BAB II KAJIAN TEORI - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Model Pelatihan Guru PPKn Berwawasan Pluralisme
BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia
2.1.1 Manajemen Pelatihan
Manajemen merupakan the art of getting things
done through the effort of other people”(Lawrence dalam
Manulang, 2006: 2). Siagian (2007: 1) juga
mengungkap-kan bahwa manajemen merupakan seni
mengelola berbagai kegiatan oleh sekelompok orang
dalam suatu organisasi dengan menggunakan
kemampuan manajerial dan keterampilan teknis pada
kegiatannya untuk mencapai tujuan. Manajemen
merupakan seni untuk mengkolaborasi pengetahuan,
pengalaman dan kreativitas dalam wadah manajemen.
Manajemen dapat juga berarti suatu proses, karena
berkaitan dengan proses bimbingan dan pengarahan
kepada sekelompok orang ke arah tujuan
organisasional atau tujuan yang nyata ( Terry dan Rue,
2009: 1).Beberapa sumber daya pelatihan antara lain
man, money, machines, matherial dan methods. dalam
konteks pelatihan, Man menyangkut orang yang terlibat
dalam pelatihan, money menyangkut biaya yang
dibutuhkan ), machines berkaitan dengan alat yang
digunakan, matherial menyangkut bahan yang digunakan dan methods berhubungan dengan cara atau sistem yang digunakan dalam pelatihan (Emerson
dalam Usman, 2009: 15). Lima sumber daya inilah
inilah yang harus gerakkan secara maksimal sehingga
tercapai efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan
yang diinginkan. Tingkat pencapaian tujuan terkait
dengan efektifitas, sedangkan sedangkan efisien menunjukkan tingkat optimalisasi penggunaan sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut (Sugiyono, 2002: 8).
Pengelolaan pelatihan merupakan suatu kegiatan
pihak penyelenggara pelatihan untuk mencapai tujuan
organisasi atau lembaga penyelenggara pelatihan.
Secara khusus dalam konteks pendidikan, manajemen
pendidikan adalah keseluruhan kerjasama dengan
memanfatkan semua personal dan materil yang
tersedia dan sesuai yang diinginkan untuk mencapai
tujuan pendidikan secara efektif dan efisien (Arikunto,
2008: 4).Pelatihan merupakan komponen utama untuk
meningkatkan kompetensi sumber daya manusia dan
kinerja organisasi (Mondy, 2008: 210). Sumber daya
manusia yang profesional yang bersaing global yang
diharapkan oleh organisasi atau lembaga pendidikan
dapat terwujud melalui suatu pelatihan. Program
pengembangan SDM merupakan titik awal penting bagi
organisasi untuk meningkatkan dan mengembangkan
keterampilan, pengetahuan dan kemampuian individu
sesuai dengan kebutuhan masa mendatang (Sutrisno,
2009: 64).Berkaitan dengan pelatihan bagi guru PKn
berwawasan pluralisme, maka pelatihan tersebut
merupakan upaya meningkatkan dan mengembangkan
keterampilan dan pengetahuan guru dalam menyusun
selanjutnya berdampak pada kemampuan guru
melaksanakan, merealisasikan pembelajaran yang
direncanakan.Lembaga pendidikan perlu menempatkan
pelatihan sebagai upaya meningkatkan kinerja dan
kompetensi guru agar dapat berkompetisi di dalam
pasar global. Pelatihan yang efektif secara signifikan
berpengaruh terhadap peningkatan proses kerja yang
yang luar biasa pesatnya. Tall dan Hall (Sutrisno, 2009:
72) menyimpulkan bahwa dengan kombinasi teknik
pelatihan yang benar, persiapan (perencanaan) yang
matang, komitmen terhadap esensi pelatihan, maka
lembaga dapat mencapai manfaat kompetisi yang
sangat besar di dalam era globalisasi. Guru
merupakan asset penting sekolah, karena dengan
segala potensi yang dimilikinya, guru dapat terus
dilatih dan dikembangkan, sehingga dapat lebih
berdaya guna, prestasinya menjadi semakin optimal
untuk mencapai tujuan pendidikan. Perbedaan antara
harapan sekolah dengan kondisi riil kemampuan guru
perlu diatasi melalui pelatihan.Sikula dalam (Sutrisno, 2009: 72) menyatakan
bahwa pelatihan merupakan bagian dari proses
pendidikan jangka pendek yang memanfaatkan
prosedur yang sistematis dan teroganisir. Setiap
sekolah, perlu mengadakan program pelatihan bagi
guru untuk kemajuan sekolah.Secara umum program pelatihan harus
diarahkan untuk meningkatkan produktivitas sekolah
yang dijabarkan ke dalam tujuan khusus seperti pada
Tabel 2.1.
