Kajian Islam Dan Pluralisme Agama

PENDAHULUAN
Tantangan yang kita hadapi dewasa ini sebenarnya bukan dalam bidang ekonomi,
politik, sosial dan budaya, akan tetapi tantangan pemikiranlah yang sedang kita hadapi saat
ini. Sebab persoalan yang ditimbulkan oleh bidang-bidang ekonomi, politik, sosial, dan
budaya ternyata bersumber dari pemikiran. Di antara tantangan pemikiran yang paling serius
saat ini adalah dibidang pemikiran keagamaan.
Tantangan yang sedang kita hadapi saat ini adalah masuknya paham liberalisme,
sekulerisme, relativisme, pluralisme agama dan lain sebagainya, kedalam wacana pemikiran
keagamaan kita. Hal ini disebabkan oleh melemahnya daya tahan umat dalam menghadapi
glombang globalisasi dengan segala macam bawaannya.
Penomena pluralitas agama telah menjadi fakta sosial yang harus dihadapi masyarakat
modern. Manusia menyaksikan dirinya secara global hidup berdampingan (koeksistensi)
dengan berbagai penganut agama yang berbeda dalam satu negara, , dalam satu wilayah, dan
kota. Fenomena demikian bagi masyarakat yang belum terbiasa dan belum memiliki
pengalaman dalam berkoeksistensi damai, seperti barat, tentu akan menimbulkan
problematika sendiri, sehingga memaksa para ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk
memformulasikan suatu solusi atau pendekatan dalam merespon problematika tersebut.
Makalah singkat ini akan membahas salah satu tantangan eksternal dengan
memfokuskan pada makna pluralisme agama beserta sejarah, faktor-faktor, penyebaran,
dampak dan solusinya. Mengingat paham ini telah begitu menyebar dan telah merasuk
kedalam wacana keagamaan.


PEMBAHASAN

Makna Pluralisme agama
Kata “pluralisme agama” berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama” dalam
bahasa Arab diterjemahkan dengan “al-ta’ddudiyah” dan dalam bahasa Inggris “religius
pluralism”. Kata “plural” diartikan dengan menunjukkan lebih dari satu. Sedangkan isme
diartikan dengan sesuatu yang berhubungan dengan paham atau aliran. Pluralisme agama
adalah kondisi hidup bersama antar penganut agama yang berbeda-beda dalam satu
komonitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik ajaran masing-masing agama.1
Sebagian pendapat memandang bahwa pluralisme merupakan terminologi yang
terambil dari ranah Sosiologis, dan sebagian yang lain berpendapat bahwa terminologi ini
terambil dari ranah filsafat. Terlepas dari perbedaan keduanya, satu hal yang tidak dapat
dipungkiri bahwa pluralisme merupakan terminologi untuk menunjukkan paham
kemajemukan.
Pluralisme dalam ilmu sosial merupakan konsep pemahaman tentang kehidupan
majemuk (plural) yang harus ditata sedemikian rupa untuk menciptakan suasana saling
menghargai dan menghormati guna menghindari konflik. Semetara itu, dalam pengertian
yang lain, pluralisme dimaknai juga sebagai filsafat yang mengajarkan ada lebih dari satu
macam kebenaran.

Berkaitan dengan pemaknaan pluralisme itu sendiri. Ketika tema pluralisme agama
diangkat ke permukaan, maka ia akan menyulut perdebatan panjang. Istilah “perdebatan”
tentu menggambarkan adanya dua pandangan yang berbeda, dan tentu saja perbedaan
tersebut memiliki argumentasi masing-masing. Hal ini dapat berarti bahwa pluralisme bukan
merupakan faham yang ditentang oleh seluruh banyak umat dan bukan pula sebaliknya.
Dengan kata lain, pluralisme melibatkan dua kelompok yang saling bertentangan, di satu
pihak menerima, dan di pihak yang lain menolaknya. Jika boleh ditambahkan satu pihak lagi,
ditemukan pula kelompok yang dapat menerima paham pluralisme dengan memenuhi syaratsyarat tertentu.
Dalam wacana yang berkembang berikutnya, pluralisme ternyata tidak saja
menyentuh ranah filsafat dan sosiologi, akan tetapi pembahasannya juga turut menyentuh
wilayah teologi, bahkan yang terakhir lebih dominan dimaknai dari dua aspek sebelumnya
(filsafat dan sosiologi).
Pluralisme sosiologis menjadi semacam kondisi yang dapat dimaklumi, sebaliknya
pada ranah teologi pluralisme masih sulit untuk ditermia. Namun demikian yang tak kalah
menarik, pada saat yang sama demikian banyak opini yang muncul dari dunia Islam
mengatakan “No” untuk istilah pluralisme dengan alasan apapun.

