Lintasan dan Model Spasial Deforestasi di Kalimantan Periode 2000-2013
LINTASAN DAN MODEL SPASIAL DEFORESTASI DI
KALIMANTAN PERIODE 2000-2013
JUDIN PURWANTO
E 151120191
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Lintasan dan Model
Spasial Deforestasi di Kalimantan Periode 2000-2013 adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Judin Purwanto
NIM E151120191
RINGKASAN
JUDIN PURWANTO. Lintasan dan Model Spasial Deforestasi di Kalimantan
Periode 2000-2013. Dibimbing oleh TEDDY RUSOLONO dan LILIK BUDI
PRASETYO.
Sektor kehutanan merupakan penyumbang emisi karbon terbesar di
Indonesia. Selain itu hutan juga mempunyai sifat menyerap karbon pada saat
tumbuhan melakukan fotosintesis. Kondisi inilah yang menyebabkan sektor
kehutanan dapat berperan besar pada upaya mengurangi pemanasan global. Emisi
sektor kehutanan sebagian besar berasal dari kejadian deforestasi untuk berbagai
keperluan. Pengelolaan hutan berkelanjutan sebagai salah satu mekanisme penting
untuk memastikan keseimbangan pemanfaatan sumber daya hutan untuk manusia
dan lingkungan hidup. Kalimantan merupakan wilayah Indonesia yang
mempunyai hutan yang luas dan kejadian deforestasi yang tinggi. Lintasan dan
model spasial deforestasi diharapkan mampu memberikan informasi yang lebih
rinci tentang fenomena deforestasi di Kalimantan sehingga dapat disusun
perencanaan pengelolaan hutan berkelanjutan.
Penelitian ini dilakukan menggunakan data penutupan lahan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2000-2013 dan divalidasi dengan citra
SPOT 5/6 tahun 2013. Data tersebut kemudian dianalisis lintasan dan model
spasial deforestasi. Model spasial deforestasi disusun menggunakan regresi
logistik dengan data tahun 2000-2006 kemudian diimplementasikan pada data
2006-2013. Variabel yang diduga berpengaruh terhadap model adalah kelerengan,
ketinggian tempat, lahan gambut, jarak dengan batas hutan, jarak dengan
perkebunan, jarak dari jalan, jarak dari sungai, jumlah keluarga tani, jumlah
penduduk dan pendapatan regional domestik bruto (PDRB).
Analisis lintasan deforestasi di Kalimantan pada periode 2000-2013
menunjukkan bahwa areal yang terdeforestasi belum optimal dimanfaatkan karena
sebagian besar masih berupa belukar sampai akhir periode. Hasil analisis regresi
logistik untuk model spasial deforestasi di Kalimantan adalah Pi = 1.1480714 (0.033262*Kelerengan) - (0.002242*Ketinggian) - (0.000413*Jarak dari Batas
Hutan) + (0.000045*PDRB). Hasil uji validasi model deforestasi 2000-2006
mempunyai nilai overall accuracy adalah 79.64% dan model deforestasi 20062013 mempunyai nilai overall accuracy 77.01%.
Kata kunci: lintasan, model spasial, regresi logistik, deforestasi, Kalimantan
SUMMARY
JUDIN PURWANTO. Trajectory and Spatial Model of Deforestation in
Kalimantan from 2000 to 2013. Supervised by TEDDY RUSOLONO and LILIK
BUDI PRASETYO.
Carbon emissions in Indonesia was contributed by the forestry sector. Yet,
forest absorbs carbon emissions by photosynthesis processes and stores it in the
forest biomass. This conditions causes the forestry sector could played a main role
in the efforts to reduce global warming. Emission in forestry sector is mainly
caused by deforestation for various purposes. Sustainable forest management
approaches as important mechanisms to ensure balance in the use of forest
resources for humans and the environment. Kalimantan island has large forest
cover and has high rate deforestation. The trajectory and spatial model of
deforestation was expected to provide more detailed information about the
phenomenon of deforestation in Kalimantan that could be organized on
sustainable forest management planning.
This study used time-series land cover data from Ministry of Forestry in
2000–2013 and validated with SPOT 5/6 images in 2013. land cover data was
used to analyzed the trajectory and spatial model of deforestation. The spatial
model of deforestation were developed using logistic regression with data in
2000–2006 and then implemented in 2006–2013. The variables that used to
predicted influence on the models were slope, altitude, peatlands, distance from
forest edge, distance from plantations edge, distance from road, distance from
river, farmer households, human population and Gross Regional Domestic
Product (GDRP).
Trajectory analysis of deforestation in Kalimantan in the period 2000-2013
suggests that a deforested has not been optimally exploited because most of land
cover were still in the form of shrubs until the end of the period. The results of
logistic regression analysis that obtained spatial model of deforestation in
Kalimantan Pi = 1.1480714 - (0.033262*slope) - (0.002242*elevation) (0.000413*distance from forest edge) + (0.000045*GDRP). The result of
validation test of deforestation model in 2000–2006 has a value of overall
accuracy about 79.64% and model of deforestation in 2006–2013 has value of
overall accuracy about 77.01%.
Keywords: trajectory, spatial model, logistic regression, deforestation, Kalimantan
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
LINTASAN DAN MODEL SPASIAL DEFORESTASI DI
KALIMANTAN PERIODE 2000-2013
JUDIN PURWANTO
E 151120191
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi Pembimbing pada Ujian Tesis: Dr. Ir. M Buce Saleh, MS
Judul Tesis
Nama
NIM
: Lintasan dan Model Spasial Deforestasi di Kalimantan Periode
2000-2013
: Judin Purwanto
: E151120191
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS
Ketua
Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Pengelolaan Hutan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
29 Juli 2015
Tanggal Lulus:
14 Agustus 2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah deforestasi, dengan judul Lintasan dan Model
Spasial Deforestasi di Kalimantan Periode 2000-2013. Penelitian ini dilaksanakan
di Laboratorium Perencanaan Hutan dan Laboratorium Analisis Lingkungan dan
Pemodelan Spasial Fakultas Kehutanan IPB
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS
dan Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku pembimbing yang telah
banyak memberi kritik dan saran. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu selama perolehan data, konsep, pustaka
dan lain-lain untuk penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, istri, anak serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2015
Judin Purwanto
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaharuan Penelitian
1
1
2
3
3
4
2 METODE
Tempat dan Waktu
Bahan
Alat
Prosedur Penelitian
4
4
4
4
4
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kondisi Data Penutupan Lahan Kalimantan
Lintasan Deforestasi Kalimantan
Model Spasial Deforestasi
11
11
11
12
14
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
20
20
20
DAFTAR PUSTAKA
21
LAMPIRAN
24
RIWAYAT HIDUP
34
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Luas hutan dan deforestasi Indonesia
Matriks kesalahan (confusion matrix)
Reklasifikasi kelas penutupan lahan
Contoh pola lintasan deforestasi (Boori dan Vozenilek 2014)
Teknik ekstraksi data peubah yang diduga berpengaruh pada deforestasi
Perhitungan akurasi penutupan lahan Kalimantan tahun 2013
Lintasan deforestasi 2000-2013 Kalimantan (lebih dari 100 ribu hektar)
Hasil uji multikolinieritas antar variabel bebas
Ambang batas terbaik pada peta peluang deforestasi.
Hasil validasi model deforestasi Kalimantan
3
6
6
7
8
12
14
15
19
20
DAFTAR GAMBAR
1. Tahap pengolahan data. Penutupan Lahan (PL), Hutan Alam (H), Non
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Hutan Alam (nH)
Lokasi validasi penutupan lahan
Penutupan lahan setelah terdeforestasi 2000-2006 (a) dan 2006-2013 (b)
Distribusi sampel regresi logistik
Peta kelerengan dan deforestasi Kalimantan
Peta ketinggian tempat dan deforestasi Kalimantan
Peta kedekatan dengan batas hutan tahun 2000 dan deforestasi
Kalimantan
Peta model deforestasi 2000-2006(a) dan Peta model deforestasi 20062013(b)
5
12
13
15
16
17
18
19
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
Lintasan deforestasi 2000-2013 Kalimantan
Penentuan jumlah sampel regresi logistik
Keluaran regresi logistik
PDRB Kabupaten di Kalimantan (milyar rupiah)
24
29
30
32
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor kehutanan merupakan penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia
(Boer et al. 2010). Selain itu hutan juga mempunyai sifat menyerap karbon pada
saat tumbuhan melakukan aktifitasnya. Kondisi inilah yang menyebabkan sektor
kehutanan dapat berperan besar pada upaya mengurangi pemanasan global. Emisi
sektor kehutanan sebagian besar berasal dari kejadian deforestasi untuk berbagai
keperluan. Menurut Houghton (2012) deforestasi dan degradasi hutan didorong
oleh perluasan lahan pertanian, perkebunan, kebakaran, pemanenan kayu.
Luas hutan Indonesia pada tahun 2013 sekitar 96.490 juta hektar dari total
luas daratan Indonesia sekitar 187.918 juta hektar (IPSDH 2014) dengan kejadian
deforestasi Indonesia pada periode 2012-2013 sebesar 0.728 juta ha/tahun dan
reforestasi sebesar 0.226 juta ha/tahun (IPSDH 2014b). Data lain menyebutkan
bahwa rata-rata deforestasi pada periode 2000-2012 adalah 0.84 juta ha/tahun dan
reforestasi sekitar 0.476 juta ha/tahun (Margono 2014)
Kondisi tersebut mendorong adanya pendekatan pengelolaan hutan
berkelanjutan sebagai salah satu mekanisme penting untuk memastikan
keseimbangan pemanfaatan sumber daya hutan untuk manusia dan lingkungan
hidup. Perencanaan pengelolaan hutan yang berkelanjutan tersebut akan baik jika
berdasarkan data yang baik dan akurat yang didukung ahli untuk menganalisa data
tersebut. Perkembangan penginderaan jauh di bidang kehutanan merupakan salah
satu komponen penting dari sistem pengelolaan hutan berkelanjutan (Franklin
2001). Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang pemetaan digital dan
penginderaan jauh yang didukung teknologi informasi saat ini memungkinkan
menghasilkan data yang baik dan analisa yang cepat, akurat dan murah.
Citra satelit saat ini sudah tersedia dan dapat diakses dengan mudah dan
murah. Hal ini memudahkan berbagai pihak mengembangkan berbagai macam
metode pemantauan hutan yang cepat, mudah, murah dan multi waktu. Data
publikasi statistik hutan yang saat ini sudah cukup membantu dalam berbagai
perencanaan dan pengambilan keputusan. Namun demikian detail analisa data
penutupan lahan tersebut belum banyak dilakukan. Kondisi stabilitas penutupan
lahan dapat diketahui jika dilakukan monitoring pada satu tempat dalam waktu
yang lama. Lintasan perubahan lahan terutama deforestasi sangat menarik ditelusuri
yang kemungkinan dapat memberikan informasi yang berbeda dari persepsi umum
saat ini (Lambin et al. 2003).
Lintasan perubahan penutupan lahan dapat menjelaskan dinamika kondisi
setiap tipe pada satu lokasi sesuai periode pengamatan (Boori dan Vozenilek 2014).
Kondisi ini dapat digunakan sebagai alat penilaian pada pengelolaan lingkungan
berbasis lahan (Mena 2008). Brondinzo dan Moran (2012) mendefinisikan lintasan
deforestasi sebagai akumulasi deforestasi relatif terhadap daerah tertentu (unit
analisis) yang didistribusikan ke setiap periode pengamatan.
