Model Spasial Deforestasi di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat Periode 1987~2000

(1)

MODEL SPASIAL DEFORESTASI

DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

PERIODE 1987~2000

PUTU ANANTA WIJAYA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

RINGKASAN

Putu Ananta Wijaya. E14062529. Model Spasial Deforestasi di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Periode 1987 ~ 2000. Skripsi. Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor. Dibimbing oleh Dr. Nining Puspaningsih, MSi

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial yang tinggi. Namun sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk semakin meningkat, keberadaan hutan semakin terdesak sebagai akibat dari kebutuhan akan lahan untuk pertanian, pemukiman, industri dan perdagangan. Keadaan ini dapat memicu terjadinya deforestasi. Secara umum faktor-faktor dominan yang menyebabkan terjadnya deforestasi adalah faktor sosial dan ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar hutan.

Penelitian ini mempunyai tujuan utama yaitu membangun model spasial deforestasi yang diharapkan dapat digunakan untuk meramalkan kejadian deforestasi secara spasial pada periode berikutnya. Tujuan tambahan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya deforestasi.

Penelitian ini dilakukan di Pulau Lombok untuk memodelkan deforestasi antara tahun 1987 dan 1995, untuk meramalkan deforestasi antara tahun 1995 dan 2000. Pada rentang waktu tersebut terjadi ketidakstabilan situasi politik (masa reformasi) dimana laju deforestasi di Indonesia mencapai 2,8 juta/ha per tahun pada periode tahun 1997 dan 2002 (Dinas Kehutanan 2008).

Pada penelitian ini perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini berupa Arcview Gis 3.3, ArcGis 9.3, ERDAS Image 9.1, IDRISI Kilimanjaro, sedangkan perangkat kerasnya berupa laptop dan printer. Pembangunan model spasial deforestasi dilakukan menggunakan model regresi logistik (logit), dimana peubah (y) adalah nilai binari, dimana nilai 1 menyatakan terjadinya deforestasi dan nilai 0 menyatakan tidak terjadinya deforestasi. Peubah bebas yang digunakan pada model persamaan logistik ini adalah jarak dari jalan, jarak dar i tepi hutan, dan kelerengan. Jarak dari jalan dan jarak tepi hutan diperoleh dari hasil operasi buffering menggunakan operasi spasial, sedangkan kelerengan diperoleh dari hasil import data raster menggunakan IDRISI.

Kajian ini menemukan hubungan yang erat antara kejadian deforestasi dengan peubah jarak dari jalan, jarak dari tepi hutan dan kelerengan, dengan model persamaan: Logit (p) = -1,0933 – 0,000425 Jarak jalan – 0,001313 Jarak Tepi Hutan – 0,396439 Kelerengan. Pada model ini peluang terjadinya deforestasi akan semakin meningkat dengan semakin dekatnya tepi hutan dengan jalan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa deforestasi umumnya terjadi pada areal-areal tepi hutan dan pada areal-areal yang bertopografi landai. Hasil validasi model menggunakan data deforestasi antara tahun 1995~2000 menunjukkan tingkat keakuratan yang cukup tinggi yaitu sebesar 96 persen.

Kata kunci: Pemodelan Spasial, Model Logistik (Logit), Deforestasi, Peubah Deforestasi.


(3)

SUMMARY

Putu Ananta Wijaya. E14062529. Spatial Model of Deforestation in Lombok Island, Nusa Tenggara Barat, Period 1987 ~ 2000. Report. Forest Management, Bogor Agricultural University. Supervised by Dr. Nining Puspaningsih, MSi

Forest is one of the natural resource that provides economic, ecological, as well as social benefits highly. However, in line with the increasing population growth, the existence of the forest had been threaten due to the need of agricultural, residential, industrial as well as commerce lands. This situation will lead to deforestation. In general, the dominant factors that cause deforestation are social and economic factors, particularly in surrounding forest community.

The main objective of this study is to build a spatial model of deforestation that expected to be applicable for predicting the occurence of deforestation spatially in the next periods. An additional objective this study is to identify factors that influence the occurrence of deforestation.

The study was conducted on the whole island of Lombok using deforestation data between 1987 and 1995, to predict deforestation between 1995 and 2000. During that period, there is instability of political situation (the reform era) in which the deforestation rate in Indonesia reached its peak of approximately 2.8 million ha per year, particularly between 1997 and 2002 (Dinas Kehutanan 2008).

In this study, the softwares used were Arcview 3.3, ArcGIS 9.3, Erdas Image 9.1 and Idrisi Kilimanjaro, while the hardwares include laptop and printer. The development of deforestastion spatial models was carried out using logistic regression models (logit). The variable (y) is a binary value, where value 1 indicates the occurrence of deforestation and the value of 0 indicates no deforestation. The independent variables used were distance from the road, distance from forest edge and slope. The distance from the road and the distance from the forest edge were derived from buffering operations, while the slope was obtained from raster data import on IDRISI.

This study found that there are close relationships amongs the deforestation occurence, distance from the road, the distance from the forest edge and slope, having the following model equation: logit (p) = -1,0933 – 0,000425 Distance street – 0,001313 Forest Edge Distance – 0,396439 Slope. This model expresses that the deforestation probability will increase within the areas close to forest edge and roads. The study also shows that deforestation generally occurs in areas having gentle slope. The model validation using data of deforestation between 1995 ~ 2000 shows a high level of accuracy of 96%.

Keyword: Spatial Modeling, Logistic model, Deforestation, Variable Factor of Deforestation.


(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Model Spasial Deforestasi di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat periode 1987~2000 adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada Perguruan Tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011


(5)

MODEL SPASIAL DEFORESTASI

DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

PERIODE 1987~2000

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

PUTU ANANTA WIJAYA

E14062529

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Model Spasial Deforestasi di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat Periode 1987~2000 Nama Mahasiswa : Putu Ananta Wijaya

Nomor Pokok : E14062529 Departemen : Manajemen Hutan

Menyetujui : Dosen Pembimbing

Dr. Nining Puspaningsih, MSi NIP. 19630612 199003 2 014

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan IPB

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. NIP. 19630401 199403 1 001


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada 8 september 1986 di Bogor, Jawa Barat. Penulis adalah anak pertama dari lima bersaudara pasangan Bapak Prof. Dr. Ir I Nengah Surati Jaya M.Agr dan Ibu Anik Agustiningrum. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Panaragan 2 lulus tahun 1999, pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 1 Bogor lulus tahun 2002, dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 5 Bogor lulus tahun 2005. Pada tahun 2006, penulis diterima di IPB melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama menjadi mahasiswa, pada tahun 2010 penulis pernah menjadi salah satu bagian dari tim pelaksana Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) di PT Belantara Subur, Kalimantan Timur. Selain itu, penulis pernah terlibat dalam beberapa kepanitian yaitu pada tahun 2010, International Symposium on Forest Monitoring Methodologies for Addressing Climate Change using Alos Palsar, sedangkan pada tahun 2011 Pelatihan Penggunaan Citra Alos Palsar dalam Pemetaan Penutupan Lahan/Hutan, Pelatihan Peserta Wasganis Palembang, dan Pelatihan Peserta Wasganis Papua.

Pada tahun 2008, penulis mengikuti pelaksanaan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap dan Baturaden Jawa Tengah, lalu Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi pada tahun 2009. Setelah itu, pada tahun 2010 penulis mengikuti pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Belantara Subur, Provinsi Kalimantan Timur.


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Nining Puspaningsih, Msi selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, pengarahan, ilmu, kesabaran, motivasi, dan waktu selama penyusunan skripsi.

2. Orang tua penulis Bapak Prof. Ir. Dr. I Nengah Surati Jaya M.Agr dan Ibu Anik Agustiningrum, adik-adik penulis Made Haribawana Wijaya, Luh Miyuki Manispuspaka Triwijaya, Luh Chanti Putri Wijaya, I Wayan Krisna Mukti Tarukan Wijaya serta seluruh keluarga besar penulis atas doa, pengorbanan, dan kesetiaan dalam mendampingi penulis.

3. Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS dan Prof. Dr. Ir. Elias atas bimbingannya.

4. Ir. Sudaryanto dan Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari MS selaku tim penguji atas kebijaksanaan, ilmu, dan motivasi yang diberikan.

5. Pak Hero yang telah meluangkan waktu membaca dan mengoreksi penulisan Skripsi penulis.

6. Bpk. Uus Saeful M. dan Aa Edwine Setia P, S.Hut atas segala kesabaran, ilmu, dan pengarahan yang telah diberikan.

7. Rizka Wulandari atas kebersamaanya dalam mendiskusikan penelitian penulis.

8. Helga Sugiarti atas dukungan dan ilmu yang diberikan dalam penelitian penulis.

9. I Putu Indra Divayana, Edi Ferdinal, Dian Wulansih, Ian, Tebe atas dukungannya.

10. Seluruh dosen dan staf Departemen Manajemen Hutan atas segala ilmu dan bantuannya.

11. Keluarga besar Lab. Remote Sensing dan GIS: Anom Kalbuadi, Fatah, Faris, Risa, Diah Rany, Fitri, Galih, Khoiruzaman, Putri, Daryl, Wisa, Angel, Dian Amaliah, Dian N, Nurindah R, Ratih, Tulang Daulay, Pak Mukalil, Pak Ayub, Pak Kunkun, Bu Eva, Bu Tien, Bunda Mul, Puar, Adek, Eri, Fatia,


(9)

Ucok, Icha, Tatan, Adit, Sani, Monik, Ahsana Riska, Nur Illiyyina Syarif, atas segala dukungan yang diberikan tanpa henti kepada penulis.

12. Keluarga besar base camp Semeru atas segala kebersamaan dan dukungannya.

13. Keluarga besar MNH khususnya MNH 43 atas segala kebersamaan dan dukungannya.

14. Rekan-rekan FORCI Development, Om Bagong, Om Yusup, Mba Wita, Mba Restu, Radit, Apito, Hangga, atas semua motivasinya.

15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas semua bantuan dan dukungannya.


(10)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul Model Spasial Deforestasi di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Periode 1987~ 2000.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berisi gambaran mengenai pemodelan spasial deforestasi untuk melakukan pendugaan lokasi terjadinya deforestasi pada masa yang akan datang di Pulau Lombok.

