Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pendapatan PKL Makanan dan Implikasi Kebijakan Penanganan PKL di Kota Bogor.

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
PENDAPATAN PKL MAKANAN DAN IMPLIKASI
KEBIJAKAN PENANGANAN PKL DI KOTA BOGOR

SRIKANDHI ANNISAA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor-Faktor
yang Memengaruhi Pendapatan PKL Makanan dan Implikasi Kebijakan
Penanganan PKL di Kota Bogor adalah benar karya saya denganarahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Srikandhi Annisaa
NIM H14090050

ABSTRAK
SRIKANDHI ANNISAA. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pendapatan
PKL Makanan dan Implikasi Kebijakan Penanganan PKL di Kota Bogor.
Dibimbing oleh MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL.
Migrasi dapat menyebabkan peningkatan jumlah penduduk di perkotaan.
Kota Bogor sebagai salah satu kota penyangga Jakarta selain Depok, Tangerang
dan Bekasi memiliki jumlah penduduk hingga 950 334 orang. Masalah yang
timbul akibat migrasi yaitu pengangguran dan kemiskinan.Munculnya
pengangguran akibat ketidakmampuan lapangan pekerjaan menyerap angkatan
kerja yang terus bertambah sedangkan kemiskinan merupakan dampak dari
pengangguran. Mereka yang tidak dapat bekerja di lapangan pekerjaan yang telah
ada (sektor formal), kemungkinan akan bekerja di sektor informal atau membuka
lapangan kerja baru. Salah sektor informal adalah Pedagang Kaki Lima(PKL)
yang menjadi objek penelitian ini. Sampai 2010, jumlah PKL yang berada di Kota

Bogor mencapai 10 522 orang. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan faktorfaktor yang memengaruhi pendapatan PKL makanan dan implikasi kebijakan
penanganan PKL.Penelitian ini menggunakan data primer sebanyak 51 orang
responden.Hasilnya, faktor-faktor yang memengaruhi pendapatan adalah modal,
pendidikan, lama jam kerja per hari, pengalaman, retribusi, pelatihan dan lokasi.
Rekomendasi kebijakan penanganan PKL antara lain legalisasi lokasi, pelatihan,
pemberian modal bantuan dan pengurangan biaya retribusi.
Kata Kunci: PKL makanan, pendapatan, analisis regresi

ABSTRACT
SRIKANDHI ANNISAA. Factors Affecting Food Street Vendors Income and The
Implication of Policy to HandleThe Street Vendors in Bogor City.Supervised by
MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL.
Migration causes the increasing of population in urban area. Bogor as a
satellite city beside Depok, Tangerang and Bekasi has a population amounted 950
334 people. Problem appears because of the migrants are unemployed and poor.
Unemployment is a condition of unability a job field to absrop employment.
Eventhough poverty is a consequence of unemployment,person who don’t work in
formal sector, have a possibility to work in informal sector or create a new job.
The object of this research is street vendor which is an example of informal
sector. Until 2010, population of street vendor in Bogor reach 10 522 people. This

research elaborates factors that affect income and policy implication to handle
street vendors. This research used primary data from 51 responden. The results are
factors that affect income such as capital, education, hour of work per day,
experience, toll, training and location. Policy recommendations to handle street
vendorsare legalization location, training, capital injection and reduce toll
payment.
Key words: Food street trader, income, regression analysis

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
PENDAPATAN PKL MAKANAN DAN IMPLIKASI
KEBIJAKAN PENANGANAN PKL DI KOTA BOGOR

SRIKANDHI ANNISAA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi


DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi: Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pendapatan PKL
Makanan dan Implikasi Kebijakan Penanganan PKL di Kota Bogor.
Nama
: Srikandhi Annisaa
NIM
: H140900S0

Disetujui oleh

aol M.S.

Diketahui oleh

(

Mセ@
M.Ec.

Tanggal Lulus:

0 1 AU G2013

Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pendapatan PKL
Makanan dan Implikasi Kebijakan Penanganan PKL di Kota Bogor.
Nama
: Srikandhi Annisaa
NIM
: H14090050

Disetujui oleh

Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, M.S.
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh


Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec.
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah sektor
informal, dengan judul Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pendapatan
PKL Makanan dan Implikasi Kebijakan Penanganan PKL di Kota Bogor.
Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, M.S. selaku dosen pembimbing
skripsi atas segala masukannya yang membangun serta kepercayaan dan
kesabarannya dalam membimbing penulis hingga selesainya penelitian ini.
2. Bapak Dr. Muhammad Findi A, M.E. selaku dosen penguji utama yang telah
banyak memberikan saran dan kritik demi perbaikan skripsi ini.
3. Ibu Laily Dwi Arsyianti, M.Sc. selaku dosen penguji komisi pendidikan yang
memberikan banyak masukan mengenai penyusunan yang baik.

4. Bapak Undang di BPS Kota Bogor atas bantuan dan motivasinya bagi penulis
serta para Pedagang Kaki Lima yang telah bersedia menjadi responden.
5. Kedua orang tua penulis, Ibu Ida H. dan Bambang K. atas segala doa,
dukungan dan kasih sayang yang tak terhingga serta Adik Arimbi atas doa,
perhatian dan motivasi kepada penulis.
6. Seluruh dosen yang telah memberikan banyak ilmu yang sangat berharga dan
segenap Tata Usaha Departemen Ilmu Ekonomi atas bantuannya selama ini.
7. Sahabat penulis Gina Fatria, Meilani Putri, Sonya Puspa, Manda Khairatul dan
Mas Andro atas kebersamaan, perhatian, motivasi dan dukungannya kepada
penulis.
8. Teman-teman satu bimbingan Wasi Nur, Malla Dewi dan Maslina Karlince
atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya.
9. Teman-teman Kos Putri Puri Madani, Nina Hanifa, Nuha Hera, Vioci Desa
dan Nisa atas motivasi, perhatian dan kebersamaannya selama ini.
10. Seluruh teman-teman Ilmu Ekonomi 46 atas kebersamaan dan keceriaan
selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013
Srikandhi Annisaa


