Analisis Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

(1)

ANALISIS KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE

DALAM UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

O L E H : RAHMAENI ZEBUA

NIM : 100200155

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2014


(2)

ANALISIS KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM

PERADILAN PIDANA ANAK

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

SKRIPSI

OLEH :

RAHMAENI ZEBUA NIM : 100200155

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh,

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, SH., MH NIP : 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Suwarto, SH.,MH Dr. Marlina, SH., MHum NIP : 195605051989031001 NIP : 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan sembah hanya bagi Allah pencipta kehidupanku, karena kasih dan rahmat-Mu saya dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini dengan rendah hati, saya mempersembahkan skripsi yang berjudul, “Analisis Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak” kepada dunia pendidikan untuk memperluas pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan hukum.

Pada kesempatan ini juga saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan yang tulus kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(4)

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI., selaku Dosen Penasehat Akademik selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Bapak Prof. Dr. Suwarto, S.H., M.H.,selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dr, Marlina, S.H., M.Hum., selau Dosen Pembimbing II atas kesedian waktu dan tenaga dalam member bimbingan terhadap pengerjaan skripsi ini;

9. Seluruh Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 10. Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 11. Kedua orangtua terkasih dan seluruh keluarga yang bersama-sama berjuang

untuk melengkapi segala kekurangan dalam pengerjaan skripsi ini;

12. Kepada teman-teman seperjuangan stambuk 2010 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai kekurangan dan kelemahan untuk itu kritik dan saran membangun akan selalu diterima. semoga skripsi ini dapat bermanfaat terutama bagi penghargaan anak yang masih sering terabaikan haknya dalam sistem peradilan pidana anak.

Medan, April 2014 Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

ABSTRAKSI ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penulisan ... 9

D. Manfaat Penulisan ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 11

F. Tinjauan kepustakaan 1. Anak a. Pengertian dan Batasan Usia Anak ... 13

b. Pengertian Anak yang Berkonflik Dengan Hukum ... 19

2. Pengertian Diversi dan Restorative Justice ... 23

3. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Anak ... 25

G. Metode Penelitian ... 29

H. Sistematika Penulisan ... 32

BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA ANAK


(6)

1. Sejarah Diversi dan Perkembangannya Di Beberapa Negara ... 35 2. Sejarah Restorative Justice dan Perkembangannya Di Beberapa

Negara... 41 B. Prinsip dan Tujuan Diversi dan Restorative Justice

1. Prinsip dan Tujuan Diversi ... 49 2. Prinsip dan Tujuan Restorative Justice ... 51 C. Pengaturan Diversi dan Restorative Justice Dalam Instrument Hukum

Internasional dan Nasional

1. Instrument Hukum Internasional mengenai Diversi dan Restorative Justice ... 55 2. Instrument Hukum Nasional mengenai Diversi dan Restorative Justice ... 60

BAB III PENERAPAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE

JUSTICE DALAM UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012

TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

A. Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice oleh Legislator Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ... 71 B. Pihak-Pihak Yang Terlibat dalam Sistem Peradilan Pidana Anak ... 80 C. Proses Peradilan Pidana Anak Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

1. Tahap Penyidikan ... 94 2. Tahap Penuntutan ... 97


(7)

3. Tahap Pemeriksaan di Pengadilan ... 98

BAB IV KELEMAHAN PENGATURAN DIVERSI DAN RESTORATIVE

JUSTICE DALAM UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTM PERADILAN PIDANA ANAK

A. Perbedaan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak ... 101 B. Kelemahan Pengaturan Diversi dan Restorative Justice ... 105

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 112 B. Saran ... 113


(8)

DAFTAR SKEMA

Skema 1 ... 96

Skema 2 ... 98


(9)

ABSTRAKSI

Rahmaeni Zebua* Prof. Dr. Suwarto, SH., MH**

Dr. Marlina, SH., MHum.***

Anak adalah generasi penerus bangsa yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu Negara. Perlindungan secara khusus harus diberikan terhadap anak termasuk juga terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Dewasa ini kejahatan yang dilakukan oleh anak mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sehingga seringkali menyerupai tindak pidana orang dewasa. Proses peradilan terhadap anak sering kali menimbulkan stigmatisasi dan efek buruk terhadap diri anak, salah satu kelemahannya dikarenakan peraturan perundang-undangan tidak mencegah anak secara dini masuk ke dalam peradilan formal. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah peraturan khusus mengatur hukum acara peradilan anak yang menghadirkan konsep diversi dan restorative justice sebagai bentuk penyelesaian perkara anak. Diversi dan restorative justice bertujuan untuk menghindarkan anak dari sistem retributif yang selama ini dianut serta memberikan pemulihan terhadap anak dan akibat yang dilakukannya. Berdasarkan pokok pemikiran di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana sejarah perkembangan konsep diversi dan restorative justice dalam menyelesaikan perkara anak dan bagaimanakah penerapannya dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta apakah yang menjadi kelemahan pengaturan konsep tersebut.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu menitikberatkan pada data sekunder yaitu dengan memaparkan tentang peraturan yang berlaku dalam mengatur konsep diversi dan restorative justice dalam menyelesaikan perkara anak yang berkonflik dengan hukum. Analisis data yang digunakan adalah metode analitis kualitatif.

Sejarah perkembangan konsep diversi dan restorative justice dalam menyelesaikan perkara anak telah dipraktekan diberbagai Negara. Diversi dan restorative justice merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan di setiap lini proses peradilan anak dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait. Undang-Undang ini merupakan suatu kemajuan dalam pembaharuan hukum terhadap anak. namun tidak dapat dipungkiri bahwa undang-undang ini masih terdapat kelemahan terutama dalam pengaturan konsep diversi dan restorative justice.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan * Dosen Pembimbing I


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu ciri-ciri yang dinyatakan secara tegas oleh Julius Stahl adalah negara hukum mengakui adanya suatu pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia.1

Indonesia sebagai Negara hukum memiliki salah satu dari peraturan perundang-undangan tersebut dikenal dengan adanya suatu sistem pemidanaan (the sentencing system) yang merupakan aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan.

Negara hukum yang mengakui hak-hak asasi manusia tersebut tidak akan pernah tercapai tanpa adanya peraturan perundang-undangan yang jelas dan tegas serta berkeadilan untuk mengatur kehidupan berbangsa bernegara sesuai dengan Falsafah Bangsa Pancasila.

2

Hukum pidana haruslah diakui sebagai suatu hukum sanksi istimewa, hukum pidana dapat membatasi kemerdekaan manusia dengan menjatuhkan hukuman penjara atau hukuman badan, bahkan menghabiskan hidup manusia. Hukum pidana memuat sanksi atas pelanggaran kaidah hukum yang jauh lebih keras dari akibat sanksi-sanksi yang diatur dalam hukum lain.3

1

Dahlan Thaib,dkk., 2010, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta, Rajawali Press, hlm. 2

2

Nandang Sambas,2010., Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia,

Yogyakarta, Graha Ilmu, hlm. 1 3


(11)

Pidana sendiri merupakan suatu pranata sosial kontrol yang dikaitkan dengan dan selalu mencerminkan nilai dan struktur masyarakat, sehingga merupakan suatu refarmasi simbolis atau pelanggaran terhadap “hati nurani bersama” atau collective conscience. Hukum pidana yang merupakan the punitive style of social control dan sebagai produk politik, sudah seharusnya merupakan sublimasi dari semua nilai masyarakat yang dirangkum dan dirumuskan serta diterapkan oleh aparat dalam sistem peradilan pidana.4

M.Sholehuddin menyebutkan 3 (tiga) prespektif filsafat tentang pemidanaan yaitu :5

1. Perspektif eksistensialisme tentang pemidanaan. Penganut paham ini berpendapat bahwa eksistensi individu ditandai dengan adanya kebebasan. Salah satu tokoh penganut paham ini adalah Albert Camus yang mengatakan bahwa kebebasan mutlak itu tidak pernah ada, kebebasan dalam pelaksanaannya harus selalu dikaitkanan memperhatikan kebebasan individu. Hukum pidana merupakan sarana untuk memelihara dan meningkatkan kebebasan individu dalam masyarakat. Hak untuk menjaga dan memelihara kebebasan itu diserahkan kepada Negara untuk memidana.

2. Perspektif sosialisme dalam pemidanaan. Menurut paham ini berpangkal tolak dari kepentingan Negara dibandingkan individu. Paham ini digunakan oleh Negara Soviet yang mana hukum pidana soviet menetapkan kepentingan Negara dan ideologi sebagai dasar kewenangan untuk memidana, pandangan ini menekankan aspek Negara dibandingkan individu warganya.

3. Perspektif ditinjau dari prespektif Pancasila. Negara Indonesia menganut paham ini, Falsafah Indonesia adalah Pancasila yang menuntut keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat dan Negara. Tanggungjawab pemidanaan tidak dapat dibedakan serta merta kepada pelaku kejahatan karena pada dasarnya kejahatan itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari realitas kehidupan suatu masyarakat. Menurut paham ini, pemidanaan atau hukum pidana di Indonesia harus berorientasi kepada kepentingan

4

Ibid., hlm. 4

5


(12)

individu (pelaku kejahatan) dan kepentingan masyarakat termasuk korban kejahatan.

