TEACHING MATERIALS WORKSHOP DEVELOPMENT OF ADOLESCENT REPRODUCTIVE HEALTH PROTECTION FOR SENIOR HIGH SCHOOL STUDENTS

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Sistem pendidikan nasional cenderung selalu mengalami perubahan

mengikuti alur penyempurnaan dalam setiap masanya. Hal yang paling baru diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia adalah pendidikan

berkaratkter. Mukhsinudin (2012:1) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah upaya dalam rangka membangun karakter (character building) peserta didik untuk menjadi lebih baik.

Kata karakter sendiri secara etimologis berarti sesuatu yang bersifat

pembawaan yang mempengaruhi tingkah laku, budi pekerti, tabiat, ataupun perangai dan secara terminologis dapat diartikan sebagai sesuatu yang bersifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri seseorang atau suatu kelompok. Dengan begitu, perubahan paradigma pendidikan di Indonesia yang mengedepankan pembentukan karakter sejak dini, seharusnya menjadi solusi yang tepat untuk mengurangi berbagai permasalahan sosial bangsa Indonesia. Namun pada kenyataanya implementasi dari pendidikan

berkarakter ternyata belum menyentuh semua lini kehidupan bermasyarakat. Berbagai permasalahan yang menyangkut tindakan kurang terpuji masih sering kali menghiasi headline media masa atau bahkan berita di televisi. Salah satunya adalah kasus maraknya peredaran video porno atau aborsi yang


(2)

sering dilakukan oleh remaja, khususnya siswa pada jenjang sekolah

menengah. Suryani (2013:1) menyebutkan bahwa dari data kasus aborsi yang tercatat oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPA) ternyata meningkat pada 2012 dari tahun sebelumnya, yakni sebesar 121 kasus, dengan

mengakibatkan 8 orang meninggal. Berbagai permasalahan tersebut muncul akibat dari tidak diberikanya tentang pemahaman yang baik tentang

bagaimana harus menjaga alat reproduksi sampai pada waktu mereka bisa bertanggung jawab terhadap diri sendiri.

Jika dilihat dari kurikulum yang ada pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) khususnya pada mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, maka materi yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi sudah tepat sasaran apabila diberikan kepada para siswa usia remaja khususnya Sekolah

Menengah Atas (SMA). Tetapi permasalahan muncul ketika masih ada beberapa kelemahan pada implementasinya, yaitu dimana materi yang diberikan tidak mencakup remaja pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau bahkan pada jenjang Sekolah Dasar (SD). Para remaja yang duduk pada bangku SD maupun SMP bukanlah seseorang dalam tahapan anak-anak, karena beberapa diantara mereka juga sudah mengalami kematangan secara seksual.

Selain permasalahan pada implementasi pendidikan kesehatan reproduksi, hal lain yang harus diperhatikan adalah dukungan dari sistem yang baik agar pendidikan kesehatan reproduksi menghasilkan perubahan yang signifikan. Dari beberapa kasus yang menimpa para siswa pada jenjang SMP dan SMA


(3)

menjadi indikator bahwa pendidikan kesehatan reproduksi yang sudah dilaksanakan selama ini belum maksimal. Utami (2013:1) menyebutkan dari data yang diperoleh salah satu lembaga survei dunia memaparkan bahwa dari 2.305 orang tua yang ada di negara Amerika Serikat, setidaknya lebih dari 12,47 persen orangtua merasa bahwa sekolah yang seharusnya bertanggung jawab penuh untuk memberikan pendidikan seks pada anak. Dari data tersebut, terlihat bahwa sesungguhnya orang tua yang tinggal pada negara maju sekalipun masih menganggap pendidikan seksual harus terintegrasi dalam pendidikan sekolah dan menjadi tanggung jawab mereka. Selain itu, rasa malu atau sungkan dalam mengajarkan pendidikan seks masih menjadi alasan utama para orang tua untuk tidak mengajarkan kepada para anak-anak mereka. Salah satu penyebab kurang berhasilnya implementasi pendidikan kesehatan reproduksi berkaitan erat dengan aspek perkembangan teknologi.

Proses perkembangan teknologi yang pesat, mendorong pertukaran informasi yang cepat dari seluruh belahan dunia. Perkembangan tersebut akan

mengakselerasi timbulnya akulturasi budaya dari berbagai belahan dunia. Akulturasi budaya yang tidak tersaring dengan baik, akan menimbulkan konflik negatif pada kebudayaan asli yang diserangnya. Ramli dalam Virdhani (2013:2) menyatakan bahwa penggunaan internet yang saat ini sudah sangat meluas, dapat memberikan dampak baik serta dampak buruk bagi moral bangsa. Kebiasaan masyarakat global yang cenderung konsumtif dan destruktif membentuk karakter budaya yang instan tanpa banyak

pertimbangan. Akses dari berbagai macam peralatan teknologi yang memungkinkan sambungan internet akan banyak menularkan informasi


(4)

negatif jika si pengguna tidak memiliki cukup pengetahuan atas perihal yang didapatkanya. Contoh nyata dari penyalahgunaan internet adalah peredaran konten porno yang saat ini marak terjadi. Ada dua jenis sumber penyebaran konten pornografi yaitu yang bersifat komersial dan non komersial. Konten pornografi yang bersifat komersial berasal dari provider yang sengaja dibuat dan atau didistribusikan untuk kepentingan komersial atau mendapatkan keuntungan. Sedangkan konten pornografi non komersil yang dibuat bukan tujuan untuk dikomersilkan dan bersifat pribadi yang secara sengaja atau tidak sengaja disebarkan.

Nurlaila (2013:1) mengemukakan bahwa berdasarkan hasil survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) pada 2007 lalu menemukan, perilaku seks bebas bukanlah sesuatu yang aneh dalam kehidupan remaja Indonesia. Film-film dan sinetron yang beredar di masyarakat saat ini secara tidak langsung mengajarkan generasi muda untuk mengikuti alur dan arus dari skenario untuk diterapkan pada kehidupan mereka. Adegan ciuman,

perselingkuhan, percintaan dan segala macam yang menjurus pada pergaulan bebas seakan-akan merupakan segala sesuatu yang lumrah untuk dilihat oleh siapapun dan dimanapun. Diperlukan sikap tegas dari seluruh komponen pemerintah untuk mengatur regulasi dari pemutaran film atau sinetron tersebut, berkaitan dengan waktu, rating dan peruntukan penayangannya. Selain film dan sinetron yang beredar, banyak iklan yang juga menyiratkan kebiasaan buruk dalam menyiarkan produk yang berkaitan dengan sesuatu yang bersifat erotis dan porno. Bukan hal yang mustahil jika alam bawah sadar mereka akan cepat sekali tertanam oleh segala sesuatu yang


(5)

berhubungan dengan seksualitas. Pandangan mereka sebagai seorang remaja dan memiliki tingkat keingin-tahuan besar akan merasa semakin tertantang pada hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas.

Rajab dalam Muhammad (2011:2) menyatakan bahwa kasus pemerkosaan yang terjadi di ibukota cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2010 ke tahun 2011 akibat mudahnya mengakses konten yang bersifat pornografi dalam penggunaan internet. Salah satu cara mudah untuk memenuhi rasa keingintahuan tersebut adalah dengan cara melihat konten porno melalui alat teknologi canggih seperti telepon genggam, laptop dan peralatan lain yang mendukung kegiatan tersebut. Konten porno bisa mereka dapatkan melalui internet maupun distribusi normal seperti meminta video dari teman atau membelinya dari penjual kaset yang banyak terdapat disekitar lingkungan kita. Dengan begitu, rasa keingintahuanya terhadap seks akhirnya

menghantarkan mereka pada tindakan seks pranikah atau malah tindakan kriminal seperti pelecehan seksual.

Kecenderungan itu juga yang kemudian merubah pergaulan generasi muda yang tergolong masih di bawah umur. Mulai dari taman kanak-kanak hingga remaja puber, mereka sudah mengenal istilah pacaran, ciuman dan

sebagainya. Kegiatan anak-anak yang padat di sekolah ternyata tidak cukup membekali mereka dan mengalihkan perhatian mereka pada sikap perilaku seks bebas. Bagi beberapa orang tua, membekali mereka melalui berbagai kegiatan merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningggalkan perilaku-perilaku negatif yang berkembang saat ini. Namun jika diperhatikan


(6)

lebih lanjut, kepadatan akan kegiatan terstruktur tersebut cenderung

membentuk pola yang menimbulkan kebosanan terhadap si anak, sehingga muncul perasaan akibat kurangnya kasih sayang dari orang tuanya, karena terlalu jarang bertemu akibat kesibukan. Senada dengan yang diungkapkan oleh Agustina (2012:2) yang menjabarkan hasil survei dari Ipsos bahwa anak-anak pada saat ini lebih cepat dewasa jika dibandingkan dengan beberapa tahun silam. Laporan ini juga diperkuat dari survei di berbagai negara yang melibatkan hampir 7000 orang tua dengan anak-anak dibawah usia 18 tahun dan dilakukan dalam jangka waktu 6 minggu. Hasil penelitian tersebut menghasilkan data bahwa sebanyak 64% responden menyatakan bahwa seringkali mereka mendambakan perasaan bebas yang mereka rasakan dulu sewaktu kecil. Maka kemudian munculah perasaan untuk mengaktualisasikan diri dengan mencari perhatian dan kasih sayang dari lawan jenis agar dapat saling mencurahkan segala macam isi hati dan permasalahan dengan cara berpacaran. Kegiatan tersebut mereka lakukan karena anak-anak tidak terbiasa berkumpul dengan orang tua mereka dalam waktu yang cukup dimana orang tua terkadang terlalu sibuk dengan pekerjaan.

Dari awal mula berpacaran yang tidak diawasi dan diberikan penjelasaan mengenai pola menjalin hubungan yang baik akan menimbulkan

permasalahan yang lebih serius. Maka kemudian terjadilah hubungan badan atau perilaku seksual yang dimulai dari ciuman, petting hingga koitus. Etika dan norma moral yang tidak diajarkan sejak dini, akan terasa kurang

bermakna setelah hal yang tidak diinginkan terjadi. Larasati (2013:1) mengungkapkan hasil survei yang dilakukan di 12 kota besar di Indonesia


(7)

oleh Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan jumlah responden lebih dari 4500 remaja dari SMP dan SMA didapatkan data 97 % responden mengaku pernah menonton video porno, 93,7 % dari responden mengaku pernah ciuman, petting dan oral, 62 % responden mengaku sudah tidak perawan, dan 21,2 % siswi SMU mengaku sudah pernah mengalami aborsi. Walaupun responden dari survei tersebut tidak bisa disebut sebagai

perwakilan dari siswa dan siswi SMP dan SMU di seluruh negara Indonesia, namun dari kenyataan tersbut menyiratkan permasalahan yang berkaitan dengan pengetahuan mereka mengenai kesehatan reproduksi.

Listyaningsih (2012:1) mengungkapkan hasil survei yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2008, menyatakan bahwa dari 14.343 orang remaja Indonesia yang berpacaran, 5,4% telah melakukan hubungan seks pranikah. Kemudian dari jumlah itu, 11,2% di antaranya berakhir dengan kehamilan dan 67,8% remaja hamil tidak meneruskan kehamilannya dengan cara pengguguran kandungan. Permasalahan yang tadinya dianggap sebagai perihal kecil dan lumrah dimana semua orang beranggapan bahwa hal tersebut hanya dilakukan oleh sebagian kelompok kecil saja atau bisa dikatakan anomali, ternyata menjadi gaya hidup baru dikalangan remaja. Hingga akhirnya perilaku seks pranikah yang dilakukan oleh para remaja dan anak-anak menjadi bencana kemanusiaan.

