Respons Komunitas Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeinae) Pada Gradien Gangguan Antropogenik Di Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi.

RESPONS KOMUNITAS KUMBANG TINJA (COLEOPTERA:
SCARABAEINAE) PADA GRADIEN GANGGUAN ANTROPOGENIK
DI HUTAN LAMBUSANGO, PULAU BUTON, SULAWESI

MARIANA SILVANA MOY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Respons Komunitas Kumbang
Tinja (Coleoptera: Scarabaeinae) pada Gradien Gangguan Antropogenik di Hutan
Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, 29 November 2015
Mariana Silvana Moy
NIM E351120131

*

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB
harus didasarkan pada perjanjian kerja sama terkait.

RINGKASAN
MARIANA SILVANA MOY. Respons Komunitas Kumbang Tinja (Coleoptera:
Scarabaeinae) pada Gradien Gangguan Antropogenik di Hutan Lambusango,
Pulau Buton, Sulawesi. Dibimbing oleh ANI MARDIASTUTI dan SIH
KAHONO.
Hutan Lambusango merupakan satu-satunya hutan hujan dataran rendah
tropis sekunder, memiliki nilai konservasi tinggi, dan menjadi target program
pembangunan daerah di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Gangguan antropogenik
tersebut merupakan sumber ancaman utama bagi keberlanjutan habitat hutan dan

keanekaragaman hayatinya. Di lain sisi, masih banyak spesies hewan yang belum
teridentifikasi dan terdokumentasi dari daerah dengan tingkat endemisitas tinggi
ini. Salah satunya, kumbang tinja (Coleoptera: Scarabaeinae), mega detrititus
kotoran dan bangkai hewan dalam ekosistem hutan. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk (1) mengidentifikasi komunitas kumbang tinja Scarab pada
gradien gangguan antropogenik, (2) menguraikan respons komunitas kumbang
tinja dengan karakter lingkungan, (3) menentukan spesies indikator gangguan
antropogenik, (4) menjelaskan implikasi indikator spesies terhadap konservasi dan
manajemen habitat kumbang tinja.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2013 hingga Januari 2015
menggunakan kombinasi metode perangkap jebak dengan umpan dan metode
transek. Total 90 perangkap jebak dengan umpan dari kotoran sapi yang teramati
dari 3 tipe gangguan habitat (gangguan rendah/habitat hutan sekunder alami,
gangguan sedang/habitat hutan sekunder dengan gangguan, dan gangguan
tinggi/habitat kebun jambu mete). Perangkap jebak pada tiap tipe habitat dipasang
sepanjang transek 100 m dengan 3 kali ulangan, jarak antar perangkap jebak 10 m,
dan jarak antar transek 500 m. Koleksi sampel dilakukan setelah 48 jam
pemasangan perangkap jebak.
Informasi yang dipaparkan pada penelitian ini meliputi data
keanekaragaman kumbang tinja yang dihitung secara kuantitatif melalui analisis

indeks Shanon-Wiener, indeks Simpson, indeks Bray-Curtis, ordinasi Non-metric
Multidimensional Scalling, estimator Chao 1 dan Bilangan Hills, pendekatan
guild, kepadatan individu, Redundancy Analysis, persentase kesamaan spesies
(SIMPER), kajian deskriptif karakteristik tanah, dan telaah deskriptif implikasi
indikator spesies terhadap upaya konservasi dan manajemen habitat kumbang
tinja.
Total 1710 individu dari 26 spesies kumbang tinja terkoleksi. 58% dari
spesimen yang terperangkap dan 81% dari kekayaan spesies ditemukan pada tipe
gangguan sedang, keanekaragaman pada lokasi gangguan sedang berbeda nyata
dengan dua tipe gangguan lainnya. Indeks Shannon-Wienner menunjukkan
proporsi kekayaan spesies lebih merata pada habitat dengan tingkat gangguan
rendah. Dominansi spesies ditemukan tertinggi pada lokasi dengan gangguan
sedang. Ordinasi dua dimensi indeks Bray-Curtis memetakan perbedaan
komposisi spesies kumbang tinja yang nyata antar tipe gangguan habitat. Guild
kumbang tinja yang ditemukan adalah tunneller dan roller. Relung kumbang tinja
meliputi spesies generalis, spesies spesialist hutan, dan spesies daerah terbuka.

