PENGERTIAN UMUM TENTANG POLITIK HUKUM RE
PENGERTIAN UMUM TENTANG POLITIK HUKUM;
RELASI ANTAR POLITIK DAN HUKUM DI INDONESIA
PENGANTAR
Sebagai Negara berdaulat penuh untuk mengatur segala macam bentuk urusan dalam maupun
luar negeri, Indonesia berdiri di atas sebuah dasar hukum, yang disebut juga konstitusi, yang
menjadi tolak ukur segala aktifitas yang dijalankan oleh pemerintah sah yang berkuasa. Hal
inilah yang menjadikan konstitusi sebagai supra regulasi di Negara ini. Dengan demikian banyak
pakar yang berpendapat bahwasannya Indonesia adalah Negara hukum. Berlandaskan
kepercayaan tersebut, berbagai kebijakan publik selalu diukur dengan apa yang sudah diatur
dalam da solen, mulai dari keserasian urutan prosedurnya, lembaga yang menangani kebijakan
tersebut, dan manifesto yang dihasilkan. Hal ini dimaksudkan agar seluruh tindak tanduk
pemerintah berjalan dengan serasi serta efektif sehingga tujuan bernegara tercapai.
Akan tetapi pada fakta lapangan tempat kejadian dibuatnya serta dilaksanakannya sebuah
hukum, faktor yang mempengaruhi sebuah hukum terkadang lebih besar dari hukum itu sendiri.
Akan tetapi ini bukan mengkerdilkan peranan hukum dalam masyarakat. Pemanfaatan hukum
yang sebagai instrumen haruslah berujung pada Hal-hal seperti keadaan masyarakat, situasi
ekonomi, kondisi politik, dan lain sebagainya merupakan poin-poin penentu yang tidak bisa
dihindari dalam pembentukan sebuah sistem hukum. Khusus pada pembahasan kali ini, faktor
politik akan dijadikan acuan utama dalam pembidanan sebuah hukum yang nantinya akan
dijadikan sebagai justifikasi kebijakan-kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah.
Tidak hanya itu, meski hukum sudah dibuat sebagai payung untuk langkah-langkah yang diambil
pemerintah, sekali lagi, politik akan memeberikan warna tersendiri yang membuat
pengaplikasian hukum di Indonesia unik. Selain dari politik itu sendiri, aktor-aktor politik baik
dari partai politik, anggota parlemen, hingga para ekstekutif menjadi organisme penentu yang
menjamin dinamika politik tidak pernah berhenti mewarnai corak hukum di Indonesia.
1
DEFINISI POLITIK HUKUM
Menurut Teuku Muhammad Radhie politik hukum adalah suatu pernyataan kehendak penguasa
Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum
yang dibangun. Pada kesempatan yang lain Soedarto memaknai politik hukum sebagai kebijakan
dari Negara melalui badan-badan Negara yang berwenang untuk menetapkan peraturanperaturan yang dikehendaki dan juga diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa
yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Selanjutnya
Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa politik hukum sebagai aktifitas memilih dan cara yang
hendak dipakai untuk mencapai satu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.1
Untuk selanjutnya, Prof. Mahfud MD menambahkan bahwa politik hukum paling tidak
mempunyai dua sifat yakni permanen (jangka panjang) dan periodik. Contoh dari politik hukum
yang permanen adalah pemberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan,
keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum
peninggalan kolonial dan lain sebagainya. Adapun yang bersifat periodik di antaranya adalah
kodifikasi dan unifikasi hukum-hukum tertentu (1973-1978), politik hukum untuk pembuatan
Peradilan Tata Usaha Negara (1983-1988), dan rencana pembuatan UU dalam program Program
Legislasi Nasional (Prolegnas, 2004-2009).2
Praktek politik hukum di tatanan kenegaraan Indonesia modern mudah ditemui dikarenakan
memang karakterisktik Negara modern yang lekat kaitannya dengan sistem hukum sebagai
panutan utama. Pada dasarnya Negara modern adalah Negara yang menerima dan menerapkan
inovasi-inovasi baru, demi kehidupan yang terus menerus lebih baik bagi rakyat. Selain itu,
kekuasaan memerintah dalam Negara modern berdasarkan hukum, artinya dalam Negara hukum,
pemerintah yang dibentuk secara demokratis hanya menyelenggarakan kekuasaan politiknya,
terbatas pada kerangka mandat konstitusi3.
1 http://www.hukumsumberhukum.com/2014/06/apa-itu-pengertian-politik-hukum.html#_
2 Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia (Jakarta; Rajawali Press, 2012) hlm 3.
3 Syaiful Bakhri. Ilmu Negara dalam Konteks Negara Hukum Modern (Jakarta; Total Media, 2010) hlm 151.
2
Yang dimaksud dengan mandat konstitusi adalah jaminan sebuah standar baku yang tidak akan
berubah meskipun kepala pemerintahan dan para koalisinya silih berganti mengisi kursi-kursi
strategis di badan-badan Negara maupun pemerintahan. Sebagai contoh, dengan adanya tuntunan
di konstitusi, pada kasus ini UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, maka sistem
demokrasi akan selalu menjadi bingkai patokan utama bagi Negara Indonesia. Untuk hal-hal
yang belum diatur secara eksplisit di dalam konstitusi, maka akan ada undang-undang penjelas
yang memuat lebih detail regulasi-regulasi yang berlaku di Indonesia. Dengan luasnya lingkup
sosial yang tidak akan pernah bisa diliputi secara keseluruhan oleh hukum, maka interpretasiinterpretasi yang berlandaskan kepentingan politik pun dapat dilakukan selama tidak
bertentangan dengan UUD 1945.
Namun untuk mencapai cita-cita Negara yang luhur, konsep politik di sini perlu diberikan
penjelasan lebih mendalam lagi. Mengingat tidak sedikitnya oknum-oknum yang memanfaatkan
politik hanya untuk memuaskan syahwat individu saja. Menurut John Redekop, politik merujuk
pada segala aktifitas yang mempunyai salah satu dari beberapa tujuan sebagai berikut; untuk
membentuk kembali atau memberikan pengaruh pada struktur atau proses kepemerintahan, untuk
memberikan pengaruh atau mengganti pemangku-pemangku kekuasaan, untuk memberikan
pengaruh pada formasi kebijakan-kebijakan publik, untuk menggerakkan kepekaan atau respon
publik akan isu, proses, personalia, dan kebijakan kepemerintahan, atau untuk meraih posisi yang
mempunyai pengaruh atau kekuasaan di dalam pemerintah4.