1 Anis malik thoha, tren pluralisme agama (jakarta: perspektif, 2005), hal. 11

Sebutlah bahwa pluralisme dapat dilihat dari dua dimensi di atas (sosiologis dan

teologis), yang menjadi problem mendasar adalah pluralisme yang dimaknai dalam dimensi
teologis yang secara awam kerap dipahami sebagai “pembenaran atas seluruh agama dan
kepercayaan yang ada”. Dengan bahasa yang lebih sederhana, pluralisme dalam pemahaman
semacam ini menganggap bahwa“semua agama benar”.
Menurut john hick, sebagai salah satu nama besar dalam paham ini, pluralisme agama
adalah sebuah gagasan tentang agama-agama besar dunia yang memiliki persepsi dan
konsepsi yang sangat beragam, dan juga respon yang berbeda-beda terhadap yang maha
agung dalam kehidupan manusia. Pluralisme agama adalah sebuah teori khusus tentang
hubungan antar agama yang memiliki klaim-klaim kebenaran sendiri dan kompetitif. Dengan
kata lain, paham ini ingin mengatakan bahwa tidak ada agama yang paling benar diantara
agama yang lainnya, atau setidak-tidaknya semua agama sama benarnya. Karena paham ini
mengajarkan kepada kita , sesungguhnya, meski berbeda-beda agamanya, sejatinya agamaagama tersebut menyembah dan berujung pada tuhan atau zat yang satu. Atau dalam bahasa
lain yang di rumuskan oleh Frithjof Schuon, “ The Transcendent Unity of Religion”.2

Sejarah dan perkembangan pluralisme agama
Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut pencerahan
(enlightenment) Eropa, tepatnya abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik
permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacanawacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal
(rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama. Di tengah hirukpikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflikkonflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, muncullah suatu paham
yang dikenal dengan “liberalisme” yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi,

persamaan dan keragaman atau pluralisme.3
Pluralisme dalam ranah teologis ditengarai memiliki hubungan dengan pemikiran
filsafat yang menandai lahirnya zaman baru yang disebut post-modern di Barat. Kesadaran
ini lahir dari kalangan gereja melalui Konsili Vatikan II tahun 1962-1965. Pengakuan gereja
terhadap kebenaran Keristen sebagai bukan satu-satunya kebenaran telah menciptakan apa
yang disebut kejutan kemajemukan, kalau dulu agama Kristen pernah bermimpi menjadi
agama satu satunya di dunia, tidak saja merasa paling benar, tetapi juga satu-satunya yang
benar, namun kenyataannya agama-agama lain juga tetap hidup subur, sehingga agama
Kristen dipaksa atau terpaksa untuk hidup bersama agama-agama lain yang juga mempunyai
ajaran yang tidak dapat dipandang rendah atau salah. Dengan demikian model plural shock
menjadi semacam keharusan sejarah, dan bagi mereka yang tetap keras kepala bertahan dan
2 Herry nurdy , kebangkitan freemason & Zionis di Indonesia (jakarta: 2009), hal. 183
3 Anis malik thoha, tren pluralisme agama (jakarta: perspektif, 2005), hal. 16

tidak mau mengakui kenyataan baru ini akan menjadi orang-orang yang akan tercabut dari
kenyataan, menjadi usang dan tidak relevan lagi. Dari kasus di atas dapat disimpulkan bahwa
gagasan pluralisme agama sebenarnya merupakan upaya peletakan landasan teoretis dalam
teologi kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain.
Lahirnya dan berkembangnya pluralisme agama, setidaknya juga di sebabkan oleh
beberapa faktor :

