POLITIK HUKUM PEMILIHAN UMUM PADA MASA O

POLITIK HUKUM PEMILIHAN UMUM PADA MASA
ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Politik Hukum
Dosen Pembimbing : Rima Vien P.H, SH, MH
Disusun Oleh :
Achmad Marwan N.H
(K6412001)
An-nisa Nur S.I.S
(K6412005)
Desy Nugraheni
(K6412016)
Diah Nurul Aini
(K6412019)
Gallih Sapoetra W.P
(K6412029)
Haniatul Hidayah
(K6412031)
Putri Puspitasari
(K6412058)
Rifka Haryanti

(K6412059)
Triwiyanti
(K6412069)
Turyati
(K6412070)
Umi Setyowati
(K6412072)

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu syarat pokok demokrasi adalah adanya sistem pemilihan umum yang
jujur dan adil (free and fair elections). Pemilu jujur dan adil dapat dicapai apabila tersedia
perangkat hukum yang mengatur proses pelaksanaan pemilu; sekaligus melindungi para
penyelenggara, kandidat, pemilih, pemantau, dan warga negara pada umumnya dari

ketakutan, intimidasi, kekerasan, penyuapan, penipuan, dan berbagai praktik curang
lainnya yang akan mempengaruhi hasil pemilu. Oleh karena itu, pemilu yang jujur dan
adil membutuhkan peraturan perundang-undangan pemilu beserta aparat yang bertugas
menegakkan peraturan perundang-undangan pemilu tersebut.
Meskipun demikian, setiap kali pemilu dilaksanakan selalu saja muncul isu
tentang lemahnya penegakan hukum pemilu. Isu ini berangkat dari kenyataan betapa
banyak pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilu yang tidak ditangani sampai
tuntas. Selain itu, peraturan perundangan-undangan yang ada juga belum mengatur
tentang keberatan atas keputusan penyelenggara pemilu. Memang Mahkamah Konstitusi
punya kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu (yang ditetapkan
penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU), tetapi bagaimana dengan keberatan atas
masalah lain (di luar hasil pemilu) yang juga diputuskan oleh penyelenggara pemilu.
Banyaknya kasus pelanggaran administrasi pemilu dan tindak pidana pemilu, serta
banyaknya kasus keberatan atas keputusan penyelenggara pemilu; di satu sisi, mendorong
munculnya protes-protes yang bisa berujung kekerasan, di sisi lain, juga mengurangi
legitimasi hasil pemilu.
Selain itu, proses penegakan hukum Pemilu meliputi berbagai aspek hukum yaitu
tata Negara, administrasi Negara, pidana dan perdata menyebabkan penanganannyapun
melibatkan beberapa lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tata
Usaha Negara dan Peradilan umum. Hal ini menyebabkan dapat terjadi putusan satu

lembaga peradilan bertentangan dengan putusan lembaga peradilan lain.
2

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

Dari gambaran tersebut memperlihatkan betapa rumitnya penegakan hukum
dalam proses pemilu. Dilain sisi lembaga pengawas Pemilu yaitu Bawaslu dan jajarannya
tidak lebih dari tukang pos yang tugasnya dalam penegakan hukum pemilu meneruskan
kasus yang mengandung unsur pidana ke polisi dan pelanggaran administrasi ke KPU.
Hal ini menambah rumit penegakan hukum dalam Pemilu.
Untuk mengatasi masalah-masalah penegakan hukum pemilu tersebut, materi
peraturan perundang-undangan pemilu harus dilengkapi, diperjelas, dan dipertegas. Yang
tak kalah penting adalahmemperkuat lembaga-lembaga penegak hukum pemilu agar
mampu bekerja secara efektif. Kajian ini memetakan kembali masalah penegakan hukum
pemilu dan selanjutnya merumuskan sistem penegakan hukum pemilu yang ideal, yakni
sistem yang tidak menyalahi standar pemilu demokratis, namun tetap sesuai dengan
kondisi Indonesia. Selain itu, kajian ini memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan
tentang bagaimana membangun sistem penegakan hukum pemilu yang ideal.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah gambaran umum dari politik hukum pemilihan umum ?
2. Bagaimanakah periodisasi politik hukum pemilihan umum yang terjadi di Indonesia
dari masa orde lama, orde baru dan reformasi ?

C. Tujuan
1. Mengetahui gambaran umum dari politik hukum pemilihan umum.
2. Mengetahui periodisasi politik hukum pemilihan umum yang terjadi di Indonesia dari
masa orde lama, orde baru dan reformasi.

3

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

4

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

BAB II
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Politik Hukum Pemilu

Proklamasi kemerdekaan pada tangal 17 Agustus 1945 membawa semangat
demokrasi dan menjanjikan diselenggarakannya Pemilu dengan landasan hukum yang
responsif. Sejak awal kemerdekaan pemerintah Indonesia sudah menjanjikan
diselenggarakannya Pemilu untuk membentuk aparatur demokrasi yang representatif.
Namun berbagai kendala politis, baik yang bersifat eksternal maupun internal
menyebabkan Pemilu baru benar-benar dapat dilaksanakan pada tahun 1955.
Pemilihan umum (pemilu) merupakan instrumen penting dalam negara demokrasi
yang menganut sistem perwakilan. Pemilu berfungsi sebagai alat penyaring bagi
politikus-politikus yang akan mewakili dan membawa suara rakyat dalam lembaga
pewakilan. Mereka yang terpilih dianggap sebagai orang atau kelompok yang
mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu
kelompok yang lebih besar melalui partai politik (parpol). Oleh sebab itu, adanya partai
politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokratis. Hal itu
dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan
tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang berlawanan, serta
menyediakan sarana suksesi kepemimpinan poitik secara sah dan damai. Dengan
demikian seperti halnya pemilu, parpol pun merupakan komponen penting dari negara
demokrasi. Perlu ditegaskan pembahasan hukum pemilu tidak dapat dilepaskan dari
pembahasan sistem yang mengatur tentang susunan dan kedudukan lembaga perwakilan.
Pemilu mutlak diperlukan oleh negara yang menganut paham demokrasi. (Moh. Mahfud

MD: 2009)
Pemilihan umum di Indonesia dipenuhi dengan catatan perubahan UndangUndang (UU). Sejak pemilu pertama yaitu tahun 1955 hingga saat ini setidaknya sudah
terseleggara sebelas kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997,
1999, 2004, 2009 dan 2014.
5

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

Indonesia telah melahirkan sebelas Undang-Undang Pemilu, hal ini disebabkan
pada pemilu legislatif tahun 2014 telah lahir satu Undang-Undang pemilu dan masih
ditambah dengan dua UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Pesiden yang pada saat
penyelenggaraan tahun 2004 dan 2009 diatur dengan Undang-Undang sendiri, maka tidak
aneh jika Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa sejarah pemilu di Indonesia adalah
sejarah politik hukum tentang pemilu (Benni Setiawan, pemilu dalam optik politik
hukum: 2012).
Pencarian politik hukum yang mengesankan bahwa Undang-Undang Pemilu di
Indonesia selalu lahir sebagai ”proses instrumental” atau percobaan yang tak selesaiselesai. Hal ini setidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, karena ada kesadaran
bahwa pemilu yang diseleggarakan sebelumnya mengandung kelemahan yang harus
diperbaiki untuk menyongsong pemilu berikutnya. Kedua, karena terjadi perubahan
maupun mekanisme pemilu yang dilatarbelakangi oleh motif politik tertentu oleh

sebagian besar partai politik yang menguasai kursi DPR. Karena terjadi perubahan
situasi, misalnya, demografi kependudukan dan perkembangan daerah, yang harus
diakomodasi di dalam Undang-Undang Pemilu. (Benni Setiawan, pemilu dalam optik
politik hukum: 2012).