Tujuan Umum dan Tujuan Khusus Pelatihan bagi Guru
Tujuan Umum Tujuan KhususMeningkatkan 1.
Meningkatkan kualitas guru dan produktivitas produktivitas kerja guru guru di sekolah 2. mutu Meningkatkan perencanaan pembelajaran 3. Meningkatkan motivasi 4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan bagi guru-guru
5. Pengembangan diri (Sutrisno, 2009: 58) Ada tiga ranah dari tujuan umum pelatihan yaitu
pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dari aspek
pengetahuan diharapkan pekerjaan dapat diselesaikan
secara rasional. Dari aspek aspek keterampilan
diharapkan pekerjaan lebih cepat dan efektif.
Pengembangan aspek sikap diharapkan akan
menimbulkan kerjasama dengan sesama karyawan dan
pimpinan (Sutrisno, 2009: 62).Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan
dalam penyusunan program pelatihan agar sesuai
dengan tujuan yang dikehendaki. Sutrisno (2009: 65)
memberikan rambu-rambu yaitu: pengumpulan data,
membuat materi, menentukan metode pelatihan,
memilih pelatih, menyiapkan fasilitas, memilih peserta,
melaksanakan pelatihan dan melakukan evaluasi.Program pelatihan yang disusun pada dasarnya
untuk dijadikan pedoman pelatihan agar terarah
sebagai alat pengembangan sumber daya manusia agar
memiliki menguasai keterampilan atau memperbaiki
kekurangan yang ada dalam pekerjaan, secara
individual maupun kelompok dalam suatu organisasi
(Nawawi, 1997: 217). Pendapat tersebut terkait dengan pendapat Sutrisno (2009: 74-75) yang mengulas tentang manfaat dari pelatihan yaitu meningkatkan produktivitas, mutu, moral, menunjang pertumbuhan intelektual dan keterampilan peserta pelatihan.
Pelatihan bagi guru PPKn tentang pembelajaran berwawasan pluralisme memiliki tujuan umum untuk meningkatkan kompetensi guru agar dapat melaksanakan pembelajaran PPKn berwawasan pluralisme. Secara khusus dapat dijabarkan menjadi tujuan khusus seperti tercantum pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Tujuan Umum dan Tujuan Khusus Pelatihan bagi Guru
PPKn berwawasan pluralisme
Tujuan Tujuan Khusus Umum Meningkatkan1. Meningkatkan mutu perencanaan
kemampuan pembelajaran PKn berwawasan
guru PKn pluralisme dalam2. pengetahuan dan Memberikan
pembelajaran keterampilan bagi guru-guru dalam
berwawasan menyusun perencanaan, pe-
pluralisme laksanaan, evaluasi pembelajaran
berwawasan pluralisme3. Meningkatkan kemampuan guru dalam pembelajaran PKn ber- wawasan pluralisme
2.2 Model-Model Pelatihan
Beberapa model pelatihan antara lain model pelatihan 10 langkah, 7 langkah dan TNA. Ketiganya memiliki kesamaan yang secara umum terdiri dari tiga bagian yaitu perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
2.2.1 Model Pelatihan 10 Langkah Model pelatihan 10 langkah menurut Sudjana (2002: 14) lebih dikenal sebagai model partisipatif. langkah-langkah yang dilakukan antara lain: (1) menentukan peserta (pendaftaran dan seleksi peserta); (2) mengidentifikasi kebutuhan dan menganalisis hambatan yang mungkin terjadi; (3) membuat rumusan tujuan pelatihan; (4) menyusun alat evaluasi untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan keterampilan dasar/awal peserta pelatihan sebelum dan sesudah pelatihan; (5) menyusun program pelatihan seperti materi pelatihan, metode pelatihan; (6) Latihan untuk instruktur untuk memberikan pemahaman tentang program pelatihan; (7) melaksanakan evaluasi awal; (8) melaksanakan pelatihan: (9) melakukan evaluasi terhadap peserta pelatihan dan (10) menganalisis penyelenggaraan pelatihan untuk dijadikan masukan dalam kegiatan berikutnya.