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Sektor Informal
Pedagang Kaki Lima
Pendapatan
Modal
Retribusi
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pikir
METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Pengambilan Sampel
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pendapatan
Definisi Operasional Variabel
Pengujian Statistik Analisis Regresi
Pengujian Asumsi Klasik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kota Bogor
Kondisi Usaha PKL Makanan
Karakteristik Responden PKL Makanan di Kota Bogor
Analisis Regresi Linier Berganda
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi

vi
vi












10 
12 
12 
12 
13 
13 

13 
14 
15 
15 
17 
17 
18 
20 
22 
27 
27 
27 
28 
30
37

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Jumlah penduduk yang datang dan pindah di Kota Bogor tahun 20092012
Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk di Kota Bogor tahun
1990, 2000, dan 2010
Penduduk usia 15 tahun ke atas menurut jenis kegiatan utama di Kota
Bogor tahun 2008-2011
Persentase Penduduk Miskin Usia 15 Tahun ke atas dan Status Bekerja
Kota Bogor Tahun 2008-2011
Tarif retribusi berdasarkan Perda Nomor 4 Tahun 2012
Distribusi Sampel Responden PKL
Karakteristik responden PKL makanan di Kota Bogor
Faktor-faktor yang memengaruhi pendapatan PKL






18 
21 
23 

DAFTAR GAMBAR
1

Kerangka pikir faktor-faktor yang memengaruhi tingkat pendapatan
PKL makanan di Kota Bogor

12 

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Hasil output analisis regresi berganda
Hasil uji kenormalan
Hasil uji Glejser
Hasil output Pearson correlation
Distribusi PKL Kota Bogor
Daftar lokasi pembinaan dan penataan usaha Pedagang Kaki Lima
(PKL)
7 Kuisioner penelitian

30 
30 
31 
31 
32 
34 
35 

 

 

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Todaro dan Smith (2006) mengemukakan migrasi adalah perpindahan
penduduk dari perdesaan ke perkotaan. Migrasi dapat menyebabkan
ketidakseimbangan struktural antara sisi penawaran dan sisi permintaan. Pada sisi
penawaran, migrasi internal dapat meningkatkan jumlah pencari kerja di
perkotaan yang melampaui tingkat atau batasan pertumbuhan penduduk. Pada sisi
permintaan, kesempatan kerja yang tersedia relatif terbatas akibat penciptaan kerja
lebih sulit dan mahal di perkotaan dari penciptaaan kerja di pedesaan.
Todaro dan Smith (2006) juga mengemukakan bahwa orang-orang
melakukan migrasi pada umumnya berdasarkan perimbangan ekonomi rasional,
dimana keputusan untuk melakukan migrasi tergantung kepada perbedaan upah
rill yang lebih besar yang diharapkan antara desa dan kota serta peluang untuk
memperoleh pekerjaan di kota. Pada intinya teori ini menganggap bahwa para
migran akan membandingkan penghasilan yang diharapkan di daerah tujuan
dengan penghasilan di daerah asal. Mereka akan melakukan migrasi bila
penghasilan di daerah tujuan lebih besar dari penghasilan di daerah asal.
Jumlah penduduk yang datang dan pindah di Kota Bogor dapat ditunjukkan
pada Tabel 1.Pada tahun 2009 jumlah penduduk yang datang lebih besar
dibandingkan jumlah penduduk pindah yakni masing-masing 12 709 orang dan 3
391 orang. Pada tahun 2011 jumlah penduduk yang datang dan pindah justru
berkebalikan dengan tahun 2009, dimana jumlah penduduk yang datang sebanyak
13 869 orang dan jumlah penduduk yang pindah sebanyak 18 588 orang. Data
terbaru 2012 menunjukkan jumlah penduduk yang datang sebanyak 19 642 orang
sedangkan jumlah penduduk yang pindah sebanyak 27 146.Walaupun jumlah
penduduk yang pindah lebih besar dari jumlah penduduk yang datang, Kota Bogor
masih memiliki daya tarik bagi para migran.
Tabel 1Jumlah penduduk yang datang dan pindah di Kota Bogor tahun 20092012
Kategori
Penduduk
datang
Penduduk
pindah

Jumlah Penduduk (orang)
2009

2010

2011

2012

12 709

3 096

13 869

19 642

3 391

6 143

18 588

27 146

Sumber:BPS Kota Bogor, 2011

Selain itu ilustrasi migrasi dapat ditunjukkan oleh pertumbuhan jumlah
penduduk.Pada Tabel 2 terjadi peningkatan jumlah penduduk mulai tahun 1990
hingga 2010.Pada tahun 1990 jumlah penduduk Kota Bogor sebanyak 271 711
orang. Pada tahun 2000 jumlah penduduk Kota Bogor sebanyak 750 819
orang.Pada tahun 2010 jumlah penduduk mencapai 950 334 orang.Laju

2

pertumbuhan penduduk Kota Bogor tahun 1990-2000 sebesar 10.25% sedangkan
pada tahun 2000-2010 sebesar 2.3%.
Tabel 2Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk di Kota Bogor tahun
1990, 2000, dan 2010
Kecamatan
Bogor Selatan
Bogor Timur
Bogor Utara
Bogor Tengah
Bogor Barat
Tanah Sareal
Jumlah

Jumlah Penduduk (Orang)
1990
52 061
62 403
81 046
35 393
40 808
271 711

2000
147 507
77 000
132 113
91 230
166 427
136 542
750 819

2010
181 392
95 098
170 443
101 398
211084
190919
950334

Laju Pertumbuhan
Penduduk per Tahun (%)
1990-2000 2000-2010
10.50
2.09
2.12
2.13
4.93
2.57
9.55
1.07
14.17
2.40
3.38
10.25
2.38

