BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pluralisme agama berarti kemajemukan agama yang menerima kemajemukan agama-agama dan percaya bahwa semua agama pada akhirnya
menunjuk kepada realitas mendasar yang sama dan semua orang-orang percaya dari keyakinan agama dan iman yang berbeda-beda mendapat keselamatan yang
sama efektifitasnya.
1
Pluralisme agama adalah istilah khusus dalam kajian agama- agama. Pluralisme adalah suatu paham, sikap yang menerima validitas atau
keabsahan bahwa semua agama adalah sama. Perhatikan perkataan Paul F. Knitter berikut
ini, “Deep down, all religious are the same–different paths leading to the same goal.
2
” pada intinya, semua agama adalah sama, jalan-jalan yang berbeda memimpin kepada tujuan yang sama.
Dalam lingkup Kekristenan, pluralisme dikembangkan dari fakta kemajemukan yang diikuti oleh tuntutan toleransi, dan diilhami oleh keadaan
sosial-politik yang didukung oleh kemajemukan etnis, budaya, dan agama; serta disponsori oleh semangat globalisasi dan filsafat relativisme. Toleransi dan
keterbukaan merupakan salah satu nilai yang paling diagung-agungkan oleh pluralisme. Sejalan dengan ini, teologi pluralisme agama menganggap bahwa
semua agama membawa orang-orang kepada satu realitas ilahi menjadi pilihan
1
Daniel B. Clendenin, Many Gods Many Lords “an interpretative theory about how one
should handle the many competing truth-claims made by the various religions ” Grand Rapids:
Baker, 1995 hlm 12
2
Paul F. Knitter, No Other Name? New York: Orbis Books, 1982. hlm 37
yang menarik karena dianggap demokratis dan toleran. Akan tetapi toleransi tersebut merupakan toleransi yang nyaris tanpa batas.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka semua disiplin ilmu teologi diupayakan untuk dikaji ulang rekonstruksi. Kaum pluralisme menolak segala
bentuk klaim agama yang bersifat absolut, unik, normatif, eksklusif atau finalitas. Pluralisme secara terang-terangan menolak konsep kefinalitasan,
eksklusivisme yang normatif, dan keunikan Yesus Kristus. Kristus bukan lagi satu-satunya penyelamat, melainkan salah satu penyelamat.
Knitter mengajukan tesis tentang Keunikan Yesus, ia mengatakan bahwa karena keharusan dialog maka pengertian terdahulu tentang keunikan Yesus harus
direinterpretasikan, dan keunikan peranan Yesus yang menyelamatkan dapat direinterpretasikan dalam arti sesungguhnya, tetapi bukan satu-satunya.
3
Tokoh pluralisme lain yaitu John Hick. Hick mempertanyakan apakah klaim ketuhanan
yang menyangkut Yesus adalah sebuah pernyataan yang berdasarkan fakta, ataukah itu hanya ungkapan puitis, simbolik, bahkan mitologis? Hick
memperbandingkan Yesus yang merupakan anak Tuhan yang memiliki ibu Sang Perawan Maria dengan tokoh mitologi Hercules, yang ayahnya adalah dewa Zeus
dan ibunya adalah seorang manusia. Oleh karena itu, John Hick memandang konsep ketuhanan Yesus sebagai kisah yang murni puitis-mitologis. Dengan cara
ini, menurut Hick, kita bisa memuji keimanan Kristen tanpa harus mencela keimanan agama lain.
4
3
John Hick dan Paul F Knitter, Mitos Keunikan Agama Kristen, terjemahan Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001 hlm 298-309
4
Paul F Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, terjemahan Yokyakrta: Kanasius, 2008 hlm 143-145
Sumartana salah satu tokoh pluralisme di Indonesia mengatakan bahwa perlu untuk bagaimana kita menafsirkan kristologi secara baru sehingga mampu
memberi tempat bagi agama-agama. Dengan kata lain, bahwa kristologi yang ada tidak dirumuskan dalam konteks pluralisme agama-agama seperti yang sekarang
ini.
