Patologi Infestasi Cacing Camallanus sp pada Ikan Manfish (Pterophyllum scalare) asal Raiser Cibinong
ABSTRAK
BOLAS MANGIHUT P SIAHAAN. Patologi Infestasi Cacing Camallanus sp
pada Ikan Manfish (Pterophyllum scalare) asal Raiser Cibinong. Dibimbing oleh
DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan SRI ESTUNINGSIH.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan infestasi cacing
yang menginfeksi ikan manfish yang diperoleh dari calon Balai Pelayanan Usaha
dan Pemasaran Ikan Hias Cibinong (Raiser). Ikan manfish menunjukkan adanya
ulserasi dan hemoragi pada kulit dekat ekor dan sirip ekor yang mengalami
kerusakan. Pengamatan mikroskopis menunjukkan lesi utama pada usus
ditemukannya potongan transversal dan longitudinal larva cacing pada lumen dan
terbenam dalam mukosa usus. Morfologi dan ukuran cacing diamati dengan
pewarnaan jaringan Hematoxilin Eosin. Bentuk dan ukuran larva cacing yang
ditemukan berdasarkan studi literatur termasuk dalam kelas nematoda genus
Camallanus sp. Infestasi cacing yang parah pada usus dapat mengganggu
pencernaan dan penyerapan makanan sehingga merusak organ lain dalam tubuh.
Kata kunci: Cacing pada ikan; Ikan sakit; Manfish; Parasit ikan; Patologi ikan.
ABSTRACT
BOLAS MANGIHUT P SIAHAAN. Pathology Camallanus sp Helminthes
Infestation in Angelfish (Pterophyllum scalare) from Raiser Cibinong. Supervised
by DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and SRI ESTUNINGSIH.
The aimed of this study is to describe the helminth infestation on diseased
angelfish obtained from the forerunner of the Center of Ornamental Fish Business
Services and Marketing at Cibinong (Raiser). The angelfish showed ulceration
and hemorrhage on the skin near caudal fin with damaged of tail fin. Microscopic
observations showed the most severe lesions found in intestine which was have
transversal and longitudinal slices of helminthes larvae within the lumen also
buried in mucosa. The morphology and size of the helminthes were observed
within the Hematoxylin Eosin tissue section. The shapes and the sizes of larvae as
compared studies of literatures lead to reveal nematode Camallanus sp as genus of
helminthes found. Severe helminthes infestation within intestine causes
indigestion and absorption of food which will further cause disturbances in other
organs.
Keyword: Angelfish; Fish disease; Fish helminthes; Fish parasites; Fish
pathology.
PATOLOGI INFESTASI CACING Camallanus sp PADA
IKAN MANFISH (Pterophyllum scalare) ASAL
RAISER CIBINONG
BOLAS MANGIHUT P SIAHAAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Patologi Infestasi
Cacing Camallanus sp pada Ikan Manfish (Pterophyllum scalare) asal Raiser
Cibinong adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Bolas Mangihut P Siahaan
NIM B04080048
ABSTRAK
BOLAS MANGIHUT P SIAHAAN. Patologi Infestasi Cacing Camallanus sp
pada Ikan Manfish (Pterophyllum scalare) asal Raiser Cibinong. Dibimbing oleh
DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan SRI ESTUNINGSIH.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan infestasi cacing
yang menginfeksi ikan manfish yang diperoleh dari calon Balai Pelayanan Usaha
dan Pemasaran Ikan Hias Cibinong (Raiser). Ikan manfish menunjukkan adanya
ulserasi dan hemoragi pada kulit dekat ekor dan sirip ekor yang mengalami
kerusakan. Pengamatan mikroskopis menunjukkan lesi utama pada usus
ditemukannya potongan transversal dan longitudinal larva cacing pada lumen dan
terbenam dalam mukosa usus. Morfologi dan ukuran cacing diamati dengan
pewarnaan jaringan Hematoxilin Eosin. Bentuk dan ukuran larva cacing yang
ditemukan berdasarkan studi literatur termasuk dalam kelas nematoda genus
Camallanus sp. Infestasi cacing yang parah pada usus dapat mengganggu
pencernaan dan penyerapan makanan sehingga merusak organ lain dalam tubuh.
Kata kunci: Cacing pada ikan; Ikan sakit; Manfish; Parasit ikan; Patologi ikan.
ABSTRACT
BOLAS MANGIHUT P SIAHAAN. Pathology Camallanus sp Helminthes
Infestation in Angelfish (Pterophyllum scalare) from Raiser Cibinong. Supervised
by DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and SRI ESTUNINGSIH.
The aimed of this study is to describe the helminth infestation on diseased
angelfish obtained from the forerunner of the Center of Ornamental Fish Business
Services and Marketing at Cibinong (Raiser). The angelfish showed ulceration
and hemorrhage on the skin near caudal fin with damaged of tail fin. Microscopic
observations showed the most severe lesions found in intestine which was have
transversal and longitudinal slices of helminthes larvae within the lumen also
buried in mucosa. The morphology and size of the helminthes were observed
within the Hematoxylin Eosin tissue section. The shapes and the sizes of larvae as
compared studies of literatures lead to reveal nematode Camallanus sp as genus of
helminthes found. Severe helminthes infestation within intestine causes
indigestion and absorption of food which will further cause disturbances in other
organs.
Keyword: Angelfish; Fish disease; Fish helminthes; Fish parasites; Fish
pathology.
PATOLOGI INFESTASI CACING Camallanus sp PADA
IKAN MANFISH (PterophyllumScalare) ASAL
RAISER CIBINONG
BOLAS MANGIHUT P SIAHAAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Penelitian
Nama Mahasiswa
NIM
: Patologi Infestasi Cacing Camallanus sp pada Ikan
Manfish (Pterophyllum scalare) asal Raiser Cibinong
: Bolas Mangihut Parasian Siahaan
: B04080048
Disetujui
drh. Dewi Ratih Ph.D, APVet.
Dr. drh. Sri Estuningsih MSi, APVet.
Pembimbing I
Pembimbing II
Diketahui oleh
drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet.
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus oleh
karena berkat dan penyertaanNya yang luar biasa, penulis dapat menyelesaikan
penelitian dengan baik serta dengan karunia dan kebaikanNya. Skripsi ini disusun
berdasarkan hasil penelitian studi kasus di lapangan dengan judul Patologi
Infestasi Cacing Camallanus sp pada Ikan Manfish (Pterophyllum scalare) asal
Raiser Cibinong.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu drh Dewi Ratih Agungpriyono
PhD APVet dan Ibu Dr drh Sri Estuningsih MSi APVet selaku pembimbing atas
dorongan, teladan, motivasi dan nasehat yang sangat membentuk karakter penulis.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada calon Balai Pelayanan
Usaha dan Pemasaran Ikan Hias Cibinong (Raiser) terutama Bapak Dadang dan
Bapak Kholis yang telah membantu dalam pencarian sampel ikan, masukan dan
saran untuk penelitian dan skripsi ini. Terimakasih juga pada Tenaga
Kependidikan Bagian Patologi Pak Kasnadi, Pak Soleh, Pak Endang dan Mbak
Kiki atas segala bantuannya selama penelitian hingga skripsi ini terselesaikan.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah J Siahaan, ibu P
Silalahi yang terkasih, kakak Hotnida dan Lae Joe, Abang Hisar dan Kakak Novi,
Kakak Melisha, sepupuku Dosma, Adikku Daniel dan Sarina atas segala doa dan
kasih sayangnya. Selain itu terimakasih juga pada Dr Ir Etih Sudarnika atas
bimbingan dan motivasi terhadap penulis. Terimakasih buat sahabat-sahabat
kontrakan Lappet (Amudi, Chastro, Christian, Exas, dan Gunawan) selama masa
kuliah dalam melewati berbagai hal pergumulan, selisih pendapat, teladan, kasih
dan sukacita serta sahabat-sahabatku sepenelitian Desray, Rahma dan Fatma yang
juga turut membantu penulis melewati suka, duka, dorongan, perhatian dan
doanya selama penelitian hingga skripsi ini terselesaikan. Terimakasih juga buat
Ka Amer dan adik-adik asistensi Habakukerz, Tim Kornita (Ruth, Echa, GPC,
Saut), Avenzoar, KPS 45 (Samuel, Erti, Novrika, Maju, Nehemia, Mbot, Yeni,
Satchi, dan AKPS lainnya), dan PMK yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam karya
ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2013
Bolas Mangihut P Siahaan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
MATERI DAN METODE
3
Alat
3
Bahan
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Hasil
6
Pembahasan
6
SIMPULAN DAN SARAN
20
Simpulan
20
Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
21
RIWAYAT HIDUP
22
DAFTAR TABEL
1
Perbandingan ukuran Larva Ketiga Nematoda yang menginfeksi usus
ikan manfish
13
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Keadaan luar ikan manfish yang sakit menunjukkan ulkus dan
hemoragi pada daerah kaudal disertai kerusakan pada sirip ekornya
Organ internal ikan manfish tidak memperlihatkan kelainan secara
spesifik secara makroskopis
Histopatologi potongan transversal dan longitudinal parasit di lumen
usus
Histopatologi epitel usus mengalami deskuamasi dan potongan parasit
terbenam dalam usus
Infiltrasi sel eosinofil dan limfosit pada mukosa usus
Histopatologi usus mengalami serositis/ peritonitis
Histopatologi buccal cavity pada Camallanus sp
Siklus hidup Camallanus sp
Histopatologi lesi pada epidermis organ kulit
Histopatologi insang mengalami teleangiectasis, kongesti, hyperplasia
epitel lamela sekunder dan infiltrasi sel limfosit
Lamela sekunder insang mengalami infiltrasi sel klorid
Histopatologi lesi pada organ ginjal
Histopatologi lesi pada organ hati
Histopatologi lesi pada organ pankreas
Histopatologi lesi pada organ otak
7
7
8
8
9
10
12
13
14
15
15
16
17
18
19
1
PENDAHULUAN
Indonesia dikenal memiliki kekayaan sumberdaya perikanan yang cukup
besar, terutama dalam perbendaharaan jenis-jenis ikan. Sekitar 16 % spesies ikan
yang ada di dunia diperkirakan hidup di perairan Indonesia. Indonesia termasuk
salah satu negara dengan potensi ikan hias terbesar di dunia. Total jumlah jenis
ikan yang terdapat di perairan Indonesia mencapai 7000 spesies. Hampir 2000
spesies di antaranya merupakan jenis ikan air tawar. Ikan air tawar merupakan
jenis ikan yang hidup dan menghuni perairan daratan (inland water) yaitu perairan
dengan kadar garam kurang dari 5 per mil (0-5 ‰). Biota sebagai titik sentral
perhatian pembudidayaan perlu dicermati bagaimana responnya terhadap
medianya, pakannya, ancaman penyakit selama proses pembudidayaan dan lainlain (Affandi & Tang 2002).
Ikan hias yang banyak dibudidayakan termasuk dalam kelas Pisces dan
subkelas Teleostomi menurut taksonominya. Ikan yang termasuk subkelas
Teleostomi diantaranya adalah ikan dari ordo Osteolepiformes, yaitu arwana dan
arapaima; ikan dari ordo Perciformes yaitu discus dan manfish; ikan dari ordo
Cypriniformes, yaitu mas, silver dollar dan koi; ordo Characiformes yaitu tetra;
dan ordo lainnya (Axelord et al 1984).
Kekayaan ikan hias air tawar yang tersimpan di bumi Nusantara belum
dapat difungsikan secara maksimal dan masih tertinggal jauh dari negara-negara
lain terutama dalam hal manajemen pengelolaan industri. Belum adanya
komitmen bersama antara pemerintah dan para pelaku bisnis terutama
pembudidaya dan eksportir merupakan kendala lain dalam pengembangan pasar
ikan hias Indonesia. Manajemen yang kurang baik akan berdampak pada
kesehatan ikan dan dapat menimbulkan penyakit.
Penyakit merupakan suatu proses yang merusak atau mengganggu pada
organisme dengan penyebab khusus dan mempunyai gejala-gejala yang khusus
pula seperti pada manusia dan hewan terrestrial, ikan juga dapat terserang oleh
suatu penyakit. Ada beberapa faktor penyebab penyakit ikan misalnya adanya
perubahan kondisi lingkungan, faktor keturunan, mikroorganisme, hewan parasit,
dan manajemen budidaya ikan (Supriyadi & Hardjamulia 1986).
Latarbelakang
Banyaknya spesies ikan yang ada di Indonesia juga membuat temuan
berbagai jenis penyakit pada hewan baik itu yang disebabkan oleh jamur, bakteri,
cacing, protozoa maupun virus. Begitu banyak agen yang menyerang spesies ikan
di Indonesia diantaranya penyakit yang disebabkan oleh protozoa:
Ichtyophthirius, Trichodina, Costia. Penyakit yang disebabkan cacing:
Glossotella, Scyphidia, Epistylis, Myxobolus, Myxosoma, Thelohanellus,
Plisthophora, Henneguya, Hexamita, Achteres, Salmincola, Gyrodactylus,
Dactylogyrus, Clinostomum, Diplostomum, Diphyllobothrium, Ligula,
Echynorhynchus, Phomphorinchus, Camallanus. Penyakit yang disebabkan jamur
adalah Achlya, Ichtyophonus, Branchiomyce, Saprolegnia. Penyakit yang
disebabkan bakteri yaitu Aeromonas, Pseudomonas, Mycobacteria,
2
Corynebacteria, Columnaris, Flexibacter, Myxobacteria, Edwardsiella dan
penyakit yang disebabkan oleh virus adalah Infectious pancreatic necrosis,
Channel catfish virus, Spring viremia of carp, Infectious dropsy, Viral
hemorrhagic septicemia, Viral hematopoietic necrosis, Swim bladder
inflammation, Koi Herpes Virus (Kordi & Ghufran 2004). Budidaya ikan air
tawar di Indonesia telah berumur lebih dari seratus tahun. Oleh karena itu masalah
penyakit dan parasit ikan sebenarnya bukanlah merupakan suatu masalah baru.
