MP3EI Sebagai Jawaban Atas Kondisi Globa
Edbert Gani
1206243141
Mata Kuliah Globalisasi dan Politik di Indonesia
Ilmu Politik – FISIP UI, Depok
MP3EI Sebagai Jawaban Atas Kondisi Global:
Ancaman Terhadap Pembangunan Berkelanjutan
(Contoh Kasus Deforestasi di Kalimantan)
Pendahuluan
Tantangan globalisasi telah mendorong pemerintah Indonesia melakukan banyak
regulasi yang mengakomodir kepentingan ekonomi asing. Terikatnya Indonesia kepada
ekonomi asing tak bisa dilepaskan dari pengaruh IMF dan Bank Dunia pada masa Reformasi.
Saat ini pun Indonesia telah tergabung dalam pasar bebas di kawasan regional Asia Tenggara
dalam bentuk komunitas-komunitas seperti APEC atau AFTA. Masyarakat ekonomi ASEAN
2015 yang akan , jika tidak bisa dikatakan sudah, kita hadapi tahun depan juga banyak
menjadi diskusi penting di masyarakat. Pertanyaan yang selalu muncul adalah tentang siap
atau tidak masyarakat menghadapinya. Namun saya lebih melihat bahwa permasalahannya
bukan siap atau tidak, melainkan kita sudah berada di dalamnya.
Indonesia yang berada di jantung ekonomi dunia saat ini, yaitu kawasan Asia,
berkeingingan untuk turut serta memanfaatkan komunitas ekonomi global yang sudah ada.
Salah satu program besar yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mencapai tujuan
itu adalah dibuatnya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia,
atau yang lebih akrab disebut dengan MP3EI.
MP3EI sendiri muncul dan diresmikan pada masa pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada tahun 2011. Dalam kata sambutan di dokumen MP3EI SBY
menuturkan bahwa program ini bertujuan untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia.
1
Adapun cara-cara yang digunakan untuk memperbaiki iklim itu adalah dengan
debottlenecking, regulasi, pemberian insentif maupun percepatan pembangunan infrastruktur
yang dibutuhkan oleh para pelaku ekonomi. 1 Para pelaku ekonomi yang dimaksud dalam
kalimat itu adalah pemerintah maupun swasta.
Perbaikan iklim investasi di atas diyakini dapat membawa Indonesia untuk bisa
menjadi negara maju pada tahun 2025. Pemerintah menempatkan pendapatan per kapita
kurang lebih USD 14.250- USD 15.500 sebagai tolak ukur pencapaian yang ingin diraih
sebagai negara maju. Namun untuk mencapainya pemerintah membutuhkan pertumbuhan
ekonomi riil sebesar 6,4-7,5 persen pada periode 2011-2014, dan sekitar 8,0-9,0 persen pada
periode 2015-2025.2 Untuk mencapai indikator negara maju tersebut maka pemerintah
membutuhkan perluasan investasi secara besar-besaran, yang pada akhirnya menjadi
permasalahan serius dari program MP3EI ini.
Dorongan internasional untuk
melakukan pertumbuhan ekonomi
seringkali
melupakan isu terkait ketahanan lingkungan. Padahal menurut Colin Macandrews, dalam
artikelnya Politics of the Environment In Indonesia, bahasan mengenai pentingnya ketahanan
lingkunga telah menjadi perhatian khusus dari pemerintah Indonesia, bahkan pada masa akhir
Orde Baru. Masalah deforestasi adalah satu fokus utama yang ingin diatasi. Rata-rata tingkat
kehilangan hutan 1,1 juta hektar hutan per tahun pada 1990-an menjadi salah satu pemicu isu
lingkungan mulai naik di Indonesia. 3
Masalah itu yang ingin dibahas dalam makalah ini. Program MP3EI akan menjadi
lahan eksploitasi alam yang sangat besar. Ini dikarenakan pemerintah telah terbawa arus
ekonomi neoliberal yang mendorong eksploitasi besar-besaran. Pihak swasta akan dijadikan
pemain utama dalam investasi dalam eksploitasi sumber daya. Sehingga saya melihat bahwa
MP3EI akan menjadi ancaman serius terkait lingkungan hidup Indonesia.
Untuk melihat hal tersebut saya mengambil Pulau Kalimantan sebagai unit analisa.
Kalimantan termasuk dalam salah satu koridor ekonomi yang dibuat dalam MP3EI. Koridor
Ekonomi Kalimantan diberikan tema pembangunan “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil
1
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia , (Jakarta: 2011), hal.8.
2
Ibid., hal. 15.
3
Colin Macandrews, “Politics of the Environment In Indonesia,” Asian Survey, Vol.34, No.4 (April, 1994), hal.
373-374.
2
Tambang dan Lumbung Energi Nasional”. 4 Dalam Koridor Ekonomi Kalimantan pemerintah
telah menetapkan Kegiatan Ekonomi Utama yaitu minyak dan gas, batubara, kelapa sawit,
besi baja, bauksit, dan perkayuan. 5 Saya memilih perkayuan sebagai hal yang ingin dilihat
lebih jauh dalam makalah ini agar pembahasan dapat fokus dan dapat memberikan gambaran
yang jelas.
Dari latar belakang di atas maka pertanyaan yang berusaha dijawab dalam makalah ini
adalah Bagaimana posisi MP3EI dalam konteks pembangunan berkelanjutan? Serta apa
dampaknya terhadap hutan di Pulau Kalimantan?
Kerangka Konseptual
Pembangunan Berkelanjutan
Globalisasi neoliberal begitu lekat dengan eksploitasi sumber daya alam. Sejak
kerusakan lingkungan mulai dilihat sebagai permasalahan serius, konsep pembangunan
berkelanjutan mulai banyak ditulis oleh para analis. Konsep pembangunan berkelanjutan
mulai dilirik dunia internasional ketika adanya pemahaman ekologis yang menguat di tingkat
pemerintah atau pun negara bangsa di dunia. Menurut A.K.Ramakrishna , konsep
pembangunan berkelanjutan dipopulerkan oleh Brundtland Report (Laporan World
Commission on Environment and Development) pada tahun 1987. Sejak saat itu konsep
pembangunan berkelanjutan mulai dikenal dengan pandangannya pada generasi masa depan. 6
Pembangunan berkelanjutan berusaha mengaitkan antara stabilitas dari sistem politik,
masyarakat, dan ekosistem. Ramakrishna mendefinisikan pembangunan berkelanjutan
sebagai sebuah pandangan kritis ekologis yang melihat pada stabilitas ekosistem dan usaha
untuk mendefinisikan ulang sistem politik atau pun masyarakat yang ada. 7
Paradigma pembangunan berkelanjutan harus dilihat
sebagai etika
politik
pembangunan ketimbang pembangunan ekonomi atau konsep pentingnya lingkungan hidup
semata. Sonny Keraf mendefinisikan hal ini dengan sebuah komitmen moral yang
menjelaskan bagaimana seharusnya pembangunan dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan
4
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Loc.Cit., hal. 46.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Loc.Cit., hal, 96.
