Konflik Batin Tokoh Gadis Pantai dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramodya Ananta Toer: Tinjauan Psikologi Sastra

(1)

KONFLIK BATIN TOKOH GADIS PANTAI

DALAM NOVEL

GADIS PANTAI

KARYA

PRAMOEDYA ANANTA TOER : TINJAUAN

PSIKOLOGI SASTRA

SKRIPSI

OLEH :

NORTON SITANGGANG 090701020

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

PERNYATAAN

Konflik Batin Tokoh Gadis Pantai dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramodya Ananta Toer: Tinjauan Psikologi Sastra

Oleh

Norton Sigop Pandapotan Sitanggang NIM 090701020

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yanng tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2014 Penulis,

Norton Sigop Pandapotan Sitanggang NIM. 090701020


(3)

ABSTRAK

Konflik Batin Tokoh Gadis Pantai dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramodya Ananta Toer: Tinjauan Psikologi Sastra

Oleh Norton Sigop NIM 090701020

Novel Gadis Pantai merupakan novel di dalamnya terdapat objek kajian

psikosastra karena puncak cerita dalam novel yang bertumpu pada konflik batin yang dihadapi oleh si tokoh. Selain itu, sikap tokoh dalam menghadapi konflik batin juga menarik untuk diteliti. Tujuan Penelitian dalam skripsi ini adalah memaparkan dan mendeskripsikan konflik batin Gadis Pantai dalam novel Gadis Pantai dan sikap Gadis Pantai dalam menghadapi konflik batin yang dihadapinya.

Novel Gadis Pantai adalah novel yang berisi rangkaiancerita hingga membentuk

klimaks cerita berupa konflik batin yang dihadapi tokoh Gadis Pantai.Metode yang digunakan dalam menganalisi data adalah analisis deskriptif dan pengklasifikasian data. Penelitian ini menggunakan teori Psikologi Sastra. Hasil penelitian menunjukkan beberapa hasil analisis.Konflik batin tokoh Gadis Pantai dipaparkan dan digambarkan serta diklasifikasikan berdasarkan jenis konflik tipe 1, 2, dan 3 dan hasilnya tokoh Gadis Pantai mengalami ketiga jenis konflik tersebut di dalam cerita. Ada enam faktor penybab munculnya konflik di dalam batin tokoh Gadis Pantai, yaitu enam faktor, yaitu teori agresi, teori kehilangan, teori kepribadian, teori kognitif, teori ketidakberdayaan, dan teori perilaku. Sikap tokoh dalam menghadapi konflik batin yang dihadapi tokoh secara umum hanya berdiam diri dan menangis.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul:

Konflik Batin Tokoh Gadis Pantai dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramodya Ananta Toer : Tinjauan Psikologi Sastra

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan dan ketulusan hati penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis kepada Ayahanda M. Sitanggang dan Ibunda R. Simanjuntak terima kasih telah membesarkan, mendidik, memberikan doa, dan dukungan serta telah banyak berjuang secara moral ataupun moril untuk penulis.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini secara khusus dengan tulus dan, rasa hormat penulis mengucap terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU beserta

pembantu dekan I, II, dan III.

2. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.S. selaku Ketua Departemen Bahasa dan

Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya USU beserta Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya USU.

3. Bapak Drs. Isma Tantawi, M. A. selaku Dosen Pembimbing I Skripsi yang telah

banyak memberikan bimbingan serta arahan kepada penulis dalam menyusun skripsi dan Ibu Dra. Keristiana, M.Hum. sebagai dosen Pembimbing II yang juga


(5)

turut memberikan pemikiran serta membagi ilmu kepada penulis dalam menyusun skripsi.

4. Ibu Dr. Gustianingsih, M.Hum. sebagai dosen Pembimbing Akademik.

5. Bapak/ Ibu Dosen beserta staf pegawai Departemen Departemen Bahasa dan Sastra

Indonesia Fakultas Ilmu Budaya USU.

6. Kepada saudara-saudaraku yang tersayang Mikael, Ranto Nius, Santi dan Tiur serta keluarga besar penulis mengucapkan terima kasih telah senantiasa memberi dukungan, kepada Linda Nursanti, S.Pd. yang selalu membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi penulis dan memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini, seluruh teman-teman seperjuangan Sastra Indonesia Khususnya stambuk/angkatan 2009 yang telah banyak memberi penghiburan, kepada abangda dan kakanda senior stambuk 2008, 2007 dan 2005 yang dekat dengan penulis, dan kepada adik-adik penulis stambuk 2010 hingga 2012.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan baik isi, bahasa maupun tata bahasa untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2014 Penulis

Norton Sigop Pandapotan Sitanggang Nim. 090701020


(6)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Batasan Masalah ... 3

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3

4.1 Tujuan Penelitian ... 3

4.2 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 5 2.1 Konsep ... 5

1. 1 Pengertian Novel ... 5

1. 2 Konflik Batin ... 6

2. 1 Konflik ... 6

2. 2 Batin ... 8

2. 3 Konflik Batin ... 9

2.2 Teori Psikologi sastra ... 11

2. 1 Psikologi Sastra ... 11

2. 2 Psikologi dan Sastra ... 13

2.3 Tinjauan Pustaka ... 14

BAB III METODE PENELITIAN ... 18

3.1 Sumber Data ... 18

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 19

3.3 Teknik Analisis Data ... 19

3.4. Sinopsis ... 20

BAB IV KONFLIK BATIN TOKOH GADIS PANTAI DALAM NOVEL GADIS PANTAI ... 22


(7)

4.2 Sikap Tokoh Gadis Pantai dalam Menghadapi Konflik ... 45

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 48

5.1 Simpulan ... 48

5.2 Saran ... 50


(8)

ABSTRAK

Konflik Batin Tokoh Gadis Pantai dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramodya Ananta Toer: Tinjauan Psikologi Sastra

Oleh Norton Sigop NIM 090701020

Novel Gadis Pantai merupakan novel di dalamnya terdapat objek kajian

psikosastra karena puncak cerita dalam novel yang bertumpu pada konflik batin yang dihadapi oleh si tokoh. Selain itu, sikap tokoh dalam menghadapi konflik batin juga menarik untuk diteliti. Tujuan Penelitian dalam skripsi ini adalah memaparkan dan mendeskripsikan konflik batin Gadis Pantai dalam novel Gadis Pantai dan sikap Gadis Pantai dalam menghadapi konflik batin yang dihadapinya.

Novel Gadis Pantai adalah novel yang berisi rangkaiancerita hingga membentuk

klimaks cerita berupa konflik batin yang dihadapi tokoh Gadis Pantai.Metode yang digunakan dalam menganalisi data adalah analisis deskriptif dan pengklasifikasian data. Penelitian ini menggunakan teori Psikologi Sastra. Hasil penelitian menunjukkan beberapa hasil analisis.Konflik batin tokoh Gadis Pantai dipaparkan dan digambarkan serta diklasifikasikan berdasarkan jenis konflik tipe 1, 2, dan 3 dan hasilnya tokoh Gadis Pantai mengalami ketiga jenis konflik tersebut di dalam cerita. Ada enam faktor penybab munculnya konflik di dalam batin tokoh Gadis Pantai, yaitu enam faktor, yaitu teori agresi, teori kehilangan, teori kepribadian, teori kognitif, teori ketidakberdayaan, dan teori perilaku. Sikap tokoh dalam menghadapi konflik batin yang dihadapi tokoh secara umum hanya berdiam diri dan menangis.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconcious) yang setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (conscious). Situasi sadar ataupun setengah sadar akan selalu mewarnai proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa besar kemampuan pengarang dalam mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam bentuk karya sastra (Endaswara, 2011: 96).

Manusia mempunyai watak, temperamen, pengalaman, pandangan, dan perasaan sendiri yang berbeda dengan yang lainnya. Namun demikian, manusia sebagai makhluk pribadi tidak dapat terlepas dengan individu lainnya. Interaksi antarindividu ini tidak jarang menimbulkan suatu konflik, baik konflik dalam diri sendiri, antarindividu, maupun antarkelompok masyarakat. Dengan kata lain, manusia selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup. Manusia dalam menghadapi persoalan dalam kehidupan tidak terlepas dari jiwa manusia itu sendiri. Jiwa di sini meliputi pemikiran, pengetahuan, tanggapan, khalayak, dan jiwa itu sendiri (Walgito, 1996: 7).

Karya sastra yang diciptakan oleh pengarang selalu menampilkan tokoh yang memiliki karakter sehingga karya sastra juga menggambarkan kejiwaan manusia walaupun pengarang itu menggambarkan tokoh hanya dalam bentuk fiksi. Dalam kenyataan itu, karya sastra tidak dapat dipisahkan dari segala aspek kehidupan termasuk di dalamnya ilmu kejiwaan atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman bahwa manusia yang pada dasarnya merupakan gabungan


(10)

jiwa dan raga. Oleh karena itu, penelitian karya sastra melalui pendekatan psikologi sastra merupakan bentuk pemaknaan dan penafsiran sastra dari sisi psikologi. Hal ini didukung oleh tokoh-tokoh dalam karya sastra yang dimanusiakan, mereka semua diberi jiwa, raga, bahkan untuk manusia yang disebut pengarang mungkin memiliki penjiwaan yang lebih bila dibandingkan dengan manusia lainnya terutama penghayatan mengenai hidup dan kehidupan.

Dalam novel Gadis Pantai terdapat objek kajian psikosastra dengan puncak-puncak cerita bertumpu pada konflik batin yang dihadapi oleh si Gadis Pantai. Konflik- konflik yang digambarkan membentuk suatu klimaks cerita yang menjadi menarik untuk diteliti berdasarkan kajian psikologi sastra.

Novel Gadis Pantai merupakan novel trilogi karangan Pramodya Ananta

Toer yang tidak terselesaikan (Unfinishied) karena dua bagian akhir hilang oleh keganasan penguasa pada masa buku ini terbit. Novel ini diselamatkan oleh Universitas Nasional Australia hingga akhirnya kembali ke tangan pengarang melalui P. Scherer yang menulis thesis mengenai kepengarangan Pramodya Ananta Toer.

Novel Gadis Pantai menceritakan kehidupan seorang anak seorang nelayan di sebuah desa nelayan. Banyak cobaan yang dihadapi oleh si Gadis Pantai dalam melakoni perannya di dunia ini. Percobaan yang dihadapinya menimbulkan banyak konflik yang menimpanya. Adapun konflik yang disebabkan oleh diri sendiri atau oleh tokoh lain inilah yang akan menimbulkan munculnya konflik batin dalam diri si tokoh. Konflik batin inilah yang akhirnya mengganggu kejiwaan si Gadis Pantai.

Melalui penggambaran tokoh dengan pergolakan batin, pembaca novel ini diajak untuk menyelami sedalam mungkin apa yang dirasakan oleh tokoh dalam cerita. Penggambaran yang ada seakan-akan benar-benar terjadi dan dapat


(11)

dirasakan oleh pembaca. Permasalahan yang dibicarakan dalam berbicara tentang psikologi tidak terlepas dari ranah pengarang, karya, dan tokoh dalam karya.

1. 2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah, yaitu sebagai berikut:

1. Apa sajakah konflik batin yang dialami tokoh Gadis Pantai dalam novel

Gadis Pantai?

2. Bagaimanakah sikap tokoh Gadis Pantai dalam menghadapi konflik

tersebut?

1. 3 Batasan Masalah

Batasan masalah dalam suatu penelitian sangatlah penting agar penelitian lebih terarah sehingga tujuan penelitian dapat tercapai. Apabila dilihat dari berbagai

segi, novel Gadis Pantai karya Pramudya Ananta Toer mencakup segala unsur,

tetapi dalam hal ini penulis hanya memfokuskan penelitian pada konflik batin yang dialami oleh tokoh Gadis Pantai dalam novel dan bagaimana tokoh tersebut dalam menghadapi konflik yang dialaminya itu.