2.2.2 Model Pelatihan 7 Langkah Model pelatihan 7 langkah yang dikemukakan Parker (1976) dalam Kamil (2003: 12) dikenal dengan
The Seven-step Model dengan langkah-langkah:
1) mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan; 2) merumuskan dan mengembangkan tujuan pelatihan; 3) merancang kurikulum pelatihan; 4) mengembangkan metode latihan; 5) menentukan pendekatan evaluasi; 6) melaksanakan program latihan dan 7) melakukan pengukuran hasil pelatihan.2.2.3 Model Training Need Analysis (TNA) Model training need analysis (TNA) merupakan
identifikasi kebutuhan organsiasi dengan analisis force
field analysis, 2) menganalsisi performansi pekerjaan
dengan teknik analisis task analysis dan 3) identifikasi
kebutuhan pelatihan dengan teknik survey, interview
dan observasi (Daryanto, 2014: 34).Terkait dengan pelatihan bagi guru PPKn tentang
pembelajaran berwawasan pluralisme, maka ada
beberapa materi yang terkait yaitu strategi
pembelajaran yang bersentuhan langsung dengan
kinerja guru sebagai pendidik dan tentang pluralisme
sebagai materi yang akan diintegrasikan dalam
pembelajaran PPKn.2.3 Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran merupakan bagian penting
dalam mendidik. Mendidik pada dasarnya adalah
upaya memanusiakan manusia (humanisasi). Menurut
Langeveld (dalam Munib, 2010: 23 ) menyatakan bahwa
pendidikan adalah suatu bimbingan yang diberikan
orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk
mencapai tujuan yaitu kedewasaan. Menurut
Darmodiharjo (dalam Munib, 2010: 25) mendidik
menunjukkan usaha yang lebih ditujukan kepada
pengembangan budi pekerti, semangat, kecintaan, rasa
kesusilaan, ketakwaan dan lainnya. Dalam sistem
pendidikan nasional, pendidikan merupakan usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara (UUSPN/20/2003).Berdasarkan uraian terlihat bahwa pendidikan
merupakan usaha sadar untuk membimbing,
mengarahkan agar manusia menjadi lebih dewasa.
Pendidikan mengandung pengertian yang sangat luas,
menyangkut seluruh aspek kepribadian manusia yaitu
menyangkut hati nurani, nilai-nilai, perasaan,
pengetahuan dan keterampilan. Secara formal, dalam
mendidik perlu strategi pembelajaran yang tepat.
strategi pembelajaran merupakan suatu bentuk
kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan
siswa untuk mencapai efisiensensi dan efektivitas
tujuan pembelajaran (Sanjaya, 2008: 126). Strategi
yang dimaksud terkait dengan perencanaan, metode
untuk mencapai tujuan( J.R. David dalam Sanjaya,
2008: 126). Dengan demikian strategi pembelajaran
dapat merupakan perencanaan berupa serangkaian
kegiatan dirancang untuk mencapai tujuan
pembelajaran.Strategi merupakan bagian tak terpisahkan dari
tugas seorang guru. Sesuai dengan amanat Peraturan
Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang standar nasional
pendidikan, salah satu standar yang harus
dikembangkan adalah standar proses. Standar proses
merupakan standar nasional yang berkaitan dengan
pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan
untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses
meliputi perencanaan proses pembelajaran,
pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil
terlksananya pembelajaran yang efektif dan efisien (PP
No 19 tahun 2005).Strategi pembelajaran yang akan digunakan guru
perlu dipertimbangkan guru yang diilustrasikan dalam
kegiatan pembelajaran yang tertuang di rencana
pelaksanaan pembelajaran dan diaplikasikan dalam
proses pembelajaran. Disarankan dalam PP No 19
tahun 2005, pelaksanakan kegiatan pembelajaran
hendaknya dilakukan scara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik
untuk aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan
bakat dan minat perkembangan fisik serta psikologis
peserta didik (PP No 19 tahun 2005). Uraian tersebut
menggambarkan bahwa strategi pembelajaran
merupakan hal penting dan perlu dikuasai oleh
pendidik dalam melaksanakan pembelajaran.Pemilihan strategi pembelajaran hendaknya
berdasarkan prinsip efisiensi dan efektivitas untuk
pencapaian tujuan pembelajaran dan tingkat
keterlibatan Siswa (Gerlach dan Ely dalam Uno, 2007:
8). Keterlibatan siswa menjadi kunci dalam strategi
pembelajaran, karena pembelajaran tidak lain
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan guru agar
peserta didik mengembangkan potensinya secara aktif.
Pemilihan strategi pembelajaran yang tepat diarahkan
agar siswa dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran
secara optimal.Suparman (2001: 167) menegaskan bahwa
strategi pembelajaran mengandung komponen-
Mengingat struktur kognitif siswa, maka urutan
kegiatan pengajar dalam menyampaikan materi
pembelajaran perlu diperhatikan dari hal yang mudah
ke yang sulit, yang sederhana ke yang lebih kompleks.