6
A.K.Ramakrishna, The Global and The Local: A Critical International Perspective on the Politics of
“Sustainable Development,” Indian Political Science Association, Vol.62, No.1 (Maret, 2011), hal. 92.
7
Ibid., hal. 94.
5
3
yang diinginkan.8 Sehingga pembangunan berkelanjutan ini mencakup semua aspek
pembangunan dan memuat cara menerapkan pembangunan itu.
Sonny, dalam bukunya Etika Lingkungan, mencatat ada tiga prinsip utama dari
pembangungan berkelanjutan. Pertama, prinsip demokrasi. Prinsip ini melihat bahwa
pembangunan dilakukan tidak untuk kepentingan rezim yang berkuasa atau hanya segelintir
orang atau kelompok. Pembangunan harus ditujukan untuk kepentingan rakyat banyak atau
untuk kepentingan nasional. Prinsip yang kedua adalah keadilan. Adanya prinsip ini untuk
memastikan bahwa ada ruang yang luas bagi setiap orang atau kelompok untuk terlibat dalam
proses pembangunan, dan tentu saja dapat menikmati hasil dari pembangunan tersebut.
Sehingga perlu ada jaminan untuk masyarakat dalam mendapatkan sumber ekonomi atau
sumber daya alam. Secara jelas dapat diartikan tidak dibenarkan adanya monopoli. Prinsip
yang terakhir adalah keberlanjutan. Prinsip ini menuntut adanya pandangan jangka panjang
atas pembangunan yang dilakukan. Perlu dilihat aspek baik positif maupun negatif dari
sebuah pembangunan dan tidak hanya melihat efek jangka pendek semata. Sonny
menekankan salah satu nilai utama dari prinsip ini adalah keadilan antar generasi dengan
melihat keterbatasan sumber daya alam yang ada. 9
Deforestasi (Kerusakan Hutan) dan Politik Lingkungan
Deforestasi berhubungan dengan segala bentuk kerusakan yang terjadi pada ekosistem
hutan. Herman Hidayat 10 melihat kerusakan hutan ini berkaitan dengan pengelolaan yang
salah atas eksploitasi hutan. Ia menyebutkan ada 2 indikator yang berkorelasi dengan
deforestasi. Pertama, adanya kelengahan antara aktor-aktor yang langsung menangani hutan.
Birokrat Departemen Kehutanan baik di instansi pusat dan daerah dan juga para pengusaha
lokal dan internasional menjadi aktor atau pelaku yang dimaksud. Para aktor ini sering kali
tidak mengimplementasikan konsep dan sistem pembangunan kehutanan yang berbasis
lingkungan. Indikator selanjutnya berkaitan dengan ketidakmampuan para aktor tadi dalam
memaknai relasi antara manusia dengan alam. Herman menjelaskan bahwa peran masyarakat
di sistem lingkungan memerlukan perencanaan akan masa depan.
Selain itu Stephan Schmidheiny memiliki pendapat menarik terkait eksploitasi hutan.
Ia melihat adanya kekeliruan cara pandang di negara-negara beriklim tropis. Menurutnya apa
8
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hal. 167.
Ibid., hal. 180.
10
Herman Hidayat, Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi, (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2011), hal.8.
9
4
yang disebut sebagai eksploitasi hutan memberikan pendapatan justru mengandung arti
pemusnahan modal hutan.11 Secara jelas dapat disimpulkan bahwa deforestasi sama sekali
tidak melihat ketahanan ekologi sebagai modal berharga yang patut dipertahankan.
Pembahasan
MP3EI yang eksploitatif
Seperti telah dijelaskan sebalumnya, MP3EI adalah sebuah program optimis
pemerintah untuk membuat Indonesia dapat turut serta bermain di globalisasi ekonomi.
Pemerintah lalu menetapkan investasi yang besar melalui kerjasama dengan pihak swasta
untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Program koridor-koridor ekonomi yang diterapkan oleh MP3EI menunjukkan
keinginan pemerintah untuk memanfaatkan sumber daya alam Indonesia sampai titik yang
maksimal dengan peningkatan investasi. Niat itu tergambar dengan pernyataan, “Untuk
mendukung pengembangan kegiatan ekonomi utama, telah diindikasikan nilai investasi yang
akan dilakukan di keenam koridor ekonomi tersebut sebesar sekitar IDR 4.012 Triliun. Dari
jumlah tersebut, Pemerintah akan berkontribusi sekitar 10% dalam bentuk pembangunan
infrastruktur dasar...”12 Terlihat nilai investasi yang besar banyak diberikan kepada pihak
swasta. Sedangkan pemerintah hanya bertindak memfasilitasi dengan regulasi yang dibuat
dan investasi infrastruktur.
Penempatan koridor-koridor ekonomi sendiri sangat mengancam kelangsungan
lingkungan hidup. Dari 22 kegiatan ekonomi utama di MP3EI, 13 diantaranya adalah hasil
alam, termasuk perkayuan.13 Sehingga secara matematis kekayaan alam masih menjadi hal
yang diutamakan oleh pemerintah Indonesia ketimbang memperkuat industri manufaktur.
Kalimantan sendiri adalah koridor yang hanya diposisikan untuk diambil sumber daya
alamnya atau bersifat ekstraktif. Koridor Kalimantan direncanakan mendapat investasi
11
Stephen Schmidheiny, Mengubah Haluan: Pandangan bisnis dunia tentang pembangunan dan lingkungan,
terj, Kusnedi, (Bandung: Penerbit ITB, 1995), hal. 158.
12
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Loc.cit., hal. 49.
13
Ibid., hal.22.