Penyusunan skripsi ini merupakan wahana bagi penulis untuk melatih keterampilan dan wawasan penulis dalam menyusun sebuah Karya Ilmiah, sehingga penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran, kritik, dan masukan demi perbaikan tulisan ini. penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2011


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

II. METODOLOGI PENELITIAN 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 3

2.2 Data ... ...3

2.3 Perangkat Lunak (Software), Perangkat Keras (Hardware) ... 7

2.4 Alat ... 8

2.5 Pra Pengolahan Citra ... 8

2.5.1 Pemotongan Citra (Cropping) ... 8

2.5.2 Koreksi Geometrik ... 8

2.5.3 Koreksi Radiometrik (Histogram matching)... ... 9

2.6 Analisis Citra ... 9

2.6.1 Skema Klasifikasi... . 9

2.6.2 Metode Klasifikasi... 12

2.7 Pengecekan Lapangan (Ground Check) ... 15

2.8 Pengolahan Citra ... 18

2.8.1 Akurasi Hasil Klasifikasi ... 18

2.9 Pembangunan Model Spasial Deforestasi... 19

2.9.1 Model Spasial Deforestasi ... 19

2.9.2 Pembangunan Peubah ... 20

III. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 3.1 Letak Geografis ... 22

3.2 Iklim ... 22


(12)

xii

Halaman IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Klasifikasi Visual ... 24

4.2 Klasifikasi Digital Menggunakan Metode Klasifikasi Terbimbing ... 32

4.3 Evaluasi Klasifikasi Visual dan Klasifikasi Digital ... 41

4.4 Peubah Deforestasi ... 42

4.5 Pembangunan Model Spasial Deforestasi ... 44

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 47

5.2 Saran ... 47


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Data utama penelitian ... 3

2. Band-band Landsat MSS ... 4

3. Band-band Landsat-TM dan kegunaannya ... 5

4. Karakteristik saluran pada Landsat ETM+ ... 6

5. Kritetia tingkat keterpisahan ... 14

6. Kondisi tutupan lahan di lapangan dan di Citra ... 17

7. Luas area Kabupaten Lombok ... 22

8. Kelas ketinggian Pulau Lombok ... 23

9. Kelas kelerengan Pulau Lombok ... 23

10. Luasan area tutupan lahan dari tahun 1987 ~ 2000 ... 25

11. Hasil uji akurasi klasifikasi visual tahun 1987, 1995, dan 2000 ... 25

12. Matrik kesalahan (matrik konfusi/error matrix) untuk klasifikasi visual tahun 1987 ... 29

13. Matrik kesalahan (matrik konfusi/error matrix) untuk klasifikasi visual tahun 1995 ... 30

14. Matrik kesalahan (matrik konfusi/error matrix) untuk klasifikasi visual tahun 2000 ... 31

15. Separabilitas tahun 1987 ... 32

16. Separabilitas tahun 1995 ... 32

17. Separabilitas tahun 2000 ... 33

18. Hasil uji akurasi klasifikasi terbimbing tahun 1987, 1995, dan 2000 ... 34

19. Matrik kesalahan (matrik konfusi/error matrix) untuk klasifikasi terbimbing tahun 1987 ... 35

20. Matrik kesalahan (matrik konfusi/error matrix) untuk klasifikasi terbimbing tahun 1995 ... 36

21. Matrik kesalahan (matrik konfusi/error matrix) untuk klasifikasi terbimbing tahun 2000 ... 37


(14)

xiv

Halaman

23. Deforestasi dari tahun 1987~1995 ... 42

24. Deforestasi dari tahun 1995~2000 ... 42

25. Hubungan antara deforestasi dengan jarak jalan ... 43

26. Hubungan antara deforestasi dengan tepi hutan ... 43

27. Hubungan antara deforestasi dengan slope ... 44

28. Data hasil model spasial menggunakan IDRISI ... 46


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Lokasi penelitian di Pulau Lombok ... 3

2. Citra Landsat MSS 1987, Citra Landsat TM 1995, dan Citra Landsat ETM+2000 ... 4

3. Layer jaringan jalan, layer PDTK, layer administrasi, dan slope Pulau Lombok... 7

4. Skema kelas penutupan lahan dan hutan di Pulau Lombok ... 10

5. Diagram alur pengolahan klasifikasi visual... 13

6. Diagram alur pengolahan klasifikasi terbimbing ... 15

7. Peta lokasi pengambilan titik sample di Pulau Lombok ... 16

8. Hasil buffering jarak jalan dan tepi hutan ... 20

9. Diagram alur penelitian pesnggunaan lahan dan perubahan lahan ... 21

10. Peta hasil klasifikasi visual di Pulau Lombok tahun 1987 ... 26

11. Peta hasil klasifikasi visual di Pulau Lombok tahun 1995 ... 27

12. Peta hasil klasifikasi visual di Pulau Lombok tahun 1987 ... 28

13. Peta hasil klasifikasi terbimbing di Pulau Lombok tahun 1987 ... 38

14. Peta hasil klasifikasi terbimbing di Pulau Lombok tahun 1995 ... 39

15. Peta hasil klasifikasi terbimbing di Pulau Lombok tahun 2000 ... 40

16. Grafik hubungan antara deforestasi dengan jarak jalan ... 43

17. Grafik hubungan antara deforestasi dengan tepi hutan ... 43

18. Grafik hubungan antara deforestasi dengan slope ... 44

19. Hasil prediksi deforestasi tahun 1995~2000 ... 45


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial yang tinggi. Namun sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk semakin meningkat menyebabkan kebutuhan akan lahan pertanian, pemukiman, industri dan perdagangan juga meningkat. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan hutan. Salah satu faktor penyebab kerusakan hutan adalah masalah sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan.

Sumitro (2000) dan Astika (2000) berpendapat bahwa faktor mendasar yang menyebabkan penjarahan hutan adalah kemiskinan masyarakat sekitar kawasan hutan dan tidak tersedianya lapangan pekerjaan. Selain itu pertambahan jumlah penduduk berdampak pada kelompok usia kerja tetapi tidak diimbangi dengan penyediaan kesempatan kerja. Dengan demikian sebagian masyarakat melakukan penebangan liar dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (Hartanti 2004). Hal ini dapat mendesak kawasan hutan khususnya mengkonversi hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Permasalahan tersebut dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya deforestasi.

Deforestasi adalah perubahan tutupan hutan menjadi bukan hutan yang bersifat permanen. Menurut FAO (Food and Agriculture Organization) deforestasi adalah konversi hutan menjadi penggunaan lain atau pengurangan berjangka panjang atas penutupan tajuk di bawah 10 persen. Pola deforestasi sangat beragam dan bervariasi yang dipengaruhi oleh kondisi biofisik, sosial ekonomi masyarakat dan politik di Pulau Lombok. Oleh karena itu deforestasi perlu dimonitoring dan dievaluasi sehingga pola spasial deforestasi dan faktor-faktor penyebab terjadinya deforestasi dapat diketahui melalui model prediksi spasial. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mengindentifikasi serta meramalkan laju spasial mengukur deforestasi adalah menggunakan pemodelan logistik pada Sistem Informasi Geografis (SIG).

Penelitian-penelitian tentang deforestasi telah banyak dilakukan oleh penulis-penulis sebelumnya (Lukman 2004; Hartanti 2004). Akan tetapi kegiatan


(17)

penelitian yang terkait pemodelan spasial logistik masih belum banyak dilakukan. Beberapa prediksi deforestasi dapat dilihat pada penelitian Lukman (2004) tentang analisis spasial degradasi hutan dan deforestasi, dan Anita (2004) tentang monitoring dan modeling penebangan liar guna mendukung proses sertifikasi hutan. Pada penelitian ini dikaji lebih lanjut tentang deforestasi melalui pembangunan model spasial prediksi deforestasi.

Lokasi penelitian dilakukan di Pulau Lombok dengan rentang waktu 1987~2000. Pada rentang waktu tersebut terjadi masa reformasi dimana laju deforestasi mencapai 2,8 juta/ha per tahun (Dinas Kehutanan 2008).

1.2Tujuan

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk membangun model spasial deforestasi di Pulau Lombok untuk rentang waktu 1987~2000 dengan mempertimbangkan faktor biofisik kawasan. Penelitian ini juga mempunyai tujuan khusus yaitu untuk mengindentifikasi peubah-peubah signifikan yang mempengaruhi deforestasi serta memprediksi kawasan terjadinya deforestasi.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian dari tahun 1987~2000 dapat dijadikan sebagai dasar pencegahan deforestasi dan pengambilan kebijakan dalam perencanaan hutan. Selain itu memberikan manfaat sebagai acuan Measurement Reporting Vervication (MRV) kehutanan serta dasar penyusunan Rencana pengelolaan hutan.


(18)

BAB II

METODE PENELITIAN

2.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, meliputi seluruh Kabupaten Lombok (Gambar 1). Pengambilan data di lapangan dilakukan mulai tanggal 14 ~ 22 Agustus 2010. Sedangkan pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Remote Sensing dan GIS Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Agustus 2010 ~ Juli 2011.

Gambar 1 Lokasi penelitian di Pulau Lombok.

2.2Data

Data utama yang digunakan pada penelitian adalah data citra satelit Landsat multi temporal (Tabel 1 dan Gambar 2) sebagai berikut :

Tabel 1 Data utama penelitian

Data Citra Perekaman Resolusi (m)

Landsat MSS Landsat TM Landsat ETM+

8 Agustus 1987 27 Juni 1995 19 Agustus 2000

79 30 30


(19)

Gambar 2 (a) Citra Landsat MSS 1987, (b) Citra Landsat TM 1995, (c) Citra Landsat ETM+ 2000.

Data utama yang digunakan memiliki karakteristik sebagai berikut :

1) MSS (Multispectral Scanning)

MSS merupakan suatu alat scanning mekanik yang merekam data dengan cara men-scanning permukaan bumi dalam jalur atau baris tertentu. Karakteristik citra Landsat MSS disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Band-band Landsat MSS

Band Panjang

Gelombang (µm)

Kegunaan Spektral IFOV

4 5 6 7 0,5-0,6 0,6-0,7 0,7-0,8 0,8-1,1

Didesain untuk mengukur perbedaan

refleksi gelombang hijau vegetasi dan penilaian vigour.

Didesain untuk mendeteksi penyerapan klorofil pada tumbuhan yang berbeda Berguna dalam mengindentifikasi tipe vegetasi, vigour dan kandungan biomassa; deliniasi badan air; dan kelembaban tanah. Berguna dalam mengindentifikasi tipe vegetasi, vigour dan kandungan biomassa; deliniasi badan air; dan kelembaban tanah.

Hijau

Merah NIR

NIR

79m x 79m

79m x 79m 79m x 79m

79m x 79m Sumber: Remote sensing Digital an Introduction Image Analysis (Richards 1993)

(b) (c)


(20)

2) Landsat TM (Thematic Mapper)

Landsat TM merupakan alat scanning mekanis yang mempunyai resolusi spektral, spasial dan radiometrik. Karakteristik Landsat TM disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Band-band Landsat-TM dan kegunaannya (Lillesand dan Kiefer 1997)

Band Panjang Gelombang

(µm)

Spektral Kegunaan IFOV

1 0,45 – 0,52 Biru Berguna dalam identifikasi objek

badan air, pemetaan perairan di daerah

pesisir, membedakan tanah dan

vegetasi dan pemetaan tipe hutan serta fitur-fitur budaya.