Selain definisi gamblang di atas mengenai politik, keterkaitan politik hukum dengan bangsa
Indonesia juga di dasari oleh cita-cita luhur pendirian bangsa Indonesia itu sendiri. Jadi entah
semodern apapun bangsa ini, sudah secanggih apapun sistem kepemerintahannya, secerdas
apapun orang-orang di dalam pemerintahannya, dan setinggi apapun pehamannya akan politik,
semua itu haruslah menjiwai nilai-nilai yang telah dijadikan objektif utama didirikannya bangsa
Indonesia. Jika sudah demikian, maka produk-produk hukum dari politik hukum di Indonesia
4 John Redekop, Approaches to Canadian Politics (Scarborough, UK; Pretentice Hall, 1983) hlm 149.
“Politics refers to all activity whose main purpose is one or more of the following: to reshape or influence
governmental structures or processes; to influence or replace governmental office-holders; to influence the
formation of public policies; to influence the implementation of public policies; to generate public awareness of,
and response to, governmental, processes, personnel, and policies; or to gain a place of influence or power within
government.”
3
akan menjadi buah-buah yang bernutrisi baik bagi kehidupan kenegaraan ataupun
kemasyarakatan yang selalu maju kedepan mendekat dengan tujuan Negara.
PERANAN POLITIK HUKUM SEBAGAI PEREKAT HUKUM YANG SUDAH ADA DI
MASYARAKAT
Pada babak awal terciptanya tatanan hukum di Indonesia yakni pada zaman kolonial Belanda,
sistematika hukum Eropa daratan yang dibawa oleh penjajah tidak serta merta dapat diterapkan
di Indonesia yang pada masa itu lebih dikenal sebagai East India. Menurut Soetandyo
Wignjosoebroto hal ini disebabkan oleh kontroversi-kontroversi antara puak universalitas dan
puak partikularis. Barulah pada pertengahan abad ke-19 terwujud kodifikasi serta unifikasi
hukum meskipun pada zaman itu hanya melingkupi bidang hukum pidana materiil saja5.
Fenomena tersebut memberikan gambaran bahwasannya seaplikatif apapun sebuah struktur
hukum bagi sebuah masyarakat tertentu, belum berarti hal yang sama dapat terjadi di masyarakat
yang lain. Akan tetapi lambat laun dengan segala dinamika politik masa kolonial hingga awal
proklamasi kemerdekaan Indonesia banyak hukum-hukum bawaan Belanda dijadikan acuan bagi
hukum-hukum yang dilahirkan kemudian setelah Belanda tidak lagi menjajah Indonesia.
Meskipun mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, hukum-hukum Belanda tetap
mendominasi di tatanan hukum nasional. Padahal jika pada waktu itu para founding fathers
Indonesia bersikeras untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum nasional, maka tidaklah
mereka miskin akan konsep-konsep dan nilai –nilai hukum yang sesungguhnya sudah banyak
diatur di dalam sumber-sumber ajaran Islam. Mulai dari hal-hal besar yang berkaitan dengan
Negara hingga hubungan antar individu yang semuanya sudah diatur dalam Islam. Hanya tinggal
penafsirannya saja yang akan melengkapi kebutuhan mereka dan beberapa detail yang memang
ditinggalkan penjelasan spesifiknya karena memang bersifat ijtihadiyyah. Namun pada dasarnya
Islam sudah memberikan pedoman dengan syari’ah yang terkandung dalam Al Quran dan
Sunnah.
5 Soetandyo Wignjosoebroto. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Dinamika Sosial-Politik dalam
Perkembangan Hukum di Indonesia. (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 1994) hlm 176.
4
Selain agama Islam, agama-agama yang disebut di dalam konstitusi sebagai agama resmi di
Indonesia, tidak ada satu pun yang dijadikan landasan hukum nasional. Dari keenam agama
tersebut, Kristen serta Katolik yang notabene sebagai agama samawi tidak ada yang
mentransformasikan hukum-hukum keagamaan menjadi hukum nasional melainkan nilai-nilai
budipekertinya saja yang memang sudah bersifat universal. Begitupun dengan agama-agama
ardhi seperti Hindu, Buddha, serta Konghucu yang kebanyakan dari peraturan-peraturan
keagamaannya yang jatuh pada kategori adat.
Selain hukum agama, hukum adat yang diklaim sebagai produk hukum asli Indonesia yang
berlaku di berbagai plosok tanah air pun tidak juga dijadikan garis besar pembentukan hukum
nasional. Salah satu alasannya adalah karena berbagai adat di sebuah daerah mungkin saja
berbeda atau bahkan bertolak belakang dengan adat di daerah lain. Ditambah lagi jika Indonesia
pada akhirnya mengambil salah satu hukum adat untuk dijadikan hukum nasional, maka tidaklah
adil bagi masyarakat yang mempunyai adat lain.
Proses tercampurnya jenis-jenis hukum di atas hingga berwujud tatanan hukum nasional yang
berlaku sekarang ini bukan saja hasil dari gesekan dan kolaborasi di tingkat rakyat dan tokohtokoh kampung ataupun agamawan saja. Semua pengolahan komposisi hukum nasional terjadi
dikalangan figur-figur yang memangku jabatan di Negara ini. Merekalah yang mewakili segala
aspirasi golongan yang setiapnya mempunyai kepentingan yang dirasa perlu untuk diperjuangkan
dikarenakan esensinya yang mutlak guna, paling tidak, untuk menjamin existensi mereka di
wilayah Indonesia ini. Dan pada akhirnya setelah lobi yang intens dan toleransi yang dianggap
wajar, atau yang sifatnya politik hukum, maka lahirlah tatanan hukum yang sedemikian pula
yang juga dianggap sebagai perekat bangsa dikarenakan kemampuannya untuk memfasilitasi
segala kepentingan sub grup yang mejadi bagian dari bangsa Indonesia.
POLITIK HUKUM SEBAGAI ADAPTOR HUKUM TERHADAP SEKTOR-SEKTOR
STRATEGIS
Hukum yang secara alaminya statis dan dalam situasi tertentu sangat apatis, memerlukan alat
yang membantunya beradaptasi dengan lingkungan biotik maupun abiotik. Peraturan mengenai
5
agraria, pembangunan infrastruktur seperti jalan, rumah sakit, bandar udara, mercusuar, dan lain
sebagainya adalah contoh-contoh dari unit abiotik yang diatur oleh Negara. Selain itu,
lingkungan biotik melingkupi manusia beserta kesatuannya seperti sebuah masyarakat, satwa liar
dan hewan ternak, hutan dan berbagai makhluk hidup yang berada di dalam wilayah Negara juga
harus dilindungi oleh hukum. Lebih jauh lagi, isu universal seperti global warming yang harus
ditangani cepat oleh seluruh Negara di dunia juga memerlukan sistematika hukum agar pada
eksekusi solusinya dapat dijalankan secara efektif.
Hal-hal demikian jika manusia hanya bergantung pada formula hukum saja tidak akan mampu
menghadirkan jalan keluar yang aplikatif. Oleh karena itu, campur tangan politik di samping
menciptakan hukum yang solid adalah sudah menjadi cara yang lazim terjadi di belantika
kepemerintahan tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia.