Tumbuhan rumput, semak, paku-pakuan, dan terna memengaruhi komunitas
kumbang tinja hingga mencapai 51%. Tumbuhan bawah memberikan pengaruh
fluktuatif terhadap kehadiran 8 spesies kumbang tinja (Onthophagus holosericus,

O. rosenbergi, O. toraut, O. wallacei, O. griseoaeneus, O. scrutator, O. fulvus,
dan Gymnopleurus planus). Keberadaan spesies O. fuscotriatus, Copris celebensis,
O. ribbei, O. aureopilosus, O. curvicarinatus, dan C. erratus mayasukii tidak
dipengaruhi oleh tipe tumbuhan bawah. Tumbuhan paku, rumput, dan semak lebih
dominan ditemukan pada habitat dengan tingkat gangguan tinggi, dan tumbuhan
terna lebih banyak ditemukan pada habitat dengan tingkat gangguan sedang.
Persentase tutupan serasah memengaruhi komunitas kumbang tinja sebesar
49%. Tutupan serasah yang rendah (0-24.5%) mendukung keberadaan spesies O.
griseoaeneus, O. fuscotriatus, O. rosenbergi, dan O. scrutator. Tutupan serasah
yang sedang (25-49.5%) memengaruhi kehadiran spesies O. wallacei dan O.
toraut. Habitat dengan persentase tutupan serasah yang tebal (50%-100%)
memengaruhi keberadaan spesies O. ribbei, O. aureopilosus, C. celebensis, O.
curvicarinatus, C. erratus mayasukii, O. fulvus, dan O. fuscotriatus. Kehadiran
spesies O. holosericus dan G. planus tidak dipengaruhi oleh penutupan serasah.
Tutupan serasah yang kecil (0-49.5%) ditemukan dominan pada habitat dengan
tingkat gangguan tinggi, sedangkan tutupan serasah yang besar (50-100%) lebih
besar pada habitat dengan tingkat gangguan rendah dan sedang. Kelompok
kumbang tinja di hutan Lambusango hidup pada karakteristik tanah liat berdebu
dengan derajat keasaman tanah (pH) 5.1 pada lokasi dengan tingkat gangguan
rendah dan tanah lempung berdebu untuk lokasi dengan tingkat gangguan sedang

(pH 5.8) dan tingkat gangguan tinggi (pH 6.8).
Berdasarkan spesies tunggal, O. ribbei, G. planus, O. griseoaeneus
merupakan indikator spesies dengan kontribusi terbesar pada habitat dengan tipe
gangguan level rendah, sedang, dan tinggi. Berdasarkan komunitas, 6 spesies
menjadi indikator pada gangguan habitat rendah (O. ribbei, G. planus, O.
rosenbergi rosenbergi, O. fulvus, O. griseoaeneus, dan O. aureopilosus), 7 spesies
indikator pada gangguan habitat sedang (G. planus O. ribbei, O. rosenbergi
divergens, O. curvicarinatus, O. holosericus, C. erratus mayasukii, dan O.
wallacei, dan 7 spesies indikator pada gangguan habitat tinggi (O. griseoaeneus,
O. rosenbergi divergens, G. planus, O. wallacei, O. scrutator, O. ribbei, dan C.
erratus mayasukii).
Interferensi regulasi dan kebijakan konservasi kumbang tinja pada skala
nasional dan daerah Buton masih belum ada. Kontrasnya, laju degradasi habitat
kumbang tinja berlangsung dengan cepat di tingkat tapak. Maka, diperlukan satu
terobosan baru dalam mendukung implementasi konservasi dan manajemen
habitat kumbang tinja. Pendekatan konservasi biogeografi dapat dijadikan batu
loncatan dalam telaah konservasi dan manajemen habitat kumbang tinja di Pulau
Buton, Sulawesi Tenggara.
Kata kunci: gangguan, hutan dataran rendah sekunder, keragaman, kumbang
Scarab, Sulawesi


