Dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja sektor pertanian dan kemiskinan perdesaan di Indonesia

(1)

DISERTASI

DWI HARYONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

DAMPAK INDUSTRIALISASI PERTANIAN

TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN

DAN KEMISKINAN PERDESAAN

DI INDONESIA


(2)

DWI HARYONO. The Impact of Agricultural Industrialization to Agricutural Sector Performance and Rural Poverty in Indonesia (MANGARA TAMBUNAN as Chairman, RINA OKTAVIANI and HERMANTO SIREGAR as Members of the Advisory Committee).

Agricultural industrialization can be aproached through supply side and demand side. From supply side, agricultural industrialization is interpreted through incremental productivity. This research is designed to measure the impact of productivity improvement of agricultural industry (agroindustry) on economic sector performance, macroeconomic, household income, and rural poverty.

This research use a data base on Input-Output (I-O) Table and Social Accounting Matrix (SAM) of Indonesia 2003 developed by Central Bureau of Statistic. The main analysis used is recursive dynamic of Computable General Equilibrium (CGE) Model (CGE-AGRINDO Model) while poverty case is analyzed by using Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index.

The policy simulation result shows that productivity improvement of agroindustry has strong affects on total output industry. If the productivity improvement of agroindustry is followed by productivity improvement of agriculture and financial institution, almost all sectors would increase in total output. In turn, the increase of total output will result in a decrease in output selling price, on the other hand it will increase labor absorbtion. The productivity improvement affects the macroeconomic performance which indicated by real GDP improvement. This condition also affects the increasing in inflation acceleration. The productivity improvement contributes to an impact on rural and urban household’s income. The household of agricultural labor on rural area receives the biggest benefit, on the contrary the househod of nonagricultural labor at upper level on urban area receives the smallest benefit.

The productivity improvement has a positive impact on poverty alleviation in rural and urban household, indicated by a decreasing head-count index, poverty gap index, and poverty severity index.

Considering the productivity improvement of agroindustry contributes to a positive impact on industrial sector performance, the study suggests that some stages are needed to push productivity improvement through labor productivity improvement, efficiency improvement of capital used, and other input. The productivity improvement of agroindustry should be followed by productivity improvement in related sectors (agricultural sector as a raw material supplier and financial institution as a support institution). If the steps can be implemented, the income improvement as a main subject of economic development can be achieved sooner.

Considering the model used in this research is a CGE recursive dynamic, further research to build a CGE full dynamic model is needed. It also needs an update of support data, such as the parameters and elasticities resulted from the research and the other most recent empirical data.


(3)

DWI HARYONO. Dampak Industrialisasi Pertanian terhadap Kinerja Sektor Pertanian dan Kemiskinan Perdesaan di Indonesia (MANGARA TAMBUNAN sebagai Ketua, RINA OKTAVIANI dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Industrialisasi pertanian dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan dari sisi penawaran (supply) dan dari sisi permintaan (demand). Dari sisi penwaran, industrialisasi pertanian dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak peningkatan produktivitas industri pertanian (agroindustri) terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan. Dampak yang sama juga dianalisis jika peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan.

Data yang digunakan adalah Tabel Input-Output (I-O) dan Social Accounting Matrix (SAM) Indonesia tahun 2003, serta data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2002 yang disusun oleh Badan Pusat Statistik. Selain itu, juga diperlukan data makroekonomi dan sektoral serta parameter-parameter dugaan dari sistem persamaan yang didapat dari penelitian sebelumnya. Model Computable General Equilibrium (CGE) recursive dynamic

digunakan sebagai alat analisis utama. Model CGE yang digunakan adalah Model Agroindustri Indonesia (CGE-AGRINDO) yang diperoleh dengan cara mengkombinasikan model CGE ORANI-F, INDOF, WAYANG, dan ORANIGRD. Model CGE-AGRINDO bersama-sama dengan data penunjang lainnya diolah dengan menggunakan program GEMPACK, sedangkan untuk menganalisis insiden kemiskinan digunakan Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index. Dalam penelitian ini dilakukan tiga simulasi kebijakan, yaitu: (1) peningkatan produktivitas agroindustri, (2) peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian, dan (3) peningkatan produktivitas agroindustri dan sektor pertanian diikuti oleh peningkatan produktivitas lembaga keuangan

Hasil simulasi kebijakan menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas agroindustri berdampak positif terhadap jumlah output yang dihasilkan. Apabila peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas


(4)

iv

peningkatan jumlah output. Peningkatan produktivitas agroindustri berdampak pada penurunan harga output hanya di sektor agroindustri, sedangkan harga output di sektor lainnya justru mengalami peningkatan. Peningkatan produktivitas agroindustri, sektor pertanian dan lembaga keuangan secara bersamaan berdampak terhadap penurunan harga output pada hampir seluruh sektor dan mempunyai dampak yang bervariasi dalam penyerapan tenaga kerja. Peningkatan penyerapan tenaga terdidik (skilled) lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja tidak terdidik (unskilled), sebaliknya penurunan penyerapan tenaga kerja terdidik lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja tidak terdidik.

Peningkatan produktivitas agroindustri, sektor pertanian dan lembaga keuangan berdampak positif terhadap kinerja ekonomi makro, yang ditunjukkan oleh terjadinya peningkatan PDB riil. Namun demikian, peningkatan produktivitas agroindustri memicu peningkatan laju inflasi, kondisi sebaliknya akan terjadi apabila peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan.

Peningkatan produktivitas agroindustri berdampak positif terhadap redistribusi pendapatan dari kelompok rumahtangga golongan atas kepada kelompok rumahtangga golongan bawah, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Apabila peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian, maka pendapatan seluruh rumahtangga perdesaan meningkat, sedangkan pendapatan rumahtangga golongan atas di perkotaan akan menurun. Peningkatan produktivitas agroindustri, sektor pertanian dan lembaga keuangan secara bersamaan berdampak negatif terhadap pendapatan rumahtangga golongan rendah, sebaliknya kelompok rumahtangga golongan atas mengalami peningkatan pendapatan.

Peningkatan produktivitas agroindustri berdampak positif terhadap pengurangan tingkat kemiskinan perdesaan, kondisi sebaliknya terjadi di perkotaan, kecuali pada kelompok rumahtangga golongan bawah. Kondisi serupa akan terjadi apabila peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian. Peningkatan produktivitas agroindustri, sektor pertanian dan lembaga keuangan secara bersamaan berdampak negatif terhadap tingkat kemiskinan rumahtangga pertanian dan


(5)

v

dan rumahtangga golongan atas mendapat manfaat (benefit) yang lebih besar. Berdasarkan hasil simulasi nampak bahwa apabila hanya ditinjau dari aspek pengendalian laju inflasi, maka upaya peningkatan produktivitas agroindustri justru akan memberikan dampak negatif. Namun demikian, apabila dilihat dari dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat, maka peningkatan produktivitas agroindustri yang diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian, merupakan pilihan yang strategis untuk dilakukan, mengingat manfaat terbesar dari upaya ini akan dinikmati oleh masyarakat golongan miskin di perdesaan tanpa merugikan masyarakat golongan atas di perkotaan.

Mengingat model yang digunakan hanya bersifat recursive dynamic, maka diperlukan penelitian lanjutan untuk menghasilkan model ekonomi keseimbangan umum yang full dynamic. Selain itu juga perlu dilakukan pemutakhiran (update) data pendukung seperti nilai-nilai parameter dan elastisitas, yang bersumber dari hasil-hasil penelitian dan data empiris terbaru.


(6)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya yang berjudul

“DAMPAK INDUSTRIALISASI PERTANIAN TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN DAN KEMISKINAN PERDESAAN DI INDO-NESIA” merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjuk rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Seluruh sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Nopember 2008

Dwi Haryono NRP. A161030051


(7)

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik

atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

DAMPAK INDUSTRIALISASI PERTANIAN

TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN

DAN KEMISKINAN PERDESAAN

DI INDONESIA

DWI HARYONO

DISERTASI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Sektor Pertanian dan Kemiskinan Perdesaan di Indonesia

Nama Mahasiswa : Dwi Haryono Nomor Pokok : A161030051

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. Anggota

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Anggota

Mengetahui, 2. Ketua Program Studi

Ilmu Ekonomi Pertanian

3. Dekan

Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: 27 Oktober 2008 Tanggal Lulus:


(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc.


(11)

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Desember 1961 di Sragen Jawa Tengah, merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari Bapak Slamet Siswosudarmo (Almarhum) dan Ibu Soetinah (Almarhumah). Penulis menikah dengan Ir. Ninik Satyaningwati pada tahun 1988 dan dikaruniai tiga orang anak, yaitu Shinta Nareswari (1989), Seto Brahmanto (1994), dan Bimo Husodo (1999). Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Banaran I Sragen pada tahun 1975, pada tahun 1977 menamatkan pendidikan menengah pertama pada SMPN II Sragen, dan pada tahun 1981 menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN I Sragen. Melalui saringan masuk Proyek Perintis II tahun 1981, penulis meneruskan studi di Institut Pertanian Bogor. Gelar Sarjana Pertanian Program Studi Agribisnis diperoleh pada tahun 1985 dan pada tahun 1991 memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2003 penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan studi Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sejak tahun 1987 penulis bekerja sebagai Staf Pengajar pada Program Studi Ekonomi Pertanian/Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung sampai sekarang.


(12)

Puji dan Syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya disertasi yang berjudul “Dampak Industrialisasi Pertanian terhadap Kinerja Sektor Pertanian dan Kemiskinan Perdesaan di Indonesia” dapat diselesaikan. Judul ini dipilih dilatarbelakangi oleh jumlah penduduk dan angkatan kerja di perdesaan yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Di lain pihak luas lahan pertanian cenderung berkurang, sehingga mengakibatkan tenaga kerja di sektor pertanian menjadi semakin tidak produktif. Oleh karena itu, industrialisasi pertanian merupakan pilihan yang sangat strategis untuk menciptakan lapangan kerja produktif guna menekan angka kemiskinan yang sekaligus mampu meningkatkan kinerja sektor pertanian di perdesaan.