Urutan menjadi bagian penting karena antar materi
kadang kala memiliki urutan sebagai prasyarat. Metode
pembelajaran merupakan pengorganisasian materi
pembelajaran sedangkan media pembelajaran
merupakan peralatan dan bahan pembelajaran yang
digunakan. Waktu pembelajaran merupakan waktu
yang digunakan pengajar dan peserta belajar dalam
menyelesaikan proses pembelajaran.2.3.1 Strategi Pembelajaran PPKn
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menurut Permendikbud No 59 tahun 2014 masuk dalam mata pelajaran umum yang satu rumpun dengan mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi
Pekerti , Bahasa Indonesia , Matematika , Sejarah
Indonesia; dan Bahasa Inggris yang bertujuan untuk
mengembangkan kompetensi sikap, kompetensi
pengetahuan, dan kompetensi keterampilan peserta
didik sebagai dasar dan penguatan kemampuan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
(Permendikbud No 59 tahun 2014, pasal 5). Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran umum di SMA yang memiliki peran penting dalam pembentukan karakter peserta didik, seperti yang tercantum di dalam komptensi dasar 2.4 dan 2.5 pada silabus kurikulum 2013
Mengamalkan sikap toleransi antar umat beragama dan kepercayaan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mengamalkan perilaku toleransi dan harmoni keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia.
(Silabus PPKn, 2013) Penekanan dalam kompetensi dasar berkaitan dengan salah satu pembentukan karater peserta didik adalah perilaku dan sikap bukan sekedar pengetahuan semata. Pendidikan karakter (character base education) menurut Sumantri (2014: 2) perlu diterapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti: pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan Budaya Bangsa.
Nilai-Nilai yang diajarkan dalam Pendidikan Karakter menurut Lickona (1992) dalam Sumantri (2014: 3) menekankan pentingnya komponen karakter (components of good character) yaitu moral knowing dan
moral action. Pengetahuan tentang moral menyentuh
moral feeling agar membentuk moral action sehingga
mampu memahami, merasakan dan mengerjakan nilai- nilai kebajikan.
Terkait dengan pembelajaran karakter, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan memiliki andil yang besar dalam pembentukan karakter peserta didik dengan menekankan pada moral action. Proses pembelajaran yang dilakukan guru hendaknya direncanakan dengan mempertimbangkan pada kegiatan-kegiatan yang membentuk kebiasaan peserta didik yang berkarakter. Dengan demikian pembelajaran PPKn tidak monoton di dalam kelas, namun lebih dari itu diperlukan pembelajaran di luar kelas sehingga peserta didik secara langsung mengetahui fenomena nyata, memaknai dan akhirnya membuahkan kesadaran untuk bertindak sesuai dengan harapan pembentukan karakter.
Gambar 2.1. Kerucut Pengalaman Dale
Dale‟s Cone of Experience (Kerucut Pengalaman Dale) dalam (Arsyad, 2006:11), pengalaman langsung memberikan kesan paling kompleks, utuh dan bermakna mengenai informasi dan gagasan yang terkandung dalam pengalaman belajar, karena pengalaman langsung melibatkan semua unsur indera yang ada.
Pembelajaran untuk mengamalkan sikap toleransi antar umat beragama dan kepercayaan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (KD 2.4) dan mengamalkan perilaku toleransi dan harmoni keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia (KD 2.5) lebih cocok ketika peserta didik diajak berpartisipasi aktif dalam pengalaman langsung.
Kunjungan ke tempat-tempat ibadah yang ada di Indonesia sehingga terjadi interaksi langsung dengan para pemuka agama, atau penganut agama lain yang berbeda dengan dirinya, saling mengenal isi ajarannya diharapkan akan tumbuh jiwa pluralisme untuk menjaga toleransi yang akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Strategi pembelajaran ini apabila diterapkan sangat erat kaitannya dengan teori konstruktivisme sosiokultural. Tim Penulis PLPG (2011: 6) menyatakan bahwa pembelajaran yang mengacu pada konstruktivisme sosiokultural menganggap bahwa: 1) pengetahaun tidak ditransfer tetapi dibangun oleh siswa di dalam pikirannya; 2) belajar menjadi lebih efektif apabila siswa berinteraksi dengan orang lain; 3) belajar lebih efektif apabila pengetahuan baru dikaitkan dengan pengetahuan sebelumnya yang sudah dimiliki sebelumnya.
2.3.2 Pembelajaran Berwawasan Pluralisme
Undang-undang Republik Indonesia No 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1
Angka 1 menyatakan bahwa pendidikan merupakan
usaha sasar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara ( UU RI No 20 Tahun
2003).Mengacu pada Undang-undang tersebut
memberikan konsekuensi bahwa pembelajaran yang
dilakukan guru hendaknya dilakukan agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi yang ada.