Menurut Supriyadi dan Hardjamulia (1986) untuk negara Indonesia masalah
penyakit ikan hanya terbatas menyerang ikan air tawar dan ikan hias, baik
penyakit parasit maupun non parasit. Dengan makin intensifnya usaha budidaya
perikanan di Indonesia masalah parasit dan penyakit ikan akan meminta lebih
banyak perhatian pada saat ini dalam menghadapi bidang peternakan hewanhewan terrestrial.
Patologi merupakan ilmu yang mempelajari kejadian suatu penyakit. Kata
patologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “pathos” yang berarti penyakit dan
“logos” yang berarti risalah (Anonim 2008). Ahli Patologi dalam dunia
kedokteran hewan adalah peran spesialis untuk mendiagnosa suatu penyakit
melalui pengamatan pada jaringan hewan dan cairan tubuhnya. Diagnosa terhadap
penyakit dilakukan berdasarkan pengamatan makroskopis, mikroskopis, reaksi
kimiawi tubuh, reaksi imunologi, serta pemeriksaan molekular organ, jaringan,
dan tubuh secara keseluruhan saat post mortem (nekropsi). Pemeriksaan post
mortem merupakan prosedur penting dalam mendiagnosa penyakit ikan (Roberts
2001).
Dalam rangka mendalami kasus penyakit pada ikan hias, maka ikan-ikan
sakit yang ditemukan di beberapa lokasi budidaya ikan hias diambil sebagai
sampel. Ikan-ikan tersebut dipilih berdasarkan keadaan gejala klinisnya yaitu
perubahan pada warna kulitnya dan bentuk tubuh, perubahan bentuk sirip dan
gerak renangnya di kolam budidaya atau akuarium. Perubahan yang ditemukan
diamati secara makroskopis dan mikroskopis, kemudian dikaji perjalanan
penyakitnya. Selain itu dipelajari juga kondisi lingkungan serta manajemen
budidaya pada lokasi pengambilan sampel.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan serta mempelajari
lesi patologi yang terjadi.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari studi kasus ini adalah agar dapat memahami
patogenesa kejadian penyakit dan melakukan tindak pencegahan serta pengobatan
yang tepat dalam mendukung manajemen pengelolaan budidaya ikan hias air
tawar di tempat pengambilan sampel.
3
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, dimulai dari bulan Januari
sampai Juni 2012. Penelitian diawali dengan pengambilan sampel 4 ekor ikan
manfish di Raiser yang didiagnosa mengalami suatu penyakit. Setelah dilakukan
pemeriksaan patologi anatomi, kemudian sampel ikan dijadikan sediaan
histopatologi sehingga dapat diperiksa lebih lanjut. Pembuatan preparat
histopatologi, pemeriksaan, dan interpretasi dilakukan di Laboratorium
Diagnostik Patologi, Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan
Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH
IPB).
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah kantung plastik atau container, ember, gunting
bedah, pinset anatomis, pinset fisiologis, freezer, kaset jaringan, gelas objek,
inkubator, automatic tissue processor, parafin embedding console, mikrotom,
mikroskop cahaya Olympus CH-1, digital eye piece camera microscope dan
kamera digital. Bahan yang digunakan adalah ikan sakit, oksigen, Buffer Neutral
Formalin 10%, alkohol konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, dan absolut, xylol,
parafin, pewarna hematoksilin C.I. 75290, eosin C.I. 45380, 5% sodium
thiosulphate, dan lithium carbonate.
Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian yang akan dilakukan terdiri dari studi manajemen
budidaya, pengambilan sampel, transportasi sampel ke laboratorium, pencatatan
data sampel, nekropsi, fiksasi, pembuatan preparat histopatologi, dan analisis
histopatologi. Interpretasi lesio dianalisa secara deskriptif dan patogenesa
penyakit disusun melalui kajian pustaka.
Studi Manajemen Budidaya
Sebelum dilakukan pengamatan dan pengambilan sampel, perlu dipelajari
studi manajemen ikan untuk mengetahui pembenihan, perawatan serta budidaya
ikan dengan baik agar dapat mengenali gejala-gejala klinis yang terjadi pada ikan
serta memahami adanya penyakit infeksius ataupun non infeksius.
Pengambilan Sampel
Pengamatan ikan dilakukan terlebih dahulu untuk dapat mengetahui ikan
mana yang mengalami kelainan. Pengambilan ikan manfish sebanyak 4 ekor dari
300 ekor ikan manfish yang terdapat di akuarium. Kelainan pada ikan diantaranya
adanya ulkus dan hemoragi pada bagian kaudal otot dekat dengan ekor dan sirip
ekor ikan yang mengalami kerusakan. Selain itu terlihat ikan berenang pasif dan
4
memisahkan diri dari populasinya. Dari keempat sampel yang diambil, hanya satu
ekor ikan yang dikaji pada tulisan ini.
Transportasi Sampel ke Laboratorium
Sampel dibawa dengan plastik atau kontainer yang memiliki cukup oksigen
dan tempat yang cukup luas. Saat mengganti tempat dari plastik menuju bak ikan
di laboratorium harus dilakukan secara teliti, jangan sampai suhu pada air
berubah. Dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu agar ikan dapat beradaptasi pada
lingkungan barunya. Aklimatisasi dilakukan dengan mengapungkan kantong
plastik yang berisi ikan pada bak penampungan selama 10-15 menit. Hal ini
dilakukan agar suhu air dalam plastik sama dengan suhu bak penampungan.
Setelah itu kantung plastik dibuka dan ikan dibiarkan keluar dengan sendirinya.
Suhu yang baik untuk ikan adalah sekitar 25-28˚C.
Pencatatan Data Sampel
Setiap sampel dilengkapi dengan sejarah detail dan membuat anamnese
gejala klinis. Sejarah mencakup deskripsi tempat pengambilan sampel, jumlah
ikan yang terinfeksi, jumlah total kematian, angka kematian per hari, warna,
tingkah laku, umur ikan yang terinfeksi, dan adanya tindakan profilaksis
sebelumnya. Informasi ini untuk menentukan sampel apa yang akan diambil nanti
saat nekropsi (Stoskopf 1993).
Nekropsi
Sebelum nekropsi dilakukan, ikan terlebih dahulu dieuthanasi dengan cara
pendinginan dimasukkan dalam freezer. Nekropsi dilakukan dengan membuka
rongga perut menggunakan gunting bedah yang dimulai memotong lewat kloaka
ke arah depan sampai belakang operkulum, dilanjutkan pemotongan ke arah
dorsal sampai kloaka lagi sehingga terlihat organnya dan diamati apakah terdapat
perubahan atau abnormalitas, kemudian setiap lesio yang terdapat pada ikan
didokumentasikan dengan kamera digital.
Fiksasi
Ikan tersebut dimasukkan ke dalam wadah yang berisi Buffer Neutral
Formalin 10% tanpa memisahkan organ-organ tetapi rongga abdomen diinsisi.
Selain itu kepala ikan juga dibuka dan diambil otaknya. Setelah dilakukan fiksasi
maka organ-organ tersebut dibuat menjadi preparat histopatologi.
Pembuatan Histopatologi
Pembuatan preparat histopatologi berdasarkan Bacha dan Bacha (2000)
pada organ ikan dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
1. Grossing
Sediaan organ ikan dan karkas yang sudah direndam dalam larutan
Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, kemudian dipotong dengan
ketebalan + 3 mm dan potongannya dimasukkan ke dalam kaset jaringan.
Pemotongan karkas ikan dilakukan secara melintang yang membagi tubuh
ikan menjadi empat sampai enam bagian.
5
2. Dehidrasi
Organ yang ada dalam kaset jaringan dimasukkan ke dalam keranjang
kaset yang kemudian dimasukkan dalam gelas-gelas pada mesin
autotechnicon untuk dilakukan dehidrasi. Dehidrasi ini dilakukan bertahap
dengan menggunakan alkohol yang konsentrasinya bertingkat, dimulai
dari konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, dan alkohol absolut. Setelah itu
dilakukan proses penjernihan (clearing) dengan memasukkan sediaan ke
dalam xylol dua kali ulangan.
3. Infiltrasi Parafin
Jaringan direndam dalam parafin cair sebanyak tiga kali pengulangan.
4. Perendaman (embedding) dan pencetakan (block)
Sediaan yang telah diinfiltrasi parafin ditanam dalam cetakan yang
telah berisi parafin cair setengah dari dinding cetakan dan organ di dalam
jaringan diatur dengan membenamkan jaringan, kemudian setelah mulai
membeku ditambahkan lagi dengan parafin cair sampai penuh. Proses ini
dilakukan dengan menggunakan tissue embedding console Sakura®.
Sediaan tersebut diatur letaknya kemudian diberi label lalu dibekukan
dalam freezer untuk memudahkan pemotongan.
5. Pemotongan
Jaringan dipotong 3-5 µm dengan mikrotom merk Spencer®. Hasil
potongan dibentangkan di atas air hangat untuk mencegah terjadinya
lipatan potongan. Sediaan dilekatkan di atas gelas objek kemudian
dikeringkan dalam inkubator.
6. Pewarnaan Jaringan
a. Hematoksilin-Eosin (Bancroft & Stevens 1990)
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin atau HE termasuk dalam jenis
pewarnaan ganda (double staining) karena menggunakan 2 jenis zat
warna. Pada pewarnaan ganda, umumnya pewarnaan yang digunakan satu
bersifat asam, dan yang lain bersifat basa. Paduan sifat tersebut
menyebabkan bagian-bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik dapat
ditonjolkan. Penggunaan pewarna ganda bertujuan agar terjadi
kekontrasan antara bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik, sehingga
pengenalan bagian tertentu dapat lebih jelas terlihat.
Pewarnaan HE diawali dengan proses deparafinisasi dengan
melarutkan parafin dalam xylol, selanjutnya proses rehidrasi dengan
menggunakan alkohol absolut, 95%, 90%, 80%, dan 70% secara berurutan
masing-masing selama 2-3 menit. Sediaan kemudian dicuci dengan air
mengalir. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam 5% sodium
thiosulphate. Kemudian dicuci dengan air mengalir selama 3-5 menit.
Sediaan diwarnai dengan pewarna hematoksilin selama 8 menit, kemudian
dicuci kembali dalam air mengalir dan direndam dalam lithium carbonate
selama 15-30 detik. Setelah itu, sediaan diwarnai dengan pewarna eosin
selama 2-3 menit dan kemudian sediaan dicuci dalam air mengalir untuk
membersihkan warna eosin yang berlebihan. Selanjutnya sediaan
6
didehidrasi dengan memasukkannya ke dalam alkohol 70%, alkohol 95%,
alkohol absolut dua kali ulangan masing-masing selama 2-3 menit, xylol
dua kali ulangan masing-masing selama 2 menit. Setelah semuanya
selesai, sediaan dikeringkan kemudian ditetesi dengan mounting medium
dan ditutup dengan gelas penutup dan siap untuk diperiksa di bawah
mikroskop.
Analisis Histopatologi
Preparat yang telah dibuat kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya
Olympus CH-1 untuk melihat perubahan pada sel ataupun organ. Setelah
dilakukan pemeriksaan histopatologi terdapat 1 dari 4 ekor ikan manfish yang
mengandung larva parasit nematoda pada ususnya. Analisis pengukuran larva
dilakukan dengan menggunakan mikrometer dan software image J.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel ikan manfish yang diperoleh dari Raiser Cibinong termasuk ke
dalam kelas Osteichthyes (ikan bertulang keras), superordo Teleostei, famili
Cychlidae, spesies Pterophyllum scalare. Ikan manfish yang dewasa memiliki
panjang sekitar 7 cm. Ikan manfish tersebut berasal dari beberapa kota di
Indonesia yaitu Tulung Agung, Bogor, Bekasi, Jakarta, Sukabumi dan Cianjur.
Adapun rute budidaya ikan manfish adalah
Petani yang sudah berhasil mengembangbiakkan larva menjadi ikan manfish
yang dewasa akan menjualnya kepada pengumpul yang kemudian akan
diserahkan kepada suplier. Suplier kemudian menyerahkan ikan tersebut ke
Raiser. Raiser sebagai Sentra Ikan Nasional harus memperhatikan kualitas dan
kesehatan dengan menyeleksi ikan-ikan yang baik sebelum di ekspor melalui
eksportir yang akan mengirim ke luar negeri. Ikan manfish pada kasus ini
merupakan ikan sortiran artinya yang dianggap memiliki kualitas yang tidak layak
untuk diekspor. Ikan manfish yang sakit dapat memengaruhi kualitas ikan lain
yang layak kirim karena dapat menjadi sumber penularan dari agen-agen
infeksius. Ikan manfish di kolam Raiser ditempatkan di dalam akuarium yang
berukuran sekitar 90 x 60 x 70 sentimeter bersama dengan ikan lain dalam satu
genus. Air akuarium tersebut berasal dari air tanah dengan pH 6,5-7 (sedikit
asam), kandungan garam 0% dan Chemical Oxygen Demand (COD) 8 ppm atau
di atas 5 ppm. Kondisi tersebut merupakan habitat air yang sesuai untuk ikan
manfish (Susanto 2000).
Di dalam akuarium, keadaan ikan manfish pada kasus ini menunjukkan
adanya ulkus dan hemoragi pada bagian kulit kaudal dekat dengan ekor dan sirip
ekor terlihat mengalami kerusakan (Gambar 1). Ikan tersebut berenang pasif dan
memisahkan diri dari populasinya. Keseimbangan ikan ketika berenang masih
terlihat sama seperti ikan normal lainnya.
7
Gambar 1 Keadaan luar dari ikan manfish yang sakit menunjukkan ulkus dan
hemoragi pada daerah kaudal (tanda panah panjang), disertai kerusakan pada
sirip ekornya (tanda panah pendek). Insang terlihat normal berwarna merah
cerah.
Setelah ikan sampel dieuthanasia, dilakukan pemotongan operkulum
(bagian penutup insang) yang memperlihatkan warna insang normal, yaitu insang
berwarna merah cerah. Ketika dilakukan pembukaan pada bagian abdomen, tidak
terlihat kelainan spesifik pada organ interna (hati, usus, limpa, ginjal, dan
pankreas) secara makroskopis (Gambar 2). Pengamatan secara mikroskopis yaitu
dengan melihat jaringan (histopatologi) dilakukan dengan pewarnaan
Hematoxylin dan Eosin (HE). Pewarnaan Hematoxylin dan Eosin merupakan
pewarnaan yang paling sering digunakan dalam mewarnai jaringan karena
memberikan gambaran yang jelas dari nukleus dan sitoplasma (Alwahaibi et al.
