Farid Esack dan paham pluralisme agama

(1)

FARID ESACK DAN PAHAM PLURALISME AGAMA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.)

Oleh

Tati Castiah

NIM: 9933116554

PROGRAM STUDI AQIDAH-FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1428 H./2008 M.


(2)

FARID ESACK DAN PAHAM PLURALISME AGAMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.)

Oleh

Tati Castiah

NIM: 9933116554

Pembimbing,

Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan

PROGRAM STUDI AQIDAH-FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1428 H./2008 M.


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul FARID ESACK DAN PLURALISME AGAMA telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Filsafat Islam (S. FIL. I) pada program studi Akidah Filsafat.

Jakarta, 12 Juni 2004 Disahkan Oleh Dekan Fakultas Uhulluddin dan

Filsafat

Prof. DR. H. Hasanuddin, AF, M.A.

NIP. 150 050 917

Panitian Ujian Munaqasyah

Ketua, Sekretaris, Halimah Ismail . Hj . Dra . H . S , Asep Syarifuddin . Drs NIP. NIP. Pembimbing,

Abdul Aziz Dahlan . DR . Prof NIP. Penguji I, Penguji II, . Drs . Drs NIP. NIP.


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, penulis

panjatkan kepada-Nya karena atas kehendak-Nya, dan kuasa-Nya-lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin menghaturkan banyak terimakasih yang tulus kepada pihak-pihak yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini: Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A.; Pudek I Bapak Dr. Hamid Nasuhi M.A.; Pudek III Bapak Dr. Masri Mansoer, M.A.; Ketua Jurusan Akidah Filsafat Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils.; dan Sekretaris Jurusan Akidah Filsafat Bapak Drs. Ramlan Abdul Gani M.Ag. Penulis juga haturkan banyak terimakasih kepada dosen pembimbing akademik, Bapak Dr. Fariz Pari, M.Fils., yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam proses penulisan proposal skripsi. Penulis juga sangat bersyukur dan sangat berterimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan sebagai dosen pembimbing, beliau telah banyak membimbing penulis dalam proses penulisan skripsi, khususnya dalam teknik penulisan. Atas masukan dan bimbingannya selama ini penulis haturkan banyak terimakasih yang tulus kepada beliau. Penulis juga tak kan pernah lupa kepada sahabat-sahabat yang telah

mensupport dan berbagi dalam banyak hal dengan penulis: “Loi” April dan

Vivannya; Ka ul, “kue pukis” Maya, “karkata” V, Fahim, Susi (terimakasih karena mau direcokin, terutama dalam hal pinjam-meminjam buku di perpustakaan Pasca); Tina dan nDe, yang selalu memotivasi dari jauh; T’ neng Sri, Wati, Neli, Hida, Rositoh, Mun Ari, Chotib May, Mukhlis, Maftuhah dan si Bontot Lis; kemudian kepada sahabat-sahabat di kelas AF: Iqbal Hasanuddin,


(5)

teman semasa sekolah hingga kuliah (terimakasih ya Iq, sudah mau berbagi dalam banyak hal, terutama ilmu); Nanang, terimakasih karena telah banyak membantu penulis, di saat kelimpungan, khususnya dalam menghadapi urusan perkuliahan; Tantowi, yang selalu mensupport (kapan giliran kamu wi?); “mamad” Jafar al-Hadar, terimakasih atas pertemanannya selama ini; Hamid dan Eemnya; Pranyoto, Baehaqi, Sun, Anita, Iik, dan Pay. Tak lupa juga sahabat-sahabat Fomacian lainnya, tempat diskusi dan berbagi dalam banyak hal: Te Piti (nuhun nya…), Neng Indri dan Saidimannya; Biya, Linda, Ayi, Zen, Ridwan, Empi, Ken Husni dan Yangnya; Akib dan lisnya; Adri, Mud, Nana, Dedi, Didi, Arif dan pujinya. Akhirnya penulis ucapkan terimakasih yang tak terkira kepada ayah, ibu, kakak-kakak, dan ade yang telah mensupport dan mendo’akan penulis dalam banyak hal, terutama dalam menghadapi masa perkuliahan di Universitas ini, serta keponakan-keponakan tercinta, yang selalu dirindu disetiap saat: Hanoy, Ebi, Kekeh, Ge Ima, Desiti, Neng, Dean, Pitpit, Bulan, dan Si Bongsor Dafiq Ar. Terimakasih ya …

Ciputat, 10 Juli 2008


(6)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangakan

b be

t te

ts te dan es

j je

h h dengan garis di bawah

kh ka dan ha

d de

dz de dan zet

r er

z zet

s es

sy es dan ye

s es dengan garis di bawah

d de dengan garis di bawah

t te dengan garis di bawah

z zet dengan garis di bawah

‘ Koma terbalik di atas hadap kanan

gh ge dan ha

f Ef

q Ki

k Ka


(7)

m Em

n En

w We

h Ha

` Apostrof

y Ye

Vokal Tunggal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a fathah

i kasrah

u dammah

Vokal Rangkap

!!"

!

ai a dan i

!!

#!

au a dan u

Vokal Panjang

"

$

â a dengan topi di atas

%&

î i dengan topi di atas

%'

û u dengan topi di atas


(8)

Kata sandang dalam sistem tulisan arab

#

dialih akasrakan menjadi

huruf /L/, baik yang diikuti huruf syamsiyyah maupun qamariyyah.

Syaddah (Tasydîd)

Syaddah dalam sistem tulisan arab dialihaksarakan dengan menggandakan


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia, sebagai negara kepulauan, mempunyai ragam bahasa, suku,

adat istiadat dan agama, dan hal ini merupakan fenomena kini, dulu dan akan datang yang tidak bisa dihindari dan dipungkiri.1 Dengan kondisi semacam itu, Indonesia berada dalam situasi yang rawan bagi timbulnya

pertentangan-pertentangan sosial. Apalagi jika sudah menyentuh persoalan agama.2 Telah banyak disaksikan konflik dan kekerasan yang terjadi di bumi ini

karena alasan agama. Kerusuhan yang terjadi di Ambon dan di Poso beberapa tahun lalu, atau pengeboman di Bali dan Hotel JW. Marriot di Kuningan adalah fakta, yang tidak bisa bisa dipungkiri, bahwa agama menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya hal tersebut.3 Bahkan peristiwa 11 September 2001 yang

1

Clive Gifford, “Indonesia,” dalam Henry P, dkk., ed., Ensiklopedi Geografi Dunia untuk Pelajar dan Umum, vol. IV. Penerjemah Dewi Susiloningtyas, dkk., (Jakarta: Lentera Abadi., 2006), h. 328-333.

2

Azyumardi Azra, dkk., Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia (Ciputat: INCIS, 2003), h. 25.

3

“Kerusuhan Ambon,” diakses pada 10 September 2007 dari

www.hamline.edu/apakabar/basis data/1999/08/26/0037.html, sedangkan kerusuhan poso adalah sebutan bagi serangkaian kerusuhan yang terjadi di Poso Sulawesi Tengah yang melibatkan kelompok Muslim dan Kristen. Peristiwa tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu Poso I terjadi pada 25-29 Desember 1998, Poso II 17-21 April 2000, dan Poso III 16 Mei-15 Juni 2000. “Kerusuhan Poso,” diakses pada 10 september 2007 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Poso. Peristiwa terakhir kerusuhan di Poso terjadi pada 28 Mei 2005. Pelaku kerusuhan adalah dari golongan Muslim yang membunuh pendeta dan mutilasi siswa Kristen. “Pengeboman Poso Divonis 18 Tahun,” Media Indonesia, 4 Desember 2007, h. 3. Kemudian peristiwa pengeboman di Bali terjadi pada malam hari 12 Oktober 2002 di Kuta Pulau Bali. “Bom Bali,” diakses pada 10 September 2007 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2002 dan tahun 2005 terjadi tiga kali pengeboman di Jimbaran dua kali dan di Kuta satu kali. “Bom Bali,” diakses pada 10 September 2007 dari


(10)

meruntuhkan gedung WTC di New York telah mengubah pandangan dunia tentang agama karena pada saat peristiwa tersebut terjadi para pelakunya adalah dari golongan kaum beragama, yakni Islam.4 Konflik dan kekerasan atas nama agama pun bisa terjadi dalam satu

agama. Dahulu, pada perempat kedua abad ke-16 M Syaikh Siti Jenar dihukum mati di Masjid Demak oleh kelompok-kelompok Muslim bersenjata yang dipimpin oleh Jakfar Shadiq, Susuhunan Kudus, dengan tuduhan telah menyebarkan ajaran bid’ah yang, menurut mereka, ajarannya tersebut akan membahayakan kerajaan dan masyarakat Muslim lainnya.5 Peristiwa serupa pun terjadi di Aceh, yakni menimpa pada para pengikut

Syaikh Hamzah al-Fansuri dan Syamsudin Sumatrani (w.1630). Mereka dihukum bunuh karena pemikiran mereka dianggap telah membahayakan syariat oleh al-Raniri (w.1658).6 Selain mereka dihukum bunuh, literatur yang mereka miliki

dibakar.7

agustus 2003 sekitar pukul 12.45. “Bom JW. Marriot,” diakses pada 10 September 2007 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_ Marriot _2003

4

Karen Armstrong, Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk. Penerjemah Hikmat Darmawan (Jakarta: Serambi, 2003), h. 27.

5

Pemikiran Syaikh Siti Jenar yang dianggap menyesatkan adalah ajaran tauhid yang bersifat universal khususnya tentang ajaran sasyahidan atau wahdatusyuhud. Lebih lanjut lihat Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar, Buku Satu (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. xxiii-xxiv.

6

Pemikiran yang dianggap menyesatkan kedua tokoh ini di antaranya adalah yang menyatakan bahwa: alam dan manusia sama saja dengan Tuhan; wujud alam dan manusia adalah wujud Tuhan; Tuhan itu imanen; alam itu qadim; dan ketika mereka mengatakan shatiyyat;

menurut al-Raniri mereka tidak berada dalam keadaan fana; selain itu menurut al-Raniri, keilmuan mereka dalam pencapaian makrifat masih rendah. Lihat Abdul Hadi Widji Muthari, “Estetika Sastera Sufistik Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-Karya Shaikh Hamzah Fansuri,” (Tesis S2 Universitas Sains Malaysia, 1996), h. 272-273. Lihat juga pemahaman lebih jauh mengenai pembahasan wahdat al-wujud Syamsuddin al-Sumatrani dan kontroversinya dengan al-Raniri, dalam Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis atas Paham Wahdat Al Wujud (Kesatuan Wujud): Tuhan Alam Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani (Padang: IAIN IB-Press, 1999), h. 35-159.