Pada kesempatan ini diucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc., Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. dan Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. selaku komisi pembimbing, yang telah memberikan arahan dan bimbingan terutama mengenai pemodelan, pengolahan data, penyajian dan konsistensi dalam penyusunan disertasi.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Endang Gumbira Sa’id, MA.Dev. selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka, yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan disertasi ini.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta para Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana


(13)

atas arahan, bimbingan dan ilmu yang diberikan kepada penulis.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor Universitas Lampung dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor di Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB, khususnya angkatan 2003, yang senantiasa menjadi teman diskusi yang baik. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa penghuni Wisma Beldes Darmaga Bogor dan rekan-rekan alumni Sosek IPB tahun masuk 1982, yang telah memberikan bantuan, pengertian dan dorongan semangat untuk mempercepat penyelesaian studi.

Terima kasih diucapkan terutama untuk isteriku Ir. Ninik Satyaningwati, ketiga anakku Shinta Nareswari, Seto Brahmanto dan Bimo Husodo, mertuaku Ibu Siti Aminah, serta seluruh keluarga di Lampung, Jakarta, Sragen, Solo dan Temanggung atas kesabaran, do’a, dorongan semangat, korbanan dan kasih sayangnya.

Disadari sepenuhnya bahwa disertasi ini memiliki banyak kelemahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga disertasi ini bermanfaat. Amin.

Bogor, Nopember 2008 Dwi Haryono


(14)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14

1.3.1. Tujuan Penelitian ... 14

1.3.2. Manfaat Penelitian ... 14

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 18

2.1. Pembangunan Pertanian ... 18

2.2. Industrialisasi Pertanian ... 26

2.3. Kemiskinan dan Kemiskinan Perdesaan ... 35

2.3.1. Konsep dan Ukuran Kemiskinan ... 35

2.3.2. Kemiskinan Perdesaan ... 44

2.4. Model Ekonomi Keseimbangan Umum ... 47

2.4.1. Properties Kondisi Keseimbangan Umum ... 53

2.4.2. Keseimbangan Produksi ... 54

2.4.3. Keseimbangan Konsumsi ... 57

2.4.4. Keseimbangan Simultan di Sektor Produksi dan Konsumsi ... 58

2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 59

III. KERANGKA TEORI ... 69

3.1. Model Pembangunan Dua Sektor ... 69


(15)

xiii

3.2.1. Strategi Industrialisasi Substitusi Impor ... 81

3.2.2. Strategi Industrialisasi Promosi Ekspor ... 83

3.3. Agricultural-Demand-Led Industrialization ... 88

3.4. Dampak Peningkatan Produktivitas ... 90

3.5. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitan ... 93

IV. METODE PENELITIAN ... 96

4.1. Jenis dan Sumber Data ... 96

4.2. Metode Analisis ... 96

4.3. Struktur Model ... 97

4.4. Elastisitas dan Parameter Lainnya ... 115

4.5. Agregasi Sektor Rumahtangga dan Input Lainnya ... 116

4.6. Analisis Kemiskinan ... 117

4.7. Diagram Alur Penelitian ... 123

4.8. Simulasi Kebijakan ... 125

V. MEMBANGUN DATA DASAR MODEL KESEIMBANGAN UMUM ... 130

5.1. Tabel Input Output Indonesia Tahun 2003 ... 130

5.1.1. Struktur Input-Output ... 131

5.1.2. Agregasi dan Disagregasi Sektor ... 133

5.1.3. Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi ... 142

5.2. Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 147

5.3. Klasifikasi Rumahtangga ... 150

5.4. Klasifikasi Tenaga Kerja ... 151

5.5. Pendapatan Atas Lahan dan Modal ... 155

5.6. Penyusunan Matriks-Matriks Pajak ... 156

5.7. Elastisitas dan Parameter Lain ... 159

5.8. Prosedur yang Digunakan Untuk Membangun Data Dasar Model Keseimbangan Umum Agroindustri ... 170

5.8.1. Membangun Data Dasar ... 170


(16)

xiv

5.8.3. Agregasi Data Dasar ... 175

5.8.4. Pengujian Keseimbangan Data Dasar ... 175

VI. DAMPAK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERHADAP KINERJA EKONOMI, PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN TINGKAT KEMISKINAN ... 186

6.1. Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral ... 186

6.2. Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Kinerja Makroekonomi ... 194

6.3. Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Pendapatan Rumahtangga ... 198

6.4. Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Kemiskinan ... 201

6.4.1. Insiden Kemiskinan ... 204

6.4.2. Kedalaman Kemiskinan ... 209

6.4.3. Keparahan Kemiskinan ... 212

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 214

7.1. Kesimpulan ... 214

7.2. Implikasi Kebijakan ... 216

7.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 218

DAFTAR PUSTAKA ... 219


(17)

Nomor Halaman 1. Tenaga Kerja dan Nilai Output Sektor Pertanian dan Industri

Pengolahan di Indonesia, Tahun 2000-2006 ... 2

2. Jumlah Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan ... 8

3. Nilai Besaran Shock Peningkatan Produktivitas Industri Pertanian ... 128

4. Nilai Besaran Shock Peningkatan Produktivitas Sektor Pertanian dan Lembaga Keuangan ... 128

5. Share Untuk Disagregasi Sektor Tanaman Kacang-Kacangan ... 136

6. Share Untuk Disagregasi Sektor Tanaman Umbi-Umbian ... 137

7. Share Untuk Disagregasi Sektor Tanaman Perkebunan Lainnya ... 137

8. Share Untuk Disagregasi Sektor Industri Pengolahan dan Pengawetan Makanan ... 138

9. Share Untuk Disagregasi Sektor Industri Barang Karet dan Plastik ... 139

10. Agregasi Sektor dalam Penelitian (38 Sektor) berdasarkan Tabel I-O Tahun 2003 Klasifikasi 72 Sektor ... 140

11. Indeks Keterkaitan ke Depan dan ke Belakang Sektor Ekonomi yang Diteliti ... 145

12. Tabel SNSE Secara Sederhana ... 148

13. Pengelompokan Sektor Ekonomi yang Diteliti dari Tabel Input- Output dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Tahun 2003 ... 149

14. Pengeluaran Kelompok Rumahtangga terhadap Sektor-Sektor Perekonomian Dalam Model KESEIMBANGAN UMUM-AGRINDO ... 152 15. Pembayaran Upah Tiap Sektor Berdasarkan Jenis Pekerjaan, Tahun 2003 ... 154

16. Pendapatan Lahan dan Modal, Tahun 2003 ... 155

17. Penerimaan Perpajakan Pemerintah, Tahun 2003 ... 157


(18)

xvi

Nomor Halaman 19. Parameter Elastisitas Pengeluaran Rumahtangga yang Digunakan

dalam Model ... 164 20. Nilai PDB Indonesia Dari Sisi Pengeluaran dan Sisi Pendapatan,

Tahun 2003 ... 178 21. Nilai Penjualan Setiap Sektor Dirinci Menurut Jenisnya, Tahun 2003 179 22. Biaya Produksi Setiap Sektor Dirinci Menurut Jenisnya, Tahun 2003 181 23. Komponen Data Dasar 38 Sektor ... 183 24. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap

Jumlah Output Sektoral ... 187 25. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap

Harga Output Sektoral ... 189 26. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap

Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral ... 191 27. Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Tingkat Upah Tenaga

Kerja ... 192 28. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap

Beberapa Variabel Makroekonomi ... 196 29. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap

Pendapatan Riil Rumahtangga ... 199 30. Beberapa Kriteria Garis Kemiskinan ... 203 31. Karakteristik Pendapatan Rumahtangga Dirinci Menurut

Kelompok Rumahtangga ... 204 32. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap

Insiden Kemiskinan ... 206 33. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap

Kedalaman Kemiskinan ... 210 34. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap


(19)

Nomor Halaman

1. Pergeseran Kurva Kemungkinan Produksi ... 9

2. Pergeseran Kurva Penawaran dengan Kurva Permintaan yang Tidak Elastis ... ... 10

3. Sistem Agribisnis ... 31

4. Keterkaitan antara Sektor Pertanian dan Sektor Industri ... 34

5. Rasio Gini dan Kurva Lorenz ... 42

6. Poverty Gaps dan FGT Indeks ... 43

7. Keseimbangan Ekonomi Makro dalam Model Keseimbangan Umum 53 8. Diagram Kotak Edgeworth pada Kasus Dua Komoditi dan Dua Faktor Produksi ... 54

9. Production Possibility Curve ... 55

10. Keseimbangan Simultan Sektor Produksi dan Konsumsi ... 58

11. Model Dua Sektor Lewis ... 72

12. Model Dua Sektor Fei-Ranis ... 76

13. Perubahan Struktur Ekonomi ... 80

14. Argumen Industri Muda ... 82

15. Keuntungan Perdagangan Melalui Konsep Keunggulan Komparatif . 86 16. Garis Perubahan Teknologi... 92

17. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian ... 94

18. Struktur Produksi ... 99

19. Struktur Pembentukan Investasi dan Barang Modal ... 106

20. Spesifikasi Konsumsi Rumahtangga ... 107

21. Diagram Alur Penelitian ... 124


(20)

xviii

23. Perhitungan Nilai Stok Kapital ... 166 24. Trend Investasi dan Suku Bunga di Indonesia, Tahun 1993-2002 ... 169 25. Tahap I Dalam Membangun Data Dasar Model Keseimbangan Umum

Agroindustri Indonesia ... 174 26. Tahap II Dalam Membangun Data Dasar Model Keseimbangan

Umum Agroindustri Indonesia ... 176 27. Tahap III Dalam Membangun Data Dasar Model Keseimbangan

Umum Agroindustri Indonesia ... 177 28. Closure Makroekonomi yang Digunakan Dalam Penelitian ... 195


(21)

Nomor Halaman 1. Pangsa Input Antara Sektor Ekonomi yang Diteliti ... 231 2. Input File Tablo dalam Penelitian ... 237 3. Closure Penelitian ... 270 4. Dampak Peningkatan Produktivitas Industri Pertanian terhadap Harga


(22)

1.1. Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini dapat diukur dari pangsa sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, pengentasan kemiskinan, perolehan devisa melalui ekspor non migas, penciptaan ketahanan pangan nasional dan penciptaan kondisi yang kondusif bagi pembangunan sektor lain. Selain itu, sektor pertanian juga berperan sebagai penyedia bahan baku dan pasar yang potensial bagi sektor industri.