Boori dan Vozenilek (2014) melakukan eksplorasi lintasan perubahan
penutupan lahan menggunakan data citra satelit tahun 1991, 2001 dan 2013 di
Olomouc Republik Ceko dengan metode orientasi objekmenunjukkan bahwa
matrik lintasan perubahan lahan memberikan pengukuran kuantitatif yang baik
2
dalam memahami pola dan penyebabnya. Mena (2008) menyatakan bahwa dengan
mengeksplorasi komposisi utama lintasan perubahan lahan dapat menunjukkan
bagaimana pola dan peluang perubahan lahan dapat digunakan untuk
mengkarakterisasi lintasan penggunaan dan penutupan lahan. Brondinzo dan
Moran (2012) menyatakan bahwa pemahaman lintasan deforestasi dan
penyebabnya harus dibedakan dalam skala analisis serta harus hati-hati
memberikan penjelasan secara umum dan solusi jika tanpa melihat skalanya.
Selain lintasan deforestasi, sangat perlu juga diketahui faktor-faktor penyebab
deforestasi untuk melakukan perencanaan ke depan. Model spasial dapat digunakan
sebagai alat mengetahui faktor yang berpengaruh signifikan terhadap deforestasi.
Mas et al. (2004) menyebutkan bahwa model deforestasi mempunyai potensi
manfaat sebagai berikut: untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang
bagaimana faktor pendorong deforestasi, untuk menghasilkan skenario laju
deforestasi masa depan, untuk memprediksi lokasi deforestasi dan untuk
mendukung penentuan kebijakan. Model spasial deforestasi diharapkan mampu
memberikan informasi yang lebih rinci tentang faktor yang deforestasi di
Kalimantan sehingga dapat disusun perencanaan yang optimal terhadap fungsi
lingkungan dan sosial ekonomi. Pendekatan regresi logistik telah banyak
dibuktikan dapat digunakan untuk menganalisis deforestasi (Arkehi 2013).
Park (2013) membandingkan pembuatan model kerawanan dengan cara
frequency ratio (FR), analytic hierarchy process (AHP), logistic regression (LR),
dan artificial neural network (ANN). Keempat cara tersebut menghasilkan akurasi
yang tidak jauh berbeda dan regresi logistik dianggap paling optimal. Regresi
logistik dapat digunakan untuk membuat model kerawanan karena dapat mengolah
data yang besar, tidak membutuhkan survey kuesioner, tidak membutuhkan waktu
lama dan mudah dipahami. Burn et al. (2015) membuat model deforestasi pada
hutan lindung di Indonesia dengan metode auto-logistik dan model von Thunen.
Hasil dari validasi kedua metode tersebut memberikan nilai akurasi yang tidak jauh
berbeda. Model von Thunen digunakan jika data spasial sedikit atau hanya tersedia
pada satu titik waktu. Model auto-logistik dapat digunakan untuk melakukan
prediksi yang lebih akurat.
Linkie et al. (2004) membuat model spasial deforestasi di dataran rendah
Sumatera periode 1985, 1992 dan 1999 dengan regresi logistik. Hasilnya adalah
bahwa faktor yang berpengaruh adalah kelerengan, jarak dari jalan logging dan
jarak dari jalan. Prasetyo et al. (2009) membuat model deforestasi periode 2000,
2005 dan 2008 menggunakan regresi logistik di Jawa, faktor yang berpengaruh
adalah kepadatan penduduk, kepadatan jalan dan prosentase penduduk yang
memiliki sumber pendapatan dari sektor pertanian.
Perumusan Masalah
Pulau Kalimantan merupakan bagian Indonesia yang mempunyai hutan yang
luas dan kejadian deforestasinya masih tinggi (IPSDH 2014) (Tabel 1). Langler et
al. (2007) menyatakan bahwa Pulau Kalimantan mempunyai sejarah deforestasi
dan degradasi yang cukup berat selama dua dekade terakhir. Kondisi ini perlu
dikelola dengan baik agar hutan Kalimantan tetap lestari tidak seperti di Jawa dan
Sumatera yang saat ini hutannya kira-kira tinggal 30% (Prasetyo et al. 2009:
Margono et al. 2012). Kejadian deforestasi di Kalimantan disebabkan oleh
3
beberapa hal antara lain ketinggian tempat dan permintaan lahan untuk
pertanian/perkebunan, kondisi ini bahkan juga terjadi di hutan lindung (Scriven et
al. 2015). Burn et al. (2015) menyatakan bahwa ekomomi yang kuat akan akan
memberikan tekanan yang kuat terhadap keberadaan hutan di Kalimantan. Kebun
sawit di Kalimantan 90% dikonversi dari hutan selama kurun waktu 1990-2010
(Carlson et al. 2012). Secara umum deforestasi dipengaruhi oleh faktor biofisik dan
sosial ekonomi. Faktor biofisik antara lain ketinggian tempat dan kelerengan
(Kumar et al. 2014; Prasetyo et al. 2009). Faktor sosial ekonomi antara lain
kependudukan dan pendapatan penduduk (Romijn et al. 2013). Nawir (2008)
menyatakan bakwa faktor pendorong deforestasi dan degradasi lahan antara lain
adalah kebakaran hutan, pengelolaan areal konsesi hutan tidak lestari, desentralisasi
pemerintahan, konversi hutan untuk penggunaan lain misalnya perkebunan kelapa
sawit, penebangan liar dan perambahan hutan.
Tabel 1 Luas hutan dan deforestasi Indonesia
Pulau
Pulaua
Luasc
Hutana
Luasc
%
Deforestasib
%
Luasc
%
Sumatera
47,162.1
25.1%
14,071.0
14.6%
191,393.1
26.3%
Jawa
13,387.9
7.1%
3,263.4
3.4%
4,268.0
0.6%
Kalimantan
52,957.9
28.2%
27,579.9
28.6%
453,350.7
62.3%
Sulawesi
18,528.1
9.9%
9,465.0
9.8%
45,673.2
6.3%
Bali Nusa
7,323.1
3.9%
2,939.1
3.0%
2,518.2
0.3%
Maluku
7,767.0
4.1%
5,110.9
5.3%
6,937.6
1.0%
40,792.0
21.7%
34,061.4
35.3%
23,840.5
3.3%
187,918.1
100.0%
96,490.7
100.0%
727,981.3
100.0%
Papua
Total
a
[Hutan tahun 2013]IPSDH:2014; b[Deforestasi Netto periode 2012-2013]IPSDH:2014b; c[dalam
Ribu Hektar]
Lintasan dan model spasial deforestasi diharapkan mampu memberikan
informasi yang lebih rinci tentang fenomena deforestasi sehingga dapat disusun
perencanaan pengelolaan hutan berkelanjutan.
Rumusan pertanyaan:
1) Bagaimana lintasan deforestasi di Kalimantan terjadi?
2) Bagaimana model spasial deforestasi di Kalimantan dan faktor apa yang
berpengaruh?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Menyusun dan menganalisa lintasan deforestasi di Kalimantan untuk
mengetahui pola perubahan setelah kejadian deforestasi.
2) Membangun model spasial deforestasi di Kalimantan untuk menentukan
faktor yang berperan pada deforestasi.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah memberi informasi
analisa lintasan dan model spasial deforestasi di Kalimantan beserta faktor yang
4
berpengaruh sebagai tambahan
pengelolaan hutan berkelanjutan.
informasi
dalam
melakukan
perencanaan
Kebaharuan Penelitian
Pada penelitian ini diharapkan memperoleh kebaharuan berupa informasi
lintasan dan model spasial deforestasi di Kalimantan tahun 2000-2013.
2 METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Pulau Kalimantan. Setelah pengumpulan data
selesai kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data di Laboratorium
Perencanaan Hutan dan Laboratorium Analisis Lingkungan dan Laboratorium
Pemodelan Spasial Fakultas Kehutanan IPB mulai bulan Februari 2015 sampai
dengan bulan Mei 2015.
Bahan
Bahan‐bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi:
1) Peta Dasar Tematik Kehutanan (PDTK) Kementerian Kehutanan
(KemenHut)tahun 2006
2) Peta penutupan lahan KemenHut tahun 2000, 2003, 2006, 2009, 2011, 2012
dan 2013,
3) Peta Lahan Gambut Kementerian Pertanian tahun 2011
4) Citra satelit SPOT 5/6 tahun 2013
5) Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) resolusi 30m
6) Peta dan Data Potensi Desa (PODES) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003
dan 2008
7) Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) BPS tahun 2003 dan 2008
Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi:
1) ArcGIS
2) Microsoft Excel
3) SPSS
Prosedur Penelitian
Secara ringkas prosedur analisis disajikan pada diagram alir tahap pengolahan
data (Gambar 1). Proses analisis didahului dengan pengumpulan data dan
standarisasi data. Standarisasi data meliputi standarisasi format, sistem proyeksi
5
dan kodifikasi yang disesuaikan dengan alat atau perangkat lunak yang digunakan.
Sistem proyeksi yang digunakan adalah sistem proyeksi mercator (IPSDH 2012)
karena Pulau Kalimantan terletak di katulistiwa. Data spasial dikonversi menjadi
format raster dengan resolusi spasial 30m. Ukuran piksel yang digunakan berdasar
pada resolusi terkecil sumber data yang digunakan yaitu data penutupan lahan
(sumber citra landsat 7/8 dengan ukuran piksel 30m).
Akurasi PL
2013
Penutupan Lahan
KLHK 2000-2013
Validasi
PL 2000
PL 2003
PL 2006
PL 2009
PL 2011
PL 2012
PL 2013
SPOT 5/6
2013
H-nH 2006
H-nH 2000
H-nH 2013
Deforestasi
2006-2013
Deforestation
2000-2006
Regresi
Logistik
Validasi
Variabel
2000-2006
Model
Deforestasi
2000-2006
Reklasifikasi
Analisis
Spasial
Analisis
Spasial
Peta Model
Deforestasi
2006-2013
Analisis
Spasial
Peta Peluang
Deforestasi
2000-2006
Validasi
Peta Model
Deforestasi
2000-2006
Statistik Pola
Lintasan
Deforestasi
Peta Peluang
Deforestasi
2006-2013
Variabel
2006-2013
Peta Model
Deforestasi
2006-2013
Peta Model
Deforestasi
2000-2006
Gambar 1 Tahap pengolahan data. Penutupan Lahan (PL), Hutan Alam (H), Non
Hutan Alam (nH)
Validasi Peta Penutupan Lahan 2013
Lokasi validasi disusun sesuai dengan plot Inventarisasi Hutan Nasional yaitu
secara sistematis dengan jarak 20 x 20 kilometer (DirjenPlan 2014). Validasi
dilakukan dengan membandingkan peta penutupan lahan dan citra resolusi tinggi
SPOT 5/6 tahun 2013 yang tersedia. Citra resolusi tinggi dapat digunakan sebagai
referensi pada validasi penutupan lahan yang bersumber dari cirta resolusi sedang
atau rendah (Dorais dan Cardille 2011). Metode penghitungan akurasi validasi yang
sering digunakan untuk menguji kualitas hasil interpretasi penutupan lahan berbasis
data penginderaan jauh adalah overall accuracy, producer accuracy and user
accuracy (Foody 2002).
6
Tabel 2 Matriks kesalahan (confusion matrix)
Referensi
P+1
P+2
......
P+z
Jumlah
P1+
Xii
...
...
...
