Interpretive Planning Based On Bamboo Conservation As Angklung Raw Material At Saung Angklung Udjo

PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI BAMBU
SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG
DI SAUNG ANGKLUNG UDJO

PANCA OKTAWIRANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perencanaan Interpretasi
Berbasis Konservasi Bambu di Saung Angklung Udjo adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013
Panca Oktawirani
NIM E 352100031

ABSTRAK
PANCA OKTAWIRANI. Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu
di Saung Angklung Udjo. Dibimbing oleh E.K.S. HARINI MUNTASIB dan
ERVIZAL A.M. ZUHUD.
Saung Angklung Udjo, salah satu pusat pelestarian angklung di Jawa Barat,
berkepentingan untuk menjaga kelestarian keempat jenis bambu (bambu Hitam,
bambu Gombong, bambu Temen, dan bambu Tali) sebagai bahan baku angklung
sekaligus menyampaikan informasi kepada pengunjung untuk mengenal sumber
daya tersebut. Penelitian ini bertujuan menyusun rencana interpretasi yang
berbasis konservasi bambu sebagai bahan baku angklung di Saung Angklung
Udjo. Metode yang dikembangkan menggunakan metode deskriptif kualitatif
dengan pendekatan perencanaan interpretasi Sharpe yaitu menuliskan tujuan,
mengumpulkan informasi, menganalisa, memadukan alternatif yang ada,
pelaksanaan program, evaluasi, dan perbaikan. Data yang dikumpulkan berupa
data primer dan data sekunder yang meliputi jenis dan karakteristik bambu, proses

pengolahan bambu menjadi alat musik angklung, dan upaya konservasi yang
dapat melibatkan pengunjung di Saung Angklung Udjo. Data dikumpulkan
melalui observasi, studi literatur, dan wawancara dengan tiga informan dan 50
responden. Kondisi kawasan dan data yang diperoleh digunakan sebagai bahan
untuk membuat perencanaan interpretasi di Saung Angklung Udjo. Terdapat
empat jenis bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung yaitu bambu
hitam (Gigantochloa atroviolaceae), bambu gombong (Gigantochloa
pseudoarundinaceae), bambu temen (Gigantochloa atter ), dan bambu tali
(Gigantochloa apus). Keempat jenis bambu tersebut memiliki sifat fisik dan
anatomi yang cocok sebagai angklung. Pengadaan bambu sebagai bahan baku
angklung masih diperoleh melalui pengambilan dari alam dan belum dilakukan
budidaya yang intensif. Kondisi ini mempengaruhi keberadaan keempat jenis
bambu yang semakin sulit ditemukan. Konservasi jenis bambu sebagai bahan
baku angklung perlu dilakukan sebagai upaya mempertahankan keberadaan jenis
bambu dan kesenian angklung. Pengelola dan mitra petani (pemanen) perlu
melakukan upaya konservasi bambu. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
pengelola Saung Angklung Udjo yaitu menyampaikan informasi terkait jenis dan
karakteristik bambu, upaya pengolahan bambu menjadi angklung serta upaya
konservasi bambu kepada pengunjung yang datang ke Saung Angklung Udjo.
Bentuk perencanaan interpretasi yang dikembangkan berupa program dan fasilitas

interpretasi berbasis konservasi bambu sebagai bahan baku angklung. Program
dan papan interpretasi yang dikembangkan diarahkan untuk meningkatkan
apresiasi pengunjung terhadap konservasi bambu sebagai bahan baku angklung.
Kata kunci: interpretasi, konservasi bambu, saung angklung udjo

ABSTRACT
PANCA OKTAWIRANI. Interpretive Planning Based on Bamboo Conservation
as Angklung Raw Material at Saung Angklung Udjo. Supervised by E.K.S.
HARINI MUNTASIB and ERVIZAL A.M. ZUHUD
Saung Angklung Udjo is one of the conservation of angklung where focused
in West Java, It concerned to preserve the four types of bamboo (Black bamboo,
Gombong bamboo, Temen bamboo, and Tali bamboo) which identified as
angklung raw materials also to communicate information to visitors to get to
know these resources. This study aims to develop a conservation plan based
interpretation of bamboo as a raw material at Saung Angklung Udjo. The method
was developed using qualitative descriptive methods to approach the
interpretation of Sharpe is make objective, collection information, analysing,
synthesis, plan, implementation, evaluation & revision, and feedback. Data were
collected in the form of primary and secondary data including the type and
characteristics of bamboo, bamboo processing into a musical instrument

angklung, and conservation efforts that may involve visitors in Saung Angklung
Udjo. Data were collected through observation, study of literature, and interviews
with three informants and 50 respondents. The data obtained is used to make
planning interpretation at Saung Angklung Udjo. There are four types of bamboo
used as angklung raw materials namely black bamboo (Gigantochloa
atroviolaceae), gombong bamboo (Gigantochloa pseudoarundinaceae), temen
bamboo (Gigantochloa atter ), and Tali bamboo (Gigantochloa apus). Fourth
bamboo has physical properties and anatomy suitable as an angklung musical
instrument. Procurement bamboo as angklung raw material was obtained by
taking from nature and has not done the intensive cultivation. This condition
affects the existence of four types of bamboo are increasingly rare. Conservation
bamboo species as angklung raw material needs to be done in order to maintain
the existence and type of angklung art. Business partners and farmer (harvesters)
have bamboo conservation efforts. One effort can to do Saung Angklung Udjo
managers through the delivery of information related to the type and
characteristics of bamboo, bamboo processing effort into conservation efforts
bamboo to the visitor. Forms of interpretation that was developed in the form of
plans and programs based interpretation facilities conservation angklung bamboo
as raw material. Program and interpretation boards are developed to enhance the
appreciation of visitors directed to the conservation of bamboo as angklung raw

material.
Keywords:conservation of bamboo, interpretation, saung angklung udjo

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI
BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG
DI SAUNG ANGKLUNG UDJO

PANCA OKTAWIRANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

Dr. Ir. Naresworo Nugroho MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta‟ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini ialah
Perencanaan Interpretasi, dengan judul Perencanaan Interpretasi Berbasis
Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung di Saung Angklung Udjo.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr E.K.S Harini Muntasib
dan Bapak Prof Dr Ir Ervizal A.M. Zuhud selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir
Naresworo Nugroho selaku dosen penguji. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada pengelola Saung Angklung Udjo yang telah membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
suami, teman-teman MEJ 2010, serta seluruh kerabat, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013
Panca Oktawirani

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................
DAFTAR TABEL ...............................................................................................
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
1 PENDAHULUAN ......................................................................................