7

Lihat, Dahlan, Penilaian Teologis atas Paham Wahdat Al Wujud (Kesatuan Wujud), h. 24.


(11)

Peristiwa-peristiwa tersebut cukup menjelaskan bahwa ketegangan yang

terjadi di antara penganut agama yang sama dapat menimbulkan tindak kekerasan dan kekejaman, jika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Walaupun misalnya, kematian Syekh Siti Jenar telah banyak menimbulkan kontroversi yang sangat membingungkan.8 Demikian juga halnya, yang menimpa kepada para pendahulunya sufi, al-Hallaj (w. 308 H). Pada usia 53 tahun, telah dibunuh dengan sangat kejam oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah tahun 922 M/308 H. Selain ia dipenjara dan dipertontonkan di khalayak ramai, tubuhnya disalib, dicameti dan dilempari batu. Tangan, kaki dan lidahnya dipotong, dan matanya dicukil. Bahkan setelah meninggal, jasadnya dibakar dan abunya di buang ke sungai Tigris.9 Sejak dulu, hingga sekarang sejarah terus berulang-ulang menyaksikan

peristiwa tersebut. Tidak saja di negara kita, di negara lain pun sama. Hanya karena alasan agama, manusia saling membunuh, merusak, dan mencaci. Peperangan yang terjadi di Palestina antara umat Yahudi dan Muslim yang berlangsung sampai sekarang adalah peperangan atas nama agama.10 Demikian

8

Pasalnya tokoh-tokoh yang menentukan hukum bunuh terhadap Syaikh Siti Jenar, seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Raden Fatah dan Sunan Ampel telah meninggal belasan, bahkan puluhan tahun sebelum peristiwa tersebut terjadi, dan dikabarkan bahwa susuhunan Kudus yang membunuh Syaikh Siti Jenar bersama bala tentaranya adalah orang yang sangat menghormati dan memuliakan Syaikh Siti Jenar. Lihat Sunyoto, Suluk Abdul Jalil, h, xvi-xx.

9

Tak jauh beda dengan pembunuhan sufi-sufi lainnya, ia pun dibunuh oleh penguasa karena ajarannya dipandang menyesatkan. Lebih jauh lihat, Fathimah Usman, Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama (Yogyakarta: LkiS, 2002), h. 27-30.

10

Mereka berperang memperebutkan tanah suci, Israel. Salah satu alasan umat Yahudi memerangi Palestina adalah karena secara religius mereka telah dijanjikan oleh Tuhan, bahwa satu-satunya tempat suci yang diperuntukan bagi mereka adalah Israel. Oleh karena itu, untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, mereka harus mengusir dan mengosongkan tanah Palestina dari orang-orang yang bukan Yahudi. Sedangkan di daerah tersebut telah lebih dulu umat Muslim tinggal dan bermukim di sana. Oleh karena itu, mereka menolaknya karena mereka telah lebih dulu tinggal dan bermukim di sana selama beratus-ratus tahun, maka terjadilah peperangan di antara mereka sampai sekarang demi memperebutkan tanah suci Israel. Lihat, Huston Smith,


(12)

juga, pertentangan yang terjadi di Irlandia adalah pertentangan antara kaum Katolik dan Protestan. Kemudian konflik yang terjadi antara pemerintahan Iran dan Irak, juga didominasi oleh Islam Sunni dan Syii’. Demikian pula yang terjadi di Pakistan, adalah konflik antara Islam Sunni dengan Islam Syii’.11 Sedangkan di Philipina, konflik antar Katolik dengan Hindu, dan di Thailand, adalah konflik antara Islam dengan Buddha.12 Jauh sebelum itu, sejarah telah mencatat bahwa perang Salib yang

dilakukan oleh umat Kristen terhadap umat Muslim dan Yahudi beberapa abad yang lalu, atau hukum bunuh yang dilakukan oleh golongan Mutakallimin adalah karena alasan agama. Di antara golongan Mutakalimin yang telah melakukan hukum bunuh adalah kaum Khawarij Muhakkimah dan Azariqah. Ketegangan ini bermula dari peristiwa arbitrase antara pihak Ali dan pihak Muawiyah. Bagi kaum Khawarij Muhakkimah, orang yang menerima arbitrase adalah kafir dan telah murtad, maka mereka wajib dibunuh. Selanjutnya permasalahan ini bagi Azariqah, berkembang menjadi faham yang sangat ekstrem. Selain mereka membunuh orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka, mereka pun membunuh orang Islam yang telah masuk golongan mereka dan tidak tinggal di daerah kekuasaan mereka. Bahkan untuk menguji orang yang mengaku-ngaku

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), h. 341-352. Untuk penjelasan mengenai sejarah Yahudi lihat juga Armstrong, Perang Suci, h. 29-65.

11

Kedua mazhab ini satu sama lain suka saling mencela. Celaan yang sering dilontarkan oleh siswa-siswa di Karachi, Pakistan yang bermazhab Syi’ah mengatakan, bahwa orang-orang Sunnah melipat tangan mereka ketika shalat karena mereka menyembunyikan berhala-berhala kecil di dalamnya. Sementara celaan yang dilontarkan oleh seorang Maulana yang bermazhab Sunnah ketika mengajar murid-muridnya di kelas tiga mengatakan, bahwa orang-orang Syi’ah tidak percaya terhadap al-Quran karena mereka percaya, bahwa kambing milik istri nabi memakan sepuluh surat. Lihat, Farid Esack, On Being A Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-Plural. Penerjemah Nuril Hidayah (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h. 232.

12

Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta:Paramadina, 2003), h. 125.


(13)

pengikutnya pun, terlebih dahulu mereka mengujinya dengan disuruh membunuh tawanan. Jika ternyata tidak membunuhnya, maka kepalanya orang tersebutlah yang akan mereka penggal. Tak hanya itu, mereka juga membunuh, menawan dan menjadikan budak, anak, istri dan keluarga mereka yang tidak sefaham dengan mereka, golongan Azariqah.13 Tampaknya undang-undang kerukunan umat beragama14 atau Pancasila

bagi masyarakat Indosesia tidak bisa menahan kaum beragama untuk tidak saling melakukan tindak kekerasan. Padahal di setiap periode beberapa kepengurusan Menteri Agama sering diadakan dialog agama-agama, tentang pentingnya kerukunan hidup umat beragama. Di antara keputusan Menteri Agama pada kepengurusan Menteri Agama Prof. Dr. A. Mukti Ali adalah ditanamkannya prinsip agree with disagree (setuju dalam perbedaan).15 Namun tampakmya belum berhasil.16 Bahkan dialog agama-agama tidak saja dilakukan di dalam Negeri, di tingkat dunia pun seringkali dilakukan. Namun sayang, pada tingkat itu

13

Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan

(Jakarta: UI-Press, 1986), h.5-15.

14

Hal tersebut tercantum dalam pasal 29 ayat I dan 2 UUD (Undang-Undang Dasar) 45 berikut, “Negara berdasarkan Tuhan yang maha Esa”, dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Lihat, Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan, Kompilasi Perundang-Undang Kerukunan Hidup Umat Beragama Departemaen Agama RI, Edisi Ketujuh

(Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h. 7.

15

MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jakarta, Kerukunan Beragama dari Perspektif Negara, Ham, dan Agama-Agama. Pengantar Quraish Shihab (Jakarta: MUI, 1996), h. xii-xiv.

16

Data yang dihasilkan dari penelitian yang diadakan oleh Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan di beberapa propinsi mengenai kerukunan hidup umat beragama di Indonesia, masih menunjukan adanya potensi konflik yang setiap saat bisa muncul. Konflik tersebut di antaranya adalah isu Kristenisasi dan Islamisasi yang diadakan oleh umat Kristen atau Islam; penolakan pendirian rumah ibadah oleh penganut yang berbeda agama; dendam karena pembakaran gereja atau masjid yang dilakukan oleh salah satu umat beragama tersebut; konflik antara Hindu Bali dengan Hindu yang berafiliasi ke India; Protestan dengan Katolik. Lihat, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Riuh di Beranda Satu Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Seri II (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h. 75-270.


(14)

pun tampaknya dialog belum berhasil karena ironisnya ketika kegiatan tersebut berlangsung, ada sebagian peserta dialog yang menghina agama lain.17 Ada dua hal penting, khususnya bagi Indonesia, yang menjadi alasan

mengapa fenomena tersebut bisa terjadi. Pertama karena sebagian besar penduduknya masih percaya terhadap agama dan mengkaitkan hidup dalam aturan dan keyakinan agama. Kedua, terlebih lagi jika dalam setiap kelompok agama ada kelompok yang mempunyai klaim kebenaran, yang menyatakan bahwa ajarannya merupakan totalitas sistem makna yang berlaku bagi seluruh kehidupan, baik individual maupun sosial. Namun keyakinan tersebut ketika hadir dalam pluralitas keagamaan, maka akan membawa dampak yang berbahaya dalam hubungan beragama.18 Pengaruhnya sangat dahsyat kepada kelangsungan hidup manusia. Sama dahsyatnya, seperti pengaruh narkotika kepada manusia. Namun bahayanya berbeda, tapi keduanya sama-sama akan mengancam kelangsungan daya tahan sebuah kehidupan. Jika narkotika memberi pengaruh kepada pribadi saja, maka klaim kebenaran, selain memberi pengaruh pada pribadi, juga akan mengasilkan gerakan sosial, yaitu suatu gerakan yang melahirkan sikap eksklusif dan intoleran bagi penganutnya.19 Mereka memandang bahwa hanya pandangan mereka sajalah yang benar, keselamatan hanya ada pada diri mereka dan tidak ada keselamatan bagi orang lain. Oleh karena itu, untuk menyampaikan misi mereka, mereka melakukan ekspansi dan penetrasi, yang kemudian dikenal dengan konsep jihad dalam Islam, atau misionaris dalam Kristen. Mereka sama-sama membawa misi

17

Penganut Islam menghina penganut agama lain. Lebih lanjut lihat, MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jakarta, Kerukunan Beragama, h. 91-96.

18

Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. xxi.

19

Nurcholis Madjid, “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang,” Ulumul Quran IV, no. 1 (1993): h. 10-12.


