ISOLASI DAN MODIFIKASI STRUKTUR SENYAWA METABOLIT SPONGA Xestospongia sp. PERAIRAN TELUK KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR
ISOLASI DAN MODIFIKASI STRUKTUR SENYAWA METABOLIT SPONGA Xestospongia sp. PERAIRAN TELUK KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR
(Skripsi)
Oleh
Ricardo Simarmata 0817011049
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG
(2)
ABSTRACT
ISOLATION AND STRUCTURAL MODIFICATIONS OF METABOLITE COMPOUND SPONGE Xestospongia sp. THE KUPANG BAY WATERS OF EAST NUSA TENGGARA
By
Ricardo Simarmata
Isolation, modification and characterization of alkaloids from sponge Xestospongia sp. have been carried out in this experiment. The purification process by some chromatographic steps was obtained compound C4 214 mg. Alkaloid compound in C4 analyzed using thin layer chromatography (TLC) and visualization with reagent Dragendorf indicating an orange spots on the value Rf 0,63 after elution with eluent DCM-MetOH (5:1). The result from structural modification C4 was obtained compound C5 with the value Rf 0,25 after elution with the same elution. The interpretation of FTIR spectrum showed that C4 and C5 have a carbonyl groups are indicated by C=O stretch at 1716 cm-1, alkyl chain length of CH2 is indicated by C-H
stretch at 2928 cm-1, and terminal methyl groups are indicated from C-H stretch at 2853 cm-1 and C-H bend at 1465 cm-1. While the cyclic amine from alkaloid compound is indicated by N-tertiary vibration at 1348 cm-1. However, the C5 compound found another group that is hydroxyl groups are indicated by O-H stretch at 3419 cm-1 and C-O stretch at 1272 cm-1. Test antibacterial activity C5 compound at concentration 2 mg/mL able to inhibit the growth of bacteria Staphylococcus aureus.
Key words : Isolation, Modification, Alkaloid, Antibacterial, Staphylococcus aureus Sponge.
(3)
ABSTRAK
ISOLASI DAN MODIFIKASI STRUKTUR SENYAWA METABOLIT SPONGA Xestospongia sp. PERAIRAN TELUK KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR
Oleh
Ricardo Simarmata
Isolasi, modifikasi dan karakterisasi senyawa alkaloid dari sponga Xestospongia sp. telah dilakukan pada penelitian ini. Proses pemurnian melalui beberapa tahap kromatografi menghasilkan senyawa C4 sebanyak 214 mg. Keberadaan senyawa alkaloid dalam C4 diuji menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) dan divisualisai dengan pereaksi spesifik Dragendorf yang menghasilkan noda jingga pada Rf 0,63 setelah dielusi dengan eluen DCM-MetOH(5:1). Dari hasil modifikasi struktur C4 didapatkan C5 yang memiliki nilai Rf 0,25 setelah dielusi dengan eluen yang sama. Penafsiran terhadap spektrum FTIR menunjukkan bahwa senyawa C4 dan C5 memiliki gugus karbonil dengan adanya serapan vibrasi ulur pada daerah 1716 cm-1, gugus alkil rantai panjang terindikasi dari vibrasi ulur C-H pada daerah 2928 cm-1, dan gugus terminal metil yang terindikasi dari vibrasi ulur C-H pada daerah 2853 cm-1 dan vibrasi tekuk C-H pada daerah 1465 cm-1, sedangakan keberadaan gugus amina siklik dari senyawa alkaloid terindikasi oleh vibrasi tarik N tersier pada daerah 1348 cm-1. Namun, pada senyawa C5 ditemukan keberadaan gugus lain, yaitu gugus hidroksil yang ditunjukkan dengan adanya vibrasi ulur O-H pada daerah 3419 cm-1 dan vibrasi ulur C-O pada daerah 1272 cm-1. Uji aktivitas antibakteri senyawa C5 mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada konsentrasi 2 mg/mL.
Kata Kunci : Isolasi, Modifikasi, Alkaoid, Antibakteri, Staphylococcus aureus, Sponga.
(4)
ISOLASI DAN MODIFIKASI STRUKTUR SENYAWA METABOLIT SPONGA Xestospongia sp. PERAIRAN TELUK KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR
Oleh
Ricardo Simarmata
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA SAINS
Pada Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG 2013
(5)
Judul : ISOLASI DAN MODIFIKASI STRUKTUR
SENYAWA METABOLIT SPONGA Xestospongia sp. PERAIRAN TELUK KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR
Nama : Ricardo Simarmata
NPM : 0817011049
Jurusan : Kimia
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing
Pembimbing Utama
Andi Setiawan, Ph.D. NIP. 195809221988111001
2. a.n Ketua Jurusan
Dr. Eng. Suripto Dwi Yuwono, M.T. NIP. 1974070552000031001
(6)
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Andi Setiawan, Ph.D. …………....
Anggota Penguji I : Prof. Dr. Tati Suhartati, M.Si …………....
Anggota Penguji II : Dra. Aspita Laila, M.S. …………....
2. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Prof. Suharso, Ph.D.
NIP 196905301995121001
(7)
RIWATA HIDUP
Penulis dilahirkan di Mappu, Kecamatan Pematang Raya, Kabupaten Simalungun
pada tanggal 1 September 1988 sebagai anak ke-enam dari delapan bersaudara,
pasangan Martuah Simarmata dan (Alm.) Aderlina Br. Purba.
Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 1 091328 Buluraya pada
tahun 2001, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Pematang Raya pada tahun
2004, dan Sekolah Menengah Atas Swasta GKPS 1 Pematang Raya pada tahun 2007.
Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa S1 Kimia Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam (F-MIPA) Universitas Lampung (Unila) melalui jalur
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNM-PTN).
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia Medik
Fakultas Kedokteran 2011, praktikum Kimia Sains Dasar 2012 dan Kimia Organik
2011/2012 di Fakultas MIPA. Pada tahun 2010-2011 penulis aktif sebagai anggota
bidang 2 (Sains dan Penalaran Ilmu Kimia) Himpunan Mahasiswa Kimia (HIMAKI)
(8)
PERSEMBAHAN
Dengan rasa syukur dan bahagia pada Tuhan Yang Maha Kuasa
Kupersembahkan karya ini kepada :
Ayahanda dan Alm. Ibunda Tercinta,
tanpa pamrih, tanpa berharap imbalan selalu memberikan kasih
sayangnya sepenuh hati dan dalam setiap doa yang dipanjatkan
selalu terdengar namaku disebut.
Kakak-Kakak dan Adik-Adikku Tersayang,
yang selalu menjadi inspirasi disepanjang hidupku dan motivator
dalam setiap keputusanku.
(9)
“Melakukan sesuatu tanpa memikirkan makna atau artinya
adalah sesuatu perbuatan tanpa tujuan berarti (Ricard S.)
”
“Bukan gunung yang harus kita taklukkan melainkan diri
kita
sendiri”
“Dengan ketekunan sang siput berhasil mencapai bahtera
.
Saya mungkin berjalan lambat, namun saya tidak pernah
berjalan mundur” (C.H. Supergeon dan Abraham Lincoln)
“Kehidupan kita dapat berkembang hanya jika kita berani
mengambil kesempatan dan resiko yang terdahulu dan tersulit
itu adalah jujur dengan diri sendiri” (Walter Anderson)
“Sebab kasih setia
-Mu dibangun untuk selama-lamanya,
(10)
SANWACANA
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat
dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Isolasi dan Modifikasi Struktur Senyawa Metabolit Sponga Xestospongia sp. Perairan Teluk Kupang Nusa Tenggara Timur”.
Salam damai sejahtera dan kasih tanpa batas senantiasa tercurah kepada seluruh umat
manusia. Pada kesempatan ini, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Prof. Suharso, Ph.D., selaku Dekan Fakultas MIPA Universitas Lampung.
2. Bapak Andi Setiawan, Ph.D., selaku pembimbing utama sekaligus Ketua
Jurusan Kimia yang selalu bersabar hati dan penuh perhatian memberikan
arahan, bimbingan, ilmu dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Dra. Fifi Martasih, M.S. selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan,
nasihat, arahan, kritik dan saran kepada penulis selama studi hingga
(11)
ini.
5. Dra. Aspita Laila, M.S., selaku dosen penguji II yang telah banyak
memberikan masukan, koreksi, kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi
ini.
6. Staf administrasi FMIPA Unila.
7. Seluruh staf, dosen dan karyawan Jurusan Kimia FMIPA Unila.
8. Keluarga tercinta yang selalu menjadi inspirasi dan motivator bagi penulis.
9. Keluarga besar Laboratorium Biomasa Terpadu Unila.
10.Sahabat dan rekan-rekan di Jurusan Kimia FMIPA Unila terutama sahabatku angkatan ’08 yang selalu memberikan dukungan dan semangat selama studi hingga selesai.
Semoga setiap kebaikan yang telah kalian berikan beroleh balasan yang
sebesar-besarnya dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih
jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, penulis berharap akan setiap ilmu yang
tertuang dalam skripsi ini dapat meberikan manfaat yang berguna bagi kita semua. Amin…..
Bandar Lampung, Maret 2013 Penulis
(12)
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu wilayah yang dikenal sebagai negara kepulauan
dan terletak di kawasan tropis dengan jumlah pulau ± 17.508. Kondisi Indonesia
seperti ini menjadikan luas perairannya memiliki luas yang hampir sama dengan
luas daratan. Secara geografis, Indonesia terletak diantara dua benua yaitu Benua
Asia dan Australia, serta diapit oleh Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Letak geografis yang strategis ini memungkinkan Indonesia memiliki potensi
sumber daya laut yang beraneka ragam. Dari seluruh jumlah terumbu karang
Asia, 50% di antaranya terdapat di Indonesia dan jumlah ini merupakan18% dari
jumlah terumbu karang di dunia. Wilayah Timur Indonesia sendiri diketahui
memiliki 480 jenis batu karang (hard coral) yang sudah berhasil diidentifikasi dan
merupakan 60% batu karang di dunia yang diketahui jenisnya. Indonesia juga
diketahui memiliki sponga dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, sudah
lebih dari 1500 jenis sponga berhasil diidentifikasi (Bengen, 2001).
Hingga saat ini, salah satu wilayah di Indonesia bagian Timur yang belum banyak
dimanfaatkan adalah Kupang, ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur. Provinsi
kepulauan ini memiliki luas daerah dengan luas daratan ± 47.349 km2 dan
(13)
membuat Propinsi Nusa Tenggara Timur memiliki potensi sumber daya alam
yang cukup melimpah terutama sumber daya biota lautnya. Jika ditinjau dari luas
perairannya salah satu potensi laut yang dimiliki Kupang adalah sponga
(Tjitrosoepomo, 2007). Namun potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Sampai saat ini, pemanfaatan potensi tersebut masih sebatas untuk pemenuhan
pangan masyarakat, transportasi, dan pariwisata yang dalam pemanfaatannya
cenderung merusak lingkungan. Oleh sebab itu sebelum terjadi kerusakan yang
lebih parah, perlu dilakukan upaya yang berkaitan dengan peningkatan potensi
tersebut termasuk pengkajian terhadap biota laut, salah satunya adalah sponga.