Sektor politik menguasai spotlight di dalam pembahasan ini dikarenakan power yang dimiliki
menjamin ada tidaknya perubahan atau kestabilan di dalam sebuah tatanan kehidupan. Jika
dibandingkan dengan dimensi sosial yang notabene juga memberikan pengaruh yang juga tidak
sedikit kepada pembuatan hukum, politik yang bergerak top-down lebih leluasa menggerakkan
fungsi-fungsi kemasyarakatan.
Dalam perencanaan pembangunan serta perkembangan Indonesia untuk jangka panjang dalam
segala aspek, dasar hukum yang kuat perlu dibuat agar jika terjadi penyimpangan dapat segera
diatasi dan tidak menjadi kendala yang berarti. Selain itu, perencanaan dalam bentuk peraturan
yang solid juga dapat menciptakan kondisi yang kondusif bagi proyek-proyek pembangunan
nasional pada umumnya.
Pada dasarnya di Indonesia, yang notabene sebagai Negara berkembang, konsep politik hukum
digunakan dalam formulasi pembangunan nasional. Hal ini jelas dapat diperhatikan pada zaman
orde baru ketika Presiden Soeharto mencanangkan program-program pembangunan dalam skala
nasional yang dimulai dari Indonesia bagian barat khususnya. Hal ini disebabkan oleh sudah
tersedianya sarana dan prasana yang akan menunjang pembangunan-pembangunan infrastruktur
6
yang sejak dulu sudah dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda 6. Akan tetapi hal ini tidak
berarti meng-anak tirikan daerah-daerah di Indonesia Timur yang memang pada faktanya belum
mempunyai dasar pembangunan yang memadai.
Dengan karakter yang berbeda dengan Indonesia Barat, Indonesia Timur lebih didominasi oleh
kepulauan yang sangat mengandalkan transportasi laut sebagai penghubung masyarakat di satu
pulau ke pulau lainnya. Selain itu juga keragaman budaya serta adat yang sangat beraneka di
Indonesia Timur menjadikan salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam menciptakan
gagasan percepatan pembangunan di bagian ini7. Oleh karena itu pemerintah dan elit politik
harus dapat merumuskan perencanaan yang tepat agar seluruh proses pembangunan dapat
berjalan efektif melalui pemanfaatan politik hukum yang garis besarnya sudah diatur dalam
undang-undang.
Selain itu, hakikat politik hukum juga bisa dmanfaatkan untuk mempersiapkan masyarakat akan
adanya perubahan-perubahan sebagai dampak pembangunan nasional. Dengan kata lain, politik
hukum dapat dimanfaatkan untuk membantu masyarakat Indonesia beradaptasi dengan cepat
sehingga manfaat dari pembangunan bisa langsung dirasakan oleh rakyat Indonesia secara luas.
Selain sosio-politik dan pembangunan nasional, bidang ekonomi juga ditenggarai mempunyai
efek terbentuknya hukum di Indonesia. Hal ini bisa dilihat bagaimana gejolak yang terjadi di
Indonesia pada saat terjadinya krisis ekonomi yang melanda sebagian besar Negara di dunia.
Paling tidak sejarah mencatat krisis ekonomi global pada tahun 1998 dan 2008 mendorong
pemerintah yang saat itu dikomandoi oleh Presiden Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono
melahirkan paket-paket kebijakan ekonomi guna mempertahankan Rupiah di hadapan Dollar
Amerika. Dari kejadian tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa tekanan ekonomi juga bisa
menjadi mesin pendorong bergulirnya peraturan-peraturan baru yang esensi kebijakannya tetap
dijadikan dasar dari kebijakan-kebijakan domestik kontemporer. Tapi sekali lagi ekonomi pun
harus bergumul pada proses politik sebelum menetaskan hukum-hukum yang mengenai ekonomi
maupun moneter. Sebuah peraturan pemerintah dalam sektor ekonomi tidak lain adalah hasil dari
kontestansi berbagai kepentingan ekonomi yang diangkat oleh elit pemerintah baik dari level
6 CFG Sunaryati Hartono. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Bandung; Alumni, 1991) hlm. 176.
7 Ibid.
7
eksekutif maupun legislatif. Baik para pelaku usaha ataupun pakar ekonomi-moneter ‘hanya’
dapat memberikan masukan serta pandangannya terhadap situasi ekonomi terkini kepada
decision makers. Argument-argumen di atas telah memberikan suatu keyakinan bahwa politik
adalah sebuah meeting point bagi seluruh variabel-variabel yang berpengaruh pada formulasi
pembuatan hukum.
SUPREMASI HUKUM, BUKAN POLITIK
Sampai era modern seperti sekarang ini, perjalan sejarah bentuk-bentuk Negara telah
menciptakan paling tidak enam bentuk berbeda. Prof. Syaiful Bakhri mengkategorikannya
menjadi berikut;
1. Aristokrasi. Suatu pemerintahan yang dipegang oleh cerdik pandai.
2. Oligarki. Pemerintahan oleh kelompok kecil.
3. Timokrasi. Pemerintahan dilakukan oleh golongan kaya.
4. Demokrasi. Pemerintahan oleh rakyat.
5. Tirani. Pemerintahan oleh seorang tiran.
6. Mobokrasi. Pemerintahan oleh orang yang tidak terdidik dan biadab.8
Dari berbagai jenis yang ada, demokrasi diklaim sebagai sebuah sistem yang paling cocok untuk
menciptakan keadaan yang aman, harmonis, dan kondusif untuk berbagai perkembangan soft
value seperti budaya, agama, dan pendidikan. Selanjutnya Prof. Mahfud MD juga menjelaskan
bahwa menurut UNESCO hampir semua Negara di dunia telah menjadikan demokrasi sebagai
pondasi fundamental meski pada aplikasinya porsi peranan antara Negara dan rakyatnya
berbeda-beda9. Pada bab 1 Pasal (2) UUD 1945 juga memberikan penjelasan secara explisit
bahwa Indonesia adalah Negara demokrasi.
Secara singkatnya, definisi gambalang demokrasi pernah disampaikan oleh Presiden Amerika,
Abraham Lincoln, pada saat memperingati peristiwa Gettysburg masa perang saudara pada 13
November 1863. Pada saat itu dia menggambarkan bahwasannya makna dari demokrasi Amerika
yang ia ingin pertahankan adalah government of the people, by the people, for the people. Dari
8 Syaiful Bakhri. Ilmu Negara dalam Konteks Negara Hukum Modern (Jakarta; Total Media, 2010) hlm 106.
9 Moh. Mahfud MD. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (Jakarta; PT Rineka Cipta, 2003) hlm 18.
8
sini dapat diambil kesimpulan bahwa pada sistem ini, rakyat diberikan posisi yang sangat
menguntungkan dalam menentukan kebijakan-kebijakan publik dalam bernegara.