B. Periodisasi Politik Hukum Pemilihan Umum Yang Terjadi Di Indonesia
1. Politik Hukum Pemilu Pada Masa Orde Lama (1945-1966)
Politik hukum Pemilu pada masa orde lama dibagi lagi ke dalam dua periode
yakni periode demokrasi liberal (1945-1959) dan periode demokrasi terpimpin (19591966). Pada masa demokrasi liberal, terdapat produk hukum pemilu yang responsif.
Sejak awal kemerdekaan pemerintah Indonesia memang telah menjanjikan
diselenggarakannya Pemilu untuk membentuk aparatur demokrasi yang representatif.
Namun berbagai kendala politis baik eksternal maupun internal menyebabkan pemilu
baru dapat dilaksanakan pada tahun 1955. Herbert Feith dalam Mahfud MD
(2009:309) menyatakan bahwa sebelum tahun 1955 sebenarnya telah ada produk
hukum tentang pemilihan anggota lembaga perwakilan yakni UU No.27 Tahun 1948
6

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

yang kemudian diperbarui dengan UU No.12 Tahun 1949, tetapi tidak pernah dapat

diimplementasikan karena pergolakan revolusi.
Kemudian pada tahun 1953 pemerintah bersama DPR menyetujui UU tentang
Pemilihan umum (PEMILU) untuk anggota Konstituante dan Dewan Perwakilan
Rakyat, yaitu UU No. 7 tahun 1953. UU No.7 Tahun 1953 ini lahir karena didorong
oleh kehendak masyarakat pada waktu itu yang menekan segera dihentikannya proses
lempar-melempar RUU Pemilu, sehingga kemudian UU ini dibahas oleh badan
perwakilan rakyat secara fair. Maka dapat dikatakan bahwa terdapat partisipasi
masyarakat yang cukup tinggi dalam melahirkan UU ini. Materi muatan yang
terkandung dalam UU juga mencerminkan unsur aspiratif dan limitatif.
UU ini dapat dikatakan sebagai UU yang sangat responsif. UU ini mengatur
dengan sangat rinci sistem Pemilu (electoral laws) dan pokok-pokok proses
pemilunya (electoral process), sehingga sangat sulit kemungkinan eksekutif untuk
menafsirkan sendiri UU Pemilu ini untuk kepentingan pribadi maupun golongan. UU
ini memang memberikan kewenangan pemerintah untuk membuat aturan pelaksana
dari UU ini, namun materi yang dapat diatur dalam aturan pelaksana tersebut benarbenar yang bersifat teknis. UU ini juga menempatkan seluruh warga negara yang
berumur minimal 18 tahun atau sudah kawin sebagai subyek pemilihan tanpa
membeda-bedakan latar belakang politik dan golongan, termasuk anggota ABRI juga
memiliki hak pilih yang sama dengan warga negara biasa. Sedangkan untuk yang
dapat mencalonkan diri atau dipilih dapat merupakan perseorangan maupun
kelompok, sehingga setiap orang dapat benar-benar dapat memilih atau membuat

saluran aspirasi sendiri. Sistem pemilu yang dipergunakan adalah sistem proporsional
(perwakilan berimbang) dengan stelsel daftar dan sisa suara terbanyak, dengan
menerapkan asas umum, periodik, berkesamaan, bebas, rahasia dan langsung.
UU No.7 Tahun 1953 ini mengatur pengorganisasian Pemilu dengan sangat
fair, dengan menempatkan pemerintah sebagai pihak netral, dimana keterlibatannya
hanya sebatas untuk fasilitas administrasi, sehingga partai-partai sendirilah yang
memainkan peranan penting dalam pemilu. Dalam UU ini juga dikenal sistem
pengangkatan untuk anggota konstituante maupun DPR. Tetapi pengangkatan ini
7

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

semakin memperkuat ke-responsif-an dari UU ini sendiri, karena pengangkatan
dilakuakan untuk memberikan jaminan adanya wakil sejumlah minimal kursi bagi
golongan minoritas Cina, Eropa dan Arab, dan bukan untuk mewakili golongan
pemegang kekuasaan. Sifat ke-responsif-an produk hukum Pemilu UU No.7 tahun
1953 ini tidak terlepas dari konfigurasi politik pada masa itu yang harus diakui
bersifat demokratis, dimana menganut sistem demokrasi liberal.
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, pemilu untuk pertama kali
diselenggarakan pada tahun 1955, dengan dua kali pemungutan suara, yaitu untuk

anggota DPR dilakukan pada bulan September 1955 dan untuk anggota konstutiante
dilakukan pada bulan desember 1955. Herbert faith dalam Mahmud MD (2009:131)
mengatakan bahwa kampanye yang mendahului pemilu 1955 membawa pengaruh
besar bagi politisasi masa rakyat di desa-desa. Bahkan di banyak tempat telah
mengakibatkan semakin terlibatnya rakyat dalam masalah-masalah politik, dalam
skala yang lebih besar dari pada masa revolusi. Aspirasi politik masyarakat yang
dibawa oleh media masa tanpa sensor, justru semakin mendorong keinstabilitas
karena sistem politik pada waktu itu belum mapan dan tidak mengakar secara
cultural.
Sejak tahun 1956 politik kerakyatan telah memberikan garis pengelompokan
berdasarkan etnis dan geografis yang dimulai dengan munculnya berbagai dewan
diluar jawa, yang mencapai puncaknya dengan meletusnya PRRI pada februari 1958,
yaitu peristiwa serius yang mengancam keamanan territorial. Terlihat dengan jelas
bahwa krisis politik merasuk keberbagai bagian. Di konstituante terjadi perdebatan
tentang ideology negara yang berkepanjangan dan sia-sia. Kekuatan PKI semakin
meningkat, pemerintah tidak efektif menangani masalah-masalah di daerah, dan
perpecahan dwi tunggal soekarno hatta yang pada gilirannya telah menyebabkan
munculnya gerakan separatis yang betul-betul mengancam keutuhan republik.
Terjadinya krisis politik yang berkepanjangan disebabkan oleh kecenderungan
sentrifugal sistem multipartai yang dianut, seperti diketahui sejak bulan November

1945 dengan maklumat no.X tahun 1945, telah ditetapkan sistem multipartai.