Sponga merupakan biota laut yang tersebar pada perairan pantai yang dangkal
hingga kedalaman 5,5 km. Tubuh sponga terdiri dari jaringan rangka yang
disebut spikula. Spikula tersebut mengandung senyawa kimia yaitu kalsium
karbonat, silika, serat kolagen dan serat spongin yang lentur (Castro and Huber
2005). Sponga adalah hewan berpori yang termasuk filter feeder yaitu hewan
yang mengumpulkan nutriennya dengan cara menyaring air laut melalui pori-pori
(ostium). Makanan porifera berupa sisa organisme yang telah mati atau
mikroorganisme yang berada di kolam air. Menurut Taylor et al. (2007), selain
dijadikan sumber protein sel tunggal, mikroorganisme juga sebagai simbion dari
spons karena mikroorganisme mengkolonisasi tubuh sponga yang berpori-pori
sebagai tempat hidup dan berlindung. Bakteri dapat memberikan kontribusi untuk
pertahanan inangnya yaitu dengan cara ekskresi antibiotik dan substansi bioaktif
lainnya. Secara khusus organisme laut yang sesil seperti spons diperkirakan
(14)
menghasilkan senyawa bioaktif untuk mempertahankan diri terhadap
hewan-hewan predator dan dari kolonisasi mikroorganisme patogenik.
Secara umum biota laut memproduksi senyawa metabolit primer dan metabolit
sekunder, termasuk salah satunya adalah sponga. Senyawa metabolit primer
adalah senyawa yang disintesis dan dirombak oleh organisme dalam rangka
kelangsungan hidupnya melalui proses metabolisme primer. Senyawa tersebut
meliputi polisakarida, protein, lemak dan asam nukleat. Sedangkan senyawa
metabolit sekunder adalah senyawa yang dihasilkan oleh organisme melalui
proses metabolisme sekunder. Senyawa tersebut meliputi terpenoid, flavonoid,
steroid, alkaloid, fenil propanoid dan lain-lain. Senyawa metabolit sekunder yang
dihasilkan sponga diketahui banyak memproduksi senyawa bioaktif.
Kemungkinan produk alam laut hasil metabolit sekunder tersebut dihasilkan oleh
kehadiran mikroorganisme pada jaringan spons sebagai simbion, baik simbion
intraselluler ataupun ekstraselluler. Senyawa-senyawa organik tersebut dapat
ditransport oleh adanya kerjasama antara simbion dan inangnya. Kehadiran
simbion ini menjadi syarat untuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder.
Hubungan ini dapat dilihat dari asosiasi antara sponga dan Eubacteria (Barnes,
1994). Dengan adanya senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh sponga
maka tidak heran jika hal ini menjadi perhatian serius bagi para peneliti. Hal ini
dikarenakan bahwa senyawa metabolit sekunder yang berasal dari sponga
diketahui memiliki potensi sebagai penghasil senyawa bioaktif yang relevan untuk
(15)
Berbagai senyawa bioaktif telah berhasil diisolasi terutama dari sponga perairan
Indonesia, contohnya adalah senyawa agosterol, suatu MDR(Multi Drug
Resistance) modulator, berhasil diisolasi dari Spongia sp di perairan Lombok (Aoki et al., 1998). Senyawa lembehynes merupakan salah satu senyawa
neuritogenik yang telah diisolasi dari sponga Haliclona sp dari perairan Teluk
Lembeh (Izumi et al., 2006). Senyawa Aaptamine yang diisolasi dari Aaptos
suberitoide yang hidup di perairan Carita, Jawa Barat, memiliki aktivitas sebagai pengaktivasi promotor p21 (Aoki et al., 2006). Selain itu, (Zhang et al., 2003)
juga melaporkan bahwa lebih dari 10% sponga memiliki aktivitas sitotoksik yang
potensial untuk bahan obat-obatan.
Arah pengembangan riset senyawa bioaktif akhir-akhir ini adalah mencari
obat-obat yang bekerja secara selektif dan efektif untuk mengatasi penyakit pada
manusia. Sebagai contoh pada tahun 2011 Arai et al., berhasil mengisolasi
senyawa haliklona siklamina yang memiliki aktivitas sebagai antidorman pada
Mycobacterial dari sponga Haliclona sp. yang berasal dari perairan Flores. Kemudian Hanani dkk. (2005) membuktikan adanya sifat antioksidan pada
ekstrak metanol dari sponga Callispongia sp yang hidup di Kepulauan Seribu.
Berdasarkan kajian hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa komponen
senyawa yang dihasilkan oleh sponga itu berbeda satu dengan yang lain
tergantung jenis sponganya, dan setiap senyawa yang dihasilkan juga memiliki
fungsi bioaktivitas yang berbeda-beda. Hasil penelitian tersebut juga menjelaskan
bahwa komponen senyawa yang memiliki fungsi bioaktivitas hanya sebagian saja
(16)
umumnya terutama sponga. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa senyawa
yang tidak memiliki fungsi bioaktivitas dapat diubah menjadi senyawa yang
memiliki fungsi bioaktivitas dan sebaliknya senyawa yang telah memiliki fungsi
bioaktivitas diubah menjadi senyawa yang memiliki fungsi bioaktivitas lain. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara mempelajari struktur dasar dari senyawa tersebut,
dan kemudian memodifikasi strukturnya menjadi senyawa lain yang memiliki
sifat dan fungsi berbeda dari fungsi struktur awalnya.
Beberapa peneliti diketahui sudah melakukan dan mempelajari beberapa struktur
senyawa yang pada dasarnya memiliki fungsi bioaktivitas, kemudian
memodifikasi strukturnya hingga diperoleh senyawa dengan struktur dan fungsi
yang berbeda. Contohnya adalah Watanabe et al. (2007) telah mempelajari
hubungan antara struktur dan aktivitas senyawa cortistatin A dengan senyawa
analognya yaitu cortistatin E, F, G, dan H terhadap sifat antiproliferatif, hasilnya
adalah cortistatin A memiliki aktivitas lebih tinggi dibanding analog-analognya.
Kajian lebih lanjut dilakukan oleh, Aoki et al.(2007), untuk mempelajari
hubungan sifat antiproliferatif dengan senyawa cortistatin A dan analog lainnya,
Cortistatins J, K, L . Hasil kajian tersebut menunjukkan senyawa cortistatin J memiliki aktivitas antiproliferatif lebih besar dibandingkan senyawa asalnya dan
analog lainnya.
Mempertimbangkan uraian di atas dinyatakan bahwa jumlah senyawa yang dapat
dihasilkan oleh sponga itu beragam dan memiliki banyak fungsi bioaktivitas.
Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk mendapatkan senyawa tersebut dan
(17)
Pada penelitian kali ini dilakukan upaya untuk mengisolasi senyawa-senyawa dari
sponga Xestospongia sp. dan kemudian memodifikasi strukturnya. Komponen
senyawa yang tidak memiliki fungsi bioaktivitas ataupun sebaliknya akan
dilakukan modifikasi struktur dan diharapkan setelah modifikasi struktur
dilakukan, senyawa tersebut dapat memiliki fungsi bioaktivitas atau peningkatan
fungsi bioaktivitas yang berbeda dari senyawa asalnya.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan memodifikasi struktur isolat
senyawa metabolit sekunder Xestospongia sp. yang berasal dari perairan teluk
Kupang, Nusa Tenggara Timur.
1.3. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan pengetahuan dasar
tentang pengaruh dari modifikasi struktur suatu senyawa kimia terhadap
(18)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sponga
Porifera berasal dari bahasa latin yaitu porus berarti pori dan fer berarti
membawa. Porifera atau sponga atau hewan berpori adalah sebuah filum untuk
hewan multiseluler yang paling sederhana. Karena hewan ini memiliki ciri yaitu
tubuhnya berpori seperti busa atau spons sehingga porifera disebut juga sebagai
hewan sponga. Porifera hidup di air laut dan air tawar, tapi kebanyakan hidup di
laut mulai dari daerah perairan pantai yang dangkal hingga kedalaman 5,5 km,
hidupnya selalu melekat pada substrat (sesil) dan tidak dapat berpindah tempat
secara bebas. Di dalam tubuhnya terdapat rongga yang disebut spongosol.
2.1.1. Klasifikasi Biologi Sponga Laut
Sponga adalah hewan laut yang tidak lain merupakan jenis porifera. Filum
porifera terdiri dari tiga kelas, yaitu Calcarea, Demospongiae, dan
Hexactinellida ini menurut Amir dan Budiyanto (1996), Rachmaniar (1996),
Romihmohtarto dan Juwana (1999), sedangkan menurut Warren (1982),
Ruppert and Barmes (1991), filum porifera terdiri dari empat kelas, yaitu
(19)
Kelas Calcarea adalah sponga yang semuanya hidup di laut. Sponga ini
mempunyai struktur sederhana dibandingkan dengan yang lainnya.
Spikulanya terdiri dari kalsium karbonat dalam bentuk calcite. Kelas
Demospongia adalah kelompok sponga yang terdominan diantara porifera
saat ini. Mereka tersebar luas di alam, serta jumlah jenis maupun
organismenya sangat banyak, sering berbentuk massif dan berwarna cerah
dengan sistem saluran rumit yang dihubungkan dengan kamar-kamar
bercambuk kecil yang bundar. Spikulanya ada yang terdiri dari silikat dan
ada beberapa (Dictyoceratda, Dendroceratida dan Verongida) spikulanya
hanya terdiri dari serat sponging, serat kolagen atau tidak ada spikula. Kelas
Hexactinellida merupakan spons gelas yang kebanyakan hidup di laut dalam
dan tersebar luas. Spikulanya terdiri dari silikat dan tidak mengandung
sponging (Warren, 1982; Ruppert dan Barnes, 1991; Amir dan Budiyanto,
1996; Romihmohtarto dan Juwana, 1999). Kelas Sclerospongia merupakan
sponga yang kebanyakan hidup pada perairan dalam di terumbu karang atau
pada gua-gua, celah-celah batuan bawah laut atau terowongan di terumbu
karang. Semua jenis ini adalah bertipe leuconoid yang kompleks, mempunyai
spikula silikat dan serat sponging. Elemen-elemen ini dikelilingi oleh
jaringan hidup yang terdapat pada rangka basal kalsium karbonat yang kokoh
atau pada rongga yang ditutupi oleh kalsium karbonat (Warren, 1982;
(20)
2.1.2. Habitat dan Kebiasaan Hidup Sponga
Sponga atau porifera termasuk hewan multiseluler yang mana fungsi jaringan
dan organnya masih sederhana. Hewan ini hidup menetap pada suatu habitat
pasir, batu-batuan atau juga pada karang-karang mati di dasar laut. Untuk
mencari makanan, hewan ini aktif mengisap dan menyaring air melalui
seluruh permukaan tubuhnya. Kebiasaan ini dapat dicontohkan pada bentuk
sponga yang memiliki kanal internal yang paling sederhana (Gambar 1) yang
dinding luarnya (pinakodermis) mengandung pori-pori (ostium). Melalui pori
inilah air dan materi-materi kecil yang terkandung di dalamnya dihisap dan
disaring oleh sel-sel berbulu cambuk atau sel kolar (choanocytes), kemudian
air tersebut dipompakan keluar melalui lubang tengah (oskulum). Sistem
pengisapan dan penyaringan ini juga terjadi pada sponga yang memiliki kanal
internal yang lebih rumit, karena sistem aliran air tersebut melalui beberapa
sel kolar sebelum keluar melalui oskulum. Pada umumnya, sponga mampu
memompakan air rata-rata sebanyak 10 kali volume tubuhnya dalam waktu 1
menit, sehingga tidak salah jika hewan ini dikenal sebagai hewan filter feeder
(21)
Gambar 1. Struktur sel sponga yang paling sederhana, a: Oskula, b: Sel penutup (pinakosit), c: Sel amobosit, d: Sel pori (porosity), e: Pori saluran masuk (Ostium), f: Telur, g: Spikula, triaxon, h: Mesohil, i: Sel mesenkim, j: Bulu cambuk (flagella), k: Sel kolar (choanosit), l: Sklerosit, m: Spikula monoaxon (Buchsbaum, 1948).