30m x 30m

2 0,52 – 0,60 Hijau Didesain untuk mengukur puncak

reflektansi gelombang hijau vegetasi dan pendugaan vigour.

30m x 30m

3 0,63 – 0,69 Merah Didesain untuk mendeteksi

penyerapan klorofil pada tumbuhan yang berbeda

30m x 30m

4 0,76 – 0,90 Infra

merah dekat

Berguna dalam mengindentifikasi tipe vegetasi, vigour dan kandungan biomassa; deliniasi badan air; dan kelembaban tanah.

30m x 30m

5 1,55 – 1,75 Infra

merah

Berguna dalam indikasi kelembaban vegetasi.

30m x 30m

6 10,4 – 12,5 Infra

merah thermal

Berguna dalam analisis stress vegetasi dan aplikasi pemetaan thermal.

120m x 120m

7 2,08 – 2,35 Infra

merah sedang

Berguna dalam diskriminasi mineral dan tipe bebatuan.

30mx30m

Sumber: Lillesand dan Kiefer (1997)

3) Landsat ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus)

Ciri khas dari citra Landsat 7 dengan sensor ETM+ adalah jumlah band yang terdiri dari 8 band. Band-band yang terdapat pada sensor ETM+ mempunyai kemampuan dan karakteristik yang berbeda-beda dalam menangkap gelombang elektromagnetik dan dipancarkan oleh obyek di permukaan bumi. Karakteristik Landsat ETM+ disajikan pada Tabel 4.


(21)

Tabel 4 Karakteristik saluran pada Landsat ETM+ Saluran Panjang Gelombang (µm) Resolusi

Spasial A p l i k a s i

1 0,45 – 0,52 30m x 30m Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan

lahan, tanah, dan vegetasi. Pembedaan vegetasi dan lahan.

2 0,52 – 0,60 30m x 30m Pengamatan puncak pantulan vegetasi

pada saluran hijau yang terletak di antara dua saluran penyerapan. Pengamatan ini

dimaksudkan untuk membedakan

tanaman sehat terhadap tanaman yang tidak sehat.

3 0,63 – 0,69 30m x 30m Saluran terpenting untuk membedakan

jenis vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu daerah penyerapan klorofil dan memudahkan pembedaan antara lahan terbuka terhadap lahan bervegetasi.

4 0,76 – 0,90 30m x 30m Saluran yang peka terhadap biomasa

vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis tanaman, memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air.

5 1,55 – 1,75 30m x 30m Saluran penting untuk pembedaan jenis

tanaman, kandungan air pada tanaman, kondisi kelembaban tanah.

7 2,08 – 2,35 30m x 30m Untuk membedakan formasi batuan dan

untuk pemetaan hidrotermal.

6 10,40 – 12,50 120m x 120m Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pembedaan kelembaban tanah, dan keperluan lain yang berhubungan deengan gejala termal.

8 (panchro

matic)

0,52 – 0,90 15m x 15m Band ini digunakan untuk bergabung

dengan band spektral lain untuk

enchamnce resolusi spasial data.


(22)

Untuk pembangunan model spasial penelitian ini menggunakan data-data pendukung berupa data vektor sebagai berikut :

1) Layer Jaringan Jalan Pulau Lombok (Gambar 3a)

2) Layer PDTK (Peta Dasar Tematik Kehutanan) Lombok (Gambar 3b) 3) Layer Administrasi Pulau Lombok (Gambar 3c)

4) Layer Slope Pulau Lombok (Gambar 3d)

Gambar 3 (a) Layer jaringan jalan Pulau Lombok, (b) Layer PDTK Pulau Lombok, (c) Layer administrasi Pulau Lombok, (d) Layer slope Pulau Lombok.

2.3Perangkat Keras (Hardware) dan Perangkat Lunak (Software)

Untuk pengolahan dan analisis data baik spasial maupun bukan spasial, penelitian ini menggunakan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) berupa :

1) Laptop 2) Printer

(a) (b)


(23)

3) ERDAS Imagine 9.1 4) Arcview 3.2

5) ArcGis 9.3

6) IDRISI Kalimanjaro

2.4Alat

Pada penelitian alat yang digunakan untuk survey lapangan sebagai berikut : 1) GPS

2) Kamera digital

3) Daftar Isian (Tally sheet)

2.5 Pra-pengolahan Citra

Penyiapan data mentah sebelum dikelola perlu disiapkan, hal ini berpengaruh pada hasil yang ingin dicapai. Oleh karena itu data yang diambil baik dari lapangan langsung (data primer) maupun data sekunder harus mengikuti prosedur dan reliable.

2.5.1 Pemotongan Citra (Cropping)

Cropping citra (pemotongan citra) dilakukan untuk memisahkan areal yang menjadi fokus penelitian yakni Pulau Lombok yang termasuk dalam kawasan Indonesia. Areal yang dipotong harus disesuaikan dengan batas pada Peta Dasar Tematik Kehutanan (PDTK) Pulau Lombok Indonesia.

2.5.2 Koreksi Geometrik

Pada data yang sudah dilakukan pemotongan citra perlu dikoreksi geometrik. Hal ini dilakukan karena pada data citra yang digunakan memiliki koordinat yang berbeda, sehingga diubah menjadi koordinat UTM dan berdatum WGS 84.

Koreksi geometrik (rektifikasi) adalah suatu proses melakukan transformasi dari satu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Oleh karena posisi piksel pada output tidak sama dengan posisi piksel input maka piksel-piksel yang digunakan untuk citra perlu di-resampling kembali. Resampling adalah suatu


(24)

proses melakukan ekstrapolasi nilai data untuk piksel-piksel pada sistem grid yang baru dari nilai piksel citra aslinya.

Koreksi Geometrik merupakan proses yang mutlak dilakukan apabila posisi citra akan disesuaikan atau ditumpangsusunkan dengan peta-peta atau citra lainnya yang mempunyai sistem proyeksi peta. Tahapan melakukan rektifikasi yakni :

1) Tahapan awal memilih titik control lapangan (Ground Control Point). GCP tersebut sedapat mungkin adalah titik-titik atau obyek yang tidak mudah berubah dalam jangka waktu yang lama. GCP harus tersebar merata pada citra yang akan dikoreksi. GCP yang dibuat pada koreksi geometrik sebanyak 10 titik.

2) Selanjutnya menghitung kesalahan (Root Mean Squared Error/ RMSE) dari GCP yang terpilih. Umumnya tidak boleh lebih besar dari 0,5 piksel. Kesalahan rata-rata dari rektifikasi ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

RMS error = ( � − �)�+ ( � − �)�

Selanjutnya masing-masing GCP dapat dirumuskan :

Ri = ���+ ��� Dimana :

Ri = RMSE untuk GCP ke-i

XRi dan YRi = kesalahan kearah X dan Y untuk GCP ke-i RMSE pada penelitian ini adalah sebesar 0,037.

2.5.3 Koreksi Radiometrik (Histogram Matching)

Pada data penelitian dilakukan perbaikan radiometrik karena memiliki atmosfir yang berbeda. Koreksi radiometrik adalah teknik penyamaan kontras citra dengan memperbaiki nilai dari individu-individu piksel pada citra.

2.6 Analisi Citra 2.6.1 Skema Klasifikasi

Hasil identifikasi objek di lapangan, diperoleh 11 kelas penutupan lahan dan hutan , yaitu: hutan primer, hutan sekunder, hutan mangrove, perkebunan (kelapa, kopi, jarak, dan dadap), sawah, Pertanian Lahan Kering-PLK (tembakau, kacang-kacangan, cabai, dan jagung), tanah terbuka, pemukiman, bandar udara, badan air


(25)

(danau, sungai, dan waduk), serta tambak. Skema pengkelasan penutupan lahan dan hutan di Pulau Lombok dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Skema kelas penutupan lahan dan hutan di Pulau Lombok. Tutupan lahan dan penggunaan lahan di Lombok secara detil dijelaskan sebagai berikut :

1) Hutan Primer: hutan primer di Pulau Lombok terletak di lereng atas Gunung Rinjani, pada citra terlihat warna hijau tua, tekstur kasar, jelas, dan pola terlihat kompak.

2) Hutan Sekunder: hutan sekunder di Pulau Lombok terdiri dari Hutan Kemasyarakatan (HKM), kebun campuran dengan jenis tanaman buah-buahan dan tanaman berkayu. Lokasi hutan ini pada umumnya terletak jauh dari pemukiman dan jalan besar, hanya terdapat jalan-jalan setapak. Pada citra mempunyai warna hujau muda, tekstur kasar, jelas, dan pola tidak teratur

3) Hutan Manggrove: hutan mangrove di Pulau Lombok mempunyai luasan yang kecil yaitu 2779 ha atau 0,61% dari total area di Pulau Lombok.

Vegetasi

Hutan

Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Mangrove

Pertanian

Sawah Pertanian Lahan

Kering Perkebunan

Non Vegetasi

Badan Air

Tambak Danau Sungai Pemukiman

Tanah Terbuka Bumi


(26)

Terletak di sebagian pantai-pantai, yaitu: di Lombok Barat, di Kecamatan Sekotong Tengah, di Lombok Tengah di Kecamatan Pujut dan Praya Timur, serta di Lombok Timur di kecamatan Jerawu. Pada citra terlihat warna hijau tua dikelilingi warna biru. Tekstur halus, dan pola tidak teratur mengikuti garis pantai.

4) Badan Air: badan air pada Lombok pada tahun 2000 memiliki luasan 2506 ha. Namun badan air akan surut ketika musim kemarau. Badan air ini sebagian besar digunakan untuk irigasi sawah. Selain itu warga juga membuat waduk yang digunakan juga untuk irigasi dan sumber air. Pada citra akan tampak berwarna biru tua, tekstur jelas, kasar, dan pola tidak teratur.

5) Tambak: tambak di Pulau Lombok memiliki luas areal tambak yang kecil. Lokasi tambak ini sebagian besar terdapat di Lombok Timur dan Lombok Tengah. Pada citra terlihat berwarna biru menyerupai badan air namun terdapat bentuk petak-petak, secara tesktur teratur, jelas dan pola mengikuti garis pantai.

6) Perkebunan: perkebunan di Pulau Lombok, luasan cukup besar tergantung pada musim tanamnya. Hal ini dikarenakan untuk mengoptimalkan lahan serta meningkatkan pendapatan para petani. Jenis yang ditanam pada perkebunan pada umumnya, yaitu: kelapa, jarak, dan kopi. Letak perkebunan ini pada umunya dekat dengan pemukiman penduduk. Pada citra tampilan perkebunan akan terlihat berwarna hijau kekuningan, tekstur halus, dan pola tidak tertur.