Akan tetapi sekali lagi, platform demokrasi dapat sedemikian rupa digunakan oleh pemimpinpemimpin Negara yang mempunyai kiblat political view yang bertolak belakang dengan
demokrasi itu sendiri atau yang sedang dalam keadaan yang kritis dan sulit untuk
mempraktekkan demokrasi. Di Indonesia, jargon demokrasi terpimpin merupakan salah satu
contoh fenomena di mana Presiden Soekarno menggunakan demokrasi sebagai justifikasi
manuver-manuver politiknya yang cenderung terlihat seperti otoriterianisme.
Pada tahun 1959, Presiden Soekarno memandang bahwasannya kebijakan-kebijakan publik harus
dibuat dengan cepat karena keadaan mendesak yang saat itu mendera Indonesia. Pada masa itu
paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan presiden harus mengeluarkan Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Pertama ialah banyaknya gerakan sparatis yang mencoba untuk memerdekakan diri
yang membuat keadaan Negara tidak stabil secara keamanan. Kedua, sulitnya menjalankan
program-program pemerintah dalam mendorong perkembangan pada sektor ekonomi. Ketiga,
gagalnya konstituante dalam menyusun UUD yang baru untuk menggantikan UUDS 1950.10
Dengan pendekatan yang digunakan oleh Presiden Soekarno yang cenderung otoriter tersebut,
jika menurut prosedur yuridis, maka presiden seharusnya mengajukan pengamandemenan
undang-undang pada bagian bentuk Negara Indonesia yang berasaskan demokrasi kepada MPR
sebelum membuat keputusan-keputusan sepihak11. Akan tetapi situasi nasional pada saat itu tidak
kondusif untuk mengamandemen konstitusi. Jadilah Presiden Soekarno menjalankan Negara
dengan pendekatan one man show.
Dengan kenyataan bahwa kejadian tersebut pernah terjadi di Indonesia, maka para elit politik dan
pejabat Negara serta pemerintah selalu mendengungkan bahwasannya Indonesia adalah Negara
hukum lalu. Lalu dengan terjadinya reformasi dan amandemen UUD 1945, diperkuatlah ide ini
dengan penambahan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Hal ini juga mengimplikasikan penguatan,
10 Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia (Jakarta; Rajawali Press, 2012) hlm 129-133.
11 Waktu itu UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) masih berbunyi “Kedaulatan rakyat adalah di tangan rakyat, dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
9
penegasan, dan penjelasan status prinsip Indonesia yang berdasarkan hukum. Selain itu, ini
dilakukan juga untuk penguatan citra Negara Indonesia 12. Dan yang selanjutnya, hal ini seolah
memberikan jalan kepada hukum untuk menduduki singgasana tertinggi dalam sistem
kenegaraan yang menjadikannya komandan utama dalam penyelenggaraan Negara.
Akan tetapi, ini bukan berarti peran politik pada sistem Negara menjadi kerdil. Pemerintah
memilih hukum menempati posisi supra karena ciri khas hukum yang lebih mudah diatur
daripada politik yang cenderung abstrak. Yang dimaksud dengan hukum dalam konteks ini
adalah hukum positif tertulis yang tertuang pada UUD 1945 dan hukum-hukum atau aturanaturan yang berada di bawahnya.
Selanjutnya hal ini ditenggarai malah membuat politik bergerak lebih luwes dan dapat masuk ke
relung-relung sosial yang tak bisa dijamah hukum normatif. Sebagaimana yang telah
didiskusikan di atas, bahwa secara alami Indonesia memiliki sub hukum yang sudah ada jauh
sebelum hukum normatif modern dibawa oleh kolonial. Berbagai adat, aturan agama, kebiasaan
masyarakat dan lain sebagainya sudah menjadi nilai-nilai yang tertanam dalam di dunia
‘peraturan’ di Indonesia ini. Pada dasarnya hukum positif di Indonesia sudah mengatur banyak
hal, tetapi hal-hal yang belum diatur lebih banyak lagi. Oleh karena itu, sisi masyarakat yang
seperti inilah yang menjadi lahan bagi politik menunjukkan tajinya dalam memberikan pengaruh.
Pada panggung politik nasional, perpaduan politik dan hukum sudah menjadi instrumen yang
lazim digunakan oleh para negarawan. Bahkan tokoh aristoktrat seperti B.J. Habibi dan
Boediono telah menunjukkan bahwasannya hukum di Indonesia telah bertransformasi menjadi
tatanan yang adaptif akan keperluan zaman. Cap sebagai aristokrat tidak menghalangi mereka
berdua untuk menduduki posisi presiden dan wakil presiden Indonesia meskipun para akademisi
dan pakar politik-hukum telah memformulasikan kategori kepemimpinan yang sedemikian rupa
yang secara teori aristokrasi bukanlah demokrasi seperti yang dikemukakan sebelumnya.
PENUTUP
12 Ali Taher Parasong. Mencegah Runtuhnya Negara Hukum (Jakarta; Grafindo Books Media, 2014) hlm 121.
10
Pembahasan akan pengertian umum akan konsep politik hukum sebetulnya bukanlah ajang yang
membenturkan konsep politik dan hukum. Di sini dijelaskan secara singkat makna yang
terkandung dalam sebuah ide hasil dari peleburan dua hal yang sama-sama berpengaruh besar
pada kehidupan bernegara khususnya di Indonesia. Pada prakteknya, politik hukum lekat
kaitannya dengan elemen asalnya yang saling berhubungan dan mendukung yang tentunya amat
menguntungkan bagi Negara Indonesia jika pemerintah dan elit politik Negara menggunakannya
dalam koridor yang positif.
Selain untuk mencapai cita-cita Negara, politik hukum juga dapat dimanfaatkan untuk
menciptakan situasi kondusif bagi pertumbuhan sektor-sektor penting bagi terwujudnya
kesejahteraan nasional. Selain itu hal yang tidak bisa dikesampingkan dari outcome politik
hukum adalah terintegrasinya identitas bangsa Indonesia dalam menghadapi situasi-situasi
terkini yang menjadikan Indonesia selalu siap untuk melahirkan kebijakan-kebijakan publik yang
efektif dengan cara yang efisien.
DAFTAR PUSTAKA
11
Ali Taher Parasong. Mencegah Runtuhnya Negara Hukum (Jakarta; Grafindo Books
Media, 2014) hlm 121.
CFG Sunaryati Hartono. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Bandung;
Alumni, 1991) hlm. 176.
John Redekop, Approaches to Canadian Politics (Scarborough, UK; Pretentice Hall,
1983) hlm 149.
Moh. Mahfud MD. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (Jakarta; PT Rineka Cipta,
2003) hlm 18.
Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia (Jakarta; Rajawali Press, 2012) hlm 3,
129-133.
Soetandyo Wignjosoebroto. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Dinamika SosialPolitik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 1994)
hlm 176.
Syaiful Bakhri. Ilmu Negara dalam Konteks Negara Hukum Modern (Jakarta; Total
Media, 2010) hlm 106, 151.
