ANALISIS TERHADAP PEMBUKTIAN YANG MENGGUNAKAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PERKARA PIDANA

(1)

ABSTRAK

ANALISIS TERHADAP PEMBUKTIAN YANG MENGGUNAKAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PERKARA PIDANA

Oleh :

BURMANSYAH S.

Ketentuan Pasal 188 Ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian, keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk berupa sifat dan kekuatannya dengan alat bukti yang lain. Kekuatan pembuktian petunjuk oleh hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah cara hakim dalam membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana dan Apakah kelemahan-kelemahan alat bukti petunjuk dalam rangka pembuktian perkara pidana.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa cara hakim dalam membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana yakni berdasarkan keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, selain itu hakim dalam membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk juga berdasarkan pada hal-hal lain yang terungkap dipersidangan antara lain keterangan ahli, keterangan olah tempat kejadian perkara dan barang bukti untuk menambah keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan. Dalam membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk maka harus mempunyai nilai pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti lain dan


(2)

Kelemahan-kelemahan alat bukti petunjuk dalam rangka pembuktian perkara pidana antara lain penerapan alat bukti petunjuk oleh hakim hanya terbatas pada Pasal 188 Ayat (2) KUHAP saja, sehingga masih belum kuat dalam mendapatkan kebenaran materiil, selain itu alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri seperti alat-alat bukti yang lainnya dan kekuatan pembuktiannya yang bersifat assesoir (pelengkap) sehingga penggunaan alat bukti petunjuk masih perlu didukung dengan alat bukti yang lain dalam mendapatkan kebenaran materiil.

Adapun saran penulis yaitu hakim dalam membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana sebaiknya tetap berpedoman pada KUHAP dan alat bukti yang lain dalam mendapatkan kebenaran materiil karena dalam praktik yang terjadi sekarang ini hakim lebih mengutamakan subjektifitasnya dalam mempertimbangkan, membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk yakni berdasarkan kesimpulannya sendiri, hal ini tentunya dapat merugikan salah satu pihak dalam proses perkara pidana.


(3)

ANALISIS TERHADAP PEMBUKTIAN YANG MENGGUNAKAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PERKARA PIDANA

Oleh :

BURMANSYAH. S

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2011


(4)

oleh Burmansyah. S

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2011


(5)

(6)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………..……….. 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup……...……….…. 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan……..……….…. 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ……...……….…. 8

E. Sistematika Penulisan ………..……… 13

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pembuktian……..……….. 16

B. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim, Sistem Pembuktian melalui Pembuktian Belaka dan Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Sampai Suatu Batas (Negatif Wettelijk)…..….…… 19

C. Asas Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana ..………...…….. 24

D. Alat Bukti Petunjuk dalam Proses Peradilan Pidana…………..……... 26

DAFTAR PUSTAKA III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah………..……….. 30

B. Sumber dan Jenis Data………..……….. 31

C. Penentuan Populasi dan Sampel……….…………..………….. 32

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data………..…...………….. 33

E. Analisis Data………..………. 34 DAFTAR PUSTAKA


(7)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden……….……… 37 B. Cara Hakim dalam Membuktikan atau Menyimpulkan Alat Bukti

Petunjuk dalam Perkara Pidana.………..………. 38 C. Kelemahan - kelemahan Alat Bukti Petunjuk dalam Rangka

Pembuktian Perkara Pidana………..……….. 47 V. PENUTUP

A. Kesimpulan……….. 53

B. Saran……… 54


(8)

Andrisman, Tri. 2009. Hukum Pidana. Universitas Lampung. Pres. Bandar Lampung

Hamzah, Andi. 1986.Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. Harahap, M.Yahaya. 1993.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Jilid 2 (Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Sinar Grafika. Jakarta.

Marwan, M. 2009. Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam Hukum. Reality Publisher. Surabaya.

Moeljatno. 1973. Pembaharuan Hukum Pidana Nasional. Bumi Aksara. Yogyakarta.

Prodjodikoro, Wirjono. 1974.Hukum Acara Pidana Indonesia. Sumur. Bandung. Sasangka, Hari dan Lily Rosita. 2003. Petunjuk Sebagai Alat Bukti yang Sah

Dalam Perkara Pidana. Alumni. Bandung.

Soerjono, Soekanto. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.


(9)

DAFTAR PUSTAKA

Adyan, Thomas. 1982.Diktat Hukum Acara Pidana. Universitas Lampung. Press. Bandar Lampung.

Kuffal. 1997.Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum. Ikip. Malang. Nawawi Arif, Barda. 2002.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra

Aditya Bakti. Bandung.

Prodjodikoro, Wirjono. 1974.Hukum Acara Pidana Indonesia. Sumur. Bandung. Prodjohamidjojo, Martiman. 1983.Sistim Pembuktian dan Alat-alat Bukti. Ghalia

Indonesia. Jakarta.

Sasangka, Hari dan Lily Rosita. 2003. Petunjuk Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam Perkara Pidana. Alumni. Bandung.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.


(10)

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 1989.Metode Penelitian Survey. Jakarta Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990.Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,

Ghalia Indonesia. Jakarta.

Soerjono, Soekanto. 1986.Pengantar penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Universitas Lampung. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung Press. Bandar Lampung.


(11)

Judul Skripsi : ANALI SI S TERHADAP PEMBUKTI AN YANG

MENGGUNAKAN ALAT BUKTI PETUNJUK

DALAM PERKARA PI DANA

Nama Mahasiswa :

Burmansyah. S

No. Pokok Mahasiswa : 0852011051

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. Tri Andrisman, S.H., M.H. NIP 19620817 198703 2 003 NIP 19611231 198903 1 023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. NIP 19620817 198703 2 003


(12)

1. Tim Penguji

Ketua :Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. . . . .

Sekretaris/Anggota :Tri Andrisman, S.H., M.H.

. . . .

Penguji Utama :Gunawan Jatmiko, S.H., M.H.

. . . .

2. Pj. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H. M.S. NIP 19621109 198703 1 003


(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18).

Hukum pidana nasional telah menjelaskan tentang penentuan perbuatan-perbuatan apa yang perlu diancam dengan hukum pidana dan jenis-jenis pidana serta cara penerapannya, maka pidana atau sanksi sangat penting. Sekarang munculah apa yang disebut hukum pidana fungsional, yakni hukum pidana yang bukan saja berfungsi untuk memberikan nestapa pada pelaku kejahatan, tetapi juga mengatur masyarakat agar hidup lebih damai dan tentram.

Sejarah masa lalu Indonesia dalam penyelenggaraan peradilan pidana yang berbasis pada hukum Eropa Kontinental tersebut berpedoman pada Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Dasar hukum tersebut diberlakukan sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil oleh semua pengadilan dan kejaksaan di seluruh wilayah Republik Indonesia.