Latar Belakang .............................................................................................
Perumusan Masalah .....................................................................................
Tujuan Penelitian .........................................................................................
Manfaat Penelitian .......................................................................................
Kerangka Teori ............................................................................................
2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
Pengertian Interpretasi ................................................................................
Perencanaan Interpretasi .............................................................................
Teknik Interpretasi ......................................................................................
Program Interpretasi ....................................................................................
Makna Konservasi .......................................................................................
Tri Stimulus AMAR Konservasi Bambu untuk Angklung ..........................
3. METODE PENELITIAN .............................................................................
Waktu dan Lokasi .......................................................................................
Alat dan Bahan ............................................................................................
Metode Penelitian .......................................................................................
4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .......................................
Sejarah Saung Angklung Udjo (SAU) ........................................................
Letak, Luas, dan Status SAU ......................................................................
Aksesibilitas SAU .......................................................................................

Profil Pengelola SAU ..................................................................................
5. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
Program Wisata di Saung Angklung Udjo ..................................................
Profil Pengunjung .......................................................................................
Proses Pengolahan Bambu menjadi Angklung ...........................................
Upaya Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung .........................
6. PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI
BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG ................................
Tujuan dan Sasaran Interpretasi ...................................................................
Program Interpretasi .....................................................................................
Obyek, Tema dan Materi Interpretasi ..........................................................
Teknik Interpretasi .......................................................................................
7. CONTOH PROGRAM INTERPRETASI: MENGENAL BAMBU
SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG .................................................
Program Pengenalan Bambu sebagai Bahan Baku Angklung .....................
Program Pengenalan Jenis dan Karakteristik Bambu sebagai Bahan
Baku Angklung ............................................................................................
8. CONTOH RENCANA PENGEMBANGAN FASILITAS ........................
Pusat Informasi ............................................................................................
Papan Interpretasi ........................................................................................

Arboretum Bambu .....................................................................................

i
iii
iv
1
1
2
2
2
3
4
4
5
6
7
8
9
21
21

21
21
26
26
27
27
28
31
31
33
35
42
44
44
47
47
49
49
50
56
58
58
58
59

ii

Media Publikasi ...........................................................................................
9. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
Simpulan ......................................................................................................
Saran ...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................

59
59
59
60
60

iii

DAFTAR TABEL

1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.

Perbedaan Sifat Bambu Hitam (G. atroviolaceae Widjaja) Bambu
Temen (G. atter Hassk) Bambu Tali (G. Apus (J.A&J.H Schultes Kurz)
dan Bambu Gombong (G. Pseudoarundinaceae) ......................................
Jenis Data Penelitian ...................................................................................
Stratifikasi Responden ................................................................................
Saung Angklung Udjo dari waktu ke waktu ................................................
Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu sebagai Bahan
Baku Angklung di Saung Angklung Udjo ...................................................
Obyek, Tema, dan Materi Interpretasi di Saung Angklung Udjo ................
Skenario Cerita .............................................................................................

18
22
24
26
46
48
51

iv

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36

Kerangka Teori Penelitian ........................................................................
Fase Perencanaan Interpretasi (Berdasarkan Bardley 1982 dalam
Sharpe, 1982) .............................................................................................
Diagram Alir “tri stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap, dan
perilaku aksi konservasi .............................................................................
Bambu Hitam (G. atroviolaceae) ..............................................................
Bambu Temen (G. atter )............................................................................
Bambu Tali (G. apus) ................................................................................
Morfologi Rebung Bambu Gombong (G. pseudoarundinaceae) ..............
Bambu Gombong (G. pseudoarundinaceae) .............................................
Angklung Buncis .......................................................................................
Lokasi Penelitian .......................................................................................
Bagan Perencanaan Interpretasi berbasis Konservasi Bambu sebagai
Bahan Baku Angklung...............................................................................
Papan Nama SAU yang berada di muka Jalan Padasuka ..........................
Struktur Organisasi Saung Angklung Udjo ...............................................
Bale Karesmen ...........................................................................................
Buruan Sari Asih........................................................................................
Fasilitas yang ada: (a) Saung, Tempat Alternatif untuk Berkumpul
Bersama Keluarga , dan (b) Pusat Produksi Angklung .............................
Beberapa Rangkaian Acara: (a) Wayang Golek dan (b) Helaran .............
Motivasi Pengunjung ke SAU ...................................................................
Program Wisata yang dipilih Pengunjung .................................................
Pemahaman Pengunjung terhadap Proses Pembuatan Angklung .............
Pemahaman Pengunjung terhadap Jenis Bambu sebagai Bahan Baku
Angklung ...................................................................................................
Pemahaman Pengunjung mengenai Konservasi Bambu ...........................
Bambu yang baru dipanen ........................................................................
Ilustrasi Pengawetan dan Pengeringan Bambu dengan Metode
Pengasapan ................................................................................................
Proses Pengawetan Bambu dengan Metode Perendaman .........................
Pengeringan Bambu Secara Vertikal .........................................................
Bakalan Angklung .....................................................................................
Tabung Angklung ......................................................................................
Proses Perakitan Angklung ........................................................................
Angklung yang telah distem ......................................................................
Finishing Tabung Angklung ......................................................................
Arah Program Interpretasi (Interpretive Direction) ..................................
Skema Program Interpretasi ......................................................................
Morfologi Angklung ..................................................................................
Jenis Bambu sebagai Bahan Baku Angklung ............................................
Rencana Papan Interpretasi........................................................................