I. 4 Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1 Tujuan

Sesuai dengan perumusan masalah di atas, tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan dan memaparkan konflik batin yang dihadapi tokoh Gadis

Pantai dalam novel Gadis Pantai karya Pramudya Ananta Toer


(12)

I.4.2 Manfaat

Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut 1.4.2.1Manfaat Teoretis

Manfaat analisis ini Manfaat teoretis adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi teori yang relevan serta menambah wawasan masyarakat dalam memahami novel.

1.4.2.2 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis analisis ini adalah menambah wawasan pembaca dan menjadi sumber masukan bagi penelitian dengan objek kajian bernaung dalam novel Gadis Pantai karya Pramudya Ananta Toer


(13)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret (Alwi, dkk, 2003: 588). Dengan kata lain, konsep merupakan suatu unsur penelitian yang dipergunakan untuk mengarahkan suatu penelitian. Konsep digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan, menggambarkan, ataupun mendeskripsikan suatu topik pembahasan. Konsep yang dimaksud adalah analisis objek dalam novel Gadis

Pantai yang berupa konflik batin yang dialami tokoh dalam cerita. Berdasarkan

uraian di atas, penelitian ini akan mempergunakan beberapa konsep sebagai dasar penelitan, sebagai berikut

2.1.1 Pengertian Novel

Novel berasal dari bahasa Italia, yaitu Novela dalam bahasa Jerman disebut Novelle dan dalam Bahasa Yunani Novelus yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjang cakupannya tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:694) novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang sekelilingnya dan menonjolkan watak dan sifat si pelaku.

H. B. Jassin (1997: 64) menyebutkan bahwa “Novel sebagai karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang”. Hal ini berarti kejadian yang dialami tokoh termasuk di


(14)

dalamnya konflik yang dialami para tokoh merupakan unsur terpenting dalam membangun cerita dalam sebuah novel.

Novel merupakan karya satra berjenis prosa dengan kumpulan realita yang di dalamnya pasti terkandung perilaku manusia atau tokoh. Realita pisikologis adalah salah satu realita yang paling sering muncul dalam sebuah karya satra terutama pada sebuah novel. Di dalam novel, terkandung realita pisikologis berupa kehadiran suatu fenomena kejadian tertentu yang dialami tokoh utama ketika bereaksi dengan lingkungannya dan mungkin juga terhadap dirinya sendiri.

Sebuah novel memiliki banyak unsur pendukung salah satunya adalah tokoh dan konflik yang dialami pada tokoh. Tokoh adalah unsur terpenting yang dapat kita temukan dalam karya satra yang berbentuk novel. Tokoh memiliki karakter yang berbeda-beda sehingga melahirkan bermacam-macam tingkah laku dan ceritanya masing-masing

2.1.2 Konflik Batin 2.1.2.1 Konflik

Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Konflik adalah adanya pertentangan yang timbul di dalam seseorang (masalah intern) maupun dengan orang lain (masalah ekstern) yang ada di sekitarnya. Konflik dapat berupa perselisihan (disagreement), adanya ketegangan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antar kedua belah pihak, sampai kepada mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai penghalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan masing-masing.


(15)

Pada dasarnya konflik timbul ketika manusia merasakan kenyataan yang dihadapinya tidak sesuai dengan harapan sehingga berpengaruh pada kepribadian sesorang. Menurut Walgito kepribadian dapat dibentuk oleh beberapa faktor, yaitu 1. Faktor Endogen

Faktor yang merupakan sifat bawaan sejak dari kandungan. Faktor endogen erupakan faktor keturunan atau bawaan yang bersifat kejiwaan baik keadaan jasmani maupun rohani.

2. Faktor Eksogen

Faktor yang berasal dari luar diri individu. Faktor ini meliputi pengalaman pendidikan, dan alam sekitar.

Konflik adalah percekcokan, perselisihan, atau pertentangan. Konflik dalam karya sastra sangat memengaruhi pembaca. Sebuah karya sastra akan menarik jika menghadirkan konflik yang dapat membuat pembaca ikut terhanyut dalam konflik yang dihadapi oleh tokoh cerita. Pernyataan ini didukung oleh pendapat-pendapat Irwanto (1997) dan Nurgiyantoro (2000). Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan pertentangan dua keinginan untuk memenuhi kebutuhan dalam waktu bersamaan dalam diri seseorang sehingga mempengaruhi tingkah laku. Berdasarkan bentuknya konflik dapat dibedakan menjadi konflik internal dan konflik eksternal.

Menurut James A.F. Stoner dan Charles Wankel jenis-jenis konflik terbagi atas :

1. Konflik Intrapersonal.

Konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik ini terjadi pada saat yang bersamaan memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus.


(16)

2. Konflik interpersonal.

Konflik interpersonal terbagi atas.

a. Konflik ini adalah konflik seseorang dengan orang lainnya karena

memiliki perbedaan keinginan dan tujuan.

b. Konflik antar individu-individu dan kelompok-kelompok,

Hal ini sering kali berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas yang ditekankan pada kelompok kerja mereka. Sebagai contoh seorang individu dapat dikenai hukuman karena tidak memenuhi norma-norma yang ada.Konflik interorganisasi.

3. Konflik Antargrup

Konflik dalam suatu organisasi adalah suatu yang biasa terjadi, yang tentu menimbulkan kesulitan dalam koordinasi dan integrasi dalam kegiatan yang menyangkut tugas-tugas dan pekerjaan. Karena hal ini tak selalu bisa dihindari maka perlu adanya pengaturan agar kolaborasi tetap terjaga dan menghindari disfungsional.

Mengingat objek penelitian di dalam penelitian ini mengarah ke arah pergolakan batin, penelitian ini lebih condong ke arah jenis konflik intrapersonal.

2.1.2.2Batin

Batin adalah sesuatu yang terdapat di dalam hati; sesuatu yang menyangkut jiwa (perasaan hati dsb), sesuatu yang tersembunyi (gaib, tidak kelihatan), dan semangat; hakikat (Alwi, dkk, 2003: 588). Batin merupakan salah satu unsur pembentuk cerita di mana batin akan melekat pada diri tokoh. Batin, sebagai bagian dari tokoh, sering dipermainkan oleh pengarang untuk membentuk seri cerita yang menarik untuk dibahas. Pergolakan batin yang digambarkan dalam cerita dapat


(17)

membawa kita sebagai pembaca ke dalam cerita seakan-akan kita merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh dalam cerita.

2.1.2.3Konflik Batin

Konflik internal (atau:konflik kejiwaan), di pihak lain adalah konflik yang terjadi dalam hati, jiwa seorang tokoh (atau: tokoh-tokoh) cerita. Jadi, ia merupakan konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri, ia lebih merupakan perasaan intern seorang manusia (Nurgiyantoro, 2010: 124).

Konflik sangat berhubungan dengan kepribadian seseorang dalam hakikatnya sebagai manusia. Kepribadian tidak hanya menyangkut pada pikiran, perasaan, dan sebagainya, melainkan secara keseluruhan sebagai panduan antara kehidupan seseorang sebagai anggota masyarakat atau di dalam interaksi sosial. Konflik dapat terjadi karena ketidakseimbang antara ego, kompleks, dan arsetip.

Konflik batin merupakan konflik yang terjadi di dalam diri tokoh itu sendiri (internal). Tujuan-tujuan yang saling bertentangan berada dalam diri seorang tokoh itu sendiri. Keinginan untuk mendapatkan keduanya melahirkan suatu konflik batin tersebut.

Kurt Lewin ( dalam Alwisol, 2009: 305- 309 membagi Konflik atas tiga tipe, yaitu

1. Konflik Tipe 1

Konflik yang sederhana terjadi kalau hanya ada dua kekuatan berlawanan yang mengenai individu. Ada tiga macam konflik tipe ini, antara lain

a. Konflik mendekat- mendekat, dua kekuatan yang mendorong ke arah

yang berlawanan, misalnya sesorang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama- sama disenanginya.


(18)

b. Konflik menjauh- menjauh, dua kekuatan yang mendorong ke arah yang berlawanan, misalnya seseorang dihadapkan pada dua kekuatan yang sama- sama tidak disenanginya.

c. Konflik mendekat – menjauh, dua kekuatan mendorong dan

menghambat muncul dari satu tujuan, misalnya seseorang yang dihadapkan pada pilihan sekaligus mengandung unsur yang disenangi dan tidak disenanginya.

2. Konflik Tipe 2

Konflik yang kompleks bisa melibatkan lebih dari dua kekuatan. Konflik yang kompleks dapat membuat orang menjadi diam, terpaku, atau terperangkap oleh berbagai kekuatan dan kepentingan sehingga tidak dapat menentukan pilihan.

3. Konflik Tipe 3

Orang berusaha untuk mengatasi kekuatan- kekuatan yang menghambat sehingga konflik menjadi terbuka, ditandai sikap kemarahan, agresi, pemberontakan, atau sebaliknya penyerahan diri yang neurotik. Pertentangan antara kebutuhan pribadi dalam, konflik antarpengaruh, dan pertentangan antara kebutuhan dan pengaruh menimbulkan pelampiasan usaha untuk mengalahkan kekuatan penghambat.


(19)

2.2 Teori Psikologi Sastra 2.2.1 Psikologi Sastra

Walgito (2004: l) menjelaskan bahwa, ditinjau dari segi bahasa, psikologi berasal dari kata psyche yang berati ‘Jiwa' dan logos berarti 'ilmu' atau 'ilmu pengetahuan', karena itu psikologis sering diartikan dengan ilmu pengetahuan tentang jiwa. psikologi merupakan ilmu yang mempelajari dan menyelidiki aktivitas dan tingkah laku manusia. Aktivitas dan tingkah laku tersebut merupakan manifestasi kehidupan jiwanya. Jadi, jiwa manusia terdiri dari dua alam, yaitu alam sadar (kesadaran) dan alam tak sadar (ketidaksadaran). Kedua alam tidak hanya saling menyesuaikan, alam sadar menyesuaikan terhadap dunia luar, sedangkan alam tak sadar penyesuaiannya terhadap dunia dalam. Jadi psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa yang mencakup segala aktivitas dan tingkah laku manusia.

Psikologi sangat erat kaitannya dengan kepribadian, sama halnya dengan kaitan antara kepribadian dengan konflik batin. Penelitian ini menggunakan teori Kepribadian dari Carl Gustav Zung. Zung berpendapat bahwa kepribadian mencakup keseluruhan pikiran, perasaan, kesadaran, dan ketidaksadaran. Kepribadian membimbing seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Kepribadian disusun oleh sejumlah sistem yang tersusun dalam tiga tingkat

kesadaran: ego beroperasi pada tingkat kesadaran, Kompleks beroperasi pada

tingkat ketidaksadaran pribadi, dan arsetip pada tingkat kolektif. Di samping sistem yang terikat pada daerah operasinya masing-masing, terdapat sikap (introvert-ekstrovert) dan fungsi (perasaan-persepsi-intuisi) yang beroperasi pada semua tingkat kesadaran (Alwisol,2004:48).


(20)

Begitu pula halnya tokoh fiktif dalam suatu cerita, dapat dianalisis kepribadian dan konflik yang dialami sebagai tokoh di dalam novel. Ada dua tipe kepribadian yang dikemukakan oleh Carl Gustav Zung, yaitu

1. Tipe Kepribadian Introfert

Tipe ini merupaka tipe pada manusia yang dipengaruhi oleh dunia subjektif, yaitu dunia dalam diri sendiri. Orientasinya hanya tertuju ke dalam pikiran, perasaan, dan tindakannya. Penyesuaian terhadap dunia luar kurang baik, jiwa tertutup, sukar bergaul, kurang menarik perhatian orang lain, tetapi penyesuaian terhadap hatinya sendiri sangat baik.

2. Tipe Kepribadian Ekstrofert

Tipe yang dipengaruhi oleh dunia objektif yaitu dunia dari luar dirinya. Orientasi ke luar dari pikirannya, perasaan dan tindakan yang ditentukan oleh lingkungannya baik lingkungan sosial maupun nonsosial.