2012).
Gambar 2 Organ internal ikan manfish tidak memperlihatkan kelainan yang
spesifik secara makroskopis.
8
Gambaran mikroskopis organ interna ikan memperlihatkan adanya
perubahan lesi terutama usus dan pada beberapa organ lainnya yaitu insang, kulit
(epidermis), hati, pankreas, ginjal dan otak sedangkan pada limpa tidak
menunjukkan kelainan. Potongan jantung ikan manfish tidak tersampling pada
kasus ini karena ukurannya yang sangat kecil.
Struktur histologi usus pada ikan hampir sama dengan mamalia yaitu
memiliki struktur vili, lapisan mukosa dan submukosa. Usus dilapisi epitel
silindris sebaris yang memiliki nukleus sentral dan sel goblet yang menyebar
(Roberts 2001). Pada organ usus ikan manfish kasus ini, ditemukan banyak
potongan transversal dan longitudinal dari badan parasit cacing di dalam lumen
(Gambar 3) dan terbenam di dalam mukosa (Gambar 4).
Vili usus yang seharusnya panjang menjadi memendek serta melebar, akibat
infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada mukosa usus ikan tersebut
(Gambar 5). Eosinofil memiliki fungsi utama mensekresikan isi granularnya
sebagai respon terhadap infeksi parasit (Woo 2006). Epitel permukaan vili usus
juga mengalami deskuamasi akibat adanya edema peradangan pada mukosa.
Kerusakan epitel dan mukosa atau jaringan yang lebih dalam oleh nematoda
biasanya disebabkan gigitan mulut, buccal cavity, gigi atau tanduk. Infestasi
nematoda pada ikan dapat menyebabkan luka mekanik, atropi usus akibat tekanan,
penyumbatan saluran pencernaan dan pembuluh darah, intoksikasi metabolit dan
gangguan penyerapan makanan, enzim, mineral serta vitamin (Woo 2006). Badan
parasit akan menekan jaringan disekitarnya (Platzer & Adam 1967) dan
mengubah morfologi jaringan (Molnar 1966) serta menyebabkan hemoragi,
inflamasi, granuloma, ascites dan adhesi organ visceral. Efek patologi dari
infestasi cacing tergantung jenis spesies dan jumlah nematoda serta pertahanan
ikan juga tergantung daerah terinfeksi (Woo 2006). Infestasi nematoda pada kasus
ini diduga menembus tunika muskularis usus menyebabkan perforasi hingga
serosa usus sehingga terjadi serositis (peritonitis) (Gambar 6).
Gambar 3 Irisan melintang organ usus ditemukan potongan transversal (panah pendek)
dan longitudinal (panah panjang) cacing nematoda lumen. Pewarnaan HE,
skala 50 µm.
9
Gambar 4 Histopatologi usus yang epitelnya mengalami deskuamasi (panah merah) dan
ditemukan potongan larva cacing yang terbenam dalam mukosa (panah hitam)
dengan Pewarnaan HE skala 50 µm.
Gambar 5 Respon peradangan pada mukosa usus berupa infiltrasi sel eosinofil (panah
merah) dan infiltrasi sel limfosit (panah hitam). Pewarnaan HE, skala 50 µm.
10
Gambar 6 Histopatologi usus yang tunika muskularis mengalami perforasi hingga serosa
(panah panjang) hingga menyebabkan peradangan pada serosa (serositis/
peritonitis) (panah pendek). Pewarnaan HE, skala 50 µm.
Penentuan genus dari cacing ini dilakukan dengan pendekatan morfologi,
ukuran tubuh dan siklus hidup dari cacing tersebut. Potongan cacing pada kasus
ini memiliki morfologi serupa dengan larva dari cacing nematoda karena memiliki
buccal cavity (rongga mulut) yang sangat jelas (Gambar 7) yang tidak dimiliki
oleh Cestoda, Trematoda maupun Acanthocephala. Dalam irisan jaringan, cacing
Nematoda, Cestoda, Trematoda dan Acanthocephala menunjukkan perbedaan
morfologi. Cacing Nematoda memiliki tubuh yang ramping dan transparan karena
ditutupi kutikula. Bagian kutikula sederhana, lapisannya homogen dan hanya
dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Kutikula merupakan bagian yang
sangat kuat karena tersusun atas beberapa serabut (fiber). Bagian dari kutikula
mengandung enzim, RNA, ATP, karbohidrat, lemak, dan substansi lain yang
menunjang aktivitas fisiologi. Kutikula mengalami pergantian sebanyak empat
kali selama proses perkembangan dari nematoda muda hingga dewasa dan matang
dalam reproduksi (Pechenik 2000). Cacing Cestoda memiliki morfologi tubuh
yang khas yaitu memiliki scolex yang terdiri atas rostellum dan sucker serta
memiliki proglotid yang terlihat berbuku-buku sedangkan Trematoda memiliki
satu batil hisap dorsal pada bagian dorsal (monogenea) dan 2 batil hisap pada
bagian dorsal maupun ventral (digenea) serta Acanthocephala memiliki proboscis
sehingga disebut “hookworm” (Brusca dan Brusca 2002)
Badan nematoda memiliki sistem digesti yang linier dengan mulut (stoma)
pada bagian anterior. Saluran pencernaan dibagi menjadi buccal cavity, esofagus,
usus, dan rektum (Bruno et al. 2006). Makanan masuk melalui mulut menuju
buccal cavity yang memiliki lapis kutikula dan gigi. Esofagus tersusun atas otot
yang mampu melakukan kontraksi dan relaksasi menyebabkan lumen dapat
meluas dan menutup. Lumen usus ditutupi oleh lapisan sel epitel yang memiliki
mikrovili pada bagian permukaannya. Mikrovili kadang-kadang tidak terlihat
dengan menggunakan mikroskop cahaya.
Studi literatur melaporkan beberapa genus cacing nematoda yang terdapat
pada ikan manfish yaitu Contracaecum sp, Capillaria sp, Camallanus sp,
Eustrongyloides sp (Yanong 2008). Pengukuran larva cacing dilakukan dengan
11
menggunakan mikrometer, diperoleh ukuran panjang larva dalam lumen usus
adalah 1,2 milimeter dan diameter 53-111 mikrometer. Ukuran larva cacing pada
kasus ini serupa dengan genus Camallanus yang diteliti oleh De pada tahun 1999
dimana larva ketiga memiliki panjang 786 sampai 3937 mikrometer dengan
diameter 43 sampai 168 mikrometer. Tabel 1 berikut merangkum hasil studi
literatur mengenai ukuran tubuh larva ketiga dari beberapa genus cacing
nematoda.
Tabel 1 Perbedaan Ukuran Panjang dan Diameter Larva Ketiga Nematoda pada
Ikan Manfish
Nematoda
Ukuran panjang (mm)
Kasus ini
1,2
Ukuran diameter
(µm)
53-111
Literatur
Camallanus sp
0,786-3,937
43-168
De 1999
Contracaecum sp
0,291-0,457
15-18
Moravec 2009
Capillaria sp
5,41
54-60
Eustrongyloides sp
50-60
-
Ohbayashi & Masegi
1972
Rowe & Kusabs 2007
Gambar 7 Buccal cavity (tanda panah) yang dimiliki oleh Camallanus pada kasus ini
dibandingkan dengan gambar dari literatur (De 1999).
12
Nematoda memiliki siklus hidup yang rumit, berbeda-beda tergantung
pada spesiesnya. Organisme yang mengandung stadium dewasa kelamin dari
cacing nematoda ini dikenal sebagai induk semang definitif, sedangkan organisme
yang hanya dibutuhkan untuk melengkapi siklus hidup cacing ini tetapi tidak
mengandung stadium dewasa kelamin cacing dikenal sebagai induk semang
antara (Yanong 2008). Roberts (2001) menyatakan bahwa ikan dan kopepoda
dapat menjadi induk semang antara dan melengkapi stadium dewasa jika dimakan
oleh ikan, ataupun mamalia yang menjadi inang definitifnya. Secara umum, di
dalam tubuh ikan, cacing nematoda memiliki lima stadium dalam siklus hidupnya
yang dipisahkan oleh empat kali pergantian kulit (moulting) (Buchmann &
Bresciani 2001).
Genus Camallanus menginfeksi saluran pencernaan cychlids, guppies dan
swordtails serta spesies lain ikan air tawar. Biasanya infeksi pertama ditandai
warna merah dan cacing menonjol dari anus ikan. Camallanus sp dilaporkan dapat
menginvasi mukosa usus karena memiliki enzim protease dan merusak mikrovili
dengan menggunakan gigi sklerotis yang terdapat pada bagian buccal cavity (De
1999; Newton dan Munn 1999). Nematoda ini termasuk dalam ovoviviparous
("ovo berarti"telur" dan"vivipar" berarti beranak). Dalam siklus hidupnya, embrio
akan berubah menjadi larva pertama di dalam telur pada tubuh cacing betina.
Larva pertama kemudian akan keluar dari membran telur ketika dikeluarkan ke
dalam air, sehingga dalam ikan manfish tidak ditemukan telur cacing ini
(Stromberg & Crites 1973).
Menurut Yanong (2008) Camallanus memiliki inang antara kopepoda
sehingga siklus hidup cacing ini disebut siklus hidup tidak langsung (Gambar 8).
Kopepoda merupakan krustasea yang berukuran sangat kecil yaitu 0,3 sampai 18
mm. Kopepoda dapat hidup di air tawar, air laut dan perairan yang memiliki kadar
garam yang tinggi serta dapat bertindak sebagai parasit maupun komensalisme
pada berbagai jenis ikan (Hys & Boxshall 1991). Kutu air (Cyclops sp)
merupakan jenis kopepoda termasuk ke dalam famili Cyclopidae (Chullarson et
al. 2008). Camallanus betina dapat melepaskan larva pertama (L1) ke dalam air
dan dapat bertahan di dalam air selama 12 hari (Dogiei et al. 1960) kemudian
Cyclops sebagai inang antara memakan larva ini sehingga dapat mengandung
Camallanus L1. Camallanus L1 yang dimakan Cyclops lalu masuk ke dalam
tubuh kemudian akan melakukan penetrasi ke dalam haemosul melalui usus
bagian belakang dalam waktu dua jam (Stromberg & Crites 1973). Haemosul
merupakan rongga tubuh kopepoda yang mengandung hemosianin yang berubah
warna menjadi biru ketika teroksigenasi mirip dengan hemoglobin pada
vertebrata.
Larva pertama akan mengalami pergantian kulit di dalam haemosul dan
mengalami perubahan ditandai dengan usus yang memanjang, lumen semakin
meluas, epitel berbentuk kubus, dan ekor yang pendek (14% dari panjang tubuh)
serta akan berubah menjadi larva kedua dengan ususnya yang semakin meluas
serta ditemukannya bagian usus posterior dengan ukuran kecil. Larva kedua
kemudian berubah menjadi larva ketiga setelah mengalami pergantian kulit di
dalam tubuh kopepoda (De 1999). Larva ketiga (L3) dan larva keempat (L4)
ditemukan pada inang definitif yaitu pada ikan manfish.
Larva ketiga memiliki gigi sklerotis, buccal capsul, tiga mukron pada
bagian ekor dan ekor mulai memanjang menjadi 7-8% dari panjang tubuh.
13
Mukron merupakan alat reproduksi dalam melakukan kopulasi. Larva tersebut
tetap di dalam tubuh sampai Cyclops atau kopepoda dimakan oleh ikan manfish.
Larva ketiga akan mengalami pergantian kulit pada hari ke 18 setelah infeksi pada
cacing jantan dan hari ke 24 pada cacing betina. Setelah mengalami pergantian
kulit maka cacing ini menjadi larva keempat ditandai dengan kutikula yang tipis
(Stromberg & Crites 1973). Larva keempat jantan akan mengalami pergantian
kulit pada hari ke 68 pada suhu 24-360C. Larva keempat betina mengalami
pergantian kulit pada hari ke 86. Sistem reproduksi akan mengalami diferensiasi
dimana ekor akan berbentuk kerucut dengan tiga mukron kecil. Cacing betina
dengan telur dan beberapa larva akan ditemukan pada hari ke 187 (De 1999).
Cacing tersebut merusak vili usus menggunakan gigi sklerotis yang terdapat pada
buccal cavity dan penetrasi ke dalam mukosa usus dengan mengeluarkan enzim
protease. Infeksi secara intensif oleh nematoda menyebabkan perubahan patologis
terutama disekitar cacing tersebut menempel.
Gambar 8 Siklus hidup Camallanus sp larva masuk ke dalam tubuh inang antara
sebelum dimakan inang definitif (Yanong 2008).
Efek patologi dari infeksi nematoda sangat sedikit diteliti dan hanya
beberapa yang melaporkan kasus mortalitas akibat infeksi nematoda. Nematoda
mendatangkan antibodi yang spesifik di dalam tubuh inang. Migrasi dari stadium
larva pada rongga tubuh dan jaringan menurunkan sistem imun inang. Sistem
imun tubuh dan nutrisi yang diambil oleh cacing tersebut akan menurunkan fungsi
fisiologis usus dalam menyerap nutrisi (Woo 2006). Hal ini akan berakibat
terhadap perilaku ikan dimana ikan memisahkan diri dari populasinya.
Struktur kulit pada ikan kurang lebih mirip dengan mamalia darat yang
terdiri dari epidermis dan dermis serta ditunjang hypodermis atau lapisan
subkutan. Kulit ikan dan lapisan mukus merupakan perlindungan pertama
menghalangi agen infeksius, tekanan osmotik, dan kerusakan mekanis (Stoskopf
1993). Secara histopatologi ditemukan adanya erosi epidermis dan juga infiltrasi
sel radang pada otot di daerah ulkus (Gambar 9). Tidak ditemukannya agen
penyebab kerusakan pada daerah tersebut menunjukkan bahwa penyebab adanya
erosi epidermis adalah tidak spesifik. Ulkus dan hemoragi yang ditemukan pada
14
kulit ikan ini diduga diakibatkan karena fungsi tubuh yang menurun sehingga
mudah terserang penyakit dan stres yang dapat disebabkan oleh kepadatan
populasi ketika dilakukan transportasi dari tempat pengambilan ikan sebelum tiba
di Raiser. Ulkus pada otot dan kulit ikan merupakan indikasi adanya polutan dan
stres dalam lingkungan perairan (Noga 2000).
