disebabkan karena
hasil pembangunan yang tidak seimbang. Salah satu contoh yang termasuk
ke dalam kelompok yang mengalami kemiskinan struktural adalah petani
yang memiliki tanah yang kecil dan hasilnya tidak cukup menghidupi
keluarganya, buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih serta pengusaha
tanpa modal dan fasilitas dari pemerintah.

11

4

Kemiskinan kultural mengacu kepada sikap seseorang atau masyarakat yang
disebabkan oleh gaya hidup dan budayanya, mereka merasa sudah
berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat ini tidak
mudah diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mudah melakukan
perubahan, menolak mengikuti perkembangan, dan tidak mau berusaha
untuk memperbaiki tingkat kehidupannya.
Kemiskinan dapat pula bersifat mutlak ataupun nisbi. Kemiskinan mutlak
adalah apabila orang miskin tidak dapat mencukupi kebutuhan fisiknya seperti
pangan, pakaian, dan tempat tinggal. Kemiskinan nisbi yaitu relatif terhadap
orang yang lebih mampu dan berkaitan dengan kesenjangan. Di negara sedang
berkembang banyak terdapat kemiskinan mutlak, banyak orang yang benar-benar
kelaparan seperti di Sudan dan Somalia. Sedangkan di negara maju ada juga
kemiskinan mutlak tapi sebagian besar adalah kemiskinan nisbi.
Menurut Bank Dunia penyebab dasar kemiskinan adalah kegagalan
kepemilikan terutama tanah dan modal, terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan
dasar, sarana dan prasarana, kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias
sektor, adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem
yang kurang mendukung, adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan
antara sektor ekonomi, rendahnya produktivitas dalam masyarakat, budaya hidup
yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam, tidak
adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik, pengelolaan sumber daya alam
yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan. Bank dunia menggambarkan
“sangat miskin” sebagai orang yang hidup dengan pendapatan kurang dari US $1
perhari dan “miskin” dengan pendapatan kurang dari US $2 perhari. Indonesia
mengikuti ukuran garis kemiskinan yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS) yakni kebutuhan makanan dan minimum 2100 kalori per orang setiap hari.

Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan
Menurut Lypsey dan Steiner (2005) terdapat tiga pendekatan yang dapat
digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi yaitu: (1) Pendekatan nilai
tambah, artinya penjumlahan dari semua nilai tambah, (2) Pendekatan
pengeluaran, dan (3) Pendekatan penerimaan. Pendekatan yang digunakan untuk
menghitung pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini adalah pendekatan
penerimaan. Menghitung pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan ini dapat
dinotasikan dalam bentuk PDRB = sewa + upah + bunga + laba. Sewa adalah
pendapatan pemilik faktor produksi tetap seperti tanah, upah untuk tenaga kerja,
bunga untuk pemilik modal, dan laba untuk pengusaha. Peningkatan pendapatan
yang terjadi khususnya pada penduduk miskin maka akan berdampak pada
peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat
berakibat buruk kepada kaum miskin, karena mereka akan tergilas dan
terpinggirkan oleh perubahan struktural pertumbuhan modern. Di samping itu
terdapat beberapa pendapat bahwa pengeluaran publik yang digunakan untuk
menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk
mempercepat pertumbuhan. Konsentrasi penuh untuk mengurangi kemiskinan
akan memperlambat tingkat pertumbuhan.