8

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

Jika pada masa demokrasi liberal produk hukum Pemilu bersifat responsif,
tidak demikian pada masa demokrasi terpimpin. Selama periode demokrasi terpimpin,
tidak pernah dikeluarkan peraturan-peraturan perundang-undangan pemilu. Seperti
yang telah dikemukakan, lembaga perwakilan yang mula-mula dipakai pada awal
periode ini adalah DPR, yang anggotanya dibentuk berdasarkan hasil pemilu 1955.
Akan tetapi, dengan istilah penghentian pelakasanaan tugas, DPR telah dibubatkan
secara sepihak oleh presiden Soekarno melalui penetapan presiden no 3 tahun 1960.
Dictum penpres sebagai berikut :
a. Menghentikan pelakasanaan tugas dan pekerjaan anggota-anggota dewan
perwakilan rakyat DPR,
b. Mengusahakan pembaharuan DPR berdasarkan UUD 1945 dalam waktu singkat.
Bunyi dictum ke dua yang lebih berupa janji untuk membentu DPR yang
sesuai dengan tuntutan UUD 1945 adalah rencana pemilu. Ini dapat dipahami dari
keterangan pejabat presiden Djuanda, bahwa pemilu akan diadakan pada tahun 1962,
karena tidak mungkin diadakan dalam waktu dekat untuk mengisi kekosongan dalam
keanggotaan DPR sambil menunggu pemilu, dengan Penpres No.4 tahun 1960,
presiden membentuk semacam DPR sementara yang disebut dewan perwakilan rakyat
gotong royong (DPR-GR). Demikian suatu lembaga konstitusional yang seharusnya
berfungsi sebagai mitra pemerintah dalam memegang kekuasaan legislative,
dilakukan oleh lembaga sementara. DPR-GR, sesuai dengan bunyi pasal 2 Penpres
No.4 tahun 1960, terdiri atas wakil-wakil golongan politik dan golongan karya serta
seorang wakil dari irian barat. DPR-GR bekerja terus dengan fungsi yang sering
diintervensi oleh presiden dalam bentuk pembuatan penpres dan pemberian
kewenangan kepada DPA untuk membicarakan setiap RUU. MPRS sebagai lembagai
tinggi negara mengalami hal-hal yang sama.
Janji presiden Soekarno untuk membentuk DPR baru melalui pemilu selalu
ditunda oleh pemerintah, dan pada akhirnya tidak diwujudkan juga. Soekarno baru
menyebut lagi soal pemilu menjelang kejatuhannya sebagai presiden, setelah
peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Pada 1966, setelah ABRI memegang kunci
kekuasaan melalui surat sebelas maret (supersemar) dan pada saat-saat kejatuhan
9

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

soekarno tinggal menunggu waktu, tepatnya pada tanggal 17 agustus melalui
pidatonya yang berjudul “jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah / jasmerah”.
Pidato pertanggungjawaban presiden yang dikenal sebagai nawaksara itu, soekarno
pada tanggal 4 mei 1966 menyampaikan dua buah RUU, yakni RUU penyusunan
MPR, DPR, dan DPRD, serta RUU pemilihan umum. Tetapi, seruan presiden ini
tenggelam ditengah hiruk pikuk demonstrasi dan sidang istimewa MPRS yang
tampaknya tidak lagi berpihak pada pemimpin besar revolusi. Pemilu pun tak sempat
dilaksanakan sampai kejatuhan presiden pada tahun 1967, bahkan sampai
meninggalnya pada tahun 1970.
Tidak adanya produk hukum pemilu maupun ketidak-sediaan pemerintah
menyelenggarakan pemilu yang diinginkan oleh rakyat ini tidak terlepas dengan
konfigurasi politik pada saat itu yang cenderung bersifat otoriter dengan sistem
demokrasi terpimpin, dimana kekuasaan terpusat pada Soekarno sebagai presiden.
Hal ini juga terlihat dari karakteristik berbagai produk hukum yang keluar pada masa
itu yang cenderung bersifat konservatif dan seringkali produk hukum yang
dikeluarkan berasal dari lembaga diluar DPR, yakni presiden bersama Dewan
Nasional yang produknya berbentuk Penpres.

2. Politik Hukum Pemilu Pada Masa Orde Baru (1966-1998)
Setelah runtuhnya rezim Orde Lama maka muncul kembali rezim baru yang
disebut dengan Orde Baru. Masa Orde Baru ini bisa dimulai ketika Presiden Soekarno
memberikan surat Supersemar kepada Soeharto. Joeniarto dalam Mahfud MD
(1998:200) mendefinisikan Orde Baru sebagai tatanan kehidupan negara dan bangsa
yang diletakkan kembali pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945.
Yang menjadi obyek kajian yang menarik pada masa Orde Baru salah satunya tentang
Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu).
Jalan yang ditempuh oleh Orde Baru untuk menjadikan dirinya sebagai negara
kuat yang kemudian menjadi otoriter-birokratis adalah jalan konstitusional. ini
membawa rezim Orde Baru pada sikap tertentu penyelenggaraan pemilu, yakni
10

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

pemilu harus diadakan sesuai dengan tuntutan konstitusi, tetapi kekuatan pemerintah
(Orde Baru) harus mendapat jaminan untuk memenangkan pemilu tersebut. Dengan
kemenangan dan dominasi tangan pemerintah di lembaga permusyawaratan/
perwakilan diharapkan pemerintah dapat bekerja membangun negara dalam suasana
politik yang stabil (Mahfud, 2009:313)
Dasar hukum mengenai pemilu pada masa ini dituangkan dalam dua buah UU
yaitu UU No.15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No.16 Tahun 1969 tentang
Susduk MPR/DPR/DPRD. UU Pemilu pada masa Orde Baru ini dapat
dikualifikasikan sebagai produk hukum yang bersifat ortodoks/konservatif. UU No.15
Tahun 1969 ini hanya memuat 37 Pasal, jauh lebih sedikit jika dibandingkan UU
Pemilu sebelumnya yakni UU No.7 Tahun 1953 yang memuat 139 Pasal. Sehingga
UU ini memberikan kemungkinan yang besa bagi pemerintah atau eksekutif untuk
membuat pengaturan (regeling) berdasarkan kewenangan delegasi. Selain itu materi
muatan dalam UU ini juga bersifat sangat umum, maka dalam pembuatan peraturan
pelaksanaannya sangat dimungkinkan mengandung materi yang dianggap melanggar
asas kejujuran dan keadilan.
Selain itu, menurut UU ini, warga negara yang telah berumur 17 tahun atau
sudah kawin mempunyai hak untuk memilih, kecuali mereka yang terlibat anggota
organisasi terlarang menurut peraturan perundangan. Dalam Pasal 11 UU ini juga
menerapkan sistem pengangkatan dalam komposisi lembaga perwakilan, yang
sebenarnya ditentang oleh berbagai pihak karena dinilai kurang demokratis. Porsi
pengangkatan sendiri berjumlah 100 orang dari jumlah seluruh anggota DPR yakni
500 orang (Pemilu 1987 dan 1992). Dari 100 porsi pengangkatan tersebut, sebanyak
75 porsi diangkat dari ABRI (ABRI tidak memiliki hak pilih tetapi secara otomatis
memiliki wakil di DPR/MPR). Jika dibandingkan dengan rasio secara umum, jumlah
tersebut tidak proporsional (over-representation), sebab UU Pemilu menentukan
harga 1 kursi di DPR adalah 400.000 suara. Jika rasio ini dipakai, maka ABRI
seharusnya hanya dapat memiliki tidak lebih dari 2 wakil di DPR.
Selain terkait jumlah porsi pengangkatan, perbedaan mencolok UU ini dengan
UU sebelumnya (UU No.7 Tahun 1953) adalah motif dari pengangkatan tersebut.
dalam UU No.15 Tahun 1969 ini, yang diangkat adalah mewakili visi politik
pemerintah atau untuk mendongkrak kekuatan pemerintah yang berkuasa dan berlaku
11