Sponga jenis Xestospongia sp biasanya ditemukan dibagian lautan yang
berbatu maupun di tempat lain di dasar laut, ditemukan pada kedalaman laut
100 m – 1000 m. Kedalaman yang paling umum adalah 500 m (Dohrmann, 2008).
Gambar 2. Sponga Xestospongia sp. (Dohrmann, 2008)
(22)
2.1.3. Hubungan Sponga dan Bakteri Yang Berasosiasi
Interaksi antara organisme yang hidup di lingkungan akuatik sangat beragam
dan peran penting pada interaksi tersebut dimainkan oleh mikroorganisme.
Pada sponga terdapat populasi mikroorganisme simbion. Simbion tersebut
seperti Archaea bakteria, Sianobakteria, dan Mikroalgae. Mikrooganisme
tersebut merupakan sumber metabolit sekunder. Fungi yang berasosiasi
dengan sponga juga diketahui menghasilkan senyawa bioaktif (Krismawati,
2006).
Pola makan sponga yang khas yaitu filter feeder (mengisap dan menyaring)
dapat memanfaatkan jasad renik di sekitarnya sebagai sumber nutrien
diantaranya bakteri, kapang dan xooxanthela yang hidup pada peraiaran
tersebut. Sedangkan bakteri, kapang dan xooxanthela hidup dan berkembang
biak dengan memanfaatkan nutrien yang terdapat pada sponga tersebut.
Lubang yang porus pada sponga mengandung sejumlah koloni bakteri
(Rheinhemer, 1991). Hasil penelitian terhadap sponga Miccrocionia
plorifera, ditemukan bakteri dari genus Pseudomonas, Aeromonas, Vibrio, Achromobacter, Flavobacterium serta Micrococcus yang biasa terdapat di perairan sekitarnya (Rheinhemer, 1991).
Myers (2001) melaporkan bahwa terdapat hubungan simbiotik antara sponga
dengan sejumlah bakteri dan alga, sponga menyediakan dukungan dan
perlindungan bagi simbionnya dan simbion menyediakan makanan bagi
(23)
berasal dari produk fotosintesis sebagai tambahan bagi aktivitas normal filter
feeder yang dilakukan sponga.
Pembentukan senyawa bioaktif pada sponga sangat ditentukan oleh prekusor
berupa enzim, nutrien serta hasil simbiosis dengan biota lain yang
mengandung senyawa bioaktif seperti bakteri, kapang dan beberapa jenis
dinoflagellata yang dapat memacu pembentukan senyawa bioaktif pada
sponga (Scheuer, 1978 dalam Suryati et al., 2000).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryati et al., (2000)
terhadap sejumlah spesies sponga yang hidup diperairan Spermonde,
Sulawesi Selatan, kelimpahan kapang dan bakteri yang bersimbiosis cukup
bervariasi, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1. Kelimpahan jenis bakteri
yang diisolasi dari sponga pada umumnya didominasi oleh bakteri
Aeromonas, Flavobacterium, Vibrio sp., Pseudomonas sp., Acinebacter dan Bacillus sp.
Tabel 1. Identifikasi bakteri yang berasal dari sponga No Nama Sponga Spesies Bakteri
1 Acanthela clethera Flavobacterium, Aeromonas sp.
2 Aplisina sp. Aeromonas sp.
3 Callyspongia sp. Pseudomonas sp. 4 Clanthria bacilana Aeromonas sp. 5 Clathria reinwardhi Aeromonas
6 Jaspis Flavobacterium
7 Phakelia aurensis Bacillus sp., Aeromonas sp.
8 Phyllospongia sp. Vibrio sp., Pseudomonas sp. Aeromonas sp. 9 Rheniochalina sp. Acinetobacter sp.
10 Thionella cilindrica Aeromonas sp.
11 Stylotella aurantirorum Aeromonas sp., Vibrio sp.
12 Xestospongia sp. Enterobacteriabceae, Aeromonas sp. (Sumber, Suryati et al., 2000)
(24)
2.1.4. Kandungan Senyawa Kimia Sponga dan Fungsi Bioaktivitasnya
Kandungan kimia sponga laut memiliki potensi bioaktif yang sangat besar.
Selama 50 tahun terakhir telah banyak kandungan bioaktif yang telah
ditemukan. Kandungan bioaktif tersebut dikelompokan dalam beberapa
kelompok besar yaitu sebagai antiflammatory, antitumor, immunosuppessive,
antivirus, antimalaria, antibiotik, dan antifouling.
Sponga merupakan biota laut yang potensial untuk menghasilkan senyawa
bioaktif. Senyawa bioaktif yang dimiliki oleh sponga kemungkinan
bermanfaat dalam proses pencernaan, sehingga senyawa bioaktif yang
diperoleh diperkirakan bervariasi sesuai dengan kebiasaan makan
masing-masing jenis sponga.
Sponga laut Acanthodendrilla sp. tergolong dalam filum: porifera, kelas:
demospongiae, ordo: dictyoceratida, family: irciniidae, genus:
Acanthodendrilla. Kandungan kimia dari sponga Acanthodendrilla sp. adalah Acanthosterol, terdapat 10 derivat Acanthosterol yang merupakan steroid
sulfat dan berkhasiat sebagai anti mikroba (Rasyid, 2009).
Sponga dapat memproduksi racun dan senyawa lain yang digunakan untuk
mengusir predator, kompetisi dengan hewan sesil lain dan untuk
berkomunikasi serta melidungi diri dari infeksi. Lebih dari 10 % sponga
memiliki aktivitas sitotoksik yang dapat berpotensi untuk bahan obat-obatan
(25)
Pada beberapa jenis sponga dari genus Aaptos mengandung metabolit
sekunder dari golongan alkaloid yaitu aaptamine dan aaptosin pada fraksi
metanol. Secara umum dalam sponga pada fraksi non polar ditemukan
kelompok senyawa seperti senyawa terpenoid, steroid, dan asam lemak.
Sponga Aaptos sp. pada fraksi polar banyak mengandung senyawa alkaloid
yang memiliki aktivitas antitumor, antimicrobial, antivirus, dan lain-lain.
Sponga dari jenis Haliclona sp. pada fraksi n-Heksana banyak mengandung
senyawa dari golongan steroid. Metabolit primer berupa steroid dari sponga
merupakan kelompok senyawa bahan alam yang dibiosintesis melalui jalur
asam mevalonat sebagai hasil modifikasi senyawa triterpen (Rombang and
Wilson, 2003).
Beberapa senyawa yang memiliki aktivitas farmakologi sudah berhasil
diisolasi dari sponga. Dedemnin B merupakan senyawa hasil isolasi dari
trididemmum solidum dilaporkan mempunyai aktivitas antitumor dan antivirus. Dalam sponga luffariella variabilis terdapat senyawa
Luffariellolida yang berkhasiat sebagai antiinflamasi, dalam Xestospongia
dilaporkan mengandung xestosaprol D dan E untuk bahan obat-obatan (David
and Oskar, 1993; Aguinaga et al., 2010), dan sponga Callyspongia sp.
merupakan salah satu jenis sponga yang banyak tumbuh di perairan wilayah
Indonesia mengandung berbagai metabolik sekunder yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan obat (Satari, 1999). Isolat dari sponga ini
dilaporkan memiliki aktivitas antikanker, antimikroba dan antiparasit (Amir
(26)
antioksidan yang terkuat dibandingkan Geliodes fibulata, Clatharia
austalieasis, Agelas sp. dan Oceanapia sp. (Hanani dkk, 2005).
Sponga Indonesia, Haliclona sp. telah diteliti lebih serius dan ternyata
menghasilkan lembehynes A dan B yang dianggap mampu menekan aktivitas
neuritogenik dan sel neuroblastoma. Selain itu, Haliclona sp. juga
menghasilkan manzamina sebagai antimalaria dan dapat meningkatkan sistem
imun (Ang et al., 2000; Yousaf et al., 2002). Manzamina juga dilaporkan
memiliki bioaktivitas yang meliputi aktivitas antitumor, antimikroba, dan
antiparasit. Manzamina adalah senyawa alkaloid yang pertama diisolasi dari
sponga Haliclona sp. asal Jepang (Sakai et al., 1986).
Sponga Xestospongia exigua dari Pasifik New Guinea, telah dilaporkan
memiliki kandungan senyawa motuporamines A-C dengan bentuk dan
struktur baru Congoner, dan turunannya yaitu motuporin D-F. Senyawa ini
telah terbukti mampu menyerang dan menghambat laju pertumbuhan sel
karsinoma (Williams et al., 1998).
Gambar 3. Struktur Manzamina A (Winkler et al., 2006)
(27)
Penelitian Orabi et al., (2002), yang sudah mengisolasi sponga H. exigua
menghasilkan senyawa araguspongin A, C, D, E dan sponga X. exigua asal
Australia menghasilkan senyawa araguspongin A, D, E dan xestopongin B.
Pada uji aktivitas senyawa sebagai antimalarial, diketahui bahwa senyawa
araguspongin C dapat menghambat P. falciparum dengan nilai IC50
berturut-turut D6 dan W2 (0,670 dan 0,280 μg/ml).
Gambar 4. Struktur araguspongin A(1) dan araguspongin C (2) (Orabi et al., 2002)
Menurut Miyaoka et al., (1998), Acanthella klethra sponga dari Okinawa,
Jepang mengandung tiga senyawa kalihinan (Gambar 5). Kalihinol A
merupakan salah satu senyawa kalihinan yang dapat menghambat laju
plasmodium dalam sel darah manusia yang menderita penyakit malaria.
Aktivitas antimalaria dari axisonitril yang mengandung tiga gugus isonitril
atau gugus isotionitril. Senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas biologis
dari sponga laut Okinawa ditemukan adanya (1) ∆9 kalihinol Y, (2) 10-epikalihinol I dan (3) 5,10-bisisotiosianatokalihinol G yang di sintesis dari
(28)
Gambar 5. Senyawa kalihinan diterpenoid dan turunannya yang memiliki aktivitas antimalaria (Miyaoka et al., 1998)
Laurent et al., (2006) mengungkapkan bahwa sponga Xestospongia sp.
mengandung senyawa bioaktif meliputi alkaloid (xestopongin/araguspongin,
aaptamina, manzamina, ingenamina, renieramicin), polisiklik kuinon,
hidrokuinon, turunan poliasetil, aminoalkohol, senyawa heterosiklik,
antimikrobial, dan antiplasmodial. Peneliti telah berhasil mengisolasi
beberapa inhibitor sponga ini dari protein tirosin kinase seperti polisiklik
Δ9
- Kalihinol Y 10-epikalihinol I
5,10-bisisotiosianatikalihinol G Kalihinan
(29)
kuinon dan hidrokuinon dari kelas halenakuinon. Berdasarkan hasil uji
bio-fraksinasi dihasilkan dua senyawa yaitu xetokuinon dan halenakuinon.