12
RELASI ANTAR POLITIK DAN HUKUM DI INDONESIA
PENGANTAR
Sebagai Negara berdaulat penuh untuk mengatur segala macam bentuk urusan dalam maupun
luar negeri, Indonesia berdiri di atas sebuah dasar hukum, yang disebut juga konstitusi, yang
menjadi tolak ukur segala aktifitas yang dijalankan oleh pemerintah sah yang berkuasa. Hal
inilah yang menjadikan konstitusi sebagai supra regulasi di Negara ini. Dengan demikian banyak
pakar yang berpendapat bahwasannya Indonesia adalah Negara hukum. Berlandaskan
kepercayaan tersebut, berbagai kebijakan publik selalu diukur dengan apa yang sudah diatur
dalam da solen, mulai dari keserasian urutan prosedurnya, lembaga yang menangani kebijakan
tersebut, dan manifesto yang dihasilkan. Hal ini dimaksudkan agar seluruh tindak tanduk
pemerintah berjalan dengan serasi serta efektif sehingga tujuan bernegara tercapai.
Akan tetapi pada fakta lapangan tempat kejadian dibuatnya serta dilaksanakannya sebuah
hukum, faktor yang mempengaruhi sebuah hukum terkadang lebih besar dari hukum itu sendiri.
Akan tetapi ini bukan mengkerdilkan peranan hukum dalam masyarakat. Pemanfaatan hukum
yang sebagai instrumen haruslah berujung pada Hal-hal seperti keadaan masyarakat, situasi
ekonomi, kondisi politik, dan lain sebagainya merupakan poin-poin penentu yang tidak bisa
dihindari dalam pembentukan sebuah sistem hukum. Khusus pada pembahasan kali ini, faktor
politik akan dijadikan acuan utama dalam pembidanan sebuah hukum yang nantinya akan
dijadikan sebagai justifikasi kebijakan-kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah.
Tidak hanya itu, meski hukum sudah dibuat sebagai payung untuk langkah-langkah yang diambil
pemerintah, sekali lagi, politik akan memeberikan warna tersendiri yang membuat
pengaplikasian hukum di Indonesia unik. Selain dari politik itu sendiri, aktor-aktor politik baik
dari partai politik, anggota parlemen, hingga para ekstekutif menjadi organisme penentu yang
menjamin dinamika politik tidak pernah berhenti mewarnai corak hukum di Indonesia.
1
DEFINISI POLITIK HUKUM
Menurut Teuku Muhammad Radhie politik hukum adalah suatu pernyataan kehendak penguasa
Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum
yang dibangun. Pada kesempatan yang lain Soedarto memaknai politik hukum sebagai kebijakan
dari Negara melalui badan-badan Negara yang berwenang untuk menetapkan peraturanperaturan yang dikehendaki dan juga diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa
yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Selanjutnya
Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa politik hukum sebagai aktifitas memilih dan cara yang
hendak dipakai untuk mencapai satu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.1
Untuk selanjutnya, Prof. Mahfud MD menambahkan bahwa politik hukum paling tidak
mempunyai dua sifat yakni permanen (jangka panjang) dan periodik. Contoh dari politik hukum
yang permanen adalah pemberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan,
keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum
peninggalan kolonial dan lain sebagainya. Adapun yang bersifat periodik di antaranya adalah
kodifikasi dan unifikasi hukum-hukum tertentu (1973-1978), politik hukum untuk pembuatan
Peradilan Tata Usaha Negara (1983-1988), dan rencana pembuatan UU dalam program Program
Legislasi Nasional (Prolegnas, 2004-2009).2
Praktek politik hukum di tatanan kenegaraan Indonesia modern mudah ditemui dikarenakan
memang karakterisktik Negara modern yang lekat kaitannya dengan sistem hukum sebagai
panutan utama. Pada dasarnya Negara modern adalah Negara yang menerima dan menerapkan
inovasi-inovasi baru, demi kehidupan yang terus menerus lebih baik bagi rakyat. Selain itu,
kekuasaan memerintah dalam Negara modern berdasarkan hukum, artinya dalam Negara hukum,
pemerintah yang dibentuk secara demokratis hanya menyelenggarakan kekuasaan politiknya,
terbatas pada kerangka mandat konstitusi3.
1 http://www.hukumsumberhukum.com/2014/06/apa-itu-pengertian-politik-hukum.html#_
2 Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia (Jakarta; Rajawali Press, 2012) hlm 3.
3 Syaiful Bakhri. Ilmu Negara dalam Konteks Negara Hukum Modern (Jakarta; Total Media, 2010) hlm 151.
2
Yang dimaksud dengan mandat konstitusi adalah jaminan sebuah standar baku yang tidak akan
berubah meskipun kepala pemerintahan dan para koalisinya silih berganti mengisi kursi-kursi
strategis di badan-badan Negara maupun pemerintahan. Sebagai contoh, dengan adanya tuntunan
di konstitusi, pada kasus ini UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, maka sistem
demokrasi akan selalu menjadi bingkai patokan utama bagi Negara Indonesia. Untuk hal-hal
yang belum diatur secara eksplisit di dalam konstitusi, maka akan ada undang-undang penjelas
yang memuat lebih detail regulasi-regulasi yang berlaku di Indonesia. Dengan luasnya lingkup
sosial yang tidak akan pernah bisa diliputi secara keseluruhan oleh hukum, maka interpretasiinterpretasi yang berlandaskan kepentingan politik pun dapat dilakukan selama tidak
bertentangan dengan UUD 1945.
Namun untuk mencapai cita-cita Negara yang luhur, konsep politik di sini perlu diberikan
penjelasan lebih mendalam lagi. Mengingat tidak sedikitnya oknum-oknum yang memanfaatkan
politik hanya untuk memuaskan syahwat individu saja. Menurut John Redekop, politik merujuk
pada segala aktifitas yang mempunyai salah satu dari beberapa tujuan sebagai berikut; untuk
membentuk kembali atau memberikan pengaruh pada struktur atau proses kepemerintahan, untuk
memberikan pengaruh atau mengganti pemangku-pemangku kekuasaan, untuk memberikan
pengaruh pada formasi kebijakan-kebijakan publik, untuk menggerakkan kepekaan atau respon
publik akan isu, proses, personalia, dan kebijakan kepemerintahan, atau untuk meraih posisi yang
mempunyai pengaruh atau kekuasaan di dalam pemerintah4.