Gambar 9
Organ kulit yang bagian epidermisnya mengalami erosi dan ditemukan
infiltrasi sel radang pada jaringan otot di bawah kulit (tanda panah).
Pewarnaan HE, skala 50 µm.
Lesi lain selain pada usus dan kulit ditemukan pada organ insang, ginjal,
pankreas, hati dan otak. Infeksi cacing Camallanus sp pada kasus ini
menyebabkan gangguan pada organ lain secara tidak langsung terhadap ikan
manfish.
Ikan manfish memiliki insang yang merupakan organ respirasi utama dan
vital. Epitel insang ikan merupakan bagian utama dalam melakukan fungsi
pertukaran gas, keseimbangan asam basa, regulasi ion, dan ekskresi nitrogen.
Pengamatan mikroskopis pada filamen insang terutama pada bagian lamela
sekunder ditemukan banyak sel limfosit, kapiler mengalami kongesti, hiperplasia
epitel lamela sekunder dan dilatasi kapiler (teleangiectasis). Teleangiectasis mirip
dengan kondisi aneurisma pada hewan vertebrata tingkat tinggi. Aneurisma
merupakan dilatasi yang permanen dari arteri, sedangkan teleangiectasis
merupakan suatu kondisi yang reversibel dan pasif.
Teleangiectasis dapat disebabkan oleh kerusakan mekanis, bahan toksik,
virus, bakteri, toksin-toksin bakteri, parasit-parasit dan dalam beberapa kasus
defisiensi nutrisi (Plumb 1994). Perubahan diatas mengindikasikan bahwa insang
15
mengalami peradangan (brankhitis). Brankhitis dicirikan dengan adanya kongesti,
hemoragi, proliferasi sel klorid dan infiltrasi sel radang (Gambar 11). Menurut
Noga (2000), lesio brankhitis dan hiperplasia lamella sekunder dapat terjadi akibat
kualitas air yang buruk, stres, kekurangan vitamin E dan infestasi parasit.
Gambar 10 Insang mengalami lesio teleangiectasis pada lamela sekunder (anak panah,
kongesti pada lamela primer (A), infiltrasi sel limfosit (B), dan hiperplasia
epitel lamela sekunder (C). Pewarnaan HE, skala 50 µm.
Gambar 11
Lamela sekunder insang mengalami infiltrasi sel klorid (panah) pada
pewarnaan HE, skala 50 µm.
Secara histologis ginjal ikan manfish memiliki struktur yang mirip dengan
ginjal mamalia yang mengandung glomerulus dengan kapsula Bowman dan
juxtaglomerular tetapi tidak memiliki lengkung Henle. Fungsi lengkung Henle
diganti oleh tubulus distal yang berliku-liku (Stoskopf 1993). Fungsi urinasi pada
ginjal ikan umumnya berlokasi pada ginjal kaudal. Ginjal kranial berisi jaringan
yang tidak memiliki fungsi dalam sistem urinasi. Jaringan limfoid banyak terdapat
pada ginjal kranial sebagai pembentukan sel darah. Ginjal kranial sangat
tervaskularisasi dan menyimpan darah di kapilernya. Pembentukan urin dimulai
16
dengan proses filtrasi glomerulus plasma dan dinamakan ultrafiltrasi glomerulus
karena filtrat primer mempunyai komposisi sama seperti plasma kecuali protein.
Sel-sel darah dan molekul-molekul protein bermuatan negatif seperti albumin
secara efektif tertahan oleh seleksi ukuran dan muatan yang merupakan ciri khas
dari sawar membran filtrasi glomerular. Tekanan-tekanan yang berperan dalam
proses laju filtrasi glomerulus bersifat pasif dan tidak dibutuhkan energi metabolik
untuk proses filtrasi tersebut. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang
terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula Bowman. Tekanan hidrostatik
darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan dilawan oleh tekanan
hidrostatik filtrat dalam kapsula Bowman serta tekanan onkotik darah. Proses
pembentukan urin setelah filtrasi adalah reabsorpsi selektif zat-zat yang sudah
difiltrasi. Sebagian besar zat yang difiltrasi direabsorpsi melalui tubulus sehingga
zat-zat tersebut kembali lagi ke dalam kapiler peritubulus yang mengelilingi
tubulus (Price 2005). Ginjal ikan manfish kasus ini mengalami edema interstisialis
(Gambar 12) yang ditandai renggangnya jaringan interstisialis antara tubulus.
Timbulnya edema pada bagian interstitial ginjal dapat diakibatkan oleh beberapa
hal yaitu gagal jantung, sirosis hati, sindrom nefrosis, kekurangan vitamin E dan
hipoproteinemia. Kekurangan protein terutama albumin dan globulin dalam darah
menyebabkan terjadinya edema karena meningkatnya tekanan hidrostatik
pembuluh darah (Price 2005; Stoskopf 1993). Hipoproteinemia dapat diakibatkan
oleh kekurangan nutrisi maupun infeksi parasit. Beberapa tubulus mengalami
degenerasi hialin. Degenerasi hialin pada tubulus proksimal dapat terjadi karena
terjadinya reabsorbsi dari filtrat glomerulus akibat kerusakan glomerulus.
Gambar 12
Ginjal pada ikan yang mengalami edema interstisialis (panah panjang)
dan degenerasi hialin (panah pendek). Pewarnaan HE, skala 50 µm.
Hepatosit pada ikan berbentuk poligonal dengan nukleus berbentuk
sperikal dan umumnya memiliki satu nukleolus. Pada beberapa jenis ikan jaringan
pankreas ditemukan pada hati sepanjang vena porta (Stoskopf 1993). Degenerasi
17
lemak biasanya terjadi pada ikan yang dibudidayakan. Menurut Roberts (2001)
degenerasi lemak di hati disebabkan karena kondisi toksik pada perairan dan juga
defisiensi vitamin A.
Gambar 13 Histopatologi organ hati yang mengalami degenerasi lemak (tanda panah)
dengan pewarnaan HE, skala 50 µm.
Infiltrasi sel radang terlihat diantara kelenjar asinar pankreas yang
mengalami nekrosis pada ikan manfish kasus ini (Gambar 14). Kelenjar eksokrin
pankreas pada ikan memiliki struktur kelenjar tubulo-alveolar. Sel sekretori pada
kelenjar eksokrin pankreas memiliki nukleus berlokasi di basal dan sitoplasma
berisi banyak granul zimogen. Pulau Langerhans berada di antara kelenjar
eksokrin bersamaan dengan syaraf dan pembuluh darah (Stoskopf 1993). Pada
kasus ini granula zimogen sel asinar terlihat berkurang, dan sel asinar menjadi
kecil (atrofi). Infiltrasi sel radang (pankreatitis) diakibatkan adanya serositis/
peritonitis yang terjadi karena perforasi serosa usus oleh larva cacing.
18
Gambar 14 Pankreas yang mengalami pankreatitis ditandai dengan adanya sel asinar
yang mengalami atrofi (tanda panah) dan infiltrasi sel radang (anak panah).
Pewarnaan HE, skala 50 µm.
Otak pada ikan dibagi menjadi 5 bagian yaitu telensefalon, diensefalon,
mesensefalon, metensefalon, dan myelensefalon. Struktur otak ikan sangat mirip
dengan vertebrata lainnya (Stoskopf 1993). Lesi otak ikan manfish kasus ini
menunjukkan gliosis dan malacia (Gambar 15). Otak pada ikan memerlukan
vitamin untuk memberi nutrisi jaringan otak dan neuron. Vitamin B1 (tiamin)
merupakan koenzim untuk mengkatalisasi enzim esensial dalam memetabolisme
karbohidrat. Bentuk koenzim dari tiamin adalah tiamin pirofosfat yang berfungsi
dalam pencernaan, reproduksi dan otak. Ikan spesies tertentu seperti cyprinid,
clupeid mengandung banyak tiaminase di dalam jaringan. Kekurangan tiaminase
pada mamalia, burung dan ikan secara hispatologi ditandai dengan hemoragi dan
gliosis (Roberts 2001)
19
Gambar 15 Otak mengalami gliosis (panah pendek) dan malacia (panah panjang).
Pewarnaan HE, skala 50 µm.
Pencegahan dan pengobatan terhadap kasus ini perlu dilakukan untuk
mengurangi kejadian kasus infeksi. Karantina ikan selama 14 hari hingga 21 hari
merupakan hal yang penting dilakukan sebelum ikan baru dimasukkan dalam
suatu akuarium. Ikan yang dikarantina harus diberi kualitas dan filtrasi air yang
baik terutama pH dan kandungan oksigen terlarut. Pergantian air perlu juga
diperhatikan untuk menghindari stres pada ikan karena perubahan suhu air yang
fluktuatif dapat menyebabkan stres. Pemutusan siklus hidup dengan mengganti
pakan yang bukan inang antara dari nematoda juga merupakan salah satu tindak
pencegahan karena larva pertama yang dikeluarkan oleh cacing dewasa terhambat
perkembangannya ke tahap yang lebih lanjut sebelum menginfeksi inang definitif.
Pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan formaldehid 75 sampai 100
ppm (dalam 10 liter air) yang berfungsi sebagai parasitida. Penggunaan potassium
permanganate sebanyak 100 ppm dan levamisol sebanyak 2 mg/L dilaporkan
efektif membunuh larva nematoda (Stoskopf 1993).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Cacing yang menginfeksi usus ikan manfish pada kasus ini termasuk ke
dalam kelas nematoda dengan Genus Camallanus. Infestasi cacing ini
menyebabkan deskuamasi dan infiltrasi sel radang pada mukosa usus serta
menyebabkan malabsorbsi. Kondisi malabsorbsi berdampak pada malnutrisi yang
menyebabkan timbulnya lesi pada organ lain.
20
Saran
Pencegahan perlu dilakukan dengan pemutusan siklus hidup cacing
Camallanus sp dengan mencari pakan alternatif ikan yang bukan merupakan
inang antara dari cacing Camallanus sp serta perlu dilakukan karantina ikan untuk
mencegah penyebaran infeksi cacing Camallanus sp.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi R, Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. Pekanbaru: UNRI press.
Hlm:57-60.
Anonim. 2008. Pathology. [internet]. [diacu 12 Mei 2012]. Tersedia dari:
http://pathology.stanford.edu/.
Alwahaibi NY, Siham, Johannsen SK. 2012. Capability of Hematoxylin and Eosin
Stain to Demonstrate Hemosiderin in Bone Marrow Trephine Biopsy. J.
Biomed. (3):53-56.
Axelrod, Herbert R, Leonard PS. 1984. Handbook of Tropical Aquarium Fishes.
Neptune city: T. F. H. Hlm.: 40-41.
Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology Second Edition.
Lippincott Williams & Wilkins : United States. Hlm.: 1-3.
Bancroft J, Stevens A. 1990. Theory and Practice of Histological Techniques.
New York: Churchill livingstone. Hlm.: 20-55.
Bruno BN, Elliott DG. 2006. Guide to the Identification of Fish Protozoan and
Metazoan Parasites in Stained Tissue Section. 70: 1-36.
Brusca RC, Brusca GJ. 2002. Invertebrata. Humoldt State University: California.
Hlm. 450-452.
Buchmann K, Bresciani J. 2001. An Introduction to Parasitic Diseases of
Freshwater Trout. DSR Publisher: Denmark. Hlm.: 201-220.
Chullarson S, Pawana K, Khawanruan P, Frank DF. 2008. Apocyclops
Ramkhamhaengi sp (Copepoda: Cyclopida) in a Culture Originating from
Brackish at Chang Island, Trat Province Thailand. J. Parasitol 47(3): 326337.
De NC. 1999. On the Development and Life Cycle of Camallanus anabantis
(Nematoda: Camallanidae), a Parasite of the Climbing Perch, Anabas
testudineus. 46: 205-215.
Dogiei VA, Petruhevski GK, Polyvanski. 1960. Parasitology of Fishes.
Leningrad: Moscow. Hlm.: 162-163.
Hys R, Boxshall GA. 1991. Copepod Evolution. The Ray Society: Series
159, London.Hlm.: 1-468.
Kordi KM, Ghufran. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Bina
Adiaksara : Jakarta. Hlm: 3-5.
Molnár K. 1967. Morphology and Development of Philometra abdominalis
Nybelin, 1928. Acta Veterinaria Academiae Scientiarum Hungaricae 17,
293–300.
21
Moravec F. 2009. Experimental Studies on the Development of Contracaecum
rudolphii (Nematoda Anisakidae) in Copepod and Fish Paratenic Hosts.
Institute of Parasitology, Biology Centre ASCR. 56 (3): 185-193.
Newton SE, Munn EA. 1999. The Development of Vaccines Against
Gastrointestinal Nematode Parasites, Particularly Haemonchus contortus.
Parasitology Today 15, 116–122.
Noga EJ. 2000. Skin Ulcers in Fish: Pfresterian and Other Etiologies. J. Parasitol.
28: 807-823.
Ohbayashi M, Masegi T. 1972. Some Nematodes of the Japanese Shrew Mole,
Urothrichus Talpoides Temmminck. J. Parasitol. 20: 111-116.
Pechenik AJ. 2000. Biology of The Invertebrates. Fourth Edition. Tufts
University: United States of America. Hlm.: 411.
Platzer EG, Adams JR. 1967. The Life History of a Dracunculoid, Phylonema
oncorhynchi, in Oncorhynchus nerka. Canadian J.Zool. 45, 31–43.
Plumb JA. 1994. Health Maintenance of Cultured Fishes: Principal Microbial
Diseases. CRC Press Inc. USA. 254 p.
Price AP. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Penerbit
buku EGC: Jakarta. Hlm.: 308-374.
Roberts RJ. 2001. Fish pathology.University of Stirling: Scotland. Hlm.; 264
Rowe D, Kusabs I. 2007. Taonga and Mahinga Kai of the Te Arawa Lakes: a
Review of Current Knowlede- Koaro. National Institute of water and
Athmosphere Research: New Zealand. Hlm.: 21-22.