Antiplasmodium xestokuinon, saat ini dianggap sebagai bahan keras dan
mengandung banyak inhibitor Pfnek-1. Studi ini menekankan pada uji in
vitro P. falciparum galur FCBI memiliki nilai IC50 0,005 µg/ml untuk
inhibitor PfPK5 dan uji in vivo P.berghei NK65 yang diinfeksikan ke mencit
(Laurent et al., 2006).
Gambar 6. Struktur halenakuinon (A) dan xestokuinon (B) (Laurent et al., 2006)
Pada temuan lain, Carballeria (2008) menyatakan bahwa vector malaria
diyakini dapat dihambat oleh ekstrak asam lemak dari sponga Agelas oroides.
Asam lemak yang dimaksud adalah cis C23-C26∆5-9 yang diketahui dapat
berfungsi sebagai penghambat perkembangan P. falciparum. Dinyatakan
lebih lanjut, penggunaan asam lemak dari sponga A. oroides dapat menjadi
antiprotozoal dangan kemampuan nilai IC50 =12-16 µg/ml dan bersifat
sitotoksik. Sponga A. oroides diekstraksi dengan metanol dan dipartisi
menggunakan heksana, kloroform dan metanol.
Gambar 7. Struktur asam lemak cis C23-C26∆5-9
(Carballeria, 2008) 9
5
(30)
2.1.5. Senyawa metabolit sekunder sponga
Senyawa metabolit primer adalah senyawa yang disintesis dan dirombak oleh
organisme dalam rangka kelangsungan hidupnya melalui proses metabolisme
primer. Senyawa tersebut meliputi polisakarida, protein, lemak dan asam
nukleat. Sedangkan senyawa metabolit sekunder adalah senyawa yang
dihasilkan oleh organisme melalui proses metabolisme senyawa metabolit
primer, biasanya digunakan untuk mempertahankan diri dari hewan-hewan
predator dan kolonisasi mikroorganisme patogenik. Pada umumnya
senyawa-senyawa metabolit sekunder yang berhasil diisolasi dari sponga
memiliki aktivitas biologis terhadap suatu sel dan mikroorganisme. Sifat
biologis ini dapat menghambat bahkan membunuh sel atau mikroorganisme
dengan merusak sistem metabolisme di dalam tubuh. Senyawa metabolit
sekunder yang berhasil diisolasi dari sponga antara lain berasal dari golongan
steroid, terpenoid, poliketida dan alkaloid (Bhakuni and Rawat, 2005).
a. Steroid
Steroid adalah senyawa yang mempunyai kerangka dasar karbon, yang
merupakan turunan dari hidrokarbon 1,2-siklopentenoperhidrofenantren.
Struktur tersebut dapat ditetapkan berdasarkan reaksi dehidrogenasi yang
menghasilkan hidrokarbon Diels. Steroid dapat diklasifikasikan berdasarkan
sifat fisiologis, yang terdiri dari kelompok sterol, asam-asam empedu,
hormon seks, hormon adrenokortikoid, aglikon kardiak, dan sapongein.
Sedangkan, dari segi kimia, perbedaan antara masing-masing kelompok
(31)
dan C-17 dari kerangka dasar karbon. Dari segi biogenetik, steroid berasal
dari asam asetat yang mengalami perubahan melalui jalur asam mevalonat
dan skualen menjadi triterpen lanosterol atau sikloartenol. Sebagaimana
senyawa organik lainnya, tatanama sistematik dari steroid didasarkan pada
nama dari hidrokarbon steroid yang diberi awalan atau akhiran, untuk
menunjukkan jenis serta posisi substituent. Hidrokarbon dari steroid
dibedakan berdasarkan jenis rantai samping yang terikat pada C-17,
disamping hidrokarbon estran yang tidak mempunyai substituen metil pada
C-10 (Sjamsul, 1986).
Gambar 8. Kerangka dasar karbon steroid dan beberapa contoh steroid alam berdasarkan kelompoknya (Sjamsul, 1986).
Aglikon kardiak Sterol
Kerangka dasar
karbon steroid Ergosterol
Asam-asam Empedu Hormon seks
Asam kolat Oestron
Hormon adrenokortikoid
(32)
Sponga merupakan salah satu sumber dari senyawa sterol. Beberapa
diantaranya mempunyai sifat poligenetik/penurunan sifat beberapa gen.
Sterol juga sangat penting untuk mempelajari fungsi dari suatu membran
biologis. Sterol yang mengandung gugus sulfat dan alkaloid juga
memperlihatkan aktivitas sebagai antimikroba. Halistanol yang didapatkan
dari sponga Halichondria mooriei dan sterol dari sponga Toxadocia zumi
diketahui menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan
Bacillus subtilis pada konsentrasi 100 μg/disk dan 50 μg/disk (Bhakuni and Rawat, 2005).
b. Terpenoid
Terpenoid merupakan senyawa metabolit sekunder dari golongan hidrokarbon
yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan dan sebagian hewan, terutama
serangga dan beberapa hewan laut. Disamping sebagai produk senyawa
metabolit sekunder, terpenoid merupakan penyusun kerangka sejumlah
senyawa penting bagi makhluk hidup. Terpenoid terbentuk dari dua atau
beberapa unit isoprena (C5) yang bergabung dalam model kepala-ke-ekor
(head-to-tail), sedangkan unit isoprena yang sesungguhnya merupakan
isopentenil pirofosfat, berasal dari asam asetat yand diaktifkan oleh asetil
koenzim-A melalui jalur asam mevalonat (Sjamsul, 1986).
Sponga yang mengandung senyawa terpenoid mempunyai penyebaran yang
cukup luas. Senyawa terpenoid unik yang sering ditemukan dari sponga
adalah senyawa furanoterpen, isoprenil kuinol, seskuiterpen dan diterpen.
(33)
sesquiterpenoid berhasil diisolasi dari tiga jenis sponga yang berbeda yaitu
sponga Dysidea, Euryspongia dan Siphonodictyon sp. Nakafuran-8 dan
nakafuran-9 yang berasal dari sponga D. fragilis menunjukkan aktivitas
sebagai antifedan pada ikan D. amblia, sponga ini juga dilaporkan memiliki
kandungan senyawa metabolit yang berbeda tergantung dimana lokasi tempat
pengambilannya (Bhakuni and Rawat, 2005).
Sesquiterpen dengan gugus fenolik dan quinoid juga banyak ditemukan
dalam sponga. Sullivan et al., 1956 berhasil mengisolasi senyawa
siphonodictyal-A (9), siphonodictyal-B (7) dan (8) yang diketahui
mempunyai aktivitas sebagai antimikroba. Seskuiterpen avarol (10) yang
diisolasi dari sponga Disidea avara selain menunjukkan aktivitas sebagai
antimikroba juga aktif terhadap virus AIDS. Senyawa ini diperoleh dari dua
tempat yang berbeda yaitu Mediterrania dan Australia. Senyawa tetracyclic
furanoditerpenes yang diisolasi dari sponga S. officinalis juga dilaporkan
mempunyai aktivitas sebagai antijamur dan antimikroba (Bhakuni and Rawat,
2005).
Gambar 9. Beberapa jenis senyawa terpenoid yang diisolasi dari sponga serta memiliki fungsi bioaktivitas, siphonodictyal-A (9),
siphonodictyal-B (7) dan (8) yang diketahui mempunyai aktivitas sebagai antimikroba dan Sesquiterpen avarol (10) menunjukkan aktivitas sebagai antimikroba dan aktif terhadap virus AIDS (Bhakuni and Rawat, 2005).
(34)
c. Poliketida
Poliketida merupakan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan secara
alami oleh bakteri, fungi, tumbuhan, hewan, sumber daya laut dan organisme
yang memiliki keanekaragaman struktural yang tinggi (Walsh, 2004). Asam
asetat adalah sumber utama bagi atom karbon untuk pembentukan poliketida.
Rantai poliasetil yang menurunkan senyawa-senyawa poliketida berasal dari
pengganbungan unit-unit asam asetat melalui kondensasi aldol. Kondensasi
aldol sering pula terjadi antara gugus metilen dan gugus karbonil yang
terletak dibagian tengah dari rantai poliasetil, menghasilkan
senyawa-senyawa polisiklik, seperti emodin, endokrosin dan turunan-turunan kuinon
lainnya. Struktur dari senyawa poliketida seringkali menunjukkan adanya
modifikasi terhadap rantai poliasetil. Modifikasi ini tidak lain disebabkan
karena reaksi-reaksi sekunder, seperti oksidasi, reduksi dan alkilasi yang
terjadi sebelum atau sesudah berlangsungnnya siklisasi dari rantai poliasetil
(Sjamsul, 1986).
Beberapa senyawa peptida alkaloid dan protein juga banyak diisolasi dari
sponga laut. Purealin yang diisolasi dari sponga laut perairan Okinawa
diketahui mempunyai aktivitas sebagai aktivator suatu enzim yaitu modulator
reaksi enzimatik dari ATP-ase. Hasil isolasi senyawa dari sponga Dysidea
herbacea juga diketahui menunjukkan sifat toksik. Sponga D. herbacea yang berasal dari tempat berbeda memiliki turunan senyawa metabolit asam
polikloroamino yang berbeda pula. Matsunaga et al. berhasil mengisolasi
(35)
Sponga juga merupakan salah satu sumber senyawa nukleosida. Senyawa
1-Methylisoguanosine adalah senyawa nukleosida pertama yang berhasil
diisolasi dari nudibranch dan kemudian disintesis melalui dua jalur sintesis
dari sponga Tedania digitata. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa
senyawa nukleosida juga mempunyai aktivitas pharmakologik (Bhakuni and
Rawat, 2005).
d. Alkaloid
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan
di alam. Semua senyawa alkaloida mengandung paling sedikit satu atom
nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian besar atom nitrogen
ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Hampir semua alkaloid yang
ditemukan di alam mempunyai keaktivan fisiologis tertentu, ada yang sangat
beracun tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan. Misalnya
kuinin, morfin dan striknin adalah alkaloid yang terkenal dan mempunyai
efek fisiologis dan psikologis. Berdasarkan konsep bioginesa alkaloid dapat
dibedakan atas tiga jenis utama. Pertama alkaloid alisiklik yang berasal dari
asam-asam amino ornitin dan lisin. Kedua, alkaloid aromatik jenis
fenilalanin yang berasal dari fenilalanin, tirosin dan 3,4-dihidroksifenilalanin.
Ketiga, alkaloid aromatik jenis indol yang berasal dari triptofan. Beberapa
contoh alkaloid yang mewakili masing-masing jenis ini tercantum pada
(36)
Gambar 10. Tiga golongan utama senyawa alkaloid yang digolongkan berdasarkan asal senyawa amino induknya dan beberapa contoh senyawa alkaloid untuk masing-masing golongannya.
Alkaloid Alisisklik
Ornitin Higrin Hiosiamin
Lisin Isopeletierin Lupinin
Alkaloid Fenilalanin
R1 R2
H H Fenilalanin H OH Tirosin OH OH 3,4-Dihidroksi
fenilalanin
Hordenin Mezkalin
Alakaloid Indol
(37)
Beberapa senyawa alkaloid dan nitrogen heterosiklik juga banyak ditemukan
pada sponga laut (Gambar 11). Senyawa Ptilocaulin (21) dan isoptilocaulin
(22) yang diisolasi dari sponga Ptilocaulistaff dan P. spiculifer menunjukkan
aktivitas kuat sebagai antimikroba terhadap bakteri positif dan
gram-negatif serta mampu menghambat pertumbuhan sel leukimia L 1210.