1. Iklim demokrasi
Dalam iklim demokrasi, kata toleransi memegang peranan penting. Sejak kecil di
negara ini kita diajar untuk saling menghormati kemajemukan suku, bahasa dan agama.
Berbeda-beda tetapi satu jua. Begitulah motto yang mendorong banyak orang untuk berpikir
bahwa semua perbedaan yang ada pada dasarnya bersifat tidak hakiki. Beranjak dari sini,
kemudian toleransi terhadap keberadaan penganut agama lain dan agama-agama lain mulai
berkembang menjadi penyamarataan semua agama. Bukankah semua agama mengajarkan
kebaikan? Jadi, tidak masalah Anda menganut yang mana!
2. Pragmatisme
Dalam konteks Indonesia maupun dunia yang penuh dengan konflik horisontal antar
pemeluk agama, keharmonisan merupakan tema yang digemakan dimana-mana. Aksi-aksi
”fanatik” dari pemeluk agama yang bersifat destruktif dan tidak berguna bagi nilai-nilai
kemanusiaan membuat banyak orang menjadi muak. Dalam konteks ini, pragmatisme
bertumbuh subur. Banyak orang mulai tertarik pada ide bahwa menganut pluralisme agama
(menjadi pluralis) akan lebih baik daripada seorang penganut agama tertentu yang ”fanatik”.
Akhirnya, orang-orang ini terdorong untuk meyakini bahwa keharmonisan dan kerukunan
lebih mungkin dicapai dengan mempercayai pluralisme agama daripada percaya bahwa hanya
agama tertentu yang benar. Yang terakhir ini tentu berbahaya bagi keharmonisan masyarakat.
Begitulah pola pikir kaum pragmatis.
3. Relativisme

Kebenaran itu relatif, tergantung siapa yang melihatnya. Ini adalah pandangan yang
populer, sehingga seorang tukang sapu pun memahaminya. Dalam era postmodern ini
penganut relativisme percaya bahwa agama-agama yang ada juga bersifat relatif. Masingmasing agama benar menurut penganutnya-komunitasnya. Kita tidak berhak menghakimi
iman orang lain. Akhirnya, kita selayaknya berkata ”agamamu benar menurutmu, agamaku
benar menurutku. Kita sama-sama benar”.
4. Perenialisme
Filsafat perennial adalah kepercayaan bahwa Kebenaran Mutlak (The Truth) hanyalah
satu, tidak terbagi, tetapi dari Yang Satu ini memancar berbagai “kebenaran” (truths).
Sederhananya, Allah itu satu, tetapi masing-masing agama meresponinya dan

membahasakannya secara berbeda-beda, maka muncullah banyak agama. Hakekat dari semua
agama adalah sama, hanya tampilan luarnya yang berbeda.4

Kesatuan transcendensi agama-agama
Transendentalisme versi prof. Huston Smith

GOD

The Transcendent Unity of Religion, buku yang di tulis oleh Frithjof Schuon menjadi
semacam “kitab suci” bagi penganut pluralisme agama. Dalam buku tersebut, schuon

menggambarkan dan mengibaratkan bahwa agama-agama layaknya sebuah piramida, seperti
apa yang di gambarkan Huston Smith, dimana tuhan atau zat yang agung berada di pucak
piramida dan agama-agamanya berada disisi bawah. Konsep ini sering juga disebut dengan
teori eoterik dan eksoterik.5
Teori ini juga dipakai oleh tokoh pluralisme agama di indonesia, Nurcholis Madjid,
dalam bahasanya, agama-agama itu ibarat roda dan jari-jarinya. Sebagai sebuah pandangan
keagamaan, pada dasarnya islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang
semakain pluralis. Sebagai contoh, filsafat prenial merentangkan pandangan pluralis dengan
mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap tuhan
4 Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis, ( jakarta: Paramadina, 2001), hal. 79
5 Herry nurdy , kebangkitan freemason & Zionis di Indonesia (jakarta: 2009), hal. 184

yang sama. Ibarat roda, pusat roda adalah tuhan, dan jari-jarinya itu adalah jalan berbagai
agama. Filsafat prenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir).
Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapai relativ sama dalam
level esoteriknya. Oleh karena itu, ada istilah “satu tuhan banyak jalan”.6
Nurcholish Madjid dalam bukunya juga mengatakan, “ paling tidak, dewasa ini, para
ahli memetakan dalam tiga siakap dialog. Pertama, sikap yang eksklusif dalam melihat agama
lain (“Agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi para pengikutnya”).
Kedua, sikap Inklusif (“agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita”). Dan ketiga,