X1+
Penutupan Lahan
P2+
....
...
...
Xii
...
...
...
...
...
X2+
...
Jumlah
Pz+
...
...
...
Xii
Xz+
X+1
X+2
...
X+z
N
Adapun rumus overall accuracy (OA) adalah sebagai berikut (Foody 2002):
OA=
∑ri=1 Xii
N
dimana: Xii = nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i, N =
banyaknya titik pengamatan, r = jumlah tipe penggunaan lahan.
Reklasifikasi Penutupan Lahan
Untuk memudahkan analisis lintasan dan model deforestasi, peta penutupan
lahan KemenHut perlu dilakukan pengelompokan atau reklasifikasi.
Tabel 3 Reklasifikasi kelas penutupan lahan
Reklasifikasi
Kelas Penutupan Lahan KemenHut
Hutan lahan kering primer
Hutan mangrove primer
Hutan rawa primer
Hutan lahan kering sekunder
Hutan mangrove sekunder
Hutan rawa sekunder
Hutan tanaman
Semak/belukar
Belukar rawa
Savana
Tanah terbuka
Pertambangan
Pertanian lahan kering
Pertanian Lahan Kering + Semak
Sawah
Perkebunan
Permukiman
Pelabuhan Udara/Laut
Transmigrasi
Rawa
Tambak
Tubuh air
Awan
I
Hutan Alam (H)
II
Hutan Alam (H)
Hutan tanaman (Ht)
Semak/belukar (B)
Tanah terbuka (T)
Pertambangan (Tm)
Pertanian (Pt)
Perkebunan (Pk)
Bukan
Hutan Alam
(nH)
Permukiman (Pm)
Air (A)
Awan (Aw)
Analisis Lintasan Deforestasi
Pola lintasan deforestasi diidentifikasi pada seluruh periode penutupan lahan
(Tabel 4). Analisa ini dilakukan dengan cara melakukan tumpang susun data
7
penutupan lahan. Penutupan lahan yang digunakan adalah hasil reklasifikasi tahap I
(Tabel 3).
Tabel 4 Contoh pola lintasan deforestasi (Boori dan Vozenilek 2014)
Pola Lintasan b
t0
H
H
...
H
t1
T
T
...
Pt
Periode a
t2
T
B
...
Pt
....
...
...
...
...
tn
B
Pk
...
Pt
Luas
%
L1
...
...
L2
...
...
....
...
...
Ln
...
...
Total
...
...
a
[t0: penutupan lahan awal periode; tn: penutupan lahan akhir periode; H: Hutan Alam; Pk:
Perkebunan; B: Rumput/ Semak Belukar; T: Tanah Terbuka; Pt: Pertanian]; b[Ln: pola lintasan ke
n]
Identifikasi Peubah yang diduga berpengaruh terhadap Deforestasi
Kelerengan (X1). Faktor ini diduga berpengaruh dengan asumsi semakin
tinggi tingkat kelerengan maka peluang terjadinya deforestasi semakin kecil.
Beberapa penelitian seperti Kumar et a.l (2014); Prasetyo et al. (2009) menyatakan
bahwa kelerengan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya
deforestasi.
Ketinggian Tempat (X2). Faktor ini diduga berpengaruh dengan asumsi
semakin tinggi ketinggian tempat maka peluang terjadinya deforestasi semakin
kecil. Beberapa penelitian seperti Arkehi dan Jafarzadeh (2012); Prasetyo et al.
(2009) menyatakan bahwa ketinggian tempat merupakan faktor yang berpengaruh
terhadap terjadinya deforestasi.
Lahan Gambut (X3). Menurut Uryu et al. (2008) pada penelitian di Riau
menunjukkan bahwa deforestasi yang menurun pada hutan lahan kering karena stok
lahan terbatas maka meningkatkan deforestasi pada lahan rawa gambut.
Jarak dengan Batas Hutan (X4). Faktor ini diduga berpengaruh terhadap
deforestasi dengan asumsi semakin dekat dengan batas hutan maka peluang
terjadinya deforestasi semakin tinggi. Arkehi (2013) bahwa kedekatan dengan
batas hutan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya deforestasi.
Kedekatan dengan Perkebunan (X5). Faktor ini diduga berpengaruh
terhadap deforestasi dengan asumsi semakin dekat dengan perkebunan maka
peluang terjadinya deforestasi semakin tinggi. Romijn et al. (2013) menyatakan
bahwa pertanian komersial (perkebunan) merupakan faktor pendorong deforestasi
terbesar pada hutan rawa.
Jarak dari Jalan (X6). Penelitian Kumar et al. (2014); Arkehi dan
Jafarzadeh (2012); Wyman dan Stein (2010) menyebutkan bahwa jarak dari jalan
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya deforestasi.
Jarak dari Sungai (X7). Faktor ini diduga berpengaruh dengan asumsi
semakin jauh dengan sungai maka peluang terjadinya deforestasi semakin kecil.
Penelitian Wyman dan Stein (2010) menyebutkan bahwa jarak dari sungai
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya deforestasi.
Jumlah Penduduk (X8). Faktor ini diduga berpengaruh terhadap deforestasi
dengan asumsi semakin tinggi kepadatan penduduk maka peluang terjadinya
deforestasi semakin tinggi. Romijn et al. (2013) menyatakan bahwa kepadatan
penduduk merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya deforestasi.
8
Jumlah petani (X9). Jumlah Petani diduga berpengaruh terhadap deforestasi.
Sunderlin dan resosudarmo (1996) sistem usaha tani terutama di luar pulau jawa
berpengaruh terhadap deforestasi. Sistem usaha tani tersebut adalah perladangan
berpindah, perkebunan rakyat dan transmigrasi.
PDRB (X10). PDRB diduga berpengaruh terhadap deforestasi dengan asumsi
semakin tinggi PDRB maka peluang terjadinya deforestasi semakin tinggi. Romijn
et al. (2013), Huang (2007) dan Ewers (2006) menyatakan bahwa PDRB
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya deforestasi.
Tabel 5 Teknik ekstraksi data peubah yang diduga berpengaruh pada deforestasi
No
1.
Variabel
Kelerengan (X1)
Satuan
%
Skala Data
Rasio
Sumber
SRTM
2.
Ketinggian
Tempat (X2)
Lahan Gambut
(X3)
Kedekatan
dengan Batas
Hutan 2000a dan
2006b (X4)
Kedekatan
dengan
Perkebunan 2000a
dan 2006b (X5)
Jarak dari Jalan
(X6)
Jarak dari Sungai
(X7)
Jumlah Penduduk
2003a dan 2008b
(X8)
Jumlah Petani
2000a dan 2008b
(X9)
PDRB 2003a dan
2008b (X10)
mdpl
Rasio
SRTM
Nominal
Peta Lahan
Gambut
Peta
Penutupan
Lahan
Analisis spasial
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Teknik Estraksi Data
Analisis spasial (Raster
Surface/Slope)
Analisis spasial
meter
Rasio
Analisis spasial
(euclidean distance)
meter
Rasio
Peta
Penutupan
Lahan
Analisis spasial
(euclidean distance)
meter
Rasio
PDTK
meter
Rasio
PDTK
Orang
Rasio
PODES
KK
Rasio
PODES
Juta rupiah/
kabupaten
Rasio
Statistik BPS
Analisis spasial
(euclidean distance)
Analisis spasial
(euclidean distance)
Analisis spasial
(interpolasi dari pusat
desa)
Analisis spasial
(interpolasi dari pusat
desa)
Analisis spasial (batas
kabupaten)
a
[digunakan untuk penyusunan model 2000-2006]; b[ digunakan untuk implementasi model 20062013]
Membangun Model Spasial Deforestasi
Model spasial deforestasi disusun dari data penutupan lahan tahun 2000 dan
2006. Deforestasi diidentifikasi dengan cara menganalisa perubahan hutan alam
menjadi bukan hutan alam (Tabel 3).
Penentuan Sampel. Sampel dalam penelitian ini diperlukan untuk
mendapatkan kombinasi nilai variabel prediktor dan variabel respon dari populasi
(jumlah piksel seluruh Kalimantan). Kombinasi nilai tersebut digunakan dalam
analisis untuk penyusunan model regresi logistik biner. Jumlah sampel ditentukan
dengan Rumus Slovin serta hasil uji kelayakan model regresi logistik (HosmerLemeshow) dan nilai koefisien determinasi (Nagelkerke R2). Jumlah sampel
minimal ditentukan dengan rumus slovin (Tejada dan Punzalan 2012).
9
n=
N
1+Nα2
dimana: n = jumlah sampel minimal, N = ukuran populasi, α = taraf nyata.
Metode penentuan sampel yang digunakan adalah stratified random sampling.
Strata merupakan bagian (subset) dari populasi yang secara umum dapat dibedakan
karakteristiknya. Sampel diambil pada setiap kategori lahan deforestasi dan tidak
deforestasi (hutan) dengan mempertimbangkan distribusinya di daerah penelitian.
Regresi Logistik. Regresi logistik adalah regresi di mana variabel responnya
adalah dummy, yaitu 1 dan 0 (Menard 2002). Regresi logistik digunakan untuk
menyusun model spasial deforestasi dengan variabel prediktor yang telah
teridentifikasi akan berpengaruh terhadap terjadinya deforestasi. Sebelum
dilakukan pendugaan parameter perlu dilakukan uji asumsi. Uji asumsi klasik yang
sering dipergunakan dalam regresi linear berganda adalah uji normalitas, uji
heteroskedastisitas, uji autokorelasi dan uji multikolinearitas. Dari keempat uji
tersebut, uji normalitas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi berkaitan
dengan nilai variabel responnya. Dengan demikian, ketiga uji tersebut tidak perlu
dilakukan. Akan tetapi uji multikolinearitas masih tetap dilakukan, karena hanya
melibatkan variabel bebasnya. Maksud dari multikolinearitas adalah adanya
hubungan linear satu variabel bebasi dengan variabel bebas yang lain (Menard
2002).
Variance Inflation Factor (VIF) adalah salah satu cara dalam mendeteksi
adanya multikolinearitas (O’berin 2007). VIF dinyatakan dengan rumus :
(VIF)n =
1
1-R2n
dimana : (VIF)n = VIF dari variabel bebas Xn, R2n = Koefisien determinasi dari
variabel bebas Xn. Menurut Menard (2002) nilai VIF lebih 10 mengindikasikan
adanya masalah multikolinieritas yang serius. Nilai ambang batas VIF yang sering
digunakan dalam penelitian adalah 10 (O’berin 2007). Jika variabel bebas tersebut
terindikasi adanya multikolinieritas maka perlu dieliminasi.
Jika sudah tidak ada masalah kolinieritas pada variabel kemudian dilanjutkan
pada analisis regresi logistik. Rumus regresi logistik (Menard 2002) adalah:
Logit Pi = ∝+β1 X1 +β2 X2……………………. +βn Xn
Logit (Pi) adalah logaritma normal (ln) dari Odd, yaitu rasio antara Pi dengan 1-Pi.
Logit Pi = ln
ln
Pi
1-Pi
Pi
= ∝+β1 X1 +β2 X2……………………. +βn Xn
1-Pi
Pi
= exp(∝+β1 X1 +β2 X2……………………. +βn Xn )
1-Pi
10
Pi=
exp(∝+β1 X1 +β2 X2……………………. +βn Xn )
1+exp(∝+β1 X1 +β2 X2………… ……. +βn Xn )
dimana: P i = peluang perubahan lahan, Xn = variabel prediktor ke-n, βn =
koefisien dari variabel Xn, ∝ : konstanta regresi, exp = eksponensial.