Senyawa Aaptamine (23) yang berasal dari sponga Aaptos dengan ikatan α-adrenoceptor juga diketahui mampu menghalangi aktivitas kerja dari pembuluh aorta seekor kelinci (Bhakuni and Rawat, 2005). Selain itu,
ditemukan juga senyawa makrosiklik alkaloid baru oleh tim Arai et al., 2011
yang diisolasi dari sponga Haliclona sp. dari perairan laut Indonesia dengan
nama Halicyclamine A (24).
Gambar 11. Beberapa jenis senyawa alkaloid yang berhasil diisolasi dari sponga (Arai et al., 2011).
21 22 23 24
25 : R=H
26 : R=OH
27 : R=H
(38)
Namun dari golongan – golongan senyawa tersebut, alkaloid merupakan golongan senyawa yang memiliki kemampuan farmakologik lebih besar jika dibandingkan
dengan golongan lain (Grube et al., 2007). Hal ini juga tidak menutup
kemungkinan untuk menemukan jenis golongan senyawa-senyawa lain dengan
tingkat aktivitas sama atau lebih besar yang berasal dari sponga.
2.2. Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan komponen/zat aktif suatu simplisia dengan
menggunakan pelarut tertentu. Prinsip ekstraksi didasarkan pada distribusi zat
terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling
bercampur (Khopkar, 2002). Ekstraksi digolongkan ke dalam dua bagian besar
berdasarkan bentuk fasa yang diekstraksi yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi
cair-padat. Untuk ekstraksi cair-cair dapat menggunakan corong pisah, sedangkan
ekstraksi cair-padat terdiri dari beberapa cara yaitu maserasi, perkolasi dan
sokletasi (Harborne, 1996). Metode ekstraksi yang umum digunakan antara lain
maserasi, sokletasi, penggodokan (refluks), ekstraksi cair-cair (partisi), dan
ekstraksi ultrasonik. Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah maserasi dan ekstraksi cair-cair.
2.2.1 Maserasi
Maserasi merupakan proses ekstraksi dengan cara perendaman sampel
menggunakan pelarut organik pada suhu ruang. Proses ini sangat
menguntungkan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam karena
(39)
akibat perbedaan tekanan di dalam dan di luar sel sehingga metabolit
sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik serta
struktur senyawa tidak akan mudah rusak (Harborne, 1996).
2.2.2. Partisi (ekstraksi cair – cair)
Ekstraksi cair-cair merupakan metode ekstraksi yang didasarkan pada sifat
kelarutan komponen target dan distribusinya dalam dua pelarut yang tidak
saling bercampur. Senyawa polar akan terbawa dalam pelarut polar, senyawa
semipolar akan terbawa dalam pelarut yang semipolar, dan senyawa nonpolar
akan terbawa dalam pelarut nonpolar (khopkar, 2002).
Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi Nerst atau hukum partisi yang menyatakan bahwa ”pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, analit akan terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama di antara dua pelarut yang saling tidak campur”. Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang didalam dua fase disebut dengan koefisien distribusi atau koefisien partisi
(KD) dan diekspresikan dengan:
[S]org dan [S]aq masing-masing merupakan konsentrasi analit dalam fase
organik dan dalam fase air; KD merupakan koefisien partisi.
Ekstraksi cair-cair bertahap merupakan teknik ekstraksi cair-cair yang paling
sederhana, cukup dengan menambahkan pelarut pengekstraksi yang tidak
saling bercampur kemudian dilakukan pengocokan sehingga terjadi distribusi
(40)
Dalam hal ini, pemisahan zat yang polar dan nonpolar dapat dilakukan
dengan ekstraksi cair-cair (partisi) dalam corong pisah. Pengocokan
bertujuan memperluas area permukaan kontak di antara kedua pelarut
sehingga pendistribusian zat terlarut di antara keduanya dapat berlangsung
dengan baik. Syarat pelarut untuk ekstraksi cair-cair adalah memiliki
kepolaran yang sesuai dengan bahan yang diekstraksi dan harus terpisah
setelah pengocokan (Harvey, 2000).
2.3. Kromatografi
Berdasarkan penjelasan IUPAC (1993) kromatografi merupakan suatu metode
yang digunakan untuk memisahkan suatu komponen dari campuran berdasarkan
perbedaan distribusi suatu komponen di dalam dua fasa yaitu fasa diam dan fasa
gerak. Secara umum ada tiga jenis kromatografi berdasarkan dari perbedaan
kedua fasa tersebut, yaitu kromatografi padat-cair (kromatografi lapis tipis,
kromatografi kertas, kromatografi kolom), kromatografi cair-cair dan
kromatografi gas-cair (Hostettman et al., 1995).
2.3.1. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode konvensional yang masih
digunakan dalam analisis modern. Kromatografi ini bertujuan untuk
menentukan jumlah komponen campuran, mengidentifikasi komponen dan
mendapatkan kondisi yang tepat pada saat pemisahan dengan kromatografi
kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) seperti pemilihan eluen
(41)
Pada kromatografi lapis tipis, fasa diam yang sering digunakan adalah serbuk
silika gel (SiO2 x H2O), alumina, tanah diatom, selulosa dan lain-lain yang
mempunyai ukuran butir sangat kecil berkisar 0,063-0,125 mm. Sedangkan
untuk fasa gerak digunakan pelarut-pelarut organik yang sesuai bahkan
beberapa campuran pelarut untuk mendapatkan pemisahan yang paling baik
(Hostettman et al., 1995).
Kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu
komponen dalam campuran senyawa yang diketahui maupun yang tidak
diketahui dan salah satu langkah awal dalam teknik pemurnian suatu senyawa
dari crude ekstrak kasar (Hajnos et al., 2008).
Pada pelaksanaan kromatografi lapis tipis, larutan cuplikan atau sampel
ditotolkan pada plat dengan pipet mikro atau injektor pada jarak 1 – 2 cm dari batas plat. Setelah kering, plat siap untuk dikembangkan dengan fasa gerak
sampai pada batas tertentu. Proses pengembangan dikerjakan dalam wadah
tertutup yang diisi dengan eluen yang tepat dan telah dijenuhi uap eluen agar
dihasilkan pemisahan yang baik. Untuk mengidentifikasi senyawa dalam
plat KLT dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: pengamatan langsung
(untuk noda/bercak yang tampak), dengan lampu ultraviolet, atau dengan
pereaksi semprot penimbul warna (Anwar dkk, 1994).
(42)
Hasil yang didapat kemudian diamati dengan menghitung harga perbandingan
jarak pergerakan komponen-komponen yang dipisahkan dengan jarak
pergerakan pelarut yang dikenal dengan Rf (Retention Factor/Faktor
Retensi).
Hubungan persamaan nilai Rf dapat dirumuskan sebagai berikut :
Jarak perjalanan suatu senyawa Rf =
Jarak perjalanan suatu eluen
Harga Rf ini bergantung pada beberapa parameter yaitu sistem pelarut,
adsorben (ukuran butir, kandungan air, ketebalan), jumlah bahan yang
ditotolkan pada plat dan suhu (Khopkar, 2002).
KLT mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya: waktu yang dibutuhkan
tidak lama (2 – 5 menit) dan sampel yang dipakai hanya sedikit sekali (2 – 20 µg). Kerugiannya dengan menggunakan KLT adalah tidak efektif untuk
skala industri. Walaupun lembaran KLT yang digunakan lebih lebar dan
tebal, pemisahannya sering dibatasi hanya sampai beberapa miligram sampel
saja (Mayo, 2000). Metode ini kepekaannya cukup tinggi dengan jumlah
cuplikan beberapa mikrogram (Hostettman et al., 1995). Hasil dari metode
KLT akan mengarahkan untuk dilakukannya fraksinasi lebih lanjut untuk
pemisahan suatu komponen dari sampel.
2.3.2. Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom merupakan salah satu teknik pemisahan lebih lanjut
setelah metoda KLT dimana pemisahan suatu komponen dari campuran
(43)
terhadap sampel dalam suatu kolom kaca vertikal yang berisi adsorben (fasa
diam) hingga cairan eluen mengalir melalui kolom akibat gaya grafitasi. Di
dalam kolom akan terjadi kesetimbangan antara zat terlarut yang di adsorbsi
adsorben dan pelarut yang mengalir melewati kolom, sehingga terjadi pola
pemisahan dari masing – masing komponen senyawa yang kemudian dapat ditampung menurut pola pemisahannya. Ukuran partikel fasa diam akan
mempengaruhi aliran pelarut melewati kolom. Fasa diam dengan ukuran
partikel lebih kecil digunakan dalam kromatografi flash, sedangkan yang
berukuran partikel besar digunakan dalam kromatografi kolom grafitasi. Fasa
diam yang sering digunakan adalah silika gel (SiO2 x H2O ). Silika gel
berukuran partikel 70-230 mesh sering digunakan untuk kolom flash dan
yang berukuran 230-430 untuk kolom grafitasi (Heftmann, 1983).
Kromatografi kolom biasanya digunakan untuk teknik pemurnian, yaitu
mengisolasi suatu senyawa dari campurannya (Jhonson dan Stevenson, 1991).
Berdasarkan kepolaran relatif fasa diam dan fasa gerak (Dekker, 1995),
kromatografi kolom dapat dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu:
(1). Kromatografi kolom fasa normal
Pada kromatografi ini, fasa diam bersifat polar dan fasa gerak relatif bersifat
nonpolar, sehingga komponen yang kepolarannya paling rendah terelusi lebih
dulu.
(2). Kromatografi kolom fasa terbalik
Pada kromatografi ini, fasa diam bersifat nonpolar dan fasa gerak relatif
bersifat polar sehingga komponen yang kepolarannya tinggi akan terelusi
(44)
Menurut Sastrohamidjojo (2001) bila pelarut dibiarkan mengalir melalui
kolom, maka pelarut tersebut akan mengangkut senyawa-senyawa yang
merupakan komponen dari campuran. Kecepatan bergerak suatu komponen
bergantung pada seberapa besarnya ia terhambat atau tertahan oleh penjerap
di dalam kolom. Jika perbedaan dalam serapan cukup besar maka akan
terjadi pemisahan yang sempurna.
2.3.3. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau High Preformance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan salah satu metode kimia dan
fisikokimia. KCKT termasuk metode analisis terbaru yaitu teknik kromatografi dengan fasa gerak cairan dan fasa diam cairan atau padat. KCKT menawarkan beberapa kelebihan dibanding dengan kromatografi cair lainnya (Johnson dan Stevenson, 1991; Snyder and Kirkland, 1979).
Kelebihan itu antara lain :
Cepat : waktu analisis umumnya kurang dari 1 jam. Banyak analisis yang dapat diselesaikan sekitar 15-30 menit, bahkan untuk analisis yang tidak
rumit (uncomplicated) dapat dicapai waktu kurang dari 5 menit.
Resolusi : berbeda dengan kromatografi gas (KG), kromatografi cair
mempunyai dua fasa dimana interaksi selektif dapat terjadi. Kemampuan zat
padat berinteraksi secara selektif dengan fasa diam dan fasa gerak pada
KCKT memberikan parameter tambahan untuk mencapai pemisahan yang
diinginkan.