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

untuk sejumlah kursi yang ditetapkan (yakni 100 kursi), sedangkan menuruut UU
No.7 Tahun 1953 yang diangkat mewakili golongan minoritas dan baru akan
dilakukan bila hasil pemilu tidak memberikan jumlah kursi minimal bagi golongan
minoritas.
Asas-asas yang dipakai dalam UU No.15 Tahun 1969 ini adalah asas
langsung, umum, bebas dan rahasia. Partai Persatuan Pembangunan dan Partai
Demokrasi Indonesia sebenarnya pernah mengusulkan penambahan asas jujur dan
adil yang kemudian usul ini ditolak oleh fraksi Karya Pembangunan dan ABRI.
Golkar bersikap tidak ingin mengubah UU Pemilu yang dinilainya sudah cukup bagus
dan relevan. Kalaupun usul tersebut tetap terus diperjuangkan oleh PPP maupun PDI,
maka sangat besar kemungkinan akan kandas karena perimbangan jumlah anggota
DPR tidak seimbang. Jika Golkar yang jumlah wakilnya di DPR sangat besar
menantang voting, maka gabungan suara PPP dan PDI tidak akan dapat
memenangkannya, apalagi jika fraksi ABRI mendukung Golkar.
Selain itu, dalam penyelenggaraan pemilu, parpol juga tidak diberikan
peranan yang riil, karena ketua panitia di setiap tingkatan diduduki oleh pejabat atau
pimpinan birokrasi, sementara peranan parpol hanya bersifat parsial. Selain itu
mekanisme penyelenggaraan pemilu juga mengandung kelemahan dalam sistem
kontrol dan dalam rantai penghitungan suara. Dalam hal kampanye, UU ini juga
membatasi waktu kampanye yakni sekitar 3 minggu dan tema kampanye juga dibatasi
dengan adanya larangan untuk menyinggung hal tertentu yang dapat memojokkan
pemerintah yang diperkirakan akan berimplikasi pada turunnya dukungan terhadap
partai hegemoni yakni Golkar.
Ketidak-demokratis-an UU ini juga ditunjukkan dengan adanya lembaga
screening yang memungkinkan tangan-tangan eksekutif mencoret nama-nama calon
yang diajukan oleh OPP untuk dipilih dalam pemilu. Selain itu juga ada mekanisme
recall

atau

penarikan

kembali

seseorang

dari

keanggotaan

lembaga

perwakilan/permusyawaratan. Dimana dengan adanya recall ini pemerintah dapat saja
meminta parpol baik secara terang-terangan maupun melalui isyarat-isyarat politik
untuk menarik anggotanya di lembaga perwakilan.
Karakteristik UU Pemilu pada masa Orde Baru yang cenderung bersifat
konservatif atau ortodoks tersebut tidak terlepas dari konfigurasi politik atau rezim
12

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

politik yang pada saat itu berkuasa, yakni sebagaimana yang sudah kita ketahui
bersama bahwa rezim Orde Baru ini diwarnai dengan ke-otoriter-an yang kental,
dimana kekuasaan Soeharto sangat kuat dengan dukungan Golkar dan Militer (ABRI)
yang juga merupakan penguasa atau pemilik porsi tertinggi dalam lembaga
permusyawaratan/perwakilan.
Ketika Orde Baru, berdasarkan Tap MPRS No.XI Tahun 1966, pemilu
seharusnya dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 6 Juli 1968. Namun
Presiden Soeharto kemudian menyatakan pemilu tidak dapat dilaksanakan pada
waktu yang telah ditentukan. MPRS kemudian menjadwal ulang pemilu dengan
menetapkan pemilu paling lambat 5 juli 1971. Menurut Sigit Pamungkas (2009: 76)
penundaan yang dilakukan Presiden Soeharto ini disebut politik pemilu pertama pada
masa Orde Baru untuk mempersiapkan jalan agar kekuasaannya langgeng (bertahan
lama). Mahfud MD (1999: 232) menyatakan bahwa dibalik penundaan pemilu dari
tahun 1968 menjadi 1971 ini telah dicapai kesepakatan kompromis antara partaipartai dan pemerintah meliputi dua hal: pertama, partai-partai setuju memberi hak
kepada pemerintah untuk mengangkat sepertiga dari seluruh anggota MPR dan
mengangkat 100 orang dari 460 orang anggota DPR; kedua, pemerintah menyetujui
usul partai-partai untuk menyelenggarakan Pemilu dengan sistem Proposional.
Dengan demikian, maka pemerintah sudah memiliki kemenangan dalam struktur
politik dan ketatanegaraan.
Harry Tjan Silalahi dalam Syamsuddin H (1998: 54) memberikan gambaran
ada dua hakikat pokok dalam pemilu untuk pemahaman Politik (political selfunderstanding) Orde Baru. Pertama, pemilu bukanlah merupakan suatu alat atau
sarana untuk mengubah pemerintah atau negara RI dan kedua keterlibatan masyarakat
di dalam pemilu lebih merupakan kewajiban ketimbang hak warganegara. Kedua
gambaran tersebut dapat artikan bahwa pemilu pada Orde Baru lebih menekankan
pada mempertahankan kekuasaan dan bukan untuk mengganti rezim pemerintahan.
Ada hal mendasar yang menjadikan pemilu-pemilu pada Orde Baru dikategorikan
pemilu yang tidak demokratis. Syamsudin Haris dalam Sigit P (2009: 75)
menyebutkan yaitu pertama, terlalu dominan peranan pemerintah, dan sebaliknya,
amat minimnya keterlibatan masyarakat hampir di semua tingkatan kelembagaan

13

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

maupun proses pemilu. Kedua, proses pemilu tidak berlangsung fair karena adanya
pemihakan pemerintah kepada salah satu organisasi peserta pemilu yaitu Golkar.
Pada Orde baru Pemilu diselenggarakan sebanyak 6 kali yaitu pada tahun
1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Dasar hukum penyelenggaraan pemilu dapat
digambarkan dalam tabel sebagai berikut :
No

Pemilu

Dasar Hukum

Perubahan

1

1971

UU No 15 Tahun 1969

-

2

1977

UU No 4 Tahun 1975

Adanya penyederhanaan partai
peserta pemilu.

3

1982

UU No 2 Tahun 1980

Adanya penambahan anggota
LPU dari unsur parpol, Golkar,
dan ABRI. Serta pembentukan
panitia pengawas pemilu.

4

1987

UU No 1 Tahun 1985

Adanya penambahan jumlah
wakil ketua panitia pengawas
pemilu.

5

1992

UU No 1 Tahun 1985

Adanya penambahan jumlah
wakil ketua panitia pengawas
pemilu.