SUMMARY
MARIANA SILVANA MOY. Response of Dung Beetle Community (Coleoptera:
Scarabaeinae) on the Gradient of Anthropogenic Disturbance in Lambusango
Forest, Buton Island, Sulawesi. Supervised by ANI MARDIASTUTI dan SIH
KAHONO.
Lambusango forest is the remained secondary lowland tropical rain forest,
has highly conservation value, and has chosen as targeted area for regional
development programs of the island of Buton, Southeast Sulawesi. Inevitably, the
anthropogenic interference triggered the major threats for the forest habitat and
biodiversity sustainability. In contrast, there were many species have not been
identified and documented yet from this endemic hotspot. One of them is, dung
beetles (Coleoptera: Scarabaeinae), a mega detritivor of dung and carrion in the
forest ecosystem. Therefore, this study aims to (1) identify the Scarab beetle
communities beetle accross gradient of anthropogenic disturbance, (2) outlines the
response of the dung beetle community on environmental characteristics, (3)
determining the indicator species of anthropogenic disturbance, (4) explain the
implications of indicator species to the conservation and habitat management of
dung beetle.
The research has conducted on June 2013 to January 2015 use combination

of baited-pitfall trap and transect method. Total of 90 pitfall traps baited with
cattle dung have been observed on 3 types of habitat disturbance (low
disturbance/natural secondary forest habitat, intermediate disturbance/highly
disturbed-secondary forest habitat, and high disturbance/cashew plantation
habitat). Each site, 10 pitfall trap fixed along 100 m transects 100 m, 3
replications, the distance between the pitfall traps were 10 m, and the distance
between transects were 500 m. After 48 hours, all samples collected.
This study presented the diversity information of dung beetle that calculated
quantitatively by Shannon-Wiener index, Simpson index, index Bray-Curtis,
ordination by Non-metric Multidimensional Scaling, estimator Chao 1 and Hills
Numbers, guild approach, density, Redundancy Analysis, similarity of percentage
(SIMPER), descriptive analyze on soil characteristics, and review for dung beetle
conservation and habitat management.
Total of 1710 individuals of 26 species of dung beetles have collected. 58%
of the trapped specimens and 81% of the species richness found in the
intermediate level of disturbance, which both were significantly differ with the
two types of disturbance. Shannon-Wienner index presented the proportion of
species richness distributed evenly in low disturbance habitat. Meanwhile, the
highest dominance species found in intermediate disturbance. Two-dimensional
ordination based on Bray-Curtis index exposed the composition of beetle

assemblages were significantly differ among all types of disturbance. Tunneller
and roller were two types of guild founded. Niche of dung beetle were generalist,
forest specialist, and open area specialist.
Grasses, shrubs, ferns, and herbs shaped dung beetle community up to 51%.
The understory-vegetation influenced the occurence of 8 species of dung beetles
(Onthophagus holosericus, O. rosenbergi, O. toraut, O. wallacei, O. griseoaeneus,
O. scrutator, O. fulvus, dan Gymnopleurus planus).). All type of understory-

vegetations were not influenced the existence of O. fuscotriatus, Copris celebensis,
O. ribbei, O. aureopilosus, O. curvicarinatus, and C. erratus mayasukii. Ferns,
grasses, and shrubs predominantly found in high level of disturbance, while herb
plants more commonly found in habitat with intermediate level of disturbance.
Leaf litter coverage has an effect on dung beetle communities up to 49%.
The lowest level of leaf litter coverage (0%-24.5%) influenced the occurrence of
O. griseoaeneus, O. fuscotriatus, O. rosenbergi, and O. scrutator. Intermediate
leaf litter coverage (25%-49.5%) shaped the occurrence of O. wallacei and O.
toraut. O. ribbei, O. aureopilosus, C. celebensis, O. curvicarinatus, C. erratus
mayasukii, O. fulvus, and O. fuscotriatus appeared dominantly in the habitat with
heavy leaf litter coverage (50%-100%). Lesser coverage of leaf litter (0%-49.5%)
found in habitats with high level of disturbance, meanwhile the heavy one (50100%) arised in the low and intermediate disturbance habitat. Dung beetle