Psikologi sastra merupakan disiplin ilmu yang ditopang oleh tiga pendekatan studi. Menurut Roekhan (dalam Endraswara, 2003: 9), pendekatan tersebut antara lain

a. Pendekatan tekstual, yaitu mengkaji aspek psikologi sang tokoh dalam sebuah karya sastra.

b. Pendekatan representatif pragmatik, yaitu mengkaji aspek psikologi pembaca

sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya sastra yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra.

c. Pendekatan ekspresif, yaitu aspek psikologi sang penulis ketika melakukan

proses kreatif yang terproyeksi melalui karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun wali masyarakat. Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan orang


(21)

lain. Perbedaannya adalah bahwa gejala kejiwaan yang terdapat dalam sastra adalah gejala kejiwaan dari manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia-manusia riil.

Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta rasa, dan karsa dalam berkarya. Pembaca dalam menanggapi karya tidak lepas dari kejiwaan masing-masing. Psikologi sastra juga mengenal karya sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa, kemudian diolah ke dalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Proyeksi pengalaman sendiri dan pengalaman hidup di sekitar pengarang akan terproyeksi secara imajiner ke dalam teks sastra (Endraswara, 2008: 96).

Ada empat model dalam psikologi sastra, yaitu meliputi pengarang, proses kreatif, karya sastra, dan pembaca. Dengan demikian, psikologi sastra memiliki tiga gejala utama yaitu pengarang, karya sastra, dan pembaca. Psikologi pada psikosastra fokus pada pengarang dan karya sastra dibandingkan pembaca. Untuk memahaminya harus dilihat bahwa pendekatan terhadap pengarang merupakan pemahaman terhadap ekspresi kesenimannya, pada karya sastra mengacu pada objektivitas karya dan pada pembaca mengacu pada pragmatisme. Psikosastra mengacu pada karya sastra termasuk di dalamnya gambaran konflik yang digambarkan si pengarang melalui proses kreatif untuk membentuk suatu karya sastra.

2.2.2 Psikologi dan Sastra

Sastra dan psikologi mempunyai hubungan langsung, artinya hubungan itu ada karena sastra atau psikologi kebetulan memiliki tempat berangkat yang sama


(22)

yakni kejiwaan manusia (Damono, 2002: 11). Psikologi jelas terlibat erat karena psikologi mempelajari perilaku. Perilaku manusia tidak terlepas dari aspek kehidupan yang mewarnai makna, pada umumnya aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra.

Pada awalnya, ada keraguan bahwa aspek psikologi dapat masuk ke dalam teks sastra. Keraguan ini cukup menggoda karena dalam meneliti, peneliti harus mencermati aspek-aspek psikologis yang terdapa dalam teks. Sementara, aspek psikologi yang terdapat dalam teks sastra bersifat abstrak. Oleh karena itu, Psikologi dan sastra selain memiliki hubungan fungsional karena sama-sama memiliki objek berupa kehidupan manusia juga memiliki perbedaan, yaitu psikologi dalam mempelajari kejiwaan bersifat riil, sedangkan dalam sastra bersifat imajinatif.

2.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka bertujuan untuk mengetahui keaslian karya ilmiah karena pada dasarnya suatu penelitian berasal dari acuan yang mendasarinya. Tinjauan pustaka dilakukan sebagai titik tolak untuk mengadakan suatu penelitian. Untuk mengetahui keaslian penelitian ini, dipaparkan beberapa tinjauan pustaka yang telah dimuat dalam bentuk skripsi.

Adapun penelitian yang pernah dilakukan dengan objek kajian novel Gadis Pantai, antara lain

Penelitian dengan objek kajian novel Gadis Pantai pernah dilakukan oleh

Azis Prasetyo dengan judul Ketidakadilan Gender dalam Novel Gadis Pantai

Karya Pramodya Ananta Toer dalam Tinjauan Gender, FIS-UNS Jur Sosiologi dan Antropologi, 2012. Penelitian yang dilakukan oleh Azis Prasetyo dalam skripsinya


(23)

berlatar belakang konstruksi budaya Jawa yang cenderung berpatriarkhi yang berakibat pada timbulnya ketidakadilan gender. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengungkap setting masyarakat feodal dalam novel Gadis Pantai Karya Pramodya Ananta Toer, (2) Mengungkap fenomena ketidakadilan gender dalam novel Gadis Pantai Karya Pramodya Ananta Toer.

Sehubungan dengan tujuan penelitian, penelitian ini menggunakan teknik analisis wacana karena data yang ada berupa muatan makna yang terdapat dalam rangkaian kalimat bukan dalam bentuk angka. Hasil penelitian ini bukan memfokuskan pada muatan teks yang nyata, melainkan pada analisis terhadap makna yang tersembunyi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa setting masyarakat feodal yang berlaku budaya berpatriarkhi dalam masyarakat yang mencerminkan suatu gambaran masyarakat dengan keterkaitan stratifikasi sosial, pola kekuasaan, dan inferiotas terhadap perempuan yang menyebabkan ketidakadilan gender. Hal tersebut sudah tertanam kuat dalam pola pikir masyarakat yang dilanggengkan melalui proses warisan kebudayaan dengan cara sosialisasi.

Simpulan yang dihasilkan adalah konstruksi kebudayaan masyarakat feodal yang berlaku menyebabkan munculnya bentuk ketidakadilan terhadap perempuan seperti yang terkandung dalam karya sastra. Penelitian ini juga menghasilkan temuan yang unik yang terdapat dalam novel Gadis Pantai. Dalam novel ditemukan bahwa tokoh utama, yaitu Gadis Pantai dinikahkan dengan sebilah kerislambang kekuasaan seorang priayi Jawa serta adanya sikap yang tabu yaitu menaikkan derajat dengan menikahkan putri yang masih muda dengan penguasa setempat walaupun hanya sebagai istri percobaan.


(24)

Penelitian selanjutnya dengan objek kajian novel Gadis Pantai juga dilakukan oleh Suminto dengan judul Novel “Gadis Pantai” Karya Pramodya Ananta Toer Analisis Struktural Levi Strauss, STAIN-Palangkaraya Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 2008

Penelitian yang dilakukan Suminto berlatar belakang pada novel Gadis

Pantai yang merupakan novel berupa trilogi dan tidak selesai (Unfinished). Mengapa demikian? karena dua buku lanjutan novel Gadis Pantai telah raib ditelan keganasan penguasa kala buku ini terbit. Gadis Pantai berhasil diselamatkan dan didokumentasikan oleh pihak Univesitas Nasional Australia. Novel ini akhimya sampai kembali kepada sang pengarang, Pramoedya Ananta Toer, rnelalui Savitri P. Scherer yang sedang menulis tesis tentang kepengarangan Pramoedya Ananta Toer. Penelitian ini bertujuan untuk membuka satu sisi budaya feodal Jawa yang memberikan ketidakadilan transgender.Selain itu, tradisi ini menunjukaan kehidupan sosial antara kasta satu dengan lainnya.

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi atau Analisis Content . Dalam menganalisis, digunakan teori struktural Levi-Strauss.

Pramoedya Ananta Toer bercerita dalam novel Gadis Pantai ini menggunakan alur maju atau lurus, sehingga bisa dilakukan analisis struktural Levi-Strauss atasnya. Alur maju atau lurus ini sesuai dengan kaidah sintagmatis dan paradigmatis yang dipersyaratkan Levi-striuss ketika melakukan analisis struktural. Alur cerita novel ini saya bagi atas empat episode: Kehidupan remaja: pernikahan. tahun pertama-pernikahan; kunjungan ke kampung halaman.

Untuk menjalankan episode-episode tersebut dibutuhkan ceriteme- ceriteme yang runtut pula. Ceritelne terbangun dengan kehadiran tokoh sentral yang


(25)

dikuatkan dengan penggambaran latar atar setting. Tokoh utama novel ini tidak bemama. Pengarang hanya menyebutnya Cadis pantai dan Bendoro saja.

Berdasarkan kedua tinjauan pustaka di atas, belum ada penelitian yang relevan atau sama dengan penelitian dalam penelitian ini. Penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah konflik batin tokoh Gadis Pantai dalam novel Gadis Pantai Karya Pramodya Ananta Toer.


(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode merupakan cara mendekati, menganalisis, mengamati, dan menjelaskan suatu fenomena dari objek yang diteliti.

3.1 Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa kata-kata atau kalimat-kalimat dan bukan angka-angka. Dalam penelitian kualitatif, data formal adalah kata-kata, kalimat, dan wacana (Ratna, 2004: 47). Data yang dimaksud adalah kata-kata, kalimat, dan wacana yang terdapat pada kumpulan cerpen LS karya Ratih Kumala.

Adapun yang menjadi sumber data yang akan dianalisis adalah:

Judul : Gadis Pantai

Ukuran buku : 13 x 20 cm

Pengarang : Pramodya Ananta Toer

Penerbit : Lentera dipantara

Tebal Buku : 272 halaman

Cetakan : Pertama

Tahun Terbit : 2003

Sumber data di atas merupakan data primer yang akan dianalisis sebagai data utama. Selain data primer terdapat juga data sekunder yang juga diperlukan seorang peneliti. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku sastra, artikel dari internet, dan sebagainya yang relevan dengan penelitian.


(27)

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Metode dalam penelitian ini merupakan metode kualitatif. Metode kualitatif menitikberatkan pada segi alamiah dan mendasarkan pada karakter yang terdapat pada data. Dalam karya sastra, sumber data yang degunakan adalah naskah, karya, data penelitian yang digunakan sebagai data formal adalah kata- kata, kalimat, dan wacana

Dalam mengumpulkan data, penelitian ini menggunakan metode

kepustakaan, library research, yaitu mengumpulkan data-data dari buku-buku,

majalah, dan sumber data lainnya yang berhubungan dengan penelitian. Sebelum dianalisis, data akan diolah dengan menggunakan teknik pengamatan, yaitu metode simak dan catat.

3.3 Teknik Analisis Data.

Penelitian ini menggunakan teknik kualitatif, yaitu penelitian yang sangat erat kaitannya dengan konseptual ( Moleong, dalam Jabrohim ed, 2001 : 42). Data-data yang telah dikumpulkan akan diuraikan dengan menggunakan metode deskriptif, yaitu menguraikan hasil penelitian secara sistematis.

Teknik analisis dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan pengklasifikasian data. Data yang diperoleh berupa data primer dan sekuder akan disusun secara sistematika. Pemerolehan data dilakukan dengan cara pembacaan secara berulang, mencatat, dan memilih. Setelah itu, dilakukan tahap penyusunan data yang dianalisis. Dalam penelitian ini, analisis tersebut didukung oleh teori penerapan psikologi dan kejiwaan menurut Carl Gustav Zung dan dilanjutkan dengan teori Kurt Lewin.

Penelitian ini berangkat dari pendekatan tekstual, yaitu dengan mengkaji psikologis tokoh dalam novel kemudian menganalis dan mendeskripsikan konflik


(28)

batin yang dialami tokoh Gadis Pantai. Melalui pendekatan terhadap konteks ini juga akan dianalisis sikap tokoh dalam menghadapi konflik batin yang dialaminya.

3.4 Sinopsis Novel Gadis Pantai Karya Pramodya Ananta Toer

Gadis Pantai adalah seorang gadis yang cukup manis, sehingga berhasil memikat hati seorang pembesar santri setempat, seorang Jawa yang bekerja pada bidang administrasi Belanda. Gadis Pantai baru berusia empat belas tahun dan belum menstruasi ketika seorang priyayi Jawa pembesar santri setempat, mengambilnya sebagai istri percobaan. Ya, istri percobaan sebelum ia mengambil istri "sebenarnya" yang datang dari kalangan yang sederajat. Dan Gadis Pantai bukanlah yang pertama yang mengalaminya. Di rumah si Bendoro (priyayi itu), Gadis Pantai diajari sholat dan banyak hal lainnya yang terkait dengan gaya hidup para bangsawan. Kehidupan si Gadis Pantai seketika berubah.

Hari- hari Gadis Pantai selanjutnya berjalan sangat lambat. Dia mendapat emas permata dan pakaian yang indah. Tak ada lagi beban kerja berat yang mesti dilakukan. Untuk mengisi hari, beberapa kali dalam seminggu seorang guru datang untuk mengajarinya membatik, menjahit, merenda, dan membuat kue. Selebihnya dia hanya akan berada di dalam kamar menanti sang bendoro datang dan selanjutnya Gadis Pantai akan menjalankan tugasnya : melayani nafsu seks sang Bendoro.