Pada saat perekonomian nasional dilanda krisis, ternyata sektor pertanian terbukti mampu menjadi penyangga ekonomi nasional. Pengalaman krisis multidimensi tahun 1997-1998 memberikan pelajaran berharga betapa strategisnya sektor pertanian sebagai jangkar, peredam gejolak, dan penyelamat bagi sistem perekonomian nasional. Sementara itu, sektor-sektor lainnya mengalami keterpurukan sebagai akibat krisis ekonomi tersebut, terutama industri yang banyak komponen impornya (foot loose industries).

Sepanjang tahun 2000-2006, lebih dari 40 juta jiwa atau sekitar 44 persen angkatan kerja di Indonesia menggantungkan pekerjaan pada sektor pertanian. Namun demikian, apabila dilihat dari sumbangannya terhadap PDB pada periode yang sama, ternyata sektor pertanian hanya mampu memberikan kontribusi sekitar 15 persen (Tabel 1).

Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian masih relatif rendah. Pada gilirannya tingkat kesejahteraan


(23)

rumahtangga yang menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian juga menjadi relatif lebih rendah. Sementara itu, peran sektor industri terhadap perekonomian nasional menunjukkan gejala yang cukup menggembirakan. Menurut Oktaviani dan Sahara (2005), sektor industri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu agroindustri dan nonagroindustri. Secara umum definisi agroindustri adalah industri yang bahan bakunya berasal dari hasil pertanian. Sementara itu, menurut Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI), yang termasuk dalam agroindustri meliputi kegiatan yang mengolah bahan dan kegiatan yang menyediakan sarana produksi pertanian (misalnya benih, pupuk dan pestisida). Tabel 1. Tenaga Kerja dan Nilai Output Sektor Pertanian dan Industri Pengolahan

di Indonesia, Tahun 2000-2006

Tahun

Tenaga Kerja

(Juta Jiwa) PDB

a/

(Milyar Rupiah)

Pertanian Industri Pertanian Agroindustri Non Agroindustri

Total Industrib/

2000 40.5

(45.1) 11.7 (13.0) 216 831 (15.60) 240 677 (17.32) 90 641 (6.52) 331 318 (23.84)

2001 39.7

(43.8) 12.1 (13.3) 225 686 (15.64) 242 783 (16.83) 104 646 (7.25) 347 429 (24.08)

2002 40.6

(44.3) 12.1 (13.2) 232 973 (15.47) 247 686 (16.45) 119 523 (7.93) 367 209 (24.38)

2003 42.0

(46.2) 10.9 (12.0) 240 387 (15.24) 260 507 (16.52) 181 248 (11.49) 441 755 (28.01)

2004 40.6

(43.3) 11.1 (11.8) 247 164 (14.92) 269 949 (16.30) 200 003 (12.07) 469 952 (28.37)

2005 41.8

(44.3) 11.7 (12.3) 253 726 (14.49) 279 049 (15.94) 212 373 (12.13) 491 422 (28.07)

2006 40.1

(42.1) 11.9 (12.5) 261 296 (14.15) 291 505 (15.79) 222 687 (12.06) 514 192 (27.84)

Sumber: BPS (2007).

Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase.

a/

PDB dihitung atas dasar harga konstan tahun 2000.

b/

Industri yang dimaksud disini merupakan industri non migas Pada Tabel 1, nampak bahwa apabila dikaji dari kontribusinya terhadap PDB Indonesia selama tahun 2000-2006, maka sektor industri menyumbang lebih


(24)

dari 24 persen, dimana lebih dari separuhnya merupakan sumbangan subsektor agroindustri. Dalam hal penyerapan tenaga kerja, sektor industri mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 12 juta jiwa selama tahun 2000-2002, walaupun pada tahun 2003 sempat mengalami penurunan menjadi hanya 10.9 juta jiwa dan meningkat kembali pada tahun-tahun berikutnya.

Transformasi struktur perekonomian dari dominasi sektor pertanian ke dominasi sektor industri menghendaki adanya kaitan yang kuat antara sektor pertanian dan sektor industri. Melalui keterkaitan tersebut, diharapkan nilai tambah komoditas pertanian dan penyerapan tenaga kerja menjadi semakin meningkat. Selain itu, melalui keterkaitan tersebut proses industrialisasi dapat berjalan mulus karena industri yang dikembangkan menggunakan bahan baku yang tersedia.

Dewasa ini, dan terlebih lagi di masa yang akan datang, orientasi sektor pertanian telah berubah dari orientasi produksi kepada orientasi pasar. Dengan berlangsungnya perubahan preferensi konsumen yang makin menuntut atribut produk yang lebih rinci dan lengkap serta adanya preferensi konsumen akan produk olahan, maka motor penggerak sektor pertanian harus berubah dari usahatani kepada industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri). Menurut Departemen Pertanian (2002), untuk mengembangkan sektor pertanian yang modern dan berdaya saing, maka agroindustri harus menjadi lokomotif dan sekaligus penentu kegiatan subsektor usahatani dan selanjutnya akan menentukan subsektor agribisnis hulu.

Menurut Departemen Pertanian (2005a), paling sedikit ada lima alasan utama mengapa agroindustri penting untuk menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional masa depan, yakni karena hal-hal berikut:


(25)

1. Industri pengolahan mampu mentransformasikan keunggulan komparatif menjadi keunggulan bersaing (kompetitif), yang pada akhirnya akan memperkuat daya saing produk agribisnis Indonesia.

2. Produknya memiliki nilai tambah dan pangsa pasar yang besar, sehingga kemajuan yang dicapai dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian nasional secara keseluruhan.

3. Memiliki keterkaitan yang besar, baik ke hulu maupun ke hilir (forward and backward linkages), sehingga mampu menarik kemajuan sektor-sektor lainnya. 4. Memiliki basis bahan baku lokal (keunggulan komparatif) yang dapat

diperbaharui sehingga terjamin sustainabilitasnya.

5. Memiliki kemampuan untuk mentransformasikan struktur ekonomi nasional dari pertanian ke industri dengan agroindustri sebagai motor penggeraknya. Berdasarkan grand strategy pengembangan agroindustri yang telah disusun oleh Departemen Pertanian (2005b), program pengembangan agroindustri diarahkan untuk hal-hal berikut:

1. Mengembangkan cluster industri, yakni industri pengolahan yang terintegrasi dengan sentra-sentra produksi bahan baku serta sarana penunjangnya.

2. Mengembangkan industri pengolahan skala rumahtangga dan kecil yang didukung oleh industri pengolahan skala menengah dan besar.

3. Mengembangkan industri pengolahan yang mempunyai daya saing tinggi untuk meningkatkan ekspor dan memenuhi kebutuhan dalam negeri. Adapun prioritas utama pengembangan agroindustri difokuskan pada sinergi antara keunggulan komparatif sumberdaya dengan orientasi pasar, yakni: (1) industri pengolahan hasil perkebunan seperti industri pengolahan minyak sawit dan kelapa, industri kakao olahan, industri gula, industri biji mete olahan, industri


(26)

kopi bubuk/instan, dan industri teh olahan, (2) industri pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura seperti industri buah dan sayur dalam kaleng, industri minuman sari buah, industri tepung tapioka dan derivatnya, industri pakan ternak, dan industri makanan ringan, (3) industri pengolahan hasil peternakan seperti industri susu olahan, industri daging dalam kaleng, dan industri penyamakan kulit, serta (4) industri pengolahan hasil ikutan/samping seperti industri agrocomposting, industri pakan ternak, industri coco fiber dan

coco peat, industri karbon aktif, industri minuman dari buah jambu mete, dan lain-lain.

Namun demikian, selama ini proses industrialisasi di Indonesia berjalan masih sangat lambat. Hal ini terlihat antara lain dari semakin senjangnya ekonomi desa-kota. Dualisme ekonomi desa-kota telah mengakibatkan kota menjadi pusat segala-galanya dan ekonomi perdesaan hanyalah pendukung ekonomi perkotaan. Dalam jangka panjang apabila dualisme ekonomi desa-kota tidak dapat diatasi, maka dapat dipastikan akan muncul masalah lain yang lebih rumit, seperti urbanisasi besar-besaran, rusaknya kultur asli bangsa seperti gotong royong dan kekeluargaan, kriminalitas yang meningkat, serta semakin melebarnya kesenjangan pendapatan dalam masyarakat. Masyarakat kaya pemilik modal di perkotaan akan semakin kaya, sementara itu penduduk miskin di perdesaan semakin bertambah besar (Departemen Pertanian, 2005a).

Pengembangan agroindustri dapat menjadi pilihan yang strategis dalam menanggulangi permasalahan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di perdesaan. Hal ini disebabkan oleh adanya kemampuan yang tinggi dari sektor agroindustri dalam hal perluasan kesempatan kerja. Pengembangan agroindustri yang berbasis pada masyarakat perdesaan merupakan sektor yang sesuai untuk menampung


(27)

banyak tenaga kerja dan menjamin perluasan berusaha, sehingga akan efektif dalam upaya meningkatkan perekonomian masyarakat perdesaan. Berkembangnya agroindustri juga akan meningkatkan penerimaan devisa dan mendorong terjadinya keseimbangan pendapatan antara sektor pertanian dan nonpertanian. Dengan demikian, kebijakan pembangunan agroindustri diharapkan mampu menggerakkan perekonomian masyarakat di wilayah produksi pertanian dan mendorong penawaran hasil-hasil pertanian untuk kebutuhan agroindustri.