(14)

Proses tentang acara perkara pidana sipil sebagaimana yang terjadi pada masa lalu dengan bepedoman pada Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) pada masa sekarang ini dikenal dengan istilah Hukum acara pidana, yaitu hukum yang mengatur tentang tata cara beracara di badan peradilan dalam lingkup hukum pidana. Istilah Hukum acara pidana di Indonesia sekarang ini diatur dalam Undang Nomor 8 Tahun 1981 atau dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.

Berkaitan dengan hal itu, proses pelaksanaan hukum pidana di masa sekarang ini erat hubungannya dengan masalah peradilan yang dalam pelaksanaannya harus menggunakan hukum acara pidana, karena hukum acara pidana mengatur hak-hak seseorang serta wewenang aparat penegak hukum apabila tersangkut dalam perkara pidana seperti penangkapan, penahanan dan penuntutan.

Tujuan dari acara pidana ialah untuk mendapatkan kebenaran dalam arti apakah betul telah terjadi tindak pidana dan terdakwa pelakunya, atau telah terjadi tindak pidana tetapi bukan terdakwa pelakunya atau sebaliknya tidak terjadi tindak pidana. Dan berdasarkan atas kebenaran akan ditetapkan suatu keputusan hakim, baik putusan yang mengandung pemidanaan atau sebaliknya tidak mengandung pemidanaan, yaitu pelepasan atau pembebasan dari segala tuntutan hukum.

Penyelenggaran peradilan pidana dari proses penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, serta pelaksanaan putusan pengadilan. Atau dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim dan petugas


(15)

3

lembaga pemasyarakatan, yang berarti pula berprosesnya atau bekerjanya hukum acara pidana (Andi Hamzah, 2009: 17).

Sehubungan dengan hal di atas, dalam rangka penyelenggaran peradilan pidana khususnya selama proses pemeriksaan disidang pengadilan sebelum menjatuhkan vonis maka hakim juga berpedoman pada beberapa dasar pertimbangan dan berpedoman pada alat bukti yang dapat dipergunakan untuk menentukan penjatuhan pidana. Salah satu alat bukti yang digunakan oleh hakim selama sidang di Pengadilan adalah alat bukti petunjuk.

Berkaitan dengan penyelenggaran peradilan pidana khususnya selama proses pemeriksaan disidang pengadilan di atas, bahwa tujuan dari acara pidana ialah untuk mendapatkan suatu kebenaran materil dalam arti apakah betul telah terjadi suatu tindak pindana dan terdakwa pelakunya, atau telah terjadi tindak pidana tetapi bukan terdakwa pelakunya atau sebaliknya tidak terjadi tindak pidana yang selanjutnya berdasarkan atas kebenaran akan ditetapkan suatu keputusan hakim. Baik putusan yang mengandung pemidanaan atau sebaliknya tidak mengandung pemidanaan, yaitu pelepasan atau pembebasan dari segala tuntutan hukum.

Berdasarkan hal tersebut terdapat persoalan yang amat penting, tetapi juga amat sulit yakni bagaimana hakim dapat menetapkan hal adanya kebenaran. Berkaitan dengan hal pembuktian dari hal sesuatu tersebut menurut (Wirjono Prodjodikoro, 1974) berpendapat bahwa:

“Membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan

kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal sehat atas kebenaran peristiwa tersebut. Baik dalam proses acara pidana maupun acara perdata diperlukan adanya pembuktian yang mengandung peranan


(16)

Berdasarkan pemaparan di atas, dalam hukum acara pidana, pembuktian adalah untuk mencari kebenaran materil, kebenaran yang sejati, dalam rangka mencari kebenaran yang sejati ini sangat luas, tidak saja hanya ada pemeriksaan sebelumnya, karena didalam KUHAP terdapat empat fase dalam mencari kebenaran sejati, yaitu :

a. Fase penyidikan b. Fase penuntutan

c. Fase pemeriksaan dipersidangan

Sehubungan dengan hal di atas, dalam pembuktian yang terdapat dalam fase pemeriksaan dipersidangan hanyalah merupakan sutu diantara empat fase dari hukum acara pidana secara keseluruhan. Namun demikian pemeriksaan disidang pengadilan merupakan fase yang terpenting dalam hukum acara pidana dalam rangka mencari kebenaran yang materil, apabila dalam fase sebelumnya kebenaran materil itu belum didapatkan karena fase pemeriksaan disidang pengadilan merupakan fase yang terakhir yang akan dijadikan dasar oleh hakim untuk mengambil keputusan dalam menyelesaikan perkara.

Berkaitan dengan hal di atas, dalam rangka mencari kebenaran materil pada fase pemeriksaan disidang pengadilan, pasal 184 KUHAP telah menentukan beberapa alat bukti yang sah yang dapat dijadikan dasar oleh hakim untuk mendapatkan keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi terdakwanya pelakunya.


(17)

5

Adapun Alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP Ayat (1) adalah sebagai berikut :

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa.

Berdasarkan kelima alat bukti tersebut diatas, alat bukti huruf d yaitu alat bukti

“Petunjuk” merupakan alat bukti yang berbeda dengan alat bukti lain. Berbeda

dalam arti menggantungkan diri pada alat bukti lain sebagaimana termaktub dalam Pasal 188 Ayat (2) KUHAP tentang sumber petunjuk, yaitu :

a. Keterangan saksi b. Surat

c. Keterangan terdakwa

Sehubungan dengan hal di atas, dalam Pasal 188 Ayat (1) KUHAP dinyatakan

bahwa “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena

persesuaian baik antara satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya”.

Selanjutnya ketentuan Pasal 188 Ayat (3) KUHAP menyatakan “Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan


(18)

Berdasarkan ketentuan Pasal 188 KUHAP di atas penulis berpendapat bahwa alat bukti petunjuk sebagai alat bukti yang menggantungkan diri dengan alat bukti yang lain yang walaupun tidak dijadikan sumber petunjuk tetap sebagai alat bukti yang sah dapat dijadikan dasar oleh hakim untuk mendapatkan keyakinan, akan tetapi alat bukti petunjuk tersebut pada hakikatnya hampir sama dengan pengamatan hakim selama sidang, jadi masih banyak terdapat kelemahan-kelamahan dalam alat bukti petunjuk tersebut.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis hendak melakukan penelitian yang hasilnya akan dijadikan skripsi dengan judulAnalisis Terhadap Pembuktian Yang Menggunakan Alat Bukti Petunjuk Dalam Perkara Pidana”.