Aktif berarti dalam pembelajaran bersifat dua arah,
tidak hanya melibatkan guru dengan peserta didik,
namun melibatkan banyak komponen sehingga potensi
yang ada menjadi berkembang dari aspek kognitif,
afektif dan psikomotornya. Dimyati dan Mudjiono
(dalam Sagala, 2009:62), menyatakan bahwa
pembelajaran merupakan kegiatan guru secara
terprogram dalam desain instruksional, untuk
membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan
pada penyediaan sumber belajar. Hamalik (2008: 57)
menyatakan bahwa pembelajaran merupakan
kombinasi berbagai unsur-unsur yaitu manusiawi,
material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang
saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan
pembelajaran.Pembelajaran merupakan upaya sadar dan
disengaja, bukan kegiatan insidental tanpa persiapan,
namun merupakan kegiatan memberi bantuan,
bimbingan, memfasilitasi yang memungkinkan siswa
dapat belajar. Guru perlu memandang bahwa siswa
merupakan individu dengan unsur-unsur dinamis yang
dapat berkembang apabila tersdia kondisi yang
menunjang. Dengan demikian guru bukan lagi sebagai
penentu tunggal bagaimana siswa harus belajar
Kompetensi yang perlu dimiliki peserta didik
untuk belajar mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan berdasarkan kurikulum 2013 tersirat
dalam kompetensi dasar yang tertuang dalam Silabus.
Beberapa tuntutan kompetensi dasar di kelas X
berdasarkan kurikulum 2013 pada mata pelajaran PKn
adalah sebagai berikut.1.1 nilai-nilai ajaran agama dan Menghayati kepercayaan dalam kehidupan bermasyarakat
1.2 Menghayati isi dan makna pasal 28E dan 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2.1 Menghayati nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
2.2 Mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2.3 Menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam berbagai aspek kehidupan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, serta hukum.
2.4 Mengamalkan sikap toleransi antar umat beragama dan kepercayaan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2.5 Mengamalkan perilaku toleransi dan harmoni keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia.
2.6 Mengamalkan nilai dan budaya demokrasi dengan mengutamakan prinsip musyawarah mufakat dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Silabus, PPKn (2013) Terlihat jelas bahwa pembelajaran yang dikehendaki
tersebut tidak hanya sebatas kognitif, namun tertanam
dalam sikap dan perilaku peserta didik. Hal inilah yang
ditekankan pada kurikulum 2013. Terkait dengan
perilaku yang ditanamkan pada peserta didik pada
point 2.4 dan 2.5 berkaitan dengan perilaku toleransi
yang tidak hanya di ucapkan namun benar-benar
direalisasikan dalam kehidupan. Bagaimana
pelaksanaan pembelajarannnya agar perilaku toleransi
tersebut menjadi perilaku yang dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-harinya? Tentu saja pembelajaran
tersebut tidak hanya dilakukan di dalam kelas, perlu
adanya realisasi pembelajaran pluralisme yang
terintegrasi dalam pembelajaran PKn.Makna pluralisme merupakan suatu kesadaran terhadap kenyataan adanya keragaman agama yang dianut oleh manusia dan sehingga tidak perlu adanya sikap menyalahkan orang lain yang memiliki keyakinan agama yang berbeda. Pluralisme dipahami sebagai pertalian sejati dalam kebhinnekaan yang berikatan keadaban (Ma‟arif, 2005: 11). Paham pluralisme sangat menghendaki dialog antar agama sehingga akan memahami dengan cara baru yang mendalam mengenai Tuhannya.
1. Paham Pluralisme dari Berbagai Agama
Pandangan pluralisme dalam Agama Islam tertuang dalam Al- Qur‟an (QS 10:99)
Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?
Dari ayat tersebut tergambar dengan jelas bahwa persoalan kemerdekaan beragama dan keyakinan menjadi “tanggungjawab” Allah SWT, dimana kita semua dituntut toleran terhadap orang yang tidak satu dengan keyakinan kita. Bahkan nabi sendiri dilarang untuk memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Maka dengan begitu, tidaklah dibenarkan menunjukkan sikap kekerasan, paksaan, menteror dan menakut- nakuti orang lain dalam beragama. Firman Allah SWT (Al Hujurat 49: 13): manusia, sesungguhnya kami
“Wahai menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”.
Allah SWT secara tegas telah menyatakan bahwa ada kemajemukan di muka bumi ini. Perbedaan laki- laki dan perempuan, perbedaan suku bangsa; adalah realitas pluralitas yang harus dipandang secara positif dan optimis. Perbedaan itu, harus diterima sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar kenyataan itu. Bahkan manusia disuruh untuk menjadikan pluralitas tersebut, sebagai instrumen untuk menggapai kemuliaan di sisi Allah SWT, dengan jalan mengadakan interaksi sosial antara individu, baik dalam konteks pribadi atau bangsa.