Permasalahan baru yang akan muncul dari perilaku seks pranikah adalah penyebaran penyakit seksual dan juga dampak psikis bagi pelakunya. Sebut saja HIV/AIDS, Gonore, Sifilis, herpes genitale, klamidia dan masih banyak


(8)

yang lainya, merupakan hal yang susah untuk ditanggulangi. Nahri (2013:1) menyatakan bahwa ada beberapa dampak yang terjadi karena perilaku seks pranikah antara lain bagi perempuan beresiko terkena penyakit kanker serviks, Kehamilan Tidak Diingikan (KTD), gangguan pada kesuburan dan lain sebagianya. Sedangkan dampaknya secara umum akan beresiko terkena HIV/AIDS, tertular Penyakit Menular Seksual (PMS) dan munculnya gangguan mental terhadap pengalaman tersebut.

Dari penjabaran tersebut terlihat bahwa perilaku seks pranikah akan

membawa banyak dampak negatif bagi para pelakunya hingga berujung pada penyakit yang menghinggapi pelaku tersebut. Beberapa diantara penderita tersebut cenderung menutupi dan akibatnya berpengaruh pada kejiwaan mereka. Selain itu, melakukan hubungan seksual pranikah biasanya

menciptakan kenangan buruk atau traumatik kepada para pelakunya. Hal ini bisa dikarenakan atas penyesalan ketika memilih orang yang salah saat pertama kali melakukanya. Hal lain yang lebih mengerikan adalah timbulnya rasa ketagihan hingga tidak mampu mengontrol diri sendiri. Penyimpangan perilaku kejiwaan tersebut, sedikit banyaknya akan berdampak pula pada kehidupan sosial bermasyarakat. Rasa malu yang sudah terkalahkan oleh rasa hasrat dan keinginan, membuat pelaku seks pranikah tersebut mencari

kepuasan atau pemenuhan atas pikiranya. Masalah lain yang juga bisa muncul adalah kegiatan jual beli seks dan pelarian kekecewaan dengan bergonta-ganti pasangan.


(9)

Kurikulum pendidikan kesehatan reproduksi yang terintegrasi pada

pendidikan jasmani dan kesehatan ternyata belum memberikan dampak yang signifikan bagi pengetahuan anak. Dikutip dari Purwanti (2011:1) yang menjabarkan hasil riset yang dilakukan oleh Sexual Wellbeing Global Survei yang dilansir Durex di Jakarta (30/11) terungkap 82 persen orang Indonesia membutuhkan informasi yang benar mengenai penyakit HIV/AIDS dimana survei tersebut dilakukan secara global dengan melibatkan 1.015 orang di Indonesia.

Terlihat bahwa kecenderungan orang untuk mempelajari seluk beluk

mengenai pendidikan kesehatan reproduksi belum dapat diakomodasi dengan baik oleh pemerintah. Padahal jika dirunut kembali, berdasarkan KTSP tahun 2006, pendidikan tentang kesehatan reproduksi sudah mulai diajarkan pada kelas V SD dalam mata pelajaran Penjasorkes dan IPA. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Harianti dalam Suhartono (2011:1) bahwa dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Pendidikan Jasmanani dan Kesehatan sudah dimasukkan muatan terkait dengan pendidikan seks dan reproduksi namun Kemendiknas tidak menggunakan istilah pendidikan seks, karena kurang tepat digunakan di Indonesia dan dikhawatirkan mengandung konotasi berbeda. Dari pendapat tersebut terlihat bahwa masih terdapat kehati-hatian dari dinas terkait untuk menyampaikan materi tersebut. Akibatnya sosialisasi dari kurikulum pendidikan seks tidak terjadi dengan maksimal dan menimbulkan kegamangan pada tingkat sekolah. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru Penjasorkes jenjang Sekolah Menengah Atas didapatkan fakta bahwa materi mengenai pendidikan


(10)

kesehatan reproduksi belum dapat mereka sampaikan secara maksimal karena berkaitan dengan beberapa permasalah. Kurangnya bahan ajar mengenai materi, pandangan siswa dan masyarakat mengenai materi kesehatan reproduksi dan penempatan urutan materi pada standar isi merupakan beberapa pokok permasalahan mengenai terkendalanya penyampaian materi pendidikan kesehatan reproduksi.

Dari beberapa kenyataan tersebut, maka sudah selayaknya kita sebagai seorang pendidik dan juga orang tua merasakan adanya fenomena yang berdampak terhadap kelangsungan generasi muda sekarang. Dari pemikiran tersebut, munculah ide untuk membuat kurikulum workshop kesehatan

reproduksi beserta bahan ajarnya yang diperuntukan bagi pelajar pada jenjang sekolah menengah. Dari hasil survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga atau instansi yang dipaparkan di atas, sudah cukup untuk membuka wawasan kita bahwa pada masa anak-anak, rentan terhadap perilaku seks pranikah. Oleh karena itu, maka penelitian ini mengambil judul “Pengembangan Bahan Ajar Workshop Perlindungan Kesehatan Reproduksi Remaja Siswa Sekolah Menengah Atas “. Dengan pembelajaran melalui bahan ajar tersebut diharapkan siswa akan mengalami perubahan kognisi yang berakibat pada afeksi mereka mengenai kegiatan seksual yang baik dan benar.

Senada dengan yang diungkapkan oleh Dewey dalam Widodo (2007:94) tentang konsepsi pendidikan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk

membimging murid melalui dorongan dan interes spontanya, untuk mencapai pertumbuhan melalui partisipasinya, mengembangkan kapasitasnya untuk


(11)

beradaptasi secara elastis dalam masyarakat dan belajar merekonstruksi pengalamanya guna mengikuti perkembangan masyarakat. Dengan begitu, siswa yang yang mengalami perubahan pengalaman akan bertransformasi dengan baik, sehingga dapat menjadi duta pengetahuan bagi teman-teman lainya.

1.2Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang permasalahan maka ada beberapa pokok masalah yang diidentifikasikan sebagai berikut :

1) Bahan ajar kesehatan reproduksi dalam mata pelajaran Penjasorkes dan IPA masih terbatas.

2) Pemahaman siswa tentang materi kesehatan reproduksi belum optimal. 3) Adanya keterbatasan pengetahuan guru dan orang tua siswa dalam

mengajarkan kesehatan reproduksi bagi remaja

4) Budaya Indonesia cenderung menganggap tabu membahas permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi

1.3Pembatasan Masalah

Berdasarkan pada identifikasi masalah yang sudah dijabarkan, maka batasan masalah penelitian kali ini adalah :

1) Perlunya mengembangkan bahan ajar kesehatan reproduksi yang sudah dibuat sebelumnya dengan mendesain kembali struktur materi yang akan disampaikan.


(12)

2) Perlunya menyajikan bahan ajar kesehatan reproduksi yang telah dikembangkan untuk diimplementasikan pada jenjang sekolah menengah atas.

3) Perlunya tes penguasaan konsep siswa setelah mendapatkan pembelajaran mengenai kesehatan reproduksi

1.4Rumusan Masalah

Dari beberapa uraian di atas, maka rumusan masalah yang diambil dalam penelitian kali ini adalah :

1) Bagaimanakah potensi materi yang diambil dari BSNP dan kondisi bahan ajar pendidikan kesehatan reproduksi yang telah digunakan di sekolah menengah atas ?

2) Bagaimanakah proses mengembangkan desain bahan ajar untuk workshop kesehatan reproduksi bagi remaja tingkat sekolah menengah atas ?

3) Bagaimanakah efektifitas bahan ajar untuk workshop perlindungan kesehatan reproduksi ?

4) Bagaimanakah efisiensi bahan ajar untuk workshop perlindungan kesehatan reproduksi ?

5) Bagaimanakah daya tarik bahan ajar untuk workshop perlindungan kesehatan reproduksi ?


(13)

1.5Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilakukanya penelitian kali ini adalah antara lain :

1) Mendeskripsikan potensi dan kondisi bahan ajar materi kesehatan reproduksi.

2) Mengembangkan desain pengembangan bahan ajar materi kesehatan reproduksi untuk guru dan siswa.

3) Menganalisis efektifitas bahan ajar workshop perlindungan kesehatan reproduksi.

4) Menganalisis efisiensi bahan ajar workshop perlindungan kesehatan reproduksi.

5) Menganalisis daya tarik bahan ajar workshop perlindungan kesehatan reproduksi.

1.6Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat penelitian pengembangan ini adalah

1.6.1 Secara Teoritis

1) Manfaat teoretis adalah mengetahui penguasaan konsep, teori, prosedur dalam pemanfaatan media belajar khususnya dalam kawasan pengembangan teknologi pendidikan

2) Menjadi sumbangan pengetahuan pada desain pengembangan kurikulum


(14)

1.6.2Secara Praktis

1) Produk hasil penelitian yang akan dikembangkan, yaitu dapat diterapkan langsung dan terintegrasi dengan mata pelajaran Penjasorkes atau IPA terpadu

2) Dapat digunakan sebagai referensi untuk melakukan penelitian pengembangan selanjutnya.

1.7 Produk yang Dihasilkan

Produk yang dihasilkan pada penelitian pengembangan kali ini adalah bahan ajar untuk workshop perlindungan kesehatan reproduksi disajikan dalam bentuk media cetak dan elektronic flash bagi remaja pada jenjang Sekolah Menengah Atas.


(15)

II. KAJIAN PUSTAKA

2.1Kajian Pustaka

2.1.1 Desain Kurikulum

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai kegiatan tertentu. Kurikulum secara umum akan berisikan tentang kompetensi yang akan dicapai oleh siswa. Aqib (2010:38) mendefinisikan

kurikulum dalam beberapa pengertian antara lain:

“(a) kurikulum adalah pendidikan yang harus ditempuh oleh siswa dalam jangka waktu tertentu untuk memperoleh ijazah; (b)

kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa untuk memperoleh pengetahuan; (c) kurikulum adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk membelajarkan siswa”

Dari beberapa pengertian mengenai kurikulum tersebut, maka pembuatan kurikulum selayaknya harus disesuaikan dengan

karakteristik baik dari siswa dan lingkungan yang melingkupi siswa. Dengan mendesain kurikulum, maka dapat memaksimalkan potensi yang ada pada setiap siswa. Seperti yang telah dirumuskan oleh UNESCO (1998) menjelaskan bahwa untuk melaksanakan empat perubahan besar di pendidikan tinggi tersebut, dipakai dua basis


(16)

landasan, berupa Empat pilar pendidikan yaitu (i) learning to know, (ii) learning to do, (iii) learning to live together (with others), dan (iv) learning to be. Dari panduan landasan tersebut, jelas bahwa tujuan dari dibentuknya pembelajaran adalah untuk memberikan perubahan perilaku terhadap siswa dengan memberikan treatment atau perlakuan yang sebelumnya harus sudah direncanakan.