Gadis Pantai hanya melayani. Dia tidak akan pernah berani bertanya ataupun meminta. Sekadar duduk bersama Bendoro dan bercerita berbagai hal pun tak bisa dilakukan. Karena dia bukanlah istri, tetapi seorang abdi yang dinikahi resmi dan bertugas memenuhi nafsu sang Bendoro. Dia seorang abdi yang dipandang dengan hormat oleh masyarakat lainnya hanya karena dia punya banyak


(29)

emas dan tinggal di istana megah. Perkawinan tersebut memberikan prestise bagi Gadis Pantai di kampung halamannya karena dipandang telah berhasil menaikkan derajat setelah menikah dengan pembesar santri, seorang priyayi. Sejatinya perkawinan tersebut hanya upaya untuk melegalkan si pembesar santri yang hendak memuaskan kebutuhan seksnya melalui si Gadis Pantai, sebelum ia melangsungkan pernikahan yang sesungguhnya dengan wanita yang berkelas dan sederajat dengannya.

Gadis Pantai dalam perkawinannya tak lebih sebagai pemuas kebutuhan seks saja. Ia tidur dengan si pembesar santri. Prestise yang ia dapatkan dari perkawinannya tidak berlangsung lama. Ia kembali terperosok ke tanah, setelah si pembesar yang orang Jawa tega membuangnya setelah melahirkan seorang bayi perempuan.

Dalam usia yang muda belia, Gadis Pantai telah kehilangan segalanya. Ia telah kehilangan suami, tidak punya rumah, tidak ada anak (anaknya diambil oleh mantan suaminya), dan tidak punya pekerjaan. Ia pun terlalu malu untuk kembali ke kampung halamannya. Akhirya, ia pun memutuskan untuk berputar haluan menuju kota kecil Blora, dan kisah Gadis Pantai pertama berakhir disini.


(30)

BAB IV

KONFLIK BATIN TOKOH GADIS PANTAI DALAM NOVEL GADIS PANTAI

4.1 Konflik Batin yang Dialami Tokoh Gadis Pantai

Dalam pembahasan terhadap objek penelitian, yaitu novel Gadis Pantai ditemukan beberapa bentuk konflik dan pergolakan batin yang dihadapi tokoh Gadis Pantai dalam menjalani kehidupannya. Dalam bab ini akan dipaparkan identifikasi berbagai data yang menggambarkan konflik batin tokoh tersebut. Deskripsi konflik batin si Gadis Pantai akan dipaparkan dalam setiap pembabakan kehidupan Gadis Pantai. Mulai dari awal dinikahkan, memulai kehidupan di istana suami, menjalani kehidupan di istana, melihat orang tuanya yang berada di kampung hingga harus meninggalkan anak beserta suaminya karena harus kembali ke Kampung Nelayan.

Kurt Lewin ( dalam Alwisol, 2009: 305- 309) membagi Konflik atas tiga tipe, yaitu

1. Konflik Tipe 1

Konflik yang sederhana terjadi kalau hanya ada dua kekuatan berlawanan yang mengenai individu. Ada tiga macam konflik tipe ini, antara lain

a. Konflik mendekat- mendekat, dua kekuatan yang mendorong ke arah

yang berlawanan, misalnya sesorang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama- sama disenanginya.


(31)

b. Konflik menjauh- menjauh, dua kekuatan yang mendorong ke arah yang berlawanan, misalnya seseorang dihadapkan pada dua kekuatan yang sama- sama tidak disenanginya.

c. Konflik mendekat – menjauh, dua kekuatan mendorong dan

menghambat muncul dari satu tujuan, misalnya seseorang yang dihadapkan pada pilihan sekaligus mengandung unsur yang disenangi dan tidak disenanginya.

2. Konflik Tipe 2

Konflik yang kompleks bisa melibatkan lebih dari dua kekuatan. Konflik yang kompleks dapat membuat orang menjadi diam, terpaku, atau terperangkap oleh berbagai kekuatan dan kepentingan sehingga tidak dapat menentukan pilihan.

3. Konflik Tipe 3

Orang berusaha untuk mengatasi kekuatan- kekuatan yang menghambat sehingga konflik menjadi terbuka, ditandai sikap kemarahan, agresi, pemberontakan, atau sebaliknya penyerahan diri yang neurotik. Pertentangan antara kebutuhan pribadi dalam, konflik antarpengaruh, dan pertentangan antara kebutuhan dan pengaruh menimbulkan pelampiasan usaha untuk mengalahkan kekuatan penghambat.

Selanjutnya dalam bab ini, akan digambarkan secara sistematika konflik- konflik batin yang dialami tokoh berdasarkan tipe konfliknya.


(32)

A. Konflik Tipe 1

Konflik batin tokoh Gadis Pantai dalam novel Gadis Pantai diawali dengan kutipan novel di bawah ini.

Bujang kali ini tanpa bayi dalam gendongan kini kembali masuk. Gadis Pantai berdiri dari kursi . Bujang itu membungkuk padanya, begitu rendah. Mengapa ia membungkuk? Sebentar tadi ia masih sesamanya. Mengapa ia begitu merendahkan dirinya sekarang? Gadis Pantai jadi bimbang , takut, curiga. Apakah semua ini? (halaman: 26)

Dalam mengawali kehidupannya di istana suami yang tidak dikenalinya, Gadis Pantai penuh dengan rasa kebingungan. Perubahan yang mencolok dari sekitarnya membuatnya hanya bisa bertanya-tanya dalam hatinya. Dia melihat perbedaan itu diawali oleh perubahan tingkah seorang bujang terhadap dirinya saat pertama bertemu dengan ketika dia sudah diterima di rumah suaminya.

Konflik tipe 1 ini muncul ketika si tokoh dihadapkan pada dua kekuatan, yaitu mendekat- menjauh. Satu kondisi yang mengakibatkan satu kekuatan yang lebih besar mengakibatkan si tokoh harus mengikuti pilihan yang tidak disukainya sehingga muncul rasa bingung di dalam hatinya.

Pergolakan batin juga dirasai dalam bentuk kebingungan lain. Kebingungan ini dapat dilihat dari kutipan di bawah ini

Matanya tak juga terpejam. Dan ia sudah lupa, apakah ia senang atau tidak. Malam kian larut. Dari ruang tengah mulai terdengar sekencang tenagaseorang mengaji. (halaman: 30-31)

Ketika pertama kali mendapat pelayanan dari para bujang yang

memanggilnya dengan sebutan Mas Nganten, Gadis Pantai semakin berkecambuk


(33)

Tokoh Gadis Pantai saat berada dalam babak ini dihadapkan pada dua kekuatan mendekat- menjauh, yaitu dia berhadapan pada kekuatan yang di satu sisi dia sudah mulai menyenangi kehidupan barunya. Sementara di sisi lain, dia masih memendam perasaan yang sangat takut karena tidak tahu sama sekali apa yang akan dihadapinya. Gadis Pantai sama sekali belum bertemu dengan suami yang dinikahinya karena dia hanya menikah dengan wali sang suami,

Semakin lama menjalani kehidupannya di istana suami, Gadis Pantai semakin tidak bisa menikmati kehidupannya di sana. Dia semakin sadar bahwa yang dia alami sekarang bukanlah kehidupan yang dia inginkan. Ada keinginan yang kuat dari dalam dirinya untuk pergi dari tempat itu. Namun, ada kekuatan yang sangat besar yang menahannya untuk melakukan keinginannya itu. Kekuatan Mendekat-menjauh ini semakin bentrok dalam batinnya mengakibatkan Gadis Pantai hanya bisa menangis dan merenung.

Gadis Pantai berhenti makan. Ia bangkit. Tanpa menengok masuk ke dalam kamar, langsung ke kasur kesayangannya dan mengucurkan air mata. Ia rasai bagaimana dirinya seperti seekor ayam yang direnggut dari rumpunnya. Harus hidup seorang diri, di tengah orang yang begitu banyak. Tak boleh punya sahabat, Cuma boleh menunggu perintah, Cuma boleh memrintahkan. Betapa sunyi! Betapa dingin. Dan iklim sedingin ini tak pernah dirasainya di pantai, betapapun cuaca pagi telah membekukan seluruh minyak kelapa di dalam botol. Ia puaskan tangisnya sampai tertidur.(halaman: 46).

Seiring berjalannya waktu Gadis Pantai menjalani kehidupannya di istana suaminya, Gadis Pantai semakin matang dalam pemikiran. Ini merupakan akibat yang positif dari konflik demi konflik batin yang dialaminya. Namun, rasa takut yang besar terhadap suaminya masih mengganggunya walaupun dia bingung kenapa dia harus takut kepada suaminya. Pemikiran yang mulai matang tersebut membuatnya bingung.


(34)

Kembali Gadis Pantai tertegun. Lambat-lambat dengan pikiran yang tertindas beban, ia mulai bingung: Di sini semua takut terkecuali Bendoro. Mengapa semua takut padanya. Juga diriku sendiri? Dia tidaklah nampak garang, tidak ganas, malahan halus dan sopan.(hlm 52).

Konflik batin yang dialami Gadis Pantai kebanyakan diakibatkan oleh kepolosan dalam hal pengetahuan dan ketakutan yang besar atas apa yang tidak diketahuinya. Gadis Pantai sebagai seorang gadis yang sangat belia harus menghadapi berbagai permasalahan kehidupan. Sewajarnya gadis seusia Gadis Pantai berada dalam proses belajar, tetapi Gadis Pantai tanpa melewati proses belajar harus berhadapan dengan permasalahan, yaitu menjadi seorang istri pembesar yang kehidupannya sangat bertolak belakang dengan apa yang diketahuinya.

Konflik batin yang dialami tokoh Gadis Pantai juga dapat bertambah ketika pemikiran si Gadis Pantai semakin bertambah. Saat Gadis Pantai mengetahui sesuatu, Gadis Pantai mulai mampu membandingkan baik buruk berkenaan dengan kehidupan. Bahkan, dia mulai membandingkan pernikahan yang dia alami dengan pesta pernikahan yang dilihatnya ketika bupati setempat mengadakan pesta pernikahan. Perbandingan resepsi pernikahan memberikan pergolakan tersendiri di dalam batin tokoh Gadis Pantai. Sebagai seorang istri pembesar, dia merasa tidak berharga sama sekali.

Malam itu ia kembali ke ranjang dengan banyak pikiran. Perkawinannya tak dirayakan seperti itu. Bupati yang kawin jauh lebih tua dari Bendoro. Dan putri keraton itu jauh lebih tua dari dirinya. Tapi ia tidak disambut dengan perayaan. Dan jam tiga pagi ia terbangun. Bujang tak ada di bawah ranjangnya lagi. Tapi Bendoro telah tergolek disampingnya.(hlm 72).

Dalam pergolakan batin tokoh Gadis Pantai yang digambarkan di kutipan di atas. Tokoh Gadis Pantai hanya mampu memendam kemelut di dalam batinnya


(35)

tanpa harus tahu berbagi dengan siapa. Gadis Pantai hanya bisa merenungkan konflik batin yang dialaminya tanpa bisa berbuat apa-apa.

Semakin lama Gadis Pantai semakin terbiasa dengan kehidupan yang dialaminya sekarang. Dia mulai beradaptasi dengan kehidupan di dalam istana sebagai istri seorang pembesar. Lama- kelamaan di dalam perasaan si Gadis Pantai mulai tumbuh rasa cinta kepada suaminya. Dia mulai menginginkan untuk selalu bersama dengan suaminya. Namun, suaminya yang lebih sering berada di luar rumah membuat si Gadis Pantai merasa kesepian dan inilah yang kembali memicu pergolakan batin tokoh Gadis Pantai.