7) PLK: sebagian besar lahan di Pulau Lombok digunakan untuk pertanian, baik di wilayah Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur. Letak PLK ini terdapat pada topografi yang landai (kurang lebih 500 mdpl). Jenis PLK yang ditanam, yaitu: tembakau, kacang-kacangan, jagung, dan cabe. Pada citra berwarna pink (merah muda), tekstur halus, dan polanya tidak teratur.

8) Tanah Terbuka: tanah terbuka di Pulau Lombok sebagian besar terdapat di sekitar lembah Gunung Rinjani yang memiliki luasan 16.310 ha. Pada tutupan lahan yang termasuk dalam tanah terbuka ini, yaitu: padang rumput


(27)

dan daerah pasang surut di tepi pantai. Pada citra akan terlihat berwarna kuning terang, ungu kebiru-biruan, tekstur kasar, dan pola tidak teratur. 9) Bandara: bandara terletak di Lombok Barat di Kecamatan Mataram dan

Kecamatan Ampenan Kota Mataram. Namun pada tahun 2010, sedang dibangun bandara Internasional di wilayah Lombok Tengah. Pada citra akan terlihat berwarna pink muda, bentuk memanjang, dan polanya teratur. 10) Sawah: sebagian besar wilayah Pulau Lombok digunakan sebagai lahan

pertanian sawah, yang memiliki luasan 46.473 ha. Pada musim kemarau lahan sawah akan di manfaatkan oleh masyarakat untuk ditanami tembakau, kacang-kacangan, jagung, dan cabai. Pada citra akan terlihat berwarna pink, tekstur halus, dan memiliki pola yang tidak teratur.

11) Pemukiman: pada pemukiman di Pulau Lombok memiliki luasan 9.685 ha dan pada pembangunan pemukiman di Pulau Lombok tidak terdapat gedung-gedung yang tinggi. Pada citra akan terlihat berwarna ungu kemerahan dan berbentuk spot-spot yang tersebar, tekstur kasar, dan pola tidak teratur.

2.6.2 Metode Klasifikasi 2.6.2.1 Klasifikasi Visual

Klasifikasi visual atau analisis secara visual merupakan suatu kegiatan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi obyek-obyek permukaan bumi yang tampak pada citra, dengan cara mengenalinya atas dasar karakteristik spasial, spektral, dan temporal. Elemen yang digunakan dalam interpretasi terdiri atas rona, warna, bentuk, ukuran, tekstur, pola, situs, dan asosiasi. Citra yang digunakan dalam interpretasi visual ini menggunakan periode tahun 1987, 1995 dan 2000.

Interpretasi visual dilakukan untuk mendapatkan gambaran awal dalam mengindetifikasi pola sebaran, penentuan jumlah kelas penutupan lahan dan tipe-tipe penutupan lahan yang ada di Pulau Lombok. Pengetahuan mengenai penutupan lahan ini dibangun melalui data lapangan yang telah dikumpulkan. Data yang dimaksud adalah data berupa foto dan koordinat titik-titik hasil pemeriksaan lapangan yang berasal dari survei lapangan serta pemanfaatan


(28)

Google earth. Secara ringkas alur pengolahan kalsifikasi visual disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Diagram alur pengolahan klasifikasi visual.

2.6.2.2 Klasifikasi Digital

Berdasarkan teknik pendekatannya, klasifikasi dibedakan atas klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) dan terbimbing (supervised classification). Penelitian ini menggunakan klasifikasi terbimbing dimana klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analisis (supervised). Klasifikasi terbimbing merupakan proses klasifikasi dengan pemilihan kategori informasi yang diinginkan dan memilih training area untuk tiap kategori penutupan lahan yang mewakili sebagai kunci interpretasi (Purwadhi 2001). Kriteria pengelompokan kelas ditetapkan berdasarkan penciri kelas (signature class) yang diperoleh melalui pembuatan training area. Penciri kelas adalah satu set data yang diperoleh dari suatu training area, ruang fitur ( feature space ) atau klaster (Jaya 2007). Pada penelitian ini alur pengolahan klasifikasi terbimbing disajikan pada Gambar 6.

Mulai Koreksi Geometrik

Skema Klasifikasi Interpretasi Visual Pengecekan Lapangan

Uji Akurasi

Hasil Klasifikasi Visual

Selesai Elemen Penafsiran :

rona, warna, bentuk, ukuran, tekstur, pola, situs, dan asosiasi

Data Pendukung :  Google map  Tutupan lahan

tahun 2008  Layer jalan


(29)

2.6.2.2.1 Training Area

Dalam klasifikasi terbimbing sperlu membuat kelas-kelas yang diinginkan dan selanjutnya membuat signature atau penciri yang sesuai dengan data yang digunakan. Dalam hal ini diperlukan suatu cara untuk mendapatkan data-data yang mewakili setiap kelas yang ingin diekstrak. Klasifikasi ini sangat sesuai, jika ingin membuat kelas-kelas yang jelas kita inginkan. Training area (area contoh) diperlukan pada setiap kelas yang akan dibuat, dan diambil dari area yang cukup homogen.

2.6.2.2.2 Separabilitas

Separabilitas dari penciri kelas adalah ukuran statistik antar dua kelas. Separabilitas ini dapat dihitung untuk setiap kombinasi band. Ukuran ini sekaligus digunakan untuk mengetahui kombinasi band mana saja yang memberikan separabilitas yang terbaik atau menentukan jumlah kelas pada jumlah band tertentu. Untuk mengetahui suatu lahan layak digabung atau tidak berdasarkan kriteria tingkat keterpisahan terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5 Kritetia tingkat keterpisahan

Nilai Transformasi Keterpisahan Keterangan 2000

1900 ~ < 2000 1700 ~< 1900

1600 ~<1800 <1600

Sempurna (excellent) Sangat baik (good) Baik (fair)

Cukup baik (poor)

Tidak terpisahkan (inseperable)


(30)

Gambar 6 Diagram alur pengolahan klasifikasi terbimbing.

2.7 Pengecekan Lapangan (Ground Check)

Kegiatan pengecekan lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi perubahan tutupan lahan pada saat ini, dimana sebelumnya telah dilakukan interpretasi citra landsat terlebih dahulu yang digunakan sebagai acuan untuk pengecekan di lapangan.

Mulai Citra digital

Histogram maching

Skema klasifikasi

Training area

Separability Klasifikasi

Akurasi

Evaluasi

Penggabungan tutupan lahan

Peta klasifikasi Selesai

Tidak Ada Ada


(31)

Gambar 7 Peta lokasi pengambilan titik sample di Pulau Lombok.

Dari hasil survei di lapangan dilakukan 82 titik (Gambar 7) dengan kelas penutupan lahan yang mampu dibedakan melalui interpretasi visual yang terdiri dari 11 kelas, antara lain: hutan primer, hutan sekunder, hutan mangrove, badan air, tambak, sawah, Pertanian Lahan Kering (PLK), perkebunan, pemukiman, bandara, dan tanah terbuka. Areal yang termasuk dalam PLK ini mewakili jagung (Zea mays L), tembakau (Nicotiana tabacuwi L), kacang tanah (Arachis hipogaea L), cabe (Capsicum frutescens L). Pada tutupan lahan di Pulau Lombok yang termasuk dalam perkebunan mewakili dadap (Erythrina sp), kelapa (Cocos nucifera L), jarak (Ricinus communis L), dan kopi (Coffea Arabica L).

Penggabungan pada masing-masing tutupan lahan ini dilakukan karena luas areal pada masing-masing kelas penutupan lahan tersebut relatif kecil, sehingga pemisahan masing-masing penutupan lahan tersebut sulit untuk dilakukan. Kenampakan kelas penutupan lahan hasil pengecekan lapangan (ground check) foto di lapangan disajikan dalam Tabel 6.


(32)

Tabel 6 Kondisi tutupan lahan di lapangan dan citra

No Gambar Lapangan Gambar Citra Deskripsi dilapangan

dan citra

1 Sawah

Sawah (L3)

Lapangan: Aspek: - ; Fisiografi: datar; Tapak: kering;

Citra: Rona: kuning bercak-bercak biru gelap dan hijau; Pola: tidak teratur

2 Perkebunan

Perkebunan (L48)

Lapangan: Aspek: - ; Fisiografi: datar; Tapak: kering;

Citra: Rona: hijau kekuningan; Tekstur: halus

3 Tanah terbuka

Tanah terbuka (L47)

Lapangan: Aspek: - ; Fisiografi: datar; Tapak: kering;

Citra: Rona: putih kekuningan, ungu kebiruan; Tekstur: kasar tidak teratur

4 Badan air

Badan air (L124)

Lapangan: Aspek: - ; Fisiografi: datar; Tapak: basah;

Citra: Rona: biru, biru gelap; Tekstur: halus

5 PLK

PLK (L5)

Lapangan: Aspek: - ; Fisiografi: datar; Tapak: kering;

Citra: Rona: kuning bercak-bercak merah muda dan biru; Tekstur: halus; Pola: tidak teratur

6 Pemukiman

Pemukiman (L127)

Lapangan: Aspek: - ; Fisiografi: datar; Tapak: kering;

Citra: Rona: ungu kemerahan. Bentuk: spot-spot yang tersebar; Tekstur: kasar; Pola: tidak teratur


(33)

Tabel 6 Lanjutan

No Gambar Lapangan Gambar Citra Deskripsi dilapangan

dan citra

7 Tambak

Tambak (L119)

Lapangan: Aspek: - ; Fisiografi: datar; Tapak: kering;

Citra: Rona: biru; Bentuk: petak-petak; Tekstur: teratur dan jelas; Pola: mengikuti garis pantai

8 Hutan sekunder

Hutan sekunder (L21) Lapangan: Aspek: - ; Fisiografi: datar; Tapak: kering;

Citra: Rona: hijau muda; Tekstur: kasar dan jelas; Pola: tidak teratur

9 Bandara

Bandar Udara (L024)

Lapangan: Aspek: - ; Fisiografi: datar; Tapak: kering;

Citra: Rona: merah muda terang; Bentuk: memanjang; Pola: teratur

2.8 Pengolahan Citra

2.8.1 Akurasi Hasil Klasifikasi

Klasifikasi dianalisis menggunakan suatu matrik kontingensi adalah suatu matrik bujur sangkar yang memuat jumlah piksel yang diklasifikasi. Matrik ini juga sering disebut dengan “error matrix” atau “confusion matrix”. Secara konvensional, akurasi klasifikasi biasanya diukur berdasarkan persentase jumlah piksel yang dikelaskan secara benar dibagi dengan jumlah total piksel yang digunakan (jumlah piksel yang terdapat di dalam diagonal matik dengan jumlah seluruh piksel yang digunakan) (Jaya 2010). Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

OA = ��=1���

� 100% dimana:

OA = Overall Accuracy


(34)

N = banyaknya piksel dalam contoh r = jumlah baris atau kolom

Saat ini, akurasi yang dianjurkan untuk digunakan adalah akurasi Kappa. Akurasi menggunakan semua elemen dalam matrik. Secara matematik, akurasi Kappa ini dihitung dengan rumus sebagai berikut:

K =� ��=1���− ��=1��+�+� �2− �

�+�+� 100%

dimana:

K = Kappa Accuracy

��� = nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-I dan kolom ke-i

�+� = jumlah piksel dalam kolom ke-i

��+ = jumlah piksel dalam baris ke-i N = banyaknya piksel dalam contoh r = jumlah baris atau kolom

2.9Pembangunan Model Spasial Deforestasi 2.9.1 Model Spasial Deforestasi

Pada penelitian analisis pembangunan model spasial dapat digunakan sebagai prediksi deforestasi. Bentuk model yang digunakan pada penelitian ini adalah model logistik (Eastman 2003). Dimana kode 1 menyatakan terjadinya deforestasi dan kode 0 menyatakan tidak terjadinya deforestasi. Data yang digunakan pada model spasial deforestasi adalah data penggunaan lahan tahun 1987 dan data penggunaan lahan tahun 1995. Variabel bebas yang digunakan pada model persamaan logistik adalah kelerengan, tepi hutan, dan jarak jalan. Dari variabel bebas yang digunakan merupakan peubah-peubah yang mempengaruhi deforestasi.