Secara umum kurikulum memiliki beberapa bagian yang merumuskan tujuan, isi dan hasil yang akan dicapai sebagai akibat dari proses pembelajaran yang berlangsung. Karena sifat dari kurikulum yang berfungsi untuk memaksimalkan setiap potensi siswa, maka kurikulum selalu mengalami perubahan atau pembaharuan. Perubahan atau pembaharuan tersebut, yang kemudian diterapkan dalam dunia pendidikan secara umum dan sekolah secara khusus harus dapat membuat perubahan kepada siswa. Senada dengan yang dikemukakan Widodo (2007:33) bahwa :

“Sekolah tidak hanya harus memperkenalkan murid-murid kepada

berbagai skill dan kekuatan-kekuatan yang diperlukan agar selalu survive atau untuk self-realization dalam budaya kita, tetapi pendidikan juga harus bekerja sebagai penyatuan kekuatan dalam membentuk keyakinan dan sikap-sikap yang menjadikan koheren dengan ketentuan-ketentuan cara hidup yang demokratis”

Pendapat tersebut dapat diartikan sebagai hal yang dapat dilakukan untuk mengimbangi lingkungan pada siswa yang setiap saat juga selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu sebagai akibat dari

pergerakan dinamis suatu masyarakat. Jika kurikulum yang digunakan merupakan rumusan atas keadaan masyarakat masa lalu, maka


(17)

kurikulum tersebut tidak sejalan dengan perkembangan zaman. Akibat dari hal tersebut maka sudah pasti berdampak pada pengetahuan dari siswa terbentuk sebagai masyarakat terisolasi dan kurang mengetahui perkembangan ilmu pada saat ini.

Dalam dunia pendidikan, ada beberapa model konsep kurikulum yang dikembangkan oleh para ahli dan sering diaplikasikan ke dalam proses pengembangan pembelajaran. Suhartoni (2013:1) mengemukakan empat macam model konsep kurikulum yang digunakan diantaranya kurikulum subjek akademis, kurikulum rekonstruksi sosial, kurikulum teknologis dan kurikulum humanistik. Kurikulum subjek akademis ini merupakan desain kurikulum yang lebih mengutamakan pada isi materi (subject matter) yang disampaikan kepada para siswa. Dengan begitu target utama yang harus dicapai pada desain kurikulum model subjek akademis ini adalah pengusaan yang sebanyak-banyaknya kepada penguasaan materi ajar oleh siswa. Berbeda dengan kurikulum rekonstruksi sosial, kurikulum ini lebih mengedepankan bagaimana pembelajaran memiliki peran penting dan aplikatif dalam dunia nyata.

Target utama pembelajaran dengan menggunakan kurikulum rekonstruksi sosial ini adalah kemampuan dari siswa untuk

mengaplikasikan apa yang ada dalam pembelajaran dalam dunia kerja agar mereka dapat berkembang sesuai dengan harapan kemajuan zaman dan berpartisipasi langsung dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya adalah kurikulum teknologis. Kurikulum teknologis mengedepankan


(18)

rekayasa (engineering) yang diaplikasikan dalam pendidikan untuk mencapai tujuan yang maksimal. Teknologi yang dimaksudkan tidak hanya berupa teknologi canggih, namun bisa juga teknologi terapan atau teknologi sederhana. Dengan menggabungkan antara kedua

komponen tersebut, maka diharapkan pembelajaran berlangsung dengan efektif dan efisien. Selanjutnya adalah desain kurikulum humanistik yaitu desain kurikulum ini bertumpu pada proses pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan siswa. Dengan begitu, siswa mampu memaksimalkan semua potensi yang ada, sedangkan guru atau pendidik akan berfungsi sebagai fasilitator dan memberikan pengarahan pada saat pembelajaran berlangsung.

Seperti pada penelitian kali ini, penggunaan kurikulum teknologis menjadi salah satu dasar pengembangan penelitian mengenai materi pendidikan kesehatan reproduksi. Wahyudi (2009:5) menyatakan bahwa kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan teknologis, memiliki tujuan pada pencapaian kompetensi. Desain ini merupakan

penggabungan antara dunia pendidikan dan filosofi teknologi yang mempermudah setiap kegiatan manusia. Dalam pelaksanaanya, teknologi bukan hanya hal-hal canggih yang berhubungan dengan elektronik ataupun listrik. Senada dengan yang diungkapkan oleh Citra (2011:2) bahwa ciri utam dari kurikulum teknologi adalah adanya pengarahan tujuan pada penguasaan kompetensi dan perekayasaan


(19)

metode dalam pembelajaranya. Dengan begiru, fungsi penggunaan kurikulum ini adalah untuk mengakomodir kemajemukan yang terjadi pada proses pembelajaran, sehingga para siswa mampu memaksimalkan potensi yang ada pada dirinya. Teknologi memiliki artian luas sebagai cara atau alat yang dapat memudahkan dan mengefisiensikan pekerjaan dari manusia. Dengan kata lain kurikulum teknologi merupakan

rancangan kurikulum yang menggunakan aplikasi teknologi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran atau pendidikan yang

berlangsung. Sebagai contohnya seperti penggunaan teknologi internet dalam pembelajaran jarak jauh, ketika siswa tidak harus selalu

menghadiri kelas reguler namun siswa masih bisa bertatap muka dengan dosen atau gurunya melewati video conference. Atau bahkan mungkin bisa saja yang lebih sederhana yaitu menggunakan modul dalam memahami suatu materi pelajaran. Sifat modul menjadi komplementer dalam hal memaksimalkan proses pembelajaran yang terjadi karena modul membantu siswa dalam proses transfer

pengetahuan.

Pada kondisi nyata, teknologi canggih berkembang pesat melampaui ekspektasi hidup masyarakat. Setiap kali arus waktu mengalir, maka dengan waktu yang hampir bersamaan akan muncul penemuan-penemuan baru. Prayitno (dalam Maryati, 2012:1) mengungkapkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-46 di dunia dalam bidang kemajuan teknologi. Penilaian tersebut didasari pada tingkat kesiapan


(20)

teknologi meliputi inovasi teknologi dan teknologi siap pakai. Dari paparan tersebut, maka selayaknya sebagai pendidik juga harus

memberikan pengetahuan yang baik tentang bagaimana memanfaatkan teknologi baik dari yang sederhana hingga yang kompleks dan

mengaplikasikanya ke dalam dunia pendidikan, sehingga proses

learning to learn yang juga merupakan salah satu pilar pendidikan yang dipaparkan oleh UNESCO akan tertanam dan menjadi kebiasaan baik demi menghadapi kehidupan dimasa depan. Melalui aplikasi teknologi dalam pendidikan, maka secara otomatis konsep-konsep baru akan bermunculan sesuai dengan perkembangan zaman. Pembentukan dan penguasaan kompetensi dari siswa lebih maksimal didapatkan dan bukan hanya tradisi atas pengetahuan turun-temurun yang mungkin saja sudah tidak relevan lagi dengan kehidupan masyarakat saat ini. Dengan bantuan teknologi, pembelajaran akan selalu berpusat pada siswa. Mereka bebas mengakses berbagai macam sumber belajar dengan memanfaatkan sumber daya teknologi yang mereka miliki, sehingga guru hanya bersifat sebagai director learning.

Pengintegrasian teknologi dalam kurikulum tentu saja bukan hal yang mudah. Pemilihan setiap jenis teknologi harus merupakan pilihan atas dasar kecocokan terhadap kondisi siswa, lingkungan dan sumber daya yang tersedia. Selain itu, tuntutan masyarakat global yang haus akan teknologi informasi harus menjadi salah satu pertimbangan matang mengapa kurikulum teknologi cocok digunakan untuk saat ini. Senada dengan yang dikemukakan oleh Inglish dalam Hamalik (2009:35)


(21)

dimana salah satu fungsi kurikulum adalah fungsi penyesuaian atau the adjastive of adaptive function. Dengan begitu, kurikulum harus

membentuk penggunanya untuk bisa beradaptasi dengan dunia nyata dan seperti kita tahu bahwa dunia nyata sangatlah dinamis dan penuh perubahan. Oleh karena itu, seorang perancang kurikulum akan membentuk watak dari penggunanya menjadi individu yang terbuka atas perubahan dinamika kehidupan. Pengunaan desain kurikulum ini dianggap cocok untuk menyampaikan pesan atau informasi kepada siswa. Dalam proses pembelajaranya, penggunaan modul menjadi bahan dasar yang harus diberikan kepada siswa. Selanjutnya, siswa diberikan pemahaman dengan beberapa cuplikan berita video dan juga pengintegrasian microsoft office power point dalam pelaksanaan presentasinya.

Sebagai proses follow up, siswa akan diberikan alamat website/blog peneliti untuk dapat mengakses berbagai macam informasi mengenai pendidikan kesehatan reproduksi melalu program macromedia flash. Dengan begitu, proses penyampaian informasi tidak terhenti sampai pada saat selesai sosialisasi, namun bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun dengan bantuan koneksi internet. Guru tidak hanya dilibatkan dalam proses sosialisasi, namun pada proses follow up tersebut, guru bertindak sebagai fasilitator. Hingga pada akhirnya semua integrasi dan pemanfaatan kurikulum teknologi dalam proses sosialisasi kesehatan reproduksi memberikan dampak yang signifikan bagi para siswa pada penguasaan konsep mereka.


(22)

2.1.2 Penelitian Pengembangan Model Borg and Gall

Proses penelitian dan pengembangan menggunakan desain Borg and Gall. Tujuan dari desain pengembangan model ini adalah untuk menguji sebuah kelayakan produk dengan panduan sistematika langkah-langkah yang telah disusun secara bertahap. Borg & Gall, 1983:772

mengungkapkan bahwa

“Educational research and development (R & D) is a process used to develop and validate educational products. The steps of this process are usually referred to as the R & D cycle , which consists of studying research findings pertinent to the product to be developed, developing the product based on the finding, field testing it in the setting where it wil be used eventually, and revising it to correct the deficiencies found in the field testing stage. In indicate that product meets its behaviorally defined objectives”.

Penjabaran tersebut akan berarti sebagai berikut “Riset dan

pengembangan bidang pendidikan (R & D) adalah suatu proses yang yang digunakan untuk mengembangkan dan mengesahkan produk bidang pendidikan. Langkah-langkah dalam proses ini pada umumnya dikenal sebagai siklus R & D, yang terdiri dari: pengkajian terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan validitas komponen-komponen pada produk yang akan dikembangkan,

mengembangkannya menjadi produk, pengujian terhadap produk yang dirancang, dan peninjauan ulang dan mengoreksi produk tersebut berdasarkan hasil uji coba. Hal itu sebagai indikasi bahwa produk temuan dari kegiatan pengembangan yang dilakukan mempunyai obyektivitas.”


(23)

Dari definisi tersebut, terlihat bahwa ada beberapa tahapan yang dibuat agar model penelitian pengembangan ini akan menghasilkan sebuah produk dengan kelayakan yang dapat dipertanggung jawabkan. Artinya, produk yang dihasilkan merupakan produk pembelajaran yang telah melalui serangkaian uji coba. Ujia coba yang dilakukan bukan semata-mata sebagai syarat saja, namun untuk memastikan bahwa produk yang akan digunakan dan diaplikasikan kelak memiliki nilai guna dengan efisiensi dan efektifitas yang sesuai dengan harapan awal. Borg & Gall (1983) juga menyatakan bahwa prosedur penelitian pengembangan pada dasarnya terdiri dari dua tujuan utama, yaitu mengembangkan produk dan menguji keefektifan produk dalam mencapai tujuan. org dan Gall (1983: 775) mengajukan serangkaian tahap yang harus ditempuh dalam pendekatan ini, yaitu

“research and information collecting, planning, develop preliminary form of product, preliminary field testing, main product revision, main field testing, operational product revision, operational field testing, final product revision, and

dissemination and implementation”.

Secara konseptual, pendekatan penelitian dan pengembangan mencakup 10 langkah umum, sebagaimana diuraikan Borg & Gall (1983:775), sebagai berikut :


(24)

Gambar 1. Prosedur pengembangan Borg & Gall (Sumber: Borg & Gall, 1983:775)

Jika diuraikan lebih lanjut, maka langkah-langkah dari pengembangan model Borg and Gall adalah sebagai berikut.