Sumber: BPS Kota Bogor, 2011

Para migran yang datang ke kota seringkali tidak memperhitungkan resiko
yang akan diterimanya. Salahsatu resiko yang akan diterima adalah keterbatasan
lapangan pekerjaan. Para migran yang datang harus mampu bersaing dengan
penduduk asli kota tersebut. Jika tidak dapat bersaing para migran akan menjadi
pengangguran. BPS (2012) dari sisi ekonomi, pengangguran merupakan produk
dari ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia.
Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas, tidak mampu menyerap para
pencari kerja yang senantiasa bertambah setiap tahun seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk. Tingginya angka pengangguran menimbulkan
berbagai masalah di bidang sosial, seperti kemiskinan dan kerawanan sosial.
Pertumbuhan tenagakerja yang kurang diimbangi dengan pertumbuhan
lapangan kerja akan menyebabkan tingkat kesempatan kerja cenderung menurun.
Di sisi lain, jumlah penduduk yang bekerja tidak selalu menggambarkan jumlah
kesempatan kerja yang ada. Hal ini dikarenakan sering terjadinya mismatch dalam
pasar kerja, dan juga kecenderungan orang memiliki pekerjaan rangkap (BPS
2012).
Sebagai gambaran pengangguran di Kota Bogor, berikut Tabel 3 mengenai
penduduk usia 15 tahun ke atas menurut jenis kegiatan utama di Kota Bogor tahun
2008-2012. Persentase tingkat pengangguran di Kota Bogor mengalami fluktuasi.
Dari tahun 2008 hingga 2009 persentase tingkat pengangguran mengalami
kenaikan yakni dari 18.52% menjadi 19.04%. Pada tahun 2009 hingga 2012,
persentase tingkat pengangguran cenderung menurun yakni masing-masing tahun
19.04%, 17.04% dan 10.31%.Diduga penurunan ini akibat lapangan kerja yang
tetap atau yang telah tersedia mampu menyerap jumlah angkatan pekerjaan lebih
banyak. Selain itu ada kemungkinan penduduk mencari alternatif pekerjaan lain,
karena lokasi Kota Bogor yang dekat dengan Jakarta maka penduduk dapat
mencari pekerjaan baru di Jakarta.

3

Tabel 3Penduduk usia 15 tahun ke atas menurut jenis kegiatan utama di Kota
Bogor tahun 2008-2011
Jenis kegiatan utama
I Angkatan kerja
II Bukan angkatan kerja
(Sekolah, Mengurus Rumah
Tangga, dan lainnya)
JUMLAH
Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja (TPAK) (%)
Tingkat Pengangguran (%)

2008
463172
303 907

2009
476 126
316 876

2010
418 742
220 004

2011
436 206
268 225

767 079
60.38

793002
60.04

638 746
65.56

704 431
61.92

18.52

19.04

17.20

10.31

Sumber:Kota Bogor Dalam Angka, BPS, 2012

Para migran yang datang ke kota namun tidak memiliki pekerjaan maka
akan dikategorikan miskin. Hal ini dikarenakan para migran tidak memiliki
pendapatan untuk tetap bertahan hidup di kota. Akibatnya muncul dualisme sektor
yakni sektor formal dan sektor informal. Migran yang datang ke kota dan
memiliki keterbatasan keahlian sudah tentu sulit mencari pekerjaan di sektor
formal. Sektor formal memiliki kesulitan untuk dimasuki akibat berbagai macam
persyaratan. Di sisi lain, terdapat sektor informal sebagai jawaban bagi migran
untuk memiliki pendapatan dikarenakan keterbatasan keahlian.
Keberadaan sektor informal yang umumnya tidak terorganisir dan tidak
tertata secara khusus melalui peraturan, resminya baru dikenal pada tahun 1970an sesudah diadakannya serangkaian observasi di beberapa negara-negara
berkembang yang sejumlah besar tenagakerja perkotaannya tidak memperoleh
tempat atau pekerjaan di sektor modern yang formal. Di kota-kota itu, para tenaga
kerja pendatang baru yang sangat banyak harus menciptakan suatu lapangan kerja
sendiri atau bekerja pada perusahaan-perusahaan kecil milik keluarga. Bidangbidang kerja kecil-kecilan seperti itu sangat banyak jenisnya. Mulai dari pedagang
keliling, pedagang asongan di jalanan dan trotoar, penulisan papan nama,
pemulung hingga pembersih sampah (Todaro dan Smith 2006).
Sektor informal memberikan kemungkinan kepada tenagakerja yang
berlebih di perdesaan untuk migrasi dari kemiskinan dan pengangguran. Sektor
informal sangat berkaitan dengan sektor formal di perkotaan. Sektor formal
tergantung pada sektor informal terutama dalam hal input murah dan penyediaan
barang-barang bagi pekerja di sektor formal. Sebaliknya, sektor informal
tergantung dari pertumbuhan di sektor formal. Sektor informal kadang-kadang
justru mensubsidi sektor formal dengan menyediakan barang-barang dan
kebutuhan dasar yang murah bagi pekerja di sektor formal (BAPPENAS 2009).
Perkembangan jumlah pekerja sektor informal terus meningkat tiap
tahunnya. Pada tahun 1971 proporsi pekerja sektor informal di perkotaan
mencapai 25% dari angkatan kerja. Sembilan tahun kemudian atau tahun 1980
meningkat menjadi 36% dan berubah menjadi 42% pada tahun 1990. Pada tahun
2000 angka pekerja sektor informal mencapai 65% dari angkatan kerja. Proporsi
ini menunjukkan bahwa sektor informal mampu menyerap angkatan kerja secara
maksimal (Firnandy 2007).

4

Di satu segi sektor informal masih memegang peranan penting menampung
angkatan kerja, terutama angkatan kerja muda yang masih belum berpengalaman
atau angkatan kerja yang pertama kali masuk ke pasar kerja.Keadaan ini dapat
mempunyai dampak positif mengurangi tingkat pengangguran terbuka. Tetapi di
segi lain menunjukkan gejala tingkat produktifitas yang rendah, karena masih
menggunakan alat-alat tradisional dengan tingkat pendidikan serta keterampilan
yang relatif rendah (Firnandy 2007).
Berdasarkan Tabel 4 yang menunjukkan persentase penduduk miskin usia
15 ke atas dan status bekerja Kota Bogor. Pada tahun 2008, sektor informal
mampu menyerap penduduk miskin sebesar 50.01%. Pada tahun 2009, sektor
informal juga masih lebih tinggi dibandingkan dengan sektor formal yakni
37.65%. Namun pada tahun 2011, semakin banyak penduduk miskin yang tidak
bekerja yaitu sebanyak 51.68%. Dari tabel pula menunjukkan penduduk miskin
yang tidak bekerja semakin banyak tiap tahunnya.Ada kecenderungan penduduk
miskin semakin tidak dapat memasuki sektor informal untuk bekerja.
Tabel 4Persentase Penduduk Miskin Usia 15 Tahun ke atas dan Status Bekerja
Kota Bogor Tahun 2008-2011
Tahun
2008
2009
2010
2011