Kini Gadis Pantai merasa sunyi bila semalam saja Bendoro tak datang berkunjung ke kamarnya. Bujang itu tak perlu membantunya lebih banyak lagi. Di luar dugaan ia telah dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya. Namun wanita tua itu tetap menjadi sahabat dan tempat bertanya yang bijaksana.(halaman: 75)

Konflik batin yang dialami tokoh Gadis Pantai berlanjut ketika dia mulai merasa kesepian dan tak bisa berbuat apa-apa ketika sering ditinggal sang suami berhari-hari lamanya. Keadaan ini terus berlanjut hingga dia merasa dirinya sebagai seekor keledai walaupun hatinya berusaha menolaknya. Namun, ketika dia kembali mengingat keadaannya yang sering ditinggal suami dia kembali merasa sebagai seekor keledai. Konflik batin tokoh Gadis Pantai dalam hal ini diakibatkan kecemburuan terhadap suami yang jarang tinggal bersamanya.

Gadis Pantai sangat menginginkan kehidupan yang normal bersama sang suaminya. Bahkan, dia berusaha untuk mengungkapkannya kepada suaminya ketika suatu saat suaminya pulang. Namun, hal itu hanya sekadar rencana karena sang suami tetap harus pergi lagi. Pergolakan batin tokoh Gadis Pantai dalam hal ini


(36)

diakibatkan oleh rasa rindu terhadap suami serta kecemburuan dan rasa takut akan bagaimana kehidupan suaminya saat di luar rumah.

Ditutupnya kembali pintu. Satu-satunya pelindungnya yang setia selama ini adalah kasur dan bantal ranjang. Kalau saja pelayan wanita itu begitu menyenangkan seperti itu! Tapi bertambah meningkat pengetahuan dan kecerdasannya, pelayan itu makin kurang kemampuan dalam menghibur batinya. (halaman: 89)

Dari kutipan dia atas, digambarkan bagaimana tokoh Gadis Pantai sudah sangat merindukan kehadiran sang suami. Dia mulai merasa pembantu yang selama ini bisa menghiburnya dari rasa sepi sudah tidak bisa lagi menghiburnya. Walaupun sebenarnya pembantu itu lebih semakin pintar dan semakin menyenangkan, tetapi itu tidak cukup untuk menghilangkan rasa rindu kepada suaminya.

Dalam proses melahirkan, juga muncul pergolakan batin di dalam batin tokoh Gadis Pantai yang disebabkan oleh rasa cinta kepada anak dan rasa takut kehilangan anak.

Suatu serangan ketakutan menyebabkan jantung Gadis Pantai berdebaran. Ia ingin bangkit dan meniupkan hidup ke dalam dada bayinya.(halaman: 250) Sesaat setelah sang bayi Gadis Pantai lahir, Anak itu seperti tidak lahir dengan sempurna, yaitu tidak ada tangis dari bayinya. Hal ini membuat Gadis Pantai sangat takut. Dia takut akan terjadi suatu hal yang tidak diinginkan terhadap si bayi.

Berdasarkan tipe konflik 1, Gadis Pantai mengalami konflik batin di mana dia dihadapkan pada dua kekuatan yang kuat sehingga dia hanya bisa berdiam diri untuk memenuhi keinginan kekuatan yang kuat tersebut. Keinginan kuat tersebut terhadap dirinya berakibat pada si Gadis Pantai hanya berkutat pada ketakutannya serta kebingungan sebagai awal menghadapi kehidupan yang benar- benar baru.


(37)

Freud (dalam Kusumawati, 2003: 33) Menyatakan bahwa faktor-faktor yang memegang peranan penting dalam beberapa gangguan batin, antara lain: 1) teori agresi, 2) teori kehilangan, 3) teori kepribadian, 4) teori kognitif, 5) teori ketidakberdayaan, dan 6) teori perilaku. Dalam konflik tipe 1 ini ada beberapa faktor yang memengaruhi timbulnya konflik dalam batin tokoh.

1. Teori Kehilangan

Pada awalnya, Gadis Pantai sudah menikmati masa remajanya di kampung halamannya. Hingga pada suatu ketika dia harus meninggalkan rasa nyamannya itu dan masuk ke dalam bentuk kehidupan baru hingga menimbulkan rasa takut dari dalam dirinya. Rasa predisposisi juga muncul, yaitu rasa untuk menolak atau menerima kehidupan yang akan dijalaninya.

Teori kehilangan merujuk pada perpisahan traumatik individu dengan benda atau seseorang yang sebelumnya dapat memberikan rasa aman dan nyaman. Hal penting dalam teori ini adalah kehilangan dan perpisahan sebagai faktor predisposisi terjadinya depresi dalam kehidupan yang menjadi faktor pencetus terjadinya stress.Freud (dalam Kusumawati 2003 : 33)

2. Teori Kepribadian

Konflik batin juga dipengaruhi oleh kepribadian tokoh Gadis Pantai. Sebagaimana diungkapkan oleh freud bahwa Teori kepribadian merupakan konsep diri yang negatif dan harga diri rendah memengaruhi sistem keyakinan dan penilaian seseorang terhadap stressor. Pandangan ini memfokuskan pada varibel utama dari psikososial yaitu harga diri rendah. Gadis Pantai memandang diri sebagai orang kampung yang setara dengan obudak sehingga dia hanya bisa menerima kepentingan yang sama sekali tidak diingankannya.


(38)

3. Teori Ketidakberdayaan

Ketidakberdayaan tokoh Gadis Pantai untuk mencegah pergolakan yang dialaminya mengharuskan tokoh Gadis Pantai untuk menjalani kehidupannya yang baru. Hal ini mengakibatkan tokoh Gadis Pantai menjadi seorang yang adaptif sehingga mampu menambah pengetahuannya. Hal ini didukung oleh pendapat Freud dalam Kusumawati(2003:33) mengunkapkan bahwa

Teori ketidakberdayaan menunjukkan bahwa konflik batin dapat menyebabkan depresi dan keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai kendali terhadap hasil yang penting dalam kehidupannya, oleh karena itu, ia mengulang respon yang adaptif.

4. Teori Perilaku

Perilaku Gadis Pantai yang masih dipengaruhi oleh keluguan dan kebutaan akan pengetahuan meyebabkan konflik tersendiri di dalam batin si tokoh. Perilaku tokoh yang tidak berdaya hanya bisa menerima segala pergolakannya.

Teori perilaku menunjukkan bahwa penyebab depresi terletak pada kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan. Depresi berkaitan dengan interaksi antara perilaku individu dengan lingkungan Freud (dalam Kusumawati 2003:33)

B. Konflik Tipe 2

Konflik batin yang dialami tokoh Gadis Pantai yang berjenis tipe 2 merupakan tipe konflik batin yang paling banyak dialami oleh Gadis Pantai. Konflik yang dapat membuat Gadis Pantai hanya bisa berdiam diri dapat digambarkan dalam beberapa kutipan di bawah ini, antara lain


(39)

Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebuah keris. Detik ia tahu: kini ia bukan anak bapakya lagi. Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri dari sebilah keris, wakil seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup.(halaman: 12)

Dari kutipan novel di atas dapat dilihat gambaran bagaimana hancurnya hati seorang gadis yang lugu dan tak tahu apa- apa. Seorang gadis yang dinikahkan dengan seseorang yang tidak sama sekali dikenalnya bahkan seseorang itu memberikan sebilah keris sebagai wakilnya untuk dinikahkan dengannya. Mungkin Pada umumnya seorang gadis memiliki impian untuk menikah dengan pria pujaannya bukan dengan orang yang sama sekali tidak dikenalnya.

Pergolakan batin tokoh dalam novel juga diperlihatkan dalam kutipan di bawah ini:

“sst jangan nangis. Jangan nangis. Hari ini kau menjadi istri pembesar.” Ia tak tahu apa yang ada di hadapannya. Ia hanya tahu: Ia kehilangan seluruh hidupnya. Kadanga dalam ketakutannya ia bertanya: mengapa ia tidak boleh tinggal di mana ia suka, di antara orang-orang yang tersayang dan tercinta, di bumi dengan pantai dan ombanknya yang amis (hlm 12) Kutipan di atas menggambarkan bahwa tokoh terkurung dalam keluguannya. Gadis Pantai benar- benar buta terhadap segala pengetahuan sehingga dia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya saat itu. Dia hanya menyadari bahwa dia dihadapkan pada satu pilihan dan harus memilih pilihan itu padahal yang dia inginkan hanya tinggal bersama orang yang dia cintai. Kutipan di atas juga menggambarkan si Gadis Pantai sedang mengalami ketakutan yang sangat besar karena dia tidak tahu apa yang akan dihadapinya. Dia tidak merasa apa yang dipahami orang banyak bahwa menikah dengan orang pembesar merupakan suatu kebanggaan di antara orang kampung. Dalam keluguannya Gadis Pantai hanya menetap pada apa yang dia ketahui dan tidak mengetahui kebanggaan itu. Gadis


(40)

Pantai hanya mengetahui tempat terindah yang dia ingin tinggal adalah kampungnya sekarang.

Empat belas tahun umurnya. Dan tak pernah ia merasa keberatan buang air din pantai, terkecuali di waktu bulan purnama -ia takut ular (halaman: 13) Gadis Pantai adalah seorang gadis yang tumbuh berkembang di kampung miskin yang kurang terbuka dengan dunia luar. Bahkan kebanyakan di antara warga kampung tidak tahu membaca. Oleh karena itu, Gadis Pantai sebagai gadis yang baru tumbuh sangat buta akan dunia luar sehingga ketika dia dihadapkan pada dunia luar dia sangat ketakutan.

Ketika akan berangkat menuju kota, Gadis Pantai yang masih dalam ketakutan berusaha untuk menolak mempertahankan dirinya untuk tinggal dan tidak berangkat. Namun, kenginan hatinya ditentang oleh ayahnya yang diketahuinya sebagai seorang bapak yang suka memukul. Seakan tanpa daya Gadis Pantai hanya bisa meratapi diri yang tidak mampu berbuat apa- apa. Hal ini dapat dilihat dari kutipan di bawah ini.

Tubuh yang kecil itu meriut seperti keong, ketakutan, Ia tahu bapaknya pelaut, kasar berotot perkasa. Ia tahu sering kena pukul dan tampar tangannya. Tapi sekarang buat apakah penderitaan ini? Disembunyikannya muka di balim pangkuan emaknya. (halaman: 13).

Ketakutan tokoh Gadis Pantai semakin bertambah saat pertama kali bertemu dengan sang suami yang dipanggil dengan sebutan Bendoro.

Dan tangan yang lunak itu sedikit demi sedikit mencabarkan kepengapan, ketakutan, dan kengerian. Setiap rabaan dirasainya seperti usapan pada hatinya sendiri. Betapa halus tangan itu: tangan seorang ahli buku! Hanya buku yang dipegangnya, dan bilah bambu tipis panjang penunjuk baris. Tidak seperti tangan bapak dan emak, yang selalu melayang ke udara dan mendarat di salah satu bagian tubuhnya pada setiap kekeliruan yang dilakukannya.(halaman: 33)


(41)

Itu adalah pengalaman pertama yang dialami oleh Gadis Pantai bertemu dengan sang suami. Gadis Pantai hanya berdiam diri dan berkecambuk pada pikirannya sendiri tanpa tahu harus berbuat apa. Dia hanya membayangkan ketakutan dalam setiap belaian sang suami. Bayangan ketakutan inilah yang menambah rasa takut dalam diri Gadis Pantai sehingga dia benar-benar takut kepada suaminya melebihi apa pun.

Ia takut berjalan seorang diri menuju kamar mandi. Tapi Bendoro lebih menakutkan lagi. Ia turuni jenjang ruang belakang berjalan menuju ke arah dapur( halaman 34).

Setiap pergolakan batin yang dialami tokoh Gadis Pantai akan sedikt banyak mengubah pola pemikiran si tokoh. Gadis Pantai mulai berani melakukan pemberotakan yang berhubungan dengan kepentingan yang menentang keinginnanya. Pada awalnya si Gadis Pantai hanya bisa menangis ketika dipaksa untuk pergi ke tempat suaminya kini dia mulai berani mengungkapkan isi hatinya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan yang menggambarkan tokoh Gadis Pantai mengungkapkan keinginannya untuk pergi dari istana suaminya kepada pelayannya.