1. Research and information collecting; Melakukan penelitian pendahuluan dan pengumpulan data awal untuk kaji pustaka, pengamatan kelas, identifikasi permasalahan dan merangkum permasalahan termasuk dalam langkah ini antara lain studi literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, dan persiapan untuk merumuskan kerangka kerja penelitian;

2. Planning; Melakukan perencanaan yaitu identifikasi dan definisi keterampilan, perumusan tujuan, dan uji ahli atau ujicoba pada skala kecil, atau expert judgement, termasuk dalam langkah ini

Research and informational collection (1)

Develop preliminary form

of product (3)

Preliminary field testing (4) Planning (2)

Main product revision (5) Main field testing

(6) Operational product revision (7) Operational field testing (8) Final product revision (9) Dissemination and implementation (10)


(25)

merumuskan kecakapan dan keahlian yang berkaitan dengan permasalahan, menentukan tujuan yang akan dicapai pada setiap tahapan, dan jika mungkin/diperlukan melaksanakan studi kelayakan secara terbatas;

3. Develop preliminary form of product; yaitu Mengembangkan jenis/bentuk produk awal meliputi penyiapan materi pembelajaran, penyusunan buku petunjuk, dan perangkat evaluasi mengembangkan bentuk permulaan dari produk yang dihasilkan. Termasuk dalam langkah ini adalah persiapan komponen pendukung, menyiapkan pedoman dan buku petunjuk, dan melakukan evaluasi terhadap kelayakan alat-alat pendukung;

4. Preliminary field testing;, yaitu melakukan ujicoba lapangan awal dalam skala terbatas. Pada langkah ini pengumpulan dan analisis data dapat dilakukan dengan cara wawancara, observasi atau angket; 5. Main product revision; yaitu melakukan perbaikan terhadap produk

awal yang dihasilkan berdasarkan hasil ujicoba awal. Perbaikan ini sangat mungkin dilakukan lebih dari satu kali, sesuai dengan hasil yang ditunjukkan dalam ujicoba terbatas, sehingga diperoleh draft produk (model) utama yang siap diujicoba lebih luas;

6. Main field testing; Melakukan uji coba lapangan utama, dilakukan terhadap beberapa sekolah.

7. Operational product revision; yaitu melakukan


(26)

sehingga produk yang dikembangkan sudah merupakan desain model operasional yang siap divalidasi;

8. Operational field testing; yaitu langkah uji validasi terhadap model operasional yang telah dihasilkan. Melakukan uji lapangan

operasional (dilakukan terhadap 10-30 sekolah, melibatkan 40-200 subjek), data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan kuisioner

9. Final product revision; yaitu melakukan perbaikan akhir terhadap model yang dikembangkan guna menghasilkan produk akhir (final); 10.Dissemination and implementation; yaitu langkah menyebarluaskan

produk/model yang dikembangkan. Mendesiminasikan dan mengimplementasikan produk, melaporkan dan menyebarluaskan produk melalui pertemuan dan jurnal ilmiah, bekerjasama dengan penerbit untuk sosialisasi produk untuk komersial, dan memantau distribusi dan kontrol kualitas

Skema tersebut dirujuk dari the major steps in the R & D cycle Borg dan Gall. Pengadaptasiannya diwujudkan dalam bentuk perencanaan teknis sasaran dan jenis kegiatan yang dilakukan dalam tiap tahapnya. Langkah-langkah tersebut bukanlah hal baku yang harus diikuti, langkah yang diambil bisa disesuaikan dengan kebutuhan peneliti. Ini artinya, kesepuluh langkah tersebut dapat diadaptasikan dengan kondisi dan keadaan dari masing-masing tempat dimana penelitian


(27)

2.1.3 Pendidikan Kesehatan Reproduksi

Pendidikan kesehatan reproduksi merupakan salah satu proses pendidikan yang bertujuan untuk memberikan pemahaman terhadap siswa mengenai pentingnya menjaga dan merawat alat reproduksi mereka. Hariyanto (2010:1) mengemukakan pendapat bahwa pengertian kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan kesehatan yang sempurna baik secara fisik, mental, dan sosial dan bukan semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Sedangakan menurut hasil ICPD 1994 di Kairo definisi kesehatan reproduksi adalah keadaan sempurna fisik, mental dan kesejahteraan sosial dan tidak semata-mata ketiadaan penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsi dan proses. WHO mendefinisikan kesehatan reproduksi sebagai suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya.

Dyan (2009:2) menjelaskan bahwa Tujuan khusus dari pengembangan sistem pendidikan dan pelayanan Kesehatan Reproduksi bagi remaja adalah untuk melindungi remaja dari resiko pernikahan usia dini, kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi, Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV/AIDS dan kekerasan seksual. Selain tujuan khusus, maka tujuan lain dari dilakukannya pendidikan kesehatan reproduksi ini


(28)

adalah agar siswa atau siswa memiliki informasi yang benar mengenai sistem, fungsi dan proses reproduksi pada alat reproduksi mereka. Dalam perananya, pendidikan kesehatan reproduksi ini mencakup permasalahan-permasalahan yang terjadi jika mereka kurang

memahami hakikat mereka sebagai seorang remaja yang bertumbuh dewasa dalam hal penjagaan alat reproduksi mereka. Dengan

mengaitkanya pada aspek moral, agama, sosial, budaya, ekonomi dan tettu saja bagi kesehatan mereka siswa diajak untuk menelaah

permasalahan tersebut. Hingga pada akhirnya, terjalin penguasaan konsep terhadap permasalahan mengenai kesehatan reproduksi.

Seperti yang sudah diketahui bahwa pendidikan kesehatan reproduksi juga memiliki istilah lain yaitu pendidikan seks. Namun penekanan pada pendidikan seks lebih mengarah kepada mencegah terjadinya penularan penyakit menular seksual dan kehamilan usia muda yang tak diinginkan bukan berdasarkan moral. Para peneliti dari Washington University of St Louis (WUSL) tidak merekomendasikan tindakan melarang sebagai dasar pendidikan, namun sebaiknya membuat kurikulum pendidikan seks yang mempertimbangkan komposisi sosial politik sebuah negara. Fakta yang mengejutkan karena angka remaja yang melahirkan di AS tercatat adalah yang tertinggi di antara negara-negara industri lainnya yaitu pada remaja perempuan yang melahirkan pada usia 15-19 tahun sebesar 39,1 dari setiap 1.000 orang remaja pada tahun 2009, dan angka kehamilan remaja di Eropa Barat berkisar sekitar 24 orang dari 1.000 orang remaja di Inggris. Selanjutnya para


(29)

peneliti yang dipimpin oleh Patricia Cavazos-Rehg dari WUSL mempersempit analisisnya pada tingkat remaja perempuan yang melahirkan pada usia 15 - 17 tahun di 24 negara bagian AS selama tahun 1997 - 2005. Peneliti menemukan bahwa penambahan kurikulum pendidikan seks yang komprehensif di sekolah berkaitan dengan tingkat remaja melahirkan yang lebih rendah. Ketika peneliti melihat latar belakang dari setiap kebijakan yang diambil pada setiap negara bagian, seperti religiusitas dan kebijakan aborsi, negara-negara yang mendapat peringkat tinggi dalam religiusitas dan konservatisme politik memiliki angka remaja melahirkan yang lebih tinggi.

Dikutip dari Wanjek (2012:1) yang menjabarkan temuan yang dimuat jurnal Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine, penelitian Cavazos-Rehg menegaskan bahwa anak perempuan yang tinggal di negara konservatif mendapat kurikulum pendidikan seks yang kurang berkualitas, mengabaikan pelajaran atau kurang mau melakukan aborsi. Temuan lain didapatkan bahwa angka kehamilan remaja sangat

bervariasi, dan perbedaan di seluruh negara harus diakui sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama. Cavazos-Rehg mencatat perbedaan angka remaja perempuan yang melahirkan berusia 15-17 tahun di Arkansas dan New Hampshire. Arkansas adalah negara dengan tingkat konservatisme yang tinggi, memiliki angka remaja melahirkan yang tertinggi dalam penelitian, yaitu sebesar 34,8 orang dari 1.000 orang remaja perempuan. New Hampshire adalah negara dengan tingkat


(30)

liberalisme tinggi, dan memiliki angka remaja melahirkan yang paling rendah, yaitu sebesar 9,7 orang dar 1.000 orang remaja perempuan. Sebelumnya, para peneliti di Drexel University pernah melaporkan temuan serupa pada tahun 2009 dalam jurnal Reproductive Health. Temuan terbaru dari WUSL ini menambahkan bahwa tingkat konservatisme suatu negara juga mempengaruhi kualitas pendidikan seks. Beberapa hubungan yang terjadi antara perilaku seks yang kurang memiliki pengetahuan terhadap kesehatan reproduksinya dengan berbagai penyebaran penyakit kelamin. Banyak sekali penyakit kelamin yang timbul akibat dari ketidaktahuan dari para remaja khususnya remaja dalam usia sekolah menengah pertama salah satu diantaranya adalah penyakit HIV/AIDS. Penyakit HIV/AIDS meski belum bisa disembuhkan namun bisa dicegah. Sayangnya pengetahuan masyarakat akan penyakit ini masih rendah sehingga masih banyak yang percaya pada berbagai mitos yang salah.

Seperti dikutip dari Anna (2011:1) dalam hasil riset Sexual Wellbeing Global Survei yang dilansir Durex di Jakarta (30/11) terungkap 82 persen orang Indonesia membutuhkan informasi yang benar mengenai penyakit HIV/AIDS. Survei dilakukan secara global dengan melibatkan 1.015 orang di Indonesia. Pendidikan seks yang wajib dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan adalah pengetahuan seputar sistem

reproduksi, bahaya seks bebas, serta resiko penularan penyakit-penyakit kelamin termasuk herpes, maupun informasi mengenai HIV/AIDS. Lebih lanjut Nugraha (dalam Anna, 2011:1) memaparkan bahwa pada sebuah penelitian di Kyoto, menyimpulkan bahwa dengan memberikan


(31)

pendidikan kesehatan reproduksi kepada generasi muda ternyata

terbukti dapat menurunkan laju penyebaran penularan penyakit seksual. Terbukti jika hal tersebut menjadi solusi untuk mengurangi kehamilan di luar nikah dan penyebaran penyaki seksual dan bukan malah

merengsang kegiatan seksual bagi para remaja. Selain dari pemerintah, diperlukan peran dari para orang tua tidak menganggap tabu

pembicaraan seks dengan anak. Selain orang tua dan pemerintah, informasi seputar pendidikan seks dan HIV/AIDS juga diharapkan datang dari media massa, terutama televisi karena banyak masyarakat di pedalaman sulit mengakses informasi dari media cetak atau internet.

2.1.4 Workshop

Beberapa literatur menyebutkan bahwa workshop adalah pelatihan kerja, yang meliputi teori dan praktek dalam satu kegiatan terintegrasi. Dimaknai dari kata dasarnya workshop sendiri adalah tempat kerja bisa juga disebut bengkel, inti dari makna workshop adalah tempat tenaga kerja (mekanik,montir dll) melakukan kegiatan teknis dengan didukung alat-alat kerja. Definisi lain dari workshop adalah wadah atau tempat penampungan untuk memodifikasi data dan alat-alat. Dikutip dari artikata.com maka istilah workshop dalam bahasa Inggris memiliki definisi “a brief intensive course for a small group; emphasizes problem solving”. Dengan begitu maka workshop yang dalam bahasa Indonesia juga sering disebut sebagai loka karya memiliki makna sebagai


(32)

membahas pemasalahan tertentu. Pada hal ini workshop yang dimaksud adalah workshop pendidikan. Wokshop yang dilakukan lebih bersifat sebagai sosialisasi dari materi pendidikan kesehatan reproduksi.

