Desentralisasi Dan Potensi Konflik Horizontal: Refleksi Relasi Pusat Dan Daerah

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI • Vol. 1 • No.3 • Desember 2005

DESENTRALISASI DAN POTENSI KONFLIK HORIZONTAL:
Refleksi Relasi Pusat dan Daerah
Budi Agustono
Abstract This article draws on the horizontal conflicts that have taken place in the era of transition from centralized political system to democratic government. Changes in governance for upholding people’s sovereignty, in fact, have been unable to fulfill the wishes of the people. Decentralization has brought many problems, among others, the clash of political interests among the power wielders at local levels. Local elites are competing each other in pursuing power. Conflicts tend to occur between host population and migrants.
Keywords: political system, democracy, and horizontal conflicts

Tumbangnya rejim Orde Baru membersitkan harapan akan terjadinya perubahan politik dari sistem politik otoritarian menuju sistem politik demokratis. Harapan yang melambung tinggi itu bukannya tanpa dasarl, karena sepanjang lebih dari tiga dekade wajah kekuasaan Orde Baru tidak pernah berpihak ke rakyat, tapi sebaliknya kekuasaan itu dipakai untuk mempertahankan kepentingan elitenya. Di awal Orde Baru harapan untuk membawa bangsa ini dari turbulensi politik, sebagaimana yang diperlihatkan akhir tahun 1950-an dan pertengahan tahun 1960-an, ke pemerintahan yang lebih baik dan mengupayakan memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendapat sambutan besar dari semua elemen yang mendukung kelahiran rejim ini. Namun, di tengah jalan kekuasaan Orde Baru bukannya menjalankan apa yang menjadi harapan rakyatnya melainkan melakukan konsolidasi kekuasaan dengan penopang utamanya militer, hingga akhirnya menyeruak menjadi rejim otoriter. Kebebasan berorganisasi dan berbicara dibatasi dan partai politik dikebiri. Mereka yang mengkritik dan mengecam kebijakan politik dan pembangunan dikejar-kejar kekuasaan. Rakyat tidak dibolehkan dan mendapat ancaman jika memasuki partai politik dan organisasi masyarakat. Siapa saja yang menyoal masalah suku, agama, ras, dan hubungan antargolongan yang sangat populer dengan sebutan SARA, apalagi menghubungkan dominasi etnik yang berasal dari pulau Jawa dengan luar Jawa dalam formasi kekuasaan misalnya, oleh kekuasaan dituding membangkitkan permusuhan dengan kelompok (suku) lain yang dapat memporak-

porandakan persatuan bangsa. Karena mendapat tudingan yang mengerikan itu tidak ada kelompok mana pun yang mempersoalkan tentang kesukuan dan agama.
Bersamaan dengan konsolidasi negara Orde Baru, cengkeraman kekuasaan yang memancar dari pusat sangat dirasakan ke seluruh wilayah republik ini. Demikian kuat aura kekuasaan menyebabkan daerah (provinsi) tidak berdaya dan sepenuhnya mengikuti hasrat politik Jakarta. Pusat tidak pernah memberi peluang, apalagi mengakomodir kepentingan daerah dalam pengelolaan kekuasaan daerah. Hal ini membawa implikasi, pertama, daerah menjadi satelit pemerintahan Jakarta. Dalam mengatur sirkulasi elite daerah keterlibatan Jakarta sangat dirasakan pengaruhnya. Pusatlah yang menentukan siapa yang menjadi bupati dan gubernur di daerah. Daerah hanya bisa mengusul nama ke DPRD tetapi yang memutuskan siapa menjadi gubernur, bukan DPRD melainkan Jakarta. Dapat dimengerti sering terjadi yang terpilih menjadi gubernur atau bupati bukan merupakan keinginan daerah karena calon gubernur asal usulnya bukan berasal dari kelompok etnik daerah tersebut, melainkan didatangkan dari luar daerah. Sebenarnya gubernur yang bukan berasal dari kelompok etnik dari daerah tersebut mendapat penolakan diam-diam karena dianggap tidak mengerti keadaan daerah. Namun, karena menjadi bawahan pusat daerah tidak bisa berbuat banyak, kecuali menerima keputusan politik pusat. Kedua, daerah menjadi sumber eksploitasi pusat. Semasa Orde Baru daerah menjadi sumber pendapatan ekonomi elite Orde Baru. Sumber