Hadirnya berbagai peraturan perundang-undangan dalam hukum pidana yang dimulai dengan lahirnya warisan Belanda Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981), serta peraturan perundang-undangan khusus lainnya yang sudah mulai dirancang kembali berprespektifkan kepada falsafah bangsa yaitu Pancasila. Tidak hanya sampai disitu saja, bahkan sistem pidana di Indonesia pun mulai dikembangkan kembali untuk sesuai dengan cita-cita dasar Negara serta ideologi bangsa.

Pemidanaan tidak lagi hanya berangkat pada pemikiran pembalasan kepada pelaku kejahatan atau pencegahan supaya melindungi masyarakat tetapi telah meluas hingga kepada suatu sistem pidana yang terpadu yang menyatukan berbagai sendi penegak hukum dalam melaksanakan sistem tersebut sesuai dengan yang dicita-citakan. Tanggung jawab sistem pidana sudah harus dimulai sejak dilakukannya pencegahan terhadap dilakukannya kejahatan, terciptanya kejahatan oleh pelaku kejahatan, dan tahapan-tahapan lainnya hingga kepada berintegrasinya kembali pelaku kejahatan sebagai manusia yang seutuhnya di dalam masyarakat serta kuatnya peran penegak hukum dalamnya.

Dewasa ini, sistem pemidanaan sedang serius-seriusnya mengatur mengenai perlindungan hukum pidana terhadap anak yang apabila anak sebagai


(13)

pelaku tindak pidana maka pengenaan pelaksanaan pemidanaan kepadanya tentu tidak dapat disamakan dengan orang dewasa sebagai pelaku kejahatan6

Pembicaraan terhadap anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang masa sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan Anak di Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun manusia Indonesia yang seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur secara materiil spritiual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

.

7

Menurut Hadi Supeno, di dalam bukunya Kriminalisasi Anak menyatakan bahwa secara umum dalam rentang sejarah kehidupan manusia ada dua jenis nilai anak yang dominan dalam masyarakat kita yaitu anak sebagai nilai sejarah dan anak sebagai nilai ekonomi. Anak sebagai nilai sejarah yang pada perspektif ini anak semata-mata sebagai objek untuk melampiaskan keinginan orangtuanya, anak sejak awal dikondisikan untuk menjadi apa yang sesuai dengan keinginaan orangtuanya, yang mengakibatkan dia kehilangan hak pengasuhan wajar yang berpotensi terjadinya praktik kekerasan dan diskriminasi. Anak di anggap sebagai nilai ekonomi karena dari anak-anak akan membantu menyangga kehidupan

6

Nandang Sambas, Op.Cit.,hlm 25. 7

Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.1


(14)

ekonomi keluarga sehingga memungkinkan besar terjadinya kehidupan sosial yang buruk8

Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat perlu adanya penjaminan hukum bagi anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak. Kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek yang pertama, berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak dan aspek kedua menyangkut menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut

.

9

Anak yang melakukan tindak pidana disebut sebagai anak yang berkonflik dengan hukum dalam UU No. 11 Tahun 2012 pada Pasal 1 angka 3, yaitu anak anak yang berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun. Tindak pidana yang dilakukan anak dianggap sudah tidak biasa lagi, karena tindak pidana tersebut seringkali sama dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa seperti pencurian, pemerkosaan, pembunuhan dan lainnya, namun bukan berarti dapat . Perlindungan khusus terhadap anak yang melakukan tindak pidana juga perlu dimuat dalam peraturan perundangan-undangan khusus yang mengatur penyelesaian perkara anak.

8

Hadi Supeno, 2010, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak

Tanpa Pemidanaan, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 21

9


(15)

disamakannya proses peradilan sesuai dengan orang dewasa. Hal ini menjadi tolak ukur mendasar terhadap sistem peradilan formal di Indonesia untuk memberikan ruang yang berbeda dalam perlindungan terhadap anak serta akibat yang ditimbulkan olehnya.

Kebijakan peraturan perundang-undangan mengenai anak sendiri dimulai dari konvensi-konvensi internasional hingga kepada peraturan perundang-undangan nasional yang ada di Indonesia. Perlindungan untuk anak berupa peraturan perundang-undangan nasional dapat dilihat dari lahirnya Pasal 330 BW yang memberikan batasan orang belum dewasa, pasal 45, 46, 47, 72 KUHP, Pasal 153 secara eksplisit disebutkan oleh KUHAP, UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 12 tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Ratifikasi Konvensi Hak Anak dalam Kepres no. 36 tahun 1990 dan peraturan pelaksana lainnya. Peraturan perundang-undangan di atas masih belum mumpuni dalam menyelesaikan penanganan anak salah satu kelemahannya adalah tidak adanya pengaturan secara tegas terhadap kewajiban aparat penegak hukum mencegah anak secara dini masuk ke dalam peradilan formal.

Pada rentang bulan Januari hingga Mei 2011 tercatat 4.325 tahanan anak dan 84,2% diantaranya berada pada lembaga pemenjaraan orang dewasa.10

10

http//:www.smslap.ditjenpas.go.id/public/current/monthly yang diakses pada tanggal 25 Februari 2014 Pkl. 21.30 WIB


(16)

satu sebabnya adalah kultur kerja aparat penegak hukum belum mengacu pada prespektif hak asasi manusia, selalu mendahulukan pendekatan kekerasan dan penyiksaan dalam menggali informasi dan pengakuan pada proses penyidikan.11

Restorative Justice merupakan proses penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak yang berkepentingan dengan tindak pidan yang terjadi dimulai dari korban, pelaku, keluarga pelaku & korban, masyarakat dan aparat penegak Lahirnya UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberi warna yang berbeda terkait dengan perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia. Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini menghadirkan konsep diversi dan restorative justice yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap pelaku kejahatan, korban dan masyarakat pada umumnya sebagai sebuah bentuk penyelesaian perkara.

Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya adalah pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana.

11


(17)

hukum atau unsur lain yang dianggap penting di dalamnya untuk terlibat menyelesaikan konflik (Pasal 1 angka 6 UU No. 11 Tahun). Restorative justice merupakan proses diversi yang bertujuan untuk pemulihan bukan untuk pembalasan, namun sistem retributif masih sangat kental digunakan oleh aparat penegak hukum. Kedua konsep ini dalam UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak patut diutamakan dalam peradilan anak sebagai penyelesaian perkara sebelum anak masuk ke dalam peradian formal.

Kehadiran UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menggantikan posisi UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merupakan inisiatif dari pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih baik lagi sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat dan khususnya kepada anak. Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini disahkan pada tanggal 30 Juli 2012 dan dilaksanakan 2 tahun setelah di undangkan artinya tahun 2014 merupakan permulaan lahirnya sistem peradilan pidana anak yang dimaksudkan. Menjadi sebuah tugas besar yang diemban oleh legislator dalam menuangkan ide diversi dan restorative justice di tengah-tengah sistem peradilan pidana yang masih saja menganut sistem retributif. Pertanyaan yang timbul dengan dihadirkannya suatu undang-undang sistem peradilan pidana dan menggantikan undang-undang pengadilan anak yang lama yang menghadirkan konsep diversi dan restorative justice adalah apakah sistem restributif yang selama ini melekat di dalam peradilan Indonesia dapat tererus begitu saja dengan lahirnya konsep diversi dan restorative justice? Bagaimanakah ide legislator dalam mengembangkan konsep diversi dan


(18)

restorative justice di dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak? serta bagaimana implementasinya dalam setiap tahapan sistem peradilan anak di Indonesia?.

Berdasarkan uraian di atas, maka saya mengajukan judul “ANALISIS KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM UNDANG-UNDANG 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK”, yang selanjutnya akan dibahas pada bab-bab selanjutnya pada skripsi ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka adapun yang menjadi permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah, sebagai berikut :

1. Bagaimanakah sejarah perkembangan konsep diversi dan restorative justice dalam menyelesaikan perkara anak?

2. Bagaimanakah penerapan konsep diversi dan restorative justice dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak? 3. Apakah kelemahan pengaturan yang terdapat pada UU No. 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini, adalah :


(19)

1. Untuk mengetahui perkembangan konsep diversi dan restorative justice dalam menyelesaikan perkara anak di beberapa negara termasuk Indonesia serta mengkaji instrument hukum baik internasional dan nasional mengenai kedua konsep ini.

2. Untuk mengetahui landasan pengembangan konsep diversi dan restorative justice dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak oleh legislator serta penerapannya di setiap tahapan peradilan anak.

3. Untuk mengetahui kelemahan pengaturan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan mempengaruhi diterapkannya konsep diversi dan restorative justice.

D.Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangsih besar untuk perkembangan ilmu pengetahuan seluas-luasnya secara umum serta membantu dalam mengembangkan ilmu hukum pidana khususnya. Terlebih lagi menambah informasi terhadap pemikiran yang berkonsentrasi dalam perlindungan hukum kepada anak di Indonesia. Skripsi ini juga diharapkan mampu memenuhi pengetahuan para pihak yang ingin atau pun sedang mendalami pengetahuan mengenai sistem


(20)

peradilan pidana anak antara lain oleh mahasiswa, akademisi maupun masyarakat luas.