Sensitivitas detektor : detektor absorpsi UV yang biasa digunakan dalam KCKT dapat mendeteksi kadar dalam jumlah nanogram (10-9 gram) dari
(45)
mendeteksi sampai pikogram (10-12 gram). Dan beberapa detektor lain juga
dapat digunakan dalam KCKT seperti spektrofotometer massa, Indeks
refraksi, ELSD, dan lain sebagainya.
Kolom yang dapat digunakan kembali : Berbeda dengan kolom kromatografi klasik, kolom KCKT dapat digunakan kembali. Hal ini
disebabkan karena keseluruhan sampel yang disuntikkan kedalam kolom
dapat terdorong keluar oleh tekanan yang tinggi.
Mudah rekoveri sampel : umumnya detektor yang digunakan dalam KCKT tidak menyebabkan destruktif (kerusakan) terhadap komponen sampel yang
dianalisis, oleh karena itu sampel tersebut dapat dengan mudah dikumpulkan
setelah melewati detektor. Pelarutnya dapat dihilangkan dengan cara
menguapkannya.
Secara umum metoda kromatografi cair kinerja tinggi mempunyai prinsip
kerja yang sama seperti kromatografi kolom, dimana proses pemisahan
senyawa terjadi akibat adanya keseimbangan distribusi antara zat terlarut
(sampel) yang di adsorbsi adsorben dan pelarut yang mengalir melewati
kolom. Hal yang membedakan sistem kromatografi ini adalah proses
pemisahan komponen sampel di dalam kolom dilakukan pada sistem tekanan
tinggi dengan tingkat ukuran partikel fasa diam yang diperkecil dan tingkat
sensitivitas pemisahan dapat menggunakan beberapa macam detektor yang
dapat diganti. Metode kromatografi kinerja tinggi sangat efisien untuk
(46)
2.3.4. Medium Pressure Liquid Chromatography (MPLC) atau Liquid Chromatography (LC) Preparative.
MPLC merupakan jenis kromatografi preparatif, karena MPLC menggunakan
kolom yang lebih besar dan tujuan kerjanya adalah pemurnian komponen
senyawa dari jumlah sampel yang lebih besar. MPLC bekerja pada kondisi
tekanan sedang, sehingga proses pemisahan tidak terlalu cepat dan
menjadikan proses pemisahan lebih optimal meskipun dalam ukuran jumlah
sampel yang lebih besar (Bidlingmeyer, 1987).
MPLC juga dilengkapi dengan dua buah pompa, yang berguna untuk
mendorong fasa gerak masuk dan bergerak melalui kolom. Pompa yang
dipakai dalam MPLC memiliki sistem pompa yang kuat dan tahan terhadap
bahan kimia, sistem operasinya dilengkapi tiga buah piston untuk melakukan
flash kromatografi, memiliki pengatur laju alir yang tetap dengan aliran 2,5-250 ml/menit serta memastikan pengulangan dan bekerja pada tekanan
hingga 50 barr/725 psi. Pompa yang digunakan pada alat ini adalah jenis
pompa modul C-605 yang memiliki kemampuan untuk melakukan pemisahan
dengan sistem fasa terbalik, dan ukuran sampel yang dipisahkan hingga 100 g
(Manual Book Büchi).
2.4. Antibakteri
Senyawa antimikroba merupakan senyawa alami maupun kimia sintetik yang
dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Senyawa
(47)
yang tidak membunuh namun dapat menghambat pertumbuhan organisme
(bakteri) disebut bakteriostatik (Madigan et al., 2009).
Antimikroba dapat diklasifikasikan menjadi bakteriostatik, bakteriosidal, dan
bakteriolisis. Bakteriostatik secara berkala sebagai penghambat sintesis protein
dan berfungsi sebagai pengikat ribosom. Bakteriosidal mengikat kuat pada sel
target dan tidak hilang melalui pengenceran, sehinggaakan tetap membunuh sel.
Sel yang mati tidak hancur dan tetap memiliki jumlah sel yang konstan. Beberapa
bakteriosidal merupakan bakteriolisis, yakni membunuh sel dengan terjadinya
lisis pada sel dan mengeluarkan komponen sitoplasmanya. Lisis dapat
menurunkan jumlah sel dan juga kepadatan kultur. Senyawa bakteriolitik
termasuk dalam senyawa antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel, seperti
penicillin, dan senyawa kimia seperti detergen yang dapat menghancurkan
membran sitoplasma (Madigan et al., 2009). Cara kerja antimikroba secara
umum, yaitu menyebabkan kerusakan dinding sel, mengubah permeabilitas sel,
mengubah molekul protein dan asam nukleat, menghambat kerja enzim, serta
menghambat sintesis asam nukleat dan protein (Pelczar dan Chan, 2005).
Respon tiap mikroorganisme terhadap antimikroba berbeda-beda. Bakteri
memiliki tingkat sensitivitas yang berbeda dimana bakteri Gram-positif lebih
rentan dibandingkan dengan Gram-negatif yang secara alami lebih resisten.
Target penting antibiotik terhadap bakteri yaitu ribosom, dinding sel, membran
sitoplasma, enzim biosintesis lemak, serta replikasi dan transkripsi DNA
(48)
Staphylococus aureus merupakan bakteri Gram-positif penyebab infeksi (membentuk nanah) dan bersifat toksik bagi manusia. Hal ini menyebabkan
berbagai masalah pada kulit seperti bisul, hordeolum, bahkan masalah serius
seperti pneumonia, mastitis, meningitis, dan infeksi saluran kemih. S. aureus
merupakan penyebab utama infeksi di rumah sakit (nosocomial) yang berasal dari
infeksi luka bedah dan infeksi yang terkait dengan perangkat medis yang
digunakan. S. aureus juga menyebabkan keracunan makanan dengan melepaskan
enterotoksin pada makanan dan menimbulkan efek yang disebut toxic shock
syndrome (Salyers and Whitt, 1994).
Enterotoksin yang bersifat tahan panas ini dikeluarkan pada bahan makanan yang
terkontaminasi S. aureus. Makanan yang mengandung toksin, apabila masuk
kedalam pencernaan makanan akan menimbulkan efek muntah-muntah, mual dan
diare setelah 1-6 jam (Madigan et al., 2009). Pertumbuhan bakteri ini dalam
makanan dapat terjadi jika makanan disimpan pada suhu ruang dalam waktu yang
lama (Salyers and Whitt, 1994). Rahayu (1999) menyatakan bahwa S. aureus
merupakan mikroflora normal pada permukaan tubuh, rambut dan tenggorokan.
S. aureus yang mencemari makanan terjadi akibat kurangnya tingkat higienis dalam penanganan pangan.
2.5. Spektroskopi Fourier Transfrom Infrared (FTIR)
Untuk menentukan karakteristik suatu senyawa dapat dilakukan analisis dengan
teknik spektroskopi. Spektroskopi merupakan ilmu yang mempelajari tentang
interaksi antara energi cahaya dan materi (Silverstein dkk., 1986). Pada dasarnya
(49)
Red dispersi, perbedaannya adalah pengembangan pada sistem optiknya sebelum
berkas sinar infra merah yang melewati contoh. Dasar pemikirannya berasal dari
persamaan gelombang yang dirumuskan oleh Jean Baptiste Joseph Fourier
(1768-1830) seorang ahli matematika dari Perancis. Dari deret Fourier tersebut
intensitas gelombang dapat digambarkan sebagai daerah waktu atau daerah
frekuensi dimana :
= c/
= frekuensi (Hz)
= Panjang gelombang (cm).
c = Kecepatan cahaya, ~2.998 x 1010 cm/sec.
Sedangkan energi radiasi elektromagnetik (E) berkaitan dengan frekuensi :
E = h
= Frekuensi (Hz), h = Konstanta Planck’s, ~6.626x10-34 J/Hz Perubahan gambaran intensitas gelombang energi radiasi elektromagnetik dari
daerah waktu ke daerah frekuensi atau sebaliknya disebut Transformasi Fourier
(Fourier Transform). Selanjutnya pada sistim optik peralatan instrumen Fourier
Transform Infra Red dipakai dasar daerah waktu yang non dispersif (Silverstein
and Webster, 1998).
Spektroskopi FTIR merupakan metode yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi gugus fungsi yang terdapat dalam senyawa organik, gugus
fungsi ini dapat ditentukan berdasarkan energi ikatan dari tiap atom. Sampel
menyerap radiasi elektromagnetik di daerah infra merah yang menyebabkan
terjadinya vibrasi ikatan kovalen. Hampir semua senyawa organik memiliki
ikatan kovalen yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan jenis vibrasi dan
(50)
Pada umumnya spektrum IR dibedakan menjadi tiga daerah. Daerah bilangan
gelombang tinggi antara 4000-1300 cm-1 (2-7,7 µm) yang disebut daerah gugus
fungsi karakteristik frekuensi tarik untuk gugus fungsi penting seperti C=O, OH,
dan NH termasuk dalam daerah ini. Daerah frekuensi menengah, yakni antara
1300-900 cm-1 ( 7-11 µm) yang diketahui sebagai daerah fingerprint, yang
mengabsorpsi secara lengkap dan umumnya kombinasi dari interaksi vibrasi,
setiap molekul memberikan fingerprint yang unik. Daerah antara 900-650 cm-1
(11-15 μm) menunjukkan klasifikasi umum dari molekul yang terbentuk dari absorbansi seperti cincin benzen tersubstitusi. Adanya absorbansi pada daerah
bilangan gelombang rendah dapat memberikan data yang baik akan adanya
senyawa aromatik. Selain itu adanya intensitas absorbansi di daerah frekuensi
rendah juga menunjukkan adanya karakteristik senyawa dimer karboksilat, amina,
atau amida (Coates, 2000).
2.6. Reaksi Modifikasi
Reaksi kimia adalah suatu proses alam yang selalu menghasilkan antarubahan senyawa kimia. Senyawa ataupun senyawa-senyawa awal yang terlibat dalam
reaksi disebut sebagai reaktan. Reaksi kimia biasanya dikarakterisasikan dengan
perubahan kimiawi, dan akan menghasilkan satu atau lebih produk yang biasanya
memiliki ciri-ciri yang berbeda dari reaktan. Secara klasik, reaksi kimia
melibatkan perubahan yang melibatkan pergerakan elektron dalam pembentukan
dan pemutusan ikatan kimia, walaupun pada dasarnya konsep umum reaksi kimia
juga dapat diterapkan pada transformasi partikel-partikel elementer seperti pada
(51)
Reaksi-reaksi kimia yang berbeda digunakan bersama dalam sintesis kimia untuk
menghasilkan produk senyawa yang diinginkan. Dalam biokimia, sederet reaksi
kimia yang dikatalisis oleh enzim membentuk lintasan metabolisme, di mana
sintesis dan dekomposisi yang biasanya tidak mungkin dilakukan di dalam sel.
