Evaluasi Waktu Pemberian Pakan Buatan Pada Larva Ikan Betok (Anabas Testudineus Bloch)

EVALUASI WAKTU PEMBERIAN PAKAN BUATAN
PADA LARVA IKAN BETOK (Anabas testudineus Bloch)

ARTIN INDRAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Waktu
Pemberian Pakan Buatan pada Larva Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch)
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor,

November 2015

Artin Indrayati
NIM C151130671

RINGKASAN
ARTIN INDRAYATI. Evaluasi Waktu Pemberian Pakan Buatan pada Larva Ikan
Betok (Anabas testudineus Bloch). Dibimbing oleh MIA SETIAWATI dan
MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI.
Pakan alami biasanya diberikan paling awal sejak mulut larva ikan mulai
terbuka sampai larva dapat beradaptasi dengan pakan buatan. Pakan alami ini
diberikan sejak awal, karena pakan alami memiliki enzim yang membantu
pencernaan bagi larva yang belum sempurna proses pencernaannya. Peralihan
sumber pakan pada larva, dari memakan pakan alami menjadi pakan buatan
memerlukan adaptasi terlebih dahulu (weaning) agar larva mau memakan pakan
buatan dan dapat mencerna dengan baik. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian untuk menentukan waktu yang tepat memulai pemberian pakan buatan

pada larva betok, sehingga dapat meningkatkan efisiensi usaha pembenihan dan
tidak terjadi lagi pemberian pakan buatan terlalu dini yang dapat menghambat
pertumbuhan.
Ikan uji yang digunakan adalah larva ikan betok berumur 10 hari setelah
menetas yang berasal dari pemijahan semi buatan dengan penyuntikan hormon
ovaprim. Pemeliharaan ikan uji dilakukan sampai larva ikan betok berumur 35
hari, dengan kepadatan 10 ekor L-1. Wadah penelitian berupa akuarium berukuran
30x20x20 cm3 yang diisi air dengan volume total 10 liter. Pakan uji yang
digunakan berupa artemia dan pakan buatan mikrodiet dengan ukuran 200-400μ.
Artemia diberikan dengan secara ad libitum dengan kepadatan 5 ekor mL-1 dan
mikrodiet secara ad satiation dengan frekuensi pemberian pakan 4 kali sehari
yaitu pukul 08.00, 12.00, 16.00 dan 20.00 WIB. Untuk menjaga kualitas air
supaya tidak mempengaruhi kualitas penelitian, maka dilakukan pergantian air
sebanyak 10% dari volume air media. Rancangan percobaan yang digunakan
adalah Rancangan Acak lengkap (RAL) dengan 3 kali ulangan. Perlakuan
pemberian pakan yang sama diberikan pada larva dengan perbedaan awal waktu
pemberian pakan buatan yaitu pada hari ke-15 setelah menetas (W15), hari ke-20
setelah menetas (W20) dan hari ke-25 (W25) setelah menetas. Pada perlakuan
kontrol larva diberi pakan alami berupa artemia (AR) dan pakan buatan saja (MD)
sampai pada akhir penelitian (hari ke-35 setelah menetas).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu memulai pemberian pakan
buatan yang tepat pada larva ikan betok adalah pada hari ke-20 setelah menetas
karena memiliki faktor kondisi serta konsentrasi RNA dan DNA tertinggi. Hasil
ini didukung dengan perkembangan enzim pencernaan dan rasio
tripsin/kimotripsin.
Kata penting: adaptasi pakan, Anabas testudineus, enzim pencernaan, faktor
kondisi, rasio RNA:DNA, pertumbuhan

SUMMARY
ARTIN INDRAYATI. Evaluation of the optimal weaning time in betok fish
larvae (Anabas testudineus Bloch). Supervised by MIA SETIAWATI and
MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI.
Live feed is usually given the earliest since the mouth of the fish larvae begin
to open until the larvae can adapt to the artificial diets. This live feed is given
from the beginning, because it has enzymes that help larvae digestion for the
larvae rudimentary digestive process. Transitional source of feed on the larvae of
eating live feed into artificial diets requires prior adaptation (weaning) so that the
larvae can ingest artificial diets and digest properly. Therefore, research is needed
to determine the right time start giving artificial diets (weaning) on climbing perch
(Anabas testudineus Bloch) larval in order to increase the efficiency of the