147

Budi Agustono

Desentralisasi dan Potensi Konflik Horizontal: …

daya alam daerah yang dieksploitasi melalui hak pengusahaan hutan, zona industri, dan kegiatan bisnis lainnya, keuntungan ekonominya ditarik ke Jakarta dan sedikit sekali yang tersisa untuk pembangunan ekonomi masyarakat setempat. Perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di berbagai sektor di daerah hampir semuanya dimiliki Jakarta, setidaknya pemiliknya mempunyai hubungan politik dengan Jakarta. Pengekploitasian ekonomi dan politik daerah tidak pernah memperhatikan kondisi dan aspirasi lokal masyarakat setempat sehingga meluluhlantakkan sistem sosial yang diyakini menjadi orientasi kultural mereka. Malah lebih dari itu, masyarakat setempat yang notabene adalah kelompok etnik asli itu semakin lama semakin terpinggirkan. Secara kultural penduduk setempat mengalami disorientasi dan keterasingan budaya. Secara ekonomi mereka makin tercerabut dari sumber ekonominya, bahkan dengan memakai cara kekerasan penduduk setempat terusir dari tempat asal usulnya yang berakibat hilangnya sumber ekonomi mereka, yaitu tanah. Tanah yang selama ini menjadi hak ulayat mereka telah terpecah-pecah akibat dikuasai segelintir orang. Secara politik, penduduk asli itu semakin tealienasi dan tereklusi dari kekuasaan lokal. Di tengah suasana semacam ini etnik pendatang memasuki teritori melalui program transmigrasi, migrasi, atau karena keuletan dan kegigihannya dalam waktu singkat dapat menguasai sumber ekonomi strategis (tanah) di daerah mereka. Kedatangan pendatang ini yang acap berbeda suku dan agama ini semakin mengurangi kesempatan penduduk setempat berkompetisi dengan pendatang dan mempersempit aktivitas ekonomi mereka di teritorinya sendiri. Keadaan ini menyulut ketidaksenangan penduduk setempat dengan pendatang. Di mata penduduk setempat, kolaborasi kekuasaan pusat dan pendatang inilah yang menjadi biang keladi daerah mereka menjadi terbelakang, tidak berkembang, dan miskin akibat dari ekstensifnya derajat eksploitasi. Namun karena cengkeraman kekuasaan begitu kuat membuat daerah tidak berdaya berhadapan dengan pusat. Akibat ekstensifnya pengurasan dan ekstraksi sumber daya menyebabkan daerah tidak pernah beranjak maju dari belitan keterbelakangan dan kemiskinan. Inilah yang terjadi di Kalimantan, Papua, Aceh, Riau, dan daerah lainnya sepanjang kekuasaan Orde Baru. Tetapi, sebagai


akibat pengurasan sumber ekonomi dan politik daerah semakin dirasakan tidak pernah memperbaiki kehidupan masyarakat, masyarakat Aceh yang direpresentasikan dengan munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak tahun 1976 mengumandangkan perlawanan dengan pemerintah pusat. Perjuangan GAM yang melawan dan menuntut kemerdekaan ini dihadapi dengan kekerasan dan senjata, tetapi perlawanan GAM atas pemerintah pusat tidak pernah berhasil dipadamkan.
Ketika Orde Baru runtuh harapan untuk membawa bangsa ini menuju pemerintahan yang demokratis melambung tinggi. Runtuhnya rejim Orde Baru dinilai sebagai transisi politik dari negara otoriter menuju negara demokratis. Di tengah negara bertransisi menuju negara demokratis dari berbagai daerah yang telah didiskusikan di atas (Aceh, Kalimantan ditambah Papua, Sulawesi, Maluku, Ambon, dan juga Riau) muncul konflik etnik yang berujung dengan kekerasan, brutalitas, dan pembersihan etnik, utamanya antara penduduk setempat dengan pendatang. Di beberapa wilayah yang tadinya sebagai satelit kekuasaan, di sana bangkit nasionalisme kesukuan yang menghancurkan siapa saja yang selama ini dianggap pencipta pemiskinan dan keterbelakangan di daerah tersebut. Di Aceh penduduk setempat (suku Aceh) yang diwakili GAM selain membenci Jakarta juga mengusir orang Jawa, di Kalimantan suku Dayak membersihkan Madura dari daerah mereka, di Poso (Sulawesi) konflik agama makin tidak terkendali, di Maluku dan Ambon konflik agama dan kesukuan eskalasinya makin meninggi. Sementara Papua, akibat mengalami deprivasi ekonomi dan politik berkepanjangan ingin memisahkan diri dari Republik. Di Riau perasaan anti terhadap pemerintah pusat ditambah lagi keinginan Melayu yang ingin menjadi tuan rumah di negeri sendirinya makin bergaung keras. Konflik etnik yang bertumpang tindih dengan sentimen agama, kesukuan, dan ketimpangan ekonomi dan politik itu semakin nyaring terdengar di berbagai daerah di saat kekuasaan (Jakarta) terus melemah. Belakangan konflik etnik dan agama yang berlangsung di daerah-daerah satelit itu yang penuh dengan kekerasan dan menelan korban jiwa tersebut perlahan-lahan mereda, namun bukan berarti pemerintah pusat telah berhasil menyelesaikan akar persoalannya. Di beberapa daerah