Sosialisasi sendiri mengacu pada proses individu mulai memahami hakikat diri dan lingkunganya akibat interaksi antar keduanya. Hal ini berarti jika sosialisasi tidak akan terjadi jika hanya ada satu individu tanpa individu lain. Dikutip dari Anonimous (2011) menurut Charlotte Bruner Sosialisasi adalah proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan berpikir kelompoknya agar dapat berperan dan berfungsi dengan kelompoknya. Para sosiolog mnyebutkan bahwa proses sosialisasi merupakan

implementasi dari role theory (teori peranan), karena dalam proses sosialisasi, individu-individu bertugas untuk menjalankan peranya masing-masing yang terbagi akibat interaksi antar individu tersebut. Dikutip dari wikipedia, sosialisasi memiliki dua macam yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder.

Sosialisasi primer merupakan bentuk sosialisasi yang pertama kali terjadi yaitu jenis sosialisasi dalam keluarga, ketika anak masih belum mengenal ligkungan sekitarnya dan hanya mengenal anggota keluarga mereka. Proses ini biasa terjadi pada balita atau anak kecil yang belum sekolah. selanjtnya adalah sosialisasi sekunder yaitu jenis sosialisasi yang mulai terjadi akibat interaksi terhadap orang-orang atau


(33)

memahami peranya masing-masing dalam menjalankan kehidupanya. Tujuan dari sosialisasi antara lain adalah memberikan keterampilan kepada seseorang untuk dapat hidup bermasyarakat, mengembangkan kemampuan berkomunikasi secara efektif, membantu mengendalikan fungsi-fungsi yang dipelajari melalui latihan-latihan mawas diri yang tepat dan membiasakan diri berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan kepercayaan pokok yang ada di masyarakat.

2.1.5 Potensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Kesehatan Reproduksi

Potensi pengembangan kurikulum pendidikan kesehatan reproduksi dilihat dari segi dasar pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang sudah dirumuskan oleh BNSP pada tahun 2006. Standar yang sudah dirumuskan oleh BNSP tersebut, memiliki materi yang berhubungan dengan pendidikan kesehatan reproduksi dalam dua mata pelajaran umum yaitu pelajaran Penjasorkes dan IPA terutama Biologi. Tentu saja pengembangan untuk materi tersebut bukan untuk hanya dilihat dan dibaca, namun untuk diimplementasikan sehingga tujuan dari pembuatan SK dan KD tersebut menjadi jelas dan nyata.

Dalam pelajaran Penjasorkes materi yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi berada dalam SK Menerapkan Budaya Hidup Sehat. Sedangkan pada pelajaran Biologi materi yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi berada pada SK Menjelaskan struktur dan fungsi


(34)

organ manusia dan hewan tertentu, kelainan/penyakit yang mungkin terjadi serta implikasinya pada Salingtemas. Selain itu, pada jenjang mulai dari Sekolah Dasar kelas V hingga Sekolah Menengah Pertama kelas IX juga ditemukan SK yang memuat hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi baik dalam mata pelajaran IPA maupun

Penjasorkes. Diantara SK tersebut antara lain pada mata pelajaran IPA kelas IX dalam SK Memahami Berbagai Sistem Dalam Kehidupan Manusia dan SK Menerapkan Budaya Hidup Sehat yang ada dalam mata pelajaran Penjasorkes pada kelas V, VI, VII, VIII dan IX. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya materi mengenai pendidikan kesehatan reproduksi merupakan materi pokok yang seharusnya diajarkan secara simultan dan terus menerus kepada siswa agar mereka mengetahui bagaimana pola hidup yang sehat dan menghindari perilaku menyimpang terhadap penjagaan kesehatan reproduksi mereka.

2.1.6 Bahan Ajar

Dalam proses pembelajaran, bahan ajar merupakan salah satu hal penting yang harus dipersiapkan dengan matang. Menurut AECT dan Banks (dalam Komalasari, 2010:108) dinyatakan bahwa salah satu komponen sumber belajar adalah bahan. Bahan merupakan perangkat lunak (software) yang mengandung pesan-pesan belajar, yang biasanya disajikan menggunakan peralatan tertentu. Bahan ajar berfungsi sebagai pedoman yang digunakan oleh siswa dan pendidik dalam proses pembelajaran. Bahan Ajar atau learning material, merupakan


(35)

materi atau isi yang dikemas sebagai bahan untuk diberikan kepada para siswa pada saat proses pembelajaran yang disusun secara sistematis dan terencana. Secara umum, bahan ajar berisi tentang pengetahuan, nilai dan keterampilan atas beberapa kompetensi yang harus dicapai oleh siswa. Lebih lanjut, bahan ajar berisi mengenai fakta, konsep, prinsip dan prosedur yang ada pada materi yang akan diajarkan. Dalam isinya, bahan ajar terdiri atas beberapa konten baik teks, audio, video, dan gambar (bergerak atau diam).

National Center for Competency Based Learning dalam Bandono (2009:1) mendefinisikan bahan ajar sebagai segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar dikelas baik berupa tertulis maupun tidakn tertulis. Jika dilihat dari segi fungsinya, bahan ajar dibedakan menjadi dua jenis, yaitu bahan ajar yang digunakan secara langsung, dan bahan ajar yang digunakan secara tidak langsung. Bahan ajar yang digunakan secara langsung merupakan bahan yang digunakan sebagai inti atau pedoman langsung atau juga bisa disebut sebagai bahan utama pada saat proses pembelajaran, seperti hand out, buku cetak, video dan lain

sebagainya. Sebaliknya, bahan ajar yang dimanfaatkan secara tidak langsung, merupakan bahan ajar yang bersifat sebagai penunjang dalam proses pembelajaran. Ini artinya bahan ajar tersebut digunakan sebagai suplemen tambahan jika diperlukan untuk menguatkan materi yang disampaikan, seperti koran, majalah, buku bacaan dan lain sebagainya.


(36)

Menurut panduan pengembangan bahan ajar yang disusun oleh Depdiknas (2007) disebutkan bahwa bahan ajar memiliki tiga fungsi yaitu (1) sebagai pedoman bagi guru yang mengarahan aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada siswa, (2) sebagai pedoman bagi siswa yang mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses

pembelajaran, sekaligus merupakan substnsi kompetensi yang seharusnya dipelajari/dikuasai, dan (3) sebagai alat evaluasi

pencapaian/penguasaan hasil belajar. Dari pengertian tersebut, maka fungsi bahan ajar memiliki keterkaitan erat antara kemampuan guru dalam merencanakan proses pembelajaran yang berlangsung, dan kemudian mengimplementasikannya hingga yang terakhir melakukan penilaian terhadap proses pembelajaran kepada para siswa.

Menurut Delvianti (2013:2) menyatakan bahwa ada beberapa kriteria indikator bahan ajar yang baik yaitu Bahan ajar disusun dari yang sederahana ke kompleks, mudah ke sulit dan/atau konkrit ke abstrak sesuai dengan tujuan pembelajaran, keluasan dan kedalaman bahan ajar disusun dengan memperhatikan potensi siswa dan bahan ajar dirancang sesuai dengan kon-teks kehidupan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahan ajar yang baik disusun dengan memperhatikan kebutuhan dan karakteristik dari siswa, akan membantu siswa dalam mempelajari materi yang diajarkan. Selain itu, pendiversifikasian bahan ajar, memudahkan siswa dan guru dalam memilih bahan ajar yang


(37)

sesuai dengan apa yang mereka suka. Diversifikasi bahan ajar juga akan berdampak pada kemenarikan proses pembelajaran yang

dilaksanakan. Sampai akhirnya, setiap siswa bisa memilih dan mereka berekspresi sesuai dengan ketertarikan mereka terhadap bahan ajar tersebut.

Bahan ajar yang dibuat merupakan bahan ajar yang berisikan fakta tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan penanganan kesehatan reproduksi dan beberapa evaluasi yang digunakan untuk mengukur tingkat pemahaman siswa. Bahan ajar dibuat menjadi dua jenis yaitu bahan ajar cetak berupa buku modul dan bahan ajar non cetak yaitu berupa flip book atau buku flash elektronik. Dengan demikian,

penggunaan masing-masing dari bahan ajar tersebut akan menyesuaikan dari siswa dan lingkungan pembelajaran. Bahan ajar yang dibuat

kemudian diaplikasikan kemudian analisis tentang efektifitas, efisiensi dan daya tariknya selama workshop berlangsung. Efektifitas

penggunaan bahan ajar akan dianalisis melalui tes penguasaan konsep yang diberikan pada awal (pretest) dan akhir (posttest) workshop. Efisiensi penggunaan bahan ajar dianalisis dari aspek waktu yang digunakan untuk mempelajari bahan ajar tersebut melalui rasio penggunaanya dan pada aspek biaya pembuatanya. Daya tarik

penggunaan bahan ajar dianalisis melalui angket yang diberikan kepada siswa mengenai ketertarikan dan motivasi siswa untuk mempelajari seluk beluk mengenai kesehatan reproduksi.


(38)

2.1.7 Karakteristik Pembelajaran IPA dan Penjasorkes

Pendidikan kesehatan reproduksi sangat erat kaitanya dengan pelajaran IPA dan Penjasorkes. Pada dasarnya, materi mengenai kesehatan reproduksi sudah mulai diajarkan pada jenjang sekolah dasar dan terintegrasi dengan Penjasorkesorkes. Seperti pada mata pelajaran Penjasorkes kelas V Sekolah dasar di KD ke 5 yaitu “Menerapkan Pola Hidup Sehat”. Pada KD ini, SK yang harus dipelajari oleh siswa yaitu “ 5.1 Mengenal Cara Menjaga Kesehatan Alat Reproduksi” dan “5.2 Mengenal Berbagai Bentuk Pelecehan Seksual”. Lebih lanjut lagi mengenai seluk beluk perbedaan jenis kelamin dan cara reproduksi manusia, akan mulai diajarkan pada pelajaran IPA Terpadu di jenjang SMP. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya materi mengenai kesehatan reproduksi merupakan materi krusial yang sudah mulai diajarkan semenjak Sekolah Dasar. Namun pada implementasinya, para guru sering mengabaikan materi kesehatan reproduksi dengan berbagai macam alasan. Selanjutnya jika dilihat dari sudut pandang karakteristik mata pelajaran Penjasorkesorkes, maka memang sudah sepantasnya materi tentang kesehatan reproduksi menjadi salah satu fokus utama, tidak hanya mengenai senam, permainan dan kegiatan lapangan lainya.

Menurut BNSP (2006 : 512,648) pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, ketrampilan gerak, ketrampilan berfikir kritis, ketrampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengenalan


(39)

lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Secara umum struktur materi yang diterapkan pada mata pelajaran Penjasorkes mengacu pada penciptaan gaya hidup sehat dan aktif.

Dari aspek karakteristik pembelajaran IPA, maka materi kesehatan reproduksi merupakan materi yang terkait langsung dengan

pengetahuan kognitif anak tentang bagaimana proses reproduksi dari mahkluk hidup. Depdiknas (2006 : 4) menyatakan bahwa IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat

diidentifikasikan. Dari penjabaran tersebut, dijelaskan bahwa mata pelajaran IPA memegang peranan penting dalam memecahkan masalah sehari-hari, dalam hal ini terutama mengenai cara menjaga organ reproduksi agar dapat berfungsi dengan baik. Jika pada jenjang SMA mata pelajaran IPA sudah mulai dipisahkan berdasarkan pendalaman materinya, maka pada kurikulum 2006, mata pelajaran IPA yang diselenggarakan pada tingkatan sekolah dasar dan menengan pertama merupakan jenis mata pelajaran terpadu.