“Oh, Mak...Bapak,” panggilnya berbisik “Mas Nganten, Mas Nganten,”

“Bawa aku pada emak. Aku mau pulang, pulang ke kampung,”(halaman 38) Gadis Pantai sudah mulai belajar untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam isi hatinya. Namun, ketika berhadapan dengan sang suami keberanian yang dimilikinya dalam mengungkapkan isi hatinya masih dikalahkan oleh rasa takut yang sangat besar terhadap suaminya.

Kembali Gadis Pantai jadi bisu ketakutan. Ia rasai nafasnya tersumbat. Mengapa bicara saja tak berani, sedang ia suka memekik-mekik memanggil si kuntring, ayamnya? panggil kawan-kawan bermainnya? Panggil-panggil Pak Karto tetangganya yang selalu dimintai tolong bila ia mengangangkat barang-barang berat? (halaman 41)


(42)

Gadis Pantai ingin mengutarakan isi hatinya yang ingin pulang ke kampung nelayan, tetapi ketika berhadapan dengan sang suami Gadis Pantai tidak mampu untuk mengutarakannya. Ketakutan masih melekat dalam hatinya.Segala pergolakan batin tetap dia hadapi sendiri hingga terkadang dia merasa sangat menderita.

Entah berapa kali ia yakinkan diri bukan keledai. Tapi hatinya begitu keruh. Ia tak mengerti sampai waktu itu, bahwa ia merasa sangat, sangat cemburu.(halaman 77)

Dalam kutipan di atas digambarkan bagaimana perasaan tokoh Gadis Pantai yang memiliki rasa cemburu karena pekerjaan sang suami mengharuskan dirinya tinggal hanya beberapa waktu saja bersama istrinya. Kecemburuan ini mengakibatkan Gadis Pantai menjadi penasaran berkenaan dengan yang dilakukan suaminya ketika bepergian ke luar.

Gadis Pantai mulai menduga-duga apa yang dilakukan suaminya di luar karena untuk bertanya secara langsung dia tidak memiliki keberanian yang cukup. Kembali tokoh Gadis Pantai dihadapkan pada rasa takut terhadap sang suami berkaitan dengan kegiatan sang suami.

Sebenarnya Gadis Pantai ingin mengetahui pasti, kemana saja Bendoro pergi bila meninggalkan rumah berhari-hari lamanya. Siapa-siapa yang ditemuinya. Apa yang dibicarakannya. Bagaimana pendapat Bendoro tentang dirinya. (halaman 87)

Gadis Pantai sebagai seorang istri hanya bisa menduga-duga jawaban atas pertanyaan yang ada di dalam hatinya. Cara berpikir tokoh Gadis Pantai bertambah matang. Dia sudah mengetahui bagaimana kehidupan suami istri pada umumnya. Hal inilah yang menambah pergolakan batin tokoh Gadis Pantai, yaitu ketika dia sadar bahwa kehidupannya bersama suaminya sebagai sepasang suami istri sangat


(43)

Konflik Batin tokoh Gadis Pantai berlanjut saat tokoh utama berencana melihat orang tuanya di desa nelayan. Segala perubahan yang terjadi mengakibatkan pergolakan tersendiri bagi tokoh. Dia merasa seperti orang lain di mata para penduduk. Bahkan sejak awal sampai di desa nelayan dia sudah merasakan hal itu. Perubahan yang sangat besar dibandingkan ketika dia pertama kali meninggalkan desanya untuk tinggal bersama tokoh suami. Sambutan yang sangat berbeda dari apa yang dibayangkannya membuat kerisauan di dalam hati tokoh utama. Dia merasa risih dengan apa yang dilakukan oleh para penduduk terhadap dirinya.

Gadis Pantai terbangun dari sendunya. Ia rasai sesuatu menggerumuti bulu tengkuknya. Dahulu tak pernah orang menyambutnya seperti sekarang. Ia merasa begitu asing. Dari kejauhan ia lihat bapak berjalan paling depan membawa obor kelapa kering. Ia bertelanjang dada. Dan otot-ototnya yang perkasa berkilat-kilat setiap bergerak kena cahaya obor. Gadis Pantai lari, lari, lari. Pasir dibawah kakinya berhamburan. Gadis Pantai hanya melihat satu sosok tubuh saja diantara sekian banyak.(halaman 164)

Konflik batin tokoh Gadis Pantai muncul ketika apa yang dirindukannya dari Desa Nelayan tempat dia lahir dan tumbuh seakan sirna seiring perubahan sikap para penduduk terhadap dirinya. Pergolakan batin tokoh bertambah saat sang ayah ternyata sama dengan penduduk lainnya, yaitu bersikap sebagai seorang budak di depannya. Perubahan status tokoh Gadis Pantai menjadi seorang istri seorang pembesar membuat para penduduk menjadi takut kepadanya walaupun Gadis Pantai tidak mengharapkan hal itu.

Ia pandangi bapak dengan mata ragu- ragu bapak menghindarkan matanya. Bapak? Mengapa bapak pun segan menatap aku? Anaknya sendiri. Dan bumi di bawah kakinya terasa goyah. Kampung Nelayan ini telah kehilangan perlindungan yang meyakinkan baginya.(halaman 165)

Kutipan di atas menggambarkan bagaimana perasaan tokoh Gadis Pantai ketika berhadapan dengan ayah kandungnya. Ayah yang dulu sering memukulnya


(44)

karena kesalahannya berubaha 180 derajat menjadi takut kepada Gadis Pantai. Bahkan, untuk melihat Gadis Pantai saja sang ayah tidak berani. Sebagai seorang anak yang merindukan kasih sayang seorang ayah, hati Gadis Pantai menjadi sangat sedih karena dia merasa seperti orang lain bukan sebagai anak kandung. Rasa bimbang dan penyesalan mulai tumbuh di dalam benaknya. Dia mulai menyesali kehidupannya selama ini, yaitu sebagai seorang istri pembesar. Dia menyesalinya karena hal itu membuat dia semakin jauh dengan kedua orang tuanya.

Hal ini berlanjut saat Gadis Pantai tiba di rumah yang sudah dua tahun tidak didatanginya. Dia berharap akan bertemu dengan ibunya yang selama dia masih kecil selalu melindungi dan selalu ramah di stiap kesalahan yang dilakukannya. Namun, yang dia jumpa di dalam rumahnya tidak jauh berbeda dengan saat dia bertemu dengan ayahnya. Ibunya yang selama ini melindunginya juga menunjukkan rasa yang takut terhadap dirinya. Tindakan yang tidak sepatutnya ada pada seorang ibu terhadap anaknya. Tindakan sang ibu menunjukkan rasa hormat yang berlebihan terhadap dirinya. Padahal, sewajarnya Gadis Pantailah yang harus memuliki rasa itu terhadap ibunya.

Bila ia masuk ke dalam rumah bukan lagi emak yang ramah dan selalu melindunginya yang didapatkan, tapi tetangganya yang dengan sukarela bekerja buat menyenangkannya. Sekarang bapaknya hampir-hampir tak berani masuk ke dalam bila ia tidak diluar rumah. Berapa kali sudah dalam sepagi itu ia panggil bapak. Tapi ia muncul hanya sampai di pintu mendengarkan suaranya, mengangguk dalam, dan kemudian pergi lagi.(halaman: 174)

Sikap sang ayah yang tidak berani bertemu langsung dengan tokoh Gadis Pantai menimbulkan rasa bersalah yang sangat besar kepada dirinya dan kedua orang tuanya. Gadis Pantai sama sekali tidak menginginkan hal itu. Tujuan dirinya


(45)

berkunjung ke tempat orang tuanya adalah ingin merasakan kehidupannya kembali seperti pada saat dia mulai tumbuh remajha di desa nelayan.

Dalam babak kehidupan ketika Gadis Pantai melih orang tuanya yang berada di kampung, konflik batin yang dialami tokoh Gadis Pantai secara umum diakibatkan oleh perubahan tingkah laku orang tuanya yang menjadi terlalu takut kepada dirinya karena merupakan seorang istri pembesar. Tokoh Gadis Pantai sedih karena dia mengharapkan tidak ada perubahan di desanya, tetapi perubahan statusnya otomatis mengubah segalanya. Statusnya juga berubah dalam pendangan masyarakat desa.

Konflik batin Gadis Pantai selanjutnya akan digambarkan dalam babak kehidupan yang selanjutnya. Babak kehidupan ini adalah saat Gadis Pantai harus meninggalkan anak beserta suaminya dan harus pergi kembali ke kampung nelayan.

Setelah kembali dari kampung melihat orang tuanya, tokoh Gadis Pantai terkadang menyesali kehidupan yang dia alami saat itu. Timpul penyesalan berkaitan dengan dirinya sekarang. Hal ini dikarenakan tokoh Gadis Pantai sudah mengetahui tentang kehidupan. Dia tahu bahwa kehidupannya tidak harus diikuti oleh anaknya kelak.

Kadang-kadang ia menangis seorang diri tanpa suatu sebab. Ah, seperti anak dibawah jantungnya bukan anaknya, tapi calon musuhnya. Ia ingin berdoa pada Tuhan, mengadu tentang ketidakadilan yang dirasai, tetapi ia tak mampu melakukannya. Ia tak tahu doa mana yang tepat buat itu. Ia tak pernah teruskan ngaji dan pelajarannya dengan baik. Dan ia menyesal. Ia serahkan segalanya pada nasibnya.(halaman:249)

Pergolakan batin yang dialami tokoh Gadis Pantai yang dideskripsikan dalam kutipan di atas menggambarkan tokoh Gadis Pantai yang rindu akan kehadiran sang suami pada saat kehamilannya. Namun, dia tidak mendapatkannya.


(46)

Tokoh Gadis Pantai berharap dengan datangnya bayi itu kesunyian yang selama ini membuat batinnya gelisah akan segera berakhir, tetapi ternyata itu tidak mengubah semuanya. Yang terjadi adalah sebaliknya. Bayi di dalam kandungan seolah-olah menjauhkan dirinya dengan sang suami yang menjadi tinggal di masjid.

Dalam konflik tipe 2 ini, ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya konflik batin dalam diri tokoh utama, antara lain

1. Teori Agresi

Teori Agresi adalah faktor penyebab konflik yang berasal dari perasaan tertentu terhadap tokoh lain maupun diri sendiri. Kemarahan ini bisa disebabkan oleh perasaan takut, cemburu bahkan rasa cinta kepada tokoh lain. Tokoh Gadis Pantai memiliki. Perasaan ini bisa mengakibatkan tokoh hanya bisa berdiam diri dalam menghadapi pergolakan itu. Dalam beberapa kutipan di atas digambarkan bagaimana tokoh Gadis Pantai hanya bisa berdiam diri, bertanya di dalam hati bahkan menangis.

Teori agresi menunjukan bahwa depresi terjadi karena perasaan marah yang ditujukan kepada diri sendiri. Agresi yang diarahkan pada diri sendiri sebagai bagian dari nafsu bawaan yang bersifat merusak.Freud ( dalam Kusumawati 2003:33)

2. Teori Kepribadian

Kepribadian yang introver sangat rentan dalam mengalami konflik tipe 2. Tindakan berdiam diri atau menangis adalah gambaran tokoh yang introver. Gadis Pantai dalam menjalani kehidupannya talah berkembang menjadi seorang yang berkepribadian introfert sehingga pergolakan batin yang dialami tidak selalu dilampiaskan kepada orang lain.


(47)

3. Teori Kognitif

Freud (dalam Kusumawati 2003:33) mengatakan bahwa

Teori kognitif menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif yang didominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap dirinya sendiri, dunia seseorang dan masa depannya. Individu dapat berpikir tentang dirinya secara negatif dan tidak mencoba memahami kemampuannya.

Kecenderungan tokoh Gadis Pantai yang introfert mengakibatkan dia bertindak kognitif. Secara otomatis hal ini membuat Gadis Pantai harus menghadapi konflik batin yang baru di mana semua hal akan dipikirkan sendiri melalui pengalaman pribadi. Konflik batin akan muncul disebabkan pengalaman hidup Gadis Pantai yang belum cukup.