Selain definisi gamblang di atas mengenai politik, keterkaitan politik hukum dengan bangsa
Indonesia juga di dasari oleh cita-cita luhur pendirian bangsa Indonesia itu sendiri. Jadi entah
semodern apapun bangsa ini, sudah secanggih apapun sistem kepemerintahannya, secerdas
apapun orang-orang di dalam pemerintahannya, dan setinggi apapun pehamannya akan politik,
semua itu haruslah menjiwai nilai-nilai yang telah dijadikan objektif utama didirikannya bangsa
Indonesia. Jika sudah demikian, maka produk-produk hukum dari politik hukum di Indonesia
4 John Redekop, Approaches to Canadian Politics (Scarborough, UK; Pretentice Hall, 1983) hlm 149.
“Politics refers to all activity whose main purpose is one or more of the following: to reshape or influence
governmental structures or processes; to influence or replace governmental office-holders; to influence the
formation of public policies; to influence the implementation of public policies; to generate public awareness of,
and response to, governmental, processes, personnel, and policies; or to gain a place of influence or power within
government.”
3
akan menjadi buah-buah yang bernutrisi baik bagi kehidupan kenegaraan ataupun
kemasyarakatan yang selalu maju kedepan mendekat dengan tujuan Negara.
PERANAN POLITIK HUKUM SEBAGAI PEREKAT HUKUM YANG SUDAH ADA DI
MASYARAKAT
Pada babak awal terciptanya tatanan hukum di Indonesia yakni pada zaman kolonial Belanda,
sistematika hukum Eropa daratan yang dibawa oleh penjajah tidak serta merta dapat diterapkan
di Indonesia yang pada masa itu lebih dikenal sebagai East India. Menurut Soetandyo
Wignjosoebroto hal ini disebabkan oleh kontroversi-kontroversi antara puak universalitas dan
puak partikularis. Barulah pada pertengahan abad ke-19 terwujud kodifikasi serta unifikasi
hukum meskipun pada zaman itu hanya melingkupi bidang hukum pidana materiil saja5.
Fenomena tersebut memberikan gambaran bahwasannya seaplikatif apapun sebuah struktur
hukum bagi sebuah masyarakat tertentu, belum berarti hal yang sama dapat terjadi di masyarakat
yang lain. Akan tetapi lambat laun dengan segala dinamika politik masa kolonial hingga awal
proklamasi kemerdekaan Indonesia banyak hukum-hukum bawaan Belanda dijadikan acuan bagi
hukum-hukum yang dilahirkan kemudian setelah Belanda tidak lagi menjajah Indonesia.
Meskipun mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, hukum-hukum Belanda tetap
mendominasi di tatanan hukum nasional. Padahal jika pada waktu itu para founding fathers
Indonesia bersikeras untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum nasional, maka tidaklah
mereka miskin akan konsep-konsep dan nilai –nilai hukum yang sesungguhnya sudah banyak
diatur di dalam sumber-sumber ajaran Islam. Mulai dari hal-hal besar yang berkaitan dengan
Negara hingga hubungan antar individu yang semuanya sudah diatur dalam Islam. Hanya tinggal
penafsirannya saja yang akan melengkapi kebutuhan mereka dan beberapa detail yang memang
ditinggalkan penjelasan spesifiknya karena memang bersifat ijtihadiyyah. Namun pada dasarnya
Islam sudah memberikan pedoman dengan syari’ah yang terkandung dalam Al Quran dan
Sunnah.
5 Soetandyo Wignjosoebroto. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Dinamika Sosial-Politik dalam
Perkembangan Hukum di Indonesia. (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 1994) hlm 176.
4
Selain agama Islam, agama-agama yang disebut di dalam konstitusi sebagai agama resmi di
Indonesia, tidak ada satu pun yang dijadikan landasan hukum nasional. Dari keenam agama
tersebut, Kristen serta Katolik yang notabene sebagai agama samawi tidak ada yang
mentransformasikan hukum-hukum keagamaan menjadi hukum nasional melainkan nilai-nilai
budipekertinya saja yang memang sudah bersifat universal. Begitupun dengan agama-agama
ardhi seperti Hindu, Buddha, serta Konghucu yang kebanyakan dari peraturan-peraturan
keagamaannya yang jatuh pada kategori adat.
Selain hukum agama, hukum adat yang diklaim sebagai produk hukum asli Indonesia yang
berlaku di berbagai plosok tanah air pun tidak juga dijadikan garis besar pembentukan hukum
nasional. Salah satu alasannya adalah karena berbagai adat di sebuah daerah mungkin saja
berbeda atau bahkan bertolak belakang dengan adat di daerah lain. Ditambah lagi jika Indonesia
pada akhirnya mengambil salah satu hukum adat untuk dijadikan hukum nasional, maka tidaklah
adil bagi masyarakat yang mempunyai adat lain.
Proses tercampurnya jenis-jenis hukum di atas hingga berwujud tatanan hukum nasional yang
berlaku sekarang ini bukan saja hasil dari gesekan dan kolaborasi di tingkat rakyat dan tokohtokoh kampung ataupun agamawan saja. Semua pengolahan komposisi hukum nasional terjadi
dikalangan figur-figur yang memangku jabatan di Negara ini. Merekalah yang mewakili segala
aspirasi golongan yang setiapnya mempunyai kepentingan yang dirasa perlu untuk diperjuangkan
dikarenakan esensinya yang mutlak guna, paling tidak, untuk menjamin existensi mereka di
wilayah Indonesia ini. Dan pada akhirnya setelah lobi yang intens dan toleransi yang dianggap
wajar, atau yang sifatnya politik hukum, maka lahirlah tatanan hukum yang sedemikian pula
yang juga dianggap sebagai perekat bangsa dikarenakan kemampuannya untuk memfasilitasi
segala kepentingan sub grup yang mejadi bagian dari bangsa Indonesia.
POLITIK HUKUM SEBAGAI ADAPTOR HUKUM TERHADAP SEKTOR-SEKTOR
STRATEGIS
Hukum yang secara alaminya statis dan dalam situasi tertentu sangat apatis, memerlukan alat
yang membantunya beradaptasi dengan lingkungan biotik maupun abiotik. Peraturan mengenai
5
agraria, pembangunan infrastruktur seperti jalan, rumah sakit, bandar udara, mercusuar, dan lain
sebagainya adalah contoh-contoh dari unit abiotik yang diatur oleh Negara. Selain itu,
lingkungan biotik melingkupi manusia beserta kesatuannya seperti sebuah masyarakat, satwa liar
dan hewan ternak, hutan dan berbagai makhluk hidup yang berada di dalam wilayah Negara juga
harus dilindungi oleh hukum. Lebih jauh lagi, isu universal seperti global warming yang harus
ditangani cepat oleh seluruh Negara di dunia juga memerlukan sistematika hukum agar pada
eksekusi solusinya dapat dijalankan secara efektif.
Hal-hal demikian jika manusia hanya bergantung pada formula hukum saja tidak akan mampu
menghadirkan jalan keluar yang aplikatif. Oleh karena itu, campur tangan politik di samping
menciptakan hukum yang solid adalah sudah menjadi cara yang lazim terjadi di belantika
kepemerintahan tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia.