Dalam kaitannya dengan peran agroindustri dalam menurunkan kemiskinan perdesaan, Gandhi et al. (2001) melakukan studi tentang pembangunan agroindustri untuk petani kecil dan perdesaan di India. Hasil studi menunjukkan bahwa sektor agroindustri mampu memberikan sumbangan yang besar terhadap kesempatan kerja. Peran sektor agroindustri dalam mendorong kegiatan pembangunan dan menurunkan kemiskinan perdesaan dicerminkan oleh kemampuannya dalam peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja perdesaan, khususnya bagi kelompok petani berlahan sempit.

Stanton (2000) melakukan studi tentang peran agroindustri dalam peningkatan pendapatan masyarakat perdesaan di Mexico. Hasil studi menunjukkan bahwa perusahaan agroindustri pada tingkat lokal mampu menghasilkan nilai tambah dan selanjutnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat perdesaan. Sementara itu, Holloway et al. (2000) melakukan studi tentang industrialisasi pertanian melalui inovasi biaya transaksi kelembagaan, koperasi dan pengembangan pasar susu di pegunungan Timur Afrika. Hasil studi menunjukkan bahwa kegiatan produksi susu untuk pasar lokal mampu menciptakan pendapatan yang tinggi. Salah satu aspek penting dari keberhasilan


(28)

industri pertanian adalah peran lembaga pemasaran bersama yang mampu menekan biaya transaksi.

Beberapa studi di atas relevan dengan kondisi di Indonesia. Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 2000, sebagian besar (60 persen) penduduk Indonesia masih bertempat tinggal di kawasan permukiman perdesaan, yang dicirikan antara lain oleh rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja dan masih tingginya tingkat kemiskinan.

Kemiskinan merupakan fenomena yang terjadi hampir di semua negara sedang berkembang. Kemiskinan muncul karena ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Kondisi ini menyebabkan menurunnya kualitas sumberdaya manusia, sehingga produktivitas dan pendapatan yang diperolehnya rendah. Lingkaran kemiskinan terus terjadi, karena dengan penghasilan yang rendah tidak mampu mengakses sarana pendidikan, kesehatan dan nutrisi secara baik, sehingga menyebabkan kualitas SDM dari aspek intelektual dan fisik rendah, akibatnya produktivitasnya rendah. Selain itu, rendahnya kualitas SDM menyebabkan kelompok ini tersisih dari persaingan ekonomi, politik, sosial budaya dan psikologi, sehingga semakin tidak mampu mendapatkan kesempatan yang baik dalam sistem sosial ekonomi masyarakat (Sumedi dan Supadi, 2004).

Walaupun pembangunan ekonomi yang dilaksanakan selama ini secara signifikan telah berhasil mengurangi jumlah dan proporsi penduduk miskin di Indonesia, namun terpaan krisis moneter yang berlanjut menjadi krisis ekonomi menyebabkan keterpurukan ekonomi yang kembali mencuatkan jumlah dan proporsi penduduk miskin, terutama di perdesaan. Fenomena di atas secara jelas disajikan pada Tabel 2.


(29)

Tabel 2. Jumlah Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan

Tahun

Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan)

Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan Jumlah (juta) Persentase (%) Kota Desa Kota Desa Kota +

Desa Kota Desa Kota +

Desa

1996a/ 42 032 31 366 9.6 24.9 34.5 13.6 19.9 17.7

1998b/ 96 959 72 780 17.6 31.9 49.5 21.9 25.7 24.2

1999c/ 92 409 74 272 15.7 32.7 48.4 19.5 26.1 23.5

2000c/ 91 632 73 648 12.3 26.4 38.7 14.6 22.4 19.1

2001c/ 110 011 80 382 8.6 29.3 37.9 9.8 24.8 18.4

2002c/ 130 499 96 512 13.3 25.1 38.4 14.5 21.1 18.2

2003c/ 138 803 105 888 12.2 25.1 37.3 13.6 20.2 17.4

2004c/ 143 455 108 725 11.4 24.8 36.1 12.1 20.1 16.7

2005c/ 150.799 117.259 12.4 22.7 35.1 11.7 20.0 16.0

2006c/ 174.290 130.584 14.5 24.8 30.3 13.5 21.8 17.8

Sumber: BPS (2007)

Keterangan: a/ Menggunakan garis kemiskinan menurut definisi BPS tahun 1998.

b/

Menggunakan data Susenas Desember 1998 (khusus).

c/

Menggunakan data Susenas Reguler.

Pada Tabel 2, nampak bahwa dari 30.3 juta penduduk miskin (17.8 persen dari total penduduk), lebih dari 24 juta orang miskin tersebut berada di daerah perdesaan, yang umumnya terlibat atau berhubungan dengan sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa di satu sisi sektor pertanian memiliki potensi ekonomi dan sumberdaya yang melimpah, namun di lain pihak petani yang merupakan konstituen terbesar masih terjerat kemiskinan.

Dengan penduduk dan angkatan kerja perdesaan yang terus bertambah, sementara luas lahan pertanian cenderung berkurang, maka penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian menjadi semakin tidak produktif. Oleh karena itu, industrialisasi pertanian merupakan pilihan yang strategis untuk menciptakan lapangan kerja produktif guna menekan angka kemiskinan yang sekaligus mampu meningkatkan kinerja sektor pertanian di perdesaan. Berkenaan dengan hal ini, maka perlu dilakukan kajian yang mendalam tentang dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja sektor pertanian dan kemiskinan perdesaan.


(30)

1.2. Perumusan Masalah

Proses industrialisasi pertanian di Indonesia telah dilakukan semenjak lama, yang kemudian mendapat penekanan pada tahun 1970-an yang dikenal dalam pembangunan pertanian melalui ”revolusi hijau” untuk pangan padi dan ekspansi tanaman perkebunan berskala kecil dan menengah. Proses industrialisasi telah memperkenalkan keragaman jenis teknologi mulai dari bibit unggul, pengolahan hasil pertanian, teknologi pasca panen, pergudangan, alat pertanian, dan sebagainya. Semua itu telah merubah kinerja sektor pertanian, seperti penambahan jumlah output yang dihasilkan.

Peningkatan jumlah output yang dihasilkan oleh sektor pertanian tersebut dimungkinkan karena adanya introduksi teknologi di sektor yang bersangkutan. Secara agregat, dampak perubahan teknologi digambarkan sebagai faktor penggeser Kurva Kemungkinan Produksi (KKP) ke kanan, yang secara grafis dapat dilihat pada Gambar 1.

Komoditas Pertanian Tanaman Pangan (Q1)

KKPt2

KKPt1

Komoditas Pertanian

0 Non Pangan (Q2)


(31)

Pada Gambar 1, nampak bahwa dengan adanya perubahan teknologi di sektor pertanian akan menggeser KKP ke kanan dari KKPt1 ke KKPt2. Hal ini

menunjukkan bahwa dengan sumberdaya yang ada, maka akan diperoleh jumlah output sektor pertanian, baik komoditas pertanian tanaman pangan (Q1) maupun

komoditas pertanian non pangan (Q2), yang lebih besar.

Dengan terjadinya peningkatan produksi komoditas pertanian seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, diharapkan pendapatan petani dapat ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan pendekatan pembangunan pertanian yang selama ini dilakukan oleh pemerintah yaitu peningkatan produksi komoditas pertanian, yang ditempuh melalui empat usaha pokok (catur usaha) yaitu intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi. Namun demikian, mengingat permintaan komoditas pertanian yang bersifat tidak elastis, maka peningkatan produksi komoditas pertanian justru akan menurunkan penerimaan (revenue) yang diterima oleh petani. Secara grafis, fenomena tersebut secara jelas disajikan pada Gambar 2.

P S1

S2

A P1

B P2

D

0 Q1 Q2 Q

Gambar 2. Pergeseran Kurva Penawaran dengan Kurva Permintaan yang Tidak Elastis


(32)

Pada Gambar 2, nampak bahwa penerimaan mula-mula sebesar segiempat OP1AQ1. Pergeseran kurva penawaran (S) dari S1 ke S2 (dengan kurva permintaan

D yang inelastis), maka penerimaan petani menjadi sebesar segiempat OP2BQ2

yang lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan semula (OP2BQ2 < OP1AQ1).

Dengan penerimaan yang relatif lebih rendah di satu pihak, di pihak lain biaya produksi usahatani yang semakin meningkat atau setidaknya tidak berubah, maka pendapatan petani justru akan mengalami penurunan.

Secara empiris, hal tersebut di atas ditunjukkan oleh hasil penelitian Ratnawati et al. (2004) bahwa peningkatan produktivitas pertanian akan menurunkan harga output di tingkat petani berkisar antara 0.28 persen (untuk komoditas hasil kebun lain) sampai 10.08 persen (untuk komoditas tebu). Lebih lanjut ditemukan bahwa kenaikan produktivitas pertanian juga akan menurunkan pendapatan rumahtangga perdesaan berkisar antara 2.10 persen (untuk rumahtangga berpendapatan tinggi di sektor nonpertanian di perdesaan) sampai 3.10 persen (untuk rumahtangga petani pemilik lahan > 1.0 hektar).

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut di atas adalah dengan peningkatan kegiatan-kegiatan industri pengolahan hasil pertanian (industrialisasi pertanian). Melalui industrialisasi pertanian diharapkan selain mampu meningkatkan nilai tambah (value added) juga akan meningkatkan permintaan terhadap komoditas pertanian sebagai bahan baku industri pengolahan hasil pertanian. Peningkatan produksi komoditas pertanian yang diimbangi oleh peningkatan permintaannya, diharapkan akan mampu meningkatkan penerimaan petani, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.