hatchery operations and does not happen again early weaning that can decrease
the growth rate.
The fish larvae samples was 10 days post hatching coming from semi
artificial spawning with ovaprim hormone injections. The test fish raising was
conducted until 35 days post hatching, with a density of 10 fish L-1. The container
used in this study was an aquarium measuring 30x20x20 cm-3, the total water
volume for each aquarium was 10 litres. Feed samples used in the form of Artemia
and artificial diets/microdiets with 200-400 size. Artemia provided with ad
libitum with a density of 5 individu mL-1 and microdiets ad satiation with the
frequency of feeding four times a day were 08.00 am, 12:00am, 04.00 pm and
08:00 pm. To maintain the quality of water so as not to affect the quality of the
research, then conducted change of water as much as 10% of the water volume of
the aquarium. The experimental design used was a complete randomized design
(CRD) with three replications. The same weaning regime started at live different
days post hatching (dph) namely 15 dph (W15), 20 dph (W25), 25 dph (W25).
The larvae in control treatment were fed with live prey/Artemia (AR) and only
artificial diets/microdiet (MD) to the end of the experiment (35 dph).
This study showed that weaning of betok fish larvae should be obtained after
20 dph because this treatment have the higest condition factor and RNA/DNA
concentrations. These results are supported by digestive enzymes and

trypsin/chymotrypsin ratio.
Keywords: Anabas testudineus, condition factor, digestive enzyme, growth,
RNA:DNA ratio, weaning
.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

EVALUASI WAKTU PEMBERIAN PAKAN BUATAN
PADA LARVA IKAN BETOK (Anabas testudineus Bloch)

ARTIN INDRAYATI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Julie Ekasari, SPi. MSc

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian “Evaluasi Waktu Pemberian Pakan Buatan pada Larva Ikan Betok
(Anabas testudineus Bloch)”, yang dilaksanakan pada bulan Februari sampai
Maret 2015.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Mia Setiawati dan Bapak

Dr Muhammad Agus Suprayudi selaku pembimbing atas segala arahan dan ilmu
yang diberikan sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan
dengan baik. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan atas bantuan dana
pendidikan magister yang diperoleh dari Beasiswa Tugas Belajar PUSDIK KP.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, suami, putriku
beserta seluruh keluarga, atas segala do’a dan kasih sayangnya. Selanjutnya
penulis juga menyampaikan ungkapan terima kasih dan penghargaan kepada staf
Laboratorium Nutrisi Ikan Departemen Budidaya Perairan, FPIK IPB dan temanteman mahasiswa Program Studi Ilmu Akuakultur IPB khususnya angkatan 2013.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2015

Artin Indrayati

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2
3

2 METODE
Bahan
Pemeliharaan dan Pengamatan Larva
Parameter Uji

Analisis Data

3
3
4

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

4

5
5
5
8

4 SIMPULAN

10


DAFTAR PUSTAKA

10

LAMPIRAN

13

RIWAYAT HIDUP

19

DAFTAR TABEL
1
2

3

Hasil proksimat pakan uji

Rerata panjang (L), berat akhir (W), faktor kondisi (K), konsentrasi
RNA, konsentrasi DNA dan rasio DNA:RNA larva ikan betok pada
perlakuan pemberian pakan buatan pada hari yang berbeda
Rasio tripsin/kimotripsin larva ikan betok pada perlakuan
pemberian pakan buatan pada hari yang berbeda

3

6
8

DAFTAR LAMPIRAN
1

2

3

4

5

6

7
8

Analisis statistik panjang akhir (L) larva ikan betok yang diberi
perlakuan pemberian pakan buatan pada umur yang berbeda
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pada selang
kepercayaan 95%
Analisis statistik faktor kondisi larva ikan betok menurut rumus
Fulton (K) yang diberi perlakuan pemberian pakan buatan pada umur
yang berbeda menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pada
selang kepercayaan 95%
Analisis statistik berat akhir (W) larva ikan betok yang diberi
perlakuan pemberian pakan buatan pada umur yang berbeda
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pada selang
kepercayaan 95%
Analisis statistik konsentrasi RNA larva ikan betok yang diberi
perlakuan pemberian pakan buatan pada umur yang berbeda
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pada selang
kepercayaan 95%
Analisis statistik konsentrasi DNA larva ikan betok yang diberi
perlakuan pemberian pakan buatan pada umur yang berbeda
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pada selang
kepercayaan 95%
Analisis statistik rasio RNA:DNA (RD) larva ikan betok yang diberi
perlakuan pemberian pakan buatan pada umur yang berbeda
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pada selang
kepercayaan 95%
Prosedur analisis enzim amilase, pepsin, kimotripsin, tripsin dan
lipase
Prosedur ekstraksi RNA/DNA dan pengukuran konsentrasi
RNA/DNA