4
5
10
14
15
16
17
17
19
21
25
27
29
30
31
31
32
33
33
34
34
35
37
37
38
39
39
40
40
41
42
51
52
54
54
59

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Angklung merupakan alat musik multitonal (bernada ganda), terbuat dari
bambu dan dibunyikan dengan cara digoyangkan. Angklung berkembang dan
menjadi salah satu filosofi hidup masyarakat Jawa Barat. Menurut karuhun urang
sunda /sejarah masyarakat Sunda, kehidupan manusia diibaratkan seperti tabung
angklung. Angklung bukanlah sebuah angklung apabila ia hanya terdiri dari satu
tabung saja, layaknya manusia yang tidak dapat hidup sendiri melainkan harus
bersosialisasi (Sejarah Angklung 2012). Angklung menjadi populer sejak
November 2010, ketika terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan
Nonbendawi Manusia (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of
Humanity) oleh UNESCO.
Bambu sebagai bahan baku angklung belum mendapatkan perhatian secara
intensif dari pengguna bambu yang memanfaatkannya sebagai bahan baku
angklung khususnya dalam konservasi bambu. Bambu yang digunakan sebagai
bahan baku angklung masih diperoleh dari alam dan belum dibudidayakan secara
massal. Diantara berbagai jenis bambu, Bambu Hitam (Gigantochloa
atroviolaceae Widjaja), Bambu Gombong (Gigantochloa pseudoarundinacea
(Steud) Widjaja), Bambu Temen (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz, dan Bambu
Tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultes) Kurz tercatat memiliki
karakteristik yang sesuai untuk dijadikan sebagai bahan baku angklung (Nuriyatin
2000).
Saung Angklung Udjo (SAU) merupakan salah satu lokasi yang
mengembangkan budaya dan kesenian angklung di Jawa Barat. Sejak berdiri
tahun 1966, Saung Angklung Udjo terus berupaya memperkenalkan angklung
kepada masyakat luas bahkan sudah mencatatkan diri dalam Guiness World of
Record karena memainkan angklung sebanyak 5.182 buah dengan peserta multibangsa. Jumlah pengunjung di Saung Angklung Udjo terus meningkat dari tahun
ke tahun. Selain menawarkan pertunjukan angklung, Saung Angklung Udjo juga
memproduksi angklung untuk dijual hingga ke mancanegara.
Saung Angklung Udjo sudah memiliki manajemen terkait pelayanan
pengunjung namun belum mengembangkan suatu pelayanan yang berguna untuk
mengarahkan dan meningkatkan rasa keingintahuan pengunjung dalam mengenal
dan memahami peranan bambu sebagai bahan baku utama angklung khususnya
dalam aspek pelestarian bambu.
Interpretasi didefinisikan sebagai suatu kegiatan atau suatu usaha
menciptakan pemahaman serta menunjukkan arti dan hubungan antara seseorang
dengan alam lingkungannya dengan menggunakan obyek yang terdapat
dikawasan tersebut dengan menggunakan media ilustratif serta melalui
pengalaman langsung dilapangan (Tilden 1977; Alderson&Low 1985;
Moscardo1998). Beragam penelitian mengenai program interpretasi tidak hanya
mendukung upaya konservasi dan pengelolaan kawasan melainkan juga
meningkatkan kepuasan dan kenyamanan pengunjung (Moscardo 1998;
Pearce&Moscardo 2007; Povey&Rion2002; Wiles 2005). Oleh karena itu perlu

2
disusun suatu perencanaan interpretasi yang berbasis pada konservasi bambu
sebagai bahan baku angklung di Saung Angklung Udjo.
Perumusan Masalah
Sebagai salah satu lokasi wisata budaya di Bandung Timur, pengelolaan
Saung Angklung Udjo masih terbatas pada penyediaan paket pertunjukan dan
kesenian angklung. Paket kunjungan tersebut berupa aktivitas menyaksikan
pertunjukan angklung yang dimainkan oleh anak-anak binaan Saung Angklung
Udjo yang dinamakan Bamboo Afternoon/Bambu Petang. Bamboo Afternoon
merupakan atraksi wisata yang terdiri dari tari-tarian, pertunjukan angklung
hingga pelibatan pengunjung dalam memainkan angklung.
Pengadaan bambu sebagai bahan baku angklung masih diperoleh secara
langsung dari alam dan belum dilakukan budidaya bambu secara intensif. Kondisi
ini menjadikan keempat jenis bambu semakin sulit ditemukan. Konservasi jenis
bambu sebagai bahan baku angklung perlu dilakukan sebagai upaya
mempertahankan keberadaan jenis dan kesenian angklung. Pengelola Saung
Angklung Udjo mempunyai kewajiban untuk melestarikan jenis bambu yang
digunakan sebagai bahan baku angklung sekaligus mengajak dan memberikan
pemahaman kepada pengunjung yang datang untuk memahami pentingnya
konservasi jenis bambu untuk angklung.
Interpretasi merupakan jembatan untuk menyampaikan keistimewaan
bambu sebagai sumber daya khususnya sebagai bahan baku angklung kepada
pengunjung. Informasi terkait karakteristik, proses pengolahan bambu menjadi
angklung, dan upaya konservasi bambu dapat disampaikan melalui interpretasi
yang dapat diwujudkan dalam bentuk program dan papan interpretasi. Pengelola
Saung Angklung Udjo belum menyiapkan informasi dan program wisata yang
berkaitan dengan bambu sebagai bahan baku utama angklung. Kenyataan tersebut
merupakan peluang bagi pengelola untuk mengenalkan dan meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang konservasi bambu sebagai bahan baku utama
angklung sekaligus memberikan pengalaman yang berkualitas bagi pengunjung
Saung Angklung Udjo.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun rencana interpretasi yang berbasis
konservasi bambu sebagai bahan baku angklung.di Saung Angklung Udjo.
Manfaat Penelitian
1. Menjadi salah satu contoh pengelolaan lokasi wisata yang berbasis pada
konservasi sumber daya
2. Memberi pengetahuan dan pengalaman yang berkualitas kepada pengunjung
di Saung Angklung Udjo akan peranan bambu terhadap angklung.
3. Membangun keterlibatan pengunjung untuk ikut melestarikan sumber daya
bambu.