Stosk
BOLAS MANGIHUT P SIAHAAN. Patologi Infestasi Cacing Camallanus sp
pada Ikan Manfish (Pterophyllum scalare) asal Raiser Cibinong. Dibimbing oleh
DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan SRI ESTUNINGSIH.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan infestasi cacing
yang menginfeksi ikan manfish yang diperoleh dari calon Balai Pelayanan Usaha
dan Pemasaran Ikan Hias Cibinong (Raiser). Ikan manfish menunjukkan adanya
ulserasi dan hemoragi pada kulit dekat ekor dan sirip ekor yang mengalami
kerusakan. Pengamatan mikroskopis menunjukkan lesi utama pada usus
ditemukannya potongan transversal dan longitudinal larva cacing pada lumen dan
terbenam dalam mukosa usus. Morfologi dan ukuran cacing diamati dengan
pewarnaan jaringan Hematoxilin Eosin. Bentuk dan ukuran larva cacing yang
ditemukan berdasarkan studi literatur termasuk dalam kelas nematoda genus
Camallanus sp. Infestasi cacing yang parah pada usus dapat mengganggu
pencernaan dan penyerapan makanan sehingga merusak organ lain dalam tubuh.
Kata kunci: Cacing pada ikan; Ikan sakit; Manfish; Parasit ikan; Patologi ikan.
ABSTRACT
BOLAS MANGIHUT P SIAHAAN. Pathology Camallanus sp Helminthes
Infestation in Angelfish (Pterophyllum scalare) from Raiser Cibinong. Supervised
by DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and SRI ESTUNINGSIH.
The aimed of this study is to describe the helminth infestation on diseased
angelfish obtained from the forerunner of the Center of Ornamental Fish Business
Services and Marketing at Cibinong (Raiser). The angelfish showed ulceration
and hemorrhage on the skin near caudal fin with damaged of tail fin. Microscopic
observations showed the most severe lesions found in intestine which was have
transversal and longitudinal slices of helminthes larvae within the lumen also
buried in mucosa. The morphology and size of the helminthes were observed
within the Hematoxylin Eosin tissue section. The shapes and the sizes of larvae as
compared studies of literatures lead to reveal nematode Camallanus sp as genus of
helminthes found. Severe helminthes infestation within intestine causes
indigestion and absorption of food which will further cause disturbances in other
organs.
Keyword: Angelfish; Fish disease; Fish helminthes; Fish parasites; Fish
pathology.
PATOLOGI INFESTASI CACING Camallanus sp PADA
IKAN MANFISH (Pterophyllum scalare) ASAL
RAISER CIBINONG
BOLAS MANGIHUT P SIAHAAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Patologi Infestasi
Cacing Camallanus sp pada Ikan Manfish (Pterophyllum scalare) asal Raiser
Cibinong adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Bolas Mangihut P Siahaan
NIM B04080048
ABSTRAK
BOLAS MANGIHUT P SIAHAAN. Patologi Infestasi Cacing Camallanus sp
pada Ikan Manfish (Pterophyllum scalare) asal Raiser Cibinong. Dibimbing oleh
DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan SRI ESTUNINGSIH.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan infestasi cacing
yang menginfeksi ikan manfish yang diperoleh dari calon Balai Pelayanan Usaha
dan Pemasaran Ikan Hias Cibinong (Raiser). Ikan manfish menunjukkan adanya
ulserasi dan hemoragi pada kulit dekat ekor dan sirip ekor yang mengalami
kerusakan. Pengamatan mikroskopis menunjukkan lesi utama pada usus
ditemukannya potongan transversal dan longitudinal larva cacing pada lumen dan
terbenam dalam mukosa usus. Morfologi dan ukuran cacing diamati dengan
pewarnaan jaringan Hematoxilin Eosin. Bentuk dan ukuran larva cacing yang
ditemukan berdasarkan studi literatur termasuk dalam kelas nematoda genus
Camallanus sp. Infestasi cacing yang parah pada usus dapat mengganggu
pencernaan dan penyerapan makanan sehingga merusak organ lain dalam tubuh.
Kata kunci: Cacing pada ikan; Ikan sakit; Manfish; Parasit ikan; Patologi ikan.
ABSTRACT
BOLAS MANGIHUT P SIAHAAN. Pathology Camallanus sp Helminthes
Infestation in Angelfish (Pterophyllum scalare) from Raiser Cibinong. Supervised
by DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and SRI ESTUNINGSIH.
The aimed of this study is to describe the helminth infestation on diseased
angelfish obtained from the forerunner of the Center of Ornamental Fish Business
Services and Marketing at Cibinong (Raiser). The angelfish showed ulceration
and hemorrhage on the skin near caudal fin with damaged of tail fin. Microscopic
observations showed the most severe lesions found in intestine which was have
transversal and longitudinal slices of helminthes larvae within the lumen also
buried in mucosa. The morphology and size of the helminthes were observed
within the Hematoxylin Eosin tissue section. The shapes and the sizes of larvae as
compared studies of literatures lead to reveal nematode Camallanus sp as genus of
helminthes found. Severe helminthes infestation within intestine causes
indigestion and absorption of food which will further cause disturbances in other
organs.
Keyword: Angelfish; Fish disease; Fish helminthes; Fish parasites; Fish
pathology.
PATOLOGI INFESTASI CACING Camallanus sp PADA
IKAN MANFISH (PterophyllumScalare) ASAL
RAISER CIBINONG
BOLAS MANGIHUT P SIAHAAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Penelitian
Nama Mahasiswa
NIM
: Patologi Infestasi Cacing Camallanus sp pada Ikan
Manfish (Pterophyllum scalare) asal Raiser Cibinong
: Bolas Mangihut Parasian Siahaan
: B04080048
Disetujui
drh. Dewi Ratih Ph.D, APVet.
Dr. drh. Sri Estuningsih MSi, APVet.
Pembimbing I
Pembimbing II
Diketahui oleh
drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet.
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus oleh
karena berkat dan penyertaanNya yang luar biasa, penulis dapat menyelesaikan
penelitian dengan baik serta dengan karunia dan kebaikanNya. Skripsi ini disusun
berdasarkan hasil penelitian studi kasus di lapangan dengan judul Patologi
Infestasi Cacing Camallanus sp pada Ikan Manfish (Pterophyllum scalare) asal
Raiser Cibinong.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu drh Dewi Ratih Agungpriyono
PhD APVet dan Ibu Dr drh Sri Estuningsih MSi APVet selaku pembimbing atas
dorongan, teladan, motivasi dan nasehat yang sangat membentuk karakter penulis.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada calon Balai Pelayanan
Usaha dan Pemasaran Ikan Hias Cibinong (Raiser) terutama Bapak Dadang dan
Bapak Kholis yang telah membantu dalam pencarian sampel ikan, masukan dan
saran untuk penelitian dan skripsi ini. Terimakasih juga pada Tenaga
Kependidikan Bagian Patologi Pak Kasnadi, Pak Soleh, Pak Endang dan Mbak
Kiki atas segala bantuannya selama penelitian hingga skripsi ini terselesaikan.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah J Siahaan, ibu P
Silalahi yang terkasih, kakak Hotnida dan Lae Joe, Abang Hisar dan Kakak Novi,
Kakak Melisha, sepupuku Dosma, Adikku Daniel dan Sarina atas segala doa dan
kasih sayangnya. Selain itu terimakasih juga pada Dr Ir Etih Sudarnika atas
bimbingan dan motivasi terhadap penulis. Terimakasih buat sahabat-sahabat
kontrakan Lappet (Amudi, Chastro, Christian, Exas, dan Gunawan) selama masa
kuliah dalam melewati berbagai hal pergumulan, selisih pendapat, teladan, kasih
dan sukacita serta sahabat-sahabatku sepenelitian Desray, Rahma dan Fatma yang
juga turut membantu penulis melewati suka, duka, dorongan, perhatian dan
doanya selama penelitian hingga skripsi ini terselesaikan. Terimakasih juga buat
Ka Amer dan adik-adik asistensi Habakukerz, Tim Kornita (Ruth, Echa, GPC,
Saut), Avenzoar, KPS 45 (Samuel, Erti, Novrika, Maju, Nehemia, Mbot, Yeni,
Satchi, dan AKPS lainnya), dan PMK yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam karya
ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2013
Bolas Mangihut P Siahaan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
MATERI DAN METODE
3
Alat
3
Bahan
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Hasil
6
Pembahasan
6
SIMPULAN DAN SARAN
20
Simpulan
20
Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
21
RIWAYAT HIDUP
22
DAFTAR TABEL
1
Perbandingan ukuran Larva Ketiga Nematoda yang menginfeksi usus
ikan manfish
13
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Keadaan luar ikan manfish yang sakit menunjukkan ulkus dan
hemoragi pada daerah kaudal disertai kerusakan pada sirip ekornya
Organ internal ikan manfish tidak memperlihatkan kelainan secara
spesifik secara makroskopis
Histopatologi potongan transversal dan longitudinal parasit di lumen
usus
Histopatologi epitel usus mengalami deskuamasi dan potongan parasit
terbenam dalam usus
Infiltrasi sel eosinofil dan limfosit pada mukosa usus
Histopatologi usus mengalami serositis/ peritonitis
Histopatologi buccal cavity pada Camallanus sp
Siklus hidup Camallanus sp
Histopatologi lesi pada epidermis organ kulit
Histopatologi insang mengalami teleangiectasis, kongesti, hyperplasia
epitel lamela sekunder dan infiltrasi sel limfosit
Lamela sekunder insang mengalami infiltrasi sel klorid
Histopatologi lesi pada organ ginjal
Histopatologi lesi pada organ hati
Histopatologi lesi pada organ pankreas
Histopatologi lesi pada organ otak
7
7
8
8
9
10
12
13
14
15
15
16
17
18
19
1
PENDAHULUAN
Indonesia dikenal memiliki kekayaan sumberdaya perikanan yang cukup
besar, terutama dalam perbendaharaan jenis-jenis ikan. Sekitar 16 % spesies ikan
yang ada di dunia diperkirakan hidup di perairan Indonesia. Indonesia termasuk
salah satu negara dengan potensi ikan hias terbesar di dunia. Total jumlah jenis
ikan yang terdapat di perairan Indonesia mencapai 7000 spesies. Hampir 2000
spesies di antaranya merupakan jenis ikan air tawar. Ikan air tawar merupakan
jenis ikan yang hidup dan menghuni perairan daratan (inland water) yaitu perairan
dengan kadar garam kurang dari 5 per mil (0-5 ‰). Biota sebagai titik sentral
perhatian pembudidayaan perlu dicermati bagaimana responnya terhadap
medianya, pakannya, ancaman penyakit selama proses pembudidayaan dan lainlain (Affandi & Tang 2002).
Ikan hias yang banyak dibudidayakan termasuk dalam kelas Pisces dan
subkelas Teleostomi menurut taksonominya. Ikan yang termasuk subkelas
Teleostomi diantaranya adalah ikan dari ordo Osteolepiformes, yaitu arwana dan
arapaima; ikan dari ordo Perciformes yaitu discus dan manfish; ikan dari ordo
Cypriniformes, yaitu mas, silver dollar dan koi; ordo Characiformes yaitu tetra;
dan ordo lainnya (Axelord et al 1984).
Kekayaan ikan hias air tawar yang tersimpan di bumi Nusantara belum
dapat difungsikan secara maksimal dan masih tertinggal jauh dari negara-negara
lain terutama dalam hal manajemen pengelolaan industri. Belum adanya
komitmen bersama antara pemerintah dan para pelaku bisnis terutama
pembudidaya dan eksportir merupakan kendala lain dalam pengembangan pasar
ikan hias Indonesia. Manajemen yang kurang baik akan berdampak pada
kesehatan ikan dan dapat menimbulkan penyakit.
Penyakit merupakan suatu proses yang merusak atau mengganggu pada
organisme dengan penyebab khusus dan mempunyai gejala-gejala yang khusus
pula seperti pada manusia dan hewan terrestrial, ikan juga dapat terserang oleh
suatu penyakit. Ada beberapa faktor penyebab penyakit ikan misalnya adanya
perubahan kondisi lingkungan, faktor keturunan, mikroorganisme, hewan parasit,
dan manajemen budidaya ikan (Supriyadi & Hardjamulia 1986).
Latarbelakang
Banyaknya spesies ikan yang ada di Indonesia juga membuat temuan
berbagai jenis penyakit pada hewan baik itu yang disebabkan oleh jamur, bakteri,
cacing, protozoa maupun virus. Begitu banyak agen yang menyerang spesies ikan
di Indonesia diantaranya penyakit yang disebabkan oleh protozoa:
Ichtyophthirius, Trichodina, Costia. Penyakit yang disebabkan cacing:
Glossotella, Scyphidia, Epistylis, Myxobolus, Myxosoma, Thelohanellus,
Plisthophora, Henneguya, Hexamita, Achteres, Salmincola, Gyrodactylus,
Dactylogyrus, Clinostomum, Diplostomum, Diphyllobothrium, Ligula,
Echynorhynchus, Phomphorinchus, Camallanus. Penyakit yang disebabkan jamur
adalah Achlya, Ichtyophonus, Branchiomyce, Saprolegnia. Penyakit yang
disebabkan bakteri yaitu Aeromonas, Pseudomonas, Mycobacteria,
2
Corynebacteria, Columnaris, Flexibacter, Myxobacteria, Edwardsiella dan
penyakit yang disebabkan oleh virus adalah Infectious pancreatic necrosis,
Channel catfish virus, Spring viremia of carp, Infectious dropsy, Viral
hemorrhagic septicemia, Viral hematopoietic necrosis, Swim bladder
inflammation, Koi Herpes Virus (Kordi & Ghufran 2004). Budidaya ikan air
tawar di Indonesia telah berumur lebih dari seratus tahun. Oleh karena itu masalah
penyakit dan parasit ikan sebenarnya bukanlah merupakan suatu masalah baru.
Menurut Supriyadi dan Hardjamulia (1986) untuk negara Indonesia masalah
penyakit ikan hanya terbatas menyerang ikan air tawar dan ikan hias, baik
penyakit parasit maupun non parasit. Dengan makin intensifnya usaha budidaya
perikanan di Indonesia masalah parasit dan penyakit ikan akan meminta lebih
banyak perhatian pada saat ini dalam menghadapi bidang peternakan hewanhewan terrestrial.