14

14

14

14

15

15
15
17

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Budidaya ikan betok (Anabas testudineus Bloch) di Indonesia semakin
berkembang setelah resmi dilepas sebagai salah satu ikan yang sudah berhasil
didomestikasi. Daerah penyebaran ikan betok di Indonesia meliputi Sumatera,
Jawa, Madura, Kalimantan, Sulawesi namun ikan ini lebih banyak dibudidayakan
di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Harga ikan betok (papuyu)
di Kalimantan (kecuali Kalimantan Barat) relatif mahal mencapai rata-rata Rp.
65.000 kg-1 (DISPERINDAGKOP 2013). Selain di Indonesia, ikan betok juga
sudah lebih dahulu dikembangkan di Bangladesh, Thailand, Laos, Vietnam,
Thailand, Filipina dan India (Mahmood et al. 2004; Amornsakun et al. 2005;
Sarkar et al. 2005; Morioka et al. 2009). Beberapa penelitian telah dilakukan pada
kegiatan pembenihan, pembesaran dengan pemberian pakan ikan betok pada
berbagai stadia. Studi tentang pemijahan induk betok telah dilakukan oleh Trieu
dan Long (2001) serta Sarkar et al. (2005) dengan tingkat keberhasilan penetasan
mencapai 80 -100%. Amornsakun et al. (2005) dan Morioka et al. (2009) meneliti
tentang pertumbuhan dan perkembangan stadia awal larva dan juvenil ikan betok,
saat menetas larva ikan ini berukuran 1.9+0.1 mm saja dan pada hari ke-35
panjangnya mencapai 18.4+2.1 mm. Mahmood et al. (2004) melakukan penelitian
tentang pemberian pakan alami yang berbeda pada larva ikan betok berupa
artemia dan tubifek dalam sediaan kering dan basah. Yulintine et al. (2012)
meneliti perkembangan enzim pencernaan pada larva ikan betok, dimana aktivitas
semua enzim relatif stabil pada hari ke-25 setelah menetas yang bersamaan
dengan terdeteksinya pilorik kaeka dan sejak itu direkomendasikan untuk diberi
pakan buatan. Penelitian tentang formulasi pakan dan kegiatan pembesaran ikan
betok juga sudah banyak diteliti pada berbagai media dan wadah budidaya
(Widodo et al. 2007; Van dan Hoan 2009; Alam et al. 2010). Berdasarkan
beberapa penelitian tersebut belum ada informasi tentang weaning time pada larva
ikan betok yaitu waktu yang dibutuhkan larva beralih dari memakan pakan alami
menjadi pakan buatan.
Pakan alami biasanya diberikan sejak mulut larva ikan mulai terbuka
sampai larva dapat beradaptasi dengan pakan buatan, karena pakan alami
memiliki enzim yang membantu pencernaan bagi larva yang belum sempurna
proses pencernaannya. Namun pakan alami tidak selamanya dapat diberikan pada
larva karena membutuhkan biaya dan tenaga kerja yang tinggi dalam
penyediaanya, kualitas nutrient yang bervariasi dan ukurannya yang terkadang
tidak sesuai dengan stadia larva (Holt 2011; Suzer et al. 2011; Mata-Sotres et al.
2015). Seiring dengan meningkatnya umur, larva membutuhkan asupan nutrien
yang lebih lengkap, dibandingkan dengan pakan alami yang komposisi nutriennya
terbatas maka pakan buatan dapat diformulasikan dan dicetak sesuai dengan
kebutuhan nutrien dan bukaan mulut larva. Pakan alami juga membutuhkan biaya
yang cukup tinggi dalam pengadaannya, sebagai contoh artemia memiliki harga
hampir 4 kali lipat lebih tinggi (Rp. 650.000 500 gr-1) dibandingkan dengan pakan