Kalibrasi Model. Model regresi logistik yang telah diperoleh kemudian di
uji kelayakannya dengan melihat dari nilai -2 Log Likelihood serta uji Hosmer and
Lemeshow menggunakan aplikasi SPSS. Model dikatakan layak jika terdapat
penurunan nilai -2 Log Likelihood dan nilai uji Hosmer and Lemeshow mempunyai
nilai siknifikansi lebih dari 0.05 (Hosmer dan lemeshow 2000). Uji diskriminasi
dilakukan untuk memperoleh informasi seberapa kuat model tersebut dapat
membedakan peluang terjadinya deforestasi. Uji diskriminasi dilakukan dengan
menghitung nilai ROC (Reciever Operating Characteristic) (Dahlan 2012).
Validasi Model Spasial. Model deforestasi 2000-2006 yang terbangun
kemudian diintegrasikan dengan peta variabel bebas terpilih sehingga
menghasilkan peta peluang deforestasi 2000-2006. Peta peluang perubahan tersebut
kemudian diklasifikasikan menjadi kategori berubah dan tidak berubah agar hasil
pemodelan dapat dibandingkan dengan kondisi aktual. Klasifikasi peta peluang
perubahan dilakukan menggunakan nilai tertentu sebagai ambang batas (cut value
atau treshhold). Ambang batas yang digunakan berdasar pada nilai akurasi kappa
tertinggi dari peta peluang yang dihasilkan (Fielding dan Bell 1997). Model
deforestasi 2000-2006 dengan ambang batas terpilih selanjutnya digunakan untuk
membuat model deforestasi 2006-2013 dengan menyesuaikan variabel bebasnya.
Peta hasil model spasial deforestasi 2006-2013 kemudian divalidasi dengan data
aktual deforestasi 2006-2013 sehingga diperoleh nilai overall accuracy, producer
accuracy dan user accuracy.
11
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kalimantan adalah bagian wilayah Indonesia di Pulau Borneo. Kalimantan
meliputi 73% daratan Borneo, terletak diantara 40 24’ LU - 40 10’ LS dan antara
1080 30’ BT - 1190 00’ BT. Kalimantan dibagi menjadi lima provinsi, yaitu
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan Kalimantan Timur dan
Kalimantan Utara (Tabel 6). Luas daratan Kalimantan sekitar 53 juta hektar atau
28% luas daratan Indonesia. Pada bagian utara berbatasan langsung dengan Negara
Malaysia sepanjang kurang lebih 3000 km.
Tabel 6 Luas Provinsi di Kalimantan
Provinsi
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Kalimantan Utara
Total
a
Luasa
14,336.30
14,945.25
3,770.67
12,561.04
7,344.64
52,957.90
Prosentase
27.07%
28.22%
7.12%
23.72%
13.87%
100.00%
[dalam Ribu Hektar] BPS:2015
Kondisi Data Penutupan Lahan Kalimantan
Validasi penutupan lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
tahun 2013 di Kalimantan menggunakan citra SPOT 5/6 2013 yang tersedia dengan
jumlah pengamatan sebesar 307 titik menghasilkan nilai overall accuracy sebesar
96.09% untuk kelas hutan/nonhutan, producer accuracy sebesar 95.00% dan user
accuracy sebesar 96.38% (Gambar 2 dan Tabel 7). Hasil ini tidak jauh berbeda
dengan perhitungan overall accuracy data penutupan lahan tahun 2011 seIndonesia yang menghasilkan angka akurasi 98% untuk penutupan hutan/non hutan
(IPSDH 2012). Margono (2014) juga melakukan perhitungan overall accuracy
penutupan lahan tahun 2000 se-Indonesia untuk kelas hutan/non hutan adalah
90.2%. Hoekman et al. (2009) membuat peta penutupan hutan Kalimantan tahun
2007 menggunakan citra PALSAR dan divalidasi menggunakan penutupan lahan
KemenHut 2006 menghasilkan akurasi yang baik akan tetapi nilai akurasi tidak
disajikan secara kuantitatif.
12
Gambar 2 Lokasi validasi penutupan lahan
Tabel 7 Perhitungan akurasi penutupan lahan Kalimantan tahun 2013
Penutupan
Lahan 2013
SPOT 5/6 2013
Ha
nHb
Jumlah
Ha
nHb
Jumlah
PAd
133
5
138
7
162
169
140
167
307
95.00%
97.01%
Overall Accuracy
96.09%
a
[hutan alam]; b[bukan hutan alam]; c[user accuracy]; d[producer accuracy]
UAc
96.38%
95.86%
Validasi peta penutupan lahan Kementerian Kehutanan yang sudah dilakukan
pada hampir semua tahun pengamatan dari 2000-2013 menghasilkan akurasi yang
cukup baik. Hal ini dapat diasumsikan bahwa semua data penutupan lahan yang
dihasilkan Kementerian Kehutanan mempunyai akurasi yang cukup baik.
Lintasan Deforestasi Kalimantan
Lintasan perubahan lahan didefinisikan sebagai hubungan tren antara faktorfaktor dari waktu ke waktu (Boori dan Vozenilek 2014). Faktor-faktor ini
membentuk perubahan sifat hubungan manusia, lingkungan dan efeknya dalam
suatu wilayah tertentu. Lintasan perubahan penutupan lahan dapat menjelaskan
dinamika kondisi setiap tipe pada tingkatan piksel sesuai periode pengamatan.
Kondisi ini dapat digunakan sebagai alat penilaian pada pengelolaan lingkungan
berbasis lahan (Mena 2008). Brondinzo dan Moran (2012) mendefinisikan lintasan
deforestasi sebagai akumulasi deforestasi relatif terhadap daerah tertentu (unit
analisis) yang didistribusikan ke setiap periode pengamatan.
Berdasarkan pada analisis spasial data penutupan lahan Kementerian
Kehutanan, pada tahun 2000 hutan alam Kalimantan mempunyai luas 30.7 juta
hektar atau sekitar 57% dari luas daratan. Pada tahun 2006 luas hutannya berkurang
13
menjadi 54% dan 50% pada tahun 2013. Penurunan luas hutan atau deforestasi di
Kalimantan disebabkan oleh berbagai hal antara lain permintaan lahan untuk
pertanian/perkebunan (Scriven et al. 2015).
Berdasarkan hasil analisis, hutan yang terdeforestasi tersebut berubah
menjadi berbagai tipe penutupan lahan (Gambar 3). Pada periode tahun 2000-2006
luas deforestasi sebesar 1.6 juta hektar sebagian besar berubah menjadi belukar
(64%). Luas deforestasi periode 2006-2013 sebesar 2.3 juta hektar, 46% berubah
menjadi belukar. Hasil analisis perubahan penutupan lahan dan lintasannya pada
periode 1990, 2000 dan 2005 di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas
tutupan hutan berubah menjadi semak belukar, pada periode 1990-2000 sebesar
52% dan pada periode 2000-2005 sebesar 23% (Ekadinata et al. 2011)
(a)
(b)
Gambar 3 Penutupan lahan setelah terdeforestasi 2000-2006 (a) dan 2006-2013 (b)
Pola lintasan deforestasi yang lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 8. Analisis
pola lintasan menghasilkan sebanyak 307 pola (Lampiran 1). Jika pola lintasan
tersebut diurutkan berdasarkan luasannya dan disajikan berdasar luasan lebih dari
100 ribu hektar maka terdapat 11 (sebelas) pola lintasan deforestasi dan sebagian
besar kondisi penutupan lahan akhir adalah belukar. Sebelas pola lintasan
deforestasi tersebut porsinya sebesar 69% dari total luas deforestasi periode 20002013.
Pada periode 2003-2006 terdapat areal hutan berubah menjadi belukar
sebesar 526 ribu hektar dan tetap menjadi belukar sampai dengan tahun 2013.
Sedangkan pemanfaatan konversi hutan menjadi perkebunan hanya sekitar 13%.
Secara umum pemanfaatan konversi hutan menjadi pertanian dapat diketahui pada
periode pengamatan 3 tahunan dan pemanfaatan konversi hutan menjadi
perkebunan dapat diketahui pada periode pengamatan 3 tahunan dan sekitar 6
tahunan jika alur jalan belum terlihat nyata pada saat penafsiran citra
landsat(Lampiran 1).
Kondisi ini dapat diartikan bahwa konversi hutan belum dimanfaatkan secara
optimal karena setelah diambil kayunya hanya dibiarkan. Selain itu hal ini dapat
juga diartikan bahwa deforestasi di Kalimantan bersifat tidak permanen karena
14
belukar masih berpeluang untuk menjadi hutan kembali baik secara alami maupun
campur tangan manusia.
Tabel 8 Lintasan deforestasi 2000-2013 Kalimantan (lebih dari 100 ribu hektar)
Lintasan Deforestasia
2000 2003 2006 2009 2011 2012
1
(H )
(H )
(B )
(B )
(B )
(B )
2
(H )
(H )
(H )
(B )
(B )
(B )
3
(H )
(B )
(B )
(B )
(B )
(B )
4
(H )
(H )
(H )
(Pk ) (Pk ) (Pk )
5
(H )
(H )
(H )
(H )
(B )
(B )
6
(H )
(H )
(H )
(H )
(H )
(H )
7
(H )
(H )
(H )
(H )
(H )
(H )
8
(H )
(H )
(Pk ) (Pk ) (Pk ) (Pk )
9
(H )
(H )
(H )
(H )
(H )
(B )
10
(H )
(H )
(H )
(T )
(T )
(T )
11
(H )
(H )
(H )
(H )
(T )
(T )
Jumlah lintasan deforestasi >100 ribu hektar
Jumlah lintasan deforestasi 0.1 dan nilai VIF 0.05). Nilai Nagelkerke R2 menggambarkan
bahwa 46.6% keragaman dapat dijelaskan oleh model, sedangkan sisanya
dijelaskan oleh faktor di luar model. Nilai Nagelkerke R2 yang terbentuk
merupakan nilai pendekatan saja karena pada regresi logistik koefisien determinasi
tidak dapat dihitung seperti regresi linier. Uji diskriminasi dilakukan dengan
menghitung nilai ROC (Reciever Operating Characteristic). Nilai ROC yang
diperoleh dari model ini adalah 84.4%. Nilai ini termasuk kategori kuat (80-90%)
(Dahlan 2012).
Nilai Nagelkerke R2 yang rendah disebabkan oleh keterbatasan data yang
tersedia yang kurang sesuai baik skala maupun serialnya, misalnya data jalan
multi-waktu belum tersedia, data PODES yang tersedia empat tahunan, data pusat
desa yang belum tersedia dan PDRB sebelum 2002 yang tidak tersedia. Pada
beberapa penelitian model deforestasi sebelumnya aksesibilitas (jalan atau sungai)
merupakan faktor yang berpengaruh namun karena beberapa keterbatasan data
aksesibilitas di Kalimantan maka pada penelitian ini tidak muncul sebagai faktor
yang berpengaruh.
Implementasi Model
Penerapan model yang terbentuk menghasilkan peta peluang deforestasi
2000-2006. Peta peluang deforestasi tersebut kemudian disusun menjadi peta model
deforestasi 2000-2006 (Gambar 8) berdasarkan nilai ambang batas 0.81(Tabel 10).
Nilai ambang batas tersebut diperoleh berdasar perhitungan akurasi kappa tertinggi.