C. Konflik Tipe 3

Konflik tipe ini adalah konflik batin yang muncul ketika adanya tindakan yang dilakukan si tokoh untuk mengatasi konflik- konflik yang dialaminya. Tindakan inilah yang akhirnya akan membuka kembali konflik yang baru. Konflik ini dapat diketahui dengan adanya tindakan si tokoh yang dapat digambarkan dalam beberapa kutipan di bawah ini

Konflik batin dapat muncul saat sang tokoh berhadapan pada situasi yang bertentangan dengan perasaannya. Dalam hal ini dapat berbentuk penghinaan terhadap tokoh. Dalam satu pembicaraan dengan sang suami, tokoh Gadis Pantai merasa sakit hati dengan ucapan sang suami yang seakan-akan melecehkan atau merendahkan ayahnya. Sang suami mengatakan ayah Gadis Pantai tidak cukup berani untuk mencari mutiara ke dasar laut. Gadis Pantai yang merasa terhina mulai berani melawan perkataan sang suami dengan kata-kata merendahkan diri dengan maksud sang suami sadar bahwa kata- katanya menyakiti hati si Gadis Pantai.


(48)

Gadis Pantai merasa jantungnya berhenti berdetak, dan sebilah sembilu mengiris ujung hatinya. “Bapak sahaya, Bendoro, mungkin kurang berani, mungkin juga tidak menyelam,” katanya hati-hati. “kasihan bapak sahaya, Bendoro. Kasihan memang. Tapi dia memang bukan cari mutiara, tapi cari nasi, jagung buat anak bininya.(hal. 104)

Konflik Gadis pantai dalam novel Gadis Pantai juga dapat berupa perasaan sakit hati. Sakit hati karena merasa terhina sehingga memiliki keberanian untuk melawan rasa sakit hatinya. Kutipan di atas merupakan kutipan dialog antartokoh Gadis Pantai dengan sang suami di mana ditampilkan sang tokoh utama melawan perkataan suami secara halus untuk pertama kalinya. Keberanian tokoh utama dalam membalas perkataan tokoh suami bisa saja merupakan akibat dari berbagai pergolakan batin yang dihadapi sendiri oleh Gadis Pantai.

Waktu Bendoro telah berbaring di sampingnya dan memeluknya, dirasainya airmata hangat telah membasahi wajahnya. Dan waktu Bendoro mengusap-usap wajahnya yang basah itu, Bondoro berhenti sejenak, duduk menatap wajahnya yang tenang-tenang dalam cahaya listrik yang telah dipatahkan oleh kelambu, bertanya, “Engkau menangis kenapa?

“Bendoro” “Ya”

“Aku tak mengerti.” “Bendoro”

“Ya”

“Ampuni sahaya. Bolehkah sahaya... tapi jangan murkai sahaya.” “tidak, tentu saja tidak. Bicaralah.”

Sahaya ingin...ingin... melihat orang tua sahaya.” “Tapi mengapa kamu menangis?”

“Sahaya hanya mohon diperkenankan melihat orang tua sahaya di kampung. Bendoro. Sahaya takut dimurkai Bendoro.”

“Kau boleh pergi- kapan kau pergi?” Jika dizinkan besok Bendoro.”

“Baik besok kau boleh l;ihat keluargamu. Mardinah akan temani kau.” Konflik batin tokoh utama novel sangat dipengaruhi oleh rasa takut yang berlebihan terhadap tokoh suami. Keadaan ini mengakibankan sang tokoh berpikiran segala yang ada akan berakibat yang tidak baik bagi dirinya sehingga dia hanya bisa menangis untuk memendamnya. Bahkan, untuk meminta izin melihat orang tuanya saja tokoh Gadis Pantai harus meneteskan air mata terlebih dahulu


(49)

karena beginya untuk mengutarakan hal itu dibutuhkan suatu keberanian yang besar.

Kegelisahan batin tokoh bayi ternyata akan bertambah dalam keadaan lain yang lebih besar. Setelah beberapa bulan sang bayi lahir, tokoh suami menceraikan Gadis Pantai dan mengusir Gadis Pantai.

“Seribu ampun Bendoro. Sahaya dengar tuanku telah ceraikan sahaya.” Gadis Pantai terlupa pada ketakutannya demi bayinya. “Apa kau tak suka?” “Sahaya hanya seorang budak yang harus jalani perintah Bendoro.”(hal 257) Dari deskripsi di atas, konflik batin yang dialami sangat besar. Dia sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi dan apa penyebabnya. Dia harus pergi meninggalkan suaminya yang dicintainya. Hal yang lebih mengganggu batin si tokoh utama adalah ketika dia harus meninggalkan bayi yang baru dilahirkannya. Lama waktu dia mengandung lebih lama dibandingkan ketika di melihat sang anak setelah lahir.

“Maafkan aku, anakku, tiada kusangka akan begini akhirnya.”(halaman: 259)

Seorang ibu yang sangat mencintai bayinya harus meninggalkan bayinya tanpa mengetahui kesalahan apa yang diperbuatnya. Dia hanya bisa meminta maaf kepada bayinya dan harus meninggalkan. Dia sangat menyesal ketika dia tidak bisa melihat anaknya tumbuh dan berkembang.

Konflik batin Gadis Pantai semakin bertambah ketika melihat perubahan sikap tokoh suami. Dalam dialog terakhir, digambarkan untuk mengambil anak yang ada di pangkuan Gadis Pantai saja tokoh suami tidak melakukannya dan hanya meminta Gadis Pantai untuk meletakkannya di ranjang. Hal ini tentu menambah konflik batin tokoh Gadis Pantai. Suami yang dicintainya menjadi


(50)

sangat benci kepadanya dan dia sama sekali tidak mengetahui apa yang menyebabkan hal itu.

“Seribu ampun, sahaya datang buat serahkan anak sahaya ini, anak sahaya sendiri, bukan anak orang lain, Bendoro. “Terimalah dia Bendoro!” “Letakkan diranjang!” “Tidak mungkin, tuan.” “Kau tak dengar perintahku?” “Sahaya ini emak si bayi. Kalau bapaknya pegang pun tak mau, apa pula merawatnya, Bendoro. Sebaiknya sahaya bawa pulang ke kampung.”(hal. 263:1)

Dalam babak kehidupan ini, Konflik-konflik batin yang dialami tokoh Gadis Pantai berjenis konflik tipe dua. Tokoh utama dihadapkan pada kepentingan yang sama sekali tidak bisa dihindarinya karena kekuatan yang besar dari luar diri tokoh. Kepntingan yang dihadapkan adalah kepentingan yang sama sekali tidak diinginkan oleh tokoh.

Konflik demi konflik yang dihadakan pada tokoh Gadis Pantai sedikit banyak mengubah kepribadian tokoh utama ini. Gadis Pantai yang awalnya hanya seorang gadis desa yang lugu dan hanya bisa menangis mulai berani untuk mengungkapkan keberaniannya dengan perilaku yang menantang. Bahkan dia berani untuk meminta bayi yang dilahirkannya kepada suaminya walaupun usaha yang dilakukannya sia-sia.

Gadis Pantai memunggungi Bendoro, dan dengan bayi dalam gendongannya ia melangkah cepat menuju pintu. “Tinggalkan anak itu!” Gadis pantai telah keluar dari pintu ruang tengah. Bendoro meraih tongkat, meletakkan Hadith di atas meja kecil disampingnya, lari memburu Gadis Pantai dan mendapatkannya di jenjang ruang belakang ditentang dapur rumah(hal. 263) Konflik batin ini juga dapat memengaruhi kejiwaan tokoh sehingga berani melakukan hal yang di luar akal sehat. Dia berani bertindak untuk membawa lari bayi yang baru dilahirkannya.


(51)

“Bukan pencuri aku!” teriak Gadis Pantai dengan lantang. “Semua kutinggalkan di kamar. Aku Cuma membawa anakku sendiri. Cuma anakku sendiri,” kakinya menyepak tapi bujang-bujang lain mendesak.(hal 264) Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya konflik batin pada diri tokoh. Adapun faktor- faktor tersebut adalah

1. Teori Agresi

Agresivitas yang memengaruhi tokoh Gadis Pantai sebagai penyebab munculnya konflik batin tipe 3 adalah kemarahan tokoh, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap tokoh lain. Tindakan yang diambil tokoh dalam menghadapi pergolakannya dipengaruhi oleh rasa marah, sakit hati dan rasa malu. Seperti yang diungkapkan oleh Freud (dalam Kusumawati 2003:33) bahwa Agresi yang diarahkan pada diri sendiri sebagai bagian dari nafsu bawaan yang bersifat merusak. Untuk beberapa alasan tidak secara langsung diarahkan pada objek yang nyata atau objek yang berhubungan dengan perasaan berdosa atau bersalah

2. Teori Kehilangan

Hal penting dalam teori ini adalah kehilangan dan perpisahan sebagai faktor predisposisi terjadinya depresi dalam kehidupan yang menjadi faktor pencetus terjadinya stres. Gadis Pantai merasa tidak mampu menghadapi konflik ketika dia harus meninggalkan anak dan suaminya sehingga dia mengambil tindakan yang pada akhirnya membuat suami menjadi berang dan mengusirnya.

3. Teori Kognitif

Evaluasi yang negatif Gadis Pantai terhadap diri sendiri, suami dan dunia masa depannya memaksa Gadis Pantai untuk melakukan sindakan konflik tipe 3 ini. Konflik ini muncul sebagai akibat tokoh Gadis Pantai yang depresi harus berpisah


(52)

dengan anak dan suaminya serta rasa malu karena harus menghadapi masyarakat Desa Nelayan setelah dia diceraikan.

Teori kognitif menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif yang didominasi oleh evaluasi negatif sesorang terhadap dirinya sendiri, dunia seseorang dan masa depannya. Individu dapat berpikir tentang dirinya secara negatif dan tidak mencoba memahami kemampuannya.Freud ( dalam Kusumawati 2003:33).

4. Teori Ketidakberdayaan

Ketidakberdayaan tokoh Gadis Pantai dalam menghadapi pergolakan yang dialaminya memaksa Gadis Pantai untuk mengambil langkah ekstrem. Dia membawa pergi anaknya karena dia tidak sanggup untuk meninggalkannya sehingga menimbulkan konflik lain, yaitu memicu kemarahan mantan suaminya.

Ketidakberdayaan tokoh juga mengakibatkan dia mengalami konflik batin berpisah dengan anknya yang baru dilahirkannya. Perasaan yang sedih harus diterima karena dia tidak berdaya untuk mencegahnya.

5. Teori Perilaku

Pribadi Introver sangat rentan dalam mendapat konflik batin. Kepribadian yang hanya bisa memendam perasaan tanpa bisa berbagi dengan tokoh lain. Kurangnya berinteraksi dengan tokoh lain mengakibatkan tokoh menjadi depresi hingga mengubah kepribadian tokoh itu. Teori perilaku menunjukkan bahwa penyebab depresi terletak pada kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan. Depresi berkaitan dengan interaksi antara perilaku individu dengan lingkungan.


(53)

4.2 Sikap Tokoh Gadis Pantai dalam Menghadapi Konflik Batin

Dalam menghadapi konflik-konflik yang dialaminya, tokoh Gadis Pantai tidak banyak berbuat. Tokoh utama cenderung hanya bisa menangis dan menerima keadaannya. Ketidakberdayaanlah yang mengakibatkan hal ini.

Ia terisak-isak, tersedan, akhirnya melolong. Ia tak pernah merasa miskin dalam empat belas tahun ini (halaman: 13).

Dalam menjalani kehidupannya, Gadis Pantai digambarkan mulai dapat mengikuti arus kehidupan. Dia mulai menikmati kehidupannya bersama suami dengan tujuan menghilangkan konflik di dalam batinnya. Sehari-hari Gadis Pantai mencari kegiatan untuk menghabiskan waktu.

Hari-hari lewat cepat, dan Gadis Pantai mengisi dirinya dengan berbagai kecakapan baru. Kulitnya yang tak lagi terpanggang matahari menjadi langsat kemerahan, dan wajah bocahnya telah lenyap digantikan oleh pandang orang-orang dewasa ( halaman: 71)

Sikap tokoh utama dalam mencari kecakap baru merupakan sikap untuk mengalihkan ketidakberdayaannya dalam menghadapi konflik yang ada di dalam hatinya.