Patologi merupakan ilmu yang mempelajari kejadian suatu penyakit. Kata
patologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “pathos” yang berarti penyakit dan
“logos” yang berarti risalah (Anonim 2008). Ahli Patologi dalam dunia
kedokteran hewan adalah peran spesialis untuk mendiagnosa suatu penyakit
melalui pengamatan pada jaringan hewan dan cairan tubuhnya. Diagnosa terhadap
penyakit dilakukan berdasarkan pengamatan makroskopis, mikroskopis, reaksi
kimiawi tubuh, reaksi imunologi, serta pemeriksaan molekular organ, jaringan,
dan tubuh secara keseluruhan saat post mortem (nekropsi). Pemeriksaan post
mortem merupakan prosedur penting dalam mendiagnosa penyakit ikan (Roberts
2001).
Dalam rangka mendalami kasus penyakit pada ikan hias, maka ikan-ikan
sakit yang ditemukan di beberapa lokasi budidaya ikan hias diambil sebagai
sampel. Ikan-ikan tersebut dipilih berdasarkan keadaan gejala klinisnya yaitu
perubahan pada warna kulitnya dan bentuk tubuh, perubahan bentuk sirip dan
gerak renangnya di kolam budidaya atau akuarium. Perubahan yang ditemukan
diamati secara makroskopis dan mikroskopis, kemudian dikaji perjalanan
penyakitnya. Selain itu dipelajari juga kondisi lingkungan serta manajemen
budidaya pada lokasi pengambilan sampel.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan serta mempelajari
lesi patologi yang terjadi.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari studi kasus ini adalah agar dapat memahami
patogenesa kejadian penyakit dan melakukan tindak pencegahan serta pengobatan
yang tepat dalam mendukung manajemen pengelolaan budidaya ikan hias air
tawar di tempat pengambilan sampel.
3
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, dimulai dari bulan Januari
sampai Juni 2012. Penelitian diawali dengan pengambilan sampel 4 ekor ikan
manfish di Raiser yang didiagnosa mengalami suatu penyakit. Setelah dilakukan
pemeriksaan patologi anatomi, kemudian sampel ikan dijadikan sediaan
histopatologi sehingga dapat diperiksa lebih lanjut. Pembuatan preparat
histopatologi, pemeriksaan, dan interpretasi dilakukan di Laboratorium
Diagnostik Patologi, Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan
Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH
IPB).
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah kantung plastik atau container, ember, gunting
bedah, pinset anatomis, pinset fisiologis, freezer, kaset jaringan, gelas objek,
inkubator, automatic tissue processor, parafin embedding console, mikrotom,
mikroskop cahaya Olympus CH-1, digital eye piece camera microscope dan
kamera digital. Bahan yang digunakan adalah ikan sakit, oksigen, Buffer Neutral
Formalin 10%, alkohol konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, dan absolut, xylol,
parafin, pewarna hematoksilin C.I. 75290, eosin C.I. 45380, 5% sodium
thiosulphate, dan lithium carbonate.
Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian yang akan dilakukan terdiri dari studi manajemen
budidaya, pengambilan sampel, transportasi sampel ke laboratorium, pencatatan
data sampel, nekropsi, fiksasi, pembuatan preparat histopatologi, dan analisis
histopatologi. Interpretasi lesio dianalisa secara deskriptif dan patogenesa
penyakit disusun melalui kajian pustaka.
Studi Manajemen Budidaya
Sebelum dilakukan pengamatan dan pengambilan sampel, perlu dipelajari
studi manajemen ikan untuk mengetahui pembenihan, perawatan serta budidaya
ikan dengan baik agar dapat mengenali gejala-gejala klinis yang terjadi pada ikan
serta memahami adanya penyakit infeksius ataupun non infeksius.
Pengambilan Sampel
Pengamatan ikan dilakukan terlebih dahulu untuk dapat mengetahui ikan
mana yang mengalami kelainan. Pengambilan ikan manfish sebanyak 4 ekor dari
300 ekor ikan manfish yang terdapat di akuarium. Kelainan pada ikan diantaranya
adanya ulkus dan hemoragi pada bagian kaudal otot dekat dengan ekor dan sirip
ekor ikan yang mengalami kerusakan. Selain itu terlihat ikan berenang pasif dan
4
memisahkan diri dari populasinya. Dari keempat sampel yang diambil, hanya satu
ekor ikan yang dikaji pada tulisan ini.
Transportasi Sampel ke Laboratorium
Sampel dibawa dengan plastik atau kontainer yang memiliki cukup oksigen
dan tempat yang cukup luas. Saat mengganti tempat dari plastik menuju bak ikan
di laboratorium harus dilakukan secara teliti, jangan sampai suhu pada air
berubah. Dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu agar ikan dapat beradaptasi pada
lingkungan barunya. Aklimatisasi dilakukan dengan mengapungkan kantong
plastik yang berisi ikan pada bak penampungan selama 10-15 menit. Hal ini
dilakukan agar suhu air dalam plastik sama dengan suhu bak penampungan.
Setelah itu kantung plastik dibuka dan ikan dibiarkan keluar dengan sendirinya.
Suhu yang baik untuk ikan adalah sekitar 25-28˚C.
Pencatatan Data Sampel
Setiap sampel dilengkapi dengan sejarah detail dan membuat anamnese
gejala klinis. Sejarah mencakup deskripsi tempat pengambilan sampel, jumlah
ikan yang terinfeksi, jumlah total kematian, angka kematian per hari, warna,
tingkah laku, umur ikan yang terinfeksi, dan adanya tindakan profilaksis
sebelumnya. Informasi ini untuk menentukan sampel apa yang akan diambil nanti
saat nekropsi (Stoskopf 1993).
Nekropsi
Sebelum nekropsi dilakukan, ikan terlebih dahulu dieuthanasi dengan cara
pendinginan dimasukkan dalam freezer. Nekropsi dilakukan dengan membuka
rongga perut menggunakan gunting bedah yang dimulai memotong lewat kloaka
ke arah depan sampai belakang operkulum, dilanjutkan pemotongan ke arah
dorsal sampai kloaka lagi sehingga terlihat organnya dan diamati apakah terdapat
perubahan atau abnormalitas, kemudian setiap lesio yang terdapat pada ikan
didokumentasikan dengan kamera digital.
Fiksasi
Ikan tersebut dimasukkan ke dalam wadah yang berisi Buffer Neutral
Formalin 10% tanpa memisahkan organ-organ tetapi rongga abdomen diinsisi.
Selain itu kepala ikan juga dibuka dan diambil otaknya. Setelah dilakukan fiksasi
maka organ-organ tersebut dibuat menjadi preparat histopatologi.
Pembuatan Histopatologi
Pembuatan preparat histopatologi berdasarkan Bacha dan Bacha (2000)
pada organ ikan dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
1. Grossing
Sediaan organ ikan dan karkas yang sudah direndam dalam larutan
Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, kemudian dipotong dengan
ketebalan + 3 mm dan potongannya dimasukkan ke dalam kaset jaringan.
Pemotongan karkas ikan dilakukan secara melintang yang membagi tubuh
ikan menjadi empat sampai enam bagian.
5
2. Dehidrasi
Organ yang ada dalam kaset jaringan dimasukkan ke dalam keranjang
kaset yang kemudian dimasukkan dalam gelas-gelas pada mesin
autotechnicon untuk dilakukan dehidrasi. Dehidrasi ini dilakukan bertahap
dengan menggunakan alkohol yang konsentrasinya bertingkat, dimulai
dari konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, dan alkohol absolut. Setelah itu
dilakukan proses penjernihan (clearing) dengan memasukkan sediaan ke
dalam xylol dua kali ulangan.
3. Infiltrasi Parafin
Jaringan direndam dalam parafin cair sebanyak tiga kali pengulangan.
4. Perendaman (embedding) dan pencetakan (block)
Sediaan yang telah diinfiltrasi parafin ditanam dalam cetakan yang
telah berisi parafin cair setengah dari dinding cetakan dan organ di dalam
jaringan diatur dengan membenamkan jaringan, kemudian setelah mulai
membeku ditambahkan lagi dengan parafin cair sampai penuh. Proses ini
dilakukan dengan menggunakan tissue embedding console Sakura®.
Sediaan tersebut diatur letaknya kemudian diberi label lalu dibekukan
dalam freezer untuk memudahkan pemotongan.
5. Pemotongan
Jaringan dipotong 3-5 µm dengan mikrotom merk Spencer®. Hasil
potongan dibentangkan di atas air hangat untuk mencegah terjadinya
lipatan potongan. Sediaan dilekatkan di atas gelas objek kemudian
dikeringkan dalam inkubator.
6. Pewarnaan Jaringan
a. Hematoksilin-Eosin (Bancroft & Stevens 1990)
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin atau HE termasuk dalam jenis
pewarnaan ganda (double staining) karena menggunakan 2 jenis zat
warna. Pada pewarnaan ganda, umumnya pewarnaan yang digunakan satu
bersifat asam, dan yang lain bersifat basa. Paduan sifat tersebut
menyebabkan bagian-bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik dapat
ditonjolkan. Penggunaan pewarna ganda bertujuan agar terjadi
kekontrasan antara bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik, sehingga
pengenalan bagian tertentu dapat lebih jelas terlihat.
Pewarnaan HE diawali dengan proses deparafinisasi dengan
melarutkan parafin dalam xylol, selanjutnya proses rehidrasi dengan
menggunakan alkohol absolut, 95%, 90%, 80%, dan 70% secara berurutan
masing-masing selama 2-3 menit. Sediaan kemudian dicuci dengan air
mengalir. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam 5% sodium
thiosulphate. Kemudian dicuci dengan air mengalir selama 3-5 menit.
Sediaan diwarnai dengan pewarna hematoksilin selama 8 menit, kemudian
dicuci kembali dalam air mengalir dan direndam dalam lithium carbonate
selama 15-30 detik. Setelah itu, sediaan diwarnai dengan pewarna eosin
selama 2-3 menit dan kemudian sediaan dicuci dalam air mengalir untuk
membersihkan warna eosin yang berlebihan. Selanjutnya sediaan
6
didehidrasi dengan memasukkannya ke dalam alkohol 70%, alkohol 95%,
alkohol absolut dua kali ulangan masing-masing selama 2-3 menit, xylol
dua kali ulangan masing-masing selama 2 menit. Setelah semuanya
selesai, sediaan dikeringkan kemudian ditetesi dengan mounting medium
dan ditutup dengan gelas penutup dan siap untuk diperiksa di bawah
mikroskop.
Analisis Histopatologi
Preparat yang telah dibuat kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya
Olympus CH-1 untuk melihat perubahan pada sel ataupun organ. Setelah
dilakukan pemeriksaan histopatologi terdapat 1 dari 4 ekor ikan manfish yang
mengandung larva parasit nematoda pada ususnya. Analisis pengukuran larva
dilakukan dengan menggunakan mikrometer dan software image J.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel ikan manfish yang diperoleh dari Raiser Cibinong termasuk ke
dalam kelas Osteichthyes (ikan bertulang keras), superordo Teleostei, famili
Cychlidae, spesies Pterophyllum scalare. Ikan manfish yang dewasa memiliki
panjang sekitar 7 cm. Ikan manfish tersebut berasal dari beberapa kota di
Indonesia yaitu Tulung Agung, Bogor, Bekasi, Jakarta, Sukabumi dan Cianjur.
Adapun rute budidaya ikan manfish adalah
Petani yang sudah berhasil mengembangbiakkan larva menjadi ikan manfish
yang dewasa akan menjualnya kepada pengumpul yang kemudian akan
diserahkan kepada suplier. Suplier kemudian menyerahkan ikan tersebut ke
Raiser. Raiser sebagai Sentra Ikan Nasional harus memperhatikan kualitas dan
kesehatan dengan menyeleksi ikan-ikan yang baik sebelum di ekspor melalui
eksportir yang akan mengirim ke luar negeri. Ikan manfish pada kasus ini
merupakan ikan sortiran artinya yang dianggap memiliki kualitas yang tidak layak
untuk diekspor. Ikan manfish yang sakit dapat memengaruhi kualitas ikan lain
yang layak kirim karena dapat menjadi sumber penularan dari agen-agen
infeksius. Ikan manfish di kolam Raiser ditempatkan di dalam akuarium yang
berukuran sekitar 90 x 60 x 70 sentimeter bersama dengan ikan lain dalam satu
genus. Air akuarium tersebut berasal dari air tanah dengan pH 6,5-7 (sedikit
asam), kandungan garam 0% dan Chemical Oxygen Demand (COD) 8 ppm atau
di atas 5 ppm. Kondisi tersebut merupakan habitat air yang sesuai untuk ikan
manfish (Susanto 2000).
Di dalam akuarium, keadaan ikan manfish pada kasus ini menunjukkan
adanya ulkus dan hemoragi pada bagian kulit kaudal dekat dengan ekor dan sirip
ekor terlihat mengalami kerusakan (Gambar 1). Ikan tersebut berenang pasif dan
memisahkan diri dari populasinya. Keseimbangan ikan ketika berenang masih
terlihat sama seperti ikan normal lainnya.
7
Gambar 1 Keadaan luar dari ikan manfish yang sakit menunjukkan ulkus dan
hemoragi pada daerah kaudal (tanda panah panjang), disertai kerusakan pada
sirip ekornya (tanda panah pendek). Insang terlihat normal berwarna merah
cerah.
Setelah ikan sampel dieuthanasia, dilakukan pemotongan operkulum
(bagian penutup insang) yang memperlihatkan warna insang normal, yaitu insang
berwarna merah cerah. Ketika dilakukan pembukaan pada bagian abdomen, tidak
terlihat kelainan spesifik pada organ interna (hati, usus, limpa, ginjal, dan
pankreas) secara makroskopis (Gambar 2). Pengamatan secara mikroskopis yaitu
dengan melihat jaringan (histopatologi) dilakukan dengan pewarnaan
Hematoxylin dan Eosin (HE). Pewarnaan Hematoxylin dan Eosin merupakan
pewarnaan yang paling sering digunakan dalam mewarnai jaringan karena
memberikan gambaran yang jelas dari nukleus dan sitoplasma (Alwahaibi et al.