Tidak Bekerja
11.11
15.30
17.24
51.68

Status Bekerja
Bekerja di Sektor Informal
50.01
37.65
34.48
21.10

Bekerja di Sektor Formal
38.88
22.67
48.28
27.23

Sumber: BPS, 2008-2011

Perumusan Masalah
Migrasi, selain dapat menimbulkan masalah peningkatan jumlah penduduk
juga dapat menimbulkan masalah pengangguran dan kemiskinan. Pengangguran
terjadi akibat angkatan kerja yang masuk ke perkotaan tidak dapat terserap
seluruhnya.Sementara kemiskinan timbul akibat seseorang tidak memiliki
penghasilan.Jalan alternatif yang dipilih oleh para pendatang (migran) untuk tetap
bertahan hidup di perkotaan adalah dengan masuk ke sektor informal.Sektor
informal mudah dimasuki tanpa harus memiliki keterampilan seperti di sektor
formal.
Peluang sektor informal untuk tetap bertahan atau berkembang, dapat dilihat
dari sisi penawaran, masih terdapat struktural ketenagakerjaan di dalam negeri
yang memberi peluang besar bagi pertumbuhan sektor informal. Dengan adanya
krisis ekonomi, peluang tersebut semakin besar, terbukti pada saat krisis ekonomi
tahun 1998 lalu telah memberi sejumlah dorongan positif bagi pertumbuhan
output (bukan produktivitas) di sektor tersebut. Dorongan positif tersebut
diberikan melalui labour market effect, yaitu pertumbuhan jumlah unit usaha,
pekerja, dan pengusaha akibat meningkatnya jumlah pengangguran (BAPPENAS
2009).

5

Salahsatu sektor informal yang terdapat di perkotaan adalah Pedagang Kaki
Lima (PKL). Istilah PKL ini berkembang dari Prancis, yaitu trotoir. Di sepanjang
jalan raya di Prancis, dimana berderet bangunan bertingkat, pada lantai paling
bawahnya biasanya disediakan ruang untuk pejalan kaki selebar lima kaki atau
setara dengan 1.5 meter. Dalam perkembangannya para pedagang informal
menempati trotoar tersebut untuk berjualan, sehingga muncul istilah pedagang
kaki lima. Di Indonesia sendiri lebih dikenal dengan istilah PKL.
Sekitar tahun 1980-an, kita hanya mengenal istilah pedagang pasar,
pedagang kelontong, pedagang makanan, dan sebagainya.Saat itu, pengertian
pedagang hanya terkait dengan lokasi atau jenis barang dagangan. Di awal tahun
1990-an, mulai dikenal istilah pedagang kaki lima yang identik dengan orang
yang menjual dagangan menggunakan gerobak. Asumsi kasarnya, gerobak adalah
benda yang ditopang empat kaki kayu. Bila ditambahkan dengan orang yang
memegangnya, maka kakinya menjadi lima (Handayani 2009).
PKL merupakan salahsatu permasalahan yang terjadi di perkotaan.Sebagai
contoh Kota Solo, jumlah PKL yang tercatat tahun 2006 sebanyak 5 817 orang
pedagang.Belum ada data jelas mengenai awal kemunculan PKL di Kota
Solo.Keberadaan PKL mulai teridentifikasi dan berkembang pesat setidaknya
sejak krisis moneter tahun 1997-1998.Beberapa kasus memperlihatkan, sebagian
PKL berasal dari para pekerja di pabrik yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK).Mereka bekerja di pabrik-pabrik di berbagai wilayah Karisidenan
Surakarta maupun di kota-kota besar di seluruh Indonesia, seperti Jakarta,
Surabaya dan Semarang.Krisis moneter yang melanda Indonesia berdampak pada
penutupan pabrik-pabrik.Akibatnya, ribuan buruh harus kehilangan pekerjaannya,
padahal pabrik-pabrik tersebut adalah tempat mereka menggantungkan
hidup.Sebagian buruh yang mengalami PHK, memutuskan kembali ke daerah asal
masing-masing dan melakukan usaha untuk mempertahankan perekonomian
keluarga. Hal ini merupakan salahsatu cikal bakal berkembangnya kegiatan
perdagangan kaki lima (Handayani 2009).
Di Kota Bogor sendiri yang menjadi objek penelitian juga memiliki
permasalahan pedagang kaki lima. Berdasarkan Laporan Akhir Pemetaan Lokasi
PKL Kota Bogor 2010, terdapat 10 522 orang yang bekerja sebagai PKL (lihat
Lampiran 5). Dari populasi tersebut, jenis barang yang ditawarkan berupa barang
industri dan kerajinan; barang hasil pertanian; makanan, minuman, jajanan dan
oleh-oleh; jasa (tambal ban dan servis); lainnya. Jenis barang yang banyak dijual
oleh pedagang adalah makanan, minuman, jajanan dan oleh-oleh, diikuti oleh
barang hasil pertanian dan barang industri dan kerajinan. Proporsi pedagang
untuk masing-masing jenis barang tersebut adalah 4 570 orang, 3 521 orang dan
937 orang.
Jumlah pedagang yang paling banyak adalah pedagang makanan, minuman,
jajanan dan oleh-oleh sebesar 4 570 orang. Pedagang makanan memiliki peran
penting dalam penyediaan harga makanan yang murah bagi para pekerja atau
buruh pabrik yang tidak memiliki pendapatan yang memadai.Dengan harga yang
murah para pembeli sudah mampu mengisi kebutuhan makanan hidup
mereka.Para pekerja yang memiliki pendapatan kecil tidak mungkin membeli
makanan di restoran karena harga yang lebih mahal dan juga kebutuhan pekerja
tidak hanya untuk membeli makanan tetapi juga untuk menghidupi
keluarga.Pedagang makanan juga memiliki peran penting dalam pemenuhan