(15)

keselamatan, maka tak heran jika setiap penganut keyakinan saling memaksakan pandangannya. Mereka tak segan-segan mencaci, mengejar, dan membunuh orang yang tidak sepaham dengan mereka.20 Jika pandangan seperti itu dibiarkan dan dipertahankan, maka konflik dan

kekerasan yang terjadi di bumi ini akan terus berlangsung. Apalagi jika melihat perkembangan sejarah, Indonesia merupakan lahan subur untuk pertumbuhan dan perkembangan agama atau aliran kepercayaan,21 maka untuk menopang kehidupan yang damai, dibutuhkan wawasan yang membawa masyarakat ke dalam suasana rukun, damai egaliter, toleran dan saling menghargai tanpa harus ada konflik dan kekerasan. Di antara beberapa pemikir yang telah berusaha keras untuk mengatasi hal

itu adalah Wilfred Cantwell Smith. Ia adalah seorang teolog Kristen dan sejarawan yang telah menyusun teori-teori teologis dan meyakinkan secara akademis bahwa semua agama, baik itu dari golongan Islam, Kristen, Yahudi atau Buddha akan mengarah kepada tujuan akhir, yakni Allah. Allah adalah tujuan akhir dari semua agama. Kemudian pahamnya tersebut dikenal dengan paham pluralisme agama. Oleh karena itu, agama manapun menurutnya, tidak berhak mengklaim kebenaran agamanya atas agama lain, dan pada tataran itu, menurutnya, konsep agama berakhir.22 Ia juga mengatakan bahwa kebenaran

20

M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 995), h. 229.

21

Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, h. 229.

22

Mengenai pengertian agama, lihat juga Armstrong. Menurutnya, terlepas dari sifat non duniawinya, agama sesungguhnya bersifat pragmatik karena pada kenyataannya seringkali disaksikan bahwa sebuh ide tentang Tuhan tidak harus bersifat logis atau ilmiah yang penting bisa diterima. Lihat, Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen dan Islam Selama 4000 Tahun. Penerjemah Zainul Am (Bandung: Mizan, 2002), h. 22.


(16)

agama bersifat relatif dan mempunyai nilai yang sama sehingga kita harus berusaha menghilangkan hambatan-hambatan, menjembatani perbedaan-perbedaan, dan mengakui semua orang sebagai sesama dan anak-anak Allah Bapa yang sedang berupaya menemukan Dia yang sedang dicari-cari oleh-Nya, dan mustahil jika orang Kristen mengatakan, kami diselamatkan, kalian orang Islam, Hindu atau Buddhis dihukum. Padahal mereka semua, orang Islam, Hindu atau Buddhis adalah orang-orang yang saleh dan cerdas. Baginya tidak logis jika mereka dihukum dengan alasan mereka bukan seorang Kristiani.23 Smith mendasarkan pandangannya tersebut pada Allah yang diwahyukan melalui Kristus, yakni yang menyatakan bahwa Allah mengulurkan tangan

kepada semua orang dalam cinta, dan sebagai makhluk Allah yang terbatas,

menurutnya, kita tidak dibatasi oleh cinta itu. Kemudian wahyu Allah yang lain adalah yang menyatakan, bahwa Allah menghendaki rekonsiliasi dan rasa

kebersamaan yang dalam, dan Hendaknya agama dipandang sebagai suatu

perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara yang Ilahi dan manusia.24 Selanjutnya salah satu tokoh muslim Indonesia yang mempopulerkan

paham tersebut adalah Nurcholish Madjid (1939-2005). Ia menyatakan, bahwa pluralisme adalah suatu sistem nilai, yang bernilai positif-optimis terhadap kemajemukan, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu,25 dan tidak boleh hanya dipahami sebagai bentuk kemajemukan, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama,

23

Coward, Pluralisme, h. 61-64.

24

Coward, Pluralisme, h. 62-63.

25

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan (Jakarta: Paramadina, 2000), h. Ixxv.


(17)

tetapi hal itu harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan ia mengatakan, pluralisme merupakan keharusan bagi keselamatan umat manusia26 yang tidak akan berubah sehingga tidak mungkin dilawan atau diingkari.27 Selain dalam Islam dan Krisrten, paham pluralisme agama pun terdapat

dalam Hindu dan Buddha. Dalam Hindu dikatakan bahwa setiap konsep adalah benar dalam perpektifnya sendiri. Oleh karena itu, setiap pandangan merupakan suatu kesimpulan logis yang didasarkan pada praanggapan pada perspektifnya sendiri. Namun karena keterbatasan manusiawi, terpaksa manusia harus memilih salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk untuk menyalurkan apresiasi kecintaanya pada Yang Ilahi,28 dan dalam Bhagawad-Ghita dikatakan bahwa Yang Ilahi menerima orang-orang yang datang kepada-Nya melalui jalan agama yang berbeda-beda, dan Hindu menurutnya telah menyesuaikan dirinya dengan rahmat yang tak terbatas untuk setiap kebutuhan manusia tersebut.29 Salah satu tokohnya adalah Radhakrishnan, sedangkan dalam Buddha dinyatakan terdapat pengakuan nilai-nilai yang terdapat dalam agama-agama lain, serta tidak perlu merubah label-labelnya, dan yang menyatakan hal tersebut adalah sang Buddha sendiri.30

26

Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman

(Jakarta: Paramida, 2001), h. 31.

27

Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. Ixxvii- Ixxviii.

28

Coward, Pluralisme, h. 118.

29

Coward, Pluralisme, h. 138-139.

30

Fazlur Rahman, dkk., Agama untuk Manusia. Penerjemah Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 129.


(18)

Sebenarnya jauh sebelum itu pun, pendekatan esoteris yang dibawa oleh

al-Hallaj dan pengikutnya, Ibnu Arabi (1165-1240)31 melalui konsep wahdatul

wujudnya,32 telah membawa mereka kepada konsep wahdatul al adyan, satunya

semua agama. Menurut al-Hallaj, keanekaragaman agama di dunia ini hanya sekedar bentuk, hakekatnya sama, bertujuan sama, yakni mengabdi kepada Tuhan pencipta alam semesta. Bahkan Allahlah menurutnya, yang telah menetapkan dan memilihkan agama untuk masing-masing orang sehingga manusia tidak memiliki kemampuan untuk memilihnya. Oleh karena itu, manusia menurutnya, tidak boleh saling mencela dan menyalahkan agama yang dianut oleh orang lain,33 sementara Ibnu Arabi mengatakan, bahwa yang ada di balik semua agama yang hanya merupakan bayangan itu adalah Al-Haqq, yang dipuja oleh orang Nasrani Yahudi, Hindu, Buddha dan lain-lain adalah sama, dengan yang dipuja oleh orang Islam, yaitu hakikat yang satu, Al-Haqq. Dia adalah Allah, Tuhan seluruh manusia (rabb

al-nas), Tuhan alam semesta (rabb al-‘alamin), dan Tuhan seluruh langit dan

bumi (rabb al-samawat wal al-ard).34 Oleh karena itu, menurutnya, hamba Tuhan merasakan ketentraman yang sama di dalam sinagog, kuil, gereja, atau masjid

31

Nama lengakap Ibnu Arabi Adalah Muhiddin Abu Abdullah Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Abdullah Hatimi Al-Thai. Dia adalah seorang sufi terbesar dalam dunia Islam, bahkan seorang pemikir mistik besar dalam dunia Islam. Untuk penjelasan ini, lihat Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, “Ibnu Arabi,” dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk., ed., Ensiklopedi Islam, vol. II (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve., 1997), h. 150.

32

Konsep wahdatul wujud Ibnu Arabi yaitu yang menyatakan bahwa hakikat segala sesuatu adalah Tuhan. Di sebalik benda, manusia, alam, langit atau bumi Ia-lah yang sebenarnya ada. Dia menampakan diri melalui alam. Alam adalah bayangan-Nya. Melalui bayangan-Nyalah Ia dikenal. Perumpamaannya, seperti pohon dan bayangannya. Pohonlah yang mempunyai wujud, bayangan pohon tidak mempunyai. Dengan demikian, yang ditangkap oleh sufisme adalah Al Haqq itu sendiri. Sedangkan bagi non sufi, yang ditangkap oleh mereka hanyalah bayangannya saja. Lihat Harun Nasution, dkk., Agama dalam Pergumulan Masyarakat Dunia, Penyunting Imran Rasyidi (Jogja: Tiara Wacana, 1997), h. 252. Lihat juga Armstrong mengenai penjelasan

wahdatulwujud Ibnu Arabi. Menurutnya Arabi mendasarkan pemikirannya tersebut kepada hadits Qudsi yang menyatakan, bahwa aku adalah perbendaharaan tersebunyi dan aku ingin dikenal kemudian aku diciptakan makhluk-makhluk agar dikenal oleh mereka. Armstrong, Sejarah Tuhan,

h. 315.

33

Usman, Wahdat Al-Adyan, h. 11-14.

34


(19)

karena semuanya menyediakan pemahaman yang sama tentang Tuhan. Ia juga mengecam sikap eksklusif karena sama artinya dengan mengingkari yang lain, dan telah gagal menemukan kebenaran sejati. Baginya, Tuhan yang Maha Berada tidak dibatasi oleh keyakinan apa pun, sebagaimana firman-Nya, “Kemanapun engkau memalingkan pandanganmu, maka di sanalah ada wajah Allah” (Q.S.

al-Baqarah/2: 102.).35 Namun dalam hal ini penulis akan meneliti paham pluralisme agama

dalam perpektif Farid Esack. Adapun alasan penulis memilih Esack sebagai bahan kajian penulisan skripsi ini, pertama adalah karena ia mempunyai perspektif yang lebih progress dalam memahami pluralisme agama, yakni untuk mendukung pahamnya tersebut, selain ia membahas pluralisme agama melalui pembuktian al-Quran, ia juga meredifinisi pengertian iman, islam dan kafir dengan penggunaan dan pemaknaan yang kontekstual dan eksistensial dengan situasi sekarang, khususnya pluralitas agama. Alasan kedua, adalah latar belakang budaya Esack ada kemiripan dengan konteks Indonesia, yakni memiliki kekayaan budaya, agama, dan aliran kepercayaan yang beragam,36 sedangkan alasan terakhir adalah karena konflik dan kekerasan yang terjadi di kedua negeri ini kebanyakan didominasi oleh faktor agama, dan Esack adalah salah satu sosok intelektual Muslim Afrika Selatan yang telah ikut andil besar dalam meruntuhkan sistem apartheid,37 yakni dengan mengusung gagasan pluralisme agama berdasarkan

35

Armstrong, Sejarah Tuhan, h, 317.

36

Gifford, “Afrika Selatan,” dalam Henry P, dkk., ed., Ensiklopedi Geografi Dunia untuk Pelajar dan Umum, vol. IV. Penerjemah Dewi Susiloningtyas, dkk., (Jakarta: Lentera Abadi., 2006), h. 380-383.