Analisis ini biasanya digunakan dalam mengestimasi model yang menggambarkan hubungan antara satu atau lebih variabel bebas serta dapat meramalkan terjadinya deforestasi. Persamaan model spasial deforestasi dapat dirumuskan sebagai berikut :

Logit ( p ) = b0+b1x1+b2x2+b3x3+e Rumus ini dapat juga ditulis sebagai berikut :

Ln( p/1-p ) = b0+b1x1+b2x2+b3x3+e dimana:

p = peluang kejadian deforestasi (0 atau 1)


(35)

b0 = konstanta b1~b3 = koefisien regresi e = error

2.9.2 Pembangunan Peubah

Peubah tak bebas deforestasi diperoleh dari overlay antara hasil klasifikasi dari tahun yang berbeda yakni tahun 1987 dan tahun 1995. Sedangkan peubah bebas, yaitu: jarak dari tepi hutan, dan jarak dari jalan diperoleh dari operasi buffering dengan hasil Gambar 8. Untuk peubah kelerengan diperoleh dari TIN yang derive slope kemudian diimport menjadi raster menggunakan Idrisi.

Gambar 8 Hasil buffering jarak jalan dan tepi hutan, (a) Jarak tepi hutan, (b) Jarak jalan.


(36)

Secara ringkas alur dari penelitian disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Diagram alur penelitian pesnggunaan lahan dan perubahan lahan.

Mulai Persiapan

Cropping Pemodelan Spasial Deforestasi Prediksi Deforestasi Deforestasi 1987-1995 Deforestasi 1995-2000 Operasi Spasial Deforestasi Selesai Data Pendukung :

Google map

 Tutupan lahan tahun 2008  Layer jalan Citra Landsat 2000 Citra Landsat 1995 Citra Landsat 1987 Peta Tuplah 2000 Peta Tuplah 1995 Peta Tuplah 1987 Pemeriksaan lapangan (Ground check) Batas Administrasi Layer jalan Pdtk Lombok Klasifikasi Digital Koreksi Radiometrik Koreksi Geometrik Training Area Klasifikasi Visual Elemen Penafsiran


(37)

BAB III

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

3.1 Letak Geografis

Pulau Lombok memiliki luas area 4738.7 km2. Secara Geografik Pulau Lombok terletak antara 115o48’ - 116o45’ Bujur Timur dan 8o12’ - 8o57’ Lintang Selatan.

Batas wilayah Pulau Lombok :

Sebelah Utara : Laut Jawa dan Laut Flores Sebelah Selatan : Samudera Indonesia

Sebelah Barat : Kabupaten Lombok/Provinsi Bali. Sebelah Timur : Selat Sape/Provinsi NTT

Pulau Lombok mempunyai 3 kabupaten dan 1 kota, luasan wilayah tersebut disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Luas area Kabupaten Lombok

No Kabupaten Lombok Luas area (km2)

1 Lombok Barat 1253,335

2 Lombok Tengah 1427,65

3 Lombok Timur 1993,675

4 Mataram 64,04

Total 4738,7

Sumber:(KIPCCF and FFBAU 2011)

3.2 Iklim

Berdasarkan data statistik dari Badan Meteorologi dan Klimatologi, suhu maksimum berkisar antara 30,2oC sampai 32,7oC dan suhu minimum antara 21,3oC sampai dengan 24,7oC. Suhu tertinggi terjadi pada bulan Oktober, sedangkan suhu terendah pada bulan Juli. Pada Pulau Lombok relatif tinggi kelembabannya yakni 75 ~85 % (KIPCCF and FFBAU 2011).


(38)

3.3 Topografi

Pulau Lombok memiliki ketinggian yang berbeda dari dataran rendah (<500 mdpl) sampai dataran tinggi (>3500 mdpl). Data ketinggian dan kelerengan Pulau Lombok dapat dilihat pada Tabel 8 dan 9 berdasarkan data per kabupaten (KIPCCF and FFBAU 2011).

Tabel 8 Kelas ketinggian Pulau Lombok

Kabupaten Ketinggian(mdpl) Lombok Barat(ha) Lombok Tengah(ha) Lombok

Timur(ha) Mataram(ha) Total(ha)

<500 130283,85 106274,84 94811,23 6081,59 337451,53

500-1000 27473,02 11045,73 23093,27 61612,02

1000-1500 6312,68 4781,56 16812,97 27907,21

1500-2000 3790,99 2491,90 9201,58 15484,48

2000-2500 3818,41 1430,59 4257,09 9506,09

2500-3000 701,63 267,89 1593,81 2563,34

3000-3500 587,29 587,29

>3500 28,34 28,34

Total 172380,58 126292,54 150385,62 6081,59 455140,34

Sumber: (KIPCCF and FFBAU 2011)

Tabel 9 Kelas kelerengan Pulau Lombok

Kabupaten Kelerengan (%) Lombok Barat(ha) Lombok Tengah(ha) Lombok

Timur(ha) Mataram(ha) Total(ha)

0-8 % 86474,47 101449,13 97162,17 6081,59 291167,37

8-15 % 32741,20 15197,04 19400,16 67338,42

15-25 % 37262,21 7235,74 17457,08 61955, 04

25-40 % 14155,62 2073,41 12619,51 28848,55

> 40% 1758,02 338,07 3735,03 5831,12

Total 172391,54 126293,41 150373,96 6081,59 455140,51


(39)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Klasifikasi Visual

Hasil klasifikasi visual tutupan lahan di Pulau Lombok, meliputi: badan air, bandara, hutan mangrove, hutan primer, hutan sekunder, lahan terbangun, perkebunan, Pertanian Lahan Kering (PLK), sawah, tambak, dan tanah terbuka (Gambar 10, 11, dan 12). Areal yang termasuk dalam PLK, yaitu: jagung (Zea mays L), tembakau (Nicotiana tabacuwi L), kacang tanah (Arachis hipogaea L), cabe (Capsicum frutescens L). Pada tutupan lahan di Pulau Lombok dan yang termasuk dalam perkebunan mewakili dadap (Erythrina sp), kelapa (Cocos nucifera L), jarak (Ricinus communis L), dan kopi (Coffea Arabica L). Penggabungan pada masing-masing tutupan lahan ini dilakukan karena luas areal pada masing-masing kelas penutupan lahan tersebut relatif kecil, sehingga pemisahan masing-masing penutupan lahan tersebut sulit untuk dilakukan. Luasan untuk kelas penggunaan lahan di Pulau Lombok disajikankan pada Tabel 10.

Pada tahun 1987 tutupan lahan yang paling dominan adalah PLK (48.61%), dan selanjutnya diikuti oleh luas kelas tutupan lahan hutan sekunder (20,73%) dan hutan primer (11,99%) (Tabel 10). Tingkat kelas tutupan lahan sawah di Pulau Lombok juga memiliki luasan yang cukup besar, pada tahun 1987 memiliki luasan sekitar 49379 ha (10,8%) (Tabel 10). Namun pada tahun 1995 dan 2000 mengalami penurunan luasan hutan sekunder dan hutan primer. Pada hutan sekunder tahun 1995 dan 2000 sebesar 20,56% dan 13,88% (Tabel 10), sedangkan pada hutan primer sebesar 11,25% dimana pada tahun 1995 sampai 2000 tidak mengalami penurunan (Tabel 10).

Pada sawah di Pulau Lombok tergantung pada musimnya, jika sedang musim kemarau lahan sawah tersebut dapat dialihfungsikan sebagai PLK, dan jika pada musim hujan PLK bisa dialihfungsikan menjadi sawah, oleh karena itu sawah dan PLK pada Pulau Lombok terjadi perubahan yang signifikan.

Pada hasil ground check ditemukan bahwa hampir semua tanah terbuka yang tampil pada gambar citra berada dalam lahan pertanian. Penelitian ini juga


(40)

menemukan bahwa sangat sedikit tanah terbuka yang diidentifikasi sebagai tanah terlantar, penambangan kerikil, pantai, tanah longsor, dan lain-lain.

Tabel 10 Luasan area tutupan lahan dari tahun 1987 ~ 2000 Tutupan Lahan

Area

1987 1995 2000

Ha % Ha % Ha %

PLK 222238 48,61 221948 48,54 248677 54,39

Badan Air 2138 0,47 2558 0,56 2506 0,55

Bandara 39 0,01 64 0,01 64 0,01

Hutan Mangrove 2790 0,61 2779 0,61 2779 0,61

Hutan Primer 54818 11,99 51454 11,25 51454 11,25 Hutan Sekunder 94781 20,73 94025 20,56 63446 13,88

Pemukiman 7773 1,71 8252 1,8 9225 2,02

Perkebunan 9222 2,02 12017 2,63 12009 2,63

Sawah 49379 10,8 48170 10,53 47512 10,39

Tambak 239 0,05 252 0,06 315 0,07

Tanah Terbuka 13825 3,02 15722 3,44 19256 4,21

Total 457241 100 457241 100 457241 100

Hasil dari uji akurasi klasifikasi visual menggunakan matrik kesalahan diperoleh nilai overall accuracy dan kappa accuracy (Tabel 12, Tabel 13, dan Tabel 14). Pada Tabel 11 memperlihatkan bahwa nilai akurasi hasil klasifikasi sangat tinggi pada tahun 2000 overall accuracy 87,80% Kappa Accuracy 84,88% hal ini disebabkan perbedaan waktu antara ground chek dan citra yang diklasifikasi relatif dekat jika dibandingkan dengan tahun 1987 dan 1995.