6

makanan penduduk miskin.Lokasi usaha yang berdekatan dengan perkantoran
kian menambah pembeli bagi PKL.
Selain itu Kementrian Koperasi dan UKM melaksanakan program
pengembangan PKL pangan atau kuliner melalui rintisan model yang berlokasi di
beberapa titik. Rintisan model ini dilaksankan secara multiyears dari tahun 2011
sampai dengan tahun 2014 melalui pendampingan koperasi pedagang yaitu KSU
Pedagang Bineka dan KSU Pedagang Selobang yang terbentuk pada tanggal 11
Mei 2011.Model pengembangan PKL pangan atau kuliner tersebut telah
memberikan perubahan yang menggembirakan terhadap kinerja PKL pangan atau
kuliner seperti adanya jaminan keamanan usaha bagi pedagang dan memudahkan
mereka mendapatkan berbagai fasilitas untuk pemenuhan kinerja PKL.Hal ini
mendukung Kota Bogor sebagai primadona kota wisata kuliner bagi para
wisatawan yang berkunjung.
Keberadaan PKL di perkotaan memberikan dampak positif dan negatif bagi
lingkungan sekitar. Dampak positif PKL merupakan celah bagi masyarakat yang
tidak memiliki keterampilan dan berpendidikan untuk tetap bertahan hidup. Sektor
informal dapat berperan sebagai katup pengaman ekonomi karena dapat membuka
peluang pekerjaan baru. Dampak negatif munculnya PKL dirasakan oleh para
pejalan kaki akibat semakin kecil luas trotoar yang dapat dilalui, sehingga pejalan
kaki berjalan tidak pada tempatnya. Tak jarang keberadaan PKL menimbulkan
kemacetan bagi para pengguna jalan dan mengurangi nilai keindahan kota.
Berbagai program telah dilakukan untuk menata dan membina para PKL
seperti yang telah dilakukan di Stasiun Kereta Api Kota Bogor yang telah tertata
rapih lokasi usahanya. Kemudian model pengembangan PKL pangan atau kuliner
yang telah disebar di beberapa titik lokasi di Kota Bogor sebanyak 14
lokasi.Lokasi tersebut telah tertata rapih sebagai tempat berjualan dengan
didukung fasilitas yang memadai.Lokasi tersebut telah menggunakan kubik-kubik
kayu hasil kerjasama dengan Dinas Usaha Kecil dan Menengah Kota
Bogor.Dengan adanya berbagai program tersebut, diharapkan terjadinya
formalisasi sektor informal menjadi sektor formal sehingga keberadannya
terdaftar.
Atas berbagai isu terkini mengenai PKL, peneliti berusaha untuk
merumuskan pertanyaan terkait dengan pemaparan latar belakang. Adapun
pertanyaannya adalah:
1. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi pendapatan PKL makanan?
2. Bagaimana implikasikebijakan penanganan PKL makanan?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menjawab perumusan masalah,
yaitu:
1. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pendapatan PKL makanan.
2. Merumuskan implikasi kebijakan penanganan PKL makanan dari hasil
penelitian.

7

Manfaat Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat
umum mengenai sektor informal khususnya PKL makanan di Kota Bogor. Selain
itu, penelitian ini ingin memberikan masukan bagi aparat pemerintah daerah untuk
lebih memperhatikan PKL. PKL tidak hanya berperan dalam menimbulkan
kemacetan namun PKL dapat berperan sebagai katup pengaman ekonomi.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas mengenai faktor-faktor yang memengaruhi
pendapatan PKL makanan dan implikasi kebijakan penanganan PKL di Kota
Bogor. Responden yang diteliti adalah pedagang kaki lima makanan. Lokasi yang
menjadi penelitian terbagi menjadi dua, yakni zona legal dan zona ilegal.

TINJAUAN PUSTAKA
Sektor Informal
Berdasarkan kajian tentang sektor informal, beberapa informasi
karakteristik pembeda sektor formal dan sektor informal dapat dilihat dari: (i)
keteraturan cara kerja, (ii) hubungan dengan perusahaan, (iii) curahan waktu, serta
(iv) status hukum kegiatan yang dilakukan. Berdasarkan karakteristik tersebut,
beberapa karakteristik sektor informal adalah: mudah masuk; bergantung pada
sumberdaya sendiri; kepemilikan keluarga; beroperasi pada skala kecil; padat
tenaga kerja; teknologi sendiri; kemampuan didapatkan diluar pendidikan formal;
tidak ada peraturan, pasar sangat terbuka dan kompetitif. Sedangkan karakteristik
sektor formal adalah: sulit masuk; bergantung pada sumberdaya dari luar;
kepemilikan perusahaan; skala besar; padat modal atau modal besar; teknologi
impor; kemampuan didapatkan dari pendidikan formal, menggunakan beberapa
tenaga asing atau ekspatriat; pasar terproteksi (tarif, kuota, izin perdagangan)
(BAPPENAS 2011).
Sektor informal sering dipandang sebagai sektor transisi bagi tenaga kerja
dari sektor pertanian di desa ke sektor industri di kota. Fenomena munculnya
sektor informal hanyalah bersifat temporer. Akibat keterampilan yang terbatas,
para pencari kerja dari desa, pada awal kepindahannya untuk sementara berusaha
dan bekerja di sektor informal. Setelah mapan dan berpengalaman mereka
mengalihkan usahanya ke sektor formal. Disinilah terjadi proses formalisasi
sektor informal, dimana terjadi peralihan status usaha yang tadinya informal
menjadi formal, dan berpindahnya pekerja yang tadinya bekerja di sektor informal
ke sektor formal (BAPPENAS 2011).
Todaro dan Smith (2006), sektor informal ditandai oleh beberapa
karakteristik unik seperti sangat bervariasinya bidang kegiatan produksi barang
dan jasa, berskala kecil, unit-unit produksinya dimiliki secara perorangan atau
keluarga, banyak menggunakan tenaga kerja (padat karya), dan teknologi yang
dipakai relatif sederhana. Sektor ini cenderung beroperasi seperti halnya