37

Apartheid secara harfiah artinya keterpisahan, yakni suatu politik pemisahan rasial antara golongan warna kulit yang dijalankan oleh pemerintah Afrika Selatan. Tujuannya adalah untuk memisahkan perkembangan dan pembangunan orang kulit berwarna dari orang kulit putih


(20)

perspektif al-Quran, setidaknya pada waktu itu masyarakat Afrika Selatan dari berbagai agama telah sadar akan pentingnya bergabung bersama dan berjuang dalam meruntuhkan sistem apartheid di Afrika Selatan yang telah menyengsarakan kehidupan mereka semua. Pasalnya, ada juga sebagian kelompok agama yang tidak bersedia ikut bergabung karena takut terjerumus pada kekufuran, khususnya Islam. Bagi mereka agama yang diterima disisi Allah hanyalah Islam, dan kaum yang berada di luar diri mereka adalah kafir. Oleh karena itu, orang Muslim yang ikut bergabung dengan Call of Islam38 adalah kafir. Padahal menurut Esack, mereka juga sama-sama telah mengalami penderitaan dan telah menumpahkan darah akibat kekejaman apartheid.39 Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim yang punya tanggungjawab moral terhadap umatnya, maka dalam bukunya yang pertama,40 sebagaimana yang telah dikemukakan di muka, selain ia membahas pluralisme agama melalui pembuktian al-Quran, termasuk juga di dalamnya ia banyak membahas penggunaan dan pemaknaan istilah iman, islam dan kafir, namun dengan

terutama dalam bidang politik dan ekonomi, misalnya secara politik orang kulit hitam yang mayoritas tidak diperbolehkan duduk di pemerintahan; secara ekonomi tidak diperbolehkan mempunyai pekerjaan, sebagaimana yang diperuntukan untuk orang kulit putih; dan dilarang tinggal di lokasi yang tidak ditentukan untuk mereka. Sistem aparteid telah dipraktikkan sebelum tahun 1948 diberlakukan. Lihat, Tim Penyusun Ensiklopedi Nasional Indonesia, “Apartheid,” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, vol. II(Jakarta: Delta Pamungkas., 2004), h. 187-188.

38

Call of Islam adalah nama kelompok yang didirikan oleh Adli Jacobs, Ebrahim Rasool, Shamiel Manie dan Farid Esack sendiri pada Juni 1984. Sebenarnya nama The Call of Islam

adalah nama yang dipakai pada lembar beritanya, sedangkan pertama kali kelompok tersebut dinamakan Muslims Against Oppression. Nama tersebut dipakai untuk keperluan resmi publikasi pamflet. Komunitas tersebut sangat berperan penting dalam membujuk kaum Muslim untuk menerima keharusan politik dan legitimasi teologis bagi solidaraitas antar iman dan menerima tanpa ragu kaum Kristen dan Yahudi sebagai saudara dan kaum beriman, dan hal tersebut merupakan babak baru bagi kehidupan agama-agama di Afrika Selatan, yakni ketika dari berbagai penganut agama ikut bersedia bergabung bersama dalam meruntuhkan aparteid di Afrika Selatan. Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme. Penerjemah Watung A. Budiman (Badung: Mizan, 2000), h.h. 66-79.

39

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 66.

40

Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligous Solidarity Against Oppression, Oxford: Oneworld Publications, 1997.


(21)

penggunaan dan pemaknaan yang kontekstual dan eksistensial dengan situasi sekarang, khususnya dengan konteks pluralisme agama. Terlebih lagi al-Quran bagi umat Islam adalah satu-satunya kitab suci yang dipercaya sebagai yang betul-betul otentik,41 maka diharapkan dengan adanya penelusuran makna tersebut, menurut Esack orang atau sekelompok orang tidak sembarang untuk mengatakan orang lain sebagai kawan dan lawan, juga agar kaum lain dari agama apa pun tidak akan menderita akibat ketidakberimanan oleh golongan lain karena ia yakin, bahwa al-Quran memperhatikan dan menampilkan Tuhan sebagai yang memperhatikan apa yang dilakukan manusia, yang artinya Tuhan telah ikut campur dalam sejarah manusia.42 Ia tidak berbicara pada ruang yang hampa. Terlebih manusia itu lebih banyak dibentuk oleh konteks dari pada teks.43 Selain itu, ia juga ingin memperlihatkan bahwa adalah mungkin kaum beriman dari berbagai agama hidup berdampingan dalam keimanan kepada al-Quran dalam konteks kekinian dan bekerja bersama mereka untuk membentuk masyarakat yang lebih manusiawi.44 Maka dengan sosok dan pemikirannya tersebut, penulis tertarik untuk

menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul, “Farid Esack dan Paham Pluralisme Agama”. Diharapkan dengan pengalaman dan keberhasilan Esack, khususnya dalam menghadapi pluralitas agama di Afrika Selatan dapat menjadi kontribusi pemikiran dan alternatif pembacaan, juga rujukan bagi khasanah pemikiran intelektual Indonesia, dan masyarakat umumnya dalam mewujudkan proses demokrasi yang rukun, aman dan damai, serta berkeadaban.

41

Esack, Membebaskan yang Tertindas. h. 39-40.

42

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 34.

43

Esack, Membebaskan Yang Tertindas, h. 131.

44


(22)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan beberapa alasan dan pemilihan judul tersebut, maka penulis

akan membatasi pembahasan paham pluralisme agama dalam perspektif Esack dan agama-agama pada umumnya. Namun pada pembahasan paham pluralisme agama dalam perpektif agama-agama penulis membatasinya pada empat agama, yakni Islam, Buddha, Hindu dan Kristen. Adapun perumusan masalah yang akan dirumuskan adalah pertama, bagaimana paham pluralisme agama dalam perspektif Farid Esack, kedua bagaimana paham pluralisme agama dalam perspektif agama-agama pada umumnya, yakni dalam perspektif Islam, Buddha, Hindu dan Kristen.

C. Tinjauan Kepustakaan

Terdapat beberapa karya ilmiah, yang penulis telusuri yang berkaitan dengan paham pluralisme agama dalam perspektif agama-agama dan yang berkaitan dengan Farid Esack. Di antara buku yang membahas pluralisme agama dalam perpektif Islam adalah Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), karya Budi Munawar Rahman. Buku tersebut, di antaranya memuat tulisan mengenai prinsip-prinsip pluralisme agama yang diusung oleh gurunya, Nurcholish Madjid, seperti pentingnya pemikiran pluralisme dalam teologi agama-agama demi tercapainya kedamaian dan keadilan di bumi ini, sedangkan Nurcholish Madjid sendiri membahas pluralisme agama yang terangkum lengkap dalam bukunya yang berjudul Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan


(23)

Kemoderenan (Jakarta: Paramadina, 2000). Dalam buku tersebut ia menyatakan bahwa pluralisme adalah suatu sistem nilai, yang bernilai positif-optimis terhadap kemajemukan, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu, dan tidak boleh hanya dipahami sebagai bentuk kemajemukan, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, tapi hal itu harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan ia mengatakan, pluralisme merupakan keharusan bagi keselamatan umat manusia karena merupakan sebuah aturan, sunatullah yang tidak akan berubah sehingga tidak mungkin dilawan atau diingkari.

Kemudian buku Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama (Yogyakarta: LkiS, 2002) karya Fathimah Usman. Buku tersebut berisi gagasan pluralisme agama dalam al-Quran, dan gagasan wahdat al-adyan yang diusung oleh al-Hallaj.

Selanjutnya buku The Children of Adam: An Islamic Perspektif on

Pluralism (Washington DC: Center for Muslim-Christian Understanding,

Georgetown University, 1996) karya Mohamed Fathi Osman, dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menjadi Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan: Pandangan Al-Quran, Kemanusiaan, Sejarah dan

Perdaban (Jakarta: Paramadina, 2006). Buku tersebut mengusung gagasan

pluralisme agama berdasarkan al-Quran dan sejarah kehidupan agama-agama pada masa pemerintahan Islam di Yasrib, sekarang Madinah. Pembahasan pluralisme agama dalam konteks pemerintahan Islam, ia banyak menguraikan pluralisme dari banyak hal; sisi agama, sosial, hukum, sampai bagaimana caranya melaksanakan pemilihan-pemilihan umum dalam suatu negara.


(24)

Secara garis besar pada dasarnya buku-buku tersebut sama-sama menggagas nilai-nilai pluralisme agama berdasarkan perpektif al-Quran dan sejarah kehidupan agama-agama pada masa pemerintahan Islam. Demikian juga dengan bukunyaJalaluddin Rakhmat yang berjudul Islam dan Pluralisme: Akhlak

Quran Menyikapi Perbedaan (Jakarta: Serambi, 2006), isi pembahasannya hampir

sama dengan penulis sebelumnya. Namun masing-masing penulis dalam merujuk ayat-ayat pluralisme agama dalam al-Quran berbeda-beda, ada yang sama dan ada yang menambahkannya, misalnya dalam buku Fathimah Usman dan Jalaluddin Rakhmat sama-sama merujuk Q.S. al-Baqarah/2: 62 untuk menjelaskan pengakuan atas eksistensi agama-agama. Kemudian Jalal menambahkannya dengan Q.S. al-Maidah/5: 69 dan Q.S. al-Hajj/22: 17. Fathimah Usman merujuk Q.S. al-Baqarah/2: 256 untuk menjelaskan tidak ada paksaan dalam beragama, Q.S. al-Anam/6: 108, dan Q.S. al-Syuro ayat 13 untuk menjelaskan kesatuan kenabian, Q.S. al-Nisa/3: 131.

Selanjutnya pluralisme agama dalam bentuk skripsi di antaranya adalah yang berjudul: Gagasan Pluralisme dalam Pemikiran Nurcholish Madjid (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003) ditulis oleh Sutisna; Pluralisme Agama dalam Penafsiran Sayyid Quthb Kajian

Tematik atas Tafsir fi Zhilal Al-Quran (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004) ditulis oleh Akbar Imanuddin;

Konsep Pluralisme Agama Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah,(Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004) ditulis oleh Muhammad Arham Mursidin. Isi ketiga skripsi tersebut sama-sama membahas pluralisme agama dengan merujuk ayat-ayat yang sama, sebagaimana


(25)

yang telah dirujuk oleh penulis-penulis buku sebelumnya, yang berbeda hanyalah pada pemikiran tokohnya saja. Demikian juga dengan skripsi yang berjudul

Konsep Al-Quran Tentang Pluralisme (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004) ditulis oleh Faturrahman. Walaupun ia tidak merujuk pada pemikiran tokoh, tapi ayat-ayat yang ia rujuk dalam menjelaskan pluralisme agama sama, sebagimana yang telah dirujuk oleh penulis-penulis skripsi dan buku yang telah disebutkan di muka. Namun dalam membahas kesatuaan keagamaan, ia menambahkannya dengan merujuk pada Q.S. al-Baqarah /2: 132 dan Q.S. Ali Imran/3: 85, pesan kenabian, Q.S. al-Baqarah 2: 132, dan pesan Tuhan Q.S. al-Nisa/3: 131.