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah cara hakim dalam membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana?

b. Apakah kelemahan-kelemahan alat bukti petunjuk dalam rangka pembuktian perkara pidana?


(19)

7

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi cara hakim dalam membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana dan kelemahan-kelemahan alat bukti petunjuk dalam rangka pembuktian perkara pidana.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui cara hakim dalam membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana.

b. Untuk mengetahui kelemahan-kelemahan alat bukti petunjuk dalam rangka pembuktian perkara pidana.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis:

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum pidana, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian yang menggunakan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana sebagai pencapaian proses peradilan pidana Indonesia secara terpadu.


(20)

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dan bagi aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka pembahuruan hukum pidana Indonesia.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto,1986: 125).

Adapun teori-teori yang berkaitan dalam penelitian ini adalah mencakup teori pembuktian serta beberapa teori tujuan pemidanaan yang juga mnecakup teori dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan vonis dalam perkara pidana. Secara teoritis mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan dalam proses persidangan sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno (1973: 34) yaitu:

“…..maka dalam usaha pencapaian proses peradilan pidana Indonesia secara terpadu, pembuktian dalam proses di persidangan merupakan salah satu masalah urgen untuk diperhatikan. Oleh sebab itu, dalam menjatuhkan vonis maka hakim harus dapat memperhatikan beberapa dasar pertimbanganuntuk memberikan sanksi pidana”.


(21)

9

Berdasarkan pemaparan tersebut, pembuktian merupakan kekuatan-kekuatan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan oleh hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (Yahya Harahap, 1993 : 793).

Berkaitan dengan hal itu, hukum pembuktian merupakan suatu persoalan tentang bagaimana untuk mencari atau mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu peristiwa tertentu sehingga tercapai suatu kebenaran yang materil atau setidak-tidaknya mendekati pada kebenaran yang sempurna. Menurut Wirjono Prodjodikoro (1974: 75) menyatakan kebenaran dari suatu peristiwa adalah sebagai berikut :

“...kebenaran biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan tertentu yang sudah lampau, oleh karena roda waktu didunia tidak mungkin diputar kembali maka seorang hakim didalam meyakini kebenaran dari suatu peristiwa haruslah dengan kepastian seratus persen. Untuk mendapatkan keyakinan tersebut hakim membutuhkan alat-alat guna menggambarkan lagi keadaan-keadaan yang sudah lampau itu. Alat-alat tersebut dapat berupa tanda-tanda yang terwujud benda atau barang atau juga ingatan-ingatan orang orang yang mengalami keadaan itu”.

Berdasarkan pemaparan di atas maka yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu proses beracara yang telah diatur oleh undang-undang dalam mencari suatu kebenaran yang sejati dari suatu tindak pidana yang telah terjadi.

Berkaitan dengan hal itu, menurut Van Bukkelen (Wirjono Prodjodikoro, 1974: 80), menyatakan bahwa membuktikan adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang:


(22)

a. Apakah hal yang tertentu itu sungguh-sungguh terjadi; b. Apa sebabnya demikian halnya?

Senada dengan pengertian di atas, Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan bahwa membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 11).

Berkaitan dengan hal di atas, sistem pembuktian yang dianut KUHAP Pasal 183 KUHAP mengatur, menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa harus:

a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; b. Atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim

memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Sehubungan dengan hal itu, alat bukti merupakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran atas suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 11).

Ketentuan mengenai Petunjuk diatur dalam Pasal 188 Ayat (1) sampai (3) KUHAP.

1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karana persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu


(23)

11

sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

2. Petunjuk sebagaimana diaksud dalam Ayat (1) hanya dapat diperoleh dari; a. Keterangan saksi;

b. Surat;

c. Keterangan terdakwa.

3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan degan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti (Soerjono Soekanto,1986 : 132).

Adapun Konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Analisis

Menurut penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997: 32).


(24)

b. Pembuktian

Pembuktian adalah kekuatan-kekuatan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan oleh hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (Yahya Harahap, 1993 : 793).

c. Alat Bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran atas suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 11).

d. Petunjuk

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karana persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya (Pasal 188 Ayat (1) KUHAP).

e. Perkara Pidana

Perkara pidana adalah persoalan, permasalahan atau sengketa mengenai delik tindak pidana atau pelanggaran norma hukum yang berlaku dalam masyarakat menimbulkan perasaan tidak senang yang dinyatakan dalam pemberian sanksi hukum (M. Marwan, 2009: 507).


(25)

13

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan. Sistematika penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya, tujuan dan kegunaan dari penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta menguraikan tentang sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini dijelaskan tentang pembuktian yang menggunakan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana dalam sebagai pencapaian proses peradilan pidana Indonesia secara terpadu.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek. Adapun garis besar dalam bab ini adalah menjelaskan tentang hukum pembuktian, sistem pembuktian melalui pembuktian belaka dan sistem pembuktian menurut undang-undang sampai suatu batas (negatif wettelijk), asas pembuktian dan sistem pembuktian yang di anut oleh hukum acara pidana Indonesia (KUHAP), alat bukti petunjuk dalam proses peradilan pidana.


(26)

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta tahap terakhir yaitu analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui cara hakim dalam membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana, dan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan alat bukti petunjuk dalam rangka pembuktian perkara pidana.

V. PENUTUP

Bab ini berisi tentang hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa kesimpulan dan saran dari hasil penelitian terhadap permasalahan yang telah dibahas.


(27)

16

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Pembuktian

Secara umum tujuan acara pidana untuk mendapatkan kebenaran tentang terjadinya suatu tindak pidana. Disamping itu acara pidana juga bertujuan untuk mengatasi kekuasaan para penegak hukum dan melindungi terdakwa dari tindakan-tindakan yang tidak dibenarkan oleh hukum. Namun suatu permasalahan yang amat penting tetapi juga amat sukar ialah bagaimana hakim dapat menetapkan hal adanya kebenaran itu. Permasalahan ini adalah pembuktian dari hal sesuatu peristiwa (Wirjono Prodjodikoro, 1974: 32).