assemblage in Lambusango forest inhabit in silty-clay with the degree of soil
acidity (pH) 5.1 found at habitat with low disturbance, and silty-loam in habitat
with intermediate disturbance (pH 5.8) and in the habitat with high disturbance
(pH 6.8).
Based on a single-based species, O. ribbei, G. planus, and O. griseoaeneus
were indicators species sequentially in habitat with low, intermediate, and high
level of disturbance. According to community-based, 6 species chosen as an
indicator for low disturbance (O. ribbei, G. planus, O. rosenbergi rosenbergi, O.
fulvus, O. griseoaeneus, and O. aureopilosus), 7 indicator species for intermediate
disturbance (G. planus ribbei O., O. rosenbergi divergens, O. curvicarinatus, O.
holosericus, C. erratus mayasukii, and O. wallacei), and 7 species indicators for
the high level of disturbance (O. griseoaeneus, O. rosenbergi divergens, G. planus,
O. wallacei, O. scrutator, O. ribbei, and C. erratus mayasukii).
Neither, the interference of regulation and policy of dung beetle
conservation at Buton Island, nor national level, still not documented yet. In
contrast, the rate of dung beetle’s habitat degradation increased sharply at site
level. Thus, it needs a breakthrough to achieve the efforts of conservation and
habitat management of dung beetle. Biogeography conservation approach
benefitted as a stepping-stone to support the achievement of dung beetle
conservation and habitat management in Lambusango forest, Buton Island,

Southeast Sulawesi.
Keywords: disturbance, diversity, Scarab beetle, secondary lowland rainforest,
Sulawesi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

RESPONS KOMUNITAS KUMBANG TINJA (COLEOPTERA:
SCARABAEINAE) PADA GRADIEN GANGGUAN ANTROPOGENIK
DI HUTAN LAMBUSANGO, PULAU BUTON, SULAWESI

MARIANA SILVANA MOY


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Woro A. Noerdjito, MSi

Judul Tesis

Nama
NIM

: Respons Komunitas Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeinae)
pada Gradien Gangguan Antropogenik di Hutan Lambusango,
Pulau Buton, Sulawesi
: Mariana Silvana Moy
: E351120131

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc
Ketua

Dr Ir Sih Kahono, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Konservasi Biodiversitas Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 20 Oktober 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah yang Maha Pengasih dan
Penyayang atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan
Juni 2013 ini ialah keanekaragaman kumbang tinja, dengan judul Respons
Komunitas Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeinae) pada Gradien Gangguan
Antropogenik di Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc
dan Bapak Dr Ir Sih Kahono, MSc selaku pembimbing, Ibu Prof. Dr. Woro A.
Noerdjito, MSi, Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS selaku penguji, serta
Bapak Dr Ir Christian H. Schulze yang telah banyak memberi saran. Di samping
itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Balai Besar Konservasi Sumber Daya
Alam Sulawesi Tenggara dan Dinas Kehutanan Kabupaten Buton yang telah
memberi perijinan sehingga penelitian dapat dilaksanakan. Ucapan terima kasih
juga ditujukan kepada Manajemen Operation Wallacea 2013 untuk dukungan
dana penelitian, Dr. David Tosh dan Dr. Nancy Priston selaku ketua peneliti
lapangan, La Alinudin selaku pemandu selama pengumpulan data penelitian, Dr.
Mirza D. Kusrini, dan semua staff Opwall 2013 yang telah memberikan support
selama pelaksanaan penelitian, kepada Bapak Darren Mann dari Museum
Entomologi London dan Bapak Jan Krikken dari Natural Museum Belanda yang
telah membantu dalam identifikasi spesimen, Bapak Ilka Hanski untuk artikel
yang sangat berguna, kepada Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo yang telah banyak
memberi dukungan motivasi dalam pengembangan diri, kepada manajemen
laboratorium pengendalian hayati, IPB atas ruang dan peralatan yang dibutuhkan
dalam proses identifikasi. kepada Agmal BSH dan k Andy BSH untuk support
analisisnya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Petrus Moy
dan Mama Cornelia Rihi Djawa, Daddy Titus Moy dan Mama Lusiana Inggriani,
Rm. Jack Lodo Mema, Pr, P. W. Wagener, CSsR, kk No Pater, Sony Moy, Mia
Moy & kakak Merpati Nalle, Jose dan Pedro, keluarga besar Moy, kakak Yubi
Pandarangga, Joice Agustaf, Farida Isky, teman-teman KVT 2012, kakak Deddy
Therik, kakak Tian Liufeto, kakak Martha Hebi, S.S.Simanjuntak, Warung
Bambu’s Crew (Ano, Emil, Nela, Nick, Puan) dan GAMANUSRATIM, atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 29 November 2015
Mariana Silvana Moy