3
4. Bahan masukan bagi pengelola dalam mengoptimalkan manajemen di Saung
Angklung Udjo agar tercapai pemanfaatan dan pengelolaan bambu jangka
panjang
Kerangka Teori
Tingginya permintaaan bambu, khususnya jenis Bambu Hitam (G.
atroviolaceae), Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea ), Bambu Temen (G.
atter ), dan Bambu Tali (G. apus) berdampak pada pemanenan bambu dari alam
(Fathony 2011; Irawan et al. 2006; Jonkhart 2011). Di sisi lain, penanaman
bambu lebih diutamakan jenis Bambu Duri (Bambusa blumeana ) dan Bambu
Betung (Dendrocalamus asper ) untuk industri pulp dan sumpit (Widjaja 1990).
Oleh sebab itu, perlu adanya upaya konservasi jenis-jenis bambu sebagai bahan
baku angklung dalam upaya menjamin keberadaan angklung sebagai warisan
dunia.
Sebagai destinasi wisata dan lokasi workshop angklung, Saung Angklung
Udjo merupakan salah satu pihak yang berkewajiban untuk melestarikan bambu,
khususnya jenis bambu sebagai bahan baku angklung. Sebagian besar pengunjung
Saung Angklung Udjo datang untuk melihat pertunjukan angklung sehingga
potensi dan peranan bambu sebagai bahan baku angklung belum banyak diketahui
pengunjung. Pihak pengelola berperan untuk menyampaikan peranan bambu dan
pentingnya upaya konservasi bambu sebagai bahan baku angklung kepada
pengunjung. Untuk itu perlu upaya memperkenalkan peranan bambu dalam
kesenian angklung melalui sebuah interpretasi. Melalui perencanaan interpretasi,
bambu dapat disusun menjadi materi program wisata yang bermanfaat dan
mendidik pengunjung. Berikut kerangka teori penelitian yang tersaji pada Gambar
1 berikut ini.

4

Bambu sebagai Bahan Baku Angklung
(Prosea (1995) dalam Nuriyatin (2000)

Karakteristik Fisik, Biologis, Mekanik
Akustik Bambu (Widjaja 2001a+b)
(stimulus alamiah)

Proses Pengolahan dan
Pemanfaatan Bambu menjadi
Angklung (stimulus manfaat)

Tri Stimulus AMAR Konservasi Bambu
(Zuhud et al. 2007)

Perencanaan Interpretasi Berbasis
Konservasi Bambu sebagai Bahan
Baku Angklung

Pengunjung

Pengelola

Gambar 1 KerangkaTeori Penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Interpretasi
Penggunaan interpretasi sebagai bentuk komunikasi dalam kegiatan wisata
telah umum dijumpai di berbagai negara sepanjang abad kedua puluh. Akar dari
bidang interpretasi dapat ditelusuri dan ditemukan di Amerika dan Eropa pada
abad kesembilan belas. Hal ini diikuti dengan pertumbuhan dalam studi mengenai
sumber daya alam, perencanaan wisata melalui penggunaan pusat informasi alam
dan taman naturalis (Sharpe 1982).
Penyediaan informasi merupakan hal yang umum dalam mendukung
pengelolaan dan pengembangan wisata. Umumnya penyampaian informasi
terdapat di museum, kebun binatang, lokasi bersejarah hingga kawasan konservasi
(Muntasib 2003). Proses penyampaian informasi atau mendidik pengunjung dapat
didefinisikan sebagai interpretasi (Moscardo 1998). Interpretasi telah dikenal
sebagai layanan kepada pengunjung (Pearce&Moscardo 2007), dan pendekatan
untuk komunikasi (Ham 1992). Archer&Wearing (2003) mendefinisikan
interpretasi sebagai kegiatan menjelaskan dan merancang informasi tentang
sumber daya lokal bagi pengunjung dengan cara yang menarik. Veverka (1994)

5
juga menyatakan bahwa interpretasi adalah proses komunikasi yang dirancang
untuk mengungkapkan makna dan hubungan budaya dan warisan alam kepada
masyarakat (pengunjung) melalui tangan pertama pengalaman dengan obyek,
artefak, lanskap, atau lokasi.
Meski kedatangan pengunjung ke tempat rekreasi untuk berwisata dan
atau mencari inspirasi tetapi pengunjung juga mempunyai keinginan untuk
mengenal tempat yang dikunjungi. Poo (1993) dalam Moscardo (1998)
menyatakan perubahan trend menunjukkan bahwa program yang berbasis pada
pendidikan, konservasi, dan meningkatkan pengalaman dan pengetahuan
pengunjung lebih diminati. Interpretasi dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran
yang lebih luas terhadap lingkungan (Archer&Wearing 2003). Belajar hal-hal
yang baru dan meningkatkan pengetahuan menjadi motivasi terbesar yang
diminati dan dipilih pengunjung. Jika pengunjung semakin mencari unsur
pendidikan dalam aspek perjalanannya, maka interpretasi menjadi bagian integral
yang harus ada di lokasi wisata (Moscardo 1998).
Perencanaan Interpretasi
Komponen penting bagi perencanaan program interpretasi adalah 1)
pengunjung, 2) prosedur penyampaian informasi (Sharpe 1982). Komponen
pengunjung meliputi latar belakang, perilaku dan sikap, dan karakteristik spesial
pengunjung. Karakteristik spesial pengunjung meliputi umur, tingkat pendidikan,
dan ketertarikan khusus. Interpretasi mampu mengakomodasi berbagai
karakteristik spesial dari pengunjung. Berdasarkan Sharpe (1982) dalam
menyusun sebuah interpretasi, perlu perencanaan yang spesifik. Proses
perencanaan harus interaktif dan terus menerus. Langkah-langkah dalam
merencanakan sebuah interpretasi terdapat pada Gambar 2 di bawah ini.