Pandangan dari Agama Nasrani menyatakan bahwa gereja mulai menyadari betapa kehidupan menghendaki sebuah keterbukaan akan pluralisme budaya dan agama. Pendidikan agama haruslah menjadi medan dialog partisipatif antar lintas agama. Kemajemukan mengantarkan untuk merefleskikan bertapa pendidikan agama yang doktriner tidak menjawab keprihatinan dan fakta sosial dewasa ini. Konsili Vatikan II mengajarkan cara pandang Gereja terhadap agama dan kepercayaan lain, dalam usaha mendukung sifat inklusif yaitu: Gaudium Et Spes,
Apostolicam Actuisitatem, Nostra Aetate, idan Dignitatis
Humanae.Gaudium Et Spes, Konstitusi Pastoral tentang
tugas Gereja dalam dewasa ini, menyatakan: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan pada murid Kristus juga. Tiada sesuatupun yang sungguh manusia, yang tak bergema di hati mereka.
Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang- orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam perziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu sunguh berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya” (Konsili Vatikan II, Art 1).
Apostolicam Actuisitatem, dekrit tentang
Kerasulan Awam, menyatakan bahwa: “Niat-niat manusiawi bersama pun tidak jarang menuntut kerjasama antara umat Kristiani dan mereka yang tidak menyandang nama kristiani, namun mengakui nilai-nilai itu juga. Melalui kerjasama yang dinamis dan bijaksana yang besar maknanya dalam kegiatan-kegiatan duniawi, kaum awam memberi kesaksian akan Kristus Penyelamat Dunia dan akan kesatiaan Keluarga Manusia (Art 27)
Nostra Aetate, pernyataan tentang hubungan
dengan agama-agama bukan Kristiani, menyatakan bahwa: “Gereja Katolik tidak menolak apa pun yang benar dan suci dalam agama-agama bukan Kristen. Gereja Katolik memandang dengan penghargaan yang jujur, cara tindak dan cara hidup, peraturan dan ajaran yang kendati dalam banyak hal berbeda dengan apa yang dipahami dan dianjurkan, toh tidak jarang memantulkan cahaya kebenaran, yang menerangi umat manusia” (art 2).
Dignitatis Humanae, pernyataan tentang
Kebebasan Beragama, menyatakan bahwa: “Pribadi manusia berhak atas kebebasan beragama. Kebebasan berarti bahwa semua orang harus kebal terhadap paksaan dari pihak orang perorangan maupun kelompok sosial dan kuasa manusia mana pun juga sedemikian rupa sehingga dalam hal keagamaan tak seorang pun dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya, atau dihalang-halangi untuk dalam batas-batas yang wajar bertindak menurut suara hatinya, baik sebagai perorangan maupun di muka umum, baik sendiri maupun bersama orang- orang lain. Selain itu konsili menyatakan bahwa hak atas kebebasan beragama sungguh didasarkan pada martabat pribadi manusia sebagaimana di kenal berkat Sabda Allah yang diwahyukan dan berkat akal budinya. Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama itu harus diakui dalam tata hukum masyarakat sedemikian rupa sehingga menjadi hal sipil (art 2).
Pluralisme dalam agama Hindu, dikenal ajaran
atau prinsip vasudhaiva kutumbakam. Prinsip ini
berasal dari kata vasudha, eva dan kutumbakam.
Vasudha berarti dunia, eva merupakan kata penekan
yang bermakna benar adanya dan kutumbakam berarti
keluarga. Dengan demikian ajaran ini bermakna bahwa
seluruh dunia ini hanyalah satu keluarga besar. Ini
adalah suatu ajaran yang mencoba untuk memberi
pemahaman bahwa seluruh umat manusia pada
hakekatnya adalah satu keluarga besar. Ini adalah
filsafat sosial yang berakar dari pemahaman spiritual
bahwa seluruh umat manusia tercipta dari satu
sumber kehidupan yang sama yaitu Brahman atau
Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa
(Sumertha. 2013).Makna sesungguhnya dari prinsip vasudhaiva
kutumbakam, bahwa semua berasal dari sumber yang
sama dan dengan demikian dunia ini merupakan
organisasi kesadaran kosmis Hyang Widhi Wasa.