2. Manfaat Praktis

Memberikan informasi dan tambahan masukan serta konstribusi pemikiran kepada aparat penegak hukum, yaitu hakim, jaksa, advokat, polisi dan institusi lainnya yang terkait dan juga kepada masyarakat luas dalam mengikutsertakan perannya terhadap pengembangan konsep diversi dan restorative justice.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan surat tertanggal 10 Januari 2012 (terlampir) dari Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara menyatakan ada 3 (tiga) judul yang memiliki sedikit kesamaan. Adapun judul skripsi tersebut adalah :

1. Implimentasi peranan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam sistem peradilan pidana anak (studi kasusu Balai Pemasyarakatan kelas I Medan) yang ditulis oleh An Piter Daniel (020200164).

2. Peranan Hakim anak dalam penjatuhan putusan atas perkara pidana anak (studi di Pengadilan Negeri Medan dan Lembaga Pemasyaakatan Kelas II A anak Tanjung Gusta Medan) yang ditulis oleh Amelia P.L Tobing (050200158).


(21)

3. Perlindungan Hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang ditulis oleh Erikson P. Sibarani (090200165).

Surat dari Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tersebut kemudian dijadikan dasar bagi Bapak Dr. M.Hamdan, SH.,MH (Ketua Departemen Hukum Pidana) untuk menerima judul yang diajukan oleh penulis.

Penulisan skripsi ini juga telah menelusuri judul karya ilmiah melalui media cetak dan elektronik, belum ditemukan penulis lain yang memiliki judul yang sama. Sekalipun ada, hal tersebut merupakan di luar sepengetahuan penulis dan substansinya pasti berbeda karena murni merupakan hasil pemikiran penulis yang didasarkan dari penelusuran dari referensi media cetak maupun media elektronik, sehingga dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan

Sebelum masuk kepada pembahasan mendalam mengenai konsep diversi dan restorative justice di dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka ada pun yang menjadi tinjauan kepustakaan skripsi ini yang berkisar tentang antara lain :


(22)

1. Anak

a. Pengertian dan Batasan Usia anak

Banyak peraturan perundang-undangan yang memberikan batasan pengertian mengenai anak itu sendiri di Indonesia. Batasan tentang anak sangat urgent dilakukan untuk melaksanakan kegiatan perlindungan anak dengan benar dan terarah, semata-mata untuk mempersiapkan generasi mendatang yang tangguh dan dapat menghadapi segala tantangan dunia. Pengertian anak sendiri tidak pernah terlepas dari batasan usianya untuk membedakannya terhadap orang dewasa, perbuatan serta akibat yang ditimbulkan olehnya atau pun untuk memberikan perlindungan serta sanksi kepadanya. Pengaturan tentang batasan pengertian dan usia ank itu sendiri dapat diperhatikan melalui peraturan perundang-undangan berikut :

1) Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum perdata

Pasal ini menyatakan bahwa, belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Anak dalam hal ini dimaksudkan sebagai seseorang yang belum dewasa dan tidak kawin, apabila dalam kenyataan ternyata telah kawin sebelum umur yang dimaksudkan di atas maka dianggap telah dewasa.

2) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Pengertian mengenai anak dalam undang-undang ini adalah pengertian mengenai anak sah merupakan anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (1) menyatakan


(23)

bahwa, anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

3) Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-undang ini tidak memberikan penjelasan secara eksplisit mengatur tentang batasan pengertian anak namun dalam pasal 153 ayat (5) memberi wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun untuk menghadiri sidang.

4) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang ini menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Akan tetapi walaupun seseorang belum genap berusia 21 tahun namun apabila ia sudah kawin maka dia tidak lagi berstatus anak, melainkan orang yang sudah dewasa.

5) Undang-undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pemasyarakatan, membagi anak dalam hal berikut :

a) Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama hingga berumur 18 (delapan belas) tahun;

b) Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

c) Anak Sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.


(24)

Pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila dalam hal tersebut demi kepentingannya.

7) Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan. 8) Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak

Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah

Menurut ketentuan ini, anak adalah sesorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

9) Hukum Adat dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia

Batasan umur untuk disebut anak bersifat pluralistik dalam hukum adat di Indonesia. Kriteria tersebut untuk menyebut bahwa seseoang tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Menurut hukum adat R. Soepomo menyebutkan ciri-ciri kedewasaan sebagai berikut :12

1. Dapat bekerja sendiri;

2. Cakap dan bertanggung jawab dalam masyarakat; 3. Dapat mengurus harta kekayaan sendri;

4. Telah menikah;

12

Maulana Hasan Wadong, 2000, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta, Gramedia Wirasarana Indonesia, hlm. 26


(25)

5. Berusia 21 tahun.

Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung yang berorientasi pada hukum adat di Bali menyebutkan batasan umur anak adalah di bawah 25 (lima belas) tahun seperti putusan MARI No : 53 K/Sip/1952 tanggal 1 juni 1955 dalam perkara antara I Wayan Ruma melawan Ni Ktut Kartini.

10) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

KUHP tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain pada pasal :

Pasal 45 berbunyi :13

11) Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

“ jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orangtuanya, walinya, atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman.”

Pasal 1 disebutkan bahwa pengertian anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Anak dibatasi umur antara 8 (delapan) tahun sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

12) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

13

Dengan berlakunya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 45, 46, 47 KUHP dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.


(26)

Undang-undang ini memberikan pengertian anak sesuai dengan kedudukan anak di dalam tindak pidana yang terjadi, antara lain :

1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

2. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

3. Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Batasan usia seseorang dikategorikan sebagai anak dapat dilihat dari tingkatan usia pada gambaran berikut ini, dimana di berbagai Negara di dunia tidak ada keseragaman tentang batasan umur seseorang dikategorikan sebagai anak, seperti :14

1. Di Amerika Serikat, 27 negara bagian menentukan batas usia antara 8-18 tahun, sementara 6 negara bagian lain menentukan batas umur antara 8-17 tahun, sementara ada pula Negara bagian lain menentukan batas umur antara 8-16 tahun;

2. Di Inggris, ditentukan batas umur antara 12-16 tahun;

3. Di Australia, kebanyakan Negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun;

4. Di Belanda, menentukan batas umur 12- 18 tahun;

14


(27)

5. Di Srilangka, menentukan batas umur antara 16-18 tahun; 6. Di Iran, menentukan batas umur antara 6-18 tahun;

7. Di Jepang dan Korea menentukan batas umur antara 14-20 tahun; 8. Di Taiwan, menentukan batas umur antara 14-18 tahun;

9. Di kamboja, menentukan batas umur antara 15-18 tahun;

10. Di Negara-negara ASEAN lain, antara lain : Filipina (7-16 tahun); Malaysia (7-18 tahun); Singapura (7-18 tahun).

Batasan usia juga dapat dilihat pada dokumen-dokumen Internasional seperti :15

1) Task Force on Juvenile Deliquency Prevention, menentukan bahwa seyogyannya batas usia penentuan seseoarang dikategorikan sebagai anak dalam konteks pertanggungjawaban pidananya ditetapkan usia terendah 10 tahun dan batas antara 16-18 tahun;

2) Resolusi PBB 40/33 tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules) menetapkan batasan anak yaitu seseorang yang berusia 7-19 tahun.

3) Resolusi PBB 45/113 hanya menentukan batas atas 18 tahun, artinya anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.

Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut itu bisa disimpulkan bahwa bahwa terdapat perbedaan perumusan batas usia anak dapat kita perhatikan bahwa anak dirumuskan sebagai berikut :

a) Mereka yang belum berumur 18;

b) Mereka yang belum berumur 18 dan belum pernah kawin; c) Mereka yang belum berumur 21 tahun;

d) Mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin; e) Mereka yang belum berusia 18 tahun termasuk anak dalam kandungan.

15


(28)

Perbedaan penentuan batas umur anak ini akan membingungkan para pihak baik orang tua, pemerintah aparat penegak hukum serta aktivis hak anak dalam memenuhi hak anak. Baik ketika anak berada pada posisi sebagai korban pelangaran HAM maupun pelaku tindak pidana. Berbagai pengertian yang dimaksudkan dari variasi peraturan perundang-undangan maka dengan lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberi patokan tersediri terhadap pengertian dan batasan usia anak.

Usia 12 tahun sebagai batasan minimum dalam kaitan pertanggungjawaban pidana akan lebih mengena karena batas usia tersebut si anak suadah lebih mengerti dan memahami konsekuensi dari tindakan-tindakan yang telah dilakukannya16

b. Pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum

.

Seorang anak secara hakiki tidak dapat dilepaskan terhadap pengertian bahwa anak merupakan amanah dari Tuhan yang harus dirawat, diasuh, dan dididik sesuai potensi yang dimiliki. Pandangan yang lebih religius ini melihat anak bukan sekedar keturunan biologis dari seseorang tetapi titipan Tuhan yang harus dijaga keberadaannya dan kelangsungan hidupnya.