Masukan

Tujuan

Inventarisasi &
Pengumpulan
Data

Analisis

Sintesis

Peren
canaan

Penerapan

Evaluasi&
Revisi

Umpan
Balik

Gambar 2 Fase Perencanaan Interpretasi (Bradley dalam Sharpe 1982)
Fase perencanaan interpretasi terdiri dari menuliskan tujuan,
mengumpulkan informasi, menganalisa, memadukan alternatif yang ada,
pelaksanaan program, evaluasi dan perbaikan (Sharpe 1982). Penjabaran dari
tahap tersebut adalah:

6
a. Tujuan
Tujuan adalah panduan untuk melakukan tindakan spesifik yang diperlukan
dalam sebuah perencanaan. Perumusan tujuan merupakan sasaran yang ingin
dicapai dalam perencanaan interpretasi
b. Inventarisasi
Tahap inventarisasi adalah tahap mengidentifikasi lokasi untuk menemukan
sumber daya serta kekhasan dari lokasi tersebut yang meliputi aspek fisik,
biologis, dan sosial budaya. Inventarisasi yang baik sangat diperlukan untuk
memberikan sebuah data dasar dalam perencanaan interpretasi.
c. Analisis
Data yang diperoleh dalam inventarisasi harus menggambarkan kondisi yang
ada di lokasi. Data kemudian dianalisis secara deskriptif dengan penyajian
dalam bentuk tabulasi. Dalam analisis data, informasi yang didapatkan harus
diuji dan dievaluasi sehingga menghasilkan potensi, permasalahan, dan
pemecahan masalah yang dilanjutkan pemilihan obyek interpretasi serta lokasi
interpretasi (site) untuk pengembangan rencana interpretasi yang disusun.
d. Sintesis
Tahap ini merupakan tahap memadukan berbagai alternatif kegiatan dan
mengidentifikasi implikasinya. Rencana interpretasi mengadopsi potensi
sumber daya dengan kebutuhan pengunjung.
e. Perencanaan
Pada tahap ini merupakan tahap melengkapi semua aspek dan rencana yang
diperoleh sekaligus pendugaan dan dampak implementasi.
f. Evaluasi dan Perbaikan Rencana
Kegiatan monitoring dan pemantauan diperlukan untuk melihat potensi
keberhasilan dan keberlanjutan suatu rencana yang dibuat sehingga tujuan
yang diinginkan dapat tercapai. Evaluasi dilakukan terkait dampak program
terhadap para pengguna dan dampak fasilitas yang dibangun terhadap sumber
daya.
Beberapa prinsip untuk merancang interpretasi yang efektif antara lain: (1)
merancang pengalaman interpretasi yang berbeda, (2) menyediakan komunikasi
personal dengan pengunjung, (3) melatih partisipasi pengunjung, (4) menciptakan
konten yang jelas, (5) memungkinkan untuk pengunjung alternatif yang bukan
sasaran utama (Knapp&Benton 2004; Muscardo 1998). Ham (1992)
mengemukakan empat ide utama yang menjadi pendekatan dalam interpretasi
yaitu: (1) pleasurable atau menyenangkan, (2) relevant atau menghubungkan, (3)
organized atau mengatur, dan (4) has a theme atau mempunyai tema.
Teknik Interpretasi
Veverka (1998) mengklasifikasikan teknik interpretasi menjadi beberapa
jenis. Teknik interpretasi tidak selalu berupa guided tour , namun dapat berupa
ucapan, musik pengiring kedatangan pengunjung, pola-pola ubin, penataan
ruangan hingga hal-hal yang meningkatkan ketertarikan pengunjung serta
menciptakan ikatan (bonding) antara pengunjung dengan destinasi. Beberapa
teknik intrepretasi antara lain : Visitor Center , Education Center , Display and
Exhibits, Publication, Website, Self guided trails.

7
Sharpe (1982) menyampaikan interpretasi terdiri dari dua teknik yaitu (1)
Teknik secara langsung (attended service), dan (2) Teknik secara tidak langsung
(unattended service).
1. Teknik secara langsung (Attended Service)
Teknik secara langsung (attended service) yaitu kegiatan interpretasi yang
melibatkan langsung antara interpreter dan pengunjung dengan obyek interpretasi
yang ada sehingga pengunjung dapat secara langsung melihat, mendengar atau
bila mungkin mencium, meraba dan merasakan obyek-obyek intrepretasi yang
dipergunakan dan biasanya dengan tahap-tahap pelaksanaan sebagai berikut:
 Informasi; pengunjung akan mendapatkan informasi tentang obyek yang akan
dikunjungi.
 Rencana kegiatan pelaksanaan program akan dijelaskan pada suatu sentra
pengunjung, jadi pengunjung sudah lebih dulu mengetahui program
interpretasi yang dipilih dan garis besar rencana perjalanannya.
 Penyampaian uraian-uraian; dilakukan oleh interpreter pada saat
melaksanakan program interpretasinya.
Dengan adanya kontak antara pengunjung dengan interpreter maka
terdapat suatu komunikasi langsung sehingga peran interpreter sangat besar untuk
dapat mengungkapkan semua potensi dalam suatu kawasan secara menarik.
Interpreter yang baik harus dapat membuat suasana yang santai sehingga
pengunjung akan dapat bebas bertanya ataupun dapat mengutarakan keluhankeluhannya. Pengunjung akan merasa penting jika dilibatkan dalam suatu program
interpretasi (Knapp&Benton 2004).
2. Teknik secara tidak langsung (Unattended Service)
Teknik secara tidak langsung (unattended service) yaitu kegiatan
interpretasi yang dilaksanakan dengan menggunakan alat bantu dalam
memperkenalkan obyek interpretasi. Interpretasi disajikan dalam suatu program
slide, video, film, ataupun rangkaian gambar-gambar. Program ini biasanya
diselenggarakan terutama untuk kawasan yang sangat luas sehingga tidak semua
potensi alam mudah dinikmati atau didatangi (daerahnya rawan, satwa liar masih
banyak) sehingga walaupun tidak dapat mengunjungi semua lokasi tetapi
pengunjung dapat mengetahui dan menikmati kekayaan alam yang ada di
kawasan tersebut. Program interpretasi secara tidak langsung ini juga harus
dibuat menarik dan dapat mewakili potensi alam yang ada di tempat tersebut.
Kedua teknik diatas sebenarnya tidak dapat dipisahkan begitu saja karena
biasanya pengunjung yang datang ke suatu kawasan yang mempunyai potensi
besar dan luas ingin melihat dulu secara keseluruhan potensi alam yang ada
ditempat-tempat tersebut, baru setelah itu melihat salah satu atau beberapa
program interpretasi yang ditawarkan.
Program Interpretasi
Menurut Sharpe (1982), program interpretasi adalah pengetahuan dari
seluruh usaha interpretasi, yaitu mencakup personil, fasilitas, dan seluruh kegiatan
interpretasi, kelembagaan serta tempat wisata tersebut. Menurut Ditjen PHPA
(1988), program interpretasi merupakan suatu pola pelaksanaan interpretasi
menurut waktu dan skenario cerita tertentu pula. Skenario cerita interpretasi