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
3
4
4

2 RESPONS KUMBANG TINJA (COLEOPTERA: SCARABAEINAE) PADA
GANGGUAN ANTROPOGENIK DI HUTAN LAMBUSANGO, PULAU
BUTON, SULAWESI
5
Latar Belakang
5
Metode Penelitian
7
Analisis Penelitian
10
Hasil
13
Pembahasan
21
Simpulan
25
3 KUMBANG TINJA (COLEOPTERA:SCARABAEINAE): INDIKATOR
GANGGUAN HABITAT DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KONSERVASI DAN MANAJEMEN HABITAT KUMBANG TINJA DI
HUTAN LAMBUSANGO, PULAU BUTON
Latar Belakang
Metode Penelitian
Analisis Penelitian
Hasil
Pembahasan
Simpulan

26
26
28
31
32
35
38

4 PEMBAHASAN UMUM

39

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

41
41
42

DAFTAR PUSTAKA

43

LAMPIRAN

50

RIWAYAT HIDUP

62

DAFTAR TABEL
1 Karakteristik lokasi penelitian
2 Kekayaan spesies dan kelimpahan individu kumbang tinja pada gradien
gangguan antropogenik
3 Indeks keanekaragaman alfa pada tiga tingkat gangguan habitat
4 Estimasi asimtotik kekayaan spesies kumbang tinja berdasarkan data
kelimpahan individu
5 Indeks kesamaan Bray-Curtis komunitas kumbang tinja
6 Karakteristik lokasi penelitian
7 Kekayaan spesies kumbang tinja pada gradient gangguan habitat
8 Indikator spesies kumbang tinja berdasarkan nilai SIMPER dari Indeks
Bray-Curtis

8
15
16
16
16
30
33
34

DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi penelitian di hutan Lambusango, pulau Buton, Sulawesi
Tenggara
2 Skema pengambilan sampel kumbang tinja di hutan Lambusango
3 Rata-rata kelimpahan individu (a) kekayaan spesies (b) kumbang tinja pada
gradient gangguan habitat
4 NMDS kesamaan spesies kumbang tinja berdasarkan indeks Bray-Curtis
5 Guild kumbang tinja pada gangguan habitat rendah, sedang dan tinggi
6 Model respon kumbang tinja berdasarkan kepadatan lima spesies endemik
pada tiga tipe gangguan antropogenik
7 Ordinasi triplot skala 2 RDA dari 14 spesies kumbang tinja dengan
tumbuhan bawah
8 Ordinasi triplot skala 2 RDA dari 14 spesies kumbang tinja dengan
persentase tutupan serasah
9 Peta lokasi penelitian di hutan Lambusango,pulau Buton,Sulawesi
Tenggara
10 Skema pengambilan sampel kumbang tinja di hutan Lambusango
11 Interpolasi dan ekstrapolasi kekayaan spesies kumbang tinja berdasarkan
indeks Hill Number pada tiga tingkat gangguan habitat

7
9
13
17
18
18
20
21
29
31
34

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Hasil uji ANOVA kelimpahan komunitas kumbang tinja
Hasil uji ANOVA kekayaan spesies kumbang tinja
Hasil uji RDA antara kumbang tinja dan vegetasi
Hasil uji RDA antara kumbang tinja dan persentase tutupan serasah
Hasil estimasi kekayaan spesies kumbang tinja dengan pendekatan
interpolasi dan ekstrapolasi bilangan Hill
6 Hasil uji SIMPER komunitas kumbang tinja pada gradien habitat
7 Daftar kekayaan spesies kumbang tinja (Coleoptera: Scarabaeidae) di
Sulawesi, Indonesia
8 Dokumentasi spesies kumbang tinja