5
sebesar 945 triliun Rupiah. Jumlah ini berada di posisi kedua terbesar di bawah Koridor Jawa
sebesar 1.290 triliun Rupiah.14
Hal ini sebenarnya adalah dilema panjang dari Indonesia. Kekayaan alam Indonesia di
satu sisi memang merupakan anugrah, bila melihat dari sudut pandangan MP3EI, sekaligus
juga merupakan kutukan. Mengambil sudut pandang kaum strukturalis, Indonesia akan terus
menjadi negara periferi yang lemah dalam industri manufaktur. Kelemahannya adalah nilai
tukar yang selamanya akan timpang antara negara Indonesia dengan negara maju yang
memproduksi barang dengan nilai tambah. Dari sudut pandang kaum strukturalis sendiri
pendapatan Indonesia tidak akan cukup untuk mendanai sendiri pembangunannya karena
harus terus mengimpor dari negara maju. Namun meskipun industrialisasi dilakukan, muncul
permasalahan selanjutnya dimana negara maju akan melakukan perdagangan antar mereka
sendiri sehingga menghalangi ekspor produk industri dari negara berkembang. 15
Sehingga permasalahan mendasar dari program MP3EI adalah paradigma pemerintah
yang ingin mewujudkan negara maju dengan kekayaan alamnya tanpa paralel dengan
peningkatan industri maju. Kita bisa membandingkannya dengan negara tetangga seperti
Singapura atau Malaysia. Negara-negara tersebut berfokus pada peningkatan industri maju
sehingga bisa melakukan kemajuan yang sangat pesat. Begitu juga dengan Taiwan yang saat
ini merupakan negara pengekspor alat elektronik meski dahulunya sangat tergantung pada
hasil pertaniannya. Negara-negara tersebut berhasil beradaptasi dengan globalisasi ekonomi
yang
berbasis
teknologi.
Menurut
Robert
A.Isaak 16,
perdagangan
internasional
memungkinkan adanya kesempatan untuk membangun spesialisasi dan pembagian kerja
untuk mendorong produktivitas dan ekonomi kapitalis global. Tentu saja untuk mewujudkan
hal tersebut mereka tidak lagi bergantung pada kekayaan alam mereka yang terbatas,
melainkan kepada kemajuan teknologi dan investasi.
Apa yang dijelaskan di atas menjadi bukti bahwa program MP3EI tidak memberikan
prospek baru di Indonesia. Kata-kata „percepatan‟ atau pun „perluasan‟ hanyalah pergantian
dari kata liberalisasi. Tidak banyak inovasi yang ada selain hanya melanjutkan dan
memberikan ruang lebih besar dalam eksploitasi sumber daya alam. Dorongan kondisi global
dijadikan alasan untuk memberanikan diri membuka kerja sama dengan pihak swasta dalam
14
Ibid., hal. 50.
Robert A.Isaak, Ekonomi Politik Internasional, terj, Muhadi Sugiono, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya,
1995), hal. 119.
16
Ibid., hal. 115.
15
6
menumbuhkan investasi secara cepat. Sedangkan dampak sosio-ekologis tidak mendapat
perhatian.
Kayu Kalimantan
MP3EI cepat atau lambat akan membuat hutan di kawasan Kalimantan makin habis
ditebangi. Program MP3EI di Kalimantan telah mendapat kritik, salah satunya dari Gerakan
Masyarakat Sipil (GMS) Kalimantan Barat untuk Perbaikan Tata Kelola Sumber Daya Alam
yang Berkeadilan. Ada pun didalamnya terdiri dari Walhi Kal-Bar, WWF, LPS-AIR, Sampan
Kalimantan, Lingkat, Point, Kontak Rakat Borneo, dan IIM. Mereka berpendapat program itu
akan mengancam wilayah hutan karena akan dijadikan perkebunan, pertambangan, dan
kepentingan bisnis lainnya. 17
Terdapat pernyataan menarik dari dokumen MP3EI, “Pulau Kalimantan tercatat
memiliki kawasan hutan terluas kedua setelah Pulau Papua dengan luas kawasan hutan
masing-masing sebesar 41 Juta Ha dan 42 Juta Ha. Namun dari segi luas kawasan hutan
produksi, Kalimantan merupakan pulau dengan luas kawasan hutan produksi tertinggi (29,8
Juta Ha), dan baru sekitar 52,7 persen (15,7 Juta Ha) yang sudah dimanfaatkan sebagai Hutan
Produksi (berdasarkan data Kementerian Kehutanan, 2009). Kondisi ini menunjukkan bahwa
terdapat potensi besar bagi pengembangan investasi di industri perkayuan, sebagai industri
utama di sektor kehutanan.” 18 Bisa dilihat bagaimana paradigma pemerintah tentang
kekayaan alam yang dimiliki. Potensi tersebut dianggap harus dimaksimalkan oleh
pemerintah untuk memajukan pertumbuhan ekonomi menuju pasar global.
Pada bagian sebelumnya terdapat pernyataan, “Pulau Kalimantan merupakan salah
satu paru-paru utama dunia terkait dengan masih luasnya area hutan yang terkandung di
dalamnya.”19 Pernyataan tersebut menjadi sangat kontradiktif. Ada fakta yang tak bisa
dihindari bahwa hutan Kalimantan sangat penting bagi paru-paru Indonesia, bahkan dunia.
Namun di sisi lain justru pemerintah berusaha untuk meneruskan eksploitasi hutan
Kalimantan dengan meletakkannya sebagai salah satu kegiatan ekonomi utama.
Perlu diketahui sebelumnya bahwa sebelum liberalisasi lewat MP3EI dilakukan, hutan
Kalimantan telah banyak ditebangi untuk kepentingan kelompok tertentu. Hal itu sudah
“MP3EI Akan Memperparah Krisis Ekologi,” http://borneoclimatechange.org/berita-723-mp3ei-akanmemparah-krisis-ekologi.html (diakses pada 15 Desember 2014 pkl.20.00).
18
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Loc.cit., hal.112.
19
Ibid.
17
7
terjadi sejak masa Orde Baru. Pada masa Soeharto produksi kayu dari kawasan hutan diatur
secara sentralistik. Soeharto memberikan hak pengusahaan hutan (HPH) kepada militer dan
pengusaha-pengusaha swasta bagian kroninya. 20 Di samping itu banyak terjadi praktek
penebangan liar yang juga tidak terhindarkan. Berkembangnya industri plywood dan sawmill
pada tahun 1980-an serta industri bubur kertas dan kertas tahun 1990-an menjadi alasan
banyaknya penebangan liar di Kalimantan. Penebangan liar yang luar biasa itu bahkan
membuat adanya ketimpangan antara persediaan produksi dan tuntutan konsumsi kayu
tersebut.21 Maraknya penebangan liar pada masa kini diamini oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti lewat potret yang didapat maskapai miliknya Susi Air. Lewat
maskapainya selama ini ia melihat secara detail kasus penebangan liar terjadi di hutan-hutan
Indonesia, salah satunya di Kalimantan. 22
Dengan demikian akan timbul masalah besar ketika kondisi yang demikian rawan
akan ditambah dengan keterbukaan investasi oleh MP3EI. Pemerintah yang seharusnya
melakukan regulasi untuk menahan penebangan liar di Kalimantan justru memberikan
sumber eksploitasi baru dengan sebuah masterplan yang terperinci. Sekali lagi, sudut
pandang yang dilihat hanya sebatas seberapa besar keuntungan yang bisa didapatkan tanpa
melihat keberlangsungan hutan pada generasi selanjutnya.