Shoemaker (1989 :5 ) mendefinisikan kurikulum terpadu sebagai pendidikan yang disusun sedemikian rupa sehingga melintasi garis materi subjek, menyatukan berbagai aspek kurikulum menjadi


(40)

tersebut, Depdikbud (1996 : 3) menyatakan bahwa pembelajaran terpadu sebagai suatu prooses mempunyai beberapa karakteristik atau ciri-ciri holistik, bermakna, otentik dan aktif. Dengan begitu,

karakteristik pada mata pelajaran IPA yang diterapkan bisa

dihubungkan langsung dengan kehidupan sehari-hari secara menyeluruh dan dapat melewati batasan bahasan pada mata pelajaran lain jika hal tersebut masih terhubung dalam satu wilayah materi yang dibahas.

Dari beberapa penjabaran di atas, maka sudah sepatutnya materi

mengenai kesehatan reproduksi merupakan materi yangg ada dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Materi kesehatan reproduksi bukan lagi mmenjadi materi yang tabu untuk diajarkan kepada para siswa.

Sehingga mereka memiliki akses pengetahuan tentang bagaimana kesehatan reproduksi merupakan salah satu hal yang terkait dengan masa depan mereka.

2.2Teori Belajar dan Pembelajaran

Mustaji (2012:4) mengemukakan bahwa teori pembelajaran adalah teori yang menawarkan penduan eksplisit bagaimana membantu orang belajar dan berkembang lebih baik. Hilgard (dalam Aqib, 2010:42) mendefinisikan belajar sebagai perubahan tingkah laku dan tidak hanya dalam bidang intelektual saja melainkan seluruh pribadi anak dan didapatkan

perkembangan dalam hal perubahan tingkah laku atas hasil dari proses

belajarnya. Salah satu dari teori yang digunakan sebagai landasan adalah teori perkembangan anak adalah teori yang dikemukakan oleh Jean Piaget. Dalam


(41)

teorinya Piaget membahas pandangannya tentang bagaimana anak belajar. Dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan fisiknya.

Yaumi (2008:1) mengungkapkan bahwa Piaget menemukan ternyata anak-anak berpikir dan beralasan secara berbeda pada periode yang berbeda dalam kehidupan mereka. Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting dalam mengembangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subyektif terhadap sesuatu yang diamatinya berubah

pandangannya menjadi obyektif. Aktivitas mental anak terorganisasi dalam suatu struktur kegiatan mental yang disebut ”skema” atau pola tingkah laku. Lebih lanjut, Purwanto (2011:1) menyebutkan bahwa Piaget mengemukakan tentang intelegensi yang merupakan ciri bawaan yang dinamis sebab tindakan yang cerdas akan berubah saat organisme itu makin matang secara biologis dan mendapat pengalaman.

Sulistyani (2012:1) menyebutkan bahwa Piaget mengemukakan empat perkembangan kognitif pada anak yaitu tahap sensorimotor, praoperasional, operasional konkrit dan operasional formal. Piaget mengatakan bahwa setiap manusia melampui perkembangan melalui empat tahap dalam


(42)

memahami dunia. Masing-masing tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara berpikir yang berbeda. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut:

a. Tahap sensorimotor (sensorymotor stage), yang terjadi dari lahir hingga usia 2 tahun, merupakan tahap pertama piaget. Pada tahap ini,

perkembangan mental ditandai oleh kemajuan yang besar dalam kemampuan bayi untuk mengorganisasikan dan mengkoordinasikan sensasi (seperti melihat dan mendengar) melalui gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan fisik.

b. Tahap praoperasional (preoperational stage), yang terjadi dari usia 2 hingga 7 tahun, merupakan tahap kedua piaget, pada tahap ini anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. Mulai muncul pemikiran egosentrisme, animisme, dan intuitif. Egosentrisme adalah suatu ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektif seseorang dengan perspektif orang lain dengan kata lain anak melihat sesuatu hanya dari sisi dirinya.

c. Tahap operasional konkrit (concrete operational stage), yang berlangsung dari usia 7 hingga 11 tahun, merupakan tahap ketiga piaget. Pada tahap ini anak dapat melakukan penalaran logis

menggantikan pemikiran intuitif sejauh pemikiran dapat diterapkan ke dalam contoh-contoh yang spesifik atau konkrit.

d. Tahap operasional formal (formal operational stage), yang terlihat pada usia 11 hingga 15 tahun, merupakan tahap keempat dan terakhir dari Piaget. Pada tahap ini, individu melampaui dunia nyata, pengalaman-pengalaman konkrit dan berpikir secara abstrak dan lebih logis.


(43)

Dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian Piaget yaitu struktur, isi dan fungsi (Piaget , 1988: 61 ; Turner, 1984: 8). 3 hal tersebut antara lain struktur, isi dan fungsi. Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi.

Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk mengestimasikan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Adaptasi, terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Ada beberapa konsep yang perlu dimengerti agar lebih mudah memahami teori

perkembangan kognitif atau teori perkembangan Piaget, yaitu; 1. Intelegensi

Piaget mengartikan intelegensi secara lebih luas, juga tidak mendefinisikan secara ketat namun definisi umum yang lebih mengungkap orientasi

biologis. Menurutnya, intelegensi adalah suatu bentuk ekuilibrium kearah mana semua struktur yang menghasilkan persepsi, kebiasaan, dan

mekanisme sensiomotor diarahkan. 2. Organisasi

Organisasi adalah suatu tendensi yang umum untuk semua bentuk kehidupan guna mengintegrasikan struktur, baik yang psikis ataupun fisiologis dalam suatu sistem yang lebih tinggi.

3. Skema

Skema adalah suatu struktur mental seseorang ketika secara intelektual beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Skema akan beradaptasi dan berubah selama perkembangan kognitif seseorang.


(44)

4. Asimilasi

Asimilasi adalah proses kognitif saat seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru kedalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.

5. Akomodasi

Akomodasi adalah pembentukan skema baru atau mengubah skema lama sehingga cocok dengan rangsangan yang baru, atau memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan yang ada.

6. Ekuilibrasi

Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi

sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang

menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya.

Berdasarkan pengalamannya sejak masa kanak-kanak, Piaget berkesimpulan bahwa setiap makhluk hidup memang perlu beradaptasi dengan

lingkungannya untuk dapat melestarikan kehidupannya. Manusia adalah makhluk hidup, maka manusia juga harus beradaptasi dengan lingkungannya. Berdasarkan hal ini, Piaget beranggapan bahwa perkembangan pemikiran manusia mirip dengan perkembangan biologis, yaitu perlu beradaptasi dengan lingkungannya. Piaget sendiri menyatakan bahwa teori pengetahuannya adalah teori adaptasi pikiran ke dalam suatu realitas, seperti organisme yang beradaptasi dengan lingkungannya.


(45)

Menurut Piaget, mengerti adalah suatu proses adaptasi intelektual saat pengalaman dan ide baru diinteraksikan dengan apa yang sudah diketahui untuk membentuk struktur pengertian yang baru. Setiap orang mempunyai struktur pengetahuan awal (skema) yang berperan sebagai suatu filter atau fasilitator terhadap berbagai ide dan pengalaman yang baru.

Melalui kontak dengan pengalaman baru, skema dapat dikembangkan dan diubah, yaitu dengan proses asimilasi dan akomodasi. Skema seseorang selalu dikembangkan, diperbaharui , bahkan diubah untuk dapat memahami

tanyangan pemikiran dari luar. Proses ini disebut adaptasi pikiran. Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Dalam pembentukan pengetahuan , Piaget membedakan tiga macam pengetahuan, yakni

pengetahuan fisis, pengetahuan matematis logis, pengetahuan sosial adalah pengetahuan yang didapat dari kelompok budaya dan sosial yang menyetujui sesuatu secara bersama.

Teori konstruktivisme Piaget menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang adalah bentukan (bentukan) orang itu sendiri. Proses pembentukan

pengetahuan itu terjadi apabila seseorang mengubah atau mengembangkan skema yang telah dimiliki dalam berhadapan dengan tantangan, dengan rangsangan atau persoalan. Teori Piaget seringkali disebut konstruktivisme personal karena lebih menekankan pada keaktifan pribadi seseorang dalam mengkonstruksikan pengetahuannya. Terlebih lagi karena Piaget banyak mengadakan penelitian pada proses seorang anak dalam belajar dan membangun pengetahuannya.


(46)

Selain menggunakan teori perkembangan Piaget, maka teori yang dipakai selanjutnya adalah Menurut Erik Erickson perkembangan Psycho-sosial atau perkembangan jiwa manusia yang dipengaruhi oleh masyarakat dibagi menjadi 8 tahap. Simanjuntak (2011:3) mengungkapkan bahwa Erikson membuat bagan untuk mengurutkan delapan tahapan perkembangan ego dalam psikososial.

a. Trust (percaya) vs Mistrust (kecurigaan) pada usia 0 s.d. 18 bulan Tahap pertama adalah tahap pengembangan rasa percaya diri. Fokus terletak pada Panca Indera, sehingga mereka sangat memerlukan sentuhan dan pelukan.

b. Autonomy (otonomi/Mandiri) vs Shame and Doubt (malu-malu/Ragu-ragu) pada usia 18 bulan s.d. 3 tahun

Tahap ini bisa dikatakan sebagai masa pemberontakan anak atau masa 'nakal'-nya. Namun kenakalannya itu tidak bisa dicegah begitu saja, karena ini adalah tahap dimana anak sedang mengembangkan kemampuan motorik (fisik) dan mental (kognitif), sehingga yang diperlukan justru mendorong dan memberikan tempat untuk

mengembangkan motorik dan mentalnya. Anak-anak cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungan terdekat atau orang-orang penting disekitarnya.

c. Initiative (inisiatif) vs Guilt (rasa bersalah) pada usia 4 s.d 5 tahun Dalam tahap ini anak banyak bertanya dalam segala hal, sehingga berkesan cerewet. Pada usia ini juga mereka mengalami pengembangan inisiatif/ide, sampai pada hal-hal yang berbau fantasi.


(47)

d. Industry (industri/tekun) vs Inferiority (rasa rendah diri) pada usia 6 s.d. 11 tahun

Anak usia ini sudah mengerjakan tugas-tugas sekolah - termotivasi untuk belajar. Namun masih memiliki kecenderungan untuk kurang hati-hati dan menuntut perhatian.

e. Identity (identitas) vs Identity Confusion (kebingungan identitas) pada usia 10 s.d. 20 tahun

Pada tahapan ini anak akan mulai mengeksplorasi kemandirian dan kepekaan terhadap lingkunganya. Selain itu, kehidupanya mulai mempertanyakan jati diri atas status dan perannya dalam kehidupan sosial, sehingga akan banyak muncul hasrat sekaligus kebingungan terhadap dirinya sendiri.

Istiqomah (2012:1) mengungkapkan bahwa menurut Erikson Masing-masing tahap terdiri dari tugas perkembangan yang khas dan mengedepankan

individu dengan suatu krisis yang harus dihadapi dan krisis tersebut bukanlah suatu bencana melainkan suatu titik balik peningkatan kerentanan dan

peningkatan potensi. Dengan begitu proses pengembangan bahan ajar materi pendidikan kesehatan reproduksi akan dibuat berdasarkan tingkatan para penggunanya, sehingga dapat memaksimalkan proses penyerapan informasi.