50
50
51
52
54
54
55
56

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Modifikasi hutan hujan tropis oleh manusia merupakan gangguan habitat
terbesar yang telah mengubah struktur hutan (Turner dan Corlett 1996) dan
berdampak pada percepatan penurunan keanekaragaman hayati lokal maupun
global dalam tiga dekade (Mace et al. 2005). Pada periode tahun 1990 hingga
2005, FAO dan JRC (2012) melaporkan deforestasi pada hutan tropis global
mencapai nilai 2.5 kali lebih besar dari total deforestasi di daerah boreal,
temperate dan subtropik (6.8 juta ha per tahun dari total 4168 juta ha hutan dunia).
Transformasi habitat hutan ini mengancam keberadaan keseluruhan taksa
keanekaragaman hayati yang terancam punah, seperti burung (1045 spesies),
mamalia (652 spesies) (Baillie et al. 2004) dan invertebrata (1928 spesies)
(Hilton-Taylor 2000). Data terbaru IUCN Redlist menemukan dari 3623 serangga
daratan yang terdata, sekitar 42% menghadapi resiko genting hingga terancam
punah (Gerlach et al. 2012). Tahun 2009, hasil eksplorasi invertebrata
menemukan 9738 spesies serangga baru yang menempatkan serangga sebagai
spesies terbesar di bumi dengan total 1.023.430 spesies (ASU-IIES 2011).
Indonesia, salah satu pusat hutan hujan tropis dunia juga mengalami
deforestasi hutan yang masif. Margono et al. (2014) menyatakan dalam periode
tahun 2000 hingga 2012, luas hutan Indonesia yang mengalami deforestasi
mencapai 15.79 juta ha dari total luasan 98.4 juta ha hutan Indonesia. Hasil kajian
Chemonics International (2013) menegaskan bahwa konversi hutan alam di
Indonesia pada rentang waktu dari 2001 hingga 2012 mempercepat resiko
kepunahan spesies yang terdaftar dalam IUCN Redlist, dengan rincian 96%
mamalia, 93% burung dan reptil, dan 59% invertebrata. Menurut tipe hutan,
deforestasi hutan Indonesia terbesar ditemukan pada hutan primer, yaitu sebesar
6.02 juta ha dengan rerata deforestasi tahunan sebesar 47.600 ha. Dari total
deforestasi hutan primer, sekitar 3.04 juta ha deforestasi terjadi pada hutan dataran
rendah.
Pulau Sulawesi menjadi daerah penyumbang deforestasi hutan dataran
rendah terbesar ketiga, yaitu sebesar 247.000 ha, setelah pulau Sumatra (1,2 juta
ha) dan pulau Kalimantan (1,3 juta ha). Sebagai salah satu area keanekaragaman
hayati Indonesia dengan tingkat endemisitas yang tinggi (98% endemisitas tanpa
menghitung kelompok tikus) (Whitten et al. 1987), deforestasi hutan di Pulau
Sulawesi menyebabkan penurunan keanekaragaman dan distribusi 72 spesies
mamalia endemik, 79 spesies tikus dan 91 spesies burung endemik, serta serangga
dan flora hutan (Clough et al. 2010). Walaupun, beberapa spesies dapat
beradaptasi terhadap perubahan habitat hutan, sehingga mendapatkan manfaat dan
berkembangbiak, seperti beberapa burung frugivorus-nektarivorus endemik
Sulawesi (Waltert et al. 2005).
Hutan Lambusango (65.000 ha) merupakan hutan hujan dataran rendah
tropis (50-780 m dpl) di Pulau Buton, Sulawesi yang telah terpetakan menjadi
kawasan konservasi (25.163 ha), hutan produksi terbatas dan hutan produksi
(36.365 ha), serta menjadi lokasi pemukiman penduduk (Singer dan Purwanto
2006). Deforestasi pada tiap kawasan hutan meningkat pada tahun 2006 hingga