2

buatan mikrodiet dengan kandungan protein sebesar 60.39% (Rp.300.000 kg-1).
Peralihan sumber pakan pada larva, dari memakan pakan alami menjadi pakan
buatan memerlukan adaptasi terlebih dahulu (weaning) agar larva mau memakan
pakan buatan dan dapat mencerna dengan baik. Kesulitan larva untuk menerima
dan mencerna pakan buatan biasanya dikarenakan belum matangnya sistem
pencernaan dan rendahnya kapasitas enzim (Ma et al. 2014a) bahkan jika pakan
buatan diberikan terlalu dini dapat mengakibatkan menurunnya jumlah dan
ketinggian enterosit dan epitelium usus yang menyebabkan menurunnya
kemampuan cerna dari larva ikan tersebut (Hamza et al. 2007 ). Pada larva ikan
betok, Amornsakun et al. (2005) dan Morioka et al. (2009) menyebutkan bahwa
larva ikan betok mulai memakan pakan buatan pada umur 14-16 hari setelah
menetas dan Yulintine et al. (2012) merekomendasikan pemberian pakan buatan
untuk larva ikan betok pada hari ke-25 setelah menetas berdasarkan
perkembangan saluran pencernaanya, sedangkan pembenih ikan betok di
Kalimantan mulai memberikan pakan buatan pada larva pada hari ke-7 setelah
menetas. Pengkajian tentang weaning time pada beberapa spesies ikan
menunjukkan pemberian pakan yang terlalu dini dapat menyebabkan kesulitan
mencerna, terhambatnya perkembangan organ pencernaan atau menunjukkan
tanda-tanda kekurangan nutrien (Nguyen et al. 2011, Liu et al. 2012, Ma et al.
2014a). Ikan memiliki laju pertumbuhan tertinggi pada stadia larva yaitu
mencapai 20-50% hari-1, setelah itu laju pertumbuhan menurun pada stadia
juvenile sebesar 5-10% hari-1 dan pada stadia dewasa hanya mencapai 1-3% hari-1.
Jika pada stadia larva mengalami gangguan/tekanan pertumbuhan maka dapat
mengakibatkan semakin besar energi yang digunakan untuk metabolisme
selanjutnya sebagai bentuk kompensasi mengejar laju pertumbuhan yang
terhambat saat kondisi lingkungan sudah membaik (Holt 2011).
Berdasarkan informasi diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk
menentukan waktu yang tepat memulai weaning pada larva betok pada umur 15,
20 dan 25 hari setelah menetas, karena komposisi pakan dapat mempengaruhi
perkembangan sistem pencernaan dengan memicu aktivitas beberapa enzim
pencernaan (Hamza et al. 2007; Zambonino-Infante et al. 2008). Jika larva
mampu beradaptasi pada pemberian pakan buatan lebih awal maka dapat
mengurangi jumlah pakan alami yang diberikan sehingga dapat meningkatkan
efisiensi dan mengoptimalkan pertumbuhan pada usaha pembenihan.
Perumusan Masalah
Pada kegiatan pembenihan ikan, weaning pada larva biasanya dilakukan
sejak dini jika memungkinkan untuk mengurangi biaya dan keterbatasan dari
penggunaan pakan alami. Penelitian ini mencoba menentukan penerapan waktu
pemberian pakan buatan yang tepat (weaning) pada larva ikan betok melalui
evaluasi pertumbuhan dan perkembangan enzim pencernaan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menentukan waktu yang tepat (15, 20 dan 25 hari
setalah menetas) untuk memulai pemberian pakan buatan (weaning) pada larva

3

ikan betok (Anabas testudineus Bloch) melalui evaluasi pertumbuhan dan
perkembangan enzim pencernaan.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi waktu yang tepat
untuk memulai memberikan pakan buatan pada larva ikan betok.

2 METODE
Bahan
Larva ikan betok yang digunakan diperoleh dari pemijahan semi buatan di
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. Induk ikan betok berasal dari BBAT Mandiangin yang sudah
diadaptasikan terlebih dahulu selama 6 bulan dengan perbandingan induk betina
dan jantan adalah 1:4. Stok larva dipelihara dalam satu wadah dengan kepadatan
100 ekor L-1 dan diberi pakan alami berupa rotifera pada hari ke-2 setelah menetas
dan pada hari ke-7 diberikan artemia sebagai pakan lanjutan. Benih berumur 10
hari dipindahkan dalam wadah perlakuan dengan kepadatan 10 ekor l-1 dengan
ukuran 2.02+0.16 mm. Wadah yang digunakan untuk perlakuan adalah akuarium
dengan ukuran 30x25x25 cm sebanyak 18 buah dan pada saat perlakuan diisi air
dengan volume 10 l. Untuk mempertahankan suhu media agar tetap stabil, semua
wadah percobaan ditempatkan dalam water bath yang diberi termostat sehingga
mudah dilakukan pengontrolan suhu. Pakan buatan yang digunakan pada
penelitian ini menggunakan pakan alami artemia dan pakan mikrodiet berukuran
200-400 dengan kandungan nutrient pakan seperti diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil proksimat pakan uji (% bobot kering)
Komposisi Nutrien
(%)