Bila kita mengacu pada tulisan Sonny Keraf, eksploitasi sumber daya alam
sesungguhnya harus digunakan pertama-tama untuk kepentingan masyarakat. Namun
pertanyaan mendasar yang perlu kita jawab adalah apakah penebangan kayu di Indonesia
benar-benar dinikmati oleh masyarakatnya? Stephan Schmidheiny menjelaskan bahwa di
negara industri maju, penggunaan produk utama hutan oleh satu orang adalah tiga setengah
kali lebih banyak dibandingkan dengan satu orang di negara berkembang. 23 Perbandingan itu
mungkin masih harus diteliti lebih lanjut dalam konteks saat ini. Namun setidaknya kita bisa
mendapatkan gambaran bahwa kepentingan negara-negara industri maju sangat besar
terhadap eksploitasi kayu yang terjadi di Indonesia, dalam konteks ini Kalimantan.
20
Herman Hidayat, Op.Cit., hal. 182.
Ibid., hal. 179.
22
Raymundus Rikang, “Menteri Susi Suka Motret Pencurian Kayu dan Ikan,”
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/17/090622366/Menteri-Susi-Suka-Motret-Pencurian-Kayu-dan-Ikan
(diakses 16 Desember 2014 pkl 00.35).
23
Stephan Schmidheiny, Op.Cit., hal.157.
21
8
Terkait kepentingan asing, Herman Hidayat menemukan bahwa pemerintah Malaysia
mengakomodir masuknya kayu-kayu liar dari Indonesia, bahkan melegalkannya. 24 Kasus
seperti ini sering kita dengar terjadi di Kalimantan yang memang berbatasan langsung dengan
Malaysia. Negara tersebut memberikan akomodasi yang mudah lewat infrastruktur yang lebih
baik untuk distribusi ketimbang Indonesia.
Memang salah satu fokus MP3EI adalah penyediaan infrastruktur. Salah satu yang
ingin dibangun adalah jalan-jalan raya dari pusat produksi untuk mempermudah arus barang.
Namun bila kita melihat hal ini dari sudut deforestasi yang berlebihan, maka hutan
Kalimantan akan semakin parah kerusakannya. Ini disebabkan adanya fasilitas yang
mempermudah pemain lokal untuk bisa melakukan penebangan dan pendistribusian hasil
panenan mereka. Lagi-lagi poinnya bukan pada pelestarian lingkungan tapi pada pengerukan
hasil alam.
Kesimpulan
Dengan kondisi perekonomian global yang mendorong adanya integrasi ekonomi,
pemerintah Indonesia berusaha untuk menguatkan ekonomi dalam negeri dengan program
MP3EI. Pertumbuhan ekonomi yang luas dan cepat diharapkan dapat membantu Indonesia
untuk dapat memanfaatkan posisinya di tengah lahan persaingan ekonomi global. Namun
yang sangat disayangkan program MP3EI tidak memiliki perhatian khusus pada
pembangunanberkelanjutan, sehingga sangat dapat mengancam lingkungan hidup yang
tereksploitasi.
Ada beberapa poin penting yang bisa kita ambil, yaitu:
MP3EI adalah bukti paradigma neoliberal dari perencanaan ekonomi jangka panjang
dari pemerintah Indonesia. Ini dibuktikan dengan memposisikan pemerintah hanya
sebagai regulator.
Industri ekstraktif masih menjadi fokus pemerintah. Sehingga hal ini akan mendorong
berlanjutnya eksploitasi sumber daya alam seperti hutan dalam jangka panjang.
MP3EI akan menimbulkan potensi penebangan hutan yang lebih tidak terkontrol
dibanding sebelumnya karena ada kesempatan munculnya aktor-aktor lain dalam
industri kayu. Hal ini ditunjang dengan fakta bahwa pemerintah sampai saat ini belum
menunjukkan ketegasan dalam kasus penebangan liar.
24
Herman Hidayat, Op.Cit., hal.188.
9
Program MP3EI tidak menunjukkan keberpihakan pada pembangunan berkelanjutan
dan hanya berfokus mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cepat.
Dengan demikian, ketimbang melakukan tindakan tegas atas eksploitasi atau pun
deforestasi, pemerintah justru semakin membuka lahan untuk perusakan lingkunan. Sampai
saat ini pemerintah belum bisa menjamin pembangunan berkelanjutan benar-benar
dilaksanakan di sektor-sektor ekonomi ekstraktif. Hal itu akan semakin sulit untuk kita lihat
dengan adanya MP3EI.
10
Daftar Pustaka
Buku:
Herman Hidayat, Herman. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan
Reformasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
Isaak, A. Robert. Ekonomi Politik Internasional. Terj. Muhadi Sugiono. Yogyakarta:
PT.Tiara Wacana Yogya, 1995.
Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.
Schmidheiny, Stephen. Mengubah Haluan: Pandangan bisnis dunia tentang pembangunan
dan lingkungan Terj. Kusnedi. Bandung: Penerbit ITB, 1995.
Jurnal:
Macandrews, Colin. “Politics of the Environment In Indonesia.” Asian Survey. Vol.34. No.4
(1994): 369-380.
Ramakrishna, A.K. “The Global and The Local: A Critical International Perspective on the
Politics of “Sustainable Development".” Indian Political Science Association.
Vol.62. No.1 (2011): 91-104.
Internet:
“MP3EI Akan Memperparah Krisis Ekologi.” http://borneoclimatechange.org/berita-723mp3ei-akan-memparah-krisis-ekologi.html (diakses pada 15 Desember 2014
pkl.20.00).
Rikang, Raymundus. “Menteri Susi Suka Motret Pencurian Kayu dan Ikan.”
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/17/090622366/Menteri-Susi-Suka-MotretPencurian-Kayu-dan-Ikan (diakses 16 Desember 2014 pkl 00.35).