Sedangkan buku yang membahas pluralisme agama dalam perpektif agama-agama di antaranya adalah buku Harold Coward. Pluralisme, Tantangan

bagi Agama-Agama. Penerjemah Bosco Carvallo. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Di dalamnya di jelaskan tentang kandungan paham pluralisme agama dari berbagai agama-agama dunia.

Kemudian yang menulis tokoh pemikiran Farid Esack adalah Burhanuddin dan Irwandi dalam bentuk skripsi. Keduanya tidak membahas pluralisme agama dalam pemikiran Farid Esack, tapi keduanya sama-sama membahas hermeneutik dalam pemikiran Farid Esack. Mereka sama-sama menjelaskan prinsip-prinsip hermeneutik yang digunakan oleh Farid Esack berdasarkan perspektif al-Quran. Prinsip-prinsip hermeneutiknya adalah taqwa (integritas dan kesadaran akan kehadiran Tuhan), tauhid (keutuhan dan kesatuan ketuhanan), al-nâs (manusia),

al-mustada’fun fi al-ard (yang tertindas dan tersisih di dunia), qist dan ‘adl


(26)

Letak perbedaan tulisan Burhanuddin dan Irwandi adalah dalam tulisan Burhanuddin, selain membahas prinsip-prinsip hermeneutik Farid Esack, ia juga menyandingkannya dengan hermeneutik Charles Kurzman, sedangkan Irwandi, khusus membahas prinsip-prinsip hermeneutik Farid Esack saja. Lebih lanjut skripsi Burhanuddin berjudul Tafsir Liberatif dan Prinsip Wahyu Progresif: Perpektif Farid Esack dan Charles Kurzman tentang Islam, Modernitas, dan

Masa Lalu yang Diciptakan (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,

Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003), sedangkan skripsi Irwandi berjudul

Reception Teori Hermeneutika Farid Esack (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002).

D. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui paham

pluralisme agama dalam perspektif Farid Esack, dan menjelaskan paham pluralisme agama dalam perspektif agama-agama sebagai bahan pengantar. Adapun tujuan lain dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat menambah kontribusi pemikiran dan alternatif pembacaan, juga rujukan bagi khasanah pemikiran intelektual Indonesia dalam mewujudkan proses demokrasi yang aman dan damai di Indonesia.

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode pustaka (library research), yakni penulis melakukan


(27)

penelitian kepustakaan terhadap buku-buku, jurnal-jurnal, majalah-majalah, atau data-data yang berkaitan dengan penulisan karya tulis ini, baik itu yang bersumber dari penulis asli atau penulis lain.45 Buku yang dijadikan rujukan utama adalah buku yang ditulis oleh penulis asli dan telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia yaitu Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme

dan On Being a Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-Plural,

sedangkan untuk pluralisme agama-agama, menggunakan buku Harold Coward.

Pluralisme, Tantangan bagi Agama-Agama. Penerjemah Bosco Carvallo.

Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Selanjutnya setelah penulis melakukan pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan, penulis melakukan analisa. Analisa data yang digunakan penulis adalah analisa data deskriptif,46 yakni penulis berusaha menggambarkan dan menggali penjelasan pluralisme agama baik itu dalam perpektif agama-agama dan Farid Esack.

Adapun dalam teknik penulisan, penulis menggunakan buku pedoman,

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang ditulis oleh

Tim Penyusun Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.47

F. Sistematika Penulisan

45

John W. Creswell, Desain Penelitian, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitaf. Pengantar Supardi Suparlan. Penerjemah Angkatan III dan IV KIK-UI dengan Nur Khabibah (Jakarta: KIIK Press, 2003), h. 21.

46

Creswell, Desain Penelitian, h. 147-150.

47

Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)


(28)

Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Uraiannya sebagai berikut: bab

pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah;

pembatasan dan perumusan masalah; tinjauan kepustakaan; tujuan penelitian; metode penelitian dan teknik penulisan; terakhir adalah sistematika penulisan. Pada bagian latar belakang masalah di antaranya berisi tentang alasan penulis mengambil judul skripsi. Kemudian pada bagian pembatasan masalah berisi tentang batasan permasalahan yang akan dibahas pada skripsi ini, yakni membatasinya pada pembahasan pluralisme agama dalam perpektif agama-agama dan khususnya dalam perpektif Farid Esack. Pada bagian tinjauan kepustakaan berisi tentang siapa saja orang yang telah membahas pluralisme agama dan menulis tokoh Farid Esack, sedangkan pada metode penelitian dan teknik penulisan berisi tentang metode penelitian dan teknik penulisan yang digunakan oleh penulis, dan yang terakhir dari penulisan bab pertama ini adalah sistematika penulisan yang berisi tentang pembagian bab dari skripsi ini, disertai dengan uraian singkat pada masing-masing babnya. Selanjutnya pada bab dua berisi tentang riwayat hidup Farid Esack, yang

terdiri dari: latar belakang sosial; latar belakang intelektual; dan karya-karyanya. Pada bab ini sangat diperlukan untuk mengetahui landasan pemikiran dia mengenai pluralisme agama. Oleh karena itu, pada bab ini penulis berusaha menguraikan sekilas faktor sosial dan intelektual Esack yang berkaitan dengan lahirnya pemikiran dia mengenai paham pluralisme agama. Pada bab tiga berisi tentang pembahasan pluralisme agama perspektif

agama-agama; dibatasi hanya empat agama saja yaitu Islam, Hindu, Buddha, dan Kristen. Pembahasan pluralisme agama dalam perspektif agama-agama ini sangat


(29)

penting untuk dibahas, yakni untuk mendukung dan mengimbangi pemikiran pluralisme agama dalam pemikiran Farid Esack yang notabene seorang pemikir pluralisme agama dari Muslim. Lebih lanjut sistematika penulisan bab tiga ini sebagai berikut: pluralisme agama dalam perspektif Islam; pluralisme agama dalam perspektif Hindu; pluralisme agama dalam perspektif Buddha; pluralisme agama dalam perspektif Kristen. Kemudian, bab empat berisi tentang konsep pluralisme agama dalam

pemikiran Farid Esack dan pengertian pluralisme agama dalam beberapa perspektif. Adapun isinya adalah sebagai berikut: pengertian pluralisme agama; konsep pluralisme agama dalam perspektif Esack, alasan dan argumentasinya, dan diakhiri dengan kritik terhadapa pemikiran Esack. Selanjutnya bab terakhir dari penulisan ini adalah bab lima sebagai

penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran. Dalam simpulan penulis berusaha menyimpulkan hasil penelitian mengenai paham pluralisme agama dalam perpektif Esack dan agama-agama, yakni dengan merujuk kepada rumusan masalah yang telah disebutkan pada penulisan skripsi ini. Kemudian diakhiri dengan penulisan saran-saran.


(30)

BAB II

RIWAYAT HIDUP FARID ESACK

A. Latar Belakang Sosial Farid Esack

Esack adalah seorang aktivis dan intelektual Muslim asal Afrika Selatan

yang dikenal luas oleh dunia melalui pemikiran-pemikirannya mengenai persoalan agama, politik dan sosial,48 terutama yang tertuang dalam karyanya yang berjudul Quran Liberation And Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious

Solidarity Agains Oppression (England: Oneworld, 1997). Bahkan beberapa kali

ia pernah datang ke Indonesia dalam rangka mensosialisasikan pemikiran-pemikirannya tersebut, salah satunya datang ke Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tanggal 23 Maret 2001. Ia dilahirkan di South Road, Cape Town, Wynberg, Afrika Selatan, tahun 1959,49 dan dibesarkan di Bonteheuwel, Cape Flats. Ia tinggal bersama ibu dan kelima saudara laki-lakinya. Ia adalah anak ketiga dari perkawinan ibunya yang kedua. Namun ayahnya meninggalkanya ketika ia baru mencapai usia tiga minggu sehingga ibunyalah yang mengurus semua keenam anaknya, sedangkan tiga saudara laki-lakinya yang lain adalah hasil dari pernikahan ibunya yang pertama. Namun pernikahan pertama ibunya kandas ketika anak ketiganya baru berusia tiga bulan.50 Menurut Esack, inilah

48

Farid Esack. On Being A Muslim: Menjadi Muslim di Dunia Modern. Penerjemah Dadi Darmadi dan Jajang Jamroni (Jakarta: Erlangga, 2004), h. xii.

49

The Helen Suzman Foundation, “Profile of Farid Esack,” artikel diakses tanggal 10 September 2007 dari http://www.hsf.org.za/%23article_view.asp?id=34

50

Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme.


(31)

kebetulan-kebetulan serba tiga yang cukup untuk mendorong orang pada

trinitarianisme.51

Menurut Esack peranan agama dalam seluruh lapisan masyarakat Afrika

Selatan sangat memainkan peranan penting. Bahkan sistem apartheid yang diberlakukan oleh pemerintahan tersebut pun disebabkan atas nama dan terkadang dukungan kitab suci agama. Salah satunya adalah umat Kristen. Tidak sedikit mereka dengan kitab sucinya ikut mendukung tindakan tersebut, tapi tidak seluruhnya karena ada juga organisasi, seperti Christian Institute atau individu-individu, seperti pendeta Theo Kotze dan Beyers Naude yang tidak ikut

mendukung tindakan tersebut.52 Bonteheuwel, Cape Flats, tempat Esack dibesarkan adalah salah satu

bentuk pemberlakuan sistem apartheid. Daerah tersebut merupakan daerah pembuangan bagi orang kulit hitam, keturunan India dan kulit berwarna, dan merupakan daerah yang tanahnya paling tandus yang berada di Afrika Selatan. Tidak ada apa pun di sana, selain terdapat bukit-bukit pasir dan pohon Port Jackson. Di sanalah Esack dan keluarganya beserta sekian banyak penduduk tinggal. Mereka dipaksa pindah ke daerah tersebut oleh Akta Wilayah Kelompok

(Group Areas Act) ketika pada tahun 1961 daerah mereka, Milford Road,

dideklarasikan sebagai kawasan kulit putih (South Road White).53 Pengusiran tersebut menurut Esack adalah salah satu bentuk pemberlakuan

sistem apartheid yang sangat menghancurkan dan menyengsarakan kehidupan

51

Rasisme, kapitalisme, dan patriarkhi. Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 7.

52

Esack, Membebaskan yang Tertindas h. 27.

53

Farid Esack, On Being A Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-Plural.

Penerjemah Nuril Hidayah (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h.187. Lihat juga Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 24.