2.3Kajian Penelitian yang Relevan

2.3.1 Pengaruh Pendidikan Seks Terhadap Sikap Mengenai Seks Pranikah Pada Remaja oleh Deby Yuniarti, Universitas Gunadarma, Tahun 2007. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana pengaruh


(48)

pendidikan seks terhadap perubahan sikap remaja mengenai seks pranikah. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 92 orang remaja baik putera maupun puteri di SMK yang berusia 14-17 tahun. Alat ukur yang dipakai untuk mengukur sikap mengenai seks pranikah dalam penelitian ini adalah Skala Sikap Mengenai Seks Pranikah yang disusun berdasarkan pada komponen-komponen sikap dikaitkan dengan bentuk-bentuk aktivitas seksual. Hasil penelitian

menyimpulkan bahwa hipotesis penelitian ini ditolak. Berdasarkan analisis data yang dilakukan dengan menggunakan Paired Sample T-test, menunjukkan nilai T sebesar 0,331 dengan taraf signifikansi sebesar 0,741 (p>0,05). Hal ini berarti tidak ada pengaruh yang signifikan dari pendidikan seks terhadap sikap mengenai seks pranikah pada subjek penelitian. Sebelum dan sesudah diberikan pendidikan seks, sikap mengenai seks pranikah pada subjek hanya sedikit mengalami perubahan.

2.3.2 Gender implications of the teaching of relationships and sexuality education for health-promoting schools oleh Patricia Mannix mcNamara, Tomgeary dan Didier Jourdan, Oxford Journal, Universitas Oxford, 2010

Penelitian ini membahas tentang pembelajaran Relationship and Sexual Education (RSE) atau pendidikan seksual dan hubungan yang dilakukan dalam rangka mengkampanyekan cara hidup sehat melalui penekanan pada perkembangan pribadi dan sosial budaya. Data yang dikumpulkan berupa interaksi dan ekspresi terbuka atas opini yang


(49)

diberikan oleh subyek ujicoba untuk kemudian dianalisis melalui pendekatan pengkodean tematik (thematic coding) dan dikumpulkan kedalam beberapa grup kategori. Hasil penelitian yang diperoleh adalah diperlukanya sikap profesionalime dari guru dan sekolah untuk mengajarkan RSE pada siswa agar dapat menanggulangi

permasalahan mengenai kesehatan reproduksi remaja. 2.3.3 Parents Attitude Towards Imparting Sex Education to Their

Adolescent Girls oleh Payal Mahajan and Neeru Sharma dari P.G. Department of Home Science, University of Jammu, Jammu 180 006, Jammu and Kashmir, India.

Studi ini mempelajari tentang bagaiamana pengaruh orang tua

terhadap pendidikan seksual yang diberikan kepada anak-anak mereka dan pandangan mereka terhadap kehidupan seksual anak-anak mereka. Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa orang tua memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan pengetahuan anak mengenai pendidikan kesehatan reproduksi.

2.3.4 Parents as Co-Educators: Do Effective Sex Education Programs Include Parents? Oleh Jennie E. Long Dilworth, Ph.D, CFLE dari Georgia Southern University.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang berkaitan pada pengaruh apa yang muncul ketika program pendidikan seksual tidak hanya dilakukan di sekolah, namun juga dilakukan di dalam keluarga. Dengan begitu sinkronisasi pendidikan seksual akan berlangsung dalam lingkungan sekolah dan keluarga sehingga dapat meningkatkan


(50)

sekaligus mengikat pengetahuan anak mengenai permasalahan seksualitas.

2.3.5 Pengembangan paket pendidikan seks untuk siswa SMP oleh Lina Maulida, Universitas Negeri Malang, Tahun 2011.

Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan paket pendidikan seks yang berguna, layak, tepat, dan menarik bagi siswa SMP. Produk yang dihasilkan dari pengembangan ini adalah Paket Pendidikan Seks yang terdiri atas (1) panduan Paket Pendidikan Seks untuk konselor, (2) materi Paket Pendidikan Seks untuk siswa, dan (3) lembar jawaban siswa; yang meliputi lembar jawaban untuk materi: (I) Tumbuh Kembang Remaja, (II) Pendidikan Seks, (III) Perilaku Seksual Menyimpang, (IV) Penyakit Menular Seksual. Paket ini disusun dengan menggunakan model pembelajaran experiential learning. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang

menggunakan langkah-langkah pengembangan dari Borg & Gall yang terdiri atas tahap perencanaan, tahap pengembangan produk, dan tahap uji coba. Subyek uji coba adalah ahli, yaitu ahli bimbingan dan

konseling dan ahli bahasa. Subyek uji coba yang lain adalah uji calon pengguna produk, yaitu konselor; dan uji kelompok kecil, yaitu satu kelas siswa SMP.

2.4Kerangka Berpikir

Kebutuhan anak dalam pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi masih sangat terbatas, walau kurikulum tentang pendidikan kesehatan reproduksi


(51)

sudah terintegrasi ke dalam pendidikan jasmani dan kesehatan. Diperlukan sebuah terobosan untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan membentuk sebuah bahan ajar dan workshop mengenai perlingungan kesehatan

reproduksi remaja.

Penelitian dimulai dengan melakukan analisa terhadap pelaksanaan pembelajaran dan potensi dari desain bahan ajar workshop. Tahapan

selanjutnya adalah mengaplikasikanya ke dalam bentuk produk yang berupa bahan ajar berbentuk buku elektronik. Dalam pengujianya, maka

dipersiapkan instrumen yang berfungsi untuk menganalisa efektifitas,

efisiensi dan daya tarik dari bahan ajar dan proses workshop yang dilakukan. Pengujian awal dilakukan melalui uji perorangan, uji kelompok kecil dan uji ahli media. Setelah melalui tahapan uji awal, maka selanjutnya adalah melalukan uji lapangan terhadap produk penelitian yang telah direvisi pada proses sebelumnya.

Efektifitas penggunaan bahan ajar dianalisa melalui serangkaian tes tertulis pilihan jamak yang diberikan kepada anak sebelum dan sesudah proses workshop berlangsung. Efisiensi penggunaan bahan ajar dianalisa melalui pencatatan waktu yang dibutuhkan oleh anak untuk memahami komponen yang ada pada bahan ajar. Sedangkan daya tarik dianalisa melalui angket yang diberikan kepada pengguna bahan ajar.


(52)

Gambar 2. Diagram alur penelitian 2.5 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah :

H0 : Tidak terdapat perbedaan penguasaan konsep pada workshop dengan bahan ajar pendidikan kesehatan reproduksi

H1 : Terdapat perbedaan penguasaan konsep pada workshop dengan bahan ajar pendidikan kesehatan reproduksi Berdasarkan hipotesis tersebut, maka uji hipotesisnya adalah Ho : μ1 = μ2

Ha : μ1 ≠ μ2

Kurikulum Integrasi Pendidikan Seks Belum

Maksimal

Pengetahuan Anak Mengenai Kesehatan

Reproduksi Kurang

Penyalahgunaan dan penyimpangan perilaku

seksual

Pengembangan bahan ajar workshop pendidikan kesehatan

reproduksi

Modul cetak dan flash elektronik

Peningkatan penguasaan konsep


(53)

III. METODE PENELITIAN

3.1Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengembangkan bahan ajar workshop tentang pendidikan kesehatan reproduksi bagi siswa pada jenjang sekolah menengah. Metode dari penelitian ini yang paling tepat adalah dengan metode penelitian dan pengembangan. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Borg and Gall (1974:62) “Educational research and development (R&D) is a process used to develop and validate educational product”. Maka setelah produk itu dibuat, diujicobakan terhadap sampel kecil dan sampel terbatas. Hal ini dilakukan untuk mengevaluasi keefektifan dan keefisienan dari produk pendidikan yang akan digunakan. Rancangan pengembangan dengan desain Borg and Gall yang digunakan mempunyai tujuan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk. Model dari pengembangan tersebut memiliki langkah-langkah sebagai berikut : (1) penelitian dan pengumpulan informasi, (2) perencanaan, (3) pengembangan produk, (4) uji lapangan awal, (5) revisi produk utama, (6) uji lapangan lanjut, (7) revisi produksi operasional, (8) uji lapangan operasional, (9) uji lapangan akhir, dan (10) diseminasi dan implementasi. Secara procedural, maka langkah-langkah dalam model pengembangan Borg and Gall dijabarkan dalam bagan seperti di bawah ini.


(54)

Gambar 2. Model desain R&D Borg and Gall (1983)

Produk yang dikembangakan berupa bahan ajar untuk workshop pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja usia sekolah menengah atas yang

disampaikan dengan bantuan modul cetak dan flash elektronik.

3.2Prosedur Penelitian

Sesuai dengan model pengembangan oleh Borg and Gall, maka ada beberapa langkah-langkah yang diadaptasikan sebagai arah pengembangan dari produk yang dihasilkan dalam penelitian kalian ini.

Research and informational collection (1)

Develop preliminary form

of product (3)

Preliminary field testing (4) Planning (2)

Main product revision (5) Main field testing

(6)

Operational product revision

(7)

Operational field testing (8)

Final product revision (9)

Dissemination and implementation (10)


(55)

Gambar 3. Desain Pengembangan Produk Diadaptasi Dari model Borg & Gall

Penelitian dimulai dengan menganalisa kebutuhan dari siswa. Kebutuhan itu didasarkan kepada perihal hak dan kewajiban mereka dalam pendidikan kesehatan reproduksi. Data didapatkan dengan wawancara terhadap guru dan siswa, literatur yang terkait dengan kurikulum pendidikan kesehatan

reproduksi dan beberapa narasumber. Selanjutnya, penelitian dilanjutkan dengan mendesain bahan ajar untuk workshop, termasuk di dalamnya perangkat workshop pada saat pembelajaran berlangsung.

Setelah produksi atas purwarupa bahan ajar untuk workshop selesai, maka dilakukanlah uji validasi oleh ahli yang telah ditunjuk. Jika diperlukan revisi,

Analisis Kebutuhan

Desain Bahan Ajar

Produksi Bahan Ajar

Validasi Ahli

Revisi


(56)

kemudian dilakukan uji coba produk. Desain pengembangan model Borg and Gall pada penelitian ini memuat beberapa tahapan hal penting antara lain:

1. Tahap analisis

Pada tahapan ini, analisis dilakukan dengan studi literatur dan studi lapangan. Studi literatur yang dilakukan bermaksud untuk mengkaji beberapa literatur-literatur yang sudah ada sebagai bahan awal dalam menyusun produk desain workshop. Literatur yang dimaksud bisa berupa buku cetak maupun pedoman-pedoman lain yang menyangkut tentang workshop dan kesehatan reproduksi. Sedangkan pada studi lapangan bermaksud untuk mengumpulkan untuk kemudian dianalisis kepada siswa, wali murid,guru dan beberapa ahli dalam pendidikan kesehatan reproduksi. Model pengumpulan data tersebut dilakukan dengan metode kuisionar maupun wawancara. Setelah data didapatkan, maka hal yang selanjutnya adalah melakukan analisa untuk kemudian ditindak lanjuti sebagai bahan desain pengembangan workshop. 2. Tahap perencanaan

Tahapan perencanaan dilakukan untuk menyusun hal-hal yang berkaitan dengan penelitian mulai yang berkaitan langsung dengan produk penelitian maupun segala perihal yang ikut mendukung penelitian. Selain itu, skenario penelitian juga mulai dilakukan guna mengefisienkan dan memaksimalkan proses penelitian yang


(57)

Pada tahapan ini, peneliti mulai merumuskan isi kurikulum yang tercantum dalam pelaksanaan workshop. Perumusan desain juga dapat membantu untuk memperjelas arah pembelajaran pada bahan ajar untuk workshop pendidikan kesehatan reproduksi. tahapan ini memuat isi, tujuan, dan storyboard mengenai pelaksanaan workshop.