2.6.1. Halogenasi Alfa Senyawa Karbonil (Keton)
Keton mudah dihalogenasi pada karbon alfa α. Reaksi ini menuntut suasana basa atau suatu katalis asam. Pada reaksi ini suatu basa akan bertindak
sebagai pereaksi, sedangkan asam bertindak sebagai katalis. Perbedaan kedua
reaksi tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :
Dalam suasana basa :
(52)
Tahap pertama (tahap lambat) dalam reaksi bersuasana basa adalah
pembentukan ion enolat. Anion suatu keton dengan satu gugus karbonil
merupakan basa yang jauh lebih kuat daripada ion hidroksida. Oleh karena
itu kesetimbangan asam-basa lebih menyukai ion hidroksida daripada ion
enolat. Meskipun begitu, terdapat juga sedikit ion enolat dalam larutan basa.
Setelah anion ini habis terpakai, segera akan terbentuk lagi ion yang baru
untuk menuju ke Tahap 2. Dalam Tahap 2, ion enolat secara cepat bereaksi
dengan halogen, menghasilkan keton terhalogenasi alfa-α dan ion halida. Tahap 1 (lambat) :
Tahap 2 (cepat) :
Halogenasi alfa dalam suasana asam biasanya memberikan rendemen yang
lebih baik daripada reaksi dalam suasana basa. Reaksi berkatalis asam
berlangsung lewat enol, yang pembentukannya merupakan tahap
penentu-laju. Ikatan rangkap karbon-karbon dari enol itu mengalami adisi elektrofilik,
sama seperti ikatan rangkap karbon apa saja, untuk membentuk karbokation
yang lebih stabil. Dalam hal ini, karbokation yang lebih stabil itu adalah
suatu karbokation yang mempunyai muatan positif pada karbon gugus
(53)
karbokation ini dengan cepat melepaskan proton dan membentuk keton, yang
sekarang telah terhalogenasi pada posisi alfa.
Tahap 1 (cepat) :
Tahap 2 (lambat) :
Tahap 3 (cepat) :
Tahap 4 (cepat) :
(Fessenden & Fessenden, 1991).
2.6.2. Reaksi Substitusi Alkil Halida
Reaksi substitusi merupakan reaksi kimia yang menyebabkan suatu atom, ion
atau gugus disubstitusikan (digantikan) oleh atom, ion atau gugus lain. Atom
karbon ujung suatu alkil halida mempunyai muatan parsial positif. Karbon
ini rentan terhadap serangan oleh anion dan spesi lain apa saja yang
(54)
Dalam reaksi substitusi alkil halida, halida itu disebut gugus pergi (leaving
group) suatu istilah yang berarti gugus apa saja yang dapat digeser dari ikatanya dalam suatu atom karbon. Ion halida merupakan gugus pergi yang
baik, karena ion-ion ini merupakan basa yang sangat lemah. Basa kuat
seperti OH- bukan merupakan gugus pergi yang baik. Dalam reaksi substitusi
alkil halida, ion iodida adalah halida yang paling mudah digantikan, lalu ion
bromida dan kemudian ion klorida. Karena F- merupakan basa yang lebih
kuat daripada ion halida lain, dan ikatan C-F lebih kuat daripada ikatan C-X
lain, maka fluorida bukan gugus pergi yang baik. Dari segi praktis hanya Cl,
Br dan I yang merupakan gugus pergi yang cukup baik, sehingga bermanfaat
dalam reaksi-reaksi substitusi. Dengan alasan ini, bila disebut RX, maka itu
berarti alkil klorida, bromida dan iodida.
Spesi (spesies) yang menyerang suatu alkil halida dalam reaksi substitusi
disebut nukleofil (nucleophile, pecinta nukleus), sering dilambangkan dengan
Nu-. Dalam persamaan reaksi sebelumnnya, OH- dan CH3O- adalah sebuah
nukleofil. Umumnya sebuah nukleofil adalah spesi apa saja yang tertarik ke
suatu pusat positif, jadi sebuah nukleofil ialah suatu basa lewis. Kebanyakan
nukleofil adalah anion seperti ion hidroksida, alkoksida, amina, dan halida.
Namun, beberapa molekul netral seperti H2O, CH3OH dan CH3NH2 dapat
juga bertindak sebagai nukleofil. Molekul netral ini memiliki pasangan
elektron menyendiri, yang dapat digunakan untuk membentuk ikatan sigma. ion hidroksida bromoetana etanol
(55)
Substitusi oleh nukleofil disebut substitusi nukleofil atau pergantian nukleofil
(nucleophilic displacement).
Substitusi nukleofilik dapat berlangsung melalui 2 mekanisme, yaitu reaksi
SN1 dan SN2. Reaksi SN2 berarti reaksi substitusi nukleofilik bimolekular.
Istilah bimolekular ini menjelaskan keadaan antara dari keadaan transisi yang
melibatkan dua partikel (Nu- dan RX). Keadaan transisi merupakan suatu
keadaan dimana pereaksi akan diubah menjadi produk dan harus melewati
suatu keadaan antara yang memiliki energi potensial lebih tinggi dibanding
dengan energi pereaksi atau produk.
Mekanisme reaksi SN2 :
Metil halida, alkil halida primer dan sekunder terutama bereaksi lewat jalur
SN2. Sedangkan alkil halida tersier lebih mudah menjalani reaksi SN1, karena
meningkatnya rintangan sterik di sekitar karbon yang terhalogenkan
mengurangi laju reaksi SN2. Reaksi SN1 suatu alkil halida tersier adalah
reaksi bertahap. Tahap pertama berupa pematahan alkil halida menjadi
sepasang ion: ion halida dan karbokation. Karena reaksi SN1 melibatkan
reaksi ionisasi, reaksi ini dibantu oleh pelarut polar seperti H2O yang dapat
menstabilkan ion dengan cara solvasi (solvation). Tahap kedua adalah
(56)
awal, suatu alkohol berproton. Tahap terakhir adalah lepasnya H+ dari dalam
alkohol berproton tersebut, dalam suatu reaksi asam basa yang cepat dan
reversibel dengan pelarut (H2O). Reaksi SN1 berarti reaksi substitusi
nukleofilik unimolekuler, karena antara Nu- dan RX berada pada keadaan
transisi yang berbeda.
Mekanisme reaksi SN1 secara bertahap :
tahap 1 :
tahap 2 :
tahap 3 :
Lawan nukleofil ialah elektrofil (pecinta elektron), sering dilambangkan
dengan E+. Suatu elektrofil adalah spesi apa saja yang tertarik ke suatu pusat
negatif dan memiliki kerapatan elektron yang rendah sehingga bermuatan
postif, jadi elektrofil ialah suatu asam lewis seperti H+ atau ZnCl2. Elektrofil
juga dapat berupa atom karbon dari gugus kabonil, karbokation, sulfur dan
kation nitronium. Reaksi elektrofilik lazim dijumpai dalam reaksi suatu
senyawa hidrokarbon aromatik, sehingga disebut substitusi aromatik
(57)
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Agustus 2012 sampai dengan bulan
Februari 2013, dengan tahapan kegiatan, yaitu: preparasi sampel sponga
Xestospongia sp dan pelaksanaan penelitian mulai dari isolasi, modifikasi, uji bioaktifitas dan karakterisasi struktur yang dilakukan di Laboratorium Biomassa
Terpadu Universitas Lampung.
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas yang umum
digunakan untuk isolasi sampel; seperangakat alat Medium Pressure Liquid
Chromatography (MPLC) Buchi yang terdiri dari control unit C-620, fraction collector C-660, pompa modul C-605, detektor fotometer C-640, dan PC untuk menjalankan software SepacoreControl 1.2; satu set perlengkapan Kromatografi
Lapis Tipis (KLT) dengan plat alumunium silica gel 60F254 (Merck) dan plat
kaca C18; inkubator CO2 Memmert-Germany/INC-02, autoclave
kleinfield-Germany/HV-L25, jarum ose, lampu spritus, mikropipet, rotavapor vakum Buchi/R205, multivapor Buchi P-12, lampu UV kohler/SN402006, desikator,
neraca analitik Weigen Hauser, dan alat untuk elusidasi struktur berupa
(58)
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel kering sponga
Xestospongia sp. yang disimpan di laboratorium Biomassa Unila, metanol, etanol, n-heksan, diklorometan (DCM), etil asetat, akuades, bromin (Br2), asam asetat
glasial, pereaksi Dragendorf, pereaksi serium sulfat, kloramfenikol, dan nutrien
agar (NA).
3.3. Metode Penelitian
3.3.1. Sampel Sponga
Sampel sponga yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel kering
sponga Xestospongia sp yang berasal dari perairan teluk Kupang, Nusa
Tenggara Timur (NTT) dan disimpan sebagai stok di Laboratorium Biomassa
Terpadu Universitas Lampung (UNILA). Sampel sponga kering tersebut
terlebih dahulu dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil sebelum
dimaserasi lalu ditimbang secara berulang menggunakan analytical balance.
3.3.2. Ekstraksi dan Partisi
Sampel kering sebanyak ± 1,23 kg yang telah dipotong-potong menjadi
bagian kecil dimaserasi dengan n-heksan sebanyak 20 L selama 1 x 24 jam
pada suhu kamar. Ekstrak n-heksan yang diperoleh kemudian dikumpulkan
dan dipekatkan menggunakan rotary evaporator hingga diperoleh maserat
kental berupa residu. Kemudian ekstrak kasar yang diperoleh dipartisi dalam
campuran pelarut air dan n-heksan. Sisa sampel kemudian dimaserasi kembali
menggunakan pelarut DCM sebanyak 20 L, dan hasilnya disimpan sebagai
(59)
3.3.3 Fraksinasi dan Pemurnian
Ekstrak n-heksana hasil partisi, kemudian difraksinasi dengan alat Medium
Pressure Liquid Chromatography (MPLC) menggunakan fasa gerak campuran antara n-heksan-etanol. Hasil fraksinasi yang diperoleh kemudian
dimonitor dengan uji KLT yang divisualisasi dengan pereaksi serium sulfat
dan Dragendrof. Fraksi yang memiliki nilai Rf yang sama akan digabungkan
menjadi satu fraksi. Salah satu fraksi yang ditetapkan sebagai sampel analisis
lanjutan kemudian dimurnikan menggunakan alat MPLC juga dengan fasa
gerak n-heksana-etanol dengan jumlah perbandingan yang dapat diketahui
dari hasil uji KLT. Proses pemisahan dengan alat MPLC akan dilakukan
berulang-ulang hingga diperoleh isolat murni.
3.3.4. Modifikasi dan Karakterisasi Struktur Komponen
Teknik modifikasi struktur yang akan dilakukan adalah halogenasi alfa
terhadap gugus karbonil (Fessenden, 1991) dan dilanjutkan dengan substitusi
alkil halida (Fessenden, 1982). Pertama kali 114,6 mg sampel terlebih dahulu
dilarutkan dalam pelarut DCM-Metanol, kemudian dimasukkan ke dalam
labu refluks. Setelah itu ditambahkan larutan asam asetat glasial yang
berfungsi sebagai katalis asam dan disusul dengan penambahan beberapa
tetes air brom (bromin) hingga terjadi perubahan warna larutan menjadi
merah yang berasal dari warna pereaksi bromin. Setelah itu, labu refluks yang
telah berisi sampel dan pereaksi dipanaskan diatas hotplate stirrer pada suhu
± 50 ºC dan di tunggu hingga reaksi selesai. Untuk mengetahui bahwa reaksi
(60)
Untuk tahap selanjutnya yaitu proses pemurnian senyawa produk
menggunakan teknik partisi. Larutan produk yang diperoleh dari hasil reaksi
tahap sebelumnnya dipartisi menggunakan pelarut air dan etil asetat dengan
perbandingan komposisi 1: 1. Proses partisi dilakukan secara berulang
dengan penambahan etil asetat, hingga diperoleh lapisan air yang berwarna
bening
3.3.5. Pengujian Aktivitas Antibakteri Dengan Metode Difusi Agar
Pada tahap uji aktivitas antibakteri digunakan sampel fraksi murni (induk)
dan sampel hasil modifikasi (produk). Pertama kali Medium Nutrien Agar
(NA) steril dituang secara aseptis ke dalam dua cawan petri dan dibiarkan menjadi padat sebagai lapisan dasar atau “base layer”. Kemudian media NA cair yang telah diinokulasi bakteri uji (Staphylococcus aureus) dituang di atas
media NA yang telah memadat, lalu diratakan dan dibiarkan setengah padat sebagai lapisan pembenihan atau “seed layer”.