6

1997

UU No 1 Tahun 1985

Adanya penambahan jumlah
wakil ketua panitia pengawas
pemilu

Sekurang-kurangnya ada empat tujuan diadakan Pemilu pada era Orde Baru
yang terdapat didalam konsiderans UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilu. Keempat
hal tersebut adalah :
1. Memilih wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga permusyawaratan/
perwakilan;
2. Melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;
3. Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
14

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

4. Sebagai sarana untuk mencapai kemenangan Orde Baru dalam mewujudkan tata
kehidupan yang dijiwai semangat Pancasila dan UUD 1945.
Dari keempat tujuan tersebut terdapat suatu kejanggalan yang mungkin
merupakan penyimpangan politik pemilu pada era Orde Baru. Pada tujuan Pemilu
yang keempat menyebutkan bahwa tujuannya “…. mencapai kemenangan Orde
Baru…”. Dari hal tersebut jelas sekali bahwa tujuan pemilu pada orde baru bisa
diasumsikan untuk memperoleh kemenangan pada satu pihak yaitu pemerintah yang
bertahan pada saat itu. Untuk menjamin maksud tersebut maka pemilu dilaksanakan
dengan sistem proposional diselenggarakan oleh pemerintah yang dikuasai oleh elit
penguasa itu sendiri.
Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776 jiwa dari jumlah penduduk Republik
Indonesia yang pada waktu itu berjumlah 77.654.492 jiwa, dengan hasil sebagai
berikut :
No

Nama Partai

Jumlah Suara

Jumlah Kursi

607

3

1.

Partai Katolik (Indonesia)

2.

Partai Syarikat Islam Indonesia

1308237

10

3.

Nahdlatul Ulama 1971

10213650

58

4.

Partai Muslimin Indonesia

2930746

24

5.

Partai Golongan Karya

34348673

236

6.

Partai Kristen Indonesia

733359

7

7.

Partai Musyawarah Rakyat Banyak

49000

0

8.

Partai Nasional Indonesia - Massa Marhaen

3793266

20

9.

Persatuanttarbiyah Islamiyah

381309

2

338403

0

10. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia

Sumber : http://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/

Hasil pemilu 1971 menempatkan Golkar sebagai mayoritas tunggal dengan
perolehan suara 62,82%. Pemilih dari Golkar hampir seluruh Indonesia dengan
perbandingan antara pemilih di Jawa dan luar Jawa yang sebanding besarnya. Dari
sisi ideologi pemilih, dari ideologi Islam dan sekuler juga sebagian besar memilih
partai Golkar.
15

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

Pada pemilu tahun 1977, dari 10 partai yang ikut di pemilu 1971 di persempit
jumlah pesertanya menjadi 3 partai. Ketiga partai tersebut adalah Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang sebagai partai Islam, Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
sebagai partai nasionalis dan Kristen, kemudian pemenang Pemilu 1971 yaitu Golkar
yang dianggap sebagai organisasi sosial politik milik pemerintah yang berfungsi
melanggengkan pemerintahan pada era Orde Baru. Pada pemilu tahun 1977 ini
mengacu pada UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Dari
UU ini muncul politisasi dari UU yang di keluarkan oleh Pemerintah. Dalam pasal 1
ayat 1 UU No. 3 Tahun 1975 disebutkan ”Dalam Undang-undang ini yang dimaksud
dengan Partai Politik dan Golongan Karya adalah organisasi kekuatan sosial politik
yang merupakan hasil pembaharuan dan penyederhanaan kehidupan politik di
Indonesia“. Golkar sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1975 dianggap bukan partai
politik melainkan organisasi sosial politik. Tetapi pada prakteknya Golkar dianggap
sebagai partai politik karena pada saat itu selalu ikut dalam Pemilu. Karena di UU
No.3 tahun 1975 tersebut memberikan suatu keistimewaan dari Golkar daripada
partai-partai yang lain. Maka masyarakat akan lebih percaya dengan kinerja Golkar
untuk memberikan pemerintahan yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Karena Golkar
adalah milik Pemerintah maka dalam orasinya menyuarakan kinerja terbaik
pemerintah Soeharto.
Penyimpangan hukum yang berbau politik orde baru adalah tentang
kepengurusan partai, dipasal 10 ayat 1 UU No. 3 tahun 1975 di sebutkan bahwa
kepengurusan partai-partai terbatas pada ibukota tingkat pusat, Dati I, Dati II.
Ketentuan ini menurut Miriam Budiardjo (2008: 476) disebut massa mengambang
(Floating mass) . Dalam hal ini justru menguntungkan Golkar karena Golkar bebas
bergerak sampai ke desa. Hal ini karena Golkar adalah milik Pemerintah yang
memiliki jaringan sampai ke perangkar Desa. Sedangkan kedua Partai yaitu PDI dan
PPP tidak mempunyai kepengurusan sampai ke desa bahkan dengan adanya UU No. 3
tahun 1975 dilarang untuk membentuk kepengurusan sampai desa.
Hasil pemilu pada tahun 1977 tetap dimenangkan oleh Golkar dengan
perolehan 62,11%, kemudian untuk PPP dan PDI masing-masing hanya mendapat
29,29% dan 8,6% . Kemenangan dari Golkar terus berlanjut sampai tahun 1997.
Dilihat dari proses pemilu dari tahun 1971-1997 ini memberikan suatu fenomena
16

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

yang didominasi politisasi di pemerintahan era Orde Baru. Konsistensi Golkar
memenangkan pemilu ini sebagai bentuk bahwa kedua partai lawan yaitu PDI dan
PPP tidak lebih hanya sebagai penyerta. Pemilu ada era Orde Baru hanya tidak ada
kompetisi karena 6 kali pemilu selalu dimenangkan oleh Golkar.
Hal yang menarik pada Orde Baru adalah Anggota Legislatif yang terpilih dari
pemilu lebih merespon kepada Pemerintah daripada aspirasi rakyat. Karena pada saat
itu yang membuat rancangan Perundang-undangan adalah Eksekutif. Maka Legislatif
lebih dikenal sebagai lembaga yang hanya mengesahkan saja. Hal ini karena anggota
Legislatif berasal dari Golkar. Dan Golkar sendiri adalah meilih Pemerintah.
Pengendali utama para anggota Golkar dari Eksekutif Pemerintahan. Pada era orde
Baru ini lebih sering dikenal sebagai Pemerintahan yang otoriter. Dengan
kemenangan Golkar pada era Orde Baru ini, pemilu yang dilaksanakan tidak
melahirkan sirkulasi elit penguasa. Elit Penguasa yang berkuasa hanya berputar
disekitar kroni Suharto. Setiap kali pasca pemilu, PDI dan PPP tidak serta merta ikut
dalam pemerintahan.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, untuk anggota DPR yang duduk di
parlemen tidak semuanya hasil pemilu tetapi ada penunjukan dari pihak ABRI
sebanyak 75 orang. Jumlah ini tidak sebanding dengan jumlah anggota dari Partai
PDI dan PPP yang ada di DPR. Dari penjabaran diatas maka dapat diambil beberapa
kesimpulan antara lain :
1. Penundaan pemilu pada tahun 1968 menjadi 1971 sebagai strategi politik untuk
mempertahankan pemerintahan Soeharto;
2. Golkar sebagai mesin politik pemerintah yang perannya sebagai pendukung
pemerintah dalam pemilu di Era Orde Baru;
3. Adanya penyederhanaan peserta pemilu. Hal ini untuk mengurangi lawan
kompetisi Golkar pada pemilu, sehingga di sini Golkar mempunyai dukungan
kuat dan lawan yang sedikit;
4. Adanya floating mass dimana partai politik tidak diperbolehkan mempunyai
kepengurusan sampai ke tingkat desa;

17

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

5. Tujuan pemilu di Era Orde baru hanya untuk memenangkan Golkar guna
mempertahankan kekuasaan Suharto yang akhirnya dapat bertahan sampai 30
tahun.