8
adalah garis-garis besar cerita yang mencakup materi interpretasi sebagai bahan
yang digunakan untuk menyusun suatu program interpretasi dan menjadi isi dan
maksud dari program interpretasi tersebut.
Program interpretasi yang disusun haruslah informal dan dalam suasana
yang santai (Ham 1992). Program membantu pengunjung untuk menyelaraskan
kebutuhan rekreasi dan ekspetasi akan sumber daya yang ada sekaligus memberi
dampak terhadap tingkah laku pengunjung secara langsung. Hal ini menunjukkan
bahwa interpretasi memberi makna secara langsung (Wearing 2009). Manfaat dari
segi pendidikan bagi pengunjung adalah kesempatan untuk belajar, meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman akan lingkungan serta mendorong penemuan
personal (self discovery).
Dalam merancang suatu program interpretasi ada beberapa prinsip yang
harus diperhatikan, seperti yang telah dikemukakan oleh Tilden (1977) sebagai
berikut :
1. Suatu interpretasi yang tidak ada kaitannya antara yang diperagakan dengan
apa yang diuraikan akan merupakan suatu hal yang sia-sia
2. Informasi atau penerangan bukanlah interpretasi. Interpretasi adalah suatu
ungkapan berdasarkan informasi-informasi. Dalam interpretasi dimasukkan
unsur-unsur informasi
3. Interpretasi adalah suatu seni yang menggabungkan bermacam-macam seni,
baik bersifat ilmiah, sejarah atau arsitektur, suatu seni yang pada suatu
tingkatan tertentu dapat dianjurkan kepada orang lain
4. Cara menyampaikan interpretasi bukan dengan perintah tetapi pancingan atau
persuasi (dorongan)
5. Interpretasi bermaksud menunjukkan sesuatu secara keseluruhan dan bukan
potongan-potongan informasi
6. Interpretasi bagi anak-anak bukan penyederhanaan bagi orang dewasa.

Makna Konservasi
Konservasi berasal dari conservation yang terdiri atas kata con (together)
dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian “upaya memelihara apa yang
kita punya (keep/save what you have) namun secara bijaksana (wise use). Konsep
ini pertama kali dikemukakan oleh Theodore Roseevelt (1902) dalam Model Desa
Konservasi (2009) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan
tentang konsep konservasi. Konservasi dalam pengertian sekarang diterjemahkan
sebagai the wise use of nature resources (pemanfaatan sumber daya alam secara
bijaksana). Makna konservasi merupakan pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan yang bertanggungjawab, berkelanjutan, dan berkeseimbangan (Zuhud
2011).
Azas konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya adalah pelestarian
kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara
serasi dan seimbang. Tujuan dari konservasi adalah terpeliharanya proses ekologis
yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Kegiatan konservasi meliputi tiga hal,
yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan jenis tumbuhan dan

9
satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
(Departemen Kehutanan 1990).
Pemanfaatan dan konservasi bambu telah menjadi perhatian bagi negaranegara di Asia, khususnya Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara (Wong,
2004). Konservasi bambu seperti halnya dengan konservasi pada tanaman lain
didasarkan pada spesies yang memiliki manfaat ekonomi dan spesies yang
tergolong langka dan endemik. Seiring dengan meningkatnya penggunaan bambu,
penebangan bambu terus meningkat. Pemanenan yang dilakukan secara tidak
beraturan dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan. Pengambilan secara terus
menerus tegakan alami bambu tanpa penanaman kembali berdampak pada
kepunahan. Oleh karena itu diperlukan adanya usaha konservasi bambu, baik di
lokasi tumbuh alaminya (in-situ) maupun di luar lokasi pertumbuhannya (ex-situ)
(Widjaja 2001).
Pemerintah telah menyiapkan strategi dan rancang tindak untuk
melindungi dan melestarikan potensi serta fungsi keanekaragaman hayati bambu
dan jasa lingkungan yang tersedia secara berkelanjutan (Untung et al. 1998).
Upaya mendorong program pengelolaan bambu dengan menjamin keseimbangan
antara pelestarian keanekaragaman hayati bambu dan pemanfaatannya secara insitu dan ex-situ. Pelestarian bambu dilakukan melalui kegiatan penanaman di
hutan alam dan kebun koleksi untuk mempertahankan keberadaan berbagai jenis
bambu baik yang endemik maupun yang eksotik dengan semua sumber
genetiknya.
Salah satu konsep mengenai pengelolaan konservasi jangka panjang
disampaikan oleh Zuhud (2008) yaitu konsep tri stimulus AMAR konservasi.
Konsep tristimulus AMAR konservasi terdiri dari tiga nilai yang menstimulus
seseorang atau suatu pihak untuk melakukan upaya konservasi. Tiga nilai tersebut
adalah nilai Alamiah, nilai MAnfaat, dan nilai Rela-religius. Stimulus alamiah
didefinisikan nilai-nilai kebenaran alam, fakta-fakta, fenomena-fenomena dan
sinyal-sinyal alam yang harus disikapi serta diperlakukan sesuai dengan karakter
setiap spesies sumberdaya alam hayati. Stimulus MAnfaat diartikan nilai-nilai
kepentingan untuk manusia, terutama berguna bagi keberlanjutan hidup fisiologis
manusia, diantaranya manfaat ekonomi, sandang, obat dan sebagainya. Adapun
stimulus Rela-religius bermakna nilai-nilai kebaikan terutama yang ganjarannya
dipercaya dan diyakini anugerah dari Sang Pencipta Alam. Stimulus ini antara
lain: nilai spiritual, nilai agama yang universal, dosa, pahala, norma, etika,
termasuk kearifan sosial budaya masyarakat tradisional. Stimulus ini mampu
mendorong masyarakat untuk rela berkorban melakukan aksi konservasi dan
mencegah aksi yang bertentangan dengan konservasi. Konservasi akan terwujud
dengan syarat apabila ketiga kelompok stimulus sudah mengkristal menjadi
pendorong sikap dan aksi masyarakat untuk konservasi.
Tri Stimulus AMAR Konservasi Bambu untuk Angklung
Dalam konteks sistem nilai, terdapat tiga kelompok stimulus pro konservasi, yaitu
Alamiah, MAnfaat, dan Religius-rela yang merupakan kristalisasi dari nilai
kebenaran, kepentingan, dan kebaikan (Zuhud 2011). Kristalisasi tersebut
menjadi penggerak, penyeimbang, dan pengendali terwujudnya sikap dan perilaku
untuk aksi konservasi yang berkelanjutan secara konkret. Gambar berikut

10
menunjukkan diagram alir tiga kelompok stimulus sebgai pendorong sikap prokonservasi masyarakat.