5
Keunikan dan finalitas Kristus dianggap sebagai sebuah mitos yang perlu
ditinggalkan. Di sinilah letaknya kehancuran kekristenan masa kini, sekalipun
pada hakekatnya kekristenan tidak akan pernah hancur. Kaum pluralis mengembangkan doktrin masing-masing agama dengan
cara membuka diri terhadap pengadopsian kebenaran doktrin agama lain. Menurut Stevri Lumintang, bahwa pengembangan seperti ini, sesungguhnya sama saja
dengan menyatukan doktrin semua agama-agama. Dalam rangka menyatukan doktrin-doktrin tersebut, mereka mempersoalkan beberapa inti doktrin Kristen
tradisional yang berkaitan dengan pertanyaaan-pertanyaan teologis, yang bagi mereka teologi tradisional adalah sempit, kaku, angkuh serta belum lengkap.
6
Pertanyaaan-pertanyaan kaum pluralis terutama ditujukan terhadap doktirn Kristologi khususnya tentang ke-Tuhanan Yesus. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
saling terkait satu dengan yang lain, antara lain; Pertama, Apakah Yesus adalah Tuhan atas seluruh alam semesta? Apakah semua ciptaan termasuk manusia harus
tunduk kepada Yesus? Kedua, Apakah Yesus adalah Juru Selamat satu-satunya manusia? Atau tidak adakah penyelamat lain selain Yesus? Ketiga, apakah Yesus
adalah penyataan kebenaraan Allah yang final? Atau tidak adakah penyataan Allah selain Yesus? Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat disimpulkan
5
Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia: Theologia Religionum Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000 hlm 22
6
Stevri I. Lumintang, Theologia Abu-Abu: Pluralisme Agama Malang: Gandum Mas, 2004 hlm 16
menjadi tiga masalah mengenai metodologi Kristologi. Masalah-masalah tersebut adalah: 1 hubungan di antara iman dan sejarah, 2 hubungan antara penelaahan
tentang pribadi Kristus dengan penelaahan tentang karya Kristus, dan 3 makna sesungguhnya dari inkarnasi.
Pertanyaan-pertanyaan kaum pluralis tersebut telah menggoyahkan iman dan teologi Kristen. Oleh karena itu pandangan Kristologi dalam pluralisme perlu
dikaji. Hal ini disebabkan pada saat mempelajari pribadi dan karya Kristus, kita berada pada pusat teologi Kristen. Karena menurut defenisi istilah Kristen itu
sendiri berarti orang yang percaya pada Kristus dan menjadi pengikut Kristus, maka pengertian tentang Kristus harus yang utama dan meyakinkan tentang sifat
iman Kristen. Semua hal lainnya tidaklah sepenting dengan apa yang kita pikirkan tentang Kristus. Karena itu kita harus memberikan perhatian yang khusus dan
saksama tatkala menyusun Kristologi kita. Oleh Karena itu penulis ingin mengkaji Kristologi pluralisme tersebut.
Beberapa alasan mendasar adalah sebagai berikut: Apakah kristologi pluralisme yang dibangun tersebut harus membuang finalitas Yesus? Bagaimana mungkin
demi membangun hubungan dengan tetangga, kemudian mengusir tuan rumah? Bagaimana mungkin demi untuk membangun hubungan yang harmonis dengan
agama lain, namun harus membuang jati diri kekristenan yang bertumpu pada finalitas Yesus? Bukankah hal tersebut merupakan kemunafikan? Maukah orang
agama lain menerima kemunafikan kita? Dari penjelasan di atas tersebut, maka penulis membuat karya ilmiah ini
dengan judul
”Kristologi dalam Paham Pluralisme Agama suatu Kajian Kristologi Alkitabiah Terhadap Pandangan Kristologi Dalam pluralisme
”
B. Rumusan Masalah