8

perusahaan persaingan monopolistik yang bercirikan mudahnya untuk memasuki
industri, kapasitas berlebih, dan adanya persaingan menurunkan laba (pendapatan)
menuju rata-rata harga penawaran tenaga kerja potensial yang baru. Para pekerja
yang menciptakan sendiri lapangan kerjanya di sektor informal biasanya tidak
memiliki pendidikan formal. Pada umumnya, mereka tidak mempunyai
keterampilan khusus dan sangat kekurangan modal kerja. Oleh sebab itu,
produktivitas dan pendapatan mereka cenderung lebih rendah daripada kegiatankegiatan bisnis yang ada di sektor formal. Selain itu, mereka yang berada di sektor
informal tersebut juga tidak memiliki jaminan keselamatan kerja dan fasilitasfasilitas kesejahteraan seperti yang dinikmati rekan-rekan mereka di sektor
formal, misalnya tunjangan keselamatan kerja dan dana pensiun. Umumnya,
mereka yang berada di sektor informal adalah pendatang baru dari pedesaan atau
kota kecil yang gagal memperoleh tempat di sektor formal.
Pedagang Kaki Lima
Berdasarkan Peraturan Daerah No. 13 Tahun 2005 tentang penataan
pedagang kaki lima, ada beberapa pasal yang perlu diperhatikan mengenai PKL.
1. Bab I Ketentuan Umum Pasal 1, PKL adalah penjual barang dan atau jasa yang
secara perorangan dan atau kelompok berusaha dalam kegiatan ekonomi yang
tergolong dalam skala usaha kecil yang menggunakan fasilitas umum dan
bersifat sementara atau tidak menetap dengan menggunakan peralatan bergerak
maupun tidak bergerak dan atau menggunakan sarana berdagang yang mudah
dipindahkan dan dibongkar pasang.
2. Bab II Pasal 2, lokasi usaha hanya dapat dilakukan pada tempat yang
ditetapkan oleh Walikota.
3. Pasal 3, setiap orang dilarang melakukan transaksi perdagangan dengan PKL
pada lokasi yang dilarang digunakan untuk tempat usaha PKL.
4. Pasal 5, jenis tempat usaha terdiri dari lesehan, gelaran, tenda, gerobak beroda,
motor dan mobil.
5. Pasal 7, setiap PKL hanya dapat memiliki satu izin yang diberikan dalam
jangka waktu satu tahun dan dapat diperpanjang.
6. Pasal 12, PKL wajib membayar pajak dan atau retribusi sesuai dengan
ketentuan peraturan dan perundang-undangan.
7. Pasal 15, PKL dilarang melakukan kegiatan usahanya di dalam lingkungan
instansi pemerintah, sekolah dan tempat peribadatan serta di lokasi pasar,
menempati parit, tanggul, taman kota, jalur hijau, monumen dan taman
pahlawan. Selain itu, PKL dilarang melakukan usaha di ruas-ruas jalan tertentu
yang tidak ditetapkan untuk lokasi PKL.
Bagi PKL yang melanggar peraturan akan dikenakan sanksi pidana berupa
kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak 50 juta rupiah dan
dibayarkan langsung ke rekening kas daerah setelah ditetapkan oleh Hakim
Sidang Pengadilan Negeri Kota Bogor. Selain itu ada pula sanksi administratif
yaitu Walikota atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mencabut izin,
menutup usaha PKL yang tidak mempunyai izin dan atau menempati lokasi selain
yang telah di izinkan tanpa harus menunggu adanya Keputusan Pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap.

9

Pendapatan
Pendapatan didefinisikan sebagai nilai maksimum yang dapat di konsumsi
oleh seseorang dalam satu periode dengan mengharapkan keadaan yang sama
pada akhir periode seperti semula. Pendapatan PKL makanan merupakan jumlah
harta yang dimiliki pedagang setelah penerimaan dikurangi biaya produksi dari
penjualan barang dan jasa. Biaya produksi meliputi retribusi, biaya kebersihan,
biaya listrik dan biaya sewa usaha. Pendapatan yang diperoleh diakumulasi
selama 30 hari waktu kerja.
Modal
Modal merupakan salah satu faktor masukan (input) yang penting bagi
keberlangsungan usaha. Modal adalah dana awal yang dimiliki oleh pedagang dan
digunakan untuk memulai usaha. Modal dapat berasal dari lembaga keuangan
seperti bank, lembaga keuangan non-bank seperti koperasi ataupun tabungan
pribadi. Tidak jarang para pedagang sulit mendapatkan modal usaha dikarenakan
birokrasi yang sulit dan berbelit oleh lembaga keuangan.
Retribusi
Peraturan Daerah (Perda) Kota Bogor Nomor 4 Tahun 2012 tentang
retribusi jasa umum mengenai ketentuan umum, yang dimaksud dengan retribusi
adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu
yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi yang dikenakan kepada PKL
berupa retribusi pelayanan persampahan atau kebersihan yaitu retribusi yang
dipungut atas pelayanan pengelolaan persampahan dan kebersihan di daerah.Besar
tarif yang dikenakan dapat dilihat tabel berikut.Oleh sebab itu, besaran tarif
pungutan resmi berbeda di tiap lokasi berdagang.Perda Nomor 4 Tahun 2012
hanya berlaku di lokasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor.
Oleh sebab itu, besaran tarif pungutan resmi berbeda di tiap lokasi
berdagang.Perda Nomor 4 Tahun 2012 hanya berlaku di lokasi yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor.Besaran tarif retribusi dapat
dilihat pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5Tarif retribusi berdasarkan Perda Nomor 4 Tahun 2012
TIPE/KELAS
Tarif (Rp,00)
Mempunyai tempat tetap atau
1 000/0.01 m3/hr
memakai peneduh
Tidak mempunyai tempat tetap atau
500/0.01 m3/hr
tidak memakai peneduh
Sumber: Siskum Kota Bogor, 2012