sikap pluralis, yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: “ agamaagama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama”.
“agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang
sama sah, atau setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran”.7
Respon Islam Terhadap Pluralisme Agama
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa, paham pluralisme agama adalah sebagai
sebuah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran
setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim
bahwa hanya agamanyalah yang benar sedangkan yang lain salah. Kata semua agama sama,
berarti ini akan berimbas pada penyamaan semua konsep-konsep dalam setiap agama-agama,
baik itu konsep tuhan, ilmu, dan lain sebagainya.
Padahal konsep-konsep dalam islam jauh lebih sempurna dari pada konsep-konsep
dalam agama lain, ini dikarenakan islam sebagai agama penutup agama-agama dan otomatis
menjadi pelengkap dan penyempurna dari konsep agama sebelumnya. Sifat Tuhan yang
dipahami dalam Islam, tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam doktrin dan
tradisi keagamaan lain di dunia. Ia juga tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami
dalam tradisi filsafat Barat atau tradisi sains; juga tidak sama dengan yang dipahami dalam
tradisi mistisisme Timur maupun Barat.
Kalaupun ada kemiripan yang mungkin ditemukan antara sifat Tuhan yang dipahami
dalam Islam dengan berbagai macam konsepsi agama lain, maka itupun tidak bisa ditafsirkan
sebagai bukti bahwa Tuhan yang dimaksud adalah sama, yakni Tuhan Universal Yang Esa

(The One Universal God), karena masing-masing konsep tersebut digunakan sesuai dengan
dan termasuk dalam sistem dan kerangka konseptual yang berbeda-beda, sehingga konsepsi
tersebut yang merupakan suatu keseluruhan, atau super system, tidak sama antara satu dengan
yang lain. Ini juga berarti bahwa tidak ada Kesatuan Transenden Agama-agama (transcendent
unity of religions).

6 Nurcholish Madjid, Tiga Agama Satu Tuhan, (bandung: penerbit mizan,1998), hal. XiX
7 Ibid, hal. XiX

Bahkan istilah kesatuan transenden agama-agama itu sendiri cukup menyesatkan,
sebuah istilah yang boleh jadi lebih merupakan suatu motif untuk agenda terselubung,
ketimbang keyakinan yang mereka percayai kebenarannya. Klaim kepercayaan yang ada
pada mereka mengenai kesatuan transenden agama-agama sebenarnya merupakan hasil
rekaan imajenasi induktif mereka, dan semata-mata bersumber dari spekulasi intelektual
belaka, bukan dari pengalaman kongkret.
Allah telah menerangkan tentang dirinya sendiri dalam kitab suciNya, tentang
ciptaanNya, relasi antara keduanya, serta jalan menuju keselamatan yang disampaikan pada
Nabi dan Rasul pilihanNya, bukan melalui suara atau aksara, namun semuanya itu, telah Dia
representasikan dalam bentuk kata-kata, kemudian disampaikan oleh Nabi pada umat
manusia dalam sebuah bentuk bahasa dengan sifat yang baru, namun bisa dipahami, tanpa

ada campur-aduk atau kerancuan (confusion) dengan subyektifitas dan imajinasi kognitif
pribadi Nabi. Wahyu ini bersifat final, dan ia (yakni al-Qur’an) tidak hanya menegaskan
kebenaran wahyuwahyu sebelumnya dalam kondisinya yang asli, tapi juga mencakup
substansi kitab-kitab sebelumnya, dan memisahkan antara kebenaran dan hasil budaya serta
produk etnis tertentu.
Majelis Ulama Indonesia, melalui fatwanya, tanggal 29 juli 2005 juga telah
menyatakan bahwa paham pluralisme agama bertentangan dengan islam dan haram bagi umat
islam memeluk paham ini. MUI mendifinisikan pluralisme agama sebagai suatu paham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah
relatif, oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya
saja yang benar, sedangkan yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua
pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Dr. Anis Malik Thoha, pakar
pluralisme agama, yang juga mustasyar NU cabang istimewa Malaysia, mendukung fatwa
MUI tersebut dan menyimpulkan bahwa pluralisme agama memang sebuah agama baru yang
sangat deskruktif terhadap islam dan agama-agama lain.
Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Adian Husaini, dalam artikelnya yang
berjudul “Pluralisme Agama, musuh agama-agama” mengatakan: “ Jelas, dalam pandangan
islam, sebagaimana juga pandangan beberapa agama-agama lain, paham pluralisme
semacam itu adalah racun, yang melemahkan keimanan dan keyakinan akan kenbenaran
islam. Islam tegak diatas landasan syahadat : pengakuan bahwa tidak ada tuhan selain Allah