(33)

Masalah lain yang dihadapi dalam pembangunan pertanian adalah belum terpadunya pengelolaan pertanian sebagai suatu sistem agribisnis secara utuh, mulai dari subsistem sarana produksi, usahatani, pengolahan hasil, sampai dengan subsistem pemasaran, serta subsistem lembaga penunjang. Dampak dari kondisi ini adalah tingkat kesejahteraan petani dari waktu ke waktu tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Padahal tujuan pembangunan pertanian pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

Salah satu tolok ukur untuk mengukur dinamika kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Hasil penelitian Siregar (2003) menunjukkan bahwa secara agregat NTP mempunyai tendensi (trend) yang menurun (negatif) yaitu sebesar –0.68 persen per tahun. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa secara riil tingkat kesejahteraan petani dari tahun ke tahun justru mengalami penurunan. Hal ini selaras dengan data yang dipublikasikan oleh BPS (2007) yang menunjukkan bahwa pada tahun 2006 dari total penduduk miskin di Indonesia yang berjumlah 30.3 juta jiwa, sebanyak 81.85 persen (24.8 juta jiwa) bermukim di kawasan perdesaan, yang sebagian besar dari mereka bermata pencaharian sebagai petani.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan utama penelitian ini adalah sejauh mana dampak industrialisasi pertanian, khususnya dampak kemajuan teknologi yang ditandai oleh peningkatan produktivitas industri pertanian, terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan belum banyak dilakukan kajian. Selama ini alat analisis yang digunakan untuk memecahkan permasalahan tersebut masih bersifat parsial, seperti yang dilakukan oleh Susilowati (2007) dan Justianto (2005) yang menggunakan pendekatan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi


(34)

(SNSE). Demikian juga halnya dengan Yudhoyono (2004), Herjanto (2003) dan Asnawi (2005) yang menggunakan pendekatan model makroekonometrika. Padahal permasalahan tersebut bersifat multi sektor yang akan membawa implikasi yang cukup luas, tidak hanya pada sektor industri pertanian, tetapi juga pada sektor-sektor perekonomian lainnya, terutama pada sektor pertanian dan kemiskinan perdesaan. Oleh karena itu, pendekatan yang paling sesuai adalah dengan model ekonomi keseimbangan umum atau Computable General Equilibrium (CGE) .

Keunggulan model CGE dibandingkan dengan model keseimbangan parsial adalah bahwa model CGE sudah memasukkan semua transaksi antar pelaku-pelaku ekonomi secara keseluruhan, baik di pasar faktor produksi maupun di pasar komoditas. Dengan demikian dampak dari suatu kebijakan akan dapat dianalisis pengaruhnya secara kuantitatif terhadap kinerja ekonomi, baik secara makro maupun sektoral.

Dibandingkan dengan model SNSE, model CGE selain sudah memasukkan persamaan nonlinier, juga sudah memasukkan harga sebagai variabel endogen. Selain itu, dalam model CGE juga sudah memasukkan kemungkinan substitusi antar faktor produksi, sehingga jika terjadi perubahan harga relatif suatu faktor produksi, maka produsen merubah komposisi penggunaan faktor produksi ke arah faktor produksi yang harganya relatif lebih murah. Sementara itu, pada model SNSE sistem persamaan yang digunakan adalah persamaan linier dengan anggapan model Leontief, substituasi antar faktor tidak dimungkinkan, dan harga merupakan variabel eksogen. Perbedaan yang cukup mendasar lain adalah pada model SNSE diasumsikan penawaran komoditas dan faktor produksi elastis sempurna, sedangkan pada model CGE diasumsikan


(35)

adanya pembatasan supply. Dibandingkan dengan model makroekonometrika bahwa dengan model CGE hubungan antara makroekonomi dan mikroekonomi dapat diketahui, sementara itu pada model makroekonometrika bahwa analisis dan dampak dilakukan di tingkat makroekonomi saja.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja sektor pertanian dan kemiskinan perdesaan. Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Mengkaji dampak peningkatan produktivitas industri pertanian terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan.

2. Mengkaji dampak peningkatan produktivitas industri pertanian dan sektor pertanian terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan.

3. Mengkaji dampak peningkatan produktivitas industri pertanian, sektor pertanian dan sektor lembaga keuangan terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Penelitian terapan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memperkaya informasi atau pengetahuan dan menyediakan analisis yang mendalam mengenai dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi


(36)

makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan. Hal ini karena selama ini belum terdapat kajian industrialisasi pertanian yang dikaitkan dengan kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan secara mendalam, dengan mengagregasikan sektor-sektor dalam perekonomian dan rumahtangga. Selain itu, model yang dibentuk dalam penelitian ini adalah model CGE recursive dynamic yang belum banyak diaplikasikan untuk kasus Indonesia.

Secara khusus manfaat penelitian ini adalah diperolehnya sebuah model CGE yang recursive dynamic dengan data dasar model menggunakan data dari tabel Input Output (I-O) dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) Indonesia. Selain itu, model ini juga menggunakan data makroekonomi dan parameter terbaru yang mencerminkan kondisi perekonomian Indonesia pada masa kini dan tertangkapnya dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam lingkup nasional (Indonesia) dengan mengkaji dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan. Industrialisasi pertanian yang dimaksud didekati dari sisi supply yaitu peningkatan produktivitas, baik produktivitas sektor industri pertanian maupun produktivitas sektor pertanian (sebagai pemasok bahan baku) dan produktivitas sektor lembaga keuangan (sebagai lembaga penunjang). Dampak terhadap kinerja ekonomi sektoral mencakup perubahan jumlah output, harga output dan penyerapan tenaga


(37)

kerja. Adapun dampak terhadap kinerja ekonomi makro meliputi pertumbuhan GDP riil, konsumsi rumahtangga, investasi, ekspor, impor, neraca perdagangan dan inflasi.

Model CGE yang digunakan adalah model CGE recursive dynamic, yang merupakan kombinasi dari model CGE ORANI-F (Horridge et al., 1993), INDOF (Oktaviani, 2000), WAYANG (Wittwer, 1999), dan ORANIGRD (Horridge, 2002). Simulasi kebijakan dilakukan untuk jangka waktu selama 10 tahun yaitu tahun 2003-2013.

Sektor industri pertanian yang dicakup dalam penelitian ini dibatasi pada 10 jenis industri, yaitu: (1) industri pengolahan hasil peternakan, (2) industri pengolahan hasil perikanan, (3) industri minyak dan lemak, (4) beras (industri penggilingan padi), (5) industri tepung segala jenis, (6) industri gula, (7) industri rokok, (8) industri bambu, kayu dan rotan, (9) industri pupuk dan pestisida, serta (10) industri pengolahan karet. Pemilihan sektor industri pertanian ini didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, agroindustri yang tercakup kedalam 10 industri prioritas pembangunan industri nasional seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Kesepuluh industri prioritas ini selanjutnya dijabarkan lebih lanjut oleh Departemen Perindustrian sebagai kebijakan nasional pembangunan industri (Departemen Perindustrian, 2005). Kedua, agroindustri yang berbahan baku sektor pertanian terpilih. Ketiga, agroindustri yang mempunyai prospek untuk dikembangkan di masa datang, berdasarkan sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), nilai ekspor dan penyerapan angkatan kerja.

Keterbatasan penelitian ini adalah model yang digunakan tidak memasukkan blok mobilitas lahan (land mobility). Selain itu, terdapat beberapa


(38)

parameter yang diadopsi dari studi-studi sebelumnya untuk negara lain, karena parameter-parameter tersebut di Indonesia sebagai negara berkembang tidak tersedia.


(39)

2.1. Pembangunan Pertanian

Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan sosial. Implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk mengembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial,

politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement),

pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal dan Sudaryanto, 2008).

Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang berjudul “Getting Agriculture Moving” dijelaskan secara sederhana dan gamblang

tentang syarat pokok dan syarat pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat pokok pembangunan pertanian meliputi: (1) adanya pasar untuk hasil-hasil usahatani, (2) teknologi yang senantiasa berkembang, (3) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, (3) adanya perangsang produksi bagi petani, dan (5) tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinyu. Adapun syarat pelancar pembangunan pertanian meliputi: (1) pendidikan pembangunan, (2) kredit produksi, (3) kegiatan gotong royong petani, (4) perbaikan dan perluasan tanah pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian. Beberapa Negara berkembang, termasuk Indonesia, mengikuti saran dan langkah kebijakan yang disarankan oleh Mosher.

Pembangunan pertanian di Indonesia dilaksanakan secara terencana dimulai sejak Repelita I (1 April 1969), yaitu pada masa pemerintahan Orde Baru, yang tertuang dalam strategi besar pembangunan nasional berupa Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (PU-PJP) yaitu PU-PJP I (1969-1994) dan PU-PJP


(40)

II (1994-2019). Dalam PU-PJP I, pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang semuanya dititik beratkan pada sektor pertanian sebagai berikut:

1. Repelita I: titik berat pada sektor pertanian dan industri pendukung sektor pertanian.

2. Repelita II: titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah bahan mentah menjadi bahan baku.

3. Repelita III: titik berat pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi.

4. Repelita IV: titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha menuju swasembada pangan dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin. 5. Repelita V: melanjutkan Repelita IV.

Menurut Suhendra (2004) di banyak negara sektor pertanian yang berhasil merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri dan jasa. Para perancang pembangunan Indonesia pada awal masa pemerintahan Orde Baru menyadari benar hal tersebut, sehingga pembangunan jangka panjang dirancang secara bertahap. Pada tahap pertama, pembangunan dititikberatkan pada pembangunan sektor pertanian dan industri penghasil sarana produksi pertanian. Pada tahap kedua, pembangunan dititikberatkan pada industri pengolahan penunjang pertanian (agroindustri) yang selanjutnya secara bertahap dialihkan pada pembangunan industri mesin dan logam. Rancangan pembangunan seperti demikian, diharapkan dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia yang serasi dan seimbang, tangguh menghadapi gejolak internal dan eksternal.

Pada saat Indonesia memulai proses pembangunan secara terencana pada tahun 1969, pangsa sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)


(41)

mencapai lebih dari 40 persen, sementara itu serapan tenaga kerja pada sektor pertanian mencapai lebih dari 60 persen. Fakta inilah yang kemudian mengilhami penyusunan rencana, strategi dan kebijakan yang mengedepankan pembangunan pertanian sebagai langkah awal proses pembangunan.

Kebijakan untuk menetapkan sektor pertanian sebagai titik berat pembangunan ekonomi sesuai dengan rekomendasi Rostow dalam rangka persiapan tinggal landas (Simatupang dan Syafa’at, 2000). Lebih lanjut dinyatakan bahwa revolusi pertanian merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan upaya menciptakan prakondisi tinggal landas.

Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara juga dikemukakan oleh Meier (1995) sebagai berikut: (1) dengan mensuplai makanan pokok dan bahan baku bagi sektor lain dalam ekonomi yang berkembang, (2) dengan menyediakan surplus yang dapat diinvestasikan dari tabungan dan pajak untuk mendukung investasi pada sektor lain yang berkembang, (3) dengan membeli barang konsumsi dari sektor lain, sehingga akan meningkatkan permintaan dari penduduk perdesaan untuk produk dari sektor yang berkembang, dan (4) dengan menghapuskan kendala devisa melalui penerimaan devisa dengan ekspor atau dengan menabung devisa melalui substitusi impor.

Pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru telah membawa beberapa hasil. Pertama, peningkatan produksi, khususnya di sektor pangan yang berpuncak pada pencapaian swasembada pangan, khususnya beras, pada tahun 1984. Ketersediaan bahan pangan, khususnya beras, dengan harga yang relatif murah, memberikan kontribusi terhadap proses industrialisasi dan urbanisasi yang membutuhkan pangan murah. Kedua, sektor pertanian telah meningkatkan penerimaan devisa di satu pihak dan penghematan devisa di lain pihak, sehingga


(42)

memperbaiki posisi neraca pembayaran Indonesia. Ketiga, pada tingkat tertentu sektor pertanian telah mampu menyediakan bahan-bahan baku industri sehingga melahirkan agroindustri.

Sungguhpun demikian, pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru tersebut mengandung sejumlah paradoks. Pertama, peningkatan produksi pertanian telah menimbulkan kecenderungan menurunnya harga produk-produk pertanian yang berakibat negatif pada pendapatan petani, seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian Ratnawati et al. (2004) bahwa peningkatan

produktivitas pertanian menurunkan harga output di tingkat petani berkisar antara 0.28-10.08 persen dan akan menurunkan pendapatan rumahtangga perdesaan berkisar antara 2.10-3.10 persen. Kedua, peningkatan produktivitas dan produksi tidak selalu dibarengi atau diikuti dengan meningkatnya pendapatan petani, bahkan pendapatan petani cenderung menurun, seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian Siregar (2003) bahwa secara riil tingkat kesejahteraan petani dari tahun ke tahun justru mengalami penurunan yang ditunjukkan oleh nilai tukar petani (NTP) yang mempunyai tendensi (trend) yang menurun (negatif) sebesar –

0.68 persen per tahun. Di masa pemerintahan Orde Baru, ternyata sektor pertanian hanya bisa berkembang dalam kebijaksanaan yang protektif, memerlukan subsidi dan mendapat intervensi yang sangat mendalam, sehingga sektor pertanian dianggap sebagai most-heavily regulated.

Menurut Arifin (2004) tidak berkembangnya sektor pertanian berakar pada terlalu berpihaknya pemerintah pada sektor industri sejak pertengahan tahun 1980-an. Menyusul periode pertumbuhan tinggi sektor pertanian satu dekade sebelumnya, pemerintah seolah menganggap pembangunan pertanian dapat bergulir dengan sendirinya. Asumsi ini membuat pemerintah mengacuhkan


(43)

pertanian dalam strategi pembangunannya. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh paradigma pembangunan saat itu yang menekankan industrialisasi yang tidak berbasis pada sektor pertanian. Pemerintah mencurahkan perhatiannya pada sektor industri, yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai kebijakan proteksi yang sistematis. Akibatnya, proteksi besar-besaran ini telah merapuhkan basis pertanian pada tingkat petani.

Menurut Sudaryanto et al. (2005), pendekatan pembangunan pertanian

selama pemerintahan Orde Baru dilaksanakan dengan pendekatan komoditas. Pendekatan ini dicirikan oleh pelaksanaan pembangunan pertanian berdasarkan pengembangan komoditas secara parsial (sendiri-sendiri) dan lebih berorientasi pada peningkatan produksi dibandingkan dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Namun demikian, pendekatan komoditas ini mempunyai beberapa kelemahan mendasar, yaitu: (1) tidak memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditas, (2) tidak memperhatikan panduan horizontal, vertikal dan spatial berbagai kegiatan ekonomi, dan (3) kurang memperhatikan aspirasi dan pendapatan petani. Oleh karena itu, pengembangan komoditas seringkali sangat tidak efisien dan keberhasilannya sangat tergantung pada besarnya subsidi dan proteksi pemerintah, serta kurang mampu mendorong peningkatan pendapatan petani.

Menyadari akan hal tersebut di atas, maka pendekatan pembangunan pertanian harus diubah dari pendekatan komoditas menjadi pendekatan sistem agribisnis. Seiring dangan hal ini, maka orientasi pembangunan pertanian juga akan mengalami perubahan dari orientasi peningkatan produksi menjadi orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.


(44)

Memasuki era globalisasi yang dicirikan oleh persaingan perdagangan internasional yang sangat ketat dan bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui pengurangan subsidi, dukungan harga dan berbagai proteksi lainnya. Kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisien merupakan pijakan utama bagi kelangsungan hidup usahatani. Sehubungan dengan hal tersebut, maka partisipasi dan kemampuan wirausaha petani merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan pertanian.

Suryana (2006) menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat, baik domestik maupun internasional, akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian terhadap arah dan kebijakan serta pelaksanaan program pembangunan pertanian. Dengan demikian, strategi pembangunan pertanian harus lebih memfokuskan pada peningkatan daya saing, mengandalkan modal dan tenaga kerja terampil dan berbasis inovasi teknologi dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal.

Sejak awal tahun 1990-an, seiring dengan menurunnya pangsa pertanian dalam struktur perekonomian (PDB), pembangunan ekonomi dan kebijakan politik mulai meminggirkan sektor pertanian. Fokus pembangunan ekonomi lebih banyak diarahkan pada sektor industri dan jasa, bahkan yang berbasis teknologi tinggi dan intensif kapital. Namun demikian, ketika krisis ekonomi terjadi, agenda reformasi yang bergulir tanpa arah, proses desentralisasi ekonomi yang menghasilkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat, maka Indonesia kembali menjadikan sektor pertanian sebagai landasan utama pembangunan ekonomi (Arifin, 2005).


(45)

Peran penting sektor pertanian telah terbukti dari keberhasilan sektor pertanian pada saat krisis ekonomi dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yang memadai dan tingkat pertumbuhannya yang positif dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Keadaan ini menjadi pertimbangan utama dirumuskannya kebijakan yang memiliki keberpihakan terhadap sektor pertanian dalam memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan dan mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas (Sudaryanto dan Munif, 2005).

Secara lebih rinci, beberapa pertimbangan tentang pentingnya mengakselerasi sektor pertanian di Indonesia dikemukakan oleh Simatupang (1997) sebagai berikut:

1. Sektor pertanian masih tetap sebagai penyerap tenaga kerja, sehingga

akselerasi pembangunan sektor pertanian akan membantu mengatasi masalah pengangguran.

2. Sektor pertanian merupakan penopang utama perekonomian desa dimana

sebagian besar penduduk berada. Oleh karena itu, akselerasi pembangunan pertanian paling tepat untuk mendorong perekonomian desa dalam rangka meningkatkan pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia dan sekaligus pengentasan kemiskinan.

3. Sektor pertanian sebagai penghasil makanan pokok penduduk, sehingga

dengan akselerasi pembangunan pertanian maka penyediaan pangan dapat terjamin. Langkah ini penting untuk mengurangi ketergantungan pangan pada pasar dunia.

4. Harga produk pertanian memiliki bobot yang besar dalam indeks harga


(46)

Oleh karena itu, akselerasi pembangunan pertanian akan membantu menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.

5. Akselerasi pembangunan pertanian sangatlah penting dalam rangka

mendorong ekspor dan mengurangi impor produk pertanian, sehingga dalam hal ini dapat membantu menjaga keseimbangan neraca pembayaran.

6. Akselerasi pembangunan pertanian mampu meningkatkan kinerja sektor

industri. Hal ini karena terdapat keterkaitan yang erat antara sektor pertanian dengan sektor industri yang meliputi keterkaitan produk, konsumsi dan investasi.

Kabinet Indonesia Bersatu telah menetapkan program pembangunannya dengan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) sebagai manifestasi

dari strategi pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment dan pro-poor.

Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui hal-hal sebagai berikut:

1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6.5 persen per tahun melalui

percepatan investasi dan ekspor.

2. Pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru.

3. Revitalisasi pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan.

Revitalisasi pertanian diartikan sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, melalui peningkatan kinerja sektor pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain. Sejalan dengan hal ini, Sudaryanto dan Munif (2005) menyatakan bahwa revitalisasi pertanian dimaksudkan untuk menggalang


(47)

komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir

masyarakat dalam melihat pertanian tidak hanya sekedar penghasil komoditas untuk dikonsumsi. Pertanian harus dilihat sebagai sektor yang multi-fungsi dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia.

Kegiatan pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dilaksanakan melalui tiga program, yaitu: (1) program peningkatan ketahanan pangan, (2) program pengembangan agribisnis, dan (3) program peningkatan kesejahteraan petani. Operasionalisasi program peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan produksi pangan, menjaga ketersediaan pangan yang cukup aman dan halal di setiap daerah setiap saat dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan. Operasionalisasi program pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan. Operasionalisasi program peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan penyuluhan, pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan proteksi dan promosi lainnya (Departemen Pertanian, 2005c).

2.2. Industrialisasi

Pertanian

Menurut Meier (1995), transformasi struktural dari ekonomi agraris perdesaan berpendapatan rendah ke ekonomi industri perkotaan dengan pendapatan per kapita lebih tinggi melibatkan fenomena industrialisasi dan pembangunan pertanian. Lebih lanjut disebutkan bahwa pertanian harus dipandang bukan sekedar sebagai sumber surplus untuk mendukung industrialisasi, tetapi juga sebagai sumber dinamis pertumbuhan ekonomi, penyedia lapangan kerja, dan distribusi pendapatan yang lebih baik. Selain itu, kemajuan pertanian adalah penting dalam menyediakan pangan bagi tumbuhnya


(48)

tenaga kerja non pertanian, bahan baku untuk produksi sektor industri, tabungan dan penerimaan pajak untuk mendukung pembangunan sektor ekonomi lainnya; untuk mendapatkan lebih banyak devisa (atau menghemat devisa jika produk primer diimpor); dan memberikan pertumbuhan pasar bagi industri domestik. Hubungan intersektoral antara pertanian dan industri akan menentukan transformasi struktural pada perekonomian negara berkembang.