Hasil akurasi klasifikasi citra tahun 1987 dan 1995 relatif rendah karena meskipun kualitas citra bagus terdapat perbedaan waktu yang sangat jauh antara ground chek dan tahun citra. Hasil akurasi terendah adalah klasifikasi citra pada tahun 1987 yaitu Overall Accuracy sebesar 85,37% dan Kappa Accuracy sebesar 81,85%.

Tabel 11 Hasil uji akurasi klasifikasi visual tahun 1987, 1995, dan 2000 No Tahun Overall Accuracy (%) Kappa Accuracy (%)

1 1987 85,37 81,85

2 1995 86,59 83,36


(41)

(42)

(43)

(44)

Tabel 12 Matrik kesalahan (matrik konfusi/error matrix) untuk klasifikasi visual tahun 1987

Data Referensi Klasifikasi

C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 C11 Total User Accuracy UA %

Pemukiman (C1) 21 1 1 23 0,91 91

Hutan Sekunder (C2) 7 1 8 0,88 88

PLK (C3) 2 1 3 0,67 67

Sawah(C4) 24 24 1,00 100

Perkebunan (C5) 1 1 6 8 0,75 75

Bandara (C6) 1 1 0 0

Tambak (C7) 1 2 3 0,67 67

Tanah Terbuka (C8) 1 4 1 6 0,67 67

Badan Air (C9) 1 1 2 0,50 50

Hutan Mangrove (C10) 0

Semuk Belukar (11) 1 3 4 0 0

Total 21 7 8 26 9 0 2 4 1 1 3 82

Produser Accuracy 1 1 0,25 0,92 0,67 1 1 1 0 1 Overall Accuracy

PA % 100 100 25 92 67 100 100 100 0 100 85,37

Xkk 70 Kappa Accuracy

Xk+*X+k 1303 81,85


(45)

Tabel 13 Matrik kesalahan (matrik konfusi/error matrix) untuk klasifikasi visual tahun 1995

Data Referensi Klasifikasi

C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 C11 Total User Accuracy UA %

Pemukiman (C1) 22 1 23 0,96 96

Hutan Sekunder (C2) 7 1 8 0,88 88

PLK (C3) 2 1 3 0,67 67

Sawah(C4) 24 24 1,00 100

Perkebunan (C5) 1 1 6 8 0,75 75

Bandara (C6) 1 1 0 0

Tambak (C7) 1 2 3 0,67 67

Tanah Terbuka (C8) 1 4 1 6 0,67 67

Badan Air (C9) 1 1 2 0,5 50

Hutan Mangrove (C10) 0

Semuk Belukar (11) 1 3 4 0 0

Total 22 7 8 25 9 0 2 4 1 1 3 82

Produser Accuracy 1 1 0,25 0,96 0,67 1 1 1 0 1 Overall Accuracy

PA % 100 100 25 96 67 100 100 100 0 100 86,59

Xkk 71 Kappa Accuracy

Xk+*X+k 1302 83,36


(46)

Tabel 14 Matrik kesalahan (matrik konfusi/error matrix) untuk klasifikasi visual tahun 2000

Data Referensi Klasifikasi

C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 C11 Total User Accuracy UA %

Pemukiman (C1) 22 1 23 0,96 96

Hutan Sekunder (C2) 8 8 1,00 100

PLK (C3) 2 1 3 0,67 67

Sawah(C4) 24 24 1,00 100

Perkebunan (C5) 1 1 6 8 0,75 75

Bandara (C6) 1 1 0 0

Tambak (C7) 1 2 3 0,67 67

Tanah Terbuka (C8) 1 4 1 6 0,67 67

Badan Air (C9) 1 1 2 0,50 50

Hutan Mangrove (C10) 0

Semuk Belukar (11) 1 3 4 0 0

Total 22 8 8 25 8 0 2 4 1 1 3 82

Produser Accuracy 1 1 0,25 0,96 0,75 1 1 1 0 1 Overall Accuracy

PA % 100 100 25 96 75 100 100 100 0 100 87,80

Xkk 72 Kappa Accuracy

Xk+*X+k 1302 84,88


(47)

4.2 Klasifikasi Digital Menggunakan Metode Klasifikasi Terbimbing

Hasil klasifikasi terbimbing ini menghasilkan 9 kategori penutupan lahan, yaitu: awan, badan air, bayangan awan, hutan primer, hutan sekunder, pemukiman, PLK, sawah, dan tanah terbuka.

Nilai rata-rata keterpisahan antar kelas sebesar 2000 dan nilai keterpisahan terendah sebesar 1916,71 yang terdapat di antara kelas pemukiman dan kelas sawah pada tahun 1995. Nilai keterpisahan ini memiliki makna bahwa kedua kelas tersebut dapat dipisahkan dengan baik. Matrik nilai keterpisahan antar kelas hasil klasifikasi terbimbing disajikan pada Tabel l5, 16 dan 17.

Tabel 15 Separabilitas tahun 1987

Kelas Penutupan Lahan C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9

Awan (C1) 0 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000

Badan Air (C2) 0 1907,69 2000 2000 2000 2000 2000 2000

Bayangan Awan (C3) 0 2000 2000 1999,52 1999,98 2000 2000

Hutan Primer (C4) 0 2000 2000 2000 2000 2000

Hutan Sekunder (C5) 0 2000 1999,99 2000 1990,07

Pemukiman (C6) 0 1982,36 2000 2000

PLK (C7) 0 1999,51 2000

Sawah (C8) 0 1998,97

Tanah Terbuka (C9) 0

Tabel 16 Separabilitas tahun 1995

Kelas Penutupan Lahan C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9

Awan (C1) 0 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000

Badan Air (C2) 0 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000

Bayangan Awan (C3) 0 1992,41 2000 2000 1999,83 2000 1999,94

Hutan Primer (C4) 0 2000 2000 1966,59 2000 2000

Hutan Sekunder (C5) 0 1999,53 2000 2000 2000

Pemukiman (C6) 0 2000 1916,71 2000

PLK (C7) 0 2000 2000

Sawah (C8) 0 2000


(48)

Tabel 17 Separabilitas tahun 2000

Kelas Penutupan Lahan C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9

Awan (C1) 0 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000

Badan Air (C2) 0 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000

Bayangan Awan (C3) 0 2000 2000 2000 2000 2000 2000

Hutan Primer (C4) 0 1983,51 2000 2000 1999,97 2000

Hutan Sekunder (C5) 0 2000 2000 1960,81 2000

Pemukiman (C6) 0 2000 2000 2000

PLK (C7) 0 1995,27 1987

Sawah (C8) 0 1999,98

Tanah Terbuka (C9) 0

Hasil klasifikasi dievaluasi menggunakan matrik kesalahan (confusion matrix) atau matrik kontingensi yang dibuat melalui proses klasifikasi piksel yang diwakili oleh titik referensi. Matrik kesalahan memberikan informasi mengenai penyimpangan klasifikasi yang berupa kelebihan jumlah piksel dari kelas yang lain atau emisi (omission) dan kekurangan jumlah piksel pada masing-masing kelas atau komisi (commission). Kesalahan emisi (omission error) dikenal juga dengan istilah akurasi pembuat (producer’s accuracy) adalah akurasi yang diperoleh dengan membagi piksel yang benar dengan jumlah total piksel dari data acuan per kelas. Matrik kesalahan hasil klasifikasi terbimbing disajikan dalam Tabel 19, 20, dan 21.

Producer’s accuracy terendah terdapat pada tambak pada tahun 1987, 1995, dan 2000. Sedangkan nilai tertinggi pada tahun 1987, 1995, dan 2000 terdapat pada badan air. Akurasi lainnya adalah akurasi pengguna (user accuracy) merupakan akurasi yang diperoleh dengan membagi jumlah piksel yang benar dengan total piksel yang dikelaskan ke dalam kelas tersebut (Tabel 19, 20 dan 21). Besarnya akurasi hasil klasifikasi keseluruhan dapat diukur menggunakan akurasi umum (overall accuracy) dan akurasi kappa. Overall accuracy adalah akurasi yang dihitung berdasarkan jumlah piksel yang dikelaskan dengan benar pada seluruh kelas dibagi dengan jumlah total piksel yang digunakan. Akurasi ini akan menghasilkan pengukuran yang cenderung over estimate karena dalam proses perhitungannya, overall accuracy hanya melibatkan piksel-piksel yang benar saja.


(49)

Evaluasi hasil klasifikasi sangat disarankan menggunakan akurasi kappa. Piksel-piksel yang terlibat dalam perhitungan akurasi kappa adalah seluruh piksel yang digunakan sebagai acuan untuk pengukuran akurasi hasil klasifikasi, sehingga jika dibandingkan dengan overall accuracy perhitungan akurasi kappa akan lebih akurat dalam mengevaluasi hasil klasifikasi.

Tabel 18 Hasil uji akurasi klasifikasi terbimbing tahun 1987, 1995, dan 2000 No Tahun Overall Accuracy (%) Kappa Accuracy (%)

1 1987 82,93 78,53

2 1995 84,15 80,01

3 2000 85,37 81,55

Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa nilai overall accuracy pada tahun 1987, 1995, dan 2000 diperoleh sebesar 82,93%, 84,15% dan 85,37%. Sedangkan pada hasil Kappa akurasi tahun 1987, 1995 dan 2000 diperoleh nilai sebesar 78,53%, 80,01% dan 81,55% (Tabel 18). Peta tutupan lahan hasil klasifikasi terbimbing disajikan pada Gambar 13, 14, dan 15.