(32)

mereka. Dua juta orang manusia tidur di lantai, tanah berdebu, dan tumpukan jerami. Mereka tertidur dalam keadaaan perut kosong. Terkadang untuk mengenyangkan perut, mereka terpaksa mencampur pasir dengan tepung.54 Bahkan kekejaman yang dilakukan oleh rezim apartheid tidak itu saja, pada tahun 1980-an, orang kulit hitam yang jumlahnya hampir tiga perempat total populasi, hanya mendapat seperempat dari pendapatan nasional. Sementara orang kulit putih yang jumlahnya hanya seperenam total populasi, memperoleh hampir dua pertiganya. Jutaan orang penganggur, tidur dimana saja. Mereka tertidur dengan perut kosong, dan bangun tanpa ada yang bisa dimakan. Jika keesokan hari mereka mencari-cari kerja, kemudian tidak mendapatkanya, maka ketika pulang, mereka mencari-cari sesuatu di tempat sampah yang kira-kira bisa dikunyah.55 Selama Esack dan keluarganya tinggal di daerah pengusiran, kehidupan

mereka tak jauh berbeda dengan yang lainnya, sangat mengkhawatirkan. Apalagi jika musim dingin tiba. Jika Esack dan kakaknya hendak pergi ke sekolah, mereka harus berlari agar kaki mereka tidak sempat membeku karena mereka tidak memakai alas kaki, dan biasanya pada musim itu, tidak ada makanan di rumah sehingga terpaksa mereka harus memungut sisa apel yang dibuang di jalanan atau pun di selokan. Jika mereka tidak menemukannya, maka terpaksa mereka harus berkeliling rumah mengetuk pintu untuk meminta sepotong roti.56 Beruntunglah tetangganya, Nyonya Ellen Batista yang selalu membantu di

masa-masa sulit mereka selama mereka tinggal di tempat pengusiran. Ia selalu memberi mereka secangkir gula, minyak ikan, atau pinjaman uang. Terkadang ia

54

Esack, On Being A Muslim, h. 33. Lihat juga, Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 24.

55

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 24

56


(33)

hanya sekedar teman berbincang ibunya, sedangkan tetangganya yang lain adalah Tuan Frank. Dia adalah orang yang selalu memberi perpanjangan waktu pembayaran pinjaman uang kepada mereka, yang seolah tanpa akhir.57 Sebenarnya ibu Esack bekerja. Namun pekerjaannya tidak bisa mencukupi

kebutuhan hidup beserta keenam anaknya. Walaupun ia bekerja dari pagi buta hingga malam gelap.58 Bahkan mulai sejak kecil pun ibunya sudah bekerja di sebuah binatu Wynberg. Namun upah mingguannya amat kecil. Perjalanan yang ia tempuh menuju tempat pekerjaannya pun sangatlah jauh. Ia harus berlari mengejar kereta di pagi hari, jauh sebeum fajar menyingsing, di saat para mandornya masih asyik menikmati kopi hangat dan membaca koran pagi. Yang dipedulikan para bosnya, hanyalah produksi, produksi, dan produksi. Tidak ada waktu untuk istirahat. Kalaupun ada, hanyalah sekotak kecil coklat di Hari Natal. Itupun hanya sebagai pengganti bonus istirahat.59 Sebenarnya, sebagian anak-anaknya yang lain membantu pekerjaan

ibunya. Namun tugas-tugas mereka hanya sebatas mencuci, membersihkan rumah, dan menyeterika. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan yang berat tetap dipikul oleh ibunya karena menurut tradisi mereka, pekerjaan berat bukanlah panggilan utama bagi hidup laki-laki. Laki-laki adalah sultan dalam keluarga, dan merupakan syahadat yang harus selalu diikuti oleh tradisi mereka.60 Ibunya meninggal dalam

57

Mereka adalah tetangga Esack yang berlainan agama dengannya di tempat pengusiran,

South Road Wynberg, Cape. Nyonya Ellen Batista adalah seorang Katolik yang taat, juga sahabat ibunya. sedangkan Tuan Frank adalah berdarah Yahudi dan Tahiroh. Dia berprofesi sebagai tukang kredit. Kemudian teman sekolah dasarnya adalah seorang gadis Baha’i yang orang tuanya melarang anak tersebut untuk membicarakan agamanya kepada siapa pun. Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 25.

58

Esack, On Being A Muslim, h. 188.

59

Esack, On Being A Muslim, h. 187.

60

Mengenai sistem patriarki di Afrika Selatan sangatlah kuat, hal tersebut terlihat dalam pemikiran mereka mengenai kepemerintahan: perempuan boleh memerintah jika mereka mampu,


(34)

usia lima puluh dua tahun, tepat sebelum Hari Raya ‘Id. Pada saat ibunya meninggal, ibunya sedang bekerja sebagai tukang seterika di Parow.61

B. Latar Belakang Intelektual Farid Esack

Esack dididik di sekolah berdasarkan Pendidikan Nasional Kristen yang

mempunyai sebuah ideologi keagamaan konservatif. Tujuan pendidikan mereka adalah untuk membentuk warga apartheid yang patuh dan takut pada Tuhan.62 Sebagaimana tradisi di Cape Town, sejak usia dini ia dikirim oleh ibunya

ke madrasah dan berpindah-pindah dari satu madrasah ke madrasah yang lain. Sampai kemudian ketika usianya mencapai dua belas tahun ia bertemu dengan Boeta Samodin Friseslar, gurunya di sekolah baru. Di sekolah tersebut, Esack mendapat pengalaman yang melukai hatinya, yaitu ditertawakan oleh teman-temannya saat membaca al-Quran di depan kelas karena ia tidak bisa membedakan antara alif dan ba. Padahal menurut pendapatnya, ia sudah bisa membaca, meskipun surat-surat pendek di bagian akhir al-Quran. Bahkan di sekolah lamanya, ia adalah termasuk anak yang paling pandai di antara teman-temannya. Maka, setibanya di rumah, Esack menceritakan peristiwa tersebut kepada ibunya sambil memperlihatkan buku kaidah membaca al-Quran yang ia beli dari gurunya tersebut. Kemudian ibunya berkonsultasi dengan bibinya yang juga guru di sebuah madrasah. Namun menurut bibinya, buku tersebut tidak baik. Dengan alasan tersebut, keesokan harinya, Esack tidak kembali lagi ke sekolah

sementara untuk laki-laki tidak ada prasarat “jika mampu” karena dengan gender laki-laki sudah cukup memenuhi persyaratan untuk jadi penguasa dalam pemerintahan tersebut. Esack, On Being A Muslim, h. 189.

61

Esack, On Being A Muslim, h. 219.

62


(35)

tersebut. Sebenarnya lebih jauh, menurut Esack karena buku tersebut adalah milik Ahmadiyah Qodaniyah63 yang keberadaan mereka dianggap bid’ah oleh kebanyakan Muslim lainnya.64 Sejak kanak-kanak sampai remaja Esack sudah dianggap alim oleh

masyarakat Muslim sekitarnya. Saat masih sekolah, ia pernah menjadi guru madrasah, dan ketika dewasa, ia menjadi wakil masyarakat yang mengelola masjid. Bahkan, di saat usianya masih kecil, pada umur sembilan tahun, demi kecintaannya pada Islam ia sudah bergabung dengan Jama’ah Tabligh. Namun secara formal, ia bergabung dengan jama’ah tersebut pada usia sepuluh tahun. Semua hari libur dan akhir pekan ia habiskan dengan jama’ah tersebut selama sebelas tahun. Namun karena alasan absolutisme, akhirnya ia keluar, yakni yang menyatakan bahwa “hanya kita, dan kegiatan kita yang penting dan bermakna”. Sedangkan alasan lain adalah ia merasa bahwa selama bergabung dengan jama’ah tersebut, spiritualitasnya hanya merupakan upaya menghindar dari kenyataan-kenyataan yang tidak menyenangkan tentang dirinya.65 Namun ia juga tidak menghindar untuk mengatakan bahwa ia merasa senang selama sepuluh tahun berada dalam jama’ah tersebut.66 Ketika masih sekolah, Esack pernah ditahan oleh polisi keamanan karena

bergabung dengan Aksi Pemuda Nasional (National Youth Action) dan Asosiasi Cendikiawan Kulit Hitam Afrika Selatan (South African Black Scholars

Association). Kedua organisasi ini menuntut adanya perubahan sosial politik

63

Ahmadiah Qodian adalah salah satu sekte yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad, yang menganggap bahwa ia adalah Nabi. Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, “Ahmad, Mirza Ghulam,” dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk., ed., Ensiklopedi Islam, vol. I (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1997), h. 81.

64

Esack, On Being A Muslim, h. 83.

65

Esack, On Being A Muslim, h. 35.

66


(36)

radikal. Markas yang biasa mereka gunakan untuk berkumpul, adalah gedung

Christian Institut, yang dipimpin oleh pendeta Theo Kotze. Pendeta Theo Kotze

sangat baik. Dialah yang memberikan fasilitas beribadah bagi para Muslim, dan pendeta Theo jualah yang datang mengunjungi keluarganya setelah ia lepas dari tahanan untuk menghibur dan meyakinkan keluarganya bahwa berurusan dengan polisi sebenarnya merupakan suatu kehormatan.67 Setelah menyelesaikan sekolah madrasahnya, pada umur lima belas tahun

Esack mendapatkan beasiswa untuk belajar teologi selama delapan tahun (1974-1982)68 di sebuah Institut Karachi, Pakistan, yang sebagian besar, menurutnya, teramat konservatif, yang memandang jelek sesuatu yang berbau duniawi.69 Di sana, Esack belajar di dua tempat yang berbeda, yaitu di Jama’ah Al-Islamiyah

dan Jama’ahAlimiyah. Di Jama’ah Al-Islamiyah ia mendapat gelar BA dalam

hukum Islam, dan di Jama’ahAlimiyahAl-Islamiyah ia juga mendapat gelar BA dalam bidang teologi. Di sana juga ia mendapatkan gelar Maulana.70 Selain belajar di Pakistan, Esack juga pernah belajar hermeneutik di

Jerman dan teologi di Inggris selama beberapa tahun. 71 Ia mendapat gelar Ph.D-nya dari University of Birmingham, Inggris dalam bidang Tafsir al-Quran dan pernah tercatat sebagai associate professor dalam studi Islam di University of Western Cape, Afrika Selatan.72 Selama belajar di Pakistan dan tetap aktif di Jama’ah Tabligh yang

dipimpin oleh Haji Bhai Padia, ia juga aktif terlibat dalam gerakan Islam Ittihad

67

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 26.

68

The Helen Suzman Foundation, “Profile of Farid Esack.”

69

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 27.

70

Irwandi, “Reception Hermeneutik Maulana Farid Esack,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002), h. 16.

71

Esack, On Being A Muslim, h. 19-20.