Dokumen Pemerintah:
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: 2011.
11
1206243141
Mata Kuliah Globalisasi dan Politik di Indonesia
Ilmu Politik – FISIP UI, Depok
MP3EI Sebagai Jawaban Atas Kondisi Global:
Ancaman Terhadap Pembangunan Berkelanjutan
(Contoh Kasus Deforestasi di Kalimantan)
Pendahuluan
Tantangan globalisasi telah mendorong pemerintah Indonesia melakukan banyak
regulasi yang mengakomodir kepentingan ekonomi asing. Terikatnya Indonesia kepada
ekonomi asing tak bisa dilepaskan dari pengaruh IMF dan Bank Dunia pada masa Reformasi.
Saat ini pun Indonesia telah tergabung dalam pasar bebas di kawasan regional Asia Tenggara
dalam bentuk komunitas-komunitas seperti APEC atau AFTA. Masyarakat ekonomi ASEAN
2015 yang akan , jika tidak bisa dikatakan sudah, kita hadapi tahun depan juga banyak
menjadi diskusi penting di masyarakat. Pertanyaan yang selalu muncul adalah tentang siap
atau tidak masyarakat menghadapinya. Namun saya lebih melihat bahwa permasalahannya
bukan siap atau tidak, melainkan kita sudah berada di dalamnya.
Indonesia yang berada di jantung ekonomi dunia saat ini, yaitu kawasan Asia,
berkeingingan untuk turut serta memanfaatkan komunitas ekonomi global yang sudah ada.
Salah satu program besar yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mencapai tujuan
itu adalah dibuatnya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia,
atau yang lebih akrab disebut dengan MP3EI.
MP3EI sendiri muncul dan diresmikan pada masa pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada tahun 2011. Dalam kata sambutan di dokumen MP3EI SBY
menuturkan bahwa program ini bertujuan untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia.
1
Adapun cara-cara yang digunakan untuk memperbaiki iklim itu adalah dengan
debottlenecking, regulasi, pemberian insentif maupun percepatan pembangunan infrastruktur
yang dibutuhkan oleh para pelaku ekonomi. 1 Para pelaku ekonomi yang dimaksud dalam
kalimat itu adalah pemerintah maupun swasta.
Perbaikan iklim investasi di atas diyakini dapat membawa Indonesia untuk bisa
menjadi negara maju pada tahun 2025. Pemerintah menempatkan pendapatan per kapita
kurang lebih USD 14.250- USD 15.500 sebagai tolak ukur pencapaian yang ingin diraih
sebagai negara maju. Namun untuk mencapainya pemerintah membutuhkan pertumbuhan
ekonomi riil sebesar 6,4-7,5 persen pada periode 2011-2014, dan sekitar 8,0-9,0 persen pada
periode 2015-2025.2 Untuk mencapai indikator negara maju tersebut maka pemerintah
membutuhkan perluasan investasi secara besar-besaran, yang pada akhirnya menjadi
permasalahan serius dari program MP3EI ini.
Dorongan internasional untuk
melakukan pertumbuhan ekonomi
seringkali
melupakan isu terkait ketahanan lingkungan. Padahal menurut Colin Macandrews, dalam
artikelnya Politics of the Environment In Indonesia, bahasan mengenai pentingnya ketahanan
lingkunga telah menjadi perhatian khusus dari pemerintah Indonesia, bahkan pada masa akhir
Orde Baru. Masalah deforestasi adalah satu fokus utama yang ingin diatasi. Rata-rata tingkat
kehilangan hutan 1,1 juta hektar hutan per tahun pada 1990-an menjadi salah satu pemicu isu
lingkungan mulai naik di Indonesia. 3
Masalah itu yang ingin dibahas dalam makalah ini. Program MP3EI akan menjadi
lahan eksploitasi alam yang sangat besar. Ini dikarenakan pemerintah telah terbawa arus
ekonomi neoliberal yang mendorong eksploitasi besar-besaran. Pihak swasta akan dijadikan
pemain utama dalam investasi dalam eksploitasi sumber daya. Sehingga saya melihat bahwa
MP3EI akan menjadi ancaman serius terkait lingkungan hidup Indonesia.
Untuk melihat hal tersebut saya mengambil Pulau Kalimantan sebagai unit analisa.
Kalimantan termasuk dalam salah satu koridor ekonomi yang dibuat dalam MP3EI. Koridor
Ekonomi Kalimantan diberikan tema pembangunan “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil
1
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia , (Jakarta: 2011), hal.8.
2
Ibid., hal. 15.
3
Colin Macandrews, “Politics of the Environment In Indonesia,” Asian Survey, Vol.34, No.4 (April, 1994), hal.
373-374.
2
Tambang dan Lumbung Energi Nasional”. 4 Dalam Koridor Ekonomi Kalimantan pemerintah
telah menetapkan Kegiatan Ekonomi Utama yaitu minyak dan gas, batubara, kelapa sawit,
besi baja, bauksit, dan perkayuan. 5 Saya memilih perkayuan sebagai hal yang ingin dilihat
lebih jauh dalam makalah ini agar pembahasan dapat fokus dan dapat memberikan gambaran
yang jelas.
Dari latar belakang di atas maka pertanyaan yang berusaha dijawab dalam makalah ini
adalah Bagaimana posisi MP3EI dalam konteks pembangunan berkelanjutan? Serta apa
dampaknya terhadap hutan di Pulau Kalimantan?
Kerangka Konseptual
Pembangunan Berkelanjutan
Globalisasi neoliberal begitu lekat dengan eksploitasi sumber daya alam. Sejak
kerusakan lingkungan mulai dilihat sebagai permasalahan serius, konsep pembangunan
berkelanjutan mulai banyak ditulis oleh para analis. Konsep pembangunan berkelanjutan
mulai dilirik dunia internasional ketika adanya pemahaman ekologis yang menguat di tingkat
pemerintah atau pun negara bangsa di dunia. Menurut A.K.Ramakrishna , konsep
pembangunan berkelanjutan dipopulerkan oleh Brundtland Report (Laporan World
Commission on Environment and Development) pada tahun 1987. Sejak saat itu konsep
pembangunan berkelanjutan mulai dikenal dengan pandangannya pada generasi masa depan. 6
Pembangunan berkelanjutan berusaha mengaitkan antara stabilitas dari sistem politik,
masyarakat, dan ekosistem. Ramakrishna mendefinisikan pembangunan berkelanjutan
sebagai sebuah pandangan kritis ekologis yang melihat pada stabilitas ekosistem dan usaha
untuk mendefinisikan ulang sistem politik atau pun masyarakat yang ada. 7
Paradigma pembangunan berkelanjutan harus dilihat
sebagai etika
politik
pembangunan ketimbang pembangunan ekonomi atau konsep pentingnya lingkungan hidup
semata. Sonny Keraf mendefinisikan hal ini dengan sebuah komitmen moral yang
menjelaskan bagaimana seharusnya pembangunan dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan
4
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Loc.Cit., hal. 46.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Loc.Cit., hal, 96.