Tri-Stimulus Amar Prokonservasi
1. Stimulus Alamiah
Nilai-nilai kebenaran dari alam,
kebutuhan keberlanjutan sumber
daya alam hayati sesuai dengan
karakter
biologisnya
(jenis,
morfologi, habitat, usia, pola
pemanenan, proses pengawetan
bambu)
2. Stimulus Manfaat
Nilai-nilai
kepentingan
untuk
manusia: manfaat ekonomi, manfaat
sosial, budaya, ekologis
(angklung, bahan bangunan, rebung,
kertas)
3. Stimulus Religius-rela
Nilai-nilai religius, kebaikan , nilai
spiritual, kearifan budaya, kepuasan
batin

Sikap
Konservasi
Cognitive

Persepsi,
pengetahuan,
pengalaman,
pandangan,
keyakinan
Affective

Emosi, cinta

Perilaku
Pro
Konservasi

Konservasi
terwujud di
dunia nyata

Overt action

Kecenderungan
bertindak

Gambar 3 Diagram alir „tri stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap, dan
perilaku aksi konservasi (Zuhud, et al 2007)

Bio-Ekologi Bambu (Stimulus Alamiah)
Morfologi Bambu
Bambu merupakan tumbuhan dengan batang berbentuk buluh, beruas,
bercabang dan berimpang (Alamendah 2011). Bambu telah menjadi penghuni
bumi sejak 200.000.000 tahun yang silam. Jumlah jenis bambu yang ada di
seluruh dunia belum diketahui secara pasti. Menurut Widjaja (2001a) ada 1.2001.300 jenis bambu ada di dunia. Dari jumlah tersebut, ada 160 jenis bambu yang
tumbuh di Indonesia (Fathony 2011). Di Pulau Jawa diperkirakan hanya ada 60
jenis, 14 jenis diantaranya hanya tumbuh di Kebun Raya Bogor dan Cibodas
sedangkan 9 jenis merupakan endemik pulau Jawa (Widjaja 2001b).
Bambu menjadi bagian dari kehidupan dan budaya bangsa Asia (Wong,
2004). Bagi para botanist, keanekaragaman bambu menjadi sumber penelitian
yang mengagumkan,sedangkan fokus perhatian agronom yaitu membudidayakan
bambu, bagi pengelola sumber daya memastikan bambu dilestarikan dan diketahui
dengan baik, sedangkan keberadaan dan kelimpahan bambu menjadi fokus
perhatian para rimbawan. Bambu adalah salah satu jenis tumbuhan yang cepat

11
tumbuh dan dapat mencapai ketinggian maksimum 30 meter dalam waktu 2-4
bulan dengan rata-rata pertumbuhan harian sekitar 20-100 cm dan diameter 5-15
cm (Bamboo the Giant Grass 1991; Ueda (1960) dalam Jonkhart 2011). Dalam
beberapa bulan, batang bambu mampu mencapai pertumbuhan maksimal. Ratarata waktu pertumbuhan bambu untuk mencapai usia dewasa sekitar 3-6 tahun
(Xingcui 2011).
Bambu memiliki batang yang tumbuh di dalam tanah yang disebut
rimpang (rhizome) dan buluh (culm) untuk bagian rimpang yang tumbuh ke atas
membentuk rebung (Widjaja 2001; Wong 2004). Rimpang membentuk sistem
percabangan yang dapat dipakai untuk membedakan kelompok bambu. Ada dua
macam sistem percabangan rimpang yaitu pakimorf (dicirikan oleh rimpangnya
yang simpodial), leptomorf (dicirikan oleh rimpangnya yang monopodial). Di
Indonesia jenis-jenis bambu asli umumnya mempunyai sistem rimpang pakimorf,
yang dicirikan oleh ruasnya yang pendek dengan leher yang pendek juga
(Bamboo Terminology 1991).
Rebung merupakan bambu muda yang muncul dari permukaan dasar
rumpun atau rizhom. Pada awalnya berbentuk tunas yang pertumbuhannya lambat
dan dalam perkembangannya berbentuk kerucut yang merupakan bentuk
permulaan dari perkembangan batang. Rebung muncul pada musim hujan yang
laju pertumbuhannya sangat tergantung dari jenis bambunya (Bamboo
Terminology 1991; Environmental Bamboo Foundation Holland1996). Rebung
tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari pangkal buluh tua.
Rebung selalu ditutupi oleh pelepah buluh yang juga tumbuh memanjang
mengikuti perpanjangan ruasnya (Widjaja 2001b).
Buluh berkembang dari rebung, tumbuh sangat cepat dan mencapai tinggi
maksimum dalam beberapa minggu. Buluh terdiri atas ruas dan buku-buku. Selain
berbeda dalam panjang buluhnya beberapa jenis tertentu mempunyai diameter
buluh yang berbeda. Marga Dendrocalamus mempunyai diameter buluh tebesar
diikuti oleh jenis-jenis dari marga Gigantochloa dan Bambusa (Widjaja 2001).
Buluh memiliki pelepah yang merupakan hasil modifikasi daun yang menempel
pada setiap ruas. Pelepah buluh sangat penting fungsinya yaitu menutupi buluh
ketika muda. Saat buluh tumbuh dewasa dan tinggi pada beberapa jenis bambu
pelepahnya luruh tetapi jenis lain pelepahnya tetap menempel (Widjaja 2001).
Pelepah buluh terdiri atas daun pelepah buluh, kuping pelepah buluh dan ligula
(sambungan antara pelepah buluh).
Batang bambu terdiri atas tiga bagian yaitu kulit, kayu dan bagian
empulur. Kulit bambu adalah bagian terluar dari penampang lintang dinding
batang, empulur adalah bagian batang yang berdekatan dengan rongga bambu
yang tidak mengandung ikatan vaskular. Bagian kayu pada bambu adalah bagian
diantara kulit dan empulur (Widjaya 2001b).
Percabangan pada umumnya terdapat di atas buku-buku. Cabang dapat
digunakan sebagai ciri penting untuk membedakan marga bambu. Pada marga
Bambusa, Dendrocalamus dan Gigantochloa sistem percabangan memiliki satu
cabang yang lebih besar daripada cabang lainnya yang lebih kecil. Cabang lateral
bambu yang tumbuh pada batang utama, biasanya berkembang ketika buluh
mencapai tinggi maksimum.
Daun pada tanaman bambu diasumsikan dalam dua bentuk dengan fungsi
berbeda. Daun yang berwarna hijau dan berperan dalam fotosintesis dan selubung