3. Politik Hukum Pemilu Pada Masa Reformasi
a. Sejarah Pemilu DPR pada Era Reformasi
Politik hukum pemilu DPR pada era reformasi dilaksanakan sejak Pemilu
1999, kemudian dilanjutkan pada Pemilu 2004, 2009 dan 2014. Pada awal era
Reformasi, Penyelenggaan Pemilu Tahun 1999 dimulai ketika Presiden Soeharto
mengundurkan diri dari masa jabatannya kemudian digantikan oleh BJ Habiebie.
Kemudian atas desakan publik, pemilu yang baru dipercepat untuk segera
dilaksanakan. Pada akhirnya, pemilu dilaksanakam pada tanggal 7 Juni 1999. Satu
hal Yang sangat menonjol yang membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu
sebelumnya sejak 1971 adalah bahawa pada Pemilu 1999 diikuti oleh banyak peserta.
Hal ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik.
Meskipun masa persiapannya hanya singkat, pelaksanaan pemungutan suara
bisa tepat sesuai jadwal. Pemilu pada tahun 1999 ini terlaksana dengan damai, walau
ada keterlambatan pada Daerah Tingkat II di Sumatera Utara. Sebelum
menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang
Partai Politik, RUU Pemilu, dan RUU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD. Namun, tidak seperti persiapan dan pelaksanaannnya, saat melakukan
perhitungan pada pemilu 1999 ini mengalami beberapa kendala, yaitu adanya
penolakan dari 27 partai untuk menandatangani berita acara pengitungan suara
dengan dalih Pemilu belum jujur dan adil.
Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua setelah Soeharto jatuh. Meskipun
demikian, pada pemilu kedua ini memiliki perbedaan yang sangat jauh dalam banyak
hal dibandingkan Pemilu 1999. Kemudian, pada Pemilu 2004 diperkenalkan tiga
sistem baru di Indonesia, yaitu sistem proposional dengan daftar calon terbuka untuk
pemilu DPR dan DPRD, system pemilu untuk anggota DPD, dan sistem Pemilu
Presiden dan Wapres secara langsung. Syarat Parpol Peserta Pemilu 2004, bahwa
18

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

tidak semua parpol yang terdaftar dan lolos verifikasi oleh Departemen Kehakiman
dan HAM langsung dapat mengikuti Pemilu 2004 yang telah diatur dalam UU
Nomor 12 Tahun 2003.
Sedangkan, Pelaksanaan Pemilu 2009 tidak jauh berbeda dengan Pemilu
2004, bahwa sistem proposional dengan daftar calon terbuka untuk pemilu DPR dan
DPRD, sistem distrik berwakil banyak untuk anggota DPD, dan sistem pemilihan
presiden dan wapres secara langsung. Perbedaan utamanya adalah pada penetapan
suara terbanyak yang duduk di kursi parlemen. Penetapan ini merupakan hasil dari
putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan penetapan ini faktor nomor urut tidak
terpakai lagi. Penyelenggaraan Pemilu 2014, yaitu secara umum ketentuannya sama
dengan Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Hanya saja, ada tahun 2014 ini ada usulan
adanya pemilu secara serentak.
b. Pelaksanaan Pemilu DPR era Reformasi
Dalam pelaksanaan pemilu DPR pada era reformasi sejak tahun 1999 sampai
sekarang banyak mengalami perkembangan dalam penyelenggaraan pemilunya.
Pemilu pada tahun 1999 diselenggarakan oleh KPU yang unsur keanggotaanya dari
partai politik peserta pemilu dan pemerintah. Pada pemilu 2004, diselenggarakan ole
KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri terdiri dari unsur-unsur non partai. Sama
halnya dengan Pemilu 2004, Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 juga diselenggarakan
oleh KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri terdiri dari unsur-unsur non partai.
Dalam penyelenggaraan Pemilu DPR era Reformasi ini masih terdapat
beberapa kelemahan dalam pelaksanaanya. Kelemahan dalam Pemilu 1999 yang
paling menonjol adalah instabilitas KPU dalam mengambil keputusan-keputusan
penting. Sehingga, KPU Pemilu 1999, tidak berhasil menyelesaikan tugas pentingnya
berupa penetapan hasil pemilu. Sedangkan, kelemahan yang menonjol pada Pemilu
2004 adalah terletak pada keterlibatan anggota KPU detil teknis, seperti proyek
pengadaan tinta dan sebagainya yang berakibat pada jeratan hukum bagi beberapa
anggota KPU. Namun disisi lain, kelebihan dari Pemilu 2004 adalah KPU relatif
berasil menyelenggarakan Pemilu dengan lancar dan berhasil menunaikan seluruh
tugas dan kewenangannya.
19

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

Adapun kelemahan yang menonjol dari Pemilu 2009
profesionalitas

dan

inkonsistensi

KPU

dalam

adalah aspek

penyelenggaraan

pemilu.

Profesionalitas yang lemah dan inkonsistensi KPU berakibat pada tuduhan tidak
independennya KPU dalam menyelenggarakan Pemilu. Sedangkan, Kelemahan dari
Pemilu 2014 adalah dalam pelaksanaan belum dapat terlaksana baik secara
keseluruhan, masih terdapat banyak golput, dan kelemahan dari pihak pelaksana
yaitu KPU.
Sedangkan, ketentuan mengenai peserta pemilu mengalami perubahan,
karena Persyaratan Peserta pemilu dalam Era Reformasi ini semakin ketat dari masa
ke masanya. Pada Pemilu 1999, ketentuan mengenai pendirian partai politik dan
persyaratan menjado peserta Pemilu sangat longgar. Sedangka pada Pemilu 2004
mulai diperketat, dan diperketat lagi pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014. Persyaratan
yang diperketat ini merupakan suatu upaya untuk penyederhanaan partai. Namun,
upaya ini belum sepenuhnya berhasil. Karena masih banyak partai baru yang
bermunculan.
Perubahan juga terjadi pada ambang batas yang dipakai beserta implikasi
dari ambang batas tersebut. Pada Pemilu 1999 menyebutkan bahwa dipakai ambang
batas elektoral yang diatur dalam Pasal 39 UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu.
Sedang, dalam Pemilu 2004 juga dipakai ambang batas elektoral, yang diatur dalam
Pasal 9 UU Nomor 12 Tahun 2003. Dalam Pemilu 2009 terdapat ketentuan mengenai
ambang batas parlemen, yang dikenal dengan parliamentary threshold yang diatur
dalam Pasal 20 Ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2008 hanya berlaku untuk DPR RI.
Dalam Pemilu 2014 sistem parliamentary threshold berlaku secara nasional, baik
DPR RI, DPD, DPRD.
c. Politik Hukum Pemilu DPR era Reformasi
Dasar pelaksanaan Pemilu DPR dari tahun 1999 sampai 2014 era Reformasi terus
mengalami perubahan. Perubahan peraturan perundang-undangan tersebut, yaitu :