Jadi untuk nilai peluang (0
KALIMANTAN PERIODE 2000-2013
JUDIN PURWANTO
E 151120191
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Lintasan dan Model
Spasial Deforestasi di Kalimantan Periode 2000-2013 adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Judin Purwanto
NIM E151120191
RINGKASAN
JUDIN PURWANTO. Lintasan dan Model Spasial Deforestasi di Kalimantan
Periode 2000-2013. Dibimbing oleh TEDDY RUSOLONO dan LILIK BUDI
PRASETYO.
Sektor kehutanan merupakan penyumbang emisi karbon terbesar di
Indonesia. Selain itu hutan juga mempunyai sifat menyerap karbon pada saat
tumbuhan melakukan fotosintesis. Kondisi inilah yang menyebabkan sektor
kehutanan dapat berperan besar pada upaya mengurangi pemanasan global. Emisi
sektor kehutanan sebagian besar berasal dari kejadian deforestasi untuk berbagai
keperluan. Pengelolaan hutan berkelanjutan sebagai salah satu mekanisme penting
untuk memastikan keseimbangan pemanfaatan sumber daya hutan untuk manusia
dan lingkungan hidup. Kalimantan merupakan wilayah Indonesia yang
mempunyai hutan yang luas dan kejadian deforestasi yang tinggi. Lintasan dan
model spasial deforestasi diharapkan mampu memberikan informasi yang lebih
rinci tentang fenomena deforestasi di Kalimantan sehingga dapat disusun
perencanaan pengelolaan hutan berkelanjutan.
Penelitian ini dilakukan menggunakan data penutupan lahan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2000-2013 dan divalidasi dengan citra
SPOT 5/6 tahun 2013. Data tersebut kemudian dianalisis lintasan dan model
spasial deforestasi. Model spasial deforestasi disusun menggunakan regresi
logistik dengan data tahun 2000-2006 kemudian diimplementasikan pada data
2006-2013. Variabel yang diduga berpengaruh terhadap model adalah kelerengan,
ketinggian tempat, lahan gambut, jarak dengan batas hutan, jarak dengan
perkebunan, jarak dari jalan, jarak dari sungai, jumlah keluarga tani, jumlah
penduduk dan pendapatan regional domestik bruto (PDRB).
Analisis lintasan deforestasi di Kalimantan pada periode 2000-2013
menunjukkan bahwa areal yang terdeforestasi belum optimal dimanfaatkan karena
sebagian besar masih berupa belukar sampai akhir periode. Hasil analisis regresi
logistik untuk model spasial deforestasi di Kalimantan adalah Pi = 1.1480714 (0.033262*Kelerengan) - (0.002242*Ketinggian) - (0.000413*Jarak dari Batas
Hutan) + (0.000045*PDRB). Hasil uji validasi model deforestasi 2000-2006
mempunyai nilai overall accuracy adalah 79.64% dan model deforestasi 20062013 mempunyai nilai overall accuracy 77.01%.
Kata kunci: lintasan, model spasial, regresi logistik, deforestasi, Kalimantan
SUMMARY
JUDIN PURWANTO. Trajectory and Spatial Model of Deforestation in
Kalimantan from 2000 to 2013. Supervised by TEDDY RUSOLONO and LILIK
BUDI PRASETYO.
Carbon emissions in Indonesia was contributed by the forestry sector. Yet,
forest absorbs carbon emissions by photosynthesis processes and stores it in the
forest biomass. This conditions causes the forestry sector could played a main role
in the efforts to reduce global warming. Emission in forestry sector is mainly
caused by deforestation for various purposes. Sustainable forest management
approaches as important mechanisms to ensure balance in the use of forest
resources for humans and the environment. Kalimantan island has large forest
cover and has high rate deforestation. The trajectory and spatial model of
deforestation was expected to provide more detailed information about the
phenomenon of deforestation in Kalimantan that could be organized on
sustainable forest management planning.
This study used time-series land cover data from Ministry of Forestry in
2000–2013 and validated with SPOT 5/6 images in 2013. land cover data was
used to analyzed the trajectory and spatial model of deforestation. The spatial
model of deforestation were developed using logistic regression with data in
2000–2006 and then implemented in 2006–2013. The variables that used to
predicted influence on the models were slope, altitude, peatlands, distance from
forest edge, distance from plantations edge, distance from road, distance from
river, farmer households, human population and Gross Regional Domestic
Product (GDRP).
Trajectory analysis of deforestation in Kalimantan in the period 2000-2013
suggests that a deforested has not been optimally exploited because most of land
cover were still in the form of shrubs until the end of the period. The results of
logistic regression analysis that obtained spatial model of deforestation in
Kalimantan Pi = 1.1480714 - (0.033262*slope) - (0.002242*elevation) (0.000413*distance from forest edge) + (0.000045*GDRP). The result of
validation test of deforestation model in 2000–2006 has a value of overall
accuracy about 79.64% and model of deforestation in 2006–2013 has value of
overall accuracy about 77.01%.
Keywords: trajectory, spatial model, logistic regression, deforestation, Kalimantan
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
LINTASAN DAN MODEL SPASIAL DEFORESTASI DI
KALIMANTAN PERIODE 2000-2013
JUDIN PURWANTO
E 151120191
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi Pembimbing pada Ujian Tesis: Dr. Ir. M Buce Saleh, MS
Judul Tesis
Nama
NIM
: Lintasan dan Model Spasial Deforestasi di Kalimantan Periode
2000-2013
: Judin Purwanto
: E151120191
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS
Ketua
Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Pengelolaan Hutan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
29 Juli 2015
Tanggal Lulus:
14 Agustus 2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah deforestasi, dengan judul Lintasan dan Model
Spasial Deforestasi di Kalimantan Periode 2000-2013. Penelitian ini dilaksanakan
di Laboratorium Perencanaan Hutan dan Laboratorium Analisis Lingkungan dan
Pemodelan Spasial Fakultas Kehutanan IPB
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS
dan Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku pembimbing yang telah
banyak memberi kritik dan saran. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu selama perolehan data, konsep, pustaka
dan lain-lain untuk penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, istri, anak serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2015
Judin Purwanto
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaharuan Penelitian
1
1
2
3
3
4
2 METODE
Tempat dan Waktu
Bahan
Alat
Prosedur Penelitian
4
4
4
4
4
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kondisi Data Penutupan Lahan Kalimantan
Lintasan Deforestasi Kalimantan
Model Spasial Deforestasi
11
11
11
12
14
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
20
20
20
DAFTAR PUSTAKA
21
LAMPIRAN
24
RIWAYAT HIDUP
34
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Luas hutan dan deforestasi Indonesia
Matriks kesalahan (confusion matrix)
Reklasifikasi kelas penutupan lahan
Contoh pola lintasan deforestasi (Boori dan Vozenilek 2014)
Teknik ekstraksi data peubah yang diduga berpengaruh pada deforestasi
Perhitungan akurasi penutupan lahan Kalimantan tahun 2013
Lintasan deforestasi 2000-2013 Kalimantan (lebih dari 100 ribu hektar)
Hasil uji multikolinieritas antar variabel bebas
Ambang batas terbaik pada peta peluang deforestasi.
Hasil validasi model deforestasi Kalimantan
3
6
6
7
8
12
14
15
19
20
DAFTAR GAMBAR
1. Tahap pengolahan data. Penutupan Lahan (PL), Hutan Alam (H), Non
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Hutan Alam (nH)
Lokasi validasi penutupan lahan
Penutupan lahan setelah terdeforestasi 2000-2006 (a) dan 2006-2013 (b)
Distribusi sampel regresi logistik
Peta kelerengan dan deforestasi Kalimantan
Peta ketinggian tempat dan deforestasi Kalimantan
Peta kedekatan dengan batas hutan tahun 2000 dan deforestasi
Kalimantan
Peta model deforestasi 2000-2006(a) dan Peta model deforestasi 20062013(b)
5
12
13
15
16
17
18
19
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
Lintasan deforestasi 2000-2013 Kalimantan
Penentuan jumlah sampel regresi logistik
Keluaran regresi logistik
PDRB Kabupaten di Kalimantan (milyar rupiah)
24
29
30
32
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor kehutanan merupakan penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia
(Boer et al. 2010). Selain itu hutan juga mempunyai sifat menyerap karbon pada
saat tumbuhan melakukan aktifitasnya. Kondisi inilah yang menyebabkan sektor
kehutanan dapat berperan besar pada upaya mengurangi pemanasan global. Emisi
sektor kehutanan sebagian besar berasal dari kejadian deforestasi untuk berbagai
keperluan. Menurut Houghton (2012) deforestasi dan degradasi hutan didorong
oleh perluasan lahan pertanian, perkebunan, kebakaran, pemanenan kayu.
Luas hutan Indonesia pada tahun 2013 sekitar 96.490 juta hektar dari total
luas daratan Indonesia sekitar 187.918 juta hektar (IPSDH 2014) dengan kejadian
deforestasi Indonesia pada periode 2012-2013 sebesar 0.728 juta ha/tahun dan
reforestasi sebesar 0.226 juta ha/tahun (IPSDH 2014b). Data lain menyebutkan
bahwa rata-rata deforestasi pada periode 2000-2012 adalah 0.84 juta ha/tahun dan
reforestasi sekitar 0.476 juta ha/tahun (Margono 2014)
Kondisi tersebut mendorong adanya pendekatan pengelolaan hutan
berkelanjutan sebagai salah satu mekanisme penting untuk memastikan
keseimbangan pemanfaatan sumber daya hutan untuk manusia dan lingkungan
hidup. Perencanaan pengelolaan hutan yang berkelanjutan tersebut akan baik jika
berdasarkan data yang baik dan akurat yang didukung ahli untuk menganalisa data
tersebut. Perkembangan penginderaan jauh di bidang kehutanan merupakan salah
satu komponen penting dari sistem pengelolaan hutan berkelanjutan (Franklin
2001). Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang pemetaan digital dan
penginderaan jauh yang didukung teknologi informasi saat ini memungkinkan
menghasilkan data yang baik dan analisa yang cepat, akurat dan murah.
Citra satelit saat ini sudah tersedia dan dapat diakses dengan mudah dan
murah. Hal ini memudahkan berbagai pihak mengembangkan berbagai macam
metode pemantauan hutan yang cepat, mudah, murah dan multi waktu. Data
publikasi statistik hutan yang saat ini sudah cukup membantu dalam berbagai
perencanaan dan pengambilan keputusan. Namun demikian detail analisa data
penutupan lahan tersebut belum banyak dilakukan. Kondisi stabilitas penutupan
lahan dapat diketahui jika dilakukan monitoring pada satu tempat dalam waktu
yang lama. Lintasan perubahan lahan terutama deforestasi sangat menarik ditelusuri
yang kemungkinan dapat memberikan informasi yang berbeda dari persepsi umum
saat ini (Lambin et al. 2003).
Lintasan perubahan penutupan lahan dapat menjelaskan dinamika kondisi
setiap tipe pada satu lokasi sesuai periode pengamatan (Boori dan Vozenilek 2014).
Kondisi ini dapat digunakan sebagai alat penilaian pada pengelolaan lingkungan
berbasis lahan (Mena 2008). Brondinzo dan Moran (2012) mendefinisikan lintasan
deforestasi sebagai akumulasi deforestasi relatif terhadap daerah tertentu (unit
analisis) yang didistribusikan ke setiap periode pengamatan.