10

Penelitian Terdahulu
Penelitian Dasgupta (2003) membahas tentang struktur dan perilaku sektor
informal yaitu pedagang kaki lima di bidang jasa di New Delhi, India.penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik demografi dan sosio ekonomi sektor
informal jasa, struktur ekonomi usaha, alasan tenaga kerja bekerja di sektor
informal dan hubungannya dengan sektor lain.Penelitian ini menggunakan data
primer sebanyak 289 responden. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa ada
dominasi migran sebagai pedagang kaki lima; terdapat perbedaan pendapatan
yang signifikan antara migran dan non-migran dimana migran memiliki
pendapatan lebih rendah; pendapatan dipengaruhi oleh lokasi usaha; pendidikan
tidak mampu menjelaskan perbedaan pendapatan; pengalaman kerja memiliki
pengaruh positif terhadap pendapatan; rata-rata pendapatan bersih migran di
sektor informal jasa lebih rendah dibandingkan dengan upah tenaga kerja tidak
terampil di sektor formal; 67.8% migran responden menyatakan bahwa
pendapatan yang diterima di perkotaan lebih besar daripada pendapatan
perdesaan, tetapi rata-rata pendapatan bersih rumah tangga migran berada
dibawah garis kemiskinan. Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat pendapatan
antara lain rata-rata lama jam kerja per hari, investasi, usia responden dan
pengalaman kerja.Selain itu, akses terhadap kebutuhan kredit rendah seperti
halnya rendahnya pendidikan.
Penelitian Yusuf (2006), ada tiga fenomena yang melatarbelakangi
berkembangnya ekonomi sektor informal, yaitu surplus tenaga kerja, rendahnya
daya beli masyarakat dan faktor budaya. Lokasi penelitian di Kota Tangerang
dengan mengambil sampel 150 responden yang bekerja di sektor informal
menjelaskan bahwa luasnya kesempatan kerja di sektor informal di kota
merupakan faktor utama daya tarik migran ke kota. Pendapatan rata-rata migran
responden adalah 1631176 rupiah per bulan, lebih tinggi daripada tingkat upah per
bulan buruh. Profesi yang paling rendah pendapatannya adalah pemulung, tetapi
masih tergolong mampu untuk hidup kota dengan biaya hidup rata-rata 400000
rupiah per bulan. Tingkat pendapatan migran dipengaruhi oleh faktor umur,
tingkat pendidikan, lama bekerja di kota, strategi usaha (mobilitas horizontal dan
vertikal), status pekerjaan, jenis usaha, dan asal daerah.
Penelitian Murtadlo (2007) mengenai pengaruh modal dan lokasi terhadap
pendapatan PKL pakaian jadi di Pasar Anyar Kota Bogor menemukan bahwa
modal berpengaruh positif terhadap penjualan dan pendapatan PKL dengan nilai
elastisitas 0.407, artinya jika modal yang mereka gunakan dinaikkan sebesar 1%
akan meningkatkan pendapatan sebesar 0.407%. Sedangkan lokasi tidak
berpengaruh signifikan terhadap pendapatan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi pendapatan PKL,
menganalisis elastisitas modal dan lokasi terhadap imbalan yang diperoleh
keluarga dan tenaga kerja luar keluarga juga menganalisis tingkat pengembalian
investasi yang dilihat berdasarkan lokasi berdagang. Faktor-faktor yang diteliti
memengaruhi pendapatan meliputi modal, jenis kelamin, pendidikan, lokasi,
sumber pasokan, umur dan pengalaman kerja.
Penelitian Adhikari (2011) menemukan bahwa pedagang kaki lima memiliki
peranan penting dalam penerimaan pendapatan dan pengurangan kemiskinan
bagimasyarakat di Kota Kathmandu. Pedagang kaki lima merupakan fenomena

11

global dimana dapat terjadi di desa, kota dan negara. Penelitian ini bertujuan
untuk mengindentifikasi pengaruh pendapatan pedagang kaki lima terhadap
investasi, penawaran tenaga kerja dan tingkat buta huruf.Penelitian menggunakan
data primer 170 responden pedagang kaki lima. Pendapatan rata-rata per bulan
tertinggi adalah pedagang kaki lima pakaian dan selanjutnya adalah pedagang
kaki lima makanan. Investasi yang dimaksud berupa modal awal usaha.
Sedangkan penawaran tenaga kerja yang dimaksud adalah total anggota keluarga
yang turut membantu usaha. Hasil penelitian menemukan bahwa tingkat
pendidikan dan investasi berpengaruh positif terhadap pendapatan. Artinya jika
terjadi peningkatan tingkat pendidikan dan investasi, turut meningkatkan
pendapatan. Sektor pedagang kaki lima merupakan sektor penting yang
menyediakan pekerjaan dan pendapatan kepada orang miskin perdesaan yang
berada di perkotaan.
Penelitian Mubarok (2012) mengenai karakteristik dan permasalahan
pedagang kaki lima (PKL) serta strategi penataan dan pemberdayaannya dalam
kaitan dengan pembangunan ekonomi wilayah Kota Bogor menemukan bahwa
karakteristik PKL berpendidikan rendah, tidak dapat dikategorikan miskin dan
mampu mendapatkan pendapatan bersih diatas UMR kota. Hasil analisis regresi
menunjukkan bahwa omset, modal awal dan dummy lokasi berpengaruh positif
dan signifikan terhadap pendapatan PKL. Selain itu pendapatan PKL berpengaruh
nyata terhadap konsumsi rumah tangga. PKL turut berkontribusi terhadap
ekonomi Kota Bogor karena telah menjadi mata pencaharian utama dan
menciptakan peluang dan lapangan kerja.Tipologi PKL yang dipilih adalah Pasar
Sayur Malam, Pasar Kuliner dan Pasar Tumpah. Total sampel yang diambil
adalah sebanyak 180 responden.
Penelitian Pratiwi (2013) mengenai dampak penataan dan faktor-faktor yang
memengaruhi omset pedagang kaki lima di Stasiun Kota Bogor menemukan
bahwa tidak semua pedagang merasakan kenaikan omset setelah penataan. Ratarata omset sebelum penataan pedagang kakilima adalah 539737 rupiah/hari dan
rata-rata omset setelah dilakukan penataan pedagang kakilima adalah 532895
rupiah/hari. Faktor-faktor yang memengaruhi omset pedagang kaki lima secara
signifikan ada empat, yaitu usia, lama usaha, jam operasi dan jumlah pembeli.
Total sampel yang diambil adalah sebanyak 38 responden.