Pemilu 1999 dasar UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu



Pemilu 2004 dasarnya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD

20

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

Pemilu 2009 dasarnya UU nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota



DPR, DPD, dan DPRD
Pemilu 2014 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPD



dan DPRD.
Pemilu DPR pada era Reformasi ini mengalami berbagai perubahan dan
perkembangan, yang disebabkan oleh perubahan dasar aturan/perubahan peraturan
perundangan yang menjadi dasarnya. Beberapa perubahan yang terjadi yaitu dari segi
Sistem Pemilu, ketentuan memilih dan jumlah partai, yakni dapat dijabarkan sebagai
berikut.
1) Sistem Pemilu
Pada masa reformasi pemilhan umum legislatif tetap menggunakan sistem
proposional namun terjadi beberapa modifikasi. Pada pemilu tahun 1999 DP tidak
hanya terpaku pada propinsi, tetapi juga sudah memperhatikan kabupaten/kota.
Pada pemilu 2004, DP tidak lagi propinsi tetapi meliputi daerah yang lebih kecil
lagi, dimana masing-masing DP mendapat jatah 3 sampai 12 kursi. Sementara
pemilu 2009 besaran DP untuk DPR diperkecil antara 3 sampai 10 kursi. Pemilu
2004 dan 2009 juga telah menganut sistem proposional daftar terbuka. Namun
menurut Nico Harjanto ( dalam Kacung Marijan:2010:94-95) perubahan tersebut
tidak sepenuhnya terbuka, melainkan lebih kepada sistem proposional semi daftar
terbuka. Hal ini dikarenakan penentuan tentang siapa yang akan mewakili partai
di dalam perolehan kursi di DPR/D tidak didasarkan pada perolehan suara
terbanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut.
2) Jumlah Partai
Berbeda dengan masa orde baru, pada masa reformasi jumlah partai politik
meningkat. Hal ini diakarenakan dianutnya kembali sistem demokrasi di
Indonesia. Seperti apa yang dikatakan oleh Scarrow bahwa kemunculan partaipartai berbanding lurus dengan tumbuhnya proses demokratisasi, khususnya yang
berkaitan dengan kesamaan hak antar warga negara. Pada pemilu 1999, jumlah
partai yang megikuti pemilihan legislatif berjumlah 48 partai politik. Pada pemilu
2004 diikuti 24 partai politik, dan pemilu tahun 2009 diikuti 41 partai politik
nasional dan 6 partai lokal di Aceh.
21

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

Dari penjelasan perbandingan jumlah partai pada masa orde baru dan masa
reformasi terlihat bahwa pada masa orde baru partai peserta pemilu lebih sedikit
dan dibatasi. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan Presiden Soeharto melalui UU
No 3 Tahun 1975, adan adanya pandangan bahwa sistem multipartai dapat
mengganngu kestabilan negara. Sementara itu pada masa reformasi jumlah partai
politik pengikut pemilu lebih banyak, hal ini dikarenakan dianutnya kembali keran
demkrasi di Indonesia.
3) Ketentuan Memilih
Pada pemilu masa reformasi terjadi perubahan dalam memberikan suara
kepada peserta pemilu. Pada pemilu 1999, pemilih dapat memberikan suara
dengan mencoblos lambang partai dan memilih salah satu calon dari partai yang
dipilih. Sementara pada pemilu tahun 2004 dan 2009 selain memilih partai dan
calon partai, masyarakat juga memilih anggota DPD yang dilakukan dengan
mencoblos salah satu angggota DPD dalam surat suara.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa berbeda dengan pemilu pada masa orde
baru, pada pemilu reformasi ini terdapat empat UU yang mengatur tentang
pemilu, yang memiliki beberapa perubahan dan perbedaan sebagai berikut :
1) Lembaga Penyelenggara pada pemilu Orba menitikberatkan anggota pada
pejabat pemerintah, sedangkan pemilu reformasi anggota lebih independen
bebas dari unsur partai dan pemerintah.
2) Sistem pemilu pada pemilu orde baru menganut sistem proposional
tertutup, sementara pemilu reformasi dengan sistem proposional terbuka.
3) Jumlah partai peserta pemilu orde baru ditentukan pemerintah, sementara
pada masa reformasi lebih demokratis.
4) Ketentuan memilih pada masa orde baru hanya mencoblos gambar partai,
sementara pemilu reformasi juga dapat memilih calon perseorangan.
Konfigurasi

politik

hukum

pemilu

pada

masa

reformasi

mengalami

perkembangan seiring dengan berubahnya peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasarnya. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, diketahui bahwa dalam era reformasi
ini, terdapat 4 kali pemilu dengan 4 peraturan perundangan yang berbeda-beda pula.

22

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

Politik Hukum Pemilihan Umum Anggota DPR Tahun 1999
Dasar hukum Pemilihan umum anggota DPR yang diselenggarakan pada 7 Juni
1999 yakni Undang-undang No.3 Tahun 1999 tentang Pemilu dan Undang-undang No.4
tahun 1999 tentang Susduk MPR/DPR.
UU No.3 Tahun 1999 yang merupakan sumber hukum utama pemilu 1999
dikatakan oleh sebagian besar sebagai Undang-undang Pemilu yang lebih responsif
dibandingkan Undang-undang Pemilu sebelumnya pada masa Orde Baru. Bahkan bisa
dikatakan Undang-undang ini merupakan langkah awal bangsa Indonesia menuju
demokratisasi, karena pemilu merupakan salah satu agenda awal yang diusulkan pada
reformasi setelah digulingkannya rezim Orde Baru yang telah menyebabkan hancurnya
demokrasi di Indonesia.
Tahun 1999 merupakan gerbang menuju civil society guna berjalannya
demokratisasi yang diperjuangkan oleh mahasiswa di awal 1997. Pemilu 1999 ini dapat
dikatakan sebagai pemilu yang ditunggu-tunggu oleh

masyarakat, pemilu yang

sebenarnya. Karena seperti yang telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa
pemilu-pemilu sebelumnya yakni pada rezim Orde Baru merupakan legitimasi semu yang
diperoleh oleh penguasa. Maka tidak mengherankan jika partisipasi pada pemilu anggota
DPR mencapai 92 %. Sedangkan untuk presiden dan wakil presiden masih dipilih oleh
MPR.
Dalam UU No.3 Tahun 1999 ini banyak diatur hal-hal baru yang tidak diatur pada
UU sebelumnya, yang menunjukkan mulai berjalannya demokrasi di Indonesia secara
bertahap serta menunjukkan ke-responsif-an UU ini. Diantaranya yaitu diatur mengenai
hadirnya Pemantau Pemilu Independen dalam pelaksanaan Pemilu sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 24 Undang-undang ini. Dimana lembaga pemantau pemilu ini bertugas
untuk memantau jalannya pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil,
sebagaimana asas yang dianut oleh UU Pemilu ini.
UU ini menganut sistem proporsional terbuka. Selain itu, berbeda dari pemilu
rezim Orde Baru dimana penyelenggara pemilu adalah LPU yang dibentuk oleh presiden
dan organisasi dibawahnya meliputi PPI, PPD, PPS dan PPP yang kesemuanya diketuai
23