Boori dan Vozenilek (2014) melakukan eksplorasi lintasan perubahan
penutupan lahan menggunakan data citra satelit tahun 1991, 2001 dan 2013 di
Olomouc Republik Ceko dengan metode orientasi objekmenunjukkan bahwa
matrik lintasan perubahan lahan memberikan pengukuran kuantitatif yang baik
2
dalam memahami pola dan penyebabnya. Mena (2008) menyatakan bahwa dengan
mengeksplorasi komposisi utama lintasan perubahan lahan dapat menunjukkan
bagaimana pola dan peluang perubahan lahan dapat digunakan untuk
mengkarakterisasi lintasan penggunaan dan penutupan lahan. Brondinzo dan
Moran (2012) menyatakan bahwa pemahaman lintasan deforestasi dan
penyebabnya harus dibedakan dalam skala analisis serta harus hati-hati
memberikan penjelasan secara umum dan solusi jika tanpa melihat skalanya.
Selain lintasan deforestasi, sangat perlu juga diketahui faktor-faktor penyebab
deforestasi untuk melakukan perencanaan ke depan. Model spasial dapat digunakan
sebagai alat mengetahui faktor yang berpengaruh signifikan terhadap deforestasi.
Mas et al. (2004) menyebutkan bahwa model deforestasi mempunyai potensi
manfaat sebagai berikut: untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang
bagaimana faktor pendorong deforestasi, untuk menghasilkan skenario laju
deforestasi masa depan, untuk memprediksi lokasi deforestasi dan untuk
mendukung penentuan kebijakan. Model spasial deforestasi diharapkan mampu
memberikan informasi yang lebih rinci tentang faktor yang deforestasi di
Kalimantan sehingga dapat disusun perencanaan yang optimal terhadap fungsi
lingkungan dan sosial ekonomi. Pendekatan regresi logistik telah banyak
dibuktikan dapat digunakan untuk menganalisis deforestasi (Arkehi 2013).
Park (2013) membandingkan pembuatan model kerawanan dengan cara
frequency ratio (FR), analytic hierarchy process (AHP), logistic regression (LR),
dan artificial neural network (ANN). Keempat cara tersebut menghasilkan akurasi
yang tidak jauh berbeda dan regresi logistik dianggap paling optimal. Regresi
logistik dapat digunakan untuk membuat model kerawanan karena dapat mengolah
data yang besar, tidak membutuhkan survey kuesioner, tidak membutuhkan waktu
lama dan mudah dipahami. Burn et al. (2015) membuat model deforestasi pada
hutan lindung di Indonesia dengan metode auto-logistik dan model von Thunen.
Hasil dari validasi kedua metode tersebut memberikan nilai akurasi yang tidak jauh
berbeda. Model von Thunen digunakan jika data spasial sedikit atau hanya tersedia
pada satu titik waktu. Model auto-logistik dapat digunakan untuk melakukan
prediksi yang lebih akurat.
Linkie et al. (2004) membuat model spasial deforestasi di dataran rendah
Sumatera periode 1985, 1992 dan 1999 dengan regresi logistik. Hasilnya adalah
bahwa faktor yang berpengaruh adalah kelerengan, jarak dari jalan logging dan
jarak dari jalan. Prasetyo et al. (2009) membuat model deforestasi periode 2000,
2005 dan 2008 menggunakan regresi logistik di Jawa, faktor yang berpengaruh
adalah kepadatan penduduk, kepadatan jalan dan prosentase penduduk yang
memiliki sumber pendapatan dari sektor pertanian.
Perumusan Masalah
Pulau Kalimantan merupakan bagian Indonesia yang mempunyai hutan yang
luas dan kejadian deforestasinya masih tinggi (IPSDH 2014) (Tabel 1). Langler et
al. (2007) menyatakan bahwa Pulau Kalimantan mempunyai sejarah deforestasi
dan degradasi yang cukup berat selama dua dekade terakhir. Kondisi ini perlu
dikelola dengan baik agar hutan Kalimantan tetap lestari tidak seperti di Jawa dan
Sumatera yang saat ini hutannya kira-kira tinggal 30% (Prasetyo et al. 2009:
Margono et al. 2012). Kejadian deforestasi di Kalimantan disebabkan oleh
3
beberapa hal antara lain ketinggian tempat dan permintaan lahan untuk
pertanian/perkebunan, kondisi ini bahkan juga terjadi di hutan lindung (Scriven et
al. 2015). Burn et al. (2015) menyatakan bahwa ekomomi yang kuat akan akan
memberikan tekanan yang kuat terhadap keberadaan hutan di Kalimantan. Kebun
sawit di Kalimantan 90% dikonversi dari hutan selama kurun waktu 1990-2010
(Carlson et al. 2012). Secara umum deforestasi dipengaruhi oleh faktor biofisik dan
sosial ekonomi. Faktor biofisik antara lain ketinggian tempat dan kelerengan
(Kumar et al. 2014; Prasetyo et al. 2009). Faktor sosial ekonomi antara lain
kependudukan dan pendapatan penduduk (Romijn et al. 2013). Nawir (2008)
menyatakan bakwa faktor pendorong deforestasi dan degradasi lahan antara lain
adalah kebakaran hutan, pengelolaan areal konsesi hutan tidak lestari, desentralisasi
pemerintahan, konversi hutan untuk penggunaan lain misalnya perkebunan kelapa
sawit, penebangan liar dan perambahan hutan.
Tabel 1 Luas hutan dan deforestasi Indonesia
Pulau
Pulaua
Luasc
Hutana
Luasc
%
Deforestasib
%
Luasc
%
Sumatera
47,162.1
25.1%
14,071.0
14.6%
191,393.1
26.3%
Jawa
13,387.9
7.1%
3,263.4
3.4%
4,268.0
0.6%
Kalimantan
52,957.9
28.2%
27,579.9
28.6%
453,350.7
62.3%
Sulawesi
18,528.1
9.9%
9,465.0
9.8%
45,673.2
6.3%
Bali Nusa
7,323.1
3.9%
2,939.1
3.0%
2,518.2
0.3%
Maluku
7,767.0
4.1%
5,110.9
5.3%
6,937.6
1.0%
40,792.0
21.7%
34,061.4
35.3%
23,840.5
3.3%
187,918.1
100.0%
96,490.7
100.0%
727,981.3
100.0%
Papua
Total
a
[Hutan tahun 2013]IPSDH:2014; b[Deforestasi Netto periode 2012-2013]IPSDH:2014b; c[dalam
Ribu Hektar]
Lintasan dan model spasial deforestasi diharapkan mampu memberikan
informasi yang lebih rinci tentang fenomena deforestasi sehingga dapat disusun
perencanaan pengelolaan hutan berkelanjutan.
Rumusan pertanyaan:
1) Bagaimana lintasan deforestasi di Kalimantan terjadi?
2) Bagaimana model spasial deforestasi di Kalimantan dan faktor apa yang
berpengaruh?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Menyusun dan menganalisa lintasan deforestasi di Kalimantan untuk
mengetahui pola perubahan setelah kejadian deforestasi.
2) Membangun model spasial deforestasi di Kalimantan untuk menentukan
faktor yang berperan pada deforestasi.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah memberi informasi
analisa lintasan dan model spasial deforestasi di Kalimantan beserta faktor yang
4
berpengaruh sebagai tambahan
pengelolaan hutan berkelanjutan.
informasi
dalam
melakukan
perencanaan
Kebaharuan Penelitian
Pada penelitian ini diharapkan memperoleh kebaharuan berupa informasi
lintasan dan model spasial deforestasi di Kalimantan tahun 2000-2013.
2 METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Pulau Kalimantan. Setelah pengumpulan data
selesai kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data di Laboratorium
Perencanaan Hutan dan Laboratorium Analisis Lingkungan dan Laboratorium
Pemodelan Spasial Fakultas Kehutanan IPB mulai bulan Februari 2015 sampai
dengan bulan Mei 2015.
Bahan
Bahan‐bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi:
1) Peta Dasar Tematik Kehutanan (PDTK) Kementerian Kehutanan
(KemenHut)tahun 2006
2) Peta penutupan lahan KemenHut tahun 2000, 2003, 2006, 2009, 2011, 2012
dan 2013,
3) Peta Lahan Gambut Kementerian Pertanian tahun 2011
4) Citra satelit SPOT 5/6 tahun 2013
5) Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) resolusi 30m
6) Peta dan Data Potensi Desa (PODES) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003
dan 2008
7) Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) BPS tahun 2003 dan 2008
Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi:
1) ArcGIS
2) Microsoft Excel
3) SPSS
Prosedur Penelitian
Secara ringkas prosedur analisis disajikan pada diagram alir tahap pengolahan
data (Gambar 1). Proses analisis didahului dengan pengumpulan data dan
standarisasi data. Standarisasi data meliputi standarisasi format, sistem proyeksi
5
dan kodifikasi yang disesuaikan dengan alat atau perangkat lunak yang digunakan.
Sistem proyeksi yang digunakan adalah sistem proyeksi mercator (IPSDH 2012)
karena Pulau Kalimantan terletak di katulistiwa. Data spasial dikonversi menjadi
format raster dengan resolusi spasial 30m. Ukuran piksel yang digunakan berdasar
pada resolusi terkecil sumber data yang digunakan yaitu data penutupan lahan
(sumber citra landsat 7/8 dengan ukuran piksel 30m).
Akurasi PL
2013
Penutupan Lahan
KLHK 2000-2013
Validasi
PL 2000
PL 2003
PL 2006
PL 2009
PL 2011
PL 2012
PL 2013
SPOT 5/6
2013
H-nH 2006
H-nH 2000
H-nH 2013
Deforestasi
2006-2013
Deforestation
2000-2006
Regresi
Logistik
Validasi
Variabel
2000-2006
Model
Deforestasi
2000-2006
Reklasifikasi
Analisis
Spasial
Analisis
Spasial
Peta Model
Deforestasi
2006-2013
Analisis
Spasial
Peta Peluang
Deforestasi
2000-2006
Validasi
Peta Model
Deforestasi
2000-2006
Statistik Pola
Lintasan
Deforestasi
Peta Peluang
Deforestasi
2006-2013
Variabel
2006-2013
Peta Model
Deforestasi
2006-2013
Peta Model
Deforestasi
2000-2006
Gambar 1 Tahap pengolahan data. Penutupan Lahan (PL), Hutan Alam (H), Non
Hutan Alam (nH)
Validasi Peta Penutupan Lahan 2013
Lokasi validasi disusun sesuai dengan plot Inventarisasi Hutan Nasional yaitu
secara sistematis dengan jarak 20 x 20 kilometer (DirjenPlan 2014). Validasi
dilakukan dengan membandingkan peta penutupan lahan dan citra resolusi tinggi
SPOT 5/6 tahun 2013 yang tersedia. Citra resolusi tinggi dapat digunakan sebagai
referensi pada validasi penutupan lahan yang bersumber dari cirta resolusi sedang
atau rendah (Dorais dan Cardille 2011). Metode penghitungan akurasi validasi yang
sering digunakan untuk menguji kualitas hasil interpretasi penutupan lahan berbasis
data penginderaan jauh adalah overall accuracy, producer accuracy and user
accuracy (Foody 2002).
6
Tabel 2 Matriks kesalahan (confusion matrix)
Referensi
P+1
P+2
......
P+z
Jumlah
P1+
Xii
...
...
...
X1+
Penutupan Lahan
P2+
....
...
...
Xii
...
...
...