Sektor politik menguasai spotlight di dalam pembahasan ini dikarenakan power yang dimiliki
menjamin ada tidaknya perubahan atau kestabilan di dalam sebuah tatanan kehidupan. Jika
dibandingkan dengan dimensi sosial yang notabene juga memberikan pengaruh yang juga tidak
sedikit kepada pembuatan hukum, politik yang bergerak top-down lebih leluasa menggerakkan
fungsi-fungsi kemasyarakatan.
Dalam perencanaan pembangunan serta perkembangan Indonesia untuk jangka panjang dalam
segala aspek, dasar hukum yang kuat perlu dibuat agar jika terjadi penyimpangan dapat segera
diatasi dan tidak menjadi kendala yang berarti. Selain itu, perencanaan dalam bentuk peraturan
yang solid juga dapat menciptakan kondisi yang kondusif bagi proyek-proyek pembangunan
nasional pada umumnya.
Pada dasarnya di Indonesia, yang notabene sebagai Negara berkembang, konsep politik hukum
digunakan dalam formulasi pembangunan nasional. Hal ini jelas dapat diperhatikan pada zaman
orde baru ketika Presiden Soeharto mencanangkan program-program pembangunan dalam skala
nasional yang dimulai dari Indonesia bagian barat khususnya. Hal ini disebabkan oleh sudah
tersedianya sarana dan prasana yang akan menunjang pembangunan-pembangunan infrastruktur
6
yang sejak dulu sudah dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda 6. Akan tetapi hal ini tidak
berarti meng-anak tirikan daerah-daerah di Indonesia Timur yang memang pada faktanya belum
mempunyai dasar pembangunan yang memadai.
Dengan karakter yang berbeda dengan Indonesia Barat, Indonesia Timur lebih didominasi oleh
kepulauan yang sangat mengandalkan transportasi laut sebagai penghubung masyarakat di satu
pulau ke pulau lainnya. Selain itu juga keragaman budaya serta adat yang sangat beraneka di
Indonesia Timur menjadikan salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam menciptakan
gagasan percepatan pembangunan di bagian ini7. Oleh karena itu pemerintah dan elit politik
harus dapat merumuskan perencanaan yang tepat agar seluruh proses pembangunan dapat
berjalan efektif melalui pemanfaatan politik hukum yang garis besarnya sudah diatur dalam
undang-undang.
Selain itu, hakikat politik hukum juga bisa dmanfaatkan untuk mempersiapkan masyarakat akan
adanya perubahan-perubahan sebagai dampak pembangunan nasional. Dengan kata lain, politik
hukum dapat dimanfaatkan untuk membantu masyarakat Indonesia beradaptasi dengan cepat
sehingga manfaat dari pembangunan bisa langsung dirasakan oleh rakyat Indonesia secara luas.
Selain sosio-politik dan pembangunan nasional, bidang ekonomi juga ditenggarai mempunyai
efek terbentuknya hukum di Indonesia. Hal ini bisa dilihat bagaimana gejolak yang terjadi di
Indonesia pada saat terjadinya krisis ekonomi yang melanda sebagian besar Negara di dunia.
Paling tidak sejarah mencatat krisis ekonomi global pada tahun 1998 dan 2008 mendorong
pemerintah yang saat itu dikomandoi oleh Presiden Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono
melahirkan paket-paket kebijakan ekonomi guna mempertahankan Rupiah di hadapan Dollar
Amerika. Dari kejadian tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa tekanan ekonomi juga bisa
menjadi mesin pendorong bergulirnya peraturan-peraturan baru yang esensi kebijakannya tetap
dijadikan dasar dari kebijakan-kebijakan domestik kontemporer. Tapi sekali lagi ekonomi pun
harus bergumul pada proses politik sebelum menetaskan hukum-hukum yang mengenai ekonomi
maupun moneter. Sebuah peraturan pemerintah dalam sektor ekonomi tidak lain adalah hasil dari
kontestansi berbagai kepentingan ekonomi yang diangkat oleh elit pemerintah baik dari level
6 CFG Sunaryati Hartono. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Bandung; Alumni, 1991) hlm. 176.
7 Ibid.
7
eksekutif maupun legislatif. Baik para pelaku usaha ataupun pakar ekonomi-moneter ‘hanya’
dapat memberikan masukan serta pandangannya terhadap situasi ekonomi terkini kepada
decision makers. Argument-argumen di atas telah memberikan suatu keyakinan bahwa politik
adalah sebuah meeting point bagi seluruh variabel-variabel yang berpengaruh pada formulasi
pembuatan hukum.
SUPREMASI HUKUM, BUKAN POLITIK
Sampai era modern seperti sekarang ini, perjalan sejarah bentuk-bentuk Negara telah
menciptakan paling tidak enam bentuk berbeda. Prof. Syaiful Bakhri mengkategorikannya
menjadi berikut;
1. Aristokrasi. Suatu pemerintahan yang dipegang oleh cerdik pandai.
2. Oligarki. Pemerintahan oleh kelompok kecil.
3. Timokrasi. Pemerintahan dilakukan oleh golongan kaya.
4. Demokrasi. Pemerintahan oleh rakyat.
5. Tirani. Pemerintahan oleh seorang tiran.
6. Mobokrasi. Pemerintahan oleh orang yang tidak terdidik dan biadab.8
Dari berbagai jenis yang ada, demokrasi diklaim sebagai sebuah sistem yang paling cocok untuk
menciptakan keadaan yang aman, harmonis, dan kondusif untuk berbagai perkembangan soft
value seperti budaya, agama, dan pendidikan. Selanjutnya Prof. Mahfud MD juga menjelaskan
bahwa menurut UNESCO hampir semua Negara di dunia telah menjadikan demokrasi sebagai
pondasi fundamental meski pada aplikasinya porsi peranan antara Negara dan rakyatnya
berbeda-beda9. Pada bab 1 Pasal (2) UUD 1945 juga memberikan penjelasan secara explisit
bahwa Indonesia adalah Negara demokrasi.
Secara singkatnya, definisi gambalang demokrasi pernah disampaikan oleh Presiden Amerika,
Abraham Lincoln, pada saat memperingati peristiwa Gettysburg masa perang saudara pada 13
November 1863. Pada saat itu dia menggambarkan bahwasannya makna dari demokrasi Amerika
yang ia ingin pertahankan adalah government of the people, by the people, for the people. Dari
8 Syaiful Bakhri. Ilmu Negara dalam Konteks Negara Hukum Modern (Jakarta; Total Media, 2010) hlm 106.
9 Moh. Mahfud MD. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (Jakarta; PT Rineka Cipta, 2003) hlm 18.
8
sini dapat diambil kesimpulan bahwa pada sistem ini, rakyat diberikan posisi yang sangat
menguntungkan dalam menentukan kebijakan-kebijakan publik dalam bernegara.