dan Muhammad adalah utusan Allah. Jadi, Islam bukan hanya percaya kepada Allah, tetapi
juga mengakui kebenaran kerasulan Muhammad. Inilah yang ditolak keras oleh kaum selain
islam”.
Makna “Islam” itu sendiri di gambarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam berbagai
sabda beliau. Imam al-Nawawi dalam kitab haditsnya yang terkenal, al- Arbai’n alNawawiyah , menyebutkan definisi pada hadits keadua: Islam adalah bahwasanya engkau
bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah , menegakkan shalat,
menunaikan zakat, melaksanakan puasa ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang
mampu malaksanakannya.” (HR, Muslim). Pada hadits ketiga juga di sebutkan, Bahwasanya

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Islam ditegakkan atas lima hal: persaksian bahwa tiada
tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusannya, penegakan shalat, penunaian zakat,
puasa ramadhan, dan pelaksanaan haji ke baitullah.” (HR. Bukhari dan Muslim).8
Al-Qur;an juga menegaskan dalam surat al-Imran : 19 dan 85:

     






 
85. Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.

      
    
     
      
   
19. Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orangorang yang telah diberi Al Kitab, kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka,
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat
Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.

KESIMPULAN

8 Adian husaini, dalam artikel “ pluralisme agama musuh agama-agama, 2010, 21-23

Pluralisme memang merupakan sebuah keniscayaan pada masyarakat yang plural,
karena pluralitas itu sendiri merupakan sebuah keniscayaan, yang harus di hadapi masyarakat
modern. Hidup berdampingan (koeksistensi) dengan berbagai penganut agama yang berbeda
dalam satu negara, dalam satu wilayah, dan kota tidak bisa dipungkiri dah harus dihadapi
setiap orang. Dalam hal ini pemaknaannya sebagai pluralisme sosiologi atau merupakan
konsep pemahaman tentang kehidupan majemuk (plural) yang harus ditata sedemikian rupa
untuk menciptakan suasana saling menghargai dan menghormati guna menghindari konflik.
Pluralisme sosiologis menjadi semacam kondisi yang dapat dimaklumi,
Tetapi yang menjadi perhatian utama para peneliti dan tokoh-tokoh agama adalah
defenisi pluralisme yang meletakkan kebenaran agama-agama sebagai kebenaran relatif dan
meletakkan agama-agama pada posisi “ setara” apapun jenis agama itu. Paham ini telah
menyerbu setiap agama. Klaim-klaim kebenaran mutlak atas masing-masing agama
diruntuhkan. Pemahaman yang seperti ini yang senantiasa harus diwaspadai oleh seluruh
umat beragama, dan pemahaman ini tentu bertentangan dengan ajaran-ajaran suatu agama
tertentu.
Perlu selalu diingat dan harus selalu disadari bahwa permasalahan di bidang
ekonomi, politik, sosial dan budaya, timbul dari masalah pemikiran, apalagi dalam hal
pemikiran keagamaan seperti pluralisme agama yang berkembang saat ini. Kita di tuntut
untuk selalu kuat dan waspada gelombang globalisasi yang akan mengakibatkan masuknya
liberalisme, sekulerisme, relativisme, pluralisme agama dan lain sebagainya, kedalam wacana
pemikiran keagamaan kita.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul karim
Thoha, A.M. (2005) Tren pluralisme agama, jakarta: gema insani
Rachman, B.M. (2001) Islam Pluralism, jakatra: paramadina
Madjid, Nurchalish. (1998) Tiga Agama Satu Tuhan, bandung: penerbit mizan
Nurdi, Herry. (2009) Kebangkitan freemason & zionis di Indonesia, jakarta: cakrawala
Coward, Harold. (2000) Pluralisme tantangan bbagi agama-agama, Yogyakarta: PT kanisius
Husaini, Adian. (2010) pandangan islam: “ pluralisme agama musuh agama-agama”.