(50)

Tabel 19 Matrik kesalahan (matrik konfusi/error matrix) untuk klasifikasi terbimbing tahun 1987

Data refrensi Kategori User UA

C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 Total Accuracy %

Pemukiaman (C1) 21 1 1 23 0,91 91

Hutan Sekunder (C2) 8 8 1 100

PLK (C3) 3 3 1 100

Sawah (C4) 23 1 24 0,96 96

Perkebunan (C5) 1 7 8 0,88 88

Bandara (C6) 1 1 0 0

Tambak (C7) 3 3 0 0

Tanah Terbuka (C8) 1 1 4 6 0,67 67

Badan Air (C9) 2 2 1 100

Semak Belukar (C10) 1 1 2 4 0 0

Total 22 10 4 27 9 0 0 8 2 82

Produser Accuracy 0,95 0,80 0,75 0,85 0,78 0,5 1 Overall Accuracy

PA % 95 80 75 85 78 50 100 82,93

Xkk 68 Kappa Accuracy

Xk+*X+k 1376 78,55


(51)

Tabel 20 Matrik kesalahan (matrik konfusi/error matrix) untuk klasifikasi terbimbing tahun 1995

Data referensi Kategori User UA

C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 Total Accuracy %

Pemukiaman (C1) 22 1 23 0,96 96

Hutan Sekunder (C2) 8 8 1 100

PLK (C3) 3 3 1 100

Sawah (C4) 23 1 24 0,96 96

Perkebunan (C5) 1 7 8 0,88 88

Bandara (C6) 1 1 0 0

Tambak (C7) 3 3 0 0

Tanah Terbuka (C8) 1 1 4 6 0,67 67

Badan Air (C9) 2 2 1 100

Semak Belukar (C10) 1 1 2 4 0 0

Total 23 9 4 27 9 0 0 8 2 82

Produser Accuracy 0,96 0,90 0,75 0,85 0,78 0,5 1 Overall Accuracy

PA % 96 90 75 85 78 50 100 84,15

Xkk 69 Kappa Accuracy

Xk+*X+k 1390 80,03


(52)

Tabel 21 Matrik kesalahan (matrik konfusi/error matrix) untuk klasifikasi terbimbing tahun 2000

Data referensi Kategori User UA

C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 Total Accuracy %

Pemukiaman (C1) 22 1 23 0,96 96

Hutan Sekunder (C2) 8 8 1 100

PLK (C3) 3 3 1 100

Sawah (C4) 23 1 24 0,96 96

Perkebunan (C5) 1 7 8 0,88 88

Bandara (C6) 1 1 0 0

Tambak (C7) 3 3 0 0

Tanah Terbuka (C8) 1 5 6 0,83 83

Badan Air (C9) 2 2 1 100

Semak Belukar (C10) 1 1 2 4 0 0

Total 23 9 3 27 9 0 0 9 2 82

Produser Accuracy 0,96 0,89 1 0,85 0,78 0,56 1 Overall Accuracy

PA % 96 89 100 85 78 56 100 85.37

Xkk 70 Kappa Accuracy

Xk+*X+k 1392 81.55


(53)

Gambar 13 Peta hasil klasifikasi terbimbing di Pulau Lombok tahun 1987.


(54)

(55)

(56)

4.3 Evaluasi Klasifikasi Visual dan Klasifikasi Digital

Hasil evaluasi dilakukan untuk melihat perbandingan besarnya nilai uji akurasi baik dari akurasi hasil klasifikasi visual maupun hasil dari akurasi digital (klasifikasi terbimbing). Besarnya nilai perbandingan uji akurasi overall accuracy dan kappa accuracy dari klasifikasi visual dan klasifikasi digital disajikan pada Tabel 22. Pada Tabel 22 dapat dilihat bahwa nilai overall accuracy dan kappa accuracy terkecil terdapat pada klasifikasi digital. Hal ini dikarenakan citra yang digunakan memiliki error. Selain itu pada klasifikasi digital memiliki jumlah kategori yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan hasil klasifikasi visual, sehingga data acuan yang digunakan pada pengecekan lapangan dipilih hasil uji akurasi yang tinggi yaitu hasil uji akurasi klasifikasi visual.

Tabel 22 Hasil uji akurasi klasifikasi visual dan klasifikasi digital Tahun

Klasifikasi Visual Klasifikasi Digital Overall

Accuracy (%)

Kappa Accuracy (%)

Overall Accuracy (%)

Kappa Accuracy (%)

1987 85,3 81,8 82,9 78,5

1995 86,5 83,3 84,1 80

2000 87,8 84,8 85,3 81,5

4.4Pengukuran Laju Deforestasi dari Tahun 1987~2000

Deforestasi merupakan perubahan tutupan lahan berhutan menjadi tutupan lahan bukan hutan secara permanen. Hasil luasan deforestasi menggunakan thematic change pada tahun 1987~1995 terjadi deforestasi sebesar 4.131,23 ha (Tabel 23). Deforestasi terbesar terjadi untuk tutupan lahan menjadi PLK sebesar 3.455,92 ha. Selanjutnya pada defeorestasi tahun 1995~2000 terjadi deforestasi sebesar 30.579,65 ha dimana perubahan lahan terbesar digunakan untuk PLK sebesar 27.029,23 (Tabel 24).


(57)

Tabel 23 Deforestasi dari tahun 1987~1995

Deforestasi 1987~1995 Luas deforestasi (ha)

Hutan mangrove ke PLK 11,37

Hutan primer ke tanah terbuka 75,59

Hutan sekunder ke PLK 3.444,55

Hutan sekunder ke pemukiman 35,33

Hutan sekunder ke perkebunan 236,67

Hutan sekunder ke sawah 200,99

Hutan sekunder ke tanah terbuka 126,73

Total 4.131,23

Tabel 24 Deforestasi dari tahun 1995~2000

4.4 Peubah Deforestasi

Berdasarkan grafik analisis, hasil peubah-peubah yang mempengaruhi deforestasi yaitu: jarak jalan, jarak tepi hutan dan kelerengan. Pada grafik dapat dilihat keterkaitan antara deforestasi dengan jarak jalan, kelerengan, dan jarak hutan. Jika ditinjau keterkaitan antara deforestasi dengan jalan adalah semakin hutan dekat dengan jarak jalan semakin besar terjadinya deforestasi (Gambar 16). Untuk keterkaitan deforestasi dengan jarak tepi hutan, deforestasi tertinggi terjadi pada jarak 0,5 km dan 1 km dari tepi hutan (Gambar 17). Namun pada jarak lebih dari 1 km dari tepi hutan mengalami penurunan deforestasi karena aksesibilitas yang sulit dari tepi hutan. Sedangkan untuk keterkaitan antara doforestasi dengan slope yaitu pada kelerengan 0~8% dan 8~15% memiliki nilai deforestasi yang tinggi (Gambar 18). Hal ini disebabkan semakin curam kelerengan maka semakin sulit untuk mendapatkan kayu.

Deforestasi 1995~2000 Luas deforestasi (ha)

Hutan sekunder ke tanah terbuka 3.547,95

Hutan sekunder ke PLK 27.029,23

Hutan sekunder ke pemukiman 2,47


(58)

-1000 0 1000 2000 3000 4000

0 1000 2000 3000 4000 5000

Lua s def o res ta si ( ha )

Jarak jalan (m)

Tabel 25 Hubungan antara deforestasi dengan jarak jalan

Gambar 16 Grafik hubungan antara deforestasi dengan jarak jalan. Tabel 26 Hubungan antara deforestasi dengan tepi hutan

Gambar 17 Grafik hubungan antara deforestasi dengan tepi hutan.

0 1000 2000 3000

0 500 1000 1500 2000 2500 3000

Lu a s d e fo res ta si (h a )

Jarak hutan (m)

Jarak jalan (m) Luas deforestasi (ha)

0~500 3298,294

500~<1000 652,197

1000~<1500 156,952

1500~<2000 22,097

2000~<2500 0,004

2500~<4000 0,196

>4000 1,486

Jarak hutan 1987 (m) Luas deforestasi (ha)

0~500 2571,651

500~<1000 1062,133

1000~<1500 401,253

1500~<2000 94,199


(59)

0 500 1000 1500 2000 2500

0 1 2 3 4 5 6

Lua

s

def

o

res

ta

si

(

ha

)

Kelerengan (%)

Tabel 27 Hubungan antara deforestasi dengan slope

Gambar 18 Grafik hubungan antara deforestasi dengan kelerengan.

4.5 Pembangunan Model Spasial Deforestasi

Hasil yang diperoleh dari proses Idrisi, area peluang terjadinya deforestasi berada pada kisaran nilai 0,12 ~ 0,23 (Gambar 19). Pada image kode 0 menyatakan no data (warna hitam), deforestasi ditunjukkan dengan kode 1(warna merah) sedangkan kode 2 (warna putih) pada batas tepi hutan menunjukkan prediksi terjadinya deforstasi (Gambar 20).

Hasil overlay antara deforestasi tahun 1995~2000 dengan prediksi 2000 memiliki nilai Karakteristik Operasi Relatif (ROC) adalah 0,85, nilai ini menunjukkan bahwa model persamaan pada IDRISI sangat baik dan memiliki nilai keterikatan yang baik antar koefisien.

Kode Kelerengan (%) Luas deforestasi (ha)

0~1 8% 1959,193

1~2 15% 1329,226

2~3 25% 675,572

3~4 40% 166,021


(60)

Gambar 19 Hasil prediksi deforestasi tahun 1995~2000 (Angka dalam legenda yang berkisar antara 0,00~0,23 menunjukkan peluang terjadinya deforestasi).

Gambar 20 Hasil overlay antara deforestasi tahun 1995~2000 dengan prediksi 2000 (kode 0 menyatakan no data (warna hitam), kode 1 (warna merah) menyatakan deforestasi, kode 2 (warna putih) menyatakan prediksi terjadinya deforstasi.


(61)

Hasil analisis pembangunan model spasial dapat digunakan sebagai prediksi deforestasi. Bentuk model yang digunakan pada penelitian adalah model logistik. Pada IDRISI logistikreg dapat melakukan regresi logistik binominal. Hasil spasial model prediksi deforestasi ditunjukkan pada Tabel 28.

Tabel 28 Data hasil model spasial prediksi deforestasi mengguanakan IDRISI

variabel Koefisien

Intersep -1,0933

Jarak Jalan (JJ) - 0,000425

Jarak Tepi Hutan (JH) - 0,001313

Slope(S) - 0,396439

Keterangan: Jarak jalan = jarak dari tepi jalan ke lokasi deforestasi ; Jarak tepi hutan = jarak dari tepi hutan ke lokasi deforestasi ; Slope = kelerengan

Hasil pada Tabel 28 diperoleh nilai koefisien dimana pada masing-masing koefisien mempunyai pengaruh pada deforestasi. Deforestasi terjadi pada jarak jalan yang dekat dengan hutan, jarak tepi hutan yang dekat, serta kelerengan yang rendah. Dari hasil Tabel 28 apabila dimasukkan semua komponen koefisien ke dalam rumus logit maka diperoleh persamaan :

Deforestasi = -1,0933 – 0,000425JJ – 0,001313JH – 0,396439S Keterangan:

JJ = Jarak Jalan (m)

JH = Jarak Tepi Hutan (m) S = Kelerengan (%)

Tabel 29 Hasil Overall Accuracy mengguanakan Idrisi

0 1 Total

0 809751 7022 816773

1 27342 3324 30666

Total 847439

Over all accuracy (%) 96 Hasil model spasial prediksi deforestasi mempunyai Overall Accuracy (OA) sebesar 96% (Tabel 29). Nilai pada overall accuracy ini akan menghasilkan pengukuran yang cenderung over estimate karena dalam proses perhitungannya, overall accuracy hanya melibatkan piksel-piksel yang benar saja.


(62)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan :

Dari hasil dan pembahasan terdahulu maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1) Dari model spasial prediksi deforestasi peubah yang berpengaruh terhadap kejadian deforestasi adalah kelerengan, jarak jalan, dan jalan dari tepi hutan.