2

2008, dengan rerata 3% hingga 4% (Wheeler et al. 2008). Di lain sisi, kawasan
hutan sekunder juga merupakan habitat bagi 75 jenis pohon, 50 spesies burung
dan 73 spesies kupu-kupu (Singer dan Purwanto 2006). Hutan dengan nilai
konservasi tinggi ini juga merupakan habitat bagi lima fauna endemik Buton,
yaitu anoa (Bubalus depressicornis), babi Sulawesi (Sus celebensis), monyet ekor
panjang Buton (Macaca (ochreata) brunnescens), musang (Viverra tangalunga),
dan tangkisi (Tarsius spectrum) (Wheller 2011). Populasi dari masing-masing
mamalia khas Sulawesi tersebut terus berkurang secara signifikan hingga tahun
2007 (Wheeler dan Dwiyahreni 2007).
Kumbang tinja (Coleoptera) dari sub famili Scarabaeinae merupakan salah
satu spesies kumbang tinja sejati (true dung beetle), yang memiliki jumlah spesies
terbesar. Hanski (1991) memperkirakan sekitar 5000 spesies kumbang tinja
Scarab tersebar dari wilayah non-tropis hingga wilayah tropis. Keberadaan
kumbang tinja berkaitan erat dengan seleksi habitat kumbang tinja yang
dikategorikan dalam dua skala, yaitu habitat makro (tipe tanah dan tipe vegetasi)
dan habitat mikro (tipe dan ukuran kotoran, temperature dan kelembaban sekitar
kotoran, serta ketinggian) (Hanski dan Cambefort 1991). Kumbang tinja Scarab
dapat hidup pada tipe tanah berpasir, tanah dengan lumpur, dan tanah liat
(Lumaret dan Kirk 1991). Kotoran manusia dan kotoran mamalia herbivor
merupakan sumber kotoran yang paling disukai oleh kumbang tinja dibandingkan
dengan kotoran mamalia kecil dan kotoran karnivor (Hanski 1991). Karakter
morfologi mulut (mandibel) kumbang tinja juga turut membentuk evolusi perilaku
kumbang tinja dalam menguraikan sumber daya, yaitu dari saprofagus (pemakan
humus, akar) menjadi koprofagus (pemakan kotoran) (Cambefort 1991).
Kumbang Scarab merupakan salah satu taksa penting serangga yang
menjadi indikator gangguan habitat di hutan hujan tropis (Davis et al. 2001;
Mcgeoch et al. 2002; Spector 2006; Aguilar-amuchastegui dan Henebry 2007).
Berdasarkan komposisi spesiesnya, kumbang tinja menunjukkan respons yang
signifikan negatif pada perubahan penggunaan lahan hutan maupun fragmentasi
hutan (Davis et al. 1998; Shahabuddin et al. 2005; Braga et al. 2013; Filgueiras et
al. 2015), dan perbedaan struktur hutan (hutan primer dan hutan sekunder
(Boonrotpong et al. 2004). Peningkatan gangguan habitat hutan juga
menyebabkan penurunan beberapa karakter kumbang tinja, seperti keragaman
fungsional (Barragan et al. 2011), ukuran dan massa tubuh (Shahabuddin et al.
2010), dan kemampuan menguraikan kotoran dan pemencaran benih (Slade et al.
2011).
Perumusan Masalah
Hutan Lambusango merupakan satu-satunya hutan hujan dataran rendah
tropis, dan memiliki nilai konservasi tinggi di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.
Kawasan hutan yang sama juga menjadi target program pemerintah kabupaten
Buton, seperti perluasan area pemukiman penduduk dan penambangan aspal
Akibatnya, transformasi habitat hutan menjadi areal perumahan, pertanian dan
jalan raya meningkat, serta aksestabilitas manusia ke dalam hutan menjadi lebih
dekat dan meningkatkan jumlah perburuan satwaliar dengan ilegal, terutama
perburuan anoa, mamalia terbesar hutan. Gangguan antropogenik yang tercipta