Akan tetapi sekali lagi, platform demokrasi dapat sedemikian rupa digunakan oleh pemimpinpemimpin Negara yang mempunyai kiblat political view yang bertolak belakang dengan
demokrasi itu sendiri atau yang sedang dalam keadaan yang kritis dan sulit untuk
mempraktekkan demokrasi. Di Indonesia, jargon demokrasi terpimpin merupakan salah satu
contoh fenomena di mana Presiden Soekarno menggunakan demokrasi sebagai justifikasi
manuver-manuver politiknya yang cenderung terlihat seperti otoriterianisme.
Pada tahun 1959, Presiden Soekarno memandang bahwasannya kebijakan-kebijakan publik harus
dibuat dengan cepat karena keadaan mendesak yang saat itu mendera Indonesia. Pada masa itu
paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan presiden harus mengeluarkan Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Pertama ialah banyaknya gerakan sparatis yang mencoba untuk memerdekakan diri
yang membuat keadaan Negara tidak stabil secara keamanan. Kedua, sulitnya menjalankan
program-program pemerintah dalam mendorong perkembangan pada sektor ekonomi. Ketiga,
gagalnya konstituante dalam menyusun UUD yang baru untuk menggantikan UUDS 1950.10
Dengan pendekatan yang digunakan oleh Presiden Soekarno yang cenderung otoriter tersebut,
jika menurut prosedur yuridis, maka presiden seharusnya mengajukan pengamandemenan
undang-undang pada bagian bentuk Negara Indonesia yang berasaskan demokrasi kepada MPR
sebelum membuat keputusan-keputusan sepihak11. Akan tetapi situasi nasional pada saat itu tidak
kondusif untuk mengamandemen konstitusi. Jadilah Presiden Soekarno menjalankan Negara
dengan pendekatan one man show.
Dengan kenyataan bahwa kejadian tersebut pernah terjadi di Indonesia, maka para elit politik dan
pejabat Negara serta pemerintah selalu mendengungkan bahwasannya Indonesia adalah Negara
hukum lalu. Lalu dengan terjadinya reformasi dan amandemen UUD 1945, diperkuatlah ide ini
dengan penambahan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Hal ini juga mengimplikasikan penguatan,
10 Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia (Jakarta; Rajawali Press, 2012) hlm 129-133.
11 Waktu itu UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) masih berbunyi “Kedaulatan rakyat adalah di tangan rakyat, dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
9
penegasan, dan penjelasan status prinsip Indonesia yang berdasarkan hukum. Selain itu, ini
dilakukan juga untuk penguatan citra Negara Indonesia 12. Dan yang selanjutnya, hal ini seolah
memberikan jalan kepada hukum untuk menduduki singgasana tertinggi dalam sistem
kenegaraan yang menjadikannya komandan utama dalam penyelenggaraan Negara.
Akan tetapi, ini bukan berarti peran politik pada sistem Negara menjadi kerdil. Pemerintah
memilih hukum menempati posisi supra karena ciri khas hukum yang lebih mudah diatur
daripada politik yang cenderung abstrak. Yang dimaksud dengan hukum dalam konteks ini
adalah hukum positif tertulis yang tertuang pada UUD 1945 dan hukum-hukum atau aturanaturan yang berada di bawahnya.
Selanjutnya hal ini ditenggarai malah membuat politik bergerak lebih luwes dan dapat masuk ke
relung-relung sosial yang tak bisa dijamah hukum normatif. Sebagaimana yang telah
didiskusikan di atas, bahwa secara alami Indonesia memiliki sub hukum yang sudah ada jauh
sebelum hukum normatif modern dibawa oleh kolonial. Berbagai adat, aturan agama, kebiasaan
masyarakat dan lain sebagainya sudah menjadi nilai-nilai yang tertanam dalam di dunia
‘peraturan’ di Indonesia ini. Pada dasarnya hukum positif di Indonesia sudah mengatur banyak
hal, tetapi hal-hal yang belum diatur lebih banyak lagi. Oleh karena itu, sisi masyarakat yang
seperti inilah yang menjadi lahan bagi politik menunjukkan tajinya dalam memberikan pengaruh.
Pada panggung politik nasional, perpaduan politik dan hukum sudah menjadi instrumen yang
lazim digunakan oleh para negarawan. Bahkan tokoh aristoktrat seperti B.J. Habibi dan
Boediono telah menunjukkan bahwasannya hukum di Indonesia telah bertransformasi menjadi
tatanan yang adaptif akan keperluan zaman. Cap sebagai aristokrat tidak menghalangi mereka
berdua untuk menduduki posisi presiden dan wakil presiden Indonesia meskipun para akademisi
dan pakar politik-hukum telah memformulasikan kategori kepemimpinan yang sedemikian rupa
yang secara teori aristokrasi bukanlah demokrasi seperti yang dikemukakan sebelumnya.
PENUTUP
12 Ali Taher Parasong. Mencegah Runtuhnya Negara Hukum (Jakarta; Grafindo Books Media, 2014) hlm 121.
10
Pembahasan akan pengertian umum akan konsep politik hukum sebetulnya bukanlah ajang yang
membenturkan konsep politik dan hukum. Di sini dijelaskan secara singkat makna yang
terkandung dalam sebuah ide hasil dari peleburan dua hal yang sama-sama berpengaruh besar
pada kehidupan bernegara khususnya di Indonesia. Pada prakteknya, politik hukum lekat
kaitannya dengan elemen asalnya yang saling berhubungan dan mendukung yang tentunya amat
menguntungkan bagi Negara Indonesia jika pemerintah dan elit politik Negara menggunakannya
dalam koridor yang positif.
Selain untuk mencapai cita-cita Negara, politik hukum juga dapat dimanfaatkan untuk
menciptakan situasi kondusif bagi pertumbuhan sektor-sektor penting bagi terwujudnya
kesejahteraan nasional. Selain itu hal yang tidak bisa dikesampingkan dari outcome politik
hukum adalah terintegrasinya identitas bangsa Indonesia dalam menghadapi situasi-situasi
terkini yang menjadikan Indonesia selalu siap untuk melahirkan kebijakan-kebijakan publik yang
efektif dengan cara yang efisien.
DAFTAR PUSTAKA
11
Ali Taher Parasong. Mencegah Runtuhnya Negara Hukum (Jakarta; Grafindo Books
Media, 2014) hlm 121.
CFG Sunaryati Hartono. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Bandung;
Alumni, 1991) hlm. 176.
John Redekop, Approaches to Canadian Politics (Scarborough, UK; Pretentice Hall,
1983) hlm 149.
Moh. Mahfud MD. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (Jakarta; PT Rineka Cipta,
2003) hlm 18.
Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia (Jakarta; Rajawali Press, 2012) hlm 3,
129-133.
Soetandyo Wignjosoebroto. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Dinamika SosialPolitik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 1994)
hlm 176.
Syaiful Bakhri. Ilmu Negara dalam Konteks Negara Hukum Modern (Jakarta; Total
Media, 2010) hlm 106, 151.
12