6
A.K.Ramakrishna, The Global and The Local: A Critical International Perspective on the Politics of
“Sustainable Development,” Indian Political Science Association, Vol.62, No.1 (Maret, 2011), hal. 92.
7
Ibid., hal. 94.
5
3
yang diinginkan.8 Sehingga pembangunan berkelanjutan ini mencakup semua aspek
pembangunan dan memuat cara menerapkan pembangunan itu.
Sonny, dalam bukunya Etika Lingkungan, mencatat ada tiga prinsip utama dari
pembangungan berkelanjutan. Pertama, prinsip demokrasi. Prinsip ini melihat bahwa
pembangunan dilakukan tidak untuk kepentingan rezim yang berkuasa atau hanya segelintir
orang atau kelompok. Pembangunan harus ditujukan untuk kepentingan rakyat banyak atau
untuk kepentingan nasional. Prinsip yang kedua adalah keadilan. Adanya prinsip ini untuk
memastikan bahwa ada ruang yang luas bagi setiap orang atau kelompok untuk terlibat dalam
proses pembangunan, dan tentu saja dapat menikmati hasil dari pembangunan tersebut.
Sehingga perlu ada jaminan untuk masyarakat dalam mendapatkan sumber ekonomi atau
sumber daya alam. Secara jelas dapat diartikan tidak dibenarkan adanya monopoli. Prinsip
yang terakhir adalah keberlanjutan. Prinsip ini menuntut adanya pandangan jangka panjang
atas pembangunan yang dilakukan. Perlu dilihat aspek baik positif maupun negatif dari
sebuah pembangunan dan tidak hanya melihat efek jangka pendek semata. Sonny
menekankan salah satu nilai utama dari prinsip ini adalah keadilan antar generasi dengan
melihat keterbatasan sumber daya alam yang ada. 9
Deforestasi (Kerusakan Hutan) dan Politik Lingkungan
Deforestasi berhubungan dengan segala bentuk kerusakan yang terjadi pada ekosistem
hutan. Herman Hidayat 10 melihat kerusakan hutan ini berkaitan dengan pengelolaan yang
salah atas eksploitasi hutan. Ia menyebutkan ada 2 indikator yang berkorelasi dengan
deforestasi. Pertama, adanya kelengahan antara aktor-aktor yang langsung menangani hutan.
Birokrat Departemen Kehutanan baik di instansi pusat dan daerah dan juga para pengusaha
lokal dan internasional menjadi aktor atau pelaku yang dimaksud. Para aktor ini sering kali
tidak mengimplementasikan konsep dan sistem pembangunan kehutanan yang berbasis
lingkungan. Indikator selanjutnya berkaitan dengan ketidakmampuan para aktor tadi dalam
memaknai relasi antara manusia dengan alam. Herman menjelaskan bahwa peran masyarakat
di sistem lingkungan memerlukan perencanaan akan masa depan.
Selain itu Stephan Schmidheiny memiliki pendapat menarik terkait eksploitasi hutan.
Ia melihat adanya kekeliruan cara pandang di negara-negara beriklim tropis. Menurutnya apa
8
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hal. 167.
Ibid., hal. 180.
10
Herman Hidayat, Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi, (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2011), hal.8.
9
4
yang disebut sebagai eksploitasi hutan memberikan pendapatan justru mengandung arti
pemusnahan modal hutan.11 Secara jelas dapat disimpulkan bahwa deforestasi sama sekali
tidak melihat ketahanan ekologi sebagai modal berharga yang patut dipertahankan.
Pembahasan
MP3EI yang eksploitatif
Seperti telah dijelaskan sebalumnya, MP3EI adalah sebuah program optimis
pemerintah untuk membuat Indonesia dapat turut serta bermain di globalisasi ekonomi.
Pemerintah lalu menetapkan investasi yang besar melalui kerjasama dengan pihak swasta
untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Program koridor-koridor ekonomi yang diterapkan oleh MP3EI menunjukkan
keinginan pemerintah untuk memanfaatkan sumber daya alam Indonesia sampai titik yang
maksimal dengan peningkatan investasi. Niat itu tergambar dengan pernyataan, “Untuk
mendukung pengembangan kegiatan ekonomi utama, telah diindikasikan nilai investasi yang
akan dilakukan di keenam koridor ekonomi tersebut sebesar sekitar IDR 4.012 Triliun. Dari
jumlah tersebut, Pemerintah akan berkontribusi sekitar 10% dalam bentuk pembangunan
infrastruktur dasar...”12 Terlihat nilai investasi yang besar banyak diberikan kepada pihak
swasta. Sedangkan pemerintah hanya bertindak memfasilitasi dengan regulasi yang dibuat
dan investasi infrastruktur.
Penempatan koridor-koridor ekonomi sendiri sangat mengancam kelangsungan
lingkungan hidup. Dari 22 kegiatan ekonomi utama di MP3EI, 13 diantaranya adalah hasil
alam, termasuk perkayuan.13 Sehingga secara matematis kekayaan alam masih menjadi hal
yang diutamakan oleh pemerintah Indonesia ketimbang memperkuat industri manufaktur.
Kalimantan sendiri adalah koridor yang hanya diposisikan untuk diambil sumber daya
alamnya atau bersifat ekstraktif. Koridor Kalimantan direncanakan mendapat investasi
11
Stephen Schmidheiny, Mengubah Haluan: Pandangan bisnis dunia tentang pembangunan dan lingkungan,
terj, Kusnedi, (Bandung: Penerbit ITB, 1995), hal. 158.
12
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Loc.cit., hal. 49.
13
Ibid., hal.22.