3

membentuk tingkatan gangguan habitat yang dapat dikategori dari level rendah
hingga tinggi.
Selama ini belum ada yang pernah melakukan penelitian terkait kumbang
maupun mengkaji respons kumbang pada gradien gangguan habitat di hutan
Lambusango, pulau Buton. Padahal hutan Lambusango merupakan salah satu
hotspot Wallacea dengan nilai endemisitas flora dan fauna yang tinggi. Sebagian
besar penelitian dampak gangguan habitat dihubungkan dengan satwaliar dan
vegetasi.
Penelitian terkait serangga yang telah dilakukan pada kawasan hutan
Lambusango adalah kelompok kupu-kupu (Ordo Lepidoptera), sedangkan untuk
kelompok kumbang tinja dari sub famili Scarabaeinae (Ordo Coleoptera), masih
belum dilakukan, padahal keberadaan taksa ini merupakan mega detrititus kotoran
dan bangkai hewan, memiliki fungsi ekologis penting dalam ekosistem dan dapat
mengindikasikan perubahan lingkungan.
Sehingga penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan yang telah
diuraikan di atas yang dirumuskan dalam rangkaian pertanyaan berikut ini:
1. Bagaimana komunitas kumbang tinja Scarab pada gradien gangguan
antropogenik di hutan Lambusango, Pulau Buton?
2. Bagaimana respons komunitas kumbang tinja pada karakteristik habitat
di hutan Lambusango, Pulau Buton?
3. Bagaimana potensi spesies indikator pada gradien gangguan
antropogenik di Hutan Lambusango, Pulau Buton, bagaimana mengukur
spesies indikator, dan implikasi spesies indikator pada upaya konservasi
dan manajemen habitat kumbang tinja?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi komunitas kumbang tinja
Scarab pada gradien gangguan antropogenik dalam hutan Lambusango, (2)
menguraikan respons komunitas kumbang tinja dengan karakter lingkungan
(biotik, abiotik, dan tipe gangguan), (3) menentukan spesies indikator pada
gradien gangguan antropogenik, (4) menjelaskan implikasi spesies indikator pada
konservasi dan manajemen habitat kumbang tinja di hutan Lambusango, Pulau
Buton. Tesis ini disajikan dalam dua makalah, yaitu:
1. Respons komunitas kumbang tinja pada gangguan antropogenik di hutan
Lambusango, Pulau Buton, dengan tujuan mengidentifikasi komunitas
kumbang tinja pada setiap gradien gangguan antropogenik, dan
menguraikan respons kumbang tinja terhadap karakter lingkungan (biotik,
abiotik, dan tipe gangguan).
2. Kumbang tinja (Coleoptera: Scarabaeinae): taksa indikator gangguan
habitat dan implikasinya pada konservasi dan manajemen habitat
kumbang tinja di hutan Lambusnago, Pulau Buton, dengan tujuan
menentukan spesies indikator pada tiap gradien gangguan habitat dan
menguraikan implikasi indikator spesies terhadap upaya konservasi dan
manajemen habitat kumbang tinja.

4

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu
manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung dari penelitian ini adalah
sebagai sumber pengetahuan dasar tentang respons kumbang tinja pada gradien
gangguan antropogenik di hutan Lambusango, memberikan informasi ilmiah
tentang pengaruh faktor lingkungan terhadap struktur komunitas kumbang tinja di
hutan Lambusango, dan menjadi referensi penelitian biologi maupun ekologi
kumbang tinja selanjutnya. Manfaat tidak langsung yaitu diharapkan melalui data
keanekaragaman dan komposisi kumbang tinja dapat memberikan informasi
persebaran mamalia herbivor terutama anoa, spesies endemik Sulawesi, sehingga
dapat dijadikan data dasar dalam penelitian lanjutan maupun membantu tindakan
manajemen.
Ruang Lingkup Penelitian
Hutan Lambusango merupakan hutan sekunder yang menghadapi beragam
gangguan habitat, baik itu gangguan alami maupun gangguan dari manusia.
Intensitas dari tiap tipe gangguan habitat dapat dikategorikan menjadi gangguan
tipe rendah, sedang, dan tinggi. Beragamnya tipe gangguan habitat sehingga
penelitian ini hanya diteliti gangguan habitat oleh karena faktor manusia dengan
tingkat gangguan mulai dari gangguan rendah hingga tinggi.
Kumbang tinja (Coleptera) yang dimaksud pada penelitian ini mengacu
pada sub famili Scarabaeinae. Kumbang tinja Scarab yang diteliti merupakan
spesies terrestrial. Karakter komunitas kumbang tinja Scarab terdiri dari jumlah
individu (kelimpahan), jumlah spesies (kekayaan), dan keanekaragaman.
Keberlanjutan hidup komunitas kumbang tinja Scarab berkaitan erat dengan
intensitas gangguan habitat dan faktor habitat. Kategori intensitas gangguan
didasarkan pada tutupan hutan, aksestabilitas manusia, dan keberadaan jalan raya.
Faktor habitat terdiri dari elemen biotik (tutupan tumbuhan bawah dan tutupan
serasah) dan abiotik (struktur dan pH tanah).

5

2 RESPONS KUMBANG TINJA (COLEOPTERA:
SCARABAEINAE) PADA GANGGUAN ANTROPOGENIK
DI HUTAN LAMBUSANGO, PULAU BUTON, SULAWESI
(Response of Dung Beetle (