148

Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.3•Desember 2005

perundingan damai baik yang difasilitasi masyarakat internasional maupun diinisiatifi pemerintah sendiri telah membuka pintu jalan damai. Melalui serangkaian perundingan Helsinki antara GAM dan pemerintah Indonesia telah membuka babakan baru dalam menyongsong perdamaian di Aceh. Sedangkan di beberapa, daerah di Kalimantan konflik etnik tidak lagi berkecamuk, konflik horisontal di Maluku dan Ambon terus menurun, dan tuntutan Riau memisahkan diri dari Republik semakin melemah. Namun di Poso, walau ketegangan agama terus berkurang dan suasananya makin kondusif, namun sampai hari ini di Poso masih menyimpan ketegangan horisontal. Peledakan bom dan ditebasnya tiga pelajar perempuan bukan Muslim di akhir bulan Oktober 2005 lalu merupakan contoh kekerasan (agama) masih terus berkobar dikobarkan di wilayah ini. Demikian di Papua yang terus menuntut pemberlakuan otonomi khusus dan menolak agar provinsi di ujung barat ini tidak dipecah pecah menjadi beberapa provinsi masih terus disuarakan. Jika persoalan Papua salah penanganannya dapat dipastikan ketidaksenangan rakyat dan perasaan anti pemerintah pusat terus mengeras. Akibatnya, ketidakpercayaan dan ketidaksenangan rakyat Papua atas pemerintah pusat terus berkumandang.
Pasca-Orde Baru, sentralisasi digantikan dengan desentralisasi atau lazim disebut otonomi daerah. Sewaktu desentralisasi (otonomi daerah) dilaksanakan 2001, sekali lagi publik sangat berharap, relasi kekuasaan antara pusat daerah akan berubah dan daerah tidak lagi menjadi arena eksploitasi pusat. Dengan begitu daerah dapat mempunyai kesempatan memperbaiki kesejahteraan rakyatnya. Selain itu, kekuasaan yang selama ini menjauh dan tidak berpihak rakyat, dengan desentralisasi kekuasaan semakin dekat dengan rakyat. Lebih penting lagi, desentralisasi menjadi energi pendorong bergulirnya proses demokratisasi di aras lokal dan membuat kekuasaan tidak lagi memusat, centralized, tetapi menyebar ke daerah. Pengawasan kekuasaan semakin berkurang, organisasi masyarakat sipil terus bertumbuhan, dan kebebasan berorganisasi kian terbuka. Semua ini merupakan modal penguatan proses demokratisasi di daerah. Namun, berbarengan dengan menguatnya kemauan publik melakukan perubahan politik, di tataran kekuasaan lokal sendiri masih belum

mempunyai kemauan politik membuka diri terhadap apa yang diinginkan publik. Kekuasaan lokal yang seharusnya dapat memfasilitasi pengembangan gerakan demokratisasi di tingkat lokal, ternyata masih bersikap arogan dan acap menegasikan aspirasi dan keinginan kebanyakan warganya, malah sering tidak hirau aspirasi rakyat. Maka dari itu tidak mengherankan hubungan antara elite kekuasaan lokal dan masyarakat (organisasi masyarakat sipil) masih mengalami kesenjangan. Demikian pula dalam proses pengambilan kebijakan kekuasaan lokal hampir tidak pernah melibatkan partisipasi publik yang sedang mendambakan perubahan itu. Pembuatan keputusan daerah masih ditentukan dan didominasi lingkaran elite lokal. Hal inilah yang menyemburkan rasa frustasi dan ketidakpercayaan organisasi masyarakat sipil terhadap kekuasaan lokal.
Yang menarik, di masa desentralisasi ini konflik etnik yang melanda di wilayah pinggiran (satelit) berangsur-angsur ekskalasinya menurun, meski pun di beberapa daerah kondisinya belum sepenuhnya stabil. Namun bukan berarti menurunnya ekskalasi konflik semakin menaiknya pasang demokratisasi di tingkat lokal. Kemauan melaksanakan demokrasi masih jauh dari harapan. Dari pelbagai daerah telah dipertontonkan di masa desentralisasi ini para anggota DPRD terlibat kasus korupsi, sedangkan partai politik yang sejatinya menjadi pendorong gerakan demokratisasi kinerjanya mengecewakan rakyat. Sementara kekuatan organisasi masyarakat sipil yang terus bertumbuhan makin terfragmentasi dan berserakan sehingga belum dapat menjadi kekuatan penekan kekuasaan lokal. Sedangkan kekuasaan lokal sendiri yang seharusnya dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat dan memberi peluang bagi penumbuhan organisasi masyarakat sipil dan demokratisasi lokal semakin menjauh dari harapan rakyat. Transparansi dan akuntabilitas kekuasaan lokal masih menjadi barang mahal.
Hampir bersamaan dengan menyusutnya konflik etnik di berbagai daerah, ada gejala menarik yang perlu dicermati, yaitu isu pemekaran yang ingin membentuk kabupaten dan provinsi baru. Sebelumnya hampir di semua daerah digelar pemilihan kepala daerah (pilkada). Pilkada yang tadinya diprediksikan akan memunculkan konflik horizontal sebagai konsekuensi dari bertumbuhannya aktor politik