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

(serta merangkap anggota) oleh pemimpin pada setiap wilayah, yakni Mendagri,
Gubernur, Bupati/Walikota, Camat dan Lurah/Kepala Desa, pada pemilu 1999 ini
penyelenggara pemilu adalah KPU yang keanggotaanya terdiri dari satu orang wakil dari
masing-masing Partai Politik peserta Pemilu dan 5 orang wakil pemerintah (Pasal 9 ayat
(1)). KPU ini membawahi PPI yang juga beranggotakan wakil-wakil dari partai politik
dan pemerintah. (Pasal 12 ayat (2)). Sehingga dapat dikatakan UU ini membuka akses
keterlibatan partai politik dalam pemilu yang pada rezim sebelumnya sangat dibatasi.
Sayangnya Undang-undang ini belum mengatur secara lengkap hal-hal yang
terkait dalam pemilu, yakni hanya terdiri dari 86 Pasal yang mengatur hal-hal mendasar
dari pelaksanaan pemilu. Sehingga terdapat kemungkinan penafsiran pribadi oleh
pemerintah khususnya eksekutif terkait dengan UU ini.
Selain itu, dalam UU ini juga masih menganut sistem pengangkatan anggota
perwakilan. Yakni dalam UU No.4 Tahun 1999 tentang Susduk MPR/DPR dijelaskan
mengenai jumlah kursi anggota DPR pada pemilu 1999 ini, yakni pada Pasal 11 yang
menyebutkan bahwa jumlah anggota DPR adalah 500 orang dengan rincian : anggota
partai politik hasil pemilihan umum sebanyak 462 dan anggota ABRI yang diangkat
sebanyak 38 orang. Model pengangkatan dari ABRI yang merupakan warisan dari rezim
Orde Baru masih ada, walaupun jumlahnya berkurang, yakni hanya 38 orang dari UU
sebelumnya 75 orang.
Pada saat UU No.3 Tahun 1999 tentang pemilu ini dirumuskan, konfigurasi politik
mulai berjalan ke arah demokrasi. Dimana presiden Habibie yang pada saat itu menjabat
menggantikan Soeharto mulai membuka keran-keran kebebasan yang bertanggung jawab
pada segala bidang, termasuk kebebasan pers yang pada rezim sebelumnya dikekang,
kritikan terhadap penguasa dianggap sebagai hal yang halal, serta masyarakat bebas
berekspresi di bidang politik. Kebebasan berekspresi dalam bidang politik ini terlihat dari
munculnya ratusan partai politik hanya dalam waktu satu tahun setelah rezim Soeharto
digulingkan. Walaupun kemudian hanya 48 partai saja yang bisa mengikuti Pemilu.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa pada saat UU ini dibuat, politik
Indonesia sedang berada dalam masa transisi menuju demokrasi setelah selama tiga
24

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

dasawarsa dipimpin oleh rezim otoriter Soeharto. Maka dapat dikatakan bahwa iklim
demokrasi belum sepenuhnya meliputi politik Indonesia pada masa itu. kondisi politik ini
turuut mempengaruhi warna atau karakter produk hukum yang pada saat itu dibuat,
khususnya UU No.3 Tahun 1999 tentang Pemilu ini yang dapat dikatakan sudah cukup
responsif/otonom, namun belum sepenuhnya, misalnya masih adanya mekanisme
pengangkatan anggota DPR serta masih kurang lengkapnya pengaturan dalam UU ini.
Namun bagaimanapun UU ini sudah jauh lebih responsif dan sesuai denngan apa yang
diharapkan. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemilu dalam UU ini sudah jauh
lebih baik dari UU sebelumnya pada masa Orde Baru serta dapat dikatakan UU ini telah
menumbuhkan harapan baru bagi masyarakat untuk pemilu yang benar-benar jujur dan
adil.

Politik Hukum Pemilihan Umum Anggota DPR Tahun 2004
Dasar hukum Pemilihan umum anggota DPR yang diselenggarakan pada 5 April
2004, 5 Juli/20 September 2004 yakni Undang-undang No. UU No. 12 Tahun 2003
tentang Pemilu dan UU No 22 tahun Susduk MPR/DPR/DPRD.
Kebijakan dasar UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif untuk memilih
wakil rakyat dan wakil daerah serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis
kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana di amanatkan UUD 1945.Selain itu untuk mengakomodasi daerah di pilih
anggota DPD yang pesertanya perorangan, dan kebijakan dasar UU No.23 tahun 2003
tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden untuk memilih Presiden dan wakil Presiden
agar memperoleh dukungan yang kuat dari rakyat, sehingga mampu menjalankan fungsifungsi kekuasaanpemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional
sebagaimana di amanatkan UUD 1945.
Konfigurasi politik pemilu pada Pemilu 2003 memiliki karakter hukum yang
responsif. Hal ini ditandai bahwa Perundang-undangan tersebut dibuat di era reformasi
yang menjunjung tinggi semangat kebebasan dan keterbukaan serta demokratisasi baik
pada tataran eksekutif, legeslatif serta masyarakat Indonesia pada umumnya, atas dasar
25

Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII

tersebut dapat ditafsirkan bahwa UU No.12 tahun 2003 termasuk berciri konfigurasi
politik demokratis yang melahirkan karakter hukum yang responsif. Meskipun dalam
praktek proses pembuatan dan pelaksanaannya masih di jumpai penyimpanganpenyimpangan yang mengurangi nilai-nilai keadilan dan demokratisasi.
Terdapat berbagai faktir yang mempengaruhi proses pembuatan UU ini, baik
faktor internal mapuan faktor eksternal. Faktor internal terpenting yang mempengaruhi
proses pembuatan UU No.23 tahun 2003 adalah sebagai berikut :
a. Adanya tuntutan pelaksanaan pemilihan langsung oleh rakyat sejalan dengan era
reformasi yang mengedepankan kebebasan dan keterbukaan serta demokratisasi
menuju kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Adanya pemilihan anggota legislatif,
Presiden dan Wakil Presiden secara langsung di harapkan akan terpilih wakil-wakil
rakyat sehingga memiliki legitimasi yang kuat untuk menjalankan pemerintahan.
b. Mengganti ketentuan yang lama, sebelum UUD 1945 di amandemen, dalam sistem
ketatanegaraan, Presiden dan wakil Presiden di pilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) selaku pemegang kedaulatan rakyat. Setelah di amandemen UUD
1945 dan di tetapkan UU No.23 tahun 2003 Presiden dan wakil Presiden dapat di
pilih secara langsung oleh rakyat yang telah di laksanakan pada tahun 2004.
Adanya kepentingan Politik, dalam proses pembuatan UU No.12 tahun 2003 di
indikasi penuh dengan nuansa politis, sehingga banyak pihak menilai UU No.12 tahun
2003 kurang demokratis dan cenderung memihak kelompok tertentu.Ba

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124