Komposisi dalam hukum acara pidana yang berkewajiban membuktikan bahwa telah terjadi tindak pidana dan terdakwa pelakunya adalah Jaksa Penuntut Umum dengan mengemukakan alat bukti yang sah yang telah diakui oleh Undang-Undang, dengan minimal dua alat bukti yang sah, demikian KUHAP, barulah hakim diperbolehkan untuk memberikan penilaian dalam rangka mendapatkan keyakinan untuk memutuskan suaru perkara pidana. Sehubungan dengan hal itu, untuk lebih memperjelas hal di atas ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP menjelaskan bahwa:


(28)

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 183 di atas, KUHAP hanya menentukan minimal batas alat bukti yang berarti hakim baru dibolehkan memberikan penilaian untuk mendapatkan keyakinan apabila minimal ada dua alat bukti yang sah. Sedangkan batas maksimal tidak ada, yang berarti tidak ada keterikatan bagi hakim untuk memberikan keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah pelakunya walaupun penuntut umum mengemukakan lebih dari dua lat bukti yang sah menurut Undang-Undang, namun demikian ketidak keterkaitan ini tidak berarti KUHAP memberikan kebebasan tanpa batas kepada hakim untuk tidak memberikan keyakinan, hal ini karena di dalam Pasal 182 Ayat (5) KUHAP djelaskan bahwa: “……….Dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya”.

Selanjutnya Pasal 199 huruf b KUHAP menjelaskan bahwa: “Pernyataan bahwa

terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala ketentuan hukum, dengan menyebutkan alasan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

putusan”.

Menelaah kedua Pasal di atas serta menghubungkannya dengan sistem pembuktian yang negatif sebagaimana dianut oleh KUHAP, maka dapat diketahui bahwa dalam hal pembuktian hakim dibolehkan untuk tidak meyakini alat-alat


(29)

18

bukti yang dikemukakan oleh jaksa penuntut umum, dengan ketentuan hakim harus menyebutkan alasan ketidak yakinannya itu serta pasal peraturan perundang-undang yang menjadi dasar putusan. Apapun yang telah ditentukan oleh Pasal 183 KUHAP dan Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman serta sistem pembuktian yang negatif dalam KUHAP, tidak lain tujuan nya agar keputusan hakim yang mengandung pemidanaan betul-betul sesuai dengan kenyataan, dalam arti betul-betul telah terjadi tindak pidana dan terdakwa pelakunya, dengan kata lain tidak terjadi penghukuman terhadap orang terhadap orang yang tidak bersalah dalam hal ini hokum acara pidana mengakui pendapat yang menyatakan bahwa “lebih baik melepaskan seratus orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah”.

Sehubungan dengan hal tersebut, acara pidana sebetulnya hanya merupakan jalan untuk mendapatkan kebenaran yang sejati yang intinya adalah pembuktian, maka dalam acara pidana dikenal tiga bagian hukum pembuktian, yaitu:

a. Penyebutan alat bukti yang dapat dipakai oleh hakim untuk mendapatkan gambaran dari peristiwa pidana yang sudah lampau.

b. Penguraian cara bagaimana alat-alat bukti dipergunakan. c. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.

Ketiga macam hukum pembuktian di atas akan dibahas dalam uraian tentang petunjuk sebagai alat bukti yang sah dalam dalam perkara pidana sebagai pencapaian proses peradilan pidana Indonesia secara terpadu.


(30)

B. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim, Sistem Pembuktian melalui Pembuktian Belaka dan Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Sampai Suatu Batas (Negatif Wettelijk)

1. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim

Sistim pembuktian ini sama sekali tidak membutuhkan peraturan tentang pembuktian, melainkan menyerahkan sepenuhnya segala sesuatu kepada kebijaksanaan hakim. Hakim sama sekali tidak terikat pada ketentuan hukum mengenai alat-alat bukti, asalkan hakim berkeyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana, maka ia dapat menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa tersebut.

Berkaitan dengan hal itu, dalam sistem bebas ini titik beratnya dalam menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya terletak pada keyakinan hakim. Sistem ini tidak mewajibkan pada hakim untuk menyebutkan apa yang menjadi dasar keyakinannya. Dengan demikian berarti sistem ini sangat bersifat subjektif, karena sifatnya itu maka hakim bisa saja menurutkan perasaannya kedalam menentukan apakah suatu keadaan dianggap telah terbukti atau hakim bisa saja memeriksa perkara dalam keadaan tidur, begitu pemeriksaan selesai hakim dibangunkan lalu memberikan keputusan karena tidak ada kewajiban bagi hakim untuk menyebutkan alasan-alasan atau dasar-dasar keputusannya, apabila hakim menyebutkan alat-alat bukti yang ia pakai.

Sehubungan dengan hal di atas, menurut Wirjono Prodjodikoro (1974: 86) menyatakan bahwa:


(31)

20

“Hakim dapat memakai alat bukti apa saja, misalnya seorang medium atau seorang dukun yang telah mengadakan suatu upacara membilang dapat menetapkan siapa yang salah dan siapa yang tidak bersalah dalam suatu peristiwa

pidana”.

Kelemahan sistem ini adalah memeberikan peluang besar kepada hakim untuk bertindak tidak wajar. Dengan demiikian fungsi pengadilan sebaga tempat mencari keadilan akan dapat menjhadi tidak berfungsi atau terancam. Kelemahan yang laiun dari sistem ini tidak berfungsinya upaya hukum luar biasa, khususnya lembaga peninjauan kembali, karena tidak adanya alasan-alasan dalam mengambil keputusan.

2. Sistem Pembuktian melalui Pembuktian Belaka

Berdasarkan sistem conviction inteme suatu tindak pidana telah terbukti apabila hakim dengan keyakinannya menetapkan suatu keadaan sudah terbukti walaupun tidak ada alat bukti lain halnya dengan sistem positif wettelijk justru sebaliknya, yaitu semata-mata bersandar pada alat bukti yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang tanpa menghiraukan hal-hal yang ada di luarnya. Dalam sistem positif wettelijk Undang-Undang menetapkan alat-alat bukti mana yang dapat dipakai oleh hakim dan bagaimana cara mempergunakannya serta kekuatan pembuktian alat bukti itu sedemikian rupa. Jika alat bukti menurut Undang-Undang sudah dipergunakan, maka hakim wajib menetapkan suatu keadaan sudah terbukti walaupun apa yang ia tetapkan bertolak belakang dengan hati nuraninya. Sebaliknya apabila alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang tidak terpenuhi, baiuk cara mempergunakannya maupun jenisnya, meskipun hakim


(32)

berkeyakinan bahwa keadaan sudah terbukti maka hakim wajib menetapkan bahwa keadaan tidak terbukti. Dengan demikian apabila suatu Undang-Undang menetapkan bahwa pembuktian Jaksa Penuntut Umum diwajibkan mengemukakan satu alat bukti; missal keteranga terdakwa, dimana terdakwa menerangkan bahwa dialah yang telah melakukan tindak pidana tersebut dan apa yang didakwakan jaksa adalah betul, maka dengan terpenuhinya alat bukti itu berarti keadaan sudah terbukti dan hakim wajib menetapkan keadaan itu. Walaupun secara materil hakim mengetahui terdakwa bukanlah pelakunya.

Berdasarkan uraian diatas dinyatakan bahwa sistem positif wettelijk tidak mendukung acara pidana untuk mendapatkan kebenaran yang materil, maka menurut Wirjono Prodjodikoro (1974: 92) menyatakan bahwa:

“Sistem positif bertentangan dengan prinsip bahwa dalam acara pidana

suatu putusan hakim harus berdasarkan atas kebenaran. Sebab, bagaimana Hakim dapat menetapkan kebebanran selain dari dengan cara menyatakan

kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu”.

Menelaah teori di atas, maka sistem positif menghendaki kepastian hakim. Hakim hanya berhak melihat dan mendengar apa yang ada pada pemeriksaan di sidang pengadilan, kemudian menetapkan apa yang ia lihat dan ia dengar, hakim tidak berhak untuk menilai. Ini berarti system ini tidak menyaratkan adanya pendidikan atau pengalaman untuk menjadi seorang hakim, karena pendidikan dan pengalaman diperlukan untuk menilai, jadi menurut sistem ini siapa saja dapat menjadi hakim, asalkan hakim mengetahui alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.


(33)

22

3. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Sampai Suatu Batas (Negatif Wettelijk)

Menurut sistem ini hakimnya dapat menjatuhkan hukuman terdakwa apabila cukup alat bukti yang diakui oleh Undang-Undang dan berdasrkan atas alat bukti tersebut hakim mendapatkan keyakinan bahwa telah terjdi tindak piana dan terdakwa pelakunya. Dengan demikian menurut Martiman Prodjohamidjojo (1983 :14) menyatakan bahwa:

“...antara alat bukti dengan keyakinan hakim dean diharuskan ada nya

hubungan kausal (sebab akibat). Hal ini berarti kedua syarat tersebut sama pentingnya dan harus ada dalam setiap keputusan hakim. Yang satu tidak berarti tanpa yang lain dan yang lain tidak akan ada tanpa yang satu”.

Berkaitan dengan hal itu, apabila sistem negatif ini diperinci. Maka terdapat dua hal menjadisyarat bagi hakim untuk menetapakan hal terbuktinya tindak pidana dan terdakwa pelakunya, yaitu:

1. Adanya alat bukti yang sah meurut undang-undangan

2. Adanya keyakinan hakim yang berdasarkan kepada alat bukti tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, meski terdpaat beberapa alat bukti, tetapi setalah hakim mengadakan pemeriksaan dan penilliaian terhapdap beberapa alat bukti tersebut, misalnya antara satu dnagan yang lain tidak ada kaitanya, tidak saling mendukung, atau alat-alat bukti tersebut diragukan kebenarannya, maka hakim berhak untuk membabaskan atau melepaskan terdakwa. Hal inilah inti dari sistem negative wettelijk, bahwa hakim tiidak berkewajiban memberikan keyakinan atas suatu tindak pidana, walaupun adanya beberapa alat bukti. Apabila menurut


(34)

penilainnya alat bukti tersebut tidak cukup untuk membukltikan telah terjdi tindak pidana dan terdkwa pelakunya seprti dalam surat dakwaan jaksa. Tentu saja ketidak keyakinan hakim itu harus disertai dengan alasan dan perundangan yang menjadi dasarnya.

Kebebsan hakim untuk menetapakan keyakinan dalam sistim negative tidak sama dengan kebebasan hakim pada sisrim pembuktian Conviction intime. Dalam sistem negatif hakim di batasi oleh alasan yakin atau tidak yang di dasarkan pada peraturan perundangan sedangkan kebebsan hakim dalam sistim Conviction intime adalah kebebsan tanpa batas, diserahkan sepenuhnya pkepada dirinya sendiri. Apakah ia akan yakin atau tidak tentang hal terjadinya tindak pidana tanpa ada aturan sama sekali.

Sebaliknya dalam sistem negatif, walaupun hakim yakin telah terjdi tindak pidana akan tetapi keyakianan tersebut tdak didasarkan pada alat bukti yang sah yang telah di tetapkan oleh Undang-Undang, maka hakim tidak berhak menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, tertapi sebaliknya hakim berkewajiban melepaskan atau membesaskan terdakwa. Sedangkan dalam sistemConviction intime. Apabila hakim yakin telah terjdi tindak pidana, maka hakim berhak menghukum terdakwa. Namun demikian dalam sistem negatif yang pada akhirnya menentukan nasib terdakwa adalah keyakinan hakim walaupun keyakianan itu harus bersumber pada alat bukti yang telah ditentukan oleh Undang-Undang (Kuffal. 1997: 153)


(35)

24

C. Asas Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana

Hukum acara pidana Indonesia dalam hal pembuktian menganut asasPresumtion Of Innocence (asas praduga tak bersalah), artinya setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya keputusan hakim yang menyatakan kesalahnnya dan memperoleh hukum yang tetap. Berkaitan dengan hal itu, menurut Thomas Adyan (1982: 19) menjelaskan bahwa:

“...asas praduga tak bersalah sebagai asas pemuktian adalah suatu asa yang menjamin hak-hak asasi manusia dengan konsep rule of law, selanjutnya sebagai konsekuensi dianutnya asas praduga tak bersalah di Negara kita pembuktian dibebankan kepada Jaksa serlaku penuntut umum

terhadap apa yang didakwakan kepada seseorang”.

Berdasarkan asas praduga tak bersalah ini di atur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum butir 3 c KUHAP yang menjelaskan bahwa:

” “Setiap orang yang disangka, ditanmgkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memeperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Berkaitan dengan asas pembuktian di atas, dalam perundang-undangan pidana khusus, seperti Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


(36)

Korupsi Pasal 17 dan 18 ada ketentuan yang agaknya mendesak asas tersebut. Ketentuan dalam Pasal 17 Ayat (1) dan Ayat (4) menjelaskan bahwa:

Ketentuan dalam Pasal 17 Ayat (1):

“Hakim dapat memeperkenankan terdsakwa untuk kepentingan

pemeriksaaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi”.

Ketentuan dalam Pasal 17 Ayat (4):

“Apabila terdakwa tidak memebrikan keterangan tentang pembhyktian sepoerti dimaksud dalam Ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang sebagai hal setidak-tidaknya merugikan baginya, dalam hal demikian penuntut umum tetap diwajibkan memeberikan pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi”.

Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa perundang-undangan pidana khusus, seperti Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak menganut asas pembuktian terbalik. Karena penuntut umum tetap berkewajiaban membuktikan bahwa terdakwa telah korupsi. Dengan kata lain beban pembuktian ada pada penuntut umum, yang berarti masih dianut asas Presumtion Of innocence, hanya saja ketentuan tersebut dapat mendesak asas ini, karena ketidakmampuan terdakwa memberikan keterangan dapat memperkuat keteranagan sanksi lain bahwa terdakwa telah korupsi.


(37)

26

D. Alat Bukti Petunjuk dalam Proses Peradilan Pidana

Istilah criminal justice system atau sistem peradilan pidana (SPP) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.

Criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan Criminal justice system adalah interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana (Barda Nawawi Arif, 2002: 75).

Berkenaan dengan hal itu, dalam proses peradilan pidana alat bukti merupakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran atas suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 11).

Ketentuan mengenai Petunjuk diatur dalam Pasal 188 Ayat (1) sampai (3) KUHAP.

1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karana persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.


(38)

2. Petunjuk sebagaimana diaksud dalam Ayat (1) hanya dapat diperoleh dari; a. Keterangan saksi;

b. Surat;

c. Keterangan terdakwa.

Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan degan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Proses peradilan pidana merupakan konstruksi sosial yang menunjukkan proses interaksi manusia (di dalamnya ada aparatur hukum, advokat, terdakwa serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun dunia (realitas) yang mereka ciptakan. Alat bukti petunjuk dalam proses peradilan pidana juga memiliki peran penting. Ketentuan dalam Pasal 188 Ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Berkaitan dengan hal itu, ketentuan Pasal 188 Ayat (3) KUHAP yang mengatakan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Berdasarkan hal itu tercermin bahwa pada akhirnya


(39)

28

persoalannya diserahkan kepada hakim. Dengan demikian, menjadi sama denga pengamatan hakim sebgai alat bukti. Apa yang disebut pen gamatan oleh hakim (eigen warrneming van de rechter) harus dilakukan selama sidang, apa yang telah dialami atau diketahui oleh hakim sebelumnya tidak dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau peristiwa itu telah diketahui oleh umum.


(40)

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya (Soerjono Soekanto, 1986: 43).

Dalam upaya mendapatkan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini maka dilakukan metode pendekatan, yaitu :

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah dan menelusuri teori-teori, konsep-konsep, serta peraturan-peraturan yang berkenaan dengan masalah analisis terhadap pembuktian yang menggunakan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana.

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah hukum terhadap objek penelitian sebagai pola perilaku yang nyata dalam masyarakat yang ditujukan kepada penerapan hukum yang berkaitan dengan bentuk-bentuk perilaku yang akan dibahas dalam skripsi ini.


(41)

31

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat di lihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka (Soerjono Soekanto, 1986: 11).

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis, yaitu: 1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan. Dalam rangka penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok bahasan skripsi ini. Dalam hal ini data diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap beberapa penegak hukum dari Kehakiman, dan juga Dosen yang terkait dengan analisis terhadap pembuktian yang menggunakan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana.

2. Data Sekunder

Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas, yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.


(42)

3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang di bahas dalam skripsi ini. Bahan hukum sekunder penelitian ini meliputi Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus besar bahasa Indonesia, media massa, artikel, makalah, naskah, paper, jurnal, internet yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Menurut Soerjono Soekanto (1986: 172) yang dimaksud dengan populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama. Populasi dalam penulisan skripsi ini adalah pihak-pihak yang berkaitan dengan analisis terhadap pembuktian yang menggunakan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana. Penentuan populasi dalam penelitian ini adalah Akademisi atau Dosen, dan Hakim.

Adanya populasi dalam penelitian ini secara otomatis akan menimbulkan adanya sampel. Adapun sampel dari penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, dan Dosen Fakultas


(43)

33

Hukum Universitas Lampung. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (1987: 172) memberikan pengertian mengenai sampel yaitu sejumlah obyek yang jumlahnya kurang dari populasi. Dan Burhan Ashshofa (1996: 91) memberikan pengertian mengenai prosedur sampling dalam penelitian adalah Purposive Sampling, yaitu suatu metode pengambilan sampling yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan dan tujuan penulis yang telah ditetapkan.

Adapun Responden dalam penelitian ini sebanyak 3 (tiga) orang, yaitu: 1. Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang = 1 orang 2. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 1 orang 3. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 orang +

Jumlah = 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skipsi ini, dilakukan dengan menggunakan dua cara sebagai berikut, yaitu:

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat dan mengutip dari berbagai literatur, per-undang-undangan, buku-buku, media massa dan bahas tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.


(44)

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi Lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara (interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.

c. Sistematisasi data, yaitu malakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Setelah mengolahan data selesai maka dilakukan analisis data. Data yang diperoleh secara analisis kualitatif yang artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan mengenai analisis terhadap pembuktian yang menggunakan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang


(45)

35

diteliti. Dari hasil analisis tersebut dapat dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus, dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(46)

Dalam keadaan apapun kita harus tetap tenang dan sabar

(Penulis)

Jadikanlah diri qita menjadi pribadi yang disenangi banyak orang

(Penulis)

Jangan pernah menyerah dan takut untuk membela kebenaran selama kita

masih bernafas dijalan Allah

(Penulis)

Semua yang kita kerjakan akan terasa lebih mudah bila kita yakin dengan

kemampuan yang kita miliki

(Penulis)

Kesuksesan seorang pria karena ada wanita disampingnya yaitu kekasihnya

dan kegagalan seorang pria karena ada wanita juga disampingnya yaitu

selingkuhannya"


(47)

PERSEMBAHAN

n

✂✄

n p

nu

☎✆✄✄

s

pu

✝ ✞✟✄

n syukur k

✁☎✄ ✟ ✞✆✄

t

✠✡✄ ☎

l

WT pencipta alam

semesta beserta isinya

Kupersembahkan karya kecil ini :

Untuk orang tua tuaku Bapak H. Syarnubi Abu Hasan, S.H., dan Ibu

Hj. Ariyani tercinta atas ketulusan, menyayangiku, yang aku sayangi,

mendidikku, mengajariku kasih sayang , mengajariku cara bersabar ,

menyebutku dalam setiap munajadnya, yang selalu tersenyum dan mengajariku

bagaimana tersenyum , untuk tiap tetes keringat yang keluar untuk

keberhasilanku dan untuk semangat, nasihat, dorongan dan doa disetiap shalat

dan sujudnya, orang yang selalu ada di dalam hatiku sampai tutup usiaku.

Untuk Om dan Tante-tanteku, kakakku, Bennito syarnubi (Alm),

mbak-mbakku, Yuni dan Tiwi yang menyayangiku dan aku sayangi, yang

selalu menantikan kesuksesanku.

Kiki Septian, S.E., tersayang yang akan selalu menjadi Cinderella dihatiku,

yang selalu memberikan dukungan dan semangat dalam setiap langkah dan

perjuanganku.

Seluruh Keluarga Besarku Tercinta

Serta Almamater Fakultas Hukum Universitas Lampung

Para Pembaca dan Pecinta Ilmu pengetahuan..!!

Semoga Allah SWT selalu melimpahkan nikmat dan karunianya untuk kita

semua sampai akhir zaman. (amin)


(48)

Burmansyah.S dilahirkan di Tanjung Karang 27 juli 1988 Bandar Lampung, yang merupakan anak ke empat dari empat bersaudara pasangan Bapak H. Syarnubi Abu Hasan, S.H dan Ibu Hj. Ariyani.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Sriwijaya Sukarame Bandar Lampung pada tahun 1994, Pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri 2 Sukarame Bandar Lampung pada tahun 2000, penulis melanjutkan studinya di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 12 Bandar Lampung pada tahun 2003 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Gajah Mada Bandar Lampung pada tahun 2006. Dengan mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa akhirnya penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada Tahun 2008.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan. Selain itu, pada Tahun 2011 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tanggal 30 Juni samapi 9 Agustus 2011 yang dilaksanakan di Desa Sukadana Kecamatan Buay Bahuga Kabupaten Waykanan.


(49)

SANWACANA

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirobbil’alamien. Teriring salam dan do’a semoga Allah SWT melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, walaupun banyaknya hambatan-hambatan yang harus dilalui. Tulisan ini adalah sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul

ANALISIS TERHADAP PEMBUKTIAN YANG MENGGUNAKAN

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PERKARA PIDANA”.

Penulis menyadari atas selesainya penulisan skripsi ini, maka dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan juga selaku Pembimbing I yang telah memberikan saran dan meluangkan waktunya sehingga proses penyelesaian skripsi dapat berjalan dengan baik.


(50)

4. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. dan Bapak Ahmad Irzal F, S.H., M.H. sebagai Pembahas Pertama dan Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Ibu Marlia Eka Putri, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik selama

penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

6. Ibu Judika M. Hutagalung, S.H., M.H. selaku responden dari Pengadilan Negeri Bandar Lampung, Bapak Sutoyo, S.H., M.Hum. selaku responden dari Pengadilan Tinggi Bandar Lampung, serta Ibu Firganefi, S.H., M.H., yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara demi penelitian skripsi ini.

7. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bapak Yoga, Bapak Syamsir, Ibu Rini, dan yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Seluruh staf dan karayawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.

9. Ayahku H. Syarnubi Abu Hasan, S.H., dan Ibuku Hj. Ariyani tercinta atas kasih sayang, pengorbanan serta doa tulus dari setiap sujudmu yang selalu mengiringi setiap langkahku dan menanti keberhasilanku.

10. Datukku Abuhasan (Alm), Nenekku Cak’Nun (Alm), Datuk Munir (Alm), Nenekku Adinar, Kakakku Tersayang Bennito Syarnubi, S.H. (Alm),


(51)

Mbakku Yuni Andriyani, A.Md.Keb., Aptriyani Sartiwi, S.Kom., beserta seluruh keluarga besarku yang telah memberikan kasih sayang, motivasi,

dukungan dan do’a yang selam ini telah diberikan kepada penulis.

11. Sahabat-sahabatku terbaik yang pernah kumiliki baik yang telah sarjana, maupun belum menjadi seorang sarjana: Raestin Silfani (Adek Fani), Muhaiminul (Adek Cici Marienci), Budi Mulyono, Cipta, Citra, Melda, Anisa (Ica), Dwi Uji (Zhee), Syera, Laras, Tria, Ina, Dina, Ana Verta, Izda, Dilli, Romi (Imor), Gusnan, Herman, Gery (Ilusionis), Dwi Nurahman, Indra, Joko, Emil, Ari Wibowo, Sulis, Taufik, Merwanto, Pak’su Diki, Sardi

Sanjaya dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan, kekompakan dan keceriaan selama kita menjadi mahasiswa.”IMiss You All”

12. Special Thanks To Someone Kiki Septian, S.E., atas do’a, dukungan, perhatian, dan kasih sayangnya.

13. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Penulis menyadari segala kekurangan dan keterbatasan dalam mengungkapkan data-data yang didapat baik dari literature, perundang-undangan, maupun data yang diperoleh dari surat kabar dan media elektronik. Untuk itu atas segala keterbatasan yang ada maka penulis akan dengan senang hati menerima segala keritikan dan saran dari semua pihak yang sifatnya membangun demi kesempurnaan penulisan ini.


(52)

membutuhkan terutama bagi penulis. Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak dalam penulisan skripsi ini dan semoga skripsi ini akan dapat bermanfaat bagi para pembaca. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 10 Februari 2012 Penulis


(53)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan dalam penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Cara hakim dalam membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana yakni berdasarkan keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, selain itu hakim dalam membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk juga berdasarkan pada hal-hal lain yang terungkap dipersidangan antara lain keterangan ahli, keterangan olah tempat kejadian perkara dan barang bukti untuk menambah keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan. Dalam membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk maka harus mempunyai nilai pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti lain dan dalam mendapatkan alat bukti petunjuk serta sumbernya harus kumulatif. Ketentuan tersebut harus memenuhi asas minimum pembuktian. Jadi petunjuk harus diperoleh minimal dari 2 alat bukti tersebut yang saling bersesuaian.

2. Kelemahan-kelemahan alat bukti petunjuk dalam rangka pembuktian perkara pidana antara lain penerapan alat bukti petunjuk oleh hakim hanya terbatas pada Pasal 188 Ayat (2) KUHAP saja, sehingga masih belum kuat dalam


(54)

mendapatkan kebenaran materiil, selain itu alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri seperti alat-alat bukti yang lainnya dan kekuatan pembuktiannya yang bersifat assesoir (pelengkap) sehingga penggunaan alat bukti petunjuk masih perlu didukung dengan alat bukti yang lain dalam mendapatkan kebenaran materiil.

B. Saran

Setelah penulis melakukan penelitian dan mengetahui hasil penelitian maka penulis mengajukan saran sebagai berikut:

1. Hakim dalam membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana sebaiknya tetap berpedoman pada KUHAP dan alat bukti yang lain dalam mendapatkan kebenaran materil karena dalam praktik yang terjadi sekarang ini hakim lebih mengutamakan subjektifitasnya dalam mempertimbangkan, membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk yakni berdasarkan kesimpulannya sendiri, hal ini tentunya dapat merugikan salah satu pihak dalam proses perkara pidana.

2. Perlu adanya persamaan persepsi antara aparatur penegak hukum khususnya hakim sehinggga tidak ada perbedaan dalam memperoleh, mempertimbangkan, membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk dalam mendapatkan kebenaran materil sehingga dapat mewujudkan cita hukum yakni kepastian hukum, kemnfaatan dan keadilan hukum secara hakiki. 3. Sebaiknya alat bukti petunjuk tidak dihapus dalam rancangan KUHAP karena dengan adanya alat bukti petunjuk ini dapat mempermudah hakim dalam memutus suau perkara.


(55)

55

4. Dalam rancangan KUHAP sebaiknya cara menerapkan alat bukti petunjuk tidak hanya terbatas pada Pasal 188 ayat (2) KUHAP sehingga tidak membatasi hakim dalam memperoleh kebenaran materiil untuk memutus suatu perkara.

5. Sebaiknya hakim dalam menerapkan alat bukti petunjuk tidak berdasarkan pendapatnya sendiri karena dapat merugikan salah satu pihak.


(1)

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini. 4. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. dan Bapak Ahmad Irzal F, S.H., M.H.

sebagai Pembahas Pertama dan Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Ibu Marlia Eka Putri, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik selama

penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

6. Ibu Judika M. Hutagalung, S.H., M.H. selaku responden dari Pengadilan Negeri Bandar Lampung, Bapak Sutoyo, S.H., M.Hum. selaku responden dari Pengadilan Tinggi Bandar Lampung, serta Ibu Firganefi, S.H., M.H., yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara demi penelitian skripsi ini.

7. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bapak Yoga, Bapak Syamsir, Ibu Rini, dan yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Seluruh staf dan karayawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.

9. Ayahku H. Syarnubi Abu Hasan, S.H., dan Ibuku Hj. Ariyani tercinta atas kasih sayang, pengorbanan serta doa tulus dari setiap sujudmu yang selalu mengiringi setiap langkahku dan menanti keberhasilanku.

10. Datukku Abuhasan (Alm), Nenekku Cak’Nun (Alm), Datuk Munir (Alm), Nenekku Adinar, Kakakku Tersayang Bennito Syarnubi, S.H. (Alm),


(2)

Mbakku Yuni Andriyani, A.Md.Keb., Aptriyani Sartiwi, S.Kom., beserta seluruh keluarga besarku yang telah memberikan kasih sayang, motivasi, dukungan dan do’a yang selam ini telah diberikan kepada penulis.

11. Sahabat-sahabatku terbaik yang pernah kumiliki baik yang telah sarjana, maupun belum menjadi seorang sarjana: Raestin Silfani (Adek Fani), Muhaiminul (Adek Cici Marienci), Budi Mulyono, Cipta, Citra, Melda, Anisa (Ica), Dwi Uji (Zhee), Syera, Laras, Tria, Ina, Dina, Ana Verta, Izda, Dilli, Romi (Imor), Gusnan, Herman, Gery (Ilusionis), Dwi Nurahman, Indra, Joko, Emil, Ari Wibowo, Sulis, Taufik, Merwanto, Pak’su Diki, Sardi Sanjaya dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan, kekompakan dan keceriaan selama kita menjadi mahasiswa.”IMiss You All”

12. Special Thanks To Someone Kiki Septian, S.E., atas do’a, dukungan, perhatian, dan kasih sayangnya.

13. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Penulis menyadari segala kekurangan dan keterbatasan dalam mengungkapkan data-data yang didapat baik dari literature, perundang-undangan, maupun data yang diperoleh dari surat kabar dan media elektronik. Untuk itu atas segala keterbatasan yang ada maka penulis akan dengan senang hati menerima segala keritikan dan saran dari semua pihak yang sifatnya membangun demi kesempurnaan penulisan ini.


(3)

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak dalam penulisan skripsi ini dan semoga skripsi ini akan dapat bermanfaat bagi para pembaca. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 10 Februari 2012 Penulis


(4)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan dalam penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Cara hakim dalam membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana yakni berdasarkan keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, selain itu hakim dalam membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk juga berdasarkan pada hal-hal lain yang terungkap dipersidangan antara lain keterangan ahli, keterangan olah tempat kejadian perkara dan barang bukti untuk menambah keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan. Dalam membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk maka harus mempunyai nilai pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti lain dan dalam mendapatkan alat bukti petunjuk serta sumbernya harus kumulatif. Ketentuan tersebut harus memenuhi asas minimum pembuktian. Jadi petunjuk harus diperoleh minimal dari 2 alat bukti tersebut yang saling bersesuaian.

2. Kelemahan-kelemahan alat bukti petunjuk dalam rangka pembuktian perkara pidana antara lain penerapan alat bukti petunjuk oleh hakim hanya terbatas pada Pasal 188 Ayat (2) KUHAP saja, sehingga masih belum kuat dalam


(5)

54

mendapatkan kebenaran materiil, selain itu alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri seperti alat-alat bukti yang lainnya dan kekuatan pembuktiannya yang bersifat assesoir (pelengkap) sehingga penggunaan alat bukti petunjuk masih perlu didukung dengan alat bukti yang lain dalam mendapatkan kebenaran materiil.

B. Saran

Setelah penulis melakukan penelitian dan mengetahui hasil penelitian maka penulis mengajukan saran sebagai berikut:

1. Hakim dalam membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana sebaiknya tetap berpedoman pada KUHAP dan alat bukti yang lain dalam mendapatkan kebenaran materil karena dalam praktik yang terjadi sekarang ini hakim lebih mengutamakan subjektifitasnya dalam mempertimbangkan, membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk yakni berdasarkan kesimpulannya sendiri, hal ini tentunya dapat merugikan salah satu pihak dalam proses perkara pidana.

2. Perlu adanya persamaan persepsi antara aparatur penegak hukum khususnya hakim sehinggga tidak ada perbedaan dalam memperoleh, mempertimbangkan, membuktikan atau menyimpulkan alat bukti petunjuk dalam mendapatkan kebenaran materil sehingga dapat mewujudkan cita hukum yakni kepastian hukum, kemnfaatan dan keadilan hukum secara hakiki. 3. Sebaiknya alat bukti petunjuk tidak dihapus dalam rancangan KUHAP karena dengan adanya alat bukti petunjuk ini dapat mempermudah hakim dalam memutus suau perkara.


(6)

55

4. Dalam rancangan KUHAP sebaiknya cara menerapkan alat bukti petunjuk tidak hanya terbatas pada Pasal 188 ayat (2) KUHAP sehingga tidak membatasi hakim dalam memperoleh kebenaran materiil untuk memutus suatu perkara.

5. Sebaiknya hakim dalam menerapkan alat bukti petunjuk tidak berdasarkan pendapatnya sendiri karena dapat merugikan salah satu pihak.