Secara historis proses pembangunan dan industrialisasi pertanian di berbagai negara pada umumnya diawali dari penguatan sektor pertanian. Langkah ini ditempuh melalui modernisasi institusi perdesaan dan pergeseran pertanian berskala kecil ke pertanian kapitalis berskala besar serta peningkatan produktivitas pertanian (Weisdorf, 2006).

Arifin (2005) menyatakan bahwa definisi industrialisasi pertanian tidak sesempit sekedar mekanisasi pertanian atau pengolahan hasil pertanian oleh sektor industri, tetapi jauh lebih luas dari itu karena mencakup proses peningkatan nilai tambah, sampai pada koordinasi dan integrasi vertikal antara sektor hulu dan sektor hilir. Lebih lanjut dinyatakan bahwa terdapat pihak-pihak yang memperlakukan industrialisasi pertanian sebagai bagian dari seluruh rangkaian pembangunan sistem agribisnis, di pihak lain ada pula yang beranggapan bahwa proses industrialisasi adalah suatu keniscayaan seiring dengan proses transformasi struktur ekonomi dan merupakan tuntutan efisiensi dalam bidang usaha melalui integrasi vertikal dari hulu hingga hilir.

Sudaryanto (2005) memberikan definisi industrialisasi pertanian sebagai suatu proses konsolidasi usahatani dan disertai dengan koordinasi vertikal agribisnis dalam satu alur produk melalui mekanisme non pasar, sehingga karakteristik produk akhir yang dipasarkan dapat dijamin dan disesuaikan dengan


(49)

preferensi konsumen akhir. Dengan demikian, industrialisasi pertanian adalah suatu proses transformasi struktur agribisnis dari pola dispersal menjadi pola industrial. Lebih lanjut disebutkan bahwa berbeda dengan pola dispersal, dalam agribisnis pola industrial setiap perusahaan tidak lagi berdiri sendiri atau bergabung dalam asosiasi horizontal tetapi memadukan diri dengan perusahaan-perusahaan lain yang bergerak dalam seluruh bidang usaha yang ada pada satu alur produk vertikal (dari hulu hingga hilir) dalam satu kelompok usaha.

Kahn (1979) menyatakan bahwa pengalaman di hampir semua negara menunjukkan bahwa industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi. Hanya sebagian kecil negara dengan jumlah penduduk yang sedikit dan kekayaan minyak atau Sumber Daya Alam (SDA) lainnya yang melimpah, seperti Kuwait dan Libya, dapat berharap mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi tanpa melalui proses industrialisasi, hanya mengandalkan pada sektor pertambangan (minyak). Fakta di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada perekonomian yang bertumpu pada sektor-sektor primer (pertanian dan pertambangan) yang mampu mencapai tingkat pendapatan per kapita di atas 500 US $ selama jangka panjang.

Sektor industri diyakini dapat dijadikan sebagai sektor yang memimpin (leading sector) bagi sektor-sektor lainnya dalam suatu perekonomian. Hal ini

karena produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri memiliki dasar tukar (term of trade) yang tinggi atau lebih menguntungkan, serta mampu menciptakan

nilai tambah (value added) yang besar dibandingkan dengan produk-produk yang

dihasilkan oleh sektor lainnya. Sektor industri mempunyai variasi produk yang sangat beragam dan mampu memberikan manfaat marjinal yang tinggi kepada pemakainya. Selain itu, sektor industri juga memberikan marjin keuntungan yang


(50)

lebih menarik bagi para pelaku bisnis, serta proses produksi dan penanganan produknya lebih bisa dikendalikan oleh manusia yang tidak terlalu bergantung pada alam (musim atau keadaan cuaca). Karena kelebihan-kelebihan sektor industri inilah, maka industrialisasi dianggap sebagai “obat mujarab” (panacea)

untuk mengatasi masalah pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang. Walaupun penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil, industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan hanya merupakan salah satu strategi yang harus ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi (Riedel, 1992). Meskipun pelaksanaannya sangat bervariasi antarnegara, periode industrialisasi merupakan tahapan logis dalam proses transformasi struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industri manufaktur dalam permintaan konsumen, produksi, ekspor, dan kesempatan kerja (Chenery, 1992). Menurut Tambunan dan Priyanto (2005), penurunan share sektor pertanian dalam pembentukan PDB dari waktu ke waktu

dan peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor manufaktur, merupakan indikator bahwa ekonomi Indonesia telah memasuki proses industrialisasi.

Proses industrialisasi di Indonesia sudah dimulai sejak Pelita I, yang dimulai tahun 1969. Industrialisasi yang dilaksanakan sejak Pelita I hingga krisis ekonomi tahun 1997, mengakibatkan pendapatan per kapita masyarakat mengalami peningkatan yang cukup pesat setiap tahunnya. Apabila hanya mengandalkan dari sektor pertanian dan sektor pertambangan (migas), maka Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang, tidak akan pernah mencapai laju pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 7 persen per tahun dan


(1)

(all,i,IND) COSTMAT(i,"margin") =

sum{c,COM, sum{s,SRC, sum{m,MAR, V1MAR(c,s,i,m)}}};

(all,i,IND) COSTMAT(i,"IndTax") = sum{c,COM, sum{s,SRC, V1TAX(c,s,i)}}; (all,i,IND) COSTMAT(i,"Lab") =V1LAB_O(i);

(all,i,IND) COSTMAT(i,"Cap") =V1CAP(i); (all,i,IND) COSTMAT(i,"Lnd") =V1LND(i); (all,i,IND) COSTMAT(i,"ProdTax") =V1OCT(i);

Write COSTMAT tofile SUMMARY header"CSTM"longname"Cost Matrix"; Formula (all,i,IND)(all,co,COSTCAT) ! convert to % shares and re-write ! COSTMAT(i,co)= 100*COSTMAT(i,co)/(TINY+V1TOT(i));

Write COSTMAT tofile SUMMARY header"COSH"longname"Cost Share Matrix"; ! Excerpt 37 of TABLO input file: !

! Matrix of domestic commodity sales with total imports !

Set! Subscript !

SALECAT # SALE Categories #

(Interm, Invest, HouseH, Export, GovGE, Stocks,margins, Total, Imports); Coefficient (all,c,COM)(all,sa,SALECAT) SALEMAT(c,sa);

Formula

(all,c,COM) SALEMAT(c,"Interm") = sum{i,IND, V1BAS(c,"dom",i)}; (all,c,COM) SALEMAT(c,"Invest") = sum{i,IND, V2BAS(c,"dom",i)}; (all,c,COM) SALEMAT(c,"HouseH") = sum{h,HH,V3BAS(c,"dom",h)}; (all,c,COM) SALEMAT(c,"Export") = V4BAS(c);

(all,c,COM) SALEMAT(c,"GovGE") = V5BAS(c,"dom"); (all,c,COM) SALEMAT(c,"Stocks") = V6BAS(c,"dom"); (all,c,COM) SALEMAT(c,"margins") = MARSALES(c); (all,c,COM) SALEMAT(c,"Total") = SALES(c);

(all,c,COM) SALEMAT(c,"Imports") = V0IMP(c);

write SALEMAT tofile SUMMARY header"SLSM"longname "Matrix of domestic commodity sales with total imports"; Formula

(all,c,COM)(all,sa,SALECAT) SALEMAT(c,sa) = 100*SALEMAT(c,sa)/[TINY+SALES(c)]; (all,c,COM) SALEMAT(c,"Imports")= 100*V0IMP(c)/[TINY+DOMSALES(c)+V0IMP(c)]; Write SALEMAT tofile SUMMARY header"SLSH"longname

"market shares for domestic goods with total import share"; ! Excerpt 37 of TABLO input file: !

! Weight Vectors for use in aggregation and other calculations !

Write

V1TOT tofile SUMMARY header"1TOT"longname"Industry Output"; V2TOT tofile SUMMARY header"2TOT"longname"Investment by Industry"; V1PUR_SI tofile SUMMARY header"1PUR"longname"Interm.Usage by com at PP"; V2PUR_SI tofile SUMMARY header"2PUR"longname"Invest.Usage by com at PP"; V3PUR_S tofile SUMMARY header"3PUR"longname"Consumption at Purch.Prices"; V4PUR tofile SUMMARY header"4PUR"longname"Exports at Purchasers Prices";


(2)

Lampiran 2. Lanjutan

V1LAB_O tofile SUMMARY header"LAB1"longname"Industry Wages"; V1CAP tofile SUMMARY header"1CAP"longname"Capital Rentals"; V1PRIM tofile SUMMARY header"VLAD"longname"Industry Factor Cost"; ! Excerpt 38 of TABLO input file: !