Prinsip Vasudhaiva kutumbakam berasal dari kitab
Mahopanishad -VI- – 70:
Ayam bandhurayam neti ganana laghuchetasam Udarachairitam tu vasudhaiva kutumbakam (Sumertha. 2013) Ayat tersebut berarti hanya orang kerdil yang
membeda-bedakan berkata: dia adalah keluarga saya;
yang lain adalah orang asing. Bagi mereka yang berjiwa
besar, seluruh dunia tidak lain adalah satu keluarga.Ayat ini bukan saja mengenai kedamaian dan
harmoni antara masyarakat tetapi juga mengajak
semua untuk hidup bersama seperti keluarga. Dengan
alasan ini Hindu mengajarkan bahwa kekuatan apapun
dimuka bumi ini baik besar maupun kecil tidak bisa
semena-mena, dan mengabaikan yang lainnya
(Sumertha. 2013).Menurut pandangan agama Buddha, menyatakan bahwa Buddha mengajarkan dharma (dhamma cakka
pavattava sutta) yang pertama kali untuk
membebaskan manusia dari penderitaan. Buddha mengajarkan ajarannya dengan pendekatan adanya penderitaan (dukkha), sebab penderitaan, lenyapnya penderitaan dan jalan menuju lenyapnya penderitaan. Sesungguhnya Buddha bercita-cita mewujudkan suatu masyarakat Buddhis di tengah-tengah berbagai sistem agama yang ada pada waktu itu. Beliau amat memperhatikan masalah-masalah kemanusiaan di dunia ini. Beliau ingin memperbaiki beberapa kondisi hidup manusia, di dalam masyarakat atau secara individual, dengan tujuan untuk mendukung kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi. Namun sekaligus menekankan pentingnya perkembangan spiritual manusia.
Buddha menekankan pada aturan disiplin, yang menyangkut segi duniawi dan spiritual, untuk dapat dipraktekkan. Keadaan demikian sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Buddha dalam kitab Digha kebahagiaan orang banyak, demi kasih sayang terhadap dunia, demi kebaikan dan kebahagiaan para dewa dan manusia. Kehidupan umat Buddha ditengah- tengah masyarakat, erat sekali berhubungan dengan segala macam gerakan sosial. Buddha mengajarkan kepada umat manusia untuk tidak melarikan diri dari kenyataan-kenyataan hidup yang wajar, melainkan mendorong untuk menghadapi dan memecahkannya dengan usaha sendiri. Seorang Buddhis yang baik tidak akan berpaling dari setiap masalah kemasyarakatan, juga tidak menolak untuk bekerja demi kebaikan umum.
Kesadaran umat beragama akan pluralitas keberagamaan merupakan kebutuhan bagi upaya untuk membangun sosial kemasyarakatan antar agama. Seperti kajian tersebut di atas agama Buddha menekankan dan menjunjung tinggi upaya kehidupan sosial kemasyarakatan antar agama yang harmonis. Keharmonisan ini telah dibuktikan sendiri oleh Buddha atas permintaan calon siswaNya yang bernama Upali yang ingin menjadi pengikut Buddha. Meskipun Upali menjadi pengikut Buddha tetapi tetap harus menghargai dan menghormati serta membantu mantan gurunya. Demikian besar toleransi Buddha terhadap agama lainnya (Nyanakaruno, 2013: 3).
2. Pembalajaran Pluralisme di Sekolah
Melihat pandangan dari berbagai agama yang pada hakekatnya adanya kesamaan pandangan tentang perlunya sikap dan perilaku menghormati perbedaan apalagi dari berbagai kasus di Indonesia yang mengarah pada disintgrasi bangsa karena masalah suku agama ras dan adat. Sekolah Menengah Atas sebagai pendidikan formal menjadi wadah yang tepat untuk mengembangkan pendidikan pluralisme.
Pada masa-masa proses industrialisasi dan modernisasi, pendidikan perlu mengajarkan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan baru, seperti orientasi ekonomi, orientasi kemandirian, mekanisme kompetisi sehat, sikap kerja keras, kesadaran akan kehidupan keluarga kecil, di mana nilai-nilai tersebut semuanya sangat diperlukan bagi pembangunan ekonomi sosial suatu bangsa. Menurut Wagner Sudira (2010: 6) dalam kebutuhan kemampuan siswa di abad 21 adalah: 1) Menggunakan 21st century skills (seperti kemampuan berfikir kritis dan pemecahan masalah) untuk memahami isu-isu global. 2) Belajar dari dan bekerja secara kolaboratif dengan individu berbeda budaya, agama, dan lifestyles dalam spirit kebutuhan bersama dan dialog terbuka dalam konteks bekerja dan berkomunikasi. 3) Memahami budaya negara-negara, termasuk penggunaan bahasa inggris. Untuk bisa
survive, diperlukan kemampuan yang fleksibel dan
dapat beradaptasi sebagai lifelong learner. 4) Memahami kompetensi kunci yaitu kemampuan melakukan penangan secara ambigu, kemampuan mempelajari bagian-bagian inti dan mendasar, kecerdasan strategis.