5
sebesar 945 triliun Rupiah. Jumlah ini berada di posisi kedua terbesar di bawah Koridor Jawa
sebesar 1.290 triliun Rupiah.14
Hal ini sebenarnya adalah dilema panjang dari Indonesia. Kekayaan alam Indonesia di
satu sisi memang merupakan anugrah, bila melihat dari sudut pandangan MP3EI, sekaligus
juga merupakan kutukan. Mengambil sudut pandang kaum strukturalis, Indonesia akan terus
menjadi negara periferi yang lemah dalam industri manufaktur. Kelemahannya adalah nilai
tukar yang selamanya akan timpang antara negara Indonesia dengan negara maju yang
memproduksi barang dengan nilai tambah. Dari sudut pandang kaum strukturalis sendiri
pendapatan Indonesia tidak akan cukup untuk mendanai sendiri pembangunannya karena
harus terus mengimpor dari negara maju. Namun meskipun industrialisasi dilakukan, muncul
permasalahan selanjutnya dimana negara maju akan melakukan perdagangan antar mereka
sendiri sehingga menghalangi ekspor produk industri dari negara berkembang. 15
Sehingga permasalahan mendasar dari program MP3EI adalah paradigma pemerintah
yang ingin mewujudkan negara maju dengan kekayaan alamnya tanpa paralel dengan
peningkatan industri maju. Kita bisa membandingkannya dengan negara tetangga seperti
Singapura atau Malaysia. Negara-negara tersebut berfokus pada peningkatan industri maju
sehingga bisa melakukan kemajuan yang sangat pesat. Begitu juga dengan Taiwan yang saat
ini merupakan negara pengekspor alat elektronik meski dahulunya sangat tergantung pada
hasil pertaniannya. Negara-negara tersebut berhasil beradaptasi dengan globalisasi ekonomi
yang
berbasis
teknologi.
Menurut
Robert
A.Isaak 16,
perdagangan
internasional
memungkinkan adanya kesempatan untuk membangun spesialisasi dan pembagian kerja
untuk mendorong produktivitas dan ekonomi kapitalis global. Tentu saja untuk mewujudkan
hal tersebut mereka tidak lagi bergantung pada kekayaan alam mereka yang terbatas,
melainkan kepada kemajuan teknologi dan investasi.
Apa yang dijelaskan di atas menjadi bukti bahwa program MP3EI tidak memberikan
prospek baru di Indonesia. Kata-kata „percepatan‟ atau pun „perluasan‟ hanyalah pergantian
dari kata liberalisasi. Tidak banyak inovasi yang ada selain hanya melanjutkan dan
memberikan ruang lebih besar dalam eksploitasi sumber daya alam. Dorongan kondisi global
dijadikan alasan untuk memberanikan diri membuka kerja sama dengan pihak swasta dalam
14
Ibid., hal. 50.
Robert A.Isaak, Ekonomi Politik Internasional, terj, Muhadi Sugiono, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya,
1995), hal. 119.
16
Ibid., hal. 115.
15
6
menumbuhkan investasi secara cepat. Sedangkan dampak sosio-ekologis tidak mendapat
perhatian.
Kayu Kalimantan
MP3EI cepat atau lambat akan membuat hutan di kawasan Kalimantan makin habis
ditebangi. Program MP3EI di Kalimantan telah mendapat kritik, salah satunya dari Gerakan
Masyarakat Sipil (GMS) Kalimantan Barat untuk Perbaikan Tata Kelola Sumber Daya Alam
yang Berkeadilan. Ada pun didalamnya terdiri dari Walhi Kal-Bar, WWF, LPS-AIR, Sampan
Kalimantan, Lingkat, Point, Kontak Rakat Borneo, dan IIM. Mereka berpendapat program itu
akan mengancam wilayah hutan karena akan dijadikan perkebunan, pertambangan, dan
kepentingan bisnis lainnya. 17
Terdapat pernyataan menarik dari dokumen MP3EI, “Pulau Kalimantan tercatat
memiliki kawasan hutan terluas kedua setelah Pulau Papua dengan luas kawasan hutan
masing-masing sebesar 41 Juta Ha dan 42 Juta Ha. Namun dari segi luas kawasan hutan
produksi, Kalimantan merupakan pulau dengan luas kawasan hutan produksi tertinggi (29,8
Juta Ha), dan baru sekitar 52,7 persen (15,7 Juta Ha) yang sudah dimanfaatkan sebagai Hutan
Produksi (berdasarkan data Kementerian Kehutanan, 2009). Kondisi ini menunjukkan bahwa
terdapat potensi besar bagi pengembangan investasi di industri perkayuan, sebagai industri
utama di sektor kehutanan.” 18 Bisa dilihat bagaimana paradigma pemerintah tentang
kekayaan alam yang dimiliki. Potensi tersebut dianggap harus dimaksimalkan oleh
pemerintah untuk memajukan pertumbuhan ekonomi menuju pasar global.
Pada bagian sebelumnya terdapat pernyataan, “Pulau Kalimantan merupakan salah
satu paru-paru utama dunia terkait dengan masih luasnya area hutan yang terkandung di
dalamnya.”19 Pernyataan tersebut menjadi sangat kontradiktif. Ada fakta yang tak bisa
dihindari bahwa hutan Kalimantan sangat penting bagi paru-paru Indonesia, bahkan dunia.
Namun di sisi lain justru pemerintah berusaha untuk meneruskan eksploitasi hutan
Kalimantan dengan meletakkannya sebagai salah satu kegiatan ekonomi utama.
Perlu diketahui sebelumnya bahwa sebelum liberalisasi lewat MP3EI dilakukan, hutan
Kalimantan telah banyak ditebangi untuk kepentingan kelompok tertentu. Hal itu sudah
“MP3EI Akan Memperparah Krisis Ekologi,” http://borneoclimatechange.org/berita-723-mp3ei-akanmemparah-krisis-ekologi.html (diakses pada 15 Desember 2014 pkl.20.00).
18
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Loc.cit., hal.112.
19
Ibid.
17
7
terjadi sejak masa Orde Baru. Pada masa Soeharto produksi kayu dari kawasan hutan diatur
secara sentralistik. Soeharto memberikan hak pengusahaan hutan (HPH) kepada militer dan
pengusaha-pengusaha swasta bagian kroninya. 20 Di samping itu banyak terjadi praktek
penebangan liar yang juga tidak terhindarkan. Berkembangnya industri plywood dan sawmill
pada tahun 1980-an serta industri bubur kertas dan kertas tahun 1990-an menjadi alasan
banyaknya penebangan liar di Kalimantan. Penebangan liar yang luar biasa itu bahkan
membuat adanya ketimpangan antara persediaan produksi dan tuntutan konsumsi kayu
tersebut.21 Maraknya penebangan liar pada masa kini diamini oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti lewat potret yang didapat maskapai miliknya Susi Air. Lewat
maskapainya selama ini ia melihat secara detail kasus penebangan liar terjadi di hutan-hutan
Indonesia, salah satunya di Kalimantan. 22
Dengan demikian akan timbul masalah besar ketika kondisi yang demikian rawan
akan ditambah dengan keterbukaan investasi oleh MP3EI. Pemerintah yang seharusnya
melakukan regulasi untuk menahan penebangan liar di Kalimantan justru memberikan
sumber eksploitasi baru dengan sebuah masterplan yang terperinci. Sekali lagi, sudut
pandang yang dilihat hanya sebatas seberapa besar keuntungan yang bisa didapatkan tanpa
melihat keberlangsungan hutan pada generasi selanjutnya.