72


(37)

Al-Tulaba Al-Muslimin (Persatuan Pelajar Muslim),73 dan sering ikut dalam diskusi yang diadakan oleh kelompok pelajar Kristen yang bernama

Breakthrough,74kemudian bergabung bersama mereka, melibatkan para medis di

penjara pusat Karachi, dan mengajar di perkampungan kumuh Hindu dan Kriten, serta merawat anak-anak terlantar di sebuah rumah75 hingga kemudian pada tahun 1970-an, dia diundang dan diminta oleh Norman Wray untuk mengajar Studi Islam di sekolah yang ia pimpin.76 Selama delapan tahun tinggal di Pakistan dan bergaul dengan

orang-orangnya. Esack telah banyak menyaksikan penderitaan yang disebabkan oleh agama, khususnya penderitaan yang dialami kaum minoritas Kristen oleh kaum Muslim. Mereka dilecehkan secara secara sosial maupun agama.77 Padahal

73

Esack, On Being A Muslim, h. 19-20.

74

Breakthrough adalah kumpulan pemuda Kristen yang peduli dengan nasib kaum yang tertindas dan yang berjuang menegakkan keadilan di Pakistan dengan iman mereka. Para pendirinya adalah Norman Wray, Derrick Dean, Lucia Gomes, Kenny Fernandes. Esack, On Being A Muslim, h. 18.

75

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 27-28.

76

Esack diminta untuk mengajar di Sekolah Menengah Teknik St. Patrick, Karachi. Dia ditawari untuk mengelola studi Islam di Sekolah tersebut dan mentransformasikannya menjadi suatu program diskusi perkemahan dan kegiatan darmawisata. Lihat Esack, On Being A Muslim, h. 16.

77

Secara sosial, mereka dilarang makan di café-cafe pinggir jalan. Mereka juga dilarang minum dari sumber air kepunyaan kaum Muslim sehingga mereka, Kristen Punjab, harus berjalan bermil-mil jauhnya demi mendapatkan air, padahal sumber air yang dimiliki kaum Muslim lebih dekat. Alasan kaum Muslim melakukan hal itu adalah karena mereka beragama Kristen ketika peristiwa tersebut sampai ke telinga Jerman, maka Jerman membuatkan sumur untuk saudara mereka sesama Kristen di Pakistan. Namun setelah sumur itu selesai dibangun, ternyata perlakuan mereka sama persisnya seperti perlakuan kaum Muslim terhadap mereka. Bedanya yang mereka balas adalah orang Hindu yang dekil dan lemah. Tindakan chauvinisme yang dilakukan oleh kaum Muslim lainya adalah mereka menutup mata pada kebenaran. Anak seorang Kristen yang berusia delapan tahun diadili dan di hukum mati di depan regu penembak ketika umurnya mencapai empat belas tahun. Dia dituduh oleh teman sebayanya, seorang Muslim karena telah menulis kata-kata penghinaan kepada Nabi. Padahal jelas-jelas anak Kristen itu tidak bisa menulis dan membaca. Namun karena desakan dan kekuatan masa dari beratus-ratus tokoh agama serta pengikutnya, pengadilan tidak bisa menyelamatkan anak tersebut karena mereka mengepung pengadilan dan menuntut hukuman mati. Jika para hakim tidak mengikutinya, maka mereka akan mengirimkannya pula pada kematian. Alasan mereka menuntut hukuman mati adalah karena menurut mereka ada konspirasi Kristen untuk menjatuhkan Islam. Setelah pengadilan selesai, kemudian beberapa gereja dan sekolah yang dijalankan oleh penganut Kristen dibakar. Setelah itu sebuah perkampungan Krstiani termasuk sebuah gereja diratakan oleh Buldozer. Pada beberapa desa yang sebelumnya anak-anak Kristen diizinkan untuk bersekolah meskipun duduk secara terpisah di


(38)

mereka pun, umat Islam Pakistan pernah mengalami perlakuan tidak adil selama berabad-abad oleh kaum Hindu kelas atas ketika mereka masih bersatu dengan India, dan menjadi kaum minoritas.78 Namun pengalaman tersebut ternyata tidak menyadarkan mereka untuk tidak berlaku adil terhadap mereka, kaum minoritas Kristen. Perlakuan mereka sama buruknya, sebagaimana yang pernah dilakukan kaum Hindu kelas atas terhadap mereka saat itu.79 Kasus serupa pun menurut Esack, pernah menimpa kaum minoritas

beragama di Afrika Selatan, tapi kebalikannya. Di Afrika Selatan, kaum minoritas Muslimlah yang pernah mendapat perlakuan tidak adil oleh penguasa Kristiani yang mayoritas, dan akibat pemberlakuan apartheid yang dijalankan oleh mereka, hampir dua abad kaum minoritas Muslim mengalami penderitaan; perkawinan mereka dianggap tidak sah dan dihinakan; kewarganegaraannya ditolak; mereka juga tidak boleh memiliki tanah atau menetap di wilayah koloni, walaupun mereka dilahirkan di sana; mereka juga melakukan kerja paksa tanpa dibayar; dihukum sekehendak tuannya dengan cambuk dan dipenjara; mereka juga tidak bisa keluar dari kampung halamannya tanpa izin, dan rumah-rumah mereka dimasuki dan dijamah oleh polisi dengan sewenang-wenang.80 Menurut Esack, tindakan-tindakan buruk tersebut yang dilakukan oleh

kaum beragama karena ditopang oleh paham keagamaan mereka masing-masing karena tidak yakin orang Muslim melakukan hal itu karena mereka Muslim,

belakang murid-murid Muslim dikeluarkan dari sejumlah sekolah. Lebih jauh lihat Esack, On Being A Muslim, h. 222-232.

78

Pemisahan kedua daerah tersebut terjadi pada tahun 1948. Para penganut Hindu mendirikan negara sendiri yaitu Republik India, sedangkan para penganut Islam mendirikan Republik Islam Pakistan. Esack, On Being A Muslim, h. 222.

79

Esack, On Being A Muslim, h. 222-223.

80


(39)

ataupun orang Kristen karena mereka Kristen,81 maka sekembalinya dari Pakistan, tepatnya tahun 1982, untuk menyalurkan aspirasinya, ia bergabung dengan Gerakan Pemuda Muslim (Muslim Youth Movement),82 tapi hanya sebentar karena ternyata pemikiran Esack dengan organisasi tersebut, tidaklah cocok. Oleh karena itu, untuk melanjutkan aspirasinya, pada Juni 1984, ia bersama temannya Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan Syamiel Manie mendirikan Call of Islam.83 Di sana mereka membangun kembali apresiasi yang baru terhadap al-Quran. Mereka melakukan pembacaan ulang terhadap ajaran Islam, seperti bagaimana seharusnya memaknai teks al-Quran dalam konteks perjuangan dan kebebasan dari eksploitasi ekonomi, penindasan rasial, atau penindasan terhadap kaum wanita, dan ketidakadilan politis yang dilakukan oleh rezim apartheid karena Esack percaya, bahwa Tuhan telah dan sedang ikut dalam sejarah.84 Call, hanyalah satu dari sekian banyak organisasi berbasis agama yang

terlibat dalam perjuangan dalam Front Demokasi Bersatu (United Democratic

Front). UDF adalah organisasi pergerakan Muslim terbesar untuk kemerdekaan

yang berdiri pada tahun 1983. Organisasi ini paling aktif dalam memobilisasi aktivitas perjuangan dalam menentang apartheid, diskriminasi gender, dan pencemaran lingkungan, serta menggalang usaha antar iman.85 Selanjutnya untuk mendukung perjuangan tersebut, Call mengajak kaum

beriman dari semua golongan untuk bergabung membentuk solidaritas antar iman dan berjuang bersama melawan apartheid tanpa memandang apakah ia beragama

81

Esack, On Being A Muslim, h. 223.

82

MYM adalah gerakan pemuda Muslim yang didirikan pada 1670.

83

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 79.

84

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 31-32.

85


(40)

Islam atau bukan karena mereka pun, baik itu dari golongan Kristen, Yahudi atau Islam sama-sama mengalami penindasan dan telah menumpahkan darah yang disebabkan oleh kebrutalan apartheid, maka apa salahnya jika para penganut berbagai agama itu bergabung dan berjuang bersama menentang apartheid.86 Oleh karena itu, peranan Call dalam konteks Afrika Selatan yang apartheid paling signifikan dalam membujuk kaum Muslim lainnya untuk berjuang bersama-sama dengan para penganut agama lain dalam menghancurkan apartheid karena apartheid pun dilarang oleh agama, dan menerima secara tanpa ragu mereka, kaum Kristen atau Yahudi sebagai saudara dan kaum beriman.87 Apartheid menurut Esack jelas-jelas telah melanggar al-Quran karena telah

dengan sengaja memilah-milah dan memecah orang secara etnis, yang berarti telah menolak kesatuan umat manusia yang merupakan refleksi tauhid, “manusia adalah bangsa yang satu” (Q.S. al-Baqarah/2: 213), sedangkan orang yang telah mempraktikannya menurut Esack termasuk syirk.88 Namun sangat disayangkan ajakan Call tersebut ditentang oleh kaum

konservatif Muslim lainnya. Ternyata hidup berdampingan dengan penganut agama lain meski sama-sama tertindas, menurut Esack, tidak cukup mengubah

86

Ketika sembilan belas pemimpin agama dijebloskan ke sel-sel di Pengadilan Tinggi Wynberg karena telah melanggar larangan memasuki kota Kulit Hitam Gugulethu, pengalaman tersebut telah menjadikan pengalaman penting bagi antar agama di Afrika Selatan. Pasalnya, di sana mereka dari berbagai penganut agama telah mengalami dialog pada tataran tertinggi, dan hanya dalam delapan jam, kecurigaan dan ketidakpercayaan di antara mereka selama bertahun-tahun pun luluh. Mereka sama-sama menemukan komitmen bersama pada dan kebutuhan akan Tuhan. Kemudian Allan Boesak pemimpin Kristen membacakan kitab suci, Pendeta Lionell Louw memimpin koor bersama, Hassan Solomon berdoa dan Esack sendiri berkhutbah dan selanjutnya mereka semua bersatu bahu-membahu mengupayakan masyarakat yang adil. Yakni di antaranya adalah dengan melakukan berbagai aksi jalanan dan kehadiran pendeta-pendeta di pertemuan Call

dan ulama-ulama Islam di gereja-gereja, serta sejumlah besar layanan antar iman, memperkuat citra antar agama dalam menentang penindasan di Afsel. Sebagai simbol komitmen keterlibatan mereka, mereka membentuk World Conference Religion and Peace (WCRP) cabang Afrika Selatan pada Agustus 1984. Lihat Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 66.

87

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 66-67.