12

Terdapat beberapa alasan mengapa kebijakan yang ditujukan untuk
mengurangi kemiskinan tidak harus memperlambat laju pertumbuhan antara lain :
1 Kemiskinan yang meluas menciptakan kondisi yang membuat kaum miskin
tidak mempunyai akses terhadap pinjaman kredit dan tidak mampu
membiayai pendidikan anaknya. Mereka beranggapan mempunyai banyak
anak merupakan sumber keamanan keuangan di masa tuanya nanti, sehingga
faktor ini menyebabkan pertumbuhan per kapita menjadi kecil.
2 Pendapatan rendah dan standar hidup buruk yang dialami oleh golongan
miskin dapat menurunkan produktivitas ekonomi mereka dan akibatnya
secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan perekonomian
tumbuh lambat.
3 Peningkatan tingkat pendapatan golongan miskin akan mendorong kenaikan
permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan lokal, sementara
golongan kaya cenderung membelanjakan pendapatannya untuk barangbarang impor. Meningkatnya permintaan barang-barang lokal memberikan
rangsangan lebih besar pada produksi lokal, memperbesar kesempatan kerja
lokal dan menumbuhkan investasi lokal.
Berdasarkan pemaparan di atas maka pertumbuhan ekonomi yang cepat dan
penanggulangan kemiskinan bukanlah tujuan yang saling bertentangan. Contoh di
Negara Cina, dengan angka pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia Cina mampu
menurunkan tingkat kemiskinan yang paling drastis. Oleh karena itu, kita dapat
simpulkan bahwa pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan merupakan dua
tujuan yang bisa dicapai secara bersamaan (Todaro dan Smith, 2006).
Kuznets (1955) meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan
ketimpangan pendapatan, hasilnya ada suatu hubungan antara pertumbuhan
ekonomi dengan ketimpangan pendapatan, yang kemudian dikenal dengan
hipotesis kurva U terbalik (Inverted U-curve Hypothesis).

Sumber: Todaro dan Smith, 2006

Gambar 4 Kurva U terbalik Kuznets (Inverted U-curve Hypothesis)
Berdasarkan hipotesis Kuznets tersebut, ketimpangan pendapatan dalam
suatu negara akan meningkat pada tahap awal pertumbuhan ekonominya,

13

kemudian pada tahap menengah cenderung tidak berubah dan akhirnya menurun
ketika negara tersebut sejahtera.
Terdapat beberapa argumen mengenai hubungan antara pertumbuhan
ekonomi dan ketimpangan yang mengatakan bahwa laju pertumbuhan yang tinggi
tidak selalu memperburuk distribusi pendapatannya. Pada kenyatannya hubungan
mengenai pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan distribusi pendapatan memiliki
bentuk hubungan yang berbeda-beda di setiap negara, yang semuanya itu
tergantung pada proses pembangunan yang dijalankan di masing-masing negara.
Contohnya seperti Taiwan dan Korea Selatan, kedua negara tersebut mengalami
laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan distribusi pendapatan rakyatnya
mengalami perbaikan. Kondisi berbeda pada negara-negara seperti Meksiko dan
Panama yang mengalami pertumbuhan ekonomi dengan cepat tetapi hal itu
disertai dengan semakin memburuknya kondisi distribusi pendapatan. Di pihak
lain, laju pertumbuhan yang rendah ternyata tidak selalu berkaitan dengan dengan
perbaikan distribusi pendapatan contohya di negara-negara berkembang seperti
India, Peru, dan Filipina. Negara-negara seperti Sri lanka, Kolombia, Kosta Rika,
dan El Salvador mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang sama rendahnya,
namun mereka berhasil memperbaiki kesejahteraan ekonomi penduduknya yang
berpendapatan rendah.
Pertumbuhan ekonomi tidak terdapat hubungan yang langsung dan positif
terhadap tingkat perbaikan pemerataan. Hal ini mengacu pada karakter
pertumbuhan ekonomi, yaitu bagaimana cara mencapainya, siapa yang berperan
serta, sektor-sektor mana saja yang mendapat prioritas, lembaga-lembaga apa
yang menyusun dan lain sebagainya yang menentukan apakah pertumbuhan
ekonomi memengaruhi perbaikan taraf kehidupan masyarakat miskin atau tidak.
Fakta-fakta yang ada menunjukan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang
cepat tidak dengan sendirinya diikuti oleh perbaikan distribusi pendapatan bagi
seluruh penduduk.