Kedalam masing-masing cawan kemudian ditanam lima buah cincin yang
telah steril yang diletakkan secara aseptis menggunakan pinset steril diatas
media NA uji. Kemudian masing-masing cincin diisi dengan isolat murni (2
mg/mL, 0.2 mg/mL dan 0,02 mg/mL) untuk cawan pertama, produk hasil
modifikasi (2 mg/mL, 0.2 mg/mL dan 0,02 mg/mL) untuk cawan kedua, dan
kemudian dua cincin lain pada masing-masing cawan diisi dengan
kloramfenikol sebagai kontrol positif dan metanol sebagai kontrol negatif
(61)
Larutan kloramfenikol dan metanol digunakan sebagai kontrol positif dan
kontol negatif. Selanjutnya media NA uji diinkubasi selama ± 24 jam.
Pengamatan dilakukan dengan cara mengukur diameter hambatan
pertumbuhan bakteri berupa zona bening yang terbentuk di sekeliling cincin.
3.3.6. Karakterisasi Struktur Molekul Dengan FTIR
Untuk karakterisasi struktur molekul, isolat murni dan produk hasil reaksi
akan dielusidasi menggunakan FTIR. Spektrum hasil pengukuran ini
kemudian dikaji ulang berdasarkan pengetahuan dasar dalam menentukan
struktur molekul suatu senyawa kimia terutama gugus fungsi utama yang
(62)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan disimpulkan bahwa :
1. Proses modifikasi struktur dapat mengubah fungsi bioaktivitas senyawa alkaloid
yang non-aktif menjadi senyawa yang aktif sebagai antibakteri terhadap bakteri
Staphylococcus aureus.
2. Analisis FTIR menunjukkan bahwa komponen C5 hasil modifikasi struktur dari
C4 memiliki gugus hidroksil, serta gugus utama yang telah ada sebelumnnya
seperti gugus karbonil, gugus alkil rantai panjang, dan gugus spesifik yang
menggambarkan senyawa alkaloid yaitu gugus amina tersier.
5.2 Saran
Untuk memperbaiki kekurangan dari hasil yang diperoleh untuk penelitian ini dan
dapat memperbaiki penelitian selanjutnya maka disarankan :
1. Perlu adanya pengkajian lebih lanjut untuk senyawa alkaloid mengenai aktivitas
senyawa tersebut terutama hasil yang diperoleh dari fraksi nonpolar seperti
n-heksan dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus,dan uji
fungsi biokativitas selain sebagai antibakteri.
2. Untuk melihat perubahan hasil modifikasi struktur yang lebih jelas, maka perlu
(1)
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Agustus 2012 sampai dengan bulan Februari 2013, dengan tahapan kegiatan, yaitu: preparasi sampel sponga
Xestospongia sp dan pelaksanaan penelitian mulai dari isolasi, modifikasi, uji bioaktifitas dan karakterisasi struktur yang dilakukan di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas Lampung.
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas yang umum digunakan untuk isolasi sampel; seperangakat alat Medium Pressure Liquid Chromatography (MPLC) Buchi yang terdiri dari control unit C-620, fraction collector C-660, pompa modul C-605, detektor fotometer C-640, dan PC untuk menjalankan software SepacoreControl 1.2; satu set perlengkapan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan plat alumunium silica gel 60F254 (Merck) dan plat kaca C18; inkubator CO2 Memmert-Germany/INC-02, autoclave kleinfield-Germany/HV-L25, jarum ose, lampu spritus, mikropipet, rotavapor vakum Buchi/R205, multivapor Buchi P-12, lampu UV kohler/SN402006, desikator, neraca analitik Weigen Hauser, dan alat untuk elusidasi struktur berupa
(2)
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel kering sponga Xestospongia sp. yang disimpan di laboratorium Biomassa Unila, metanol, etanol, n-heksan, diklorometan (DCM), etil asetat, akuades, bromin (Br2), asam asetat glasial, pereaksi Dragendorf, pereaksi serium sulfat, kloramfenikol, dan nutrien agar (NA).
3.3. Metode Penelitian
3.3.1. Sampel Sponga
Sampel sponga yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel kering sponga Xestospongia sp yang berasal dari perairan teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan disimpan sebagai stok di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas Lampung (UNILA). Sampel sponga kering tersebut terlebih dahulu dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil sebelum dimaserasi lalu ditimbang secara berulang menggunakan analytical balance.
3.3.2. Ekstraksi dan Partisi
Sampel kering sebanyak ± 1,23 kg yang telah dipotong-potong menjadi bagian kecil dimaserasi dengan n-heksan sebanyak 20 L selama 1 x 24 jam pada suhu kamar. Ekstrak n-heksan yang diperoleh kemudian dikumpulkan dan dipekatkan menggunakan rotary evaporator hingga diperoleh maserat kental berupa residu. Kemudian ekstrak kasar yang diperoleh dipartisi dalam campuran pelarut air dan n-heksan. Sisa sampel kemudian dimaserasi kembali menggunakan pelarut DCM sebanyak 20 L, dan hasilnya disimpan sebagai stok.
(3)
3.3.3 Fraksinasi dan Pemurnian
Ekstrak n-heksana hasil partisi, kemudian difraksinasi dengan alat Medium Pressure Liquid Chromatography (MPLC) menggunakan fasa gerak campuran antara n-heksan-etanol. Hasil fraksinasi yang diperoleh kemudian dimonitor dengan uji KLT yang divisualisasi dengan pereaksi serium sulfat dan Dragendrof. Fraksi yang memiliki nilai Rf yang sama akan digabungkan menjadi satu fraksi. Salah satu fraksi yang ditetapkan sebagai sampel analisis lanjutan kemudian dimurnikan menggunakan alat MPLC juga dengan fasa gerak n-heksana-etanol dengan jumlah perbandingan yang dapat diketahui dari hasil uji KLT. Proses pemisahan dengan alat MPLC akan dilakukan berulang-ulang hingga diperoleh isolat murni.
3.3.4. Modifikasi dan Karakterisasi Struktur Komponen
Teknik modifikasi struktur yang akan dilakukan adalah halogenasi alfa terhadap gugus karbonil (Fessenden, 1991) dan dilanjutkan dengan substitusi alkil halida (Fessenden, 1982). Pertama kali 114,6 mg sampel terlebih dahulu dilarutkan dalam pelarut DCM-Metanol, kemudian dimasukkan ke dalam labu refluks. Setelah itu ditambahkan larutan asam asetat glasial yang berfungsi sebagai katalis asam dan disusul dengan penambahan beberapa tetes air brom (bromin) hingga terjadi perubahan warna larutan menjadi merah yang berasal dari warna pereaksi bromin. Setelah itu, labu refluks yang telah berisi sampel dan pereaksi dipanaskan diatas hotplate stirrer pada suhu ± 50 ºC dan di tunggu hingga reaksi selesai. Untuk mengetahui bahwa reaksi telah selesai, maka dilakukan uji KLT secara bertahap.
(4)
Untuk tahap selanjutnya yaitu proses pemurnian senyawa produk
menggunakan teknik partisi. Larutan produk yang diperoleh dari hasil reaksi tahap sebelumnnya dipartisi menggunakan pelarut air dan etil asetat dengan perbandingan komposisi 1: 1. Proses partisi dilakukan secara berulang dengan penambahan etil asetat, hingga diperoleh lapisan air yang berwarna bening
3.3.5. Pengujian Aktivitas Antibakteri Dengan Metode Difusi Agar
Pada tahap uji aktivitas antibakteri digunakan sampel fraksi murni (induk) dan sampel hasil modifikasi (produk). Pertama kali Medium Nutrien Agar (NA) steril dituang secara aseptis ke dalam dua cawan petri dan dibiarkan
menjadi padat sebagai lapisan dasar atau “base layer”. Kemudian media NA cair yang telah diinokulasi bakteri uji (Staphylococcus aureus) dituang di atas media NA yang telah memadat, lalu diratakan dan dibiarkan setengah padat
sebagai lapisan pembenihan atau “seed layer”.
Kedalam masing-masing cawan kemudian ditanam lima buah cincin yang telah steril yang diletakkan secara aseptis menggunakan pinset steril diatas media NA uji. Kemudian masing-masing cincin diisi dengan isolat murni (2 mg/mL, 0.2 mg/mL dan 0,02 mg/mL) untuk cawan pertama, produk hasil modifikasi (2 mg/mL, 0.2 mg/mL dan 0,02 mg/mL) untuk cawan kedua, dan kemudian dua cincin lain pada masing-masing cawan diisi dengan
kloramfenikol sebagai kontrol positif dan metanol sebagai kontrol negatif masing-masing sebanyak 50 μL.
(5)
Larutan kloramfenikol dan metanol digunakan sebagai kontrol positif dan kontol negatif. Selanjutnya media NA uji diinkubasi selama ± 24 jam. Pengamatan dilakukan dengan cara mengukur diameter hambatan
pertumbuhan bakteri berupa zona bening yang terbentuk di sekeliling cincin.
3.3.6. Karakterisasi Struktur Molekul Dengan FTIR
Untuk karakterisasi struktur molekul, isolat murni dan produk hasil reaksi akan dielusidasi menggunakan FTIR. Spektrum hasil pengukuran ini kemudian dikaji ulang berdasarkan pengetahuan dasar dalam menentukan struktur molekul suatu senyawa kimia terutama gugus fungsi utama yang terdapat dalam komponen tersebut.
(6)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan disimpulkan bahwa :
1. Proses modifikasi struktur dapat mengubah fungsi bioaktivitas senyawa alkaloid yang non-aktif menjadi senyawa yang aktif sebagai antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus.
2. Analisis FTIR menunjukkan bahwa komponen C5 hasil modifikasi struktur dari C4 memiliki gugus hidroksil, serta gugus utama yang telah ada sebelumnnya seperti gugus karbonil, gugus alkil rantai panjang, dan gugus spesifik yang menggambarkan senyawa alkaloid yaitu gugus amina tersier.
5.2 Saran
Untuk memperbaiki kekurangan dari hasil yang diperoleh untuk penelitian ini dan dapat memperbaiki penelitian selanjutnya maka disarankan :
1. Perlu adanya pengkajian lebih lanjut untuk senyawa alkaloid mengenai aktivitas senyawa tersebut terutama hasil yang diperoleh dari fraksi nonpolar seperti n-heksan dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus,dan uji fungsi biokativitas selain sebagai antibakteri.
2. Untuk melihat perubahan hasil modifikasi struktur yang lebih jelas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut hingga ke penentuan struktur molekul.