149

Budi Agustono

Desentralisasi dan Potensi Konflik Horizontal: …


baru (politisi lokal) yang juga populer disebut wiraswastawan etnik yang selalu menguncang guncang sentimen agama, kesukuan, dan teritorial di beberapa daerah memang melahirkan ketegangan politik, namun ketegangan itu masih terkendali.
Dari pengalaman pelaksanaan Pilkada di berbagai daerah ternyata Pilkada tidak menjamin proses demokrasi di berbagai daerah. Ini bisa terjadi karena pemunculan aktor politik baru lebih besar dipengaruhi memburu kekuasaan ketimbang mempercepat gerakan demokratisasi di tingkat lokal. Maka dari itu, proses demokratisasi tidak dengan sendiri bergerak ketika terjadi Pilkada. Namun dibanding dengan Pilkada, isu pemekaran kabupaten dan provinsi magnitudnya lebih besar karena tidak saja menjadi mainan baru wiraswastawan etnik yang ingin mencari kekuasaan, melainkan juga memantikkan ketegangan antara elite lokal yang pro dan kontra pemekaran. Untuk meyakinkan perlunya pemekaran, elite lokal gemar sekali memanfaatkan dan memanipulasi sentimen primordial (agama, kesukuan, dan teritorial).
Di Provinsi Aceh beberapa daerah yang merasa tidak memiliki sejarah dan kultur yang sama dengan penduduk setempat mendesak memisahkan diri dari provinsi Aceh untuk mendirikan provinsi sendiri. Di Sumatera Utara, elite lokal suku Toba menginginkan Provinsi Sumatera Utara dipecah dan ditambah satu provinsi, Provinsi Tapanuli. Keinginan pendirian Provinsi Tapanuli mendapat kecaman luas dari kelompok etnik bukan Toba. Sementara itu beberapa kecamatan di Kabupaten Labuhan Batu, Tapanuli Selatan, dan juga Nias yang dimotori elite lokal setempat dan kaum terdidik yang berasal dari tiga daerah ini yang berada di Medan dengan memanipulasi simbol kesukuan, kedaerahan, dan agama sambil

merasionalisasikan alasan untuk menyejahterakan rakyat mendesak agar dibentuk kabupaten baru di wilayah tersebut. Sulawesi juga kemungkinan besar akan menambah provinsi baru dari provinsi yang ada. Di Papua selain ada Provinsi Papua dan Irian Jaya Barat akan didirikan lagi provinsi baru.
Pemekaran kabupaten dan provinsi baru dikhawatirkan akan menimbulkan konflik horizontal yang dapat menggoyahkan bangunan kekuasaan lokal. Apalagi jika pemekaran kabupaten atau provinsi baru ini memaksa penduduk yang menolak bergabung ke wilayah baru tanpa memperhatian latar belakang kesukuan, agama, dan juga teritorial dapat dipastikan akan menciptakan konflik horizontal. Kasus pemekaran seperti yang terjadi di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat misalnya, yang berujung dengan kekerasan antar-agama ini merupakan contoh dari konflik horizontal itu sebagai akibat dari pemekaran daerah. Namun dari daerah lain berdirinya kabupaten baru dapat mencegah terjadinya gesekan antarsuku. Pemekaran Kabupaten Pakpak Barat yang terpisah dari Kabupaten Dairi, Sumatera Utara merupakan contoh penghindaran konflik terbuka antara suku Pakpak dan Toba.
Desentralisasi telah mengurangi kekuasaan pusat atas daerah, malah dalam batas tertentu daerah tidak lagi bisa dikendalikan pusat. Meski kekuasaan daerah berkurang tetapi pusat tetap mempunyai political leverage atas daerah. Dalam hal pemekaran misalnya, elite lokal harus melakukan negoisasi dengan pusat. Sebaliknya agar daerah tetap bergantung dengan berbagai cara pusat memanfaatkan political leverage-nya untuk tetap memperkuat posisinya atas daerah. Dengan begitu, kekuasaan pusat terus-menerus berkibar di daerah, meski pun suasana politik saat ini telah berubah.

150