43 Kendati kesaksian tidak dapat memberi kepastian mutlak mengenai kebenaran isi
kesaksiannya, namun sebagai dasar dan sumber pengetahuan cara ini banyak ditempuh. Ilmu pengetahuan seperti sejarah, hukum, dan agama secara metodologis banyak
bersandar pada kesaksian orang. Tentu saja dalam ilmu-ilmu tersebut, memperoleh jaminan tentang kewenangan dan hal dapat dipercayainya sumber yang memberi
kesaksian, secara metodologis menjadi amat penting. Dalam ilmu sejarah, misalnya, para sejarawan sering kali harus mendasarkan diri pada dokumen-dokumen, prasasti-
prasasti, barang-barang peninggalan zaman dulu sebagai pemberi kesaksian tentang peristiwa masa lalu yang diselidikinya. Diperlukan suatu keahlian tersendiri untuk
menjamin keaslian dokumen bersejarah dan memahami dengan tepat benda-benda peninggalan sejarah tersebut.
4. Minat dan Rasa Ingin Tahu
Tidak semua pengalaman berkembang menjadi pengetahuan. Untuk dapat berkembang menjadi pengetahuan, subjek yang mengalami sesuatu perlu memiliki
minat danrasa ingin tahu tentang apa yang dialaminya. Maka, hal lain yang mendasari adanya pengetahuan adalah adanya minat dan rasa ingin tahun manusia. Minat
mengarahkan perhatian terhadap hal-hal yang dialami dan dianggap penting untuk diperhatikan. Ini berarti bahwa dalam kegiatan mengetahui sebenarnya selalu sudah
termuat unsur penilaian. Orang akan meminati apa yang ia pandang bernilai. Sedangkan rasa ingin tahu mendorong orang untuk bertanya dan melakukan penyelidikan atas apa
yang dialami dan menari minatnya. Seperti dinyatakan oleh Aristoteles dalam kalimat pembukaan dari bukunya
Metafisika, pada dasarnya ”semua manusia ingin
mengetahui”. Kenyataan ini terungkap dengan jelas misalnya dalam gejala manusia sebagai makhluk bertanya. Sejak kita masih kecil, kalau pertumbuhan kita sehat, kita
sudah terdorong untuk bertanya tentang banyak hal yang kita alami di sekitar kita. Orang dewasa kadang kewalahan dalam meladeni pertanyaan anak kecil yang aneh-
aneh dan merepotkan untuk dijawab. Sayang bahwa kadang kala minat dan rasa ingin tahu tersebut tidak terus dipupuk, tetapi malah sebaliknya dimatikan. Tidak jarang
bahwa di sekolah, anak yang banyak bertanya justru dianggap mengganggu. Proses belajar-mengajar tidak merangsang anak untuk bertanya, tetapi sebaliknya membuat
44 anak melulu pasif dan reseptif. Murid yang dianggap baik adalah murid yang selalu
duduk tenang, rajin mendengarkan, mencatat, dan mengulang kembali dengan tepat apa yang dikatakan guru. Guru malah merasa senang kalau peserta didik tidak banyak
bertanya. Padahal imajinasi dan daya cipta peserta didik akan berkembang kalau mereka diberi kebebasan untuk banyak bertanya dan dibantu mencari jawaban atas apa
yang mereka tanyakan. Pengembangan kemampuan berpikir kritis akan terhalang kalau tumbuhnya minat dan rasa ingin tahu dalam diri peserta didik tidak diberi jalan.
Rasa ingin tahu erat terkait dengan pengalaman kekaguman atau keheranan aka apa yang dialami. Seperti sudah dikemukakan oleh Plato, kegiatan filsafat sendiri
dimulai dengan pengalaman kekaguman atau keheranan. Kenyataan ini berlaku untuk semua kegiatan mencari pengetahuan. Dalam gejala manusia bertanya terungkap
kenyataan bahwa manusia di satu pihak sudah tahu sesuatu tetapi sekaligus juga belum tahu, dan ia ingin tahu mengenai hal-hal yang belum ia ketahui. Pertanyaan selalu
menunjuk pada kenyataan adanya kemungkinan pengetahuan yang lebih dari apa yang sampai sekarang sudah diketahui. Karena selalu masih ada saja hal-hal yang belum
diketahui, setiap jawaban atas suatu pertanyaan sering memunculkan pertanyaan baru yang mengharapkan jawaban. Dapat mengajukan pertanyaan yang tepat mengandaikan
bahwa orang tahu di man ia tahu dan di mana ia tidak tahu. Maka, mengajukan pertanyaan yang tepat merupakan langkah pertama memperoleh jawaban yang benar.
Hanya kalau orang menyadari akan ketidaktahuannya dan ingin tahu, maka ia akan bertanya dan berusaha mencari jawaban atas apa yang ia tanyakan. Kesadaran dan
dorongan seperti itu merupakan hal yang mendasar bagi bertambahnya pengetahuan. Hanya kalau orang berusaha untuk dapat memahami dan menjelaskan apa yang
dialami, maka pengalaman dapat berkembang menjadi pengetahuan.
5. Pikiran dan Penalaran