Jenis Pakan
Artemia

Mikrodiet

Protein

65.06

60.93

Lemak

14.45

12.84

Abu

5.06

7.36

Serat Kasar

3.42

2.52

BETN

12.01

16.62

Ket :
BETN = Bahan ekstrak tanpa nitrogen

4

Pemeliharaan dan Pengamatan Larva
Penyediaan benih dilakukan 2 minggu sebelum perlakuan, yaitu dengan
memijahkan induk ikan betok yang disuntik ovaprim dengan dosis 0.1 mL kg-1
berat badan. Larva hasil pemijahan dipelihara dalam wadah stok dengan
kepadatan 100 ekor L-1 dengan diberi pakan rotifer pada hari ke-2 dan dilanjutkan
dengan artemia pada hari ke-7, setelah berumur 10 hari maka larva dipindahkan
ke akurium perlakuan dengan kepadatan 10 ekor L-1 sebanyak 18 akuarium
dengan volume air 10 liter yang digunakan dalam pengamatan pertumbuhan dan
sintasan larva. Pakan alami berupa artemia diberikan secara adlibitum dengan
kepadatan 5 ekor mL-1. Frekuensi pemberian pakan buatan sebanyak 4 kali sehari
secara at satiation, dengan perlakuan yaitu:
a. Perlakuan W15 pemberian pakan buatan dimulai pada hari ke-15 setelah
menetas
b. Perlakuan W20 pemberian pakan buatan dimulai pada hari ke-20 setelah
menetas
c. Perlakuan W25 pemberian pakan buatan dimulai pada hari ke-25 setelah
menetas
d. Perlakuan AR pemberian pakan alami artemia
e. Perlakuan MD pemberian pakan buatan mikrodiet
Pemeliharaan dan pengamatan larva dilakukan sampai larva berumur 35 hari
setelah menetas. Pengambilan sampel untuk pengukuran panjang, berat,
konsentrasi RNA/DNA dan aktivitas enzim pencernaan juga dilakukan pada akhir
masa perlakuan. Sepanjang masa pemeliharaan, kualitas air dipertahankan dengan
penyiponan setiap hari dan pergantian air sebanyak 10% dari volume air media.
Kualitas air pada akuarium selama penelitian ini berada pada kisaran suhu 26-27.5
0
C, DO 5.2-7.2 mg L-1, pH 6.5-7.4 dan NH3 0.001-0.005 mg L-1, nilai ini masih
berada dalam kisaran yang dibutuhkan pada budidaya ikan betok (Bunasir et al.
2013).
Parameter Uji
1. Pertumbuhan Larva
Pengukuran pertumbuhan larva dilakukan dengan menimbang berat badan
dan mengukur panjang larva pada akhir masa perlakuan. Berat larva ditimbang
menggunakan timbangan analitik dengan ketelitian 0.01 dan panjang larva diukur
dengan bantuan kertas millimeter. Data berat dan panjang larva selanjutnya
digunakan juga dalam perhitungan untuk menentukan indeks faktor kondisi
dengan rumus: K = 100 x (W/L3), dimana W adalah berat badan larva (g) dan L
adalah panjang larva (cm) (Froese 2006).
2. Enzim pencernaan
Enzim pencernaan yang diukur pada penelitian ini meliputi amilase, pepsin,
tripsin, kimotripsin dan lipase. Berat sampel larva yang digunakan untuk
pengujian enzim berkisar antara 1.5 – 2.5 gram dan dihomogenisasi (1 g 10 mL-1)
selama beberapa menit dalam buffer dingin yang mengandung Tris-HCL 50 mM,
CaCl2 20 mM dengan pH 7.5. Supernatant yang diperoleh setelah disentrifugasi
12.000 rpm selama 15 menit pada suhu 40 0C, kemudian disimpan dalam freezer -