2012).
Gambar 2 Organ internal ikan manfish tidak memperlihatkan kelainan yang
spesifik secara makroskopis.
8
Gambaran mikroskopis organ interna ikan memperlihatkan adanya
perubahan lesi terutama usus dan pada beberapa organ lainnya yaitu insang, kulit
(epidermis), hati, pankreas, ginjal dan otak sedangkan pada limpa tidak
menunjukkan kelainan. Potongan jantung ikan manfish tidak tersampling pada
kasus ini karena ukurannya yang sangat kecil.
Struktur histologi usus pada ikan hampir sama dengan mamalia yaitu
memiliki struktur vili, lapisan mukosa dan submukosa. Usus dilapisi epitel
silindris sebaris yang memiliki nukleus sentral dan sel goblet yang menyebar
(Roberts 2001). Pada organ usus ikan manfish kasus ini, ditemukan banyak
potongan transversal dan longitudinal dari badan parasit cacing di dalam lumen
(Gambar 3) dan terbenam di dalam mukosa (Gambar 4).
Vili usus yang seharusnya panjang menjadi memendek serta melebar, akibat
infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada mukosa usus ikan tersebut
(Gambar 5). Eosinofil memiliki fungsi utama mensekresikan isi granularnya
sebagai respon terhadap infeksi parasit (Woo 2006). Epitel permukaan vili usus
juga mengalami deskuamasi akibat adanya edema peradangan pada mukosa.
Kerusakan epitel dan mukosa atau jaringan yang lebih dalam oleh nematoda
biasanya disebabkan gigitan mulut, buccal cavity, gigi atau tanduk. Infestasi
nematoda pada ikan dapat menyebabkan luka mekanik, atropi usus akibat tekanan,
penyumbatan saluran pencernaan dan pembuluh darah, intoksikasi metabolit dan
gangguan penyerapan makanan, enzim, mineral serta vitamin (Woo 2006). Badan
parasit akan menekan jaringan disekitarnya (Platzer & Adam 1967) dan
mengubah morfologi jaringan (Molnar 1966) serta menyebabkan hemoragi,
inflamasi, granuloma, ascites dan adhesi organ visceral. Efek patologi dari
infestasi cacing tergantung jenis spesies dan jumlah nematoda serta pertahanan
ikan juga tergantung daerah terinfeksi (Woo 2006). Infestasi nematoda pada kasus
ini diduga menembus tunika muskularis usus menyebabkan perforasi hingga
serosa usus sehingga terjadi serositis (peritonitis) (Gambar 6).
Gambar 3 Irisan melintang organ usus ditemukan potongan transversal (panah pendek)
dan longitudinal (panah panjang) cacing nematoda lumen. Pewarnaan HE,
skala 50 µm.
9
Gambar 4 Histopatologi usus yang epitelnya mengalami deskuamasi (panah merah) dan
ditemukan potongan larva cacing yang terbenam dalam mukosa (panah hitam)
dengan Pewarnaan HE skala 50 µm.
Gambar 5 Respon peradangan pada mukosa usus berupa infiltrasi sel eosinofil (panah
merah) dan infiltrasi sel limfosit (panah hitam). Pewarnaan HE, skala 50 µm.
10
Gambar 6 Histopatologi usus yang tunika muskularis mengalami perforasi hingga serosa
(panah panjang) hingga menyebabkan peradangan pada serosa (serositis/
peritonitis) (panah pendek). Pewarnaan HE, skala 50 µm.
Penentuan genus dari cacing ini dilakukan dengan pendekatan morfologi,
ukuran tubuh dan siklus hidup dari cacing tersebut. Potongan cacing pada kasus
ini memiliki morfologi serupa dengan larva dari cacing nematoda karena memiliki
buccal cavity (rongga mulut) yang sangat jelas (Gambar 7) yang tidak dimiliki
oleh Cestoda, Trematoda maupun Acanthocephala. Dalam irisan jaringan, cacing
Nematoda, Cestoda, Trematoda dan Acanthocephala menunjukkan perbedaan
morfologi. Cacing Nematoda memiliki tubuh yang ramping dan transparan karena
ditutupi kutikula. Bagian kutikula sederhana, lapisannya homogen dan hanya
dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Kutikula merupakan bagian yang
sangat kuat karena tersusun atas beberapa serabut (fiber). Bagian dari kutikula
mengandung enzim, RNA, ATP, karbohidrat, lemak, dan substansi lain yang
menunjang aktivitas fisiologi. Kutikula mengalami pergantian sebanyak empat
kali selama proses perkembangan dari nematoda muda hingga dewasa dan matang
dalam reproduksi (Pechenik 2000). Cacing Cestoda memiliki morfologi tubuh
yang khas yaitu memiliki scolex yang terdiri atas rostellum dan sucker serta
memiliki proglotid yang terlihat berbuku-buku sedangkan Trematoda memiliki
satu batil hisap dorsal pada bagian dorsal (monogenea) dan 2 batil hisap pada
bagian dorsal maupun ventral (digenea) serta Acanthocephala memiliki proboscis
sehingga disebut “hookworm” (Brusca dan Brusca 2002)
Badan nematoda memiliki sistem digesti yang linier dengan mulut (stoma)
pada bagian anterior. Saluran pencernaan dibagi menjadi buccal cavity, esofagus,
usus, dan rektum (Bruno et al. 2006). Makanan masuk melalui mulut menuju
buccal cavity yang memiliki lapis kutikula dan gigi. Esofagus tersusun atas otot
yang mampu melakukan kontraksi dan relaksasi menyebabkan lumen dapat
meluas dan menutup. Lumen usus ditutupi oleh lapisan sel epitel yang memiliki
mikrovili pada bagian permukaannya. Mikrovili kadang-kadang tidak terlihat
dengan menggunakan mikroskop cahaya.
Studi literatur melaporkan beberapa genus cacing nematoda yang terdapat
pada ikan manfish yaitu Contracaecum sp, Capillaria sp, Camallanus sp,
Eustrongyloides sp (Yanong 2008). Pengukuran larva cacing dilakukan dengan
11
menggunakan mikrometer, diperoleh ukuran panjang larva dalam lumen usus
adalah 1,2 milimeter dan diameter 53-111 mikrometer. Ukuran larva cacing pada
kasus ini serupa dengan genus Camallanus yang diteliti oleh De pada tahun 1999
dimana larva ketiga memiliki panjang 786 sampai 3937 mikrometer dengan
diameter 43 sampai 168 mikrometer. Tabel 1 berikut merangkum hasil studi
literatur mengenai ukuran tubuh larva ketiga dari beberapa genus cacing
nematoda.
Tabel 1 Perbedaan Ukuran Panjang dan Diameter Larva Ketiga Nematoda pada
Ikan Manfish
Nematoda
Ukuran panjang (mm)
Kasus ini
1,2
Ukuran diameter
(µm)
53-111
Literatur
Camallanus sp
0,786-3,937
43-168
De 1999
Contracaecum sp
0,291-0,457
15-18
Moravec 2009
Capillaria sp
5,41
54-60
Eustrongyloides sp
50-60
-
Ohbayashi & Masegi
1972
Rowe & Kusabs 2007
Gambar 7 Buccal cavity (tanda panah) yang dimiliki oleh Camallanus pada kasus ini
dibandingkan dengan gambar dari literatur (De 1999).
12
Nematoda memiliki siklus hidup yang rumit, berbeda-beda tergantung
pada spesiesnya. Organisme yang mengandung stadium dewasa kelamin dari
cacing nematoda ini dikenal sebagai induk semang definitif, sedangkan organisme
yang hanya dibutuhkan untuk melengkapi siklus hidup cacing ini tetapi tidak
mengandung stadium dewasa kelamin cacing dikenal sebagai induk semang
antara (Yanong 2008). Roberts (2001) menyatakan bahwa ikan dan kopepoda
dapat menjadi induk semang antara dan melengkapi stadium dewasa jika dimakan
oleh ikan, ataupun mamalia yang menjadi inang definitifnya. Secara umum, di
dalam tubuh ikan, cacing nematoda memiliki lima stadium dalam siklus hidupnya
yang dipisahkan oleh empat kali pergantian kulit (moulting) (Buchmann &
Bresciani 2001).
Genus Camallanus menginfeksi saluran pencernaan cychlids, guppies dan
swordtails serta spesies lain ikan air tawar. Biasanya infeksi pertama ditandai
warna merah dan cacing menonjol dari anus ikan. Camallanus sp dilaporkan dapat
menginvasi mukosa usus karena memiliki enzim protease dan merusak mikrovili
dengan menggunakan gigi sklerotis yang terdapat pada bagian buccal cavity (De
1999; Newton dan Munn 1999). Nematoda ini termasuk dalam ovoviviparous
("ovo berarti"telur" dan"vivipar" berarti beranak). Dalam siklus hidupnya, embrio
akan berubah menjadi larva pertama di dalam telur pada tubuh cacing betina.
Larva pertama kemudian akan keluar dari membran telur ketika dikeluarkan ke
dalam air, sehingga dalam ikan manfish tidak ditemukan telur cacing ini
(Stromberg & Crites 1973).
Menurut Yanong (2008) Camallanus memiliki inang antara kopepoda
sehingga siklus hidup cacing ini disebut siklus hidup tidak langsung (Gambar 8).
Kopepoda merupakan krustasea yang berukuran sangat kecil yaitu 0,3 sampai 18
mm. Kopepoda dapat hidup di air tawar, air laut dan perairan yang memiliki kadar
garam yang tinggi serta dapat bertindak sebagai parasit maupun komensalisme
pada berbagai jenis ikan (Hys & Boxshall 1991). Kutu air (Cyclops sp)
merupakan jenis kopepoda termasuk ke dalam famili Cyclopidae (Chullarson et
al. 2008). Camallanus betina dapat melepaskan larva pertama (L1) ke dalam air
dan dapat bertahan di dalam air selama 12 hari (Dogiei et al. 1960) kemudian
Cyclops sebagai inang antara memakan larva ini sehingga dapat mengandung
Camallanus L1. Camallanus L1 yang dimakan Cyclops lalu masuk ke dalam
tubuh kemudian akan melakukan penetrasi ke dalam haemosul melalui usus
bagian belakang dalam waktu dua jam (Stromberg & Crites 1973). Haemosul
merupakan rongga tubuh kopepoda yang mengandung hemosianin yang berubah
warna menjadi biru ketika teroksigenasi mirip dengan hemoglobin pada
vertebrata.
Larva pertama akan mengalami pergantian kulit di dalam haemosul dan
mengalami perubahan ditandai dengan usus yang memanjang, lumen semakin
meluas, epitel berbentuk kubus, dan ekor yang pendek (14% dari panjang tubuh)
serta akan berubah menjadi larva kedua dengan ususnya yang semakin meluas
serta ditemukannya bagian usus posterior dengan ukuran kecil. Larva kedua
kemudian berubah menjadi larva ketiga setelah mengalami pergantian kulit di
dalam tubuh kopepoda (De 1999). Larva ketiga (L3) dan larva keempat (L4)
ditemukan pada inang definitif yaitu pada ikan manfish.
Larva ketiga memiliki gigi sklerotis, buccal capsul, tiga mukron pada
bagian ekor dan ekor mulai memanjang menjadi 7-8% dari panjang tubuh.
13
Mukron merupakan alat reproduksi dalam melakukan kopulasi. Larva tersebut
tetap di dalam tubuh sampai Cyclops atau kopepoda dimakan oleh ikan manfish.
Larva ketiga akan mengalami pergantian kulit pada hari ke 18 setelah infeksi pada
cacing jantan dan hari ke 24 pada cacing betina. Setelah mengalami pergantian
kulit maka cacing ini menjadi larva keempat ditandai dengan kutikula yang tipis
(Stromberg & Crites 1973). Larva keempat jantan akan mengalami pergantian
kulit pada hari ke 68 pada suhu 24-360C. Larva keempat betina mengalami
pergantian kulit pada hari ke 86. Sistem reproduksi akan mengalami diferensiasi
dimana ekor akan berbentuk kerucut dengan tiga mukron kecil. Cacing betina
dengan telur dan beberapa larva akan ditemukan pada hari ke 187 (De 1999).
Cacing tersebut merusak vili usus menggunakan gigi sklerotis yang terdapat pada
buccal cavity dan penetrasi ke dalam mukosa usus dengan mengeluarkan enzim
protease. Infeksi secara intensif oleh nematoda menyebabkan perubahan patologis
terutama disekitar cacing tersebut menempel.
Gambar 8 Siklus hidup Camallanus sp larva masuk ke dalam tubuh inang antara
sebelum dimakan inang definitif (Yanong 2008).
Efek patologi dari infeksi nematoda sangat sedikit diteliti dan hanya
beberapa yang melaporkan kasus mortalitas akibat infeksi nematoda. Nematoda
mendatangkan antibodi yang spesifik di dalam tubuh inang. Migrasi dari stadium
larva pada rongga tubuh dan jaringan menurunkan sistem imun inang. Sistem
imun tubuh dan nutrisi yang diambil oleh cacing tersebut akan menurunkan fungsi
fisiologis usus dalam menyerap nutrisi (Woo 2006). Hal ini akan berakibat
terhadap perilaku ikan dimana ikan memisahkan diri dari populasinya.
Struktur kulit pada ikan kurang lebih mirip dengan mamalia darat yang
terdiri dari epidermis dan dermis serta ditunjang hypodermis atau lapisan
subkutan. Kulit ikan dan lapisan mukus merupakan perlindungan pertama
menghalangi agen infeksius, tekanan osmotik, dan kerusakan mekanis (Stoskopf
1993). Secara histopatologi ditemukan adanya erosi epidermis dan juga infiltrasi
sel radang pada otot di daerah ulkus (Gambar 9). Tidak ditemukannya agen
penyebab kerusakan pada daerah tersebut menunjukkan bahwa penyebab adanya
erosi epidermis adalah tidak spesifik. Ulkus dan hemoragi yang ditemukan pada
14
kulit ikan ini diduga diakibatkan karena fungsi tubuh yang menurun sehingga
mudah terserang penyakit dan stres yang dapat disebabkan oleh kepadatan
populasi ketika dilakukan transportasi dari tempat pengambilan ikan sebelum tiba
di Raiser. Ulkus pada otot dan kulit ikan merupakan indikasi adanya polutan dan
stres dalam lingkungan perairan (Noga 2000).