Set

SALECAT2 # SALE Categories # (Interm, Invest, HouseH, Export, GovGE, Stocks); FLOWTYPE # type of flow # (Basic, margin, Tax);

Coefficient

(all,c,COM)(all,f,FLOWTYPE)(all,s,SRC)(all,sa,SALECAT2) SALEMAT2(c,f,s,sa) # Basic, margin and tax components of purchasers' values #;

Formula

(all,c,COM)(all,f,FLOWTYPE)(all,s,SRC)(all,sa,SALECAT2) SALEMAT2(c,f,s,sa)=0; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Basic",s,"Interm") = sum{i,IND,V1BAS(c,s,i)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Tax" ,s,"Interm") = sum{i,IND,V1TAX(c,s,i)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"margin",s,"Interm") =

sum{i,IND, sum{m,MAR, V1MAR(c,s,i,m) }};

(all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Basic",s,"Invest") = sum{i,IND,V2BAS(c,s,i)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Tax" ,s,"Invest") = sum{i,IND,V2TAX(c,s,i)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"margin",s,"Invest") =

sum{i,IND, sum{m,MAR, V2MAR(c,s,i,m) }};

(all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Basic",s,"HouseH") = sum{h,HH,V3BAS(c,s,h)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Tax" ,s,"HouseH") = sum{h,HH,V3TAX(c,s,h)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"margin",s,"HouseH")=

sum{m,MAR,sum(h,HH,V3MAR(c,s,m,h))};

(all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Basic",s,"GovGE") = V5BAS(c,s); (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Tax" ,s,"GovGE") = V5TAX(c,s);

(all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"margin",s,"GovGE")= sum{m,MAR,V5MAR(c,s,m)}; (all,c,COM) SALEMAT2(c,"Basic","dom","Export") = V4BAS(c);

(all,c,COM) SALEMAT2(c,"Tax" ,"dom","Export") = V4TAX(c);

(all,c,COM) SALEMAT2(c,"margin","dom","Export")= sum{m,MAR,V4MAR(c,m)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Basic",s,"Stocks") = V6BAS(c,s);

write SALEMAT2 tofile SUMMARY header"MKUP"longname "Basic, margin and tax components of purchasers' values"; Write GOVTREV tofile SUMMARY header"TGOV"; GOVTEXP tofile SUMMARY header"GGOV";


(3)

!Additions to ORANIGNM.TAB!

!******************************************************************************! !Dynamic Extension!

!******************************************************************************! ! Excerpt 35 of TABLO input file: !

! Investment/capital accumulation equations !

Coefficient (INTEGER) W # number of years covered by simulation #; Read W From Terminal; ! entered by user at runtime !

Coefficient (All,i,IND) R_W(i) # real investment/capital ratio #; Read R_W FromFile MDATA Header"YBYK"; !numbers like 0.07 ! Update (Change) (All,i,IND)

R_W(i) = R_W(i)*[x2tot(i)-x1cap(i)]/100;

Coefficient (All,i,IND) DEP(i) # depreciation factors #;

Read DEP FromFile MDATA Header"DPRC"; ! numbers like 0.95 ! !Coefficient (all,i,IND) BETA_R(i);1!

!Read BETA_R From File MDATA Header "BETR";! Set YEARS MAXIMUMSIZE 100 SIZE W;

Coefficient (all,y,YEARS) ORD(y) # = y for y = 1 to W #; Read ORD From Terminal; ! entered by user at runtime ! Coefficient (All,i,IND) Z(i) # K(W)/K(0)#;

Formula (Initial) (All,i,IND) Z(i) = 1; Update (All,i,IND) Z(i) = x1cap(i);

Coefficient (All,i,IND) R_0(i) # Y(0)/K(0)#; Formula (Initial) (All,i,IND) R_0(i) = R_W(i);

Coefficient (All,i,IND) DEP_W(i) # DEP to the power of W #; Formula (Initial) (All,i,IND) DEP_W(i) = DEP(i)^W; Coefficient (All,i,IND) N_term(i) # useful constant #; Formula (Initial) (All,i,IND) N_term(i) =

Sum(y,YEARS, DEP(i)^{W -ORD(y)} );!note y takes values 1 to W! Coefficient (All,i,IND) M_term(i) # useful constant #;

Formula (Initial) (All,i,IND) M_term(i) =

Sum(y,YEARS,([ORD(y)-1]/W)*DEP(i)^{W -ORD(y)} ); Coefficient (All,i,IND) K_TERM(i) # delFudge coefficient #;

Formula (All,i,IND) K_TERM(i) = 100 *[DEP_W(i) - 1 + R_0(i)*N_term(i)] /Z(i); Equation E_x2tot # investment/capital accumulation #

(All,i,IND)

x1cap(i) = K_TERM(i)*delFudge + M_term(i)*R_W(i)*x2tot(i) + f_accum(i); !***** real wage adjustment mechanism *****!


(4)

Lampiran 2. Lanjutan

Variable employ_i # Aggregate employment: wage bill weights #;

Equation E_employ_i V1LAB_IO*employ_i = sum{i,IND, V1LAB_O(i)*employ(i)}; Variable emptrend # Trend employment #;

Variable (change)

delempratio # Ordinary change in (actual/trend) employment #; Coefficient

EMPRAT # (Actual/trend) employment:i.e in steady state => 1 #; Read EMPRAT fromfile MDATA header"EMPR";

Update (change) EMPRAT=delempratio;

Coefficient (parameter) EMPRAT0 # Initial (actual/trend) employment #; Formula (initial) EMPRAT0=EMPRAT;

Equation E_delempratio # Ordinary change in (actual/trend) employment # delempratio=0.01*EMPRAT*[employ_i-emptrend];

Variable (change) delwagerate # Change in real wage index #; Coefficient WAGERATE # Index of real wages #;

Formula (initial) WAGERATE=1.0; !index is rebased each period! Update (change) WAGERATE=delwagerate;

Equation E_delwagerate # Change in real wage index # delwagerate=0.01*WAGERATE*realwage;

Coefficient (parameter) ELASTWAGE # Elasticity of wage to employment:i.e. 0.5 #; Read ELASTWAGE fromfile MDATA header"ELWG";

Variable (change) delfwage # Shifter for real wage adjustment mechanism #; Equation E_delfwage # Real wage adjustment mechanism #

delwagerate=delfwage+ELASTWAGE*{[EMPRAT0-1.0]*delUnity+delempratio};

!To use, set delfwage exogenous and shock emptrend by labour force growth rate. Both the real wage and employment are endogenous. The final equation then works an upward sloping labour supply schedule, which continually moves to the right (up) as long as actual employment exceeds trend. To switch off, set delfwage endogenous and exogenize either the real wage or employment.!

!***** End of Capital Accumulation Mechanism *****! ! end of file !


(5)

! Closure

Exogenous utility ; ! HH Number of households

Exogenous f5 ; ! COM*SRC Government demand shift!

Exogenous f4p ; ! COM Price (upward) shift in export demand schedule Exogenous f4q ; ! COM Quantity (right) shift in export demands Exogenous fx6 ; ! COM*SRC Shifter on rule for stocks

Exogenous phi ; ! 1 Exchange rate, rupiah/$world

Exogenous a3_s ; ! COM*HH Taste change, hhold imp/dom composite Exogenous a1fac ; ! AGRIFAC*AGIND Primary factor tech. change, agri. Exogenous a1tot ; ! IND All input augmenting technical change

Exogenous a2tot ; ! IND Neutral technical change - investment Exogenous f1oct ; ! IND Shift in price of "other cost" tickets Exogenous t0imp ; ! COM Power of tariff

Exogenous a1faco ; ! N_AGRIFAC*N_AGIND Prim. factor tech. change, other Exogenous a1prim ; ! IND All factor augmenting technical change

Exogenous x5tot; !f5tot2 ; ! 1 Ratio between f5tot and x3tot Exogenous fgov_f ; ! TYPE Shift in transfers: govt. -- foreign

Exogenous fgov_h ; ! HH*TYPE Shift in transfers: govt. -- households Exogenous pf0cif ; ! COM C.I.F. foreign currency import prices Exogenous f0tax_s ; ! COM General sales tax shifter

Exogenous f3tot_h ; ! HH Ratio, consumption/income by hh

Exogenous f3tax_cs ; ! 1 Uniform % change in powers of taxes on household usage Exogenous f5tax_cs ; ! 1 Uniform % change in powers of taxes on government usage Exogenous f1inc_tax ; ! 1 Overall income tax shifter

Exogenous f1lab_i_x ; ! OCC Skill-specific labour shifter

Exogenous f1tax_csi ; ! 1 Uniform % change in powers of taxes on intermediate usage Exogenous f2tax_csi ; ! 1 Uniform % change in powers of taxes on investment

Exogenous f4p_ntrad ; ! 1 Upward demand shift, non-traditional export aggregate Exogenous f4q_ntrad ; ! 1 Right demand shift, non-traditional export aggregate Exogenous x1cap_vah ; ! HH variable capital by household, agri.

Exogenous x1cap_vnh ; ! HH variable capital by household, non-agri. Exogenous x1lab_i_h ; ! OCC*HH Household labour supply

Exogenous x1lndi_hh ; ! AGIND*HH Household supply of land, agri.

Exogenous f4tax_trad ; ! 1 Uniform % change in powers of taxes on tradtnl exports Exogenous x1cap_f_hh ; ! N_AGIND*HH fixed capital by hhold, non-ag.

Exogenous f4tax_ntrad ; ! 1 Uniform % change in powers of taxes on nontradtnl exports Exogenous emptrend ; ! Trend employment

exogenous delUnity;!dummy variable, always exogenously set to one exogenous f_accum;! shifter to switch on accumulation equation exogenous delfwage ;! shifter for real wage adjustment mechanism exogenous delfudge;

exogenous r1cap_i; Rest endogenous;


(6)

Lampiran 4. Dampak Peningkatan Produktivitas Industri Pertanian terhadap Harga Output di Sektor Lain

(%)

No. Sektor/Komoditi Perubahan Harga

Output

1. Padi 5.93

2. Kedelai 4.33

3. Jagung 4.80

4. Ubi Kayu 7.36

5. Sayuran dan Buah-buahan 5.87

6. Tanaman Pangan Lain 4.47

7. Karet 1.48

8. Tebu 3.47

9. Kelapa 4.76

10. Kelapa Sawit 2.52

11. Tembakau 2.29

12. Kopi 1.86

13. Teh 1.68

14. Kakao 2.71

15. Tanaman Perkebunan Lain 2.17

16. Tanaman Lain 3.55

17. Peternakan 3.24

18. Hasil Hutan 2.13

19. Perikanan 5.19

20. Pertambangan 0.38

21. Industri Lainnya 0.83

22. Listrik, Gas dan Air Bersih 1.49

23. Bangunan -1.17

24. Perdagangan, Hotel dan Restoran 3.13

25. Jasa Transportasi 1.82

26. Lembaga Keuangan 3.22

27. Pemerintahan Umum dan Pertahanan 2.53