Selain menangis, sikap tokoh Gadis Pantai dalam menghadapi pergolakan batinnya juga ditunjukkan dengan sikap merendah dalam membalas ucapan tokoh suami yang terkesan merendahkan ayahnya.

Gadis Pantai merasa jantungnya berhenti berdetak, dan sebilah sembilu mengiris ujung hatinya. “Bapak sahaya, Bendoro, mungkin kurang berani, mungkin juga tidak menyelam,” katanya hati-hati. “kasihan bapak sahaya, Bendoro. Kasihan memang. Tapi dia memang bukan cari mutiara, tapi cari nasi, jagung buat anak bininya.(halaman: 104)


(54)

Deskripsi di atas merupakan gambaran saat sang tokoh Gadis Pantai berani membalas ucapan tokoh suami karena menyinggung perasaannya. Dia merasa terhina atas perkataan sang suami yang merendahkan ayahnya.

Usaha Gadis Pantai dalam membalas ucapan tokoh Suami ternyata tidak berlanjut di masa- berikutnya. Di masa berikutnya kembali tokoh Gadis Pantai hanya bisa berdiam diri dalam memendam pergolakan yang terjadi di dalam hatinya.

Gadis Pantai menghembuskan nafas keluh. Dia tidak berani mencurahkan perasaannya (halaman: 134).

Saat menghadapi konflik batin yang diakibatkan perubahan sikap warga desa terhadapnya, Gadis Pantai berusaha untuk membuat diri para penduduk untuk terbiasa dengan dirinya. Terutama kepada bapaknya yang dirasanya sangat takut kepada dirinya yang berstatus istri seorang pembesar. Sikap Gadis Pantai adalah berusaha mendekatkan diri dengan mengajak masyarakat berbicara.

“Bapak” akhirnya ia memanggil. Dan seperti selama sepagi itu, kini bapak kembali muncul di depan pintu. “ Mengapa bapak tak terus masuk pak?” “ Di sini lebih senang, di dalam panas.”

“ Ah bapak, aku tahu karena ada aku di sini. Bapak tak mau masuk.” “tidak benar. Itu tidak benar. Apakh yang bisa kuperbuat untukmu?” “Dekatlah sini.”(halaman: 174-175)

Sikap tokoh Gadis Pantai juga ditinjukkan dengan bergejolak dengan diri sendiri. Dia lebih sering bertanya-tanya dengan diri sendiri dan memberi dugaan-dugaan dalam menjawab pertanyaan yang berkecambuk di dalam hatinya.

Sakitkah aku? Mengapa pipiku begitu aneh? Mengapa nadi-nadi pada pipinya bersaluran membayang di kulitnya yang kuning langsat? Ia tantang matanya sendiri. Mata itu kehilangan sinarnya. Sakitkah aku(halaman: 243) Konflik batin yang terbesar yang dialami tokoh Gadis pantai adalah ketika dia harus meninggalkan anak beserta suaminya yang menceraikannya. Sikap tokoh


(1)

Deskripsi di atas merupakan gambaran saat sang tokoh Gadis Pantai berani membalas ucapan tokoh suami karena menyinggung perasaannya. Dia merasa terhina atas perkataan sang suami yang merendahkan ayahnya.

Usaha Gadis Pantai dalam membalas ucapan tokoh Suami ternyata tidak berlanjut di masa- berikutnya. Di masa berikutnya kembali tokoh Gadis Pantai hanya bisa berdiam diri dalam memendam pergolakan yang terjadi di dalam hatinya.

Gadis Pantai menghembuskan nafas keluh. Dia tidak berani mencurahkan perasaannya (halaman: 134).

Saat menghadapi konflik batin yang diakibatkan perubahan sikap warga desa terhadapnya, Gadis Pantai berusaha untuk membuat diri para penduduk untuk terbiasa dengan dirinya. Terutama kepada bapaknya yang dirasanya sangat takut kepada dirinya yang berstatus istri seorang pembesar. Sikap Gadis Pantai adalah berusaha mendekatkan diri dengan mengajak masyarakat berbicara.

“Bapak” akhirnya ia memanggil. Dan seperti selama sepagi itu, kini bapak kembali muncul di depan pintu. “ Mengapa bapak tak terus masuk pak?” “ Di sini lebih senang, di dalam panas.”

“ Ah bapak, aku tahu karena ada aku di sini. Bapak tak mau masuk.” “tidak benar. Itu tidak benar. Apakh yang bisa kuperbuat untukmu?” “Dekatlah sini.”(halaman: 174-175)

Sikap tokoh Gadis Pantai juga ditinjukkan dengan bergejolak dengan diri sendiri. Dia lebih sering bertanya-tanya dengan diri sendiri dan memberi dugaan-dugaan dalam menjawab pertanyaan yang berkecambuk di dalam hatinya.

Sakitkah aku? Mengapa pipiku begitu aneh? Mengapa nadi-nadi pada pipinya bersaluran membayang di kulitnya yang kuning langsat? Ia tantang matanya sendiri. Mata itu kehilangan sinarnya. Sakitkah aku(halaman: 243) Konflik batin yang terbesar yang dialami tokoh Gadis pantai adalah ketika dia harus meninggalkan anak beserta suaminya yang menceraikannya. Sikap tokoh


(2)

dalam menghadapinya adalah dengan berbincang langsung kepada suami. Dia memohon untuk bisa pulang membawa anaknya. Dia berharap dengan dialog konflik batin yang dialaminya akan berkurang.

Gadis Pantai memunggungi Bendoro, dan dengan bayi dalam gendongannya ia melangkah cepat menuju pintu. “Tinggalkan anak itu!” Gadis pantai telah keluar dari pintu ruang tengah. Bendoro meraih tongkat, meletakkan Hadith di atas meja kecil disampingnya, lari memburu Gadis Pantai dan mendapatkannya di jenjang ruang belakang ditentang dapur rumah(halaman: 263)

Sikap Gadis Pantai juga sangat tegas ketika dia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Keadaan ini mengakibatkan dia bersikap ekstrem, yaitu dengan membawa pergi anaknya walaupun hal ini menyulut kemarahan tokoh suami. Sehingga sang suami memerintahkan para pembantunya untuk mencegatnya dan menghinanya dengan sebutan maling.

“Bukan pencuri aku!” teriak Gadis Pantai dengan lantang. “Semua kutinggalkan di kamar. Aku Cuma membawa anakku sendiri. Cuma anakku sendiri,” kakinya menyepak tapi bujang-bujang lain mendesak.(halaman: 264)

Ketika sang tokoh utama tidak bisa membawa pulang anaknya, Gadis Pantai dihadapkan pada rasa malu terhadap para penduduk. Rasa malu inilah yang mengakibatkan tokoh Gadis Pantai berpamitan kepada ayahnya untuk tidak ikut kembali pulang ke kampung halamannya. Selain itu dia juga berkeinginan untuk mendapatkan kembali anaknya.

“Ampuni aku, bapak. Aku tak dapat tentang mata emak, para tetangga, dan semuanya. Ampuni aku, bapak. Aku akan pergi bawa diriku sendiri.” (halaman: 269)

Sikap yang ditunjukkan Gadis Pantai juga tampak dalam perubahan tingkah lakunya. Dia mulai berani melakukan hal ekstrem. Dia sering muncul di depan


(3)

rumah mantan suaminya. Tidak dapat diketahui apa tujuan sang tokoh utama dalam melakukan hal ini.

Dalam satu bulan setelah itu sering orang melihat sebuah dokar berhenti di depan pintu pekarangan depan Bendoro dan sebuah wajah mengintip dari kiraian jendela dokar, tetapi tak ada terjadi apa-apa di pekarangan itu. Lewat sebulan tak pernah lagi ada dokar terhenti, tak ada lagi wajah mengintip dari kirainya.(hal. 270)

Gambaran di atas adalah Gadis Pantai yang ternyata tidak ikut pulang ke kampung halamannya. Namun, bisa dikatakan sikap tokoh utama dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh utama merencanakan sesuatu yang kemungkinan tujuannya adalah untuk mendapatkan anaknya kembali.


(4)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap konflik batin tokoh Gadis Pantai dalam novel Gadis Pantai karya Pramodya Ananta Toer dihasilkan beberapa simpulan.

1. Konflik Batin Tokoh Gadis Pantai

Konflik batin yang dihadapi tokoh Gadis Pantai dalam Novel Gadis Pantai

berdasarkan tipe konflik batin oleh Kurt Lewin dipaparkan beberapa konflik batin tokoh, yaitu

a. Konflik tipe 1 yang dipengaruhi oleh dua kekuatan dalam diri si tokoh. Gadis Pantai dihadapkan pada tipe kekuatan menjauh- menjauh dan mendekat-menjauh. Dia harus menerima keadaan yang tidak diinginkannya, b. Konflik tipe 2, yaitu konflik batin yang membuat Gadis Pantai menjadi

seorang Introver sehingga segala pergolakan batin yang dihadapinya menjadi pergolakan yang tidak dapat dibagi dengan tokoh lain, dan

c. Konflik tipe 3, yaitu adanya tindakan tokoh Gadis Pantai untuk menghadapi konflik batin yang dialaminya. Tindakan inilah yang akhirnya bisa menimbulkan konflik batin yang lainnya.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya konflik batin yang dihadapi Gadis Pantai. Baik itu konflik tipe 1, 2, maupun tipe 3, konflik batin ini disebabkan oleh enam faktor, yaitu teori agresi, teori kehilangan, teori kepribadian, teori kognitif, teori ketidakberdayaan, dan teori perilaku.


(5)

2. Sikap Tokoh Gadis Pantai dalam Menghadapi Konflik Batin

Berkaitan dengan sikap tokoh utama dalam menghadapi pergolakan batin yang dihadapinya. Ada beberapa sikap yang digambarkan tokoh utama dalam menghadapi konflik ini, antara lain menangis dan memendam apa yang dipikirkan di dalam diri sendiri, membalas ucapan tokoh suami saat merasa direndahkan, memohon kepada suami, membawa pergi bayi yang digendongnya karena dipaksa untuk meninggalkan bayinya dan memutuskan untuk tidak ikut pulang bersama ayahnya karena malu untuk bertemu dengan warga Desa Nelayan, serta ,uncul di depan rumah mantan suaminya dengan tujuan untuk mendapatkan anaknya kembali.

5.2 Saran

Untuk meningkatkan apresiasi dan penjajakan terhadap karya sastra terutama novel, disarankan pada masyarakat sebagai apresiator dan sekaligus sebagai kreator dalam menciptakan karya sastra. Masyarakat diharapkan lebih mengetahui pendekatan secara psikologi sastra dengan objek kajian karya sastra terutama novel.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian: edisi revisi. Malang : UMM Press. Andre, Hardjana. 1985. Kritik Sastra : Sebuah Pengantar. Jakarta : Gramedia. Bimo, Walgito. 1978. Psikologi sosial: Suatu pengantar. Yogyakarta : Andi.

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, Dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta.

Kusumawati, Magdalena. 2003. Gambaran resiliensi dan dukungan sosial pada

anak berusia antara 7-12. Jakarta: Fakultas Psikologi Atma Jaya.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Prasetyo, Azis. 2012. “Ketidakadilan Gender dalam novel Gadis Pantai Karya Pramodya Ananta Toer dalam Tinjauan Gender” (skripsi). Semarang : Fakultas Ilmu Sosial UNS.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Tehnik Penelitian Sastra.

Jogyakarta: Pustaka Pelajar.

Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Siminto. 2008. “Novel Gadis Pantai Karya Pramodya Ananta Toer Analisis Struktural Levi-Strauss. STAIN. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, volume 5, Nomor 1 Juni 2008.

Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. 1998 . Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Tanpa nama. 2009. Pengertian dan Penyebab Konflik batin.

pukul 12.34.

Teeuw,A. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:Pustaka Jaya.

Toer, Pramodya Ananta. 2003.Gadis Pantai :cet ke-3. Jakrta: Lentera Dipantara. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Terjemahan oleh

Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.