12
daun (culm sheaths) yang berfungsi membungkus ruas batang yang masih muda
dan umumnya akan berubah warna dari hijau menjadi coklat kekuningan
(Bamboo Terminology 1991; Wong 2004). Helai daun bambu mempunyai tipe
pertulangan yang sejajar seperti rumput, dan setiap daun mempunyai tulang daun
utama yang menonjol. Daunnya biasanya lebar, tetapi ada juga yang kecil dan
sempit seperti pada bambu cendani (Bambusa multiplex) dan bambu siam
(Thyrsostachys siamensis). Helai daun dihubungkan dengan pelepah oleh tangkai
daun.
Siklus Hidup Bambu
Bambu mampu tumbuh di cuaca yang panas seperti di Kepulauan Nusa
Tenggara hingga iklim yang bercurah hujan tinggi seperti Bandung (Sulthoni,
1994). Semakin tinggi curah hujan, semakin beragam jenis bambu yang tumbuh.
Bambu juga mampu tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 2.000 m dpl.
Bahkan bambu dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah (Sutiyono2006).
Siklus hidup tanaman bambu dimulai seperti tanaman lain, bertunas dari
biji dan mengeluarkan pucuk pertamanya untuk membentuk suatu batang. Seperti
kebanyakan rerumputan, bambu tumbuh dan berbunga, menghasilkan biji dan
mati. Cabang tunas ini nantinya akan membantuk akar dan menghasilkan rizoma
dan batang bambu baru. Batang bambu memiliki rongga dan dibatasi oleh node
(buku) tempat tumbuhnya ranting dan daun bambu. Batang tersebut mengeluarkan
daun untuk memulai proses fotosintesis. Batang pertama dari suatu rumpun
ukurannya dibatasi oleh kapasitas fotosintesis dari rumpun baru. Pada proses
fotosintesis ini, batang-batang yang lebih kecil hingga yang sudah cukup besar
membantu batang-batang yang baru mencapai ketinggian maksimal (Sutiyono
2006).
Pola Pertumbuhan Bambu
Bambu secara umum dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok
menyebar (running) dan merumpun (clumping). Jenis yang merumpun (clumping)
menyebarkan tunas – tunas barunya dekat dengan tangkainya (culm), sementara
kelompok yang menyebar (running) menyebarkan tunasnya sejauh 30 meter dari
tangkainya (culm), biasanya sejauh tingginya batang. Kebanyakan spesies tropis
seperti yang ditemukan di Indonesia adalah kelompok yang merumpun
(clumping), sementara kelompok yang menyebar (running) hanya terbatas di
daerah yang lebih dingin seperti di Cina (Sutarno 1996 dalam Erizal 1997).
Penanaman Bambu
Bambu dapat tumbuh melalui biji, pemotongan atau pembagian rumpun.
Karena bambu sangat jarang berbunga, biasanya dikembangbiakkan secara
vegetatif dan kultur jaringan. Bambu jenis menjalar, biasanya dikembangkan
dengan potongan rizomanya.
Sedangkan bambu rumpun biasanya
dikembangbiakkan dengan potongan batang bambu yang menyertakan ruas yang
memiliki bakal tunas. Spesies bambu mempunyai waktu yang lama untuk
berbunga dan susah bertunas dari biji (tingkat pertumbuhan hanya dibawah 1%).
Jenis tanaman bambu yang kecil (diameter < 5 cm) ditanam dengan memisahkan
rumpun sedangkan jenis yang lebih besar (> 15 cm) dengan metode pemotongan.

13
Cara yang paling umum dalam penyebaran spesies bambu besar adalah
dengan memotong dan dikubur (burying cuttings) secara horizontal, dimana 3
atau 4 bongkol bambu dengan panjang sekitar 6 inci dikubur dibawah tanah pada
permulaan musim hujan. Lubang – lubang dipotong ditengah antara bongkol, dan
setiap segmen diisi dengan air sebelum dikubur. Tunas-tunas baru kemudian akan
terbentuk dari setiap tangkal bongkol (nodal joints) (Sutiyono 2006).
Jenis dan Karakteristik Bambu untuk Angklung
Bambu yang dipergunakan sebagai bahan baku angklung sebagai berikut :
 Bambu Gombong(G. Pseudoarundinacea)
 Bambu Hitam atau Awi Hideung(G. Atroviolacea)
 Bambu Temen atau Awi Temen(G. Atter)
 Bambu Tali atau Awi Tali(G. Apus)
Keempat jenis bambu tersebut merupakan bambu yang paling baik sebagai
bahan baku angklung karena keempat bambu tersebut memiliki pola distribusi
serabut yang lebih merata. Kelemahan bambu antara lain :
a. Elastisitas bambu/sifat menyusut dan mengembang
Pengaruh cuaca atau iklim setempat dapat menyebabkan perubahan nada
yang telah terbentuk pada Angklung. Nada yang dihasilkan dapat menjadi lebih
tinggi apabila bambu mengerut dan menjadi rendah apabila bambu mengembang.
Besar kecilnya elastisitas bambu tergantung kepada kepadatan bambu yang
bersangkutan. Apabila bambu itu kurang padat, maka elastisitasnya akan menjadi
lebih besar dan mudah sekali berubah karena pengaruh iklim. Namun jika bambu
memiliki distribusi serat yang cukup padat, maka elastisitasnya akan kecil
Pe