5

80 0C untuk dapat digunakan selanjutnya dalam pengukuran aktivitas enzim.
Enzim pencernaan yang diukur dinyatakan dalam satuan mU/mg protein
(Bradford 1976). Pengujian amilase dan pepsin menggunakan metode
Worthington (1993), uji tripsin dan kimotripsin menggunakan metode Erlanger et
al. (1961) dan uji lipase menggunakan menggunakan metode Borlongan (1990).
Prosedur analisis aktivitas enzim dan protein selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 7. Pada tripsin dan kimotripsin lebih lanjut dilakukan perhitungan rasio
tripsin/kimotripsin untuk melihat laju sintesis protein dan sintesis pertumbuhan
(Holt 2011).
3. Rasio RNA:DNA
Selain pengukuran panjang dan berat akhir larva, pertumbuhan dan kondisi
nutrisi pada stadia larva dan juvenil dapat diestimasi dengan menghitung rasio
RNA:DNA pada jaringan (Caldarone et al. 2006). Estimasi kandungan asam
nukleat (RNA dan DNA) dilakukan melalui dua tahapan yaitu ekstraksi asam
nukleat dan pengukuran kandungan asam nukleat. Ekstraksi RNA menggunakan
pereaksi Genezol dan untuk mengekstraksi DNA digunakan Ultra Clean Wash
Buffer. Selanjutnya kandungan RNA dan DNA hasil ekstraksi diukur
menggunakan GENE Quant pada
630 nm dan hasilnya digunakan dalam
perhitungan perbandingan rasio RNA:DNA. Prosedur ekstraksi dan pengukuran
RNA dan DNA selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8.
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5
perlakuan dan 3 ulangan. Uji statistika dilakukan pada parameter pertumbuhan
larva sedangkan pada aktivitas enzim pencernaan dilakukan analisa secara
deskriptif. Data yang diperoleh ditabulasi dengan program MS. Office Excel 2013
dan untuk uji ANOVA dianalisis dengan menggunakan program SPSS 18.
Perlakuan yang berbeda nyata diuji lanjut dengan uji lanjut Duncan.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Parameter yang digunakan dalam mengukur kinerja pertumbuhan larva
(Lampiran 1-6) adalah rerata panjang akhir (L), berat akhir (W), faktor kondisi
(K), konsentrasi RNA, konsentrasi DNA dan rasio RNA:DNA (RD) yang diukur
pada hari ke-35 disajikan pada Tabel 2. Pada hasil pengukuran panjang akhir larva
ikan betok, didapatkan hasil perlakuan MD memiliki nilai yang tidak berbeda
nyata dengan perlakuan W15, W25 dan AR namun berbeda nyata dengan
perlakuan W20. Berat larva pada perlakuan MD juga tidak berbeda nyata dengan
perlakuan W15, W25, dan AR namun berbeda nyata dengan perlakuan W20. Hasil
perhitungan indeks faktor kondisi menunjukkan tidak berbeda nyata pada seluruh
perlakuan dengan kisaran nilai 1.75–2.50 yang berarti bahwa larva seluruhnya
dalam kondisi yang baik karena memiliki nilai > 1 (Froese 2006). Sedangkan nilai

6

konsentrasi RNA dan DNA memiliki kecenderungan peningkatan selaras dengan
pertumbuhan panjang dan berat dengan nilai terendah dimiliki oleh perlakuan MD
dan tertinggi pada perlakuan W20. Demikian juga pada hasil perhitungan rasio
RNA:DNA (RD) mengalami peningkatan selaras dengan nilai faktor kondisi pada
perlakuan W15, W20 dan W25, kecuali pada perlakuan AR dan MD yang
memiliki nilai RD lebih tinggi dikarenakan nilai konsentrasi DNA sebagai nilai
pembagi lebih tinggi dari pada konsentrasi RNA-nya.
Tabel 2 Rerata panjang (L), berat akhir (W), faktor kondisi (K), konsentrasi RNA,
konsentrasi DNA dan rasio RNA:DNA (RD) larva ikan betok pada
perlakuan pemberian pakan buatan pada hari yang berbeda
Perlakuan pemberian pakan buatan pada larva ikan betok (W-hari)
Parameter
W15

W20

W25

AR

MD

L(cm)

1.59±0.220ab

1.84±0.183b

1.68±0.093ab

1.80±0.188ab

1.27±0.241a

W(g)

0.77±0.009ab

0.81±0.023b

0.78±0.007ab

0.78±0.020ab

0.74±0.007a

K

2.31±0.318a

2.18±0.122a

1.75±0.024a

2.06±0.657a

RNA(μg)

0.018±0.001bc

0.020±0.001c

0.017±0.002bc

0.016±0.000b

0.012±0.001a

DNA(μg)

0.12±0.003c

0.15±0.001e

0.14±0.001d

0.11±0.001b

0.07±0.001a

RD

0.15±0.003b

0.13±0.005a

0.12±0.013a

0.15±0.002b

0.17±0.008c

2.50±0.139a

Ket: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan
yang berbeda nyata (p