Penilitian Terdahulu
Arega D. Alene dan Ousmane Coulibaly (2008) dalam penelitian yang
berjudul “The Impact of Agricultural Research on Productivity and Poverty in
Sub-Saharan Africa” dengan menggunakan metode persamaan simultan. Variabel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah produktivitas pertanian, tenaga kerja,
irigasi, alat-alat pertanian, PDB per kapita, lahan per tenaga kerja, pengeluaran
pemerintah, investasi, jumlah penduduk desa, jumlah penduduk miskin serta
dummy wilayah Afrika Barat dan Afrika Tengah. Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa dengan melakukan pembangunan di sektor pertanian seperti melakukan
riset penelitian dan pengembangan teknologi modern dapat meningkatkan
pertumbuhan produktivitas yang ditunjukan oleh kenaikan pendapatan perkapita.
Akibat adanya kenaikan pendapatan perkapita maka pada akhirnya secara
signifikan akan berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan.
Kalangi, L.S (2006) dalam penelitian yang berjudul “Dampak Investasi di
Sektor Pertanian dan Agroindustri dalam Penyerapan Tenaga Kerja dan Distribusi
Pendapatan” dengan menggunakan pendekatan SAM (Social Accounting Matrix)
menyatakan bahwa investasi untuk meningkatan output sektor pertanian memiliki

14

dampak yang lebih besar terhadap faktor produksi tenaga kerja dan peningkatan
pendapatan rumah tangga. Persentase penyerapan tenaga kerja terbesar untuk
sektor pertanian terdapat pada sektor tanaman pangan. Berdasarkan skenario yang
dilakukan Kalangi, injeksi penanaman modal pada sektor pertanian, agroindustri
dan sektor produksi lainnya baik yang berasal dari dalam negeri maupun asing
memberikan dampak yang positif bagi peningkatan faktorial, rumah tangga,
sektor produksi itu sendiri maupun sektor produksi lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Hermanto Siregar dan Dwi Wahyu Winarti
(2006) yang berjudul “Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan
Jumlah Penduduk Miskin” bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis
pengaruh serta dampak dari pertumbuhan ekonomi terhadap jumlah penduduk
miskin Indonesia, hal ini dilakukan karena jumlah penduduk miskin akibat krisis
belum berhasil dikurangi bahkan cenderung meningkat. Penelitian ini
menggunakan data panel dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kemiskinan, PDRB, tingkat inflasi, jumlah lulusan tingkat SMP, SMA, agrishare,
industri share, dan dummy krisis. Kesimpulan dari penelitian adalah bahwa
pertumbuhan ekonomi tidak hanya mampu mengurangi kemiskinan suatu daerah
melainkan memiliki efek ke bawah (tickle down effect).
Dwi Muslianti (2011) dalam penelitian yang berjudul “Dampak Kebijakan
Fiskal Daerah Terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Masa Desentralisasi
Fiskal”. Penelitian ini menggunakan persamaan simultan dengan metode 3sls.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji kondisi kinerja dan faktor-faktor yang
memengaruhi fiskal daerah, output daerah dan kemiskinan di Indonesia serta
menganalisis skenario kebijakan fiskal daerah dalam mengurangi kemiskinan di
Indonesia. Hasil yang diperoleh dalam penelitian yaitu sebagian besar provinsi
memiliki ketergantungan pada sektor pertanian yang terlihat dari relatif besarnya
proporsi PDRB pertanian. Faktor-faktor yang memengaruhi fiskal daerah, output
daerah dan kemiskinan adalah 1) penerimaan pajak dipengaruhi oleh jumlah
penduduk miskin, PDRB, kesenjangan fiskal dan lag penerimaan pajak, 2)
penerimaan BHPBP dipengaruhi oleh PDRB dan lag BHPBP, 3) PDRB
dipengaruhi oleh tenaga kerja masing-masing sektor dan beberapa jenis
pengeluaran daerah, dan 4) jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh distribusi
pendapatan, PDRB masing-masing sektor, jumlah penduduk miskin dan lag
jumlah penduduk miskin.
Whisnu Adhi Saputra (2011) dalam penelitian yang berjudul “Analisis
Pengaruh Jumlah Penduduk, PDRB, IPM, Pengangguran terhadap Tingkat
Kemiskinan di Kabupaten dan Kota Jawa Tengah”. Model regresi yang digunakan
adalah metode analisis regresi linier berganda dengan menggunakan Panel Data.
Hasil pendugaan tingkat kemiskinan memiliki nilai R-squared sebesar 0.609.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel Jumlah Penduduk berpengaruh
positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah, PDRB
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah,
Indeks Pembangunan Manusia berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
tingkat kemiskinan di Jawa Tengah, dan Pengangguran berpengaruh negatif dan
tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah.