Bila kita mengacu pada tulisan Sonny Keraf, eksploitasi sumber daya alam
sesungguhnya harus digunakan pertama-tama untuk kepentingan masyarakat. Namun
pertanyaan mendasar yang perlu kita jawab adalah apakah penebangan kayu di Indonesia
benar-benar dinikmati oleh masyarakatnya? Stephan Schmidheiny menjelaskan bahwa di
negara industri maju, penggunaan produk utama hutan oleh satu orang adalah tiga setengah
kali lebih banyak dibandingkan dengan satu orang di negara berkembang. 23 Perbandingan itu
mungkin masih harus diteliti lebih lanjut dalam konteks saat ini. Namun setidaknya kita bisa
mendapatkan gambaran bahwa kepentingan negara-negara industri maju sangat besar
terhadap eksploitasi kayu yang terjadi di Indonesia, dalam konteks ini Kalimantan.
20
Herman Hidayat, Op.Cit., hal. 182.
Ibid., hal. 179.
22
Raymundus Rikang, “Menteri Susi Suka Motret Pencurian Kayu dan Ikan,”
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/17/090622366/Menteri-Susi-Suka-Motret-Pencurian-Kayu-dan-Ikan
(diakses 16 Desember 2014 pkl 00.35).
23
Stephan Schmidheiny, Op.Cit., hal.157.
21
8
Terkait kepentingan asing, Herman Hidayat menemukan bahwa pemerintah Malaysia
mengakomodir masuknya kayu-kayu liar dari Indonesia, bahkan melegalkannya. 24 Kasus
seperti ini sering kita dengar terjadi di Kalimantan yang memang berbatasan langsung dengan
Malaysia. Negara tersebut memberikan akomodasi yang mudah lewat infrastruktur yang lebih
baik untuk distribusi ketimbang Indonesia.
Memang salah satu fokus MP3EI adalah penyediaan infrastruktur. Salah satu yang
ingin dibangun adalah jalan-jalan raya dari pusat produksi untuk mempermudah arus barang.
Namun bila kita melihat hal ini dari sudut deforestasi yang berlebihan, maka hutan
Kalimantan akan semakin parah kerusakannya. Ini disebabkan adanya fasilitas yang
mempermudah pemain lokal untuk bisa melakukan penebangan dan pendistribusian hasil
panenan mereka. Lagi-lagi poinnya bukan pada pelestarian lingkungan tapi pada pengerukan
hasil alam.
Kesimpulan
Dengan kondisi perekonomian global yang mendorong adanya integrasi ekonomi,
pemerintah Indonesia berusaha untuk menguatkan ekonomi dalam negeri dengan program
MP3EI. Pertumbuhan ekonomi yang luas dan cepat diharapkan dapat membantu Indonesia
untuk dapat memanfaatkan posisinya di tengah lahan persaingan ekonomi global. Namun
yang sangat disayangkan program MP3EI tidak memiliki perhatian khusus pada
pembangunanberkelanjutan, sehingga sangat dapat mengancam lingkungan hidup yang
tereksploitasi.
Ada beberapa poin penting yang bisa kita ambil, yaitu:
MP3EI adalah bukti paradigma neoliberal dari perencanaan ekonomi jangka panjang
dari pemerintah Indonesia. Ini dibuktikan dengan memposisikan pemerintah hanya
sebagai regulator.
Industri ekstraktif masih menjadi fokus pemerintah. Sehingga hal ini akan mendorong
berlanjutnya eksploitasi sumber daya alam seperti hutan dalam jangka panjang.
MP3EI akan menimbulkan potensi penebangan hutan yang lebih tidak terkontrol
dibanding sebelumnya karena ada kesempatan munculnya aktor-aktor lain dalam
industri kayu. Hal ini ditunjang dengan fakta bahwa pemerintah sampai saat ini belum
menunjukkan ketegasan dalam kasus penebangan liar.
24
Herman Hidayat, Op.Cit., hal.188.
9
Program MP3EI tidak menunjukkan keberpihakan pada pembangunan berkelanjutan
dan hanya berfokus mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cepat.
Dengan demikian, ketimbang melakukan tindakan tegas atas eksploitasi atau pun
deforestasi, pemerintah justru semakin membuka lahan untuk perusakan lingkunan. Sampai
saat ini pemerintah belum bisa menjamin pembangunan berkelanjutan benar-benar
dilaksanakan di sektor-sektor ekonomi ekstraktif. Hal itu akan semakin sulit untuk kita lihat
dengan adanya MP3EI.
10
Daftar Pustaka
Buku:
Herman Hidayat, Herman. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan
Reformasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
Isaak, A. Robert. Ekonomi Politik Internasional. Terj. Muhadi Sugiono. Yogyakarta:
PT.Tiara Wacana Yogya, 1995.
Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.
Schmidheiny, Stephen. Mengubah Haluan: Pandangan bisnis dunia tentang pembangunan
dan lingkungan Terj. Kusnedi. Bandung: Penerbit ITB, 1995.
Jurnal:
Macandrews, Colin. “Politics of the Environment In Indonesia.” Asian Survey. Vol.34. No.4
(1994): 369-380.
Ramakrishna, A.K. “The Global and The Local: A Critical International Perspective on the
Politics of “Sustainable Development".” Indian Political Science Association.
Vol.62. No.1 (2011): 91-104.
Internet:
“MP3EI Akan Memperparah Krisis Ekologi.” http://borneoclimatechange.org/berita-723mp3ei-akan-memparah-krisis-ekologi.html (diakses pada 15 Desember 2014
pkl.20.00).
Rikang, Raymundus. “Menteri Susi Suka Motret Pencurian Kayu dan Ikan.”
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/17/090622366/Menteri-Susi-Suka-MotretPencurian-Kayu-dan-Ikan (diakses 16 Desember 2014 pkl 00.35).
Dokumen Pemerintah:
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: 2011.
11