Gambar 9
Organ kulit yang bagian epidermisnya mengalami erosi dan ditemukan
infiltrasi sel radang pada jaringan otot di bawah kulit (tanda panah).
Pewarnaan HE, skala 50 µm.
Lesi lain selain pada usus dan kulit ditemukan pada organ insang, ginjal,
pankreas, hati dan otak. Infeksi cacing Camallanus sp pada kasus ini
menyebabkan gangguan pada organ lain secara tidak langsung terhadap ikan
manfish.
Ikan manfish memiliki insang yang merupakan organ respirasi utama dan
vital. Epitel insang ikan merupakan bagian utama dalam melakukan fungsi
pertukaran gas, keseimbangan asam basa, regulasi ion, dan ekskresi nitrogen.
Pengamatan mikroskopis pada filamen insang terutama pada bagian lamela
sekunder ditemukan banyak sel limfosit, kapiler mengalami kongesti, hiperplasia
epitel lamela sekunder dan dilatasi kapiler (teleangiectasis). Teleangiectasis mirip
dengan kondisi aneurisma pada hewan vertebrata tingkat tinggi. Aneurisma
merupakan dilatasi yang permanen dari arteri, sedangkan teleangiectasis
merupakan suatu kondisi yang reversibel dan pasif.
Teleangiectasis dapat disebabkan oleh kerusakan mekanis, bahan toksik,
virus, bakteri, toksin-toksin bakteri, parasit-parasit dan dalam beberapa kasus
defisiensi nutrisi (Plumb 1994). Perubahan diatas mengindikasikan bahwa insang
15
mengalami peradangan (brankhitis). Brankhitis dicirikan dengan adanya kongesti,
hemoragi, proliferasi sel klorid dan infiltrasi sel radang (Gambar 11). Menurut
Noga (2000), lesio brankhitis dan hiperplasia lamella sekunder dapat terjadi akibat
kualitas air yang buruk, stres, kekurangan vitamin E dan infestasi parasit.
Gambar 10 Insang mengalami lesio teleangiectasis pada lamela sekunder (anak panah,
kongesti pada lamela primer (A), infiltrasi sel limfosit (B), dan hiperplasia
epitel lamela sekunder (C). Pewarnaan HE, skala 50 µm.
Gambar 11
Lamela sekunder insang mengalami infiltrasi sel klorid (panah) pada
pewarnaan HE, skala 50 µm.
Secara histologis ginjal ikan manfish memiliki struktur yang mirip dengan
ginjal mamalia yang mengandung glomerulus dengan kapsula Bowman dan
juxtaglomerular tetapi tidak memiliki lengkung Henle. Fungsi lengkung Henle
diganti oleh tubulus distal yang berliku-liku (Stoskopf 1993). Fungsi urinasi pada
ginjal ikan umumnya berlokasi pada ginjal kaudal. Ginjal kranial berisi jaringan
yang tidak memiliki fungsi dalam sistem urinasi. Jaringan limfoid banyak terdapat
pada ginjal kranial sebagai pembentukan sel darah. Ginjal kranial sangat
tervaskularisasi dan menyimpan darah di kapilernya. Pembentukan urin dimulai
16
dengan proses filtrasi glomerulus plasma dan dinamakan ultrafiltrasi glomerulus
karena filtrat primer mempunyai komposisi sama seperti plasma kecuali protein.
Sel-sel darah dan molekul-molekul protein bermuatan negatif seperti albumin
secara efektif tertahan oleh seleksi ukuran dan muatan yang merupakan ciri khas
dari sawar membran filtrasi glomerular. Tekanan-tekanan yang berperan dalam
proses laju filtrasi glomerulus bersifat pasif dan tidak dibutuhkan energi metabolik
untuk proses filtrasi tersebut. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang
terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula Bowman. Tekanan hidrostatik
darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan dilawan oleh tekanan
hidrostatik filtrat dalam kapsula Bowman serta tekanan onkotik darah. Proses
pembentukan urin setelah filtrasi adalah reabsorpsi selektif zat-zat yang sudah
difiltrasi. Sebagian besar zat yang difiltrasi direabsorpsi melalui tubulus sehingga
zat-zat tersebut kembali lagi ke dalam kapiler peritubulus yang mengelilingi
tubulus (Price 2005). Ginjal ikan manfish kasus ini mengalami edema interstisialis
(Gambar 12) yang ditandai renggangnya jaringan interstisialis antara tubulus.
Timbulnya edema pada bagian interstitial ginjal dapat diakibatkan oleh beberapa
hal yaitu gagal jantung, sirosis hati, sindrom nefrosis, kekurangan vitamin E dan
hipoproteinemia. Kekurangan protein terutama albumin dan globulin dalam darah
menyebabkan terjadinya edema karena meningkatnya tekanan hidrostatik
pembuluh darah (Price 2005; Stoskopf 1993). Hipoproteinemia dapat diakibatkan
oleh kekurangan nutrisi maupun infeksi parasit. Beberapa tubulus mengalami
degenerasi hialin. Degenerasi hialin pada tubulus proksimal dapat terjadi karena
terjadinya reabsorbsi dari filtrat glomerulus akibat kerusakan glomerulus.
Gambar 12
Ginjal pada ikan yang mengalami edema interstisialis (panah panjang)
dan degenerasi hialin (panah pendek). Pewarnaan HE, skala 50 µm.
Hepatosit pada ikan berbentuk poligonal dengan nukleus berbentuk
sperikal dan umumnya memiliki satu nukleolus. Pada beberapa jenis ikan jaringan
pankreas ditemukan pada hati sepanjang vena porta (Stoskopf 1993). Degenerasi
17
lemak biasanya terjadi pada ikan yang dibudidayakan. Menurut Roberts (2001)
degenerasi lemak di hati disebabkan karena kondisi toksik pada perairan dan juga
defisiensi vitamin A.
Gambar 13 Histopatologi organ hati yang mengalami degenerasi lemak (tanda panah)
dengan pewarnaan HE, skala 50 µm.
Infiltrasi sel radang terlihat diantara kelenjar asinar pankreas yang
mengalami nekrosis pada ikan manfish kasus ini (Gambar 14). Kelenjar eksokrin
pankreas pada ikan memiliki struktur kelenjar tubulo-alveolar. Sel sekretori pada
kelenjar eksokrin pankreas memiliki nukleus berlokasi di basal dan sitoplasma
berisi banyak granul zimogen. Pulau Langerhans berada di antara kelenjar
eksokrin bersamaan dengan syaraf dan pembuluh darah (Stoskopf 1993). Pada
kasus ini granula zimogen sel asinar terlihat berkurang, dan sel asinar menjadi
kecil (atrofi). Infiltrasi sel radang (pankreatitis) diakibatkan adanya serositis/
peritonitis yang terjadi karena perforasi serosa usus oleh larva cacing.
18
Gambar 14 Pankreas yang mengalami pankreatitis ditandai dengan adanya sel asinar
yang mengalami atrofi (tanda panah) dan infiltrasi sel radang (anak panah).
Pewarnaan HE, skala 50 µm.
Otak pada ikan dibagi menjadi 5 bagian yaitu telensefalon, diensefalon,
mesensefalon, metensefalon, dan myelensefalon. Struktur otak ikan sangat mirip
dengan vertebrata lainnya (Stoskopf 1993). Lesi otak ikan manfish kasus ini
menunjukkan gliosis dan malacia (Gambar 15). Otak pada ikan memerlukan
vitamin untuk memberi nutrisi jaringan otak dan neuron. Vitamin B1 (tiamin)
merupakan koenzim untuk mengkatalisasi enzim esensial dalam memetabolisme
karbohidrat. Bentuk koenzim dari tiamin adalah tiamin pirofosfat yang berfungsi
dalam pencernaan, reproduksi dan otak. Ikan spesies tertentu seperti cyprinid,
clupeid mengandung banyak tiaminase di dalam jaringan. Kekurangan tiaminase
pada mamalia, burung dan ikan secara hispatologi ditandai dengan hemoragi dan
gliosis (Roberts 2001)
19
Gambar 15 Otak mengalami gliosis (panah pendek) dan malacia (panah panjang).
Pewarnaan HE, skala 50 µm.
Pencegahan dan pengobatan terhadap kasus ini perlu dilakukan untuk
mengurangi kejadian kasus infeksi. Karantina ikan selama 14 hari hingga 21 hari
merupakan hal yang penting dilakukan sebelum ikan baru dimasukkan dalam
suatu akuarium. Ikan yang dikarantina harus diberi kualitas dan filtrasi air yang
baik terutama pH dan kandungan oksigen terlarut. Pergantian air perlu juga
diperhatikan untuk menghindari stres pada ikan karena perubahan suhu air yang
fluktuatif dapat menyebabkan stres. Pemutusan siklus hidup dengan mengganti
pakan yang bukan inang antara dari nematoda juga merupakan salah satu tindak
pencegahan karena larva pertama yang dikeluarkan oleh cacing dewasa terhambat
perkembangannya ke tahap yang lebih lanjut sebelum menginfeksi inang definitif.
Pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan formaldehid 75 sampai 100
ppm (dalam 10 liter air) yang berfungsi sebagai parasitida. Penggunaan potassium
permanganate sebanyak 100 ppm dan levamisol sebanyak 2 mg/L dilaporkan
efektif membunuh larva nematoda (Stoskopf 1993).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Cacing yang menginfeksi usus ikan manfish pada kasus ini termasuk ke
dalam kelas nematoda dengan Genus Camallanus. Infestasi cacing ini
menyebabkan deskuamasi dan infiltrasi sel radang pada mukosa usus serta
menyebabkan malabsorbsi. Kondisi malabsorbsi berdampak pada malnutrisi yang
menyebabkan timbulnya lesi pada organ lain.
20
Saran
Pencegahan perlu dilakukan dengan pemutusan siklus hidup cacing
Camallanus sp dengan mencari pakan alternatif ikan yang bukan merupakan
inang antara dari cacing Camallanus sp serta perlu dilakukan karantina ikan untuk
mencegah penyebaran infeksi cacing Camallanus sp.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi R, Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. Pekanbaru: UNRI press.
Hlm:57-60.
Anonim. 2008. Pathology. [internet]. [diacu 12 Mei 2012]. Tersedia dari:
http://pathology.stanford.edu/.
Alwahaibi NY, Siham, Johannsen SK. 2012. Capability of Hematoxylin and Eosin
Stain to Demonstrate Hemosiderin in Bone Marrow Trephine Biopsy. J.
Biomed. (3):53-56.
Axelrod, Herbert R, Leonard PS. 1984. Handbook of Tropical Aquarium Fishes.
Neptune city: T. F. H. Hlm.: 40-41.
Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology Second Edition.
Lippincott Williams & Wilkins : United States. Hlm.: 1-3.
Bancroft J, Stevens A. 1990. Theory and Practice of Histological Techniques.
New York: Churchill livingstone. Hlm.: 20-55.
Bruno BN, Elliott DG. 2006. Guide to the Identification of Fish Protozoan and
Metazoan Parasites in Stained Tissue Section. 70: 1-36.
Brusca RC, Brusca GJ. 2002. Invertebrata. Humoldt State University: California.
Hlm. 450-452.
Buchmann K, Bresciani J. 2001. An Introduction to Parasitic Diseases of
Freshwater Trout. DSR Publisher: Denmark. Hlm.: 201-220.
Chullarson S, Pawana K, Khawanruan P, Frank DF. 2008. Apocyclops
Ramkhamhaengi sp (Copepoda: Cyclopida) in a Culture Originating from
Brackish at Chang Island, Trat Province Thailand. J. Parasitol 47(3): 326337.
De NC. 1999. On the Development and Life Cycle of Camallanus anabantis
(Nematoda: Camallanidae), a Parasite of the Climbing Perch, Anabas
testudineus. 46: 205-215.
Dogiei VA, Petruhevski GK, Polyvanski. 1960. Parasitology of Fishes.
Leningrad: Moscow. Hlm.: 162-163.
Hys R, Boxshall GA. 1991. Copepod Evolution. The Ray Society: Series
159, London.Hlm.: 1-468.
Kordi KM, Ghufran. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Bina
Adiaksara : Jakarta. Hlm: 3-5.
Molnár K. 1967. Morphology and Development of Philometra abdominalis
Nybelin, 1928. Acta Veterinaria Academiae Scientiarum Hungaricae 17,
293–300.
21
Moravec F. 2009. Experimental Studies on the Development of Contracaecum
rudolphii (Nematoda Anisakidae) in Copepod and Fish Paratenic Hosts.
Institute of Parasitology, Biology Centre ASCR. 56 (3): 185-193.
Newton SE, Munn EA. 1999. The Development of Vaccines Against
Gastrointestinal Nematode Parasites, Particularly Haemonchus contortus.
Parasitology Today 15, 116–122.
Noga EJ. 2000. Skin Ulcers in Fish: Pfresterian and Other Etiologies. J. Parasitol.
28: 807-823.
Ohbayashi M, Masegi T. 1972. Some Nematodes of the Japanese Shrew Mole,
Urothrichus Talpoides Temmminck. J. Parasitol. 20: 111-116.
Pechenik AJ. 2000. Biology of The Invertebrates. Fourth Edition. Tufts
University: United States of America. Hlm.: 411.
Platzer EG, Adams JR. 1967. The Life History of a Dracunculoid, Phylonema
oncorhynchi, in Oncorhynchus nerka. Canadian J.Zool. 45, 31–43.
Plumb JA. 1994. Health Maintenance of Cultured Fishes: Principal Microbial
Diseases. CRC Press Inc. USA. 254 p.
Price AP. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Penerbit
buku EGC: Jakarta. Hlm.: 308-374.
Roberts RJ. 2001. Fish pathology.University of Stirling: Scotland. Hlm.; 264
Rowe D, Kusabs I. 2007. Taonga and Mahinga Kai of the Te Arawa Lakes: a
Review of Current Knowlede- Koaro. National Institute of water and
Athmosphere Research: New Zealand. Hlm.: 21-22.
Stosk