...
...
X2+
...
Jumlah
Pz+
...
...
...
Xii
Xz+
X+1
X+2
...
X+z
N
Adapun rumus overall accuracy (OA) adalah sebagai berikut (Foody 2002):
OA=
∑ri=1 Xii
N
dimana: Xii = nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i, N =
banyaknya titik pengamatan, r = jumlah tipe penggunaan lahan.
Reklasifikasi Penutupan Lahan
Untuk memudahkan analisis lintasan dan model deforestasi, peta penutupan
lahan KemenHut perlu dilakukan pengelompokan atau reklasifikasi.
Tabel 3 Reklasifikasi kelas penutupan lahan
Reklasifikasi
Kelas Penutupan Lahan KemenHut
Hutan lahan kering primer
Hutan mangrove primer
Hutan rawa primer
Hutan lahan kering sekunder
Hutan mangrove sekunder
Hutan rawa sekunder
Hutan tanaman
Semak/belukar
Belukar rawa
Savana
Tanah terbuka
Pertambangan
Pertanian lahan kering
Pertanian Lahan Kering + Semak
Sawah
Perkebunan
Permukiman
Pelabuhan Udara/Laut
Transmigrasi
Rawa
Tambak
Tubuh air
Awan
I
Hutan Alam (H)
II
Hutan Alam (H)
Hutan tanaman (Ht)
Semak/belukar (B)
Tanah terbuka (T)
Pertambangan (Tm)
Pertanian (Pt)
Perkebunan (Pk)
Bukan
Hutan Alam
(nH)
Permukiman (Pm)
Air (A)
Awan (Aw)
Analisis Lintasan Deforestasi
Pola lintasan deforestasi diidentifikasi pada seluruh periode penutupan lahan
(Tabel 4). Analisa ini dilakukan dengan cara melakukan tumpang susun data
7
penutupan lahan. Penutupan lahan yang digunakan adalah hasil reklasifikasi tahap I
(Tabel 3).
Tabel 4 Contoh pola lintasan deforestasi (Boori dan Vozenilek 2014)
Pola Lintasan b
t0
H
H
...
H
t1
T
T
...
Pt
Periode a
t2
T
B
...
Pt
....
...
...
...
...
tn
B
Pk
...
Pt
Luas
%
L1
...
...
L2
...
...
....
...
...
Ln
...
...
Total
...
...
a
[t0: penutupan lahan awal periode; tn: penutupan lahan akhir periode; H: Hutan Alam; Pk:
Perkebunan; B: Rumput/ Semak Belukar; T: Tanah Terbuka; Pt: Pertanian]; b[Ln: pola lintasan ke
n]
Identifikasi Peubah yang diduga berpengaruh terhadap Deforestasi
Kelerengan (X1). Faktor ini diduga berpengaruh dengan asumsi semakin
tinggi tingkat kelerengan maka peluang terjadinya deforestasi semakin kecil.
Beberapa penelitian seperti Kumar et a.l (2014); Prasetyo et al. (2009) menyatakan
bahwa kelerengan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya
deforestasi.
Ketinggian Tempat (X2). Faktor ini diduga berpengaruh dengan asumsi
semakin tinggi ketinggian tempat maka peluang terjadinya deforestasi semakin
kecil. Beberapa penelitian seperti Arkehi dan Jafarzadeh (2012); Prasetyo et al.
(2009) menyatakan bahwa ketinggian tempat merupakan faktor yang berpengaruh
terhadap terjadinya deforestasi.
Lahan Gambut (X3). Menurut Uryu et al. (2008) pada penelitian di Riau
menunjukkan bahwa deforestasi yang menurun pada hutan lahan kering karena stok
lahan terbatas maka meningkatkan deforestasi pada lahan rawa gambut.
Jarak dengan Batas Hutan (X4). Faktor ini diduga berpengaruh terhadap
deforestasi dengan asumsi semakin dekat dengan batas hutan maka peluang
terjadinya deforestasi semakin tinggi. Arkehi (2013) bahwa kedekatan dengan
batas hutan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya deforestasi.
Kedekatan dengan Perkebunan (X5). Faktor ini diduga berpengaruh
terhadap deforestasi dengan asumsi semakin dekat dengan perkebunan maka
peluang terjadinya deforestasi semakin tinggi. Romijn et al. (2013) menyatakan
bahwa pertanian komersial (perkebunan) merupakan faktor pendorong deforestasi
terbesar pada hutan rawa.
Jarak dari Jalan (X6). Penelitian Kumar et al. (2014); Arkehi dan
Jafarzadeh (2012); Wyman dan Stein (2010) menyebutkan bahwa jarak dari jalan
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya deforestasi.
Jarak dari Sungai (X7). Faktor ini diduga berpengaruh dengan asumsi
semakin jauh dengan sungai maka peluang terjadinya deforestasi semakin kecil.
Penelitian Wyman dan Stein (2010) menyebutkan bahwa jarak dari sungai
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya deforestasi.
Jumlah Penduduk (X8). Faktor ini diduga berpengaruh terhadap deforestasi
dengan asumsi semakin tinggi kepadatan penduduk maka peluang terjadinya
deforestasi semakin tinggi. Romijn et al. (2013) menyatakan bahwa kepadatan
penduduk merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya deforestasi.
8
Jumlah petani (X9). Jumlah Petani diduga berpengaruh terhadap deforestasi.
Sunderlin dan resosudarmo (1996) sistem usaha tani terutama di luar pulau jawa
berpengaruh terhadap deforestasi. Sistem usaha tani tersebut adalah perladangan
berpindah, perkebunan rakyat dan transmigrasi.
PDRB (X10). PDRB diduga berpengaruh terhadap deforestasi dengan asumsi
semakin tinggi PDRB maka peluang terjadinya deforestasi semakin tinggi. Romijn
et al. (2013), Huang (2007) dan Ewers (2006) menyatakan bahwa PDRB
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya deforestasi.
Tabel 5 Teknik ekstraksi data peubah yang diduga berpengaruh pada deforestasi
No
1.
Variabel
Kelerengan (X1)
Satuan
%
Skala Data
Rasio
Sumber
SRTM
2.
Ketinggian
Tempat (X2)
Lahan Gambut
(X3)
Kedekatan
dengan Batas
Hutan 2000a dan
2006b (X4)
Kedekatan
dengan
Perkebunan 2000a
dan 2006b (X5)
Jarak dari Jalan
(X6)
Jarak dari Sungai
(X7)
Jumlah Penduduk
2003a dan 2008b
(X8)
Jumlah Petani
2000a dan 2008b
(X9)
PDRB 2003a dan
2008b (X10)
mdpl
Rasio
SRTM
Nominal
Peta Lahan
Gambut
Peta
Penutupan
Lahan
Analisis spasial
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Teknik Estraksi Data
Analisis spasial (Raster
Surface/Slope)
Analisis spasial
meter
Rasio
Analisis spasial
(euclidean distance)
meter
Rasio
Peta
Penutupan
Lahan
Analisis spasial
(euclidean distance)
meter
Rasio
PDTK
meter
Rasio
PDTK
Orang
Rasio
PODES
KK
Rasio
PODES
Juta rupiah/
kabupaten
Rasio
Statistik BPS
Analisis spasial
(euclidean distance)
Analisis spasial
(euclidean distance)
Analisis spasial
(interpolasi dari pusat
desa)
Analisis spasial
(interpolasi dari pusat
desa)
Analisis spasial (batas
kabupaten)
a
[digunakan untuk penyusunan model 2000-2006]; b[ digunakan untuk implementasi model 20062013]
Membangun Model Spasial Deforestasi
Model spasial deforestasi disusun dari data penutupan lahan tahun 2000 dan
2006. Deforestasi diidentifikasi dengan cara menganalisa perubahan hutan alam
menjadi bukan hutan alam (Tabel 3).
Penentuan Sampel. Sampel dalam penelitian ini diperlukan untuk
mendapatkan kombinasi nilai variabel prediktor dan variabel respon dari populasi
(jumlah piksel seluruh Kalimantan). Kombinasi nilai tersebut digunakan dalam
analisis untuk penyusunan model regresi logistik biner. Jumlah sampel ditentukan
dengan Rumus Slovin serta hasil uji kelayakan model regresi logistik (HosmerLemeshow) dan nilai koefisien determinasi (Nagelkerke R2). Jumlah sampel
minimal ditentukan dengan rumus slovin (Tejada dan Punzalan 2012).
9
n=
N
1+Nα2
dimana: n = jumlah sampel minimal, N = ukuran populasi, α = taraf nyata.
Metode penentuan sampel yang digunakan adalah stratified random sampling.
Strata merupakan bagian (subset) dari populasi yang secara umum dapat dibedakan
karakteristiknya. Sampel diambil pada setiap kategori lahan deforestasi dan tidak
deforestasi (hutan) dengan mempertimbangkan distribusinya di daerah penelitian.
Regresi Logistik. Regresi logistik adalah regresi di mana variabel responnya
adalah dummy, yaitu 1 dan 0 (Menard 2002). Regresi logistik digunakan untuk
menyusun model spasial deforestasi dengan variabel prediktor yang telah
teridentifikasi akan berpengaruh terhadap terjadinya deforestasi. Sebelum
dilakukan pendugaan parameter perlu dilakukan uji asumsi. Uji asumsi klasik yang
sering dipergunakan dalam regresi linear berganda adalah uji normalitas, uji
heteroskedastisitas, uji autokorelasi dan uji multikolinearitas. Dari keempat uji
tersebut, uji normalitas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi berkaitan
dengan nilai variabel responnya. Dengan demikian, ketiga uji tersebut tidak perlu
dilakukan. Akan tetapi uji multikolinearitas masih tetap dilakukan, karena hanya
melibatkan variabel bebasnya. Maksud dari multikolinearitas adalah adanya
hubungan linear satu variabel bebasi dengan variabel bebas yang lain (Menard
2002).
Variance Inflation Factor (VIF) adalah salah satu cara dalam mendeteksi
adanya multikolinearitas (O’berin 2007). VIF dinyatakan dengan rumus :
(VIF)n =
1
1-R2n
dimana : (VIF)n = VIF dari variabel bebas Xn, R2n = Koefisien determinasi dari
variabel bebas Xn. Menurut Menard (2002) nilai VIF lebih 10 mengindikasikan
adanya masalah multikolinieritas yang serius. Nilai ambang batas VIF yang sering
digunakan dalam penelitian adalah 10 (O’berin 2007). Jika variabel bebas tersebut
terindikasi adanya multikolinieritas maka perlu dieliminasi.
Jika sudah tidak ada masalah kolinieritas pada variabel kemudian dilanjutkan
pada analisis regresi logistik. Rumus regresi logistik (Menard 2002) adalah:
Logit Pi = ∝+β1 X1 +β2 X2……………………. +βn Xn
Logit (Pi) adalah logaritma normal (ln) dari Odd, yaitu rasio antara Pi dengan 1-Pi.
Logit Pi = ln
ln
Pi
1-Pi
Pi
= ∝+β1 X1 +β2 X2……………………. +βn Xn
1-Pi
Pi
= exp(∝+β1 X1 +β2 X2……………………. +βn Xn )
1-Pi
10
Pi=
exp(∝+β1 X1 +β2 X2……………………. +βn Xn )
1+exp(∝+β1 X1 +β2 X2………… ……. +βn Xn )
dimana: P i = peluang perubahan lahan, Xn = variabel prediktor ke-n, βn =
koefisien dari variabel Xn, ∝ : konstanta regresi, exp = eksponensial.