4. Tahap pengembangan

Tahap pengembangan adalah tahapan dimana penelitian mulai

memproduksi produk pembelajaran. Produk pembelajaran yang dibuat berupa e-book dengan menggunakan aplikasi flash dan produk media cetak berupa modul.

5. Tahap Uji Ahli

Tahap penilaian merupakan tahapan produk yang sudah dibuat

diperiksa oleh ahli dalam hal ini dosen Magister Teknologi Pendidikan Universitas Lampung. Hal ini dimaksudkan untuk mensuperfisi dari produk yang sudah dibuat. Jika ternyata ditemukan beberapa celah yang harus diperbaiki, maka produk yang sudah dibuat direvisi sehingga siap untuk diuji-cobakan.

6. Tahap Uji Lapangan

Tahapan uji lapangan dilakukan untuk mengaplikasikan produk yang sudah dibuat pada workshop pendidikan kesehatan reproduksi. Revisi tetap dilakukan kepada produk setelah tahapan ini jika diperlukan. Revisi bermaksud untuk menyesuaikan produk terhadap pelaksanaan workshop.


(1)

workshop, hal ini dimaksudkan agar anak tidak mengalami miskonsepsi terhadap isi materi yang terdapat dalam bahan ajar tersebut.

3. Siswa sebagai objek peneliti dan pengguna bahan ajar ini hendaknya diberikan bekal oleh guru agar bisa menjadi pengkampanye yang baik dalam rangka menanggunlangi permasalahan remaja khususnya pada bidang kesehatan reproduksi.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Astri. 2012. Duh, Anak-anak Sekarang Lebih Cepat Dewasa.

http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1839270/URLTEENAGE. Diunduh pada tanggal 1 juni 2012

Aqib, Zainal. 2010. Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran. Surabaya : Insan Cendekia

Arikunto, S. 2011. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Biggs, John dan Watkins, David. 1995. Classroom Learning. Prentice Hall. University of Hongkong.

Bloom, S.Benyamin. 1979. Taxonomy of Educational Objectives, The

Classification of Educational Godls : Handbook 1 Cognitive Domain. New York: Longman inc.

Citra, A Gustina. 2011. Macam-macam Model Konsep Kurikulum.

http://auliagustina.blogspot.com/2011/03/macam-macam-model-konsep-kurikulum.html. Diunduh pada tanggal 14 Juli 2013

Dahar, R. W. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga

Degeng, I Nyoman Sudana. 2000. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variabel. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderla Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Delviati. 2013. Urgensi Penyusunan Bahan Ajar Oleh Guru.

http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article

&id=22917:urgensi-penyusunan-bahan-ajar-oleh-guru&catid=11:opini&Itemid=187. Diunduh pada tanggal 14 Juli 2013. Depdiknas. 2003. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sekretaris Negara RI.

. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Biro Hukum BPK RI.

. 2006. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.


(3)

Dick, Walter., Lou Carey, James Carey. 2001. The Systematic Design of Instruction: Sixth Edition. United States of America.

Dimiyanti dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Rhineka Cipta. Jakarta.

Dwitagama, dedi. 2007. Kurikulum Di Indonesia.

http//:kesadaransejarah.blogspot.com./2007/11/kurikulum-di-indonesia. Diunduh pada tanggal 4 Juni 2012

Dyan. 2013. Pendidikan Kesehatan Reproduksi.

http://www.pkbi-diy.info/?lang=id&cid=7&id=478. Diunduh pada tanggal 14 Juli 2013 Efe, Rifat. 2011. Science Student Teacher and Educational Technology: Experience, Inventions and Value. Journal of Educational Technology &

Society, volume 14. Diunduh pada tanggal 3 Maret 2012

Elice, Deti. 2012. Pengembangan Desain Bahan Ajar Keterampilan Aritmatika Menggunakan Media Sempoa Untuk Guru Sekolah Dasar. Tesis. FKIP Unila PPS Teknologi Pendidikan. Lampung.

Gall, Meredith D., Joyce P.Gall, Walter R.Borg. 2003. Educational Research an Introduction, Seventh Editions. University of Oregon. United State of America.

Hake, RR. 1998. Interactive-Engagement Versus Tradisional Methods: A Six-Thousand-Student Survey of Mechanics Test Data for Introductory Physics Courses. American Journal Physics. Departmen of Physics. Indiana

University. Indiana. http://www.physics.indiana.edu/~sdi/ajpv3i.pdf. Diunduh pada17 Juli 2012

Hamalik, Oemar. 2003. Kurikulum dan pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara. . 2009. Dasar – Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung : Remaja Rosda

Karya

Hariyanto. 2010. Kesehatan Reproduksi Remaja. http://belajarpsikologi.com/ kesehatan-reproduksi-remaja/. Diunduh pada tanggal 14 Juli 2013 Helperida, Timawati. 2012. Penguasaan Konsep (mastery concept).

http://kekeislearning.blogspot.com/2012/09/penguasaan-konsep.html Diunduh pada tanggal 30 April 2012

Istiqomah. 2012. Modul Psikologi Pendidikan. Pusat Bahan Ajar dan Elearning. Universitas Mercu Buana

Komalasari, K. 2010. Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi. Bandung: Refika Aditama


(4)

Larasati, B. Soraya. 2013. Pornografi Ancam Generasi Muda.

http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/18/3/132083/-Pornografi-Ancam-Generasi-Muda. Diunduh pada tanggal 14 Juli 2013 Listyaningsih, Umi. 2012. Remaja Perencana Fertilitas Masa Depan.

http://muda.kompasiana.com/2012/08/08/remaja-perencana-fertilitas-masa-depan-477708.html. Diunduh pada tanggal 14 Juli 2013

Maryati. 2012. Indonesia Tempati Peringkat Ke-46 Dalam Kemajuan Teknologi. http://www.antaranews.com/berita/318400/indonesia-tempati-peringkat-ke-46-dalam-kemajuan-teknologi. Diunduh pada tanggal 14 Juli 2013

Muhammad, Djibril. 2011. Kasus Pemerkosaan di Ibukota Meningkat.

http://www.republika.co.id/berita/regional/jabodetabek/11/12/30/lx0mnl-kasus-pemerkosaan-di-ibukota-meningkat. Diunduh pada tanggal 14 juli 2013

Mukhsinudin. 2012. Pendidikan Berkarakter. http://aceh.tribunnews.com/ 2012/03/01/pendidikan-berkarakter. Diunduh pada tanggal 14 Juli 2013. Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004: Panduan Pembelajaran KBK.

Remaja Rosdakarya. Bandung

Mustaji. 2012. Teori, Model, dan Penelitian Pengembangan Dalam Perspektif Teknologi Pembelajaran. http://pasca.tp.ac.id/site/teori-model-dan-penelitian-pengembangan-dalam-perspektif-teknologi-pembelajaran. Diunduh pada tanggal 14 Juli 2013

Nasution. 1999. Asas – asas kurikulum. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Purwanti, Tenni. 2011. Kapan Pendidikan Seks Masuk Kurikulum?.

http://health.kompas.com/read/2011/11/30/18262746/Kapan.Pendidikan.Sek s.Masuk.Kurikulum. Diunduh 14 Juli 2013

Purwanto, Joko. 2011. Pandangan Teori Piaget Dalam Proses Belajar dan Pembelajaran. http://blog.uin-malang.ac.id/jokopurwanto/2011/03/17/ pandangan-teori-piaget-dalam-proses-belajar-dan-pembelajaran/. Diunduh pada Tanggal 14 Juli 2013

Simanjuntak, Junihot M. 2011. Teori Psikososial Erik Erikson dan Aplikasinya Bagi Pembinaan Orang Dewasa Tengah Baya di Gereja. http://www.stt- kharisma.org/index.php?option=com_content&view=article&id=58:teori-psikososial-erik-erikson&catid=5&Itemid=16. Diunduh pada tanggal 14 Juli 2013

Smalldino, E. Sharon, Lowther, L. Deborah, Russel, D. James. 2011. Instructional Technology & Media for Leearning. Jakarta :Kencana Predana Media


(5)

Suhartoni, M. 2013. Model Konsep Kurikulum. http://su11a12to.blogspot.com/ 2013/03/model-konsep-kurikulum.html. Diunduh pada tanggal 14 Juli 2013 Suhartono, Anton. 2011. Kurikulum Saat Ini Sudah Memuat Pendidikan Seks.

http://news.okezone.com/read/2011/05/31/340/463110/kurikulum-saat-ini-sudah-memuat-pendidikan-seks. Diunduh pada tanggal 14 Juli 2013

Sulistyani. 2012. Teori Belajar. http://sulistyani-mgt.blogspot.com/2012/03/teori-belajar.html. Diunduh pada tanggal 14 Juli 2013

Supriadi, Yudi. 2013. Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia.

http://yudisupriadisangpengabdi.blogspot.com/2013/05/sejarah-perkembangan-kurikulum-di.html. Diunduh pada tanggal 14 Juli 2013 Suryani, Aprilia. 2013. Banyak Siswi SMP dan SMA Aborsi.

http://www.tempo.co/read/news/2013/01/31/173458110/2012-Banyak-Siswi- Diunduh pada tanggal 1 Januari 2013

Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar. Penerbitan Universitas Terbuka

Sagala, Syaiful. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung : CV Alfabeta Udin S. Winataputra, dkk. 2003. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta Pusat

Utami, Krismas Wahyu. 2013. Orang Tua Enggan Berikan Pendidikan Seks Pada Anak. http://female.kompas.com/read/2013/06/17/17553894/Orangtua. Enggan. Beri.Pendidikan.Seks.pada.Anak. Diunduh pada tanggal 1 Januari 2013

Virdhani, M. Harya. 2013. Lindungi Anak Dari Bahaya Internet, Ortu Harus Melek Teknologi. http://techno.okezone.com/read/2013/06/11/55/ 820047/redirect. Diunduh pada tanggal 14 Juli 2013

W. Gulo. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta :. Grasindo.

Wanjek, Christoper. 2012. Sex Education Is Failing To Reduce Teen Birthrates In Conservative States, Study Finds. http://www.huffingtonpost.com

/2012/02/07/sex-education-study_n_1259339.html. Diunduh tanggal 27 Februari 2012

Widodo, A. Sembodo. 2007. Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam. Jakarta : Rakasta Samasta.

Yaumi, Muhammad. 2008. Teori Belajar. http://teoribelajar.blogspot.com/ 2008/10/jean-piaget-pandangan-dan-kontribusinya.html. Diunduh pada tanggal 14 Juli 2013


(6)

Sudrajat, Akhmad. 2008. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/31/ perkembangan-kognitif/. Diunduh pada tanggal 3 Maret 2013

Anonimous. 2010. http://alvyanto.blogspot.com/2010/04/perkembangan-kurikulum-indonesia-. Diunduh pada tanggal 3 Maret 2013 _____. 2013. http://artikata.com/arti-204990-workshop.html. Diunduh pada

tanggal 3 Maret 2013.

_____. 2012. http://blog.tp.ac.id/fungsi-kurikulum. diunduh pada tanggal 30 April 2012

_____. 2012. http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_Tingkat_ Satuan_Pendidikan. Diunduh pada tanggal 17 Februari 2012 _____. 2012.

http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/chapter_iii/09770014-nino-indrianto.ps. Diunduh pada tanggal 17 Februari 2012

_____. 2007. http://paknewulan.wordpress.com/2007/04/05/buat-apa-ikut-diklat%E2%80%A6/. Diunduh pada tanggal 17 Februari 2012

_____. 2006. http://www.bumisari.web.id/2006/07/diklat.html. Diunduh pada tanggal 30 April

_____. 2012. repository.upi.edu/operator/upload/s_d055_0608533_ chapter3.pdf . Diunduh pada tanggal 3 maret 2012