Melihat kebutuhan peserta didik pada point 2 adalah peserta didik hendaknya belajar dari dan bekerja secara kolaboratif dengan individu berbeda bersama dan dialog terbuka dalam konteks bekerja dan berkomunikasi, memberikan implikasi bahwa kemampuan bekerjasama merupakan kompetensi yang perlu dikuasai peserta didik. Dengan demikian, sekolah sebagai agen perubahan menjadi tempat yang penting untuk mendidik peserta didik agar berkembang kemampuan bekerjasama dengan individu yang beragam. Dengan kata lain, pendidikan pluralisme perlu diajarkan, dipraktikkan pada peserta didik.
Merujuk dari apa yang sudah dilakukan oleh Keuskupan Agung Semarang yang menerapkan pembelajaran religiositas pada sekolah-sekolah Katolik di wilayahnya telah dirasakan sebagai pendidikan yang mengajak peserta didik untuk melakukan dialog antar agama dan kepercayaan. Pendidikan religiusitas mengajarkan kepada para siswa dari pelbagai agama untuk mendapatkan kesempatan seluas-luasnya dan bebas untuk mengkomunikasikan pengalaman imannya masing-masing mengenai pelbagai peristiwa pengalaman hidup kemanusiaannya. Dalam pendidikan religiusitas para siswa tidak hanya diajarkan dengan pengetahuan saja tetapi juga membentuk paguyuban umat beriman sehingga diharapkan dapat terbangun relasi atau kerja sama dalam kehidupan sehari-hari.
Relasi yang dimaksudkan adalah relasi antara manusia dengan dirinya sendiri, relasi manusia dengan sesamanya, relasi manusia dengan alam sekitarnya dan relasi manusia dengan Tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Pendidikan Religiositas yang berjiwa pluralisme peserta didik untuk mengalami dan meresapi anugrah- anugrah Tuhan dalam dirinya, sesama dan alam ciptaan/ semesta. Dalam arti bahwa pendidikan religiositas mengantar peserta didik kepada inti terdalam dari hidup dan kehidupannya, yaitu cinta kasih kepada Tuhan dan diwujud nyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan-perbedaan bukan diperuncing, namun untuk saling melengkapi dan menyempurnakan satu sama lain. Diharapkan sikap batin ini membuahkan persaudaraan sejati dan dipergunakan demi kelangsungan hidup manusia dan kehidupan bersama, yaitu perasaan dan tingkah laku saling mencintai, percaya, menghargai, menghormati, merindukan, menolong, kerja sama. Kesemua sikap itu diharapkan diterapkan dengan sebaik-baiknya dan dilakukan dengan ketulusan hati supaya, diri dalam diri mengalir rahmat kehidupan yang menyejukan dan menyegarkan hati bagi setiap makhluk Tuhan.
Dengan menyadari kebaikan-kebaikan Tuhan, diharapkan siswa merefleksikan dan mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari menurut penghayatan agama dan kepercayaan masing-masing yang diolah.Melalui pendidikan religiusitas diharapkan sikap para siswa dapat berubah secara ara pada cara berpikir dan bertindak. Dimana para siswa dapat dan mampu menghormati martabat hidup manusia, memperjuangkan kebaikan hidup bersama, menyebarkan sikap dan semangat solidaritas dengan sesama khususnya yang lemah, miskin, kecil, tersingkir dan tertindas. Transformasi kehidupan seperti inilah yang diharapkan tumbuh dan berkembang dalam diri siswa.
Pendekatan yang digunakan dalam pendidikan religiositas adalah komunikasi iman yang bertitik tolak pada pengalaman hidup dan iman siswa, bukan indoktrinasi. Komunikasi iman tersebut meliputi pribadi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan teks, siswa dengan suasana, dan siswa dengan Tuhan. Komunikasi ini hendaknya terjadai dalam proses terarah dan berkesinambungan untuk merefleksikan, mengintepretasikan dan mengaplikasi- kan ajaran iman dari agama dan kepercayaan dalam hidup nyata sehingga semakin menjadi orang beriman. Pendepatan refleksi digunakan sebagai pendekatan yang meliputi tiga unsur urama sebagai satu kesatuan di dalam proses pembelajaran meliputi pengalaman, refleksi dan aksi.
1. Pengalaman. Pengalaman yang melatarbelakangi baik secara faktual maupun aktual dari siswa. pengalaman yang akan direflesi ini digali dari siswa dengan menampilkan kisah kepada mereka yang bisa diambil dari koran, kisah nyata, pengalaman guru atau pengalaman sendiri bahkan dari cerita rakyat.
2. Refleksi, kegiatan untuk menemukan makna lebih, nilai, kesadaran, semangat serta sikap baru.
3. Aksi, perwujudan atas gerakan, dorongan batin yang tumbuh sebagai dari proses refleksi, tindak lanjut dari proses pendidikan yang perlu diarahkan dan dipantau baik berupa aksi batiniah maupun