Kalibrasi Model. Model regresi logistik yang telah diperoleh kemudian di
uji kelayakannya dengan melihat dari nilai -2 Log Likelihood serta uji Hosmer and
Lemeshow menggunakan aplikasi SPSS. Model dikatakan layak jika terdapat
penurunan nilai -2 Log Likelihood dan nilai uji Hosmer and Lemeshow mempunyai
nilai siknifikansi lebih dari 0.05 (Hosmer dan lemeshow 2000). Uji diskriminasi
dilakukan untuk memperoleh informasi seberapa kuat model tersebut dapat
membedakan peluang terjadinya deforestasi. Uji diskriminasi dilakukan dengan
menghitung nilai ROC (Reciever Operating Characteristic) (Dahlan 2012).
Validasi Model Spasial. Model deforestasi 2000-2006 yang terbangun
kemudian diintegrasikan dengan peta variabel bebas terpilih sehingga
menghasilkan peta peluang deforestasi 2000-2006. Peta peluang perubahan tersebut
kemudian diklasifikasikan menjadi kategori berubah dan tidak berubah agar hasil
pemodelan dapat dibandingkan dengan kondisi aktual. Klasifikasi peta peluang
perubahan dilakukan menggunakan nilai tertentu sebagai ambang batas (cut value
atau treshhold). Ambang batas yang digunakan berdasar pada nilai akurasi kappa
tertinggi dari peta peluang yang dihasilkan (Fielding dan Bell 1997). Model
deforestasi 2000-2006 dengan ambang batas terpilih selanjutnya digunakan untuk
membuat model deforestasi 2006-2013 dengan menyesuaikan variabel bebasnya.
Peta hasil model spasial deforestasi 2006-2013 kemudian divalidasi dengan data
aktual deforestasi 2006-2013 sehingga diperoleh nilai overall accuracy, producer
accuracy dan user accuracy.
11
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kalimantan adalah bagian wilayah Indonesia di Pulau Borneo. Kalimantan
meliputi 73% daratan Borneo, terletak diantara 40 24’ LU - 40 10’ LS dan antara
1080 30’ BT - 1190 00’ BT. Kalimantan dibagi menjadi lima provinsi, yaitu
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan Kalimantan Timur dan
Kalimantan Utara (Tabel 6). Luas daratan Kalimantan sekitar 53 juta hektar atau
28% luas daratan Indonesia. Pada bagian utara berbatasan langsung dengan Negara
Malaysia sepanjang kurang lebih 3000 km.
Tabel 6 Luas Provinsi di Kalimantan
Provinsi
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Kalimantan Utara
Total
a
Luasa
14,336.30
14,945.25
3,770.67
12,561.04
7,344.64
52,957.90
Prosentase
27.07%
28.22%
7.12%
23.72%
13.87%
100.00%
[dalam Ribu Hektar] BPS:2015
Kondisi Data Penutupan Lahan Kalimantan
Validasi penutupan lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
tahun 2013 di Kalimantan menggunakan citra SPOT 5/6 2013 yang tersedia dengan
jumlah pengamatan sebesar 307 titik menghasilkan nilai overall accuracy sebesar
96.09% untuk kelas hutan/nonhutan, producer accuracy sebesar 95.00% dan user
accuracy sebesar 96.38% (Gambar 2 dan Tabel 7). Hasil ini tidak jauh berbeda
dengan perhitungan overall accuracy data penutupan lahan tahun 2011 seIndonesia yang menghasilkan angka akurasi 98% untuk penutupan hutan/non hutan
(IPSDH 2012). Margono (2014) juga melakukan perhitungan overall accuracy
penutupan lahan tahun 2000 se-Indonesia untuk kelas hutan/non hutan adalah
90.2%. Hoekman et al. (2009) membuat peta penutupan hutan Kalimantan tahun
2007 menggunakan citra PALSAR dan divalidasi menggunakan penutupan lahan
KemenHut 2006 menghasilkan akurasi yang baik akan tetapi nilai akurasi tidak
disajikan secara kuantitatif.
12
Gambar 2 Lokasi validasi penutupan lahan
Tabel 7 Perhitungan akurasi penutupan lahan Kalimantan tahun 2013
Penutupan
Lahan 2013
SPOT 5/6 2013
Ha
nHb
Jumlah
Ha
nHb
Jumlah
PAd
133
5
138
7
162
169
140
167
307
95.00%
97.01%
Overall Accuracy
96.09%
a
[hutan alam]; b[bukan hutan alam]; c[user accuracy]; d[producer accuracy]
UAc
96.38%
95.86%
Validasi peta penutupan lahan Kementerian Kehutanan yang sudah dilakukan
pada hampir semua tahun pengamatan dari 2000-2013 menghasilkan akurasi yang
cukup baik. Hal ini dapat diasumsikan bahwa semua data penutupan lahan yang
dihasilkan Kementerian Kehutanan mempunyai akurasi yang cukup baik.
Lintasan Deforestasi Kalimantan
Lintasan perubahan lahan didefinisikan sebagai hubungan tren antara faktorfaktor dari waktu ke waktu (Boori dan Vozenilek 2014). Faktor-faktor ini
membentuk perubahan sifat hubungan manusia, lingkungan dan efeknya dalam
suatu wilayah tertentu. Lintasan perubahan penutupan lahan dapat menjelaskan
dinamika kondisi setiap tipe pada tingkatan piksel sesuai periode pengamatan.
Kondisi ini dapat digunakan sebagai alat penilaian pada pengelolaan lingkungan
berbasis lahan (Mena 2008). Brondinzo dan Moran (2012) mendefinisikan lintasan
deforestasi sebagai akumulasi deforestasi relatif terhadap daerah tertentu (unit
analisis) yang didistribusikan ke setiap periode pengamatan.
Berdasarkan pada analisis spasial data penutupan lahan Kementerian
Kehutanan, pada tahun 2000 hutan alam Kalimantan mempunyai luas 30.7 juta
hektar atau sekitar 57% dari luas daratan. Pada tahun 2006 luas hutannya berkurang
13
menjadi 54% dan 50% pada tahun 2013. Penurunan luas hutan atau deforestasi di
Kalimantan disebabkan oleh berbagai hal antara lain permintaan lahan untuk
pertanian/perkebunan (Scriven et al. 2015).
Berdasarkan hasil analisis, hutan yang terdeforestasi tersebut berubah
menjadi berbagai tipe penutupan lahan (Gambar 3). Pada periode tahun 2000-2006
luas deforestasi sebesar 1.6 juta hektar sebagian besar berubah menjadi belukar
(64%). Luas deforestasi periode 2006-2013 sebesar 2.3 juta hektar, 46% berubah
menjadi belukar. Hasil analisis perubahan penutupan lahan dan lintasannya pada
periode 1990, 2000 dan 2005 di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas
tutupan hutan berubah menjadi semak belukar, pada periode 1990-2000 sebesar
52% dan pada periode 2000-2005 sebesar 23% (Ekadinata et al. 2011)
(a)
(b)
Gambar 3 Penutupan lahan setelah terdeforestasi 2000-2006 (a) dan 2006-2013 (b)
Pola lintasan deforestasi yang lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 8. Analisis
pola lintasan menghasilkan sebanyak 307 pola (Lampiran 1). Jika pola lintasan
tersebut diurutkan berdasarkan luasannya dan disajikan berdasar luasan lebih dari
100 ribu hektar maka terdapat 11 (sebelas) pola lintasan deforestasi dan sebagian
besar kondisi penutupan lahan akhir adalah belukar. Sebelas pola lintasan
deforestasi tersebut porsinya sebesar 69% dari total luas deforestasi periode 20002013.
Pada periode 2003-2006 terdapat areal hutan berubah menjadi belukar
sebesar 526 ribu hektar dan tetap menjadi belukar sampai dengan tahun 2013.
Sedangkan pemanfaatan konversi hutan menjadi perkebunan hanya sekitar 13%.
Secara umum pemanfaatan konversi hutan menjadi pertanian dapat diketahui pada
periode pengamatan 3 tahunan dan pemanfaatan konversi hutan menjadi
perkebunan dapat diketahui pada periode pengamatan 3 tahunan dan sekitar 6
tahunan jika alur jalan belum terlihat nyata pada saat penafsiran citra
landsat(Lampiran 1).
Kondisi ini dapat diartikan bahwa konversi hutan belum dimanfaatkan secara
optimal karena setelah diambil kayunya hanya dibiarkan. Selain itu hal ini dapat
juga diartikan bahwa deforestasi di Kalimantan bersifat tidak permanen karena
14
belukar masih berpeluang untuk menjadi hutan kembali baik secara alami maupun
campur tangan manusia.
Tabel 8 Lintasan deforestasi 2000-2013 Kalimantan (lebih dari 100 ribu hektar)
Lintasan Deforestasia
2000 2003 2006 2009 2011 2012
1
(H )
(H )
(B )
(B )
(B )
(B )
2
(H )
(H )
(H )
(B )
(B )
(B )
3
(H )
(B )
(B )
(B )
(B )
(B )
4
(H )
(H )
(H )
(Pk ) (Pk ) (Pk )
5
(H )
(H )
(H )
(H )
(B )
(B )
6
(H )
(H )
(H )
(H )
(H )
(H )
7
(H )
(H )
(H )
(H )
(H )
(H )
8
(H )
(H )
(Pk ) (Pk ) (Pk ) (Pk )
9
(H )
(H )
(H )
(H )
(H )
(B )
10
(H )
(H )
(H )
(T )
(T )
(T )
11
(H )
(H )
(H )
(H )
(T )
(T )
Jumlah lintasan deforestasi >100 ribu hektar
Jumlah lintasan deforestasi 0.1 dan nilai VIF 0.05). Nilai Nagelkerke R2 menggambarkan
bahwa 46.6% keragaman dapat dijelaskan oleh model, sedangkan sisanya
dijelaskan oleh faktor di luar model. Nilai Nagelkerke R2 yang terbentuk
merupakan nilai pendekatan saja karena pada regresi logistik koefisien determinasi
tidak dapat dihitung seperti regresi linier. Uji diskriminasi dilakukan dengan
menghitung nilai ROC (Reciever Operating Characteristic). Nilai ROC yang
diperoleh dari model ini adalah 84.4%. Nilai ini termasuk kategori kuat (80-90%)
(Dahlan 2012).
Nilai Nagelkerke R2 yang rendah disebabkan oleh keterbatasan data yang
tersedia yang kurang sesuai baik skala maupun serialnya, misalnya data jalan
multi-waktu belum tersedia, data PODES yang tersedia empat tahunan, data pusat
desa yang belum tersedia dan PDRB sebelum 2002 yang tidak tersedia. Pada
beberapa penelitian model deforestasi sebelumnya aksesibilitas (jalan atau sungai)
merupakan faktor yang berpengaruh namun karena beberapa keterbatasan data
aksesibilitas di Kalimantan maka pada penelitian ini tidak muncul sebagai faktor
yang berpengaruh.
Implementasi Model
Penerapan model yang terbentuk menghasilkan peta peluang deforestasi
2000-2006. Peta peluang deforestasi tersebut kemudian disusun menjadi peta model
deforestasi 2000-2006 (Gambar 8) berdasarkan nilai ambang batas 0.81(Tabel 10).
Nilai ambang batas tersebut diperoleh berdasar perhitungan akurasi kappa tertinggi.
Jadi untuk nilai peluang (0