15

Kerangka Pemikiran
Sektor pertanian merupakan motor penggerak perekonomian Aceh karena
sektor ini menjadi tumpuan masyarakat luas. Selain berkontribusi besar terhadap
Produk Domestik Regional Bruto, sektor ini juga mampu menyerap tenaga kerja
dalam jumlah yang besar. Sektor pertanian menjadi tumpuan masyarakat luas
karena merupakan sumber pendapatan. Peningkatan output pertanian akan
berdampak pada peningkatan pendapatan para petani atau masyarakat pedesaan
yang sebagian besar merupakan penduduk miskin. Peningkatan tingkat
pendapatan penduduk miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk
kebutuhan rumah tangga buatan lokal. Meningkatnya permintaan barang-barang
lokal memberikan rangsangan lebih besar pada produksi lokal atau mendorong
diperluasnya sektor sekunder dan tersier (non pertanian) sehingga berdampak
pada peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal.
Berdasarkan uraian di atas, maka dibuat model persamaan output pertanian,
tingkat kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan
model persamaan simultan untuk melihat dampak pengeluaran di sektor pertanian
terhadap output pertanian, tingkat kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Secara
grafis kerangka pemikiran operasional dapat digambarkan pada gambar 5.
Perekonomian

Kontribusi Terhadap PDRB
Penyerapan Tenaga Kerja

Sektor Pertanian

Sektor Non Pertanian

Lahan Pertanian
Tenaga Kerja Pertanian
Pengeluaran Sektor Pertanian

Output Pertanian
Pendapatan Petani/
Masyarakat Pedesaan

Kemiskinan

Output Non Pertanian

Pertumbuhan Ekonomi

Jumlah Pengangguran
Upah Minimum Provinsi

Total Belanja Pemerintah
Ekspor

Keterangan:
Menunjukan alur penelitian
Tidak diteliti dalam penelitian
Merupakan variabel endogen
Merupakan variabel eksogen
Gambar 5 Kerangka pemikiran operasional

16

Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara atau kesimpulan yang diambil untuk
menjawab permasalahan yang diajukan dalam suatu penelitian yang kebenarannya
harus diuji secara empiris. Berikut adalah hipotesis-hipotesisnya:
1 Tenaga kerja pertanian, luas lahan pertanian, dan pengeluaran pemerintah di
sektor pertanian berpengaruh positif terhadap output pertanian.
2 Output pertanian dan upah minimum provinsi berpengaruh negatif terhadap
tingkat kemiskinan sedangkan jumlah pengangguran berpengaruh positif
terhadap tingkat kemiskinan.
3 Jumlah penduduk miskin berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi sedangkan total belanja pemerintah dan ekspor berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan ekonomi.

METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data deret waktu
(time series) periode tahun 1993 sampai dengan 2012. Data yang dikumpulkan
yaitu berupa data PDRB sektor pertanian, jumlah tenaga kerja sektor pertanian,
luas lahan pertanian, pengeluaran pemerintah di sektor pertanian, jumlah
penduduk miskin, jumlah penganguran, upah minimum provinsi, total PDRB,
total belanja pemerintah, dan ekspor. Data dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik
Republik Indonesia (BPS-RI), BPS Provinsi Aceh dan Kementrian Keuangan.
Selain itu referensi diambil juga dari jurnal-jurnal, internet, dan perpustakaan IPB.

Metode Analisis dan Pengolahan Data
Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis secara deskriptif dan
kuantitatif. Metode deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan
dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna.
Metode ini digunakan untuk memberikan penjelasan mengenai perkembangan
pembangunan sektor pertanian di Provinsi Aceh. Metode analisis data kuantitatif
yaitu dengan mem