12

Kerangka Pikir

Migrasipenduduk ke perkotaan

Lapangan pekerjaan terbatas

Timbul pengangguran dan
kemiskinan

Dualisme sektor

Sektor formal

Analisis regresi
berganda

Sektor informal

Pedagang Kaki Lima
(PKL)

Faktor-faktor yang memengaruhi
pendapatan PKL Makanan

Rekomendasi kebijakan penanganan PKL Makanan
Gambar 1Kerangka pikir faktor-faktor yang memengaruhi tingkat pendapatan
PKL makanan di Kota Bogor

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di dua lokasi berbeda dimana lokasi pertama adalah
lokasi legal yang dikelola oleh Pemerintah Kota Bogor sedangkan yang kedua
adalah lokasi ilegal. Lokasi legal tersebar di beberapa tempat yakni Jalan

13

Binamarga, Gang Selot, Jalan Papandayan, Jalan Cidangiang Bawah, Jalan
Sukasari 3, Jalan Bangbarung Raya dan Jalan Batu Tulis. Sedangkan lokasi ilegal
berada di Jalan Cidangiang, Jalan Dewi Sartika, Jalan K.H. Abdullah bin Nuh,
Persimpangan Jalan Otto Iskandar Dinata – Jalan Suryakencana, Jalan Dr.
Semeru, Gang Aut, dan Jalan Sholeh Iskandar. Penelitian ini dilakukan selama 3
bulan mulai dari bulan April hingga Juni 2013.
Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel menggunakan teknik nonprobability dengan
metode purposive sampling dan convenience sampling. Purposive sampling
merupakan prosedur yang digunakan peneliti dalam memilih responden dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu karena karakteristik populasi yang tidak
diketahui secara pasti. Sedangkan convenience sampling merupakan teknik dalam
memilih sampel berdasarkan kemudahan (Juanda 2009).
Purposive sampling digunakan ketika peneliti menentukan kriteria PKL
yang akan diteliti. Peneliti memilih PKL makanan dikarenakan berdasarkan
Laporan Akhir Pemetaan Lokasi Pedagang Kaki Lima (2010) jumlah pedagang
makanan memiliki populasi terbesar yaitu 4570 orang yang tersebar di 51 titik
lokasi.Para pedagang makanan ini memiliki peranan penting dalam penyediaan
panganan murah bagi para buruh pabrik seperti yang telah ditelah dijelaskan
dalam perumusan masalah. Sedangkan convenience sampling digunakan akibat
kesulitan mencari responden yang bersedia diwawancarai pada lokasi yang telah
ditentukan. Sampel yang digunakan sebanyak 51 orang responden pedagang kaki
lima makanan.
Jenis dan Sumber Data
Penelitian menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer adalah
data dan informasi yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti. Data primer diperoleh
dengan metode survei, yaitu informasi dikumpulkan dari responden dengan
menggunakan wawancara dan kuisioner. Kuisioner berisikan pertanyaanpertanyaan terkait dengan variabel dalam model regresi. Data primer digunakan
untuk
melihat
hubungan
antara
pendapatan
dan
faktor-faktor
yangmemengaruhinya.Data primer yang diperoleh sebanyak 51 orang responden
pedagang kaki lima. Data sekunder adalah data hasil publikasi atau dalam bentuk
file digital.Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor,
Dinas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Kota Bogor dan Dinas
Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Bogor.
Metode Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pendapatan
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan analisis linier
berganda dengan pendekatan OLS (Ordinary Least Square) menggunakan
softwareMinitab 14 dan Microsoft Excell 2007.
Dalam Juanda (2009), model regresi berganda (multiple regression model)
memiliki asumsi bahwa peubah tak bebas (respons) Y merupakan fungsi linier

14

dari beberapa peubah bebas X1, X2, …, Xk dan komponen sisaan ε (error). Model
ini merupakan pengembangan model regresi sederhana (1 peubah bebas).
Persamaan model regresi linier berganda secara umum (model populasi) adalah
sebagai berikut:
Yi = βi X1i + β2 X2i + β3 X3i +…+ βk Xki + εi
Subskrip i menunjukkan nomor pengamatan dari 1 sampai N untuk data
populasi, atau sampai n untuk data contoh (sample). Xki merupakan pengamatan
ke-i untuk peubah bebas Xk.
Model regresi linier berganda yang digunakan untuk menganalisis faktorfaktor yang memengaruhi pendapatan PKL makanan adalah:
Yi = β1 + β2 MODi + β3 Ui + β4 PENDi + β5 LJKi + β6 PENGi + β7 RETi + β8
PELi + β9 LOKi
Keterangan:
Yi
MODi
Ui
PENDi
LJKi
PENGi
RETi
PELi
LOKi

: Pendapatan bersih per hari PKL (rupiah)
: Modal awal usaha PKL (rupiah)
: Usia PKL (tahun)
: Tingkat pendidikan PKL (1 = SD, 2 = SMP, 3 = SMA, 4
=Perguruan Tinggi)
: Lama jam kerja per hari (jam)
: Lama pengalaman kerja sebagai PKL (tahun)
: Pungutan resmi atau tidak resmi yang dibayar PKL (rupiah)
: Pelatihan yang diperoleh dari Pemerintah Kota Bogor (1 =
pernahdan 2 = tidak pernah)
: Lokasi penelitian (1 = lokasi legal dan 0 = lokasi ilegal)
Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel-variabel yang digunakan dalam analsis regresi
untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi pendapatan antara lain:
1. Pendapatan bersih PKL (Yi) adalah selisih antara penerimaan yang diperoleh
dengan biaya untuk menghasilkan barang atau jasa usaha tersebut. Satuan
pendapatan adalah rupiah per hari.
2. Modal (MODi) adalah jumlah dana yang digunakan untuk peralatan seperti
gerobak, peralatan makan, dan tenda. Satuan modal adalah rupiah.
3. Usia (Ui) adalah usia saat menjadi PKL. Satuan usia adalah tahun.
4. Tingkat pendidikan (PENDi) adalah pendidikan yang pernah ditempuh oleh
pedagang dan digolongkan menjadi SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.
5. Lama jam kerja (LJKi) adalah lamanya pedagang berjualan dalam satu hari.
Satuan lama jam kerja adalah jam per hari.
6. Pengalaman (PENGi) adalah lamanya pengalaman menjadi PKL. Satuan
pengalaman kerja adalah tahun.
7. Retribusi (RETi) adalah pungutan resmi atau pungutan tidak resmi yang
diambil dari pemerintah. Satuan retribusi adalah rupiah.

15

8. Pelatihan (PELi) adalah suatu sarana yang diberikan oleh Pemerintah Kota
Bogor untuk meningkatkan higienitas makanan yang disajikan.
9. Lokasi (LOKi) adalah lokasi penelitian meliputi lokasi legal dan lokasi ilegal.

Pengujian Statistik Analisis Regresi
Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur kedekatan hubungan
antara variabel bebas dengan variabel terikat yang digunakan. Besarnya R2 berada
diantara 0 dan 1 (0