2) Hasil model spasial menghasilkan model persamaan yang baik dengan nilai ROC adalah 0,85. Dari hasil model spasial diperoleh rumus persamaan sebagi berikut:

Deforestasi = -1,0933 – 0,000425JJ – 0,001313JH – 0,396439S 3) Pada pembangunan model spasial menggunakan model spasial dipeoleh

nilai overall accuracy sebesar 96%.

5.2 Saran :

Perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai pengolahan dengan menggunakan metode spasial sehingga dapat memprediksi kawasan terjadinya deforestasi dari tahun ke tahun berikutnya, serta mengkaji lebih lanjut faktor-faktor yang mempengaruhi deforestasi.


(63)

DAFTAR PUSTAKA

Anita. 2004. Monitoring dan Modeling Penebangan Liar Guna Mendukung Proses Sertifikasi Hutan. Sumatra: Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian USU. Astika D.K.G. 2000. Aspek Penegakan Hukum Penebangan Kayu Secara Liar,

Prosiding Lokakarya II Penebangan Kayu Secara Liar (Ilegal Logging). Jakarta: Departemen Kehutanan.

Dishut [Dinas Kehutanan]. 2008. Paradigma Baru pengelolaan Hutan.http://dishut.jabarprov.go.id. [3 Agustus 2011].

Hartanti, E. 2004. Deteksi Penebangan Liar Menggunakan Citra Landsat TM. Studi Kasus di KPH Kuningan Jawa Barat dan di KPH Probolinggo Jawa Timur. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Eastmasn J. R. 2003. IDRISI Kilimanjaro Guide to GIS and Image Processing. Worcester: Clark University

FAO [Food and Agriculture Organization]. 2011. REDD di dalam Copenhagen Accord. http://agroindonesia.co.id/2010/01/12/redd-di-dalam-copenhagen-accord/. [1 september 2011].

Jaya I.N.S. 2006. Penuntun Praktikum Dasar-Dasar Penginderaan Jarak Jauh.. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Jaya I N.S. 2007. Analisis Citra Digital : Perspektif Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Jaya I.N.S. 2010. Analisis Citra Digital: Teori dan Praktek Menggunakan ERDAS IMAGE. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

KIPCCF [Korea-Indonesia Project on CCF], IPB. 2011. ReportLombok REDD Project. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Lillesand dan Kiefer.1997. Remote Sensing And Image Interpretation (Third Edition). Canada: P.M. Gordon Associates, Inc, and Deborah Herbert. Lukman. 2004. Analisis Spasial Degradasi Hutan dan Deforestasi: Studi Kasus di

PT. Duta Maju Timber, Sumatra Barat. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Purwadhi S.H. 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta: Grasindo.

Richards J.A. 1993. Remote Sensing Digital An Introduction Image Analysis. Australia: University of New South Wales Australian Defence Force Academy.

Sumitro A. 2000. Penebangan Kayu dari Perspektif Rimbawan. Prosiding Lokakarya II Penebangan Kayu Secara Liar (Ilegal Logging). Jakarta: Departemen Kehutanan.


(1)

-1000 0 1000 2000 3000 4000

0 1000 2000 3000 4000 5000

Lua s def o res ta si ( ha )

Jarak jalan (m)

Tabel 25 Hubungan antara deforestasi dengan jarak jalan

Gambar 16 Grafik hubungan antara deforestasi dengan jarak jalan. Tabel 26 Hubungan antara deforestasi dengan tepi hutan

Gambar 17 Grafik hubungan antara deforestasi dengan tepi hutan.

0 1000 2000 3000

0 500 1000 1500 2000 2500 3000

Lu a s d e fo res ta si (h a )

Jarak hutan (m)

Jarak jalan (m) Luas deforestasi (ha)

0~500 3298,294

500~<1000 652,197

1000~<1500 156,952

1500~<2000 22,097

2000~<2500 0,004

2500~<4000 0,196

>4000 1,486

Jarak hutan 1987 (m) Luas deforestasi (ha)

0~500 2571,651

500~<1000 1062,133

1000~<1500 401,253

1500~<2000 94,199


(2)

0 500 1000 1500 2000 2500

0 1 2 3 4 5 6

Lua

s

def

o

res

ta

si

(

ha

)

Kelerengan (%)

Tabel 27 Hubungan antara deforestasi dengan slope

Gambar 18 Grafik hubungan antara deforestasi dengan kelerengan.

4.5 Pembangunan Model Spasial Deforestasi

Hasil yang diperoleh dari proses Idrisi, area peluang terjadinya deforestasi berada pada kisaran nilai 0,12 ~ 0,23 (Gambar 19). Pada image kode 0 menyatakan no data (warna hitam), deforestasi ditunjukkan dengan kode 1(warna merah) sedangkan kode 2 (warna putih) pada batas tepi hutan menunjukkan prediksi terjadinya deforstasi (Gambar 20).

Hasil overlay antara deforestasi tahun 1995~2000 dengan prediksi 2000 memiliki nilai Karakteristik Operasi Relatif (ROC) adalah 0,85, nilai ini menunjukkan bahwa model persamaan pada IDRISI sangat baik dan memiliki nilai keterikatan yang baik antar koefisien.

Kode Kelerengan (%) Luas deforestasi (ha)

0~1 8% 1959,193

1~2 15% 1329,226

2~3 25% 675,572

3~4 40% 166,021


(3)

Gambar 19 Hasil prediksi deforestasi tahun 1995~2000 (Angka dalam legenda yang berkisar antara 0,00~0,23 menunjukkan peluang terjadinya deforestasi).

Gambar 20 Hasil overlay antara deforestasi tahun 1995~2000 dengan prediksi 2000 (kode 0 menyatakan no data (warna hitam), kode 1 (warna merah) menyatakan deforestasi, kode 2 (warna putih) menyatakan prediksi terjadinya deforstasi.


(4)

Hasil analisis pembangunan model spasial dapat digunakan sebagai prediksi deforestasi. Bentuk model yang digunakan pada penelitian adalah model logistik. Pada IDRISI logistikreg dapat melakukan regresi logistik binominal. Hasil spasial model prediksi deforestasi ditunjukkan pada Tabel 28.

Tabel 28 Data hasil model spasial prediksi deforestasi mengguanakan IDRISI

variabel Koefisien

Intersep -1,0933

Jarak Jalan (JJ) - 0,000425

Jarak Tepi Hutan (JH) - 0,001313

Slope(S) - 0,396439

Keterangan: Jarak jalan = jarak dari tepi jalan ke lokasi deforestasi ; Jarak tepi hutan = jarak dari tepi hutan ke lokasi deforestasi ; Slope = kelerengan

Hasil pada Tabel 28 diperoleh nilai koefisien dimana pada masing-masing koefisien mempunyai pengaruh pada deforestasi. Deforestasi terjadi pada jarak jalan yang dekat dengan hutan, jarak tepi hutan yang dekat, serta kelerengan yang rendah. Dari hasil Tabel 28 apabila dimasukkan semua komponen koefisien ke dalam rumus logit maka diperoleh persamaan :

Deforestasi = -1,0933 – 0,000425JJ – 0,001313JH – 0,396439S Keterangan:

JJ = Jarak Jalan (m)

JH = Jarak Tepi Hutan (m) S = Kelerengan (%)

Tabel 29 Hasil Overall Accuracy mengguanakan Idrisi

0 1 Total

0 809751 7022 816773

1 27342 3324 30666

Total 847439

Over all accuracy (%) 96

Hasil model spasial prediksi deforestasi mempunyai Overall Accuracy (OA) sebesar 96% (Tabel 29). Nilai pada overall accuracy ini akan menghasilkan pengukuran yang cenderung over estimate karena dalam proses perhitungannya,


(5)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan :

Dari hasil dan pembahasan terdahulu maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1) Dari model spasial prediksi deforestasi peubah yang berpengaruh terhadap kejadian deforestasi adalah kelerengan, jarak jalan, dan jalan dari tepi hutan.

2) Hasil model spasial menghasilkan model persamaan yang baik dengan nilai ROC adalah 0,85. Dari hasil model spasial diperoleh rumus persamaan sebagi berikut:

Deforestasi = -1,0933 – 0,000425JJ – 0,001313JH – 0,396439S 3) Pada pembangunan model spasial menggunakan model spasial dipeoleh

nilai overall accuracy sebesar 96%. 5.2 Saran :

Perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai pengolahan dengan menggunakan metode spasial sehingga dapat memprediksi kawasan terjadinya deforestasi dari tahun ke tahun berikutnya, serta mengkaji lebih lanjut faktor-faktor yang mempengaruhi deforestasi.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Anita. 2004. Monitoring dan Modeling Penebangan Liar Guna Mendukung Proses Sertifikasi Hutan. Sumatra: Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian USU. Astika D.K.G. 2000. Aspek Penegakan Hukum Penebangan Kayu Secara Liar,

Prosiding Lokakarya II Penebangan Kayu Secara Liar (Ilegal Logging). Jakarta: Departemen Kehutanan.

Dishut [Dinas Kehutanan]. 2008. Paradigma Baru pengelolaan Hutan.http://dishut.jabarprov.go.id. [3 Agustus 2011].

Hartanti, E. 2004. Deteksi Penebangan Liar Menggunakan Citra Landsat TM. Studi Kasus di KPH Kuningan Jawa Barat dan di KPH Probolinggo Jawa Timur. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Eastmasn J. R. 2003. IDRISI Kilimanjaro Guide to GIS and Image Processing. Worcester: Clark University

FAO [Food and Agriculture Organization]. 2011. REDD di dalam Copenhagen Accord. http://agroindonesia.co.id/2010/01/12/redd-di-dalam-copenhagen-accord/. [1 september 2011].

Jaya I.N.S. 2006. Penuntun Praktikum Dasar-Dasar Penginderaan Jarak Jauh.. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Jaya I N.S. 2007. Analisis Citra Digital : Perspektif Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Jaya I.N.S. 2010. Analisis Citra Digital: Teori dan Praktek Menggunakan ERDAS

IMAGE. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

KIPCCF [Korea-Indonesia Project on CCF], IPB. 2011. ReportLombok REDD

Project. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Lillesand dan Kiefer.1997. Remote Sensing And Image Interpretation (Third

Edition). Canada: P.M. Gordon Associates, Inc, and Deborah Herbert.

Lukman. 2004. Analisis Spasial Degradasi Hutan dan Deforestasi: Studi Kasus di PT. Duta Maju Timber, Sumatra Barat. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Purwadhi S.H. 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta: Grasindo.

Richards J.A. 1993. Remote Sensing Digital An Introduction Image Analysis. Australia: University of New South Wales Australian Defence Force Academy.

Sumitro A. 2000. Penebangan Kayu dari Perspektif Rimbawan. Prosiding Lokakarya II Penebangan Kayu Secara Liar (Ilegal Logging). Jakarta: Departemen Kehutanan.