88


(41)

seseorang untuk hidup bersama dalam damai. Apalagi pengembangan rasa hormat pada keanekaragaman agama bisa dipastikan tidak akan terjadi.89 Alasan mereka menentang dan menolak ajakan tersebut karena menurut

mereka, keikutsertaan orang-orang yang bergabung dengan solidaritas semacam itu akan mengaburkan iman Islam seseorang. Bagi mereka, hanya pembebasan melalui jalan Islamlah yang dapat berhasil karena Islam mempunyai jawaban terhadap masalah-masalah di seluruh dunia, dan MYMlah menurut mereka, yang pantas mewarisi kepemimpinan untuk membebaskan manusia dari pengekangan manusia lain. Oleh karena itu, kaum Muslim punya hak untuk memimpin. Dengan demikian, menurut mereka, orang-orang yang bergabung dengan komunitas semacam, Call of Islam itu adalah kafir, arogan, penuh nafsu dan bathil.90 Maka dengan alasan itulah dalam tulisannya, Esack merumuskan kembali

isu-isu teologisnya yang mendasar mengenai istilah iman, islam dan kafir secara sistematis. Diharapkan dengan adanya pembacaaan ulang terhadap istilah-istilah tersebut, adalah mungkin untuk hidup dalam keimanan kepada al-Quran sekaligus dalam konteks kekinian bersama orang-orang yang berbeda agama, bekerja bersama mereka untuk membentuk masyarakat yang lebih manusiawi, terhindar dari segala macam diskriminasi dan eksploitasi, dan bisa jadi untuk alasan itu pula, Esack keluar dari MYM.91 Perubahan pemikiran Esack ke arah yang liberal tersebut, selain dari

pengalaman refleksi sosial dan pendidikannya, juga mendapat pengaruh yang

89

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 270-271.

90

Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 68-79.

91


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abd Al-Ghaffar, Purwanto. Tuhan yang Menentramkan, Bukan yang Menggelisahkan: Studi# Banding Tauhid dan Trinitas. Jakarta: Serambi, 2006.

Alex, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer. Surabaya: Karya Harapan, 2005. Anwar, M. Rosihon. “Tafsir Esoterik Menurut Pandangan Al-Thabathaba’i.”

Disertasi S3 Tafsir Hadits, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.

Anwar, M. Syafii’. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina, 1995. Arkoun, Mohammed. Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Armstrong, Karen. Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk. Penerjemah Hikmat Darmawan Jakarta: Serambi, 2003.

---. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan Oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4000 Tahun. Penerjemah Zaimul Am Bandung: Mizan, 2002

Azra, Azyumardi. dkk. Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia. Ciputat: INCIS, 2003.

Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan. Riuh di Beranda Satu Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. Seri II. Jakarta: Departemen Agama RI, 2003.

---. Kompilasi Perundang-Undang Kerukunan Hidup Umat Beragama Departemaen Agama RI. Edisi Ketujuh. Jakarta: Departemen Agama RI, 2003.

Badudu, J. S. Kata-Kata#Serapan Asing dalam B. Indonesia. Jakarta: Kompas, 2003.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.

Burhanudin. “Tafsir Liberatif dan Prinsip Wahyu Progresif: Perspektif Farid Esack dan Charles Kurzman tentang Islam, Modernitas, dan Masa Lalu yang Diciptakan.” Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002.


(2)

“Bom Bali 2002.” Diakses tanggal 10 September 2007 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2002

“Bom Bali 2005.” Diakses tanggal 10 September 2007 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2005

“Bom JW. Marriot.” Artikel diakses tanggal 10 September 2007 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2002

Coward, Harold. Pluralisme, Tantangan bagi Agama-Agama. Penerjemah Bosco Carvallo. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Creswell, John W. Desain Penelitian, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Pengantar Supardi Suparlan. Penerjemah Angkatan III dan IV KIK-UI dan bekerjasama dengan Nur Khabibah. Jakarta: KIK Press, 2003.

Dahlan, Abdul Aziz. Penilaian Teologis atas Paham Wahdat Al Wujud (Kesatuan Wujud): Tuhan Alam Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani. Padang: IAIN IB-Press, 1999.

Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahnnya. Bandung: Syaamil, 2004. Esack, Farid. Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme.

Penerjemah Watung A. Budiman. Bandung: Mizan, 2000.

---. Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligous Solidarity against Oppression. Oxford: Oneworld Publications, 1997.

---. On Being a Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-Plural. Penerjemah Nuril Hidayah Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.

---. On Being a Muslim: Menjadi Muslim di Dunia Modern. Penerjemah Dadi Darmadi dan Jajang Jamroni. Jakarta: Erlangga, 2004.

Galib, M Muhammad. Ahl Al-Kitab: Makna dan Cakupannya. Jakarta: Paramadina, 1998.

Gifford, Clive. “Afrika Selatan.” Dalam Henry P. dkk, ed. Ensiklopedi Geografi Dunia untuk Pelajar dan Umum, vol. IV. Penerjemah Dewi Susiloningtyas, dkk. Jakarta: Lentera Abadi., 2006: h. 380-383.

---. “Indonesia.” Dalam Henry P. dkk, ed. Ensiklopedi Geografi Dunia untuk Pelajar dan Umum, vol. IV. Penerjemah Dewi Susiloningtyas, dkk. Jakarta: Lentera Abadi., 2006: h. 328-333.

“Gustavo Gutierrez.” Diakses dari http://fppi.blogspot.com/2007/07/teologi-pembebasan.htmlPerihal Teologi Pembebasan

Hanafi, Hassan. Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita terhadap Tradisi Lama. Jakarta: Paramadina, 2003.


(3)

Husaini, Adian. Pluralisme Agama: Haram Fatwa MUI Yang Tegas Dan Tidak Kontroversial. Jakarta: Pustaka al Kaustar, 2005.#

Irwandi. “Reception Hermeneutik Maulana Farid Esack.” Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002.

Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik terhadap Al-Quran. Penerjemah Agus Fahri Husein, dkk. Jogja: Tiara Wacana, 1994. “Juan Luis Segundo.” Diakses tanggal 11 November dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Juan_Luis_Segundo

Kurzman, Charles. Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global. Penerjemah Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Penyunting E. Kusnadiningrat dan Din Wahid. Jakarta: Paramadina, 2001.

“Kerusuhan Ambon.” Diakses pada 10 September 2007 dari

www.hamline.edu/apakabar/basis data/1999/08/26/0037.html

“Kerusuhan Poso.” Diakses pada 10 September 2007 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Poso

Madjid, Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta:Paramadina, 2003.

---. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Jakarta: Paramadina, 2000. ---. “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi

Mendatang.” Ulumul Quran IV, no. 1 (1993): h. 10-12.

---. “Dialog Antara Ahli Kitab (Ahl Al-kitab) Sebuah Pengantar.” Dalam George B. Grose dan Benjamin J. Hubbard, ed. Tiga Agama Satu Tuhan: Sebuah Dialog. Penerjemah Santi Indra Astuti. Bandung: Mizan, 1998.

MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jakarta. Kerukunan Beragama dari Perspektif Negara, Ham, dan Agama-Agama. Pengantar Quraish Shihab. Jakarta: MUI, 1996.

Muthari, Abdul Hadi Widji. “Estetika Sastera Sufistik Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Shaikh Hamzah Fansuri.” Tesis S 2, University Sains Malaysia, 1996.

Nasuhi, Hamid. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.


(4)

Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press, 1986.

Nasution, Harun. dkk. Agama dalam Pergumulan Masyarakat Dunia. Jogja: Tiara Wacana, 1997.

Osman, Mohamed Fathi. Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan: Pandangan Al-Quran, Kemanusiaan, Sejarah dan Perdaban. Penerjemah Irfan Abubakar. Jakarta: Paramadina, 2006.

dari 2007 November 11

l Diakses tangga ”

. Knitter . Paul F “ -freedom . www :// http 224 = id & diskusi = detail & kegiatan = page ? php . index / id / org . institute Halaman ma Uta » Pelayanan Gereja

“Pengeboman Poso Divonis 18 Tahun.” Media Indonesia, 4 Desember 2007. Rachman, Budhy Munawar. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman.

Jakarta: Paramadina, 2001.

“Radhakrishnan.” Dalam Paul Edwards, ed. The Encyclopedia of Philosophy, vol. VII-VIII. New York: Macmillan., 1967: h. 62.

Rahardjo, M. Dawam. Paradigma Al-Quran Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial. Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005.

Rahman, Fazlur. dkk. Agama untuk Manusia. Penerjemah Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Rakhmat, Jalaluddin. “Menundukkan Makna Pluralisme Agama.” Buletin Kebebasan V, no. 3 (Mei 2007): h. 19-21.

Siswanto, Joko. Sistem-Sistem#Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Sukidi. New Age Wisata Spiritual Lintas Agama. Jakarta: Gramedia, 2002. ---. Teologi Inklusif Cak Nur. Jakarta: Kompas, 2001.

Sunyoto, Agus. Suluk Abdul Jalil Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar. Buku Satu Yogyakarta: LkiS, 2003.

Suseno,#Franz Magnis. “Terima Kasih, Cak Nur!.” Dalam Muhamad Wahyuni Nafis dan Ahmad Rifki, Penyunting. Kesaksian Intelektual Mengiringi Kepergian Sang Guru Bangsa. Jakarta: Paramadina, 2005: h. 102-103. ---. Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.


(5)

Smith, Huston. Agama-Agama Manusia. Pengantar Djohan Effendi. Penerjemah Yayasan Obor Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.

Tim Penyusun Ensiklopedi Islam. “Ahmad, Mirza Ghulam.” Dalam Abdul Aziz Dahlan. dkk, ed. Ensiklopedi Islam, vol. I. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve., 1997: h. 161.

---. “Ibnu Arabi.” Dalam Abdul Aziz Dahlan. dkk, ed. Ensiklopedi Islam, vol. II. Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve., 1996: h. 150.

---. “Rasyid Rida, Syekh Muhammad.” Dalam Abdul Aziz Dahlan. dkk, ed. Ensiklopedi Islam, vol. IV. Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve., 1997: h. 161. Tim Penyusun Ensiklopedi Nasional Indonesia. “Apartheid.” Dalam Ensiklopedi

Nasional Indonesia, vol. II. Jakarta: Delta Pamungkas., 2004: h. 187-188. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P & K).

Kamus Besar Bahasa #Indonesia. Umi Basiroh. dkk, peyunting. Jakarta: Balai Pustaka., 1988: h. 340.

The Helen Suzman Foundation. “Profile of Farid Esack.” Artikel diakses pada 10 September 2007 dari http://www.hsf.org.za/%23article_view.asp?id=34 Usman, Fatimah. Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama. Yogyakarta:

LkiS, 2002.

Wahid, Abdurrahman. dkk. Dialog: Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta: Interfidei, 1994.

Zarkasi, Hamid Fahmi. “Islam dan Paham Pluralisme Agama.” Majalah dan Pemikiran Islam Islamia I, no. 3 (September-Nopember 2004): h. 6-7.


(6)