Berbicara mengenai anak sangatlah penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin hidup. bangsa pada masa mendatang.

Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke-19, anak dijadikan sebagai obyek yang dipelajari secara ilmiah. Pelopornya

16


(29)

adalah Wilhem Preyer dalam bukunya Die Seele Des Kindes (Jiwa Anak), pada tahun 1882, kemudian disusul oleh berbagai ahli yang meneliti anak dan menulis phsikologi anak, antara lain William Stern menulis buku Phsyicologie Der Fruhen Kindheit (Phsikologi Anak pada Usia sangat Muda), dan demikian pula para penulis lainnya.17

Melalui uraian tersebut sudah dapat diperhatikan sejak dahulu para tokoh pendidikan dan ahli sudah memperhatikan perkembangan kejiwaaan anak, karena anak adalah pribadi yang tidak sama dengan orang dewasa. Anak memiliki sistem kanak-kanak yang menampilkan martabat anak sendiri dan kriteria norma sendiri, sebab sejak lahir anak sudah memperlihatkan ciri-ciri dan tingkah laku karakterisitik yang mandiri, memiliki kepribadian yang khas dan unik. Hal ini disebabkan oleh karena taraf perkembangan anak itu memang selalu berlainan dengan sifat-sifatnya dan ciri-cirinya, dimulai pada usia bayi dan remaja, dewasa dan usia lanjut, akan berlainan phsikis maupun jasmaninya.18

Kenakalan anak diambil dari istilah Juvenile delinquency, yang secara harafiah dapat diartikan juvenile berarti anak-anak, muda, ciri atau karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja; sedangkan delinquency berarti wrong doing, terabaikan atau diabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat rebut, pengacau, penerorm tidak dapat diperbaiki lagi, dan lain-lain.19

17

Wagiati Soetodjo, 2008, Hukum Pidana Anak, Bandung, PT.Refika Utama, hlm. 5 18

Ibid., hlm. 6

19

Kartini Kartono, 1998, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Jakarta, PT. Raja Grafindo Grafika, hlm. 6


(30)

Istilah kenakalan anak ini pertama kali ditampilkan oleh Badan Peradilan Anak di Amerika Serikat dalam rangka membentuk suatu Undang-Undang Peradilan bagi anak di negara tersebut. Pembahasannya ada kelompok yang menekankan segi pelanggaran hukumnya, ada pula kelompok yang menekankan pada sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yan berlaku atau belum melanggar hukum. Pada dasarnya pengertian semua sepakat bahwa kenakalan anak adalah perbuatan atau tingkah laku yang bersifat anti sosial.20

Paul Moedikno memberikan perumusan, mengenai pengertian Juvenile delinquency yaitu sebagai berikut :

Terdapat juga suatu pengertian oleh para sarjana yang memberikan ruang dalam pengertian kenakalan anak, yang dapat diuraikan dibawah ini.

21

a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilaranag oleh hukum pidana seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan lainnya.

b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat.

c. Semua perbuatan yang menunjukan kebutuhan perlindungan bagi sosial termasuk gelandangan, pengemis dan lainnya.

Menurut Kartini Kartono yang dimaksud dengan Juvenile delinquency adalah perilaku dursila atau jahat, atau kejahatan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (aptologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.22

20

Wagiati Soetodjo, Op.Cit., hlm. 5

21

Ibid., hlm. 10

22


(31)

Pendapat sarjanawan yang lain dapat kita lihat dari pendapat Romli Atmasasmita memberikan pula perumusan mengenai Juvenile delinquency yaitu setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang dibawah umur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.23

a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau

Pengertian Undang-Undang Pengadilan Anak yang lama pada Pasal 1 butir 2 yang dimaksud dengan anak nakal adalah :

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lainnya yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dikatakan sebagai kenakalan anak dianggap lebih baik daripada istilah “kejahatan anak” yang dipandang terlalu ekstrim seorang anak melakukan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat sementara kejadiannya adalah proses alami yang tidak boleh tidak setiap manusia harus mengalami kegoncangan semasa menjelang kedewasaannya.

Lahirnya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menggantikan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga ikut menggantikan istilah “anak nakal” tersebut dengan “anak yang berkonflik dengan hukum”. Anak yang berhadapan dengan hukum pengertiannya terbagi atas 3 (tiga) yang salah satunya adalah anak yang berkonflik dengan hukum yang merupakan

23


(32)

pelaku tindak pidana. Menurut Widodo, penggunaan istilah Anak untuk menggantikan Anak Nakal tersebut hanya sebagai penghalusan bahasa (eufisme) agar tidak memberikan efek negatif. Penggunaan istilah Anak dalam prespektif labeling memang bisa dipahami untuk menggantikan istilah Anak Nakal, karena jika disebut dengan anak nakal, anak pidana, anak Negara, anak sipil maka akan selalu memberikan stigma negatif yang secara kriminologis akan mendorong pengulangan tindak pidana pada anak yang terlanjur mendapat label.24

2. Pengertian Diversi dan Restoratif Justice a. Diversi.

Definisi menurut Jack E. Byum dalam bukunya Juvenille Deliquency a Sociological Approach, yaitu : Diversion is an attempt to divert, or channel out, youthfull offenders from the juvenile justice sistem (diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan dan menempatkan pelaku tindak pidana anak dari sistem peradilan pidana.25

Konsep diversi dalam Black Law Dictionary yang diterjemahkan sebagai Divertion Programme, yaitu :26

“a programme that refers certain criminal defenfants before trial to community programs on job training, education, and the like, which if

24

Sri Sutatiek, 2012, Rekonstruksi Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Anak di

Indonesia, Yogyakarta, Aswaja Pressindo, hlm. 3

25

Marlina,2010, Pengantar Konsep Diversi dan Restoratif Justice dalam Hukum Pidana,

USU Press, Medan, hlm. 10

26

Johanes Gea, “Diversi sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Terbaik Kasus Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum”, (Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Unversitas Indonesia,

Depok, 2011), hlm. 73, di akses dari


(33)

successfully completed may lead to the dismissal of the charges.” (program yang ditunjukan kepada seseorang tersangka, sebelum proses persidangan berupa community programme seperti pelatihan kerja, pendidikan dan semacamnya, dimana jika program ini berhasil memungkinkan dia untuk tidak melanjutkan proses peradilan pidana selanjutnya).

Menurut United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenille Justice (The Beijing Rules) pada butir 6 dan 11 terkandung pengertian mengenai diversi yaitu suatu proses pelimpahan anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke proses informal seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat baik pemerintah atau non pemerintah.27

b. Restoratif Justice

Berdasarkan pengertian dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian diversi diamanatkan melalui Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasal 1 angka 7, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Ahli kiminologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam tulisannya mengemukakan bahwa definisi restorative justice adalah restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offences and its implications for the future (restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentinan dalam pelanggaran tertentu bertemu secara

27


(34)

sama untuk menyelesaikan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan).28

Umbreit menjelaskan bahwa restorative justice is a victim ceterd response to crime that allows victim, the offender, their familys, and representatives of the community to address the harm caused by the crime (keadilan restoratif adalah sebuah tanggapan terhadap tindak pidana yang berpusatkan kepada korban yang mengizinkan korban, pelaku tindak pidana, keluarga-keluarga mereka, dan para perwakilan dari masyarakat untuk menangani kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana.29

3. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 restorative justice atau keadilan restoratif penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Istilah criminal justice system atau sistem peradilan pidana menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar “pendekatan sistem”. Menurut Remington dan Ohlin sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme

28

Barry Goldson & John Muncie, 2006, Youth Crime and Justice: Critical Issue,

California, SAGE Publications Ltd, hlm 110. 29

Rufinus Hotmaulana Hutauruk, 2013, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui


(35)

administrasi peradilan pidana. 30 Sebagai suatu sistem peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian mengenai sistem ini sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.31

Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana memiki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan sistem peradilan pidana lainnya. Pertama, ia merupakan suatu sistem yang terbuka (open system), dalam pengertian sistem pidana dalam gerakannya akan selalu mengalami interfance (interaksi, berkoneksi dan independensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat yaitu ekonomi, politik, pendidikan, dan teknologiserta sub-sub sistem dalam peradilan pidana itu sendiri. Kedua, tujuan yang memiliki tujuan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Tujuan sistem peradilan pidana pada jangka pendek adalah diharapkan pelaku menjadi sadar akan perbuatannya sehingga tidak melakukan kejahatan lagi. Tujuan jangka menengah adalah terwujudnya suasana tertib, aman dan damai di dalam masyarakat sedangkan tujuan jangka panjang adalah terciptanya tigkat kesejahteraan yang menyeluruh di kalangan masyarakat. Ketiga, transformasi nilai dalam arti sistem peradilan dalam operasi kerjanya pada setiap komponen-komponennya harus menyertakan dan memperjuangkan nilai-nilai dalam setiap tindakan dan kebijakan yang dilakukan.

30

Anthon Freddy Susanto, 2004, Wajah Peradilan Kita (Konstruksi Sosial tentang

Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, PT. Refika Aditama,

Bandung, hlm. 74 31


(36)

Keempat adanya, mekanisme kontrol yaitu menjalankan pengawasan sebagai respon terhadap penanggulangan kejahatan.32

Mardjono mengemukakan empat komponen sistem peradilan pidana yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu sistem peradilan pidana yang terpadu.33

a. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak

Keempat komponen ini pun sangatlah penting di dalam sistem peradilan pidana anak secara khususnya.

Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah dari The Juvenille Justice Sistem yaitu istilah yang digunakan sedefinisi dengan sejmlah institusi yang tergabung di dalam pengadilan, yaitu meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak dan fasilitas-fasilitas penahanan anak.34

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menggunakan terminologi “pengadilan” daripada “peradilan” sebagaimana lazimnya digunakan oleh undang-undang. Penggunaan terminologi “pengadilan anak” memang lebih tepat daripada peradilan anak sebab di dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa ada 4 (empat) lingkungan peradilan yaitu,

32

Mahrus Ali, 2013, Membumikan Hukum Progresif, Aswaja Presindo, Yogyakarta, hlm.32

33

Ibid.

34


(37)

peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha Negara dan peradilan militer.35

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menggunakan terminologi “Peradilan Anak”, tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) UUD RI tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi.36

b. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak

Penjelasan UU sistem peradilan pidana anak, Peradilan anak merupakan bagian dari lingkungan peradilan umum, sehingga batasan pengertian yang termaktub di dalam Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

Tujuan sistem peradilan pidana bagi anak menurut The Beijing Rules dimuat pada Rule 5.1 Aims of Juvvenile Jutice, adalah mengutamakan kesejahateraan anak dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia anak akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya.37

35

Abintoro Prakoso, 2013, Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak, Laksbang Grafika, Yogyakarta, hlm. 24

36

Ibid, hlm. 26.

37


(38)

Tujuan sistem peradilan pidana anak menurut Resolusi PBB 45/113 tangal 14 Desember 1990, The United Nations for the Protection of Juvenile Deprived of Liberty adalah sistem pengadilan bagi anak harus menjunjung tinggi hak-hak anak dan keselamatan serta memajukan kesejahteraaan fisik dan mental pada anak, serta hukuman penjara dgunakan sebagai upaya terakhir.38

G. Metode Penelitian

Tujuan sistem peradilan pidana anak menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 dalam penjelasannya agar terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Metode penelitian diperlukan agar tujuan penelitian dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ada 2 (dua) macam tipologi penelitian hukum yang lazim digunakan yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang dipakai adalah sebagai berikut :

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal yang dapt diartikan sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan sekunder.39

38

Ibid.

39

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan

Singkat, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 13


(39)

menggunakan beberapa penelitian hukum yaitu penelitian asas-asas hukum dan penelitian untuk menemukan hukum in concreto.40

Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap norma-norma hukum yaitu yang merupakan patokan untuk bertingkah laku yang terdapat dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.41

2. Jenis Data dan Sumber Data

Asas-asas hukum yang dimaksud dapat dibedakan menjadi asas hukum konstitutif dan asas hukum regulatif dimana kedua asas ini merupakan landasan dasar pembentukan hukum yang mengikat dan berkeadilan.

Penelitian hukum in concreto yang dilakukan adalah untuk menemukan hukum yang sesuai untuk diterapkan guna menyelesaikan suatu permasalahan yaitu konsep yang sesuai untuk menganalisa permasalahan dalam sistem peradilan pidana anak dalam UU No. 11 Tahun 2012 .

Penelitian yuridis normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian, data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai berikut :

a) Bahan-bahan hukum primer. Yaitu bahan-bahan yang mengikat, antara lain : 1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;

2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

3. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;

40

Ibid., hlm. 63

41

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jumetri, Ghalia Indonesia Jakarta,, hlm. 15


(40)

4. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; 5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 6. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 7. Undang-Undang No. 4 tentang Kesejahteraan Anak;

8. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian;

b) Bahan-bahan sekunder. Yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti buku-buku referensi yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel atau jurnal hukum, laporan atau hasil penelitian dan sebagainya yang diperoleh melalui media cetak maupun media elektronik.

c) Bahan-bahan hukum tersier. Yaitu bahan penunjang yang memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder. Bahan hukum tersier lebih dikenal dengan bahan acuan di bidang hukum atau bahan rujukan di bidang hukum misalnya biografi hukum, ensiklopedi hukum, kamus, direktori pengadilan dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi pustaka (library research) dan juga media elektronok seperti internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis mengumpulkan, mengolah, menafsirkan dan membandingkan bahan-bahan yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan ditulis dalam skripsi ini.


(41)

Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya42.Metode analisis data yang dilakukan adalah metode analisis kualitatif43

a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat pada penelitian ini.

, yaitu dengan :

b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan di atas agar sesuai dengan masing-masing permaslahan yang dibahas.

c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan.

d. Memaparkan kesimpulan yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

H. Sistematika Penulisan

Pembahasan dan penyajian suatu penelitian harus terdapat keteraturan agar terciptanya karya ilmiah yang baik. Skripsi ini dibagi dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu dengan yang lain, karena isi dari skripsi ini bersifat berkesinambungan antara bab yang satu dengan yang lainnya.

42

Soerjono Soekanto, 1994, Pengantar Penelitian Hukum, Depok, Universitas Indonesia Press, hlm. 69

43

Metode Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana penelitian adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.


(42)

Penulisan skripsi ini dibagi atas 4 (empat) bab yang disusun dengan sistematis untuk menguraikan masalah yang akan dibahas dengan urutan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II PERKEMBANGAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIF JUSTICE DI INDONESIA

Pada bab ini akan dikemukakan pada bagian pertama mengenai sejarah lahirnya konsep diversi dan restorative justice serta perkembangannya di berbagai Negara termasuk Indonesia. Bagian kedua dikemukakan mengenai prinsip serta tujuan diversi dan restorative justice, dan bagian ketiga kajian yuridis terhadap pengaturan konsep diversi dan restorative justice dalam instrument hukum internasional dan nasional.

BAB III PENERAPAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIF JUSTICE DALAM UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Pada bagian pertama dikemukakan mengenai latar belakang dimasukannya konsep diversi dan restorative justice dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,


(43)

bagian kedua dikemukakan mengenai para pihak yang terlibat dalam sistem peradilan pidana anak, serta bagian terakhir dikemukakan proses peradilan pidana anak dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

BAB IV KELEMAHAN PENGATURAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DAN UPAYA MENGATASI KELEMAHAN TERSEBUT

Pada bagian pertama bab ini akan dibahas mengenai perbedaan antara undang-undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bagian kedua dibahas tentang kelemahan pengaturan diversi dan restorative justice dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012. BAB V PENUTUP

Pada bab terakhir ini dikemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis kemukakan dalam kaitannya dengan masalah yang dihadapi.


(44)

BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA ANAK

A. Sejarah Lahirnya Konsep Diversi dan Restorative Justice 1. Sejarah Diversi dan Perkembangannya di Beberapa Negara

Sebelum lahirnya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak No. 11 Tahun 2012, pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum awalnya didasari kewenangan diskresi. Menurut Kamus Hukum, diskresi berarti kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapinya menurut pendapatnya sendiri.44

44

JCT Simorangkir dkk, 2008, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm . 38

Diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari asas legalitas yaitu asas hukum yang menyatakan setiap tindakan atau perbuatan administrasi Negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang-undang untuk mengatur segala macam kasus posisi dalam praktik kehidupan sehari-hari. Penyidik, penuntut umum, atau badan-badan lain yang menangani perkara anak akan diberi kuasa untuk memutuskan perkara demikian, menurut diskresi mereka tanpa menggunakan pemeriksaan awal yang formal, sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip di dalam peraturan-peraturan ini.


(45)

Diversi atau diversion pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana Australia (President Crime Commission) di Amerika Serikat pada tahun 1960. Sebelum dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk seperti diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak (children’s courts) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning). 45

Tahun 1970 dua bentuk besar diversi yang ada di Australia difokuskan bukan untuk membuat diversi kepada sebuah program alternatif, melainkan diversi untuk mengeluarkan sistem peradilan. Satu hal utama dari bentuk ini yaitu sikap kehati-hatian dari polisi, dimana anak muda yang telah ditangani polisi hanya diberikan peringatan lisan dan tertulis, setelah itu anak akan dilepas dan merupakan akhir dari permasalahan terkecuali kalau anak tersebut melakukan pelanggaran selanjutnya (mengurangi) maka akan dilakukan proses lanjutan. Bentuk kedua yang dilaksanakan di Australia bagian selatan tahun 1964 dan Australia bagian barat tahun 1972 melibatkan sebuah pertemuan pelaku anak dan orangtuanya dengan polisi dan sebuah pekerja sosial Negara. Tujuan dari pertemuan tersebut merupakan diversi sebelum masuk ke peradilan formal. Pertemuan dilakukan dalam suasana relatif informal untuk memberikan peringatan dan konseling..

46

45

Marlina, 2010, Op.Cit., hlm.10

46


(46)

Bentuk diversi di atas dilaksanakan di negara bagian Victoria pada tahun 1959, Queensland tahun 1963 dan New South Wales tahun 1985, yang semuanya berada di negara Australia. Negara bagian seperti Victoria, New South Wales, dan Queensland berani melakukan reformasi terhadap sistem hukumnya yang ada untuk mendukung pelaksanaan program diversi di Negara-negara tersebut dengan istilah principle of the frugality of punishment (prinsip kesederhanaan dalam menghukum).

Peraturan di Negara Queensland memuat aturan, anak ditempatkan di tahanan sebagai tempat terakhir (Juvenille Justice act 1992, 4 (b) (i)). Menurut Wunderzit dengan aturan tersebut jumlah pelaku anak yang dipenjara dalam kurun waktu 11 tahun turun 1.352 orang pada tahun 1981 menjadi 577 orang pada tahun 1992. Selanjutnya masyarakat Australia berhasil mewujudkan keinginannya untuk mengubah penekanan dari welfare model kepada justice model.47

Di Negara bagian Tasmania, Australia, Undang-Undang Youth Justice Act 1997 mengizinkan polisi melakukan diskresi langsung terhadap pelaku anak dengan memberikan peringatan informal (nasihat), peringatan formal (tertulis) , peringatan melalui pertemuan, pertemuan dengan anggota masyarakat conferencing melalui proses diversi atau diteruskan ke peradilan. Petugas polisi memberikan peringatan resmi pihak yang diberikan terhadap pelaku anak, seperti membayar kompensasi, membuat kerja pertanggungjawaban, melakukan kegiatan pengabdian pada masyarakat selama 35 jam untuk keperluan korbannnya melalui

47

Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia:Pengembangan Konsep Diversi


(47)

lembaga sosial atau lainnya atau tindakan lain yang tepat, pilihan-pilihan itu diputuskan melalui rapat para petugas polisi dan juga masyarakat.48

Di Negara bagian Northen Territory Australia peringatan formal atau pun penyelesaian dengan perundingan telah diterapkan oleh pemerintah menjadi ketetapan hukum. Negara telah meresmikan pemberian peringatan dan diversi menuju perundingan sebagai sebuah keputusan yang mempunyai kekuatan hukum sesuai dengan kesepakatan Perdana Menteri dan Kepala Kementerian Negara. Peraturan Police Administration Act memberikan empat tingkatan untuk melakukan diversi sebelum pengadilan. Tingkatan pertama terdiri dari dua bentuk peringatan yang diberikan dan disepakati dan penyelesaian dengan perundingan kemudian diperingatkan secara lisan. Tingkatan kedua peringatan secara resmi (formal cautioning) yaitu peringatan secara tertulis dari polisi. Tingkatan ketiga untuk anak yang beresiko mengulangi tindakannya lagi orang tua diserahkan tanggung jawab untuk memulihkan anak dengan pengawasan di rumah. Tingkatan keempat melalui lembaga Juvenille diversion unit pada lembaga kepolisian yang bertugas menangani proses diversi anak dari proses pidana formal ke non-fomal. Selain itu untuk memberikan nasihat kepada polisi dalam menangani anak pelaku tindak pidana. Lembaga ini memfasilitasi wadah bagi anak yang menjalanni proses diversi.49

Contoh lain pelaksanaan diversi di Negara bagian Northamphinshire USA. Pelaksanaan diversi untuk pertama kalinya di Negara bagian ini pada tahun 1981

48

Ibid, hlm.165

49


(48)

yang dinamakan Juvenille Liason Bureaux (JLB). Petugas yang terlibat dalam proses ini adalah polisi, pekerja dinas sosial, pekerja pemasyarakatan, guru dan pemuda sosial. Tahun 1984 lembaga JLB lain berdiri dan tahun 1986 berdiri lagi dua lembaga yang menangani masalah diversi di kalangan dewasa. Tahun 1992 karena pengaruh kekuatiran masyarakat akan terjadinya kesalahan polisi dalam menangani pengulangan pelaku tindak pidana anak sehingga kemudian pelaku anak secara otomatis dirujuk ke JLB. Rekomendasi dari JLB menjadi pertimbangan polisi untuk melakukan preingatan saja atau pemprosesnya ke tahapan berikutnya. Polisi sebagai pihak yang melakukan peranan secara tersendiri dalam menentukan kebijakannya sendiri melakukan tindakan diversi. Ada 2 (dua) kelompok pemegang kebijakan Northampthemshire yaitu petugas tahanan yang membuat kebijakan pertama dan yang kedua pelaksana proses (process maker) yang menerima kasus dari petugas tahanan untuk diteliti. Pelaksanaan proses didasarkan atas dukungan administrasi masing-masing bagian di lembaga kepolisian yang mempunyai tanggung jawab masing-masing.50

Menurut catatan sejarah di Negara Inggris polisi telah lama melakukan diversi dan mengalihkan anak kepada proses non-fomal seperti pada kasus penanganan terhadap anak-anak yang mempergunakan barang mainan yang mambahayakan orang lain. Catatan pertama kali dilakukannya perlakuan khusus untuk atas tindak pidananya adalah pada tahun 1883, yakni dengan melakukan proses informal di luar peradilan. Pemisahan peradilan untuk anak-anak di bawah umur diatur Children Act tahun 1908. Menurut aturan Children Act tahun 1908

50


(49)

polisi diberi tugas menangani anak sebelum masuk ke pengadilan dengan lebih memperhatikan pemberian kesejahteraan dan keadilan kepada anak pelaku tindak pidana. Pemberian perlakukan khusus terhadap anak pelaku tindak pidana ini termasuk program diversi.51

Di Inggris perkembangan pelaksanaan diversi terhadap anak terus dilaksanakan sampai akhirnya tercatat akhir abad ke-19 yaitu Negara Inggris yang merupakan Negara yang paling banyak melakukan diversi terhadap anak dengan menggunakan peradilan khusus untuk anak atau pengadilan anak.52

Ide diversi dicanangkan dalam United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules (Resolusi Majelis Umum PBB 40/33 tanggal 29 November 1985), dimana diversi (Diversion) tercantum dalam Rule 11,1, 11.2 dan Rule 17.4 yang terkandung pernyataan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum harus dialihkan ke proses informal seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat baik pemerintah atau non-pemerintah. Menurut Robert M. Bohm, sasaran yang jelas harus tercapai dalam penerapan suatu diversi adalah menghindari anak terlibat dalam suatu proses peradilan pidana.53

Di Indonesia sendiri, ketentuan mengenai pelaksanaan diversi dapat dilihat dari pengaturan diskresi yang diberikan kepada aparat penegak hukum dalam

51

Marlina, 2010, Op.Cit., hlm. 24

52

Ibid., hlm. 25

53

Robert & Keith Haley, 2002, Introduction Criminal Justice, Glencoe McGraw Hill, Callifornia-USA, hlm. 494


(50)

menangani perkara anak. Dimulai dari pengaturan dalam KUHAP serta pengaturan secara khusus terhadap aparat penegak hukum itu sendiri.

2. Sejarah Restorative Justice dan Perkembangannya di beberapa Negara

Konsep pendekatan restoratif merupakan suatu perkembangan dari pemikiran manusia yang didasarkan pada tradisi-tradisi peradilan dari peradaban bangsa-bangsa Arab purba, bangsa Yunani dan bangsa Romawi dalam menyelesaikan masalah termasuk penyelesaan masalah tindak pidana. Istilah umum tentang pendekatan restoratif diperkenalkan untuk pertama kali oleh Albert Eglash yang menyebutkan istilah restorative justice yang dalam tulisannya mengulas tentang reparation menyatakan bahwa restorative justice adalah suatu alternatif pendekatan restitutif terhadap pendekatan keadilan retributif dan keadilan rehabilitatif.54

Sejarah perkembangan hukum modern penerapan restorative justice diawali dari pelaksanaan program penyelesaian di luar peradilan tradisional yang dilakukan masyarakat yang disebut dengan victim offender mediation yang dimulai pada tahun 1970-an di Negara Canada. Program ini awalnya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk menyusun usulan hukuman yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan hakim. Program ini mengangap pelaku akan mendapatkan

54

Albert Eglash, 1977, Beyonde Restitution: Creative Restitution, Lexington, Massachusset-USA, hlm 95, yang dikutip oleh Rufinus Hotmaulana Hutauruk, 2013,


(51)

keuntungan dan manfaat dari tahapan ini dan korban juga akan mendapat perhatian dan manfaat secara khusus sehingga dapat menurunkan jumlah residivis dikalangan pelaku anak dan meningkatkan jumlah anak yang bertanggung jawab dalam memberikan ganti rugi pada pihak korban. Pelaksanaan program tersebut diperoleh hasil tingkat kepuasan yang lebih tinggi bagi korban dan pelaku daripada saat mereka menjalani proses peradilan tradisional.55

Perkembangan konsep restorative justice dalam 20 tahun terakhir mengalami perkembangan yang sangat pesat di beberapa Negara seperti Australia, Canada, Inggris, Wales, New Zealand dan beberapa Negara lainnya di Eropa dan kawasan Pasifik. Begitu juga di Amerika Serikat sebagai sebuah Negara yang sering membentuk perkumpulan dengan Negara-negara untuk memperkenalkan ukuran penghukuman secara represif tidak dapat menghindar dari pengaruh kuat perkembangan restorative justice. Ada 4 (empat) kelompok praktik yang berkembang di Negara-negara yang menjadi pioner penerapan restorative justice yaitu :56

a. Victim Offender Mediation (VOM)

Proses restorative justice terbaru adalah victim offender mediation yang pertama kali dilaksanakan sejak tahun 1970 di Amerika bagian utara dan Eropa seperti Norwegia dan Finlandia. VOM di Negara bagian Pennsylvania Amerika Serikat menjalankan program tersebut dalam kantor pembelaan terhadap korban di bawah tanggung jawab Departemen Penjara. Program tersebut berjalan sengan

55

Ibid., hlm. 30

56


(52)

sebuah ruang lingkup kejahatan kekerasan termasuk pelaku yang diancam hukuman mati.

Program tersebut dirancang dan diperbaiki selama waktu 5 tahun dengan kerangka pengertian dan pemahaman konsep restorative justice yang memusatkan perhatian pada penyelenggaraan dialog dimana korban dimungkinkan ikut serta bertukar pikiran sehubungan dengan akibat yang ditimbulkan berupa trauma dari kejahatan dan menerima jawaban dan informasi tambahan dari pelaku yang telah menyakitinya. Hal itu memberikan kesempatan kepada korban untuk mendengan dan memberikan kepada pelaku sebuah kesempatan untuk menerima tanggung jawab perbuatannya dan mengungkapkan perasaannya tentang kejahatan dan konsekuensi yang diterimanya.

VOM dimulai sekitar tahun 1960 dan yang mana pada tahun 1970 dilaksanakan pada tingkatan local. Pada saat dilakukan di tingkat local itulah mulai banyak orang direkrut untuk menjadi mediator. Banyak juga yang ditangani oleh lawyer atau sarjana hukum sukarela dan belum melakukan pertemuan tatap muka. Tujuan dilaksanakannya VOM adalah memberi penyelesaian terhadap peristiwa yang terjadi di antaranya membuat sanksi alternative bagi pelaku atau untuk melakukan pembinaan di tempat khusus bagi pelanggaran yang benar-benar-benar serius. Bentuk dasarnya proses ini melibatkan dan membawa bersama korban dan pelakunya kepada satu mediator yang merngkorrdinasikan dan memfasilitasi pertemuan.


(53)

Peserta yang terlibat dalam bentuk mediasi adalah korban yang secara sukarela, pelaku, pihak yang bersimpati terhadap kedua pihak, orangtua/wali dari kedua pihak dan orang yang dianggap penting bila diperlukan serta mediator yang dilatih khusus.

b. Conferencing/Family Group Confencering (FGC)

Conferencing dikembangkan pertama kali di Negara New Zealand pada tahun 1989 dan di Australia pada tahun 1991 dan pada mulanya merupakan refleksi atau gambaran aspek proses secara tradisional masyarakat yang diperoleh dari penduduk asli New Zealand yaitu bangsa Maori. Proses yang dilakukan masyarakat ini terkenal dengan sebutan wagga wagga dan telah dipakai untuk menyelesaikan permaalahan dalam masyarakat tradisional dan merupakan tradisi yang telah ada sejak lama. Orang yang turut serta dalam proses family group conferencing adalah anggota masyarakat, pelaku, korban, mediator, keluarga atau pihak dari korban atau pelaku serta lembaga yang punya perhatian terhadap permasalahan anak.

Tujuannya adalah untuk mendapatkan kejelasan dari peristiwa yang terjadi dengan member semangat kepada pelaku, mengembalikan kerugian korban, melakukan reintegrasi korban ke masyarakat, dan pertanggungjawaban bersama. Sasarannya memberikan kesempatan kepada korban untuk terlibat secara langsung dalam diskusi dan pembuatan keputusan mengenai pelanggaran yang terjadi padanya dengan sanksi yang tepat bagi pelaku serta mendengar secara langsung penjelasan dari pelaku tentang pelanggaran yang terjadi. Kemudian


(54)

meningkatkan kepedulian pelaku atas akibat perbuatannya kepada orang lain serta memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab penuh atas perbuatannnya. Selain itu bagi keluarga atau pihak pelaku dapat bersama-sama menentukan sanksi bagi pelaku dan membimbingnya setelah mediasi berlangsung. Terakhir adalah memberikan kesempatan kepada korban dan pelaku untuk saling berhubungan dalam memperkuat kembali tatanan masyarakat yang sempat terpecah karena terjadinya pelanggaran oleh pelaku terhadap korban.

c. Circles

Pelaksanaan Circles pertama kali sekitar tahun 1992 di Yukon, Canada. Circles sama halnya dengan conferencing yang dalam pelaksanaannya memperluas partisipasi para peserta dalam proses mediasidi luar korban dan pelaku utama. Tujuannya membuat penyelesaian terhadp suatu tindak pidana dengan mempertemukan korban, pelaku, masyarakat dan pihak lainnya yang berkepentingan dengn terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran yang ingin dicapai melalui proses Circles adalah terlaksananya penyembuhan pada pihak yang terluka karena tindakan pelaku dan member kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki dirinya dengan tanggung jawab penyelesaian kesepakatan.

Peserta dalam Circles adalah korban, pelaku, lembaga yang memperhatikan masalah anak, dan masyarakat. Tata cara pelaksanaan Circle, semua peserta duduk secara melingkar seperti sebuah lingkaran. Caranya adalah pelaku memulai dengan menjelaskan tentang semua yang dilakukannya lalu semua peserta diberi kesempatan untuk berbicara.


(55)

d. Restorative Board/Youth Panels.

Program ini mulai dilaksanakan di Negara bagian Vermont pada tahun 1996 dengan lembaga pendamping Bureau of Justice Assistance setelah melihat respon yang baik dari warga Negara terhadp studi yang dibuat oleh Spring tahun 1994 yang memaparkan keikutsertaan masyarakat dalam program reparative tersebut dan sifat perbaikan menjadi dasarnya.

Tujuan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan melibatkan pelaku, korban, masyarakat, mediator dan juga hakim, jaksa, dan pembela secara bersama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi pelaku dan ganti rugi bagi korban atau masyarakat.sasarannya adalag peran aktif serta anggota masayarakat serta langsung dalam proses peradilan tindak pidana, kemudian memberi kesempatan kepada korban dan anggota masyarakat melakuakn dialog secara langsung dengan pelaku. Pertemuan yang diadakan tersebut menginginkan pelaku melakukan pertanggungjawaban secara langsung atas tindakan yang telah dilakukannya.

Masyarakat Indonesia sendiri telah mengenal konsep restorative justice dalam kebiasaan, hukum adat serta nilai-nilai yang lahir di dalamnya. Sebelum dicanangkan di dalam sebuah peraturan khusus di Indonesia, Negara yang terkenal dengan Pancasilanya ini juga sesungguhnya telah memiliki konsep restorative justice jauh sebelum ide ini hadir dan masuk ke dalam sistem peradilan pidana anak. Pada Sila ke-4 Pancasila, menyebutkan bahwa “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Artinya bangsa


(56)

Indonesia sendiri telah mengagungkan prinsip musyawarah sebagai suatu kebiasaan yang mendarah daging untuk menyelesaikan segala permasalahan yang ada di bangsa ini. Inilah bukti bahwa sebenarnya restorative justice juga telah berkembang di dalamnya. Musyawarah akan mencapai suatu kesepakatan yang win-win solution tanpa merugikan atau menyebabkan ketidakseimbangan terhadap satu pihak sehingga penyelesaian pun dapat tercapai. Dalam konteksi Indonesia Bagir Manan menyebutkan bahwa konsep dan prinsip restorative justice sebenarnya telah dipraktekan oleh sejumlah masyarakat adat Indonesia.57

Braithwaite mengatakan, “several years ago in Indonesia I was told of restorative justice rituals in western Sumatera that ere jointly conducted by a religious leader and scholar-the person in community seen as having the greatest spiritual riches and the person seen as having the greatest of learning. My inclination yhen was to recoil from the elitism of this and insist thet many (if not most) citizens have the resources (given a little help with training) to facilitate processesof healing. While I still believe this, I now think it might be a mistake to seek the persuade Asians to democratize their restorative juctice practice”.58

57

Abintoro Prakorso, Op.Cit., hlm. 162 58

Rufinus Hotmaulana S, Op.Cit., hlm. 45

(Beberapa bulan lalu di Indonesia, saya telah menceritakan ritual pendekatan restorative di Sumatera Barat yang telah diselenggarakan bersama-sama oleh seorang pemimpin religius dan seorang cendekiawan (orang di dalam masyarakat yang dipandang mempunyai kekayaan rohani yang terbesar dan orang yang dipandang memiliki pembelajaran yang terbesar). Kecenderungan saya kemudian melonjak atas elitisme dari hal ini dan tetap menekankan bahwa banyak orang dari para penduduk atau warga Negara yang mempunyai sumber daya (dengan diberikan satu bantuan kecil pelatihan) untuk memfasilitasi proses penyembuhan atau pemulihan. Selagi saya masih mempercayai hal ini, kini saya berpikir adalah hal yang bisa menjadikan satu kekeliruan jika berupaya membujuk orang-orang Asia untuk mendemonstrasikan praktik pendekatan restoratif. Artinya bahwa di dalam kultur bangsa Indonesia sendiri yaitu khususnya hukum adat telah ada praktik pendekatan restoratif.


(57)

Konsep diversi dan restorative justice sendiri semakin dikenal melalui seminar-seminar yang menumbuhkan semangat dan keinginan untuk mengkaji kedua konsep ini lebih mendalam. Tahun 2004 di Jakarta di adakan diskusi di antara aparat penegak hukum yang terkait dalam sistem peradilan pidana anak untuk membicarakan langkah terbaik dalam upaya penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana. Diskusi yang dilakukan di antara aparat penegak hukum bertujuan untuk mencari solusi yang terbaik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap anak. Keseriusan ini pertama kali di lakukan oleh Pengadilan negeri Bandung dengan membuat ruang tahanan khusus dan ruang tunggu anak pada tanggal 13 Agustus 2004. Melihat keseriusan tersebut aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Bandung maka UNICEF menetapkan kota Bandung sebagai Pilot Project (Proyek percontohan) dalam pelaksanaan konsep diversi dan restorative justice di Indonesia.59

Program diversi dan restorative justice telah berkembang dengan pesat ke seluruh penjuru dunia dalam waktu singkat. Titik awal untuk merubah sistem peradilan anak di beberapa Negara dan alasan yang dikemukakan terhadap pelaku anak merupakan alasan untuk menerapkan konsep baru yaitu restorative justice. Konsep ini relevan untuk transformasi semua bagian dari sistem peradilan pidana kepada proses yang tepat artinya pada setiap tingkatan peradilan atau lembaga dari aparat penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana dapat dialihkan kepada proses restorative justice.60

59

Hadi Supeno, Op.Cit., hlm. 211

60


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut :

1. Sejarah perkembangan kedua konsep ini dipraktekan secara berbeda yaitu

diversi dimulai dengan didirikannya suatu peradilan anak sebelum abad 19

serta adanya formalisasi polisi dengan memberikan peringatan secara tertulis

dan lisan terhadap anak sehingga tidak mengikuti proses pengadilan secara

formal. Restorative Justice dimulai sebagai sebuah pendekatan dalam

menyelesaikan masalah-masalah tadisional dengan cara bermusyawarah

antara setiap pihak yang berkepentingan sehingga dapat ditentukan cara

penyelesaian yang terbaik dan juga menghindarkan dari pengadilan formal.

Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam perkembangannya merupakan

penyelesaian perkara anak yang sudah dipraktekan oleh berbagai Negara. Di

Indonesia sendiri telah dimulai dengan musyawarah dalam menyelesaikan

suatu permasalahan yang terlah dipraktekan secara lama dalam hukum adat

masyarakat.

2. Penerpan konsep Restorative Justice dan Diversi dalam Undang-Undang oleh

legislator bukanlah merupakan sebuah bentuk penyelesaian perkara anak

yang bersifat alternatif semata. Restorative Justice dan Diversi dikembangkan


(2)

hukum terhadap anak tersebut yang tidak didasarkan pada suatu pembalasan

lagi namun untuk memulihkan anak pada keadaan semula. Restorative Justice

dan Diversi merupakan suatu kewajiban yang dilaksanakan dalam setiap lini

peradilan pidana anak yang dimulai dari tahap penyidikan, penuntutan,

pemeriksaan di pengadilan hingga pembimbingan di dalam lembaga

pembinaan anak serta hingga bereintegrasi di masyarakat. Penerapan kedua

konsep ini sangat membutuhkan dukungan serta partisipasi yang dimulai dari

anak itu sendiri dan keluarganya, korban serta keluarganya, aparat penegak

hukum, masyarakat, petugas kemasyarakatan serta pihak-pihak lain yang

terkait sehingga dapat memulihkan segala akibat yang ditimbulkan oleh

tindak pidana tersebut.

3. Kelemahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak masih memiliki kelemahan dalam mengatur konsep diversi dan

restorative justice sehingga dikuatirkan tidak dapat diterapkan secara efektif oleh pelaksananya. Secara substansi undang-undang ini harus dilengkapi

dengan peraturan pelaksana serta adanya sarana dan prasarana yang mumpuni

terhadap pelaksanaan peraturan ini.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat diberikan adalah

sebagai berikut :

1. Diharapkan adanya peraturan pelaksana terhadap undang-undang ini seperti


(3)

kebiasaan di dalam wilayah tertentu sebagai penghargaan terhadap cara

penyelesaian perkara anak di wilayah tersebut.

2. Pemerintah harus segera melakukan pelatihan teknis terhadap Penyidik,

penuntut umum, hakim, petugas kemasyarakatan dan para tenaga social

lainnya sehingga dapat menyelesaikan perkara anak dengan baik. Pelatihan

teknis tersebut dapat menjadi patokan terhadap orang-orang yang telah layak

untuk menyelesaikan perkara anak terutama untuk di daerah-daerah.

3. Pemerintah juga harus meninjau kembali sanksi pidana yang ditetapkan

kepada Penyidik, penuntut umum dan hakim yang apabila tidak melakukan

kewajibannya untuk melakukan diversi. Hal ini masih dipandang tidak efisien

karena memandang pemulihan sebagai tujuan utama penyelesaian perkara

anak.

4. Konsep restorative justice sebenarnya dapat diterapkan oleh masyarakat itu

sebelum atau sesudah tindak pidana terjadi tanpa mengikutsertakan aparat

penegak hukum. Contohnya adalah mengadakan rapat atau musyawarah desa.

Hal ini juga dapat mengabadikan kultur dan kebiasaan di masyarakat

Indonesia yang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan.

5. Kemiskinan ekonomi dan keterbatasan akses untuk memperoleh keadilan

merupakan faktor utama anak berkonflik dengan hukum. Sehingga Negara

harus sepenuhnya menyelesaikan permasalahan tersebut secara komprehensif

dan sistematis melalui sistem jaminan sosial anak untuk mewujudkan


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku :

Ali, Mahrus., Membumikan Hukum Progresif, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013.

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak, Jakarta, 2009.

Djamil, M.Nasir., Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.

Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009.

Haley, Keith & Robert M. Bohm, Introduction Criminal Justice, Glencoe McGraw Hill: USA, 2002.

Hutauruk, Rofinus Hotmaulana, Penanggulangan Kejahatan Korporasi melalui Pendekatan Restoratif, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.

Kartono, Kartini., Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, PT. Raja Grafindo Grafika, Jakarta, 1998.

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep dan Restorative Justice, Refika Aditama, Bandung, 2009.

_______, Pengantar Konsep Diversi dan Restoratif Justice, USU Press, Medan, 2010.

_______, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011.

Mulyadi, Mahmud., Kepolisian dalam Sistem peradilan Pidana, USU Press, Medan, 2009.


(5)

Muncie, John & Barry Goldson., Youth Crime & Justice: Critical Issue, SAGE Publications Ltd, California:USA, 2006.

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Anak di Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011.

Prakorso, Abiantoro., Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2013.

Sambas, Nandang., Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010.

Simorangkir, JCT dkk, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Soekanto, Soerjono., Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Depok, 1994.

________, & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 2007.

Soemitro, Ronny Hanitjo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007.

Soetodjo, Wagiati., Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2008.

Supeno, Hadi., Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikan Peradilan Anak tanpa Pemidanaan, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Sutatiek, Sri., Rekonstruksi Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Anak di Indoesia, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2012.

Susanto, Anthon Freddy., Wajah Peradilan Kita (Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan Mekanisme Konstrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2004.


(6)

Wadong, Maulana Hasan., Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Gramedia Wirasarana Indonesia, Jakarta, 2000.

B. Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2000 tentang Perlindungan Anak.

Convention On The Rights of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak) Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1989

Peratuan-Peraturan Minimum Standard PBB mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak (The Beijing Rules) Tahun 1989

C. Skripsi

Johanes Gea, Diversi sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Terbaik Kasus

Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, (Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Unversitas Indonesia, Depok, 2011).

D. Website

http://icjr.or.id/selamat-datang-tindak-pidana-diversi

http://anggara.org/2012/07/23/beberapa-catatan-tentang-uu-sistem-peradilan-pidana-anak


Dokumen yang terkait

Pengembangan Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia

1 45 675

Penyelesaian Hukum Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak Melalui Upaya Restorative Justice Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

2 45 143

PENDAHULUAN PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 5 17

PENERAPAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE OLEH KEPOLISIAN DALAM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 1 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 0 75

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Prinsip Restorative Justice dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

0 0 16

Diversi dalam UU no. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

0 0 38

KONSEP RESTORATIVE JUSTICE DALAM UNDANG-UNDANG RI NUMBER 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK CONCEPT OF RESTORATIVE JUSTICE IN THE LAW OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 11 OF 2012 CONCERNING CHILDREN'S CRIMINAL COURT SYSTEM

0 1 13

BAB II ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN A. Pengertian Restoratif Justice dan Diversi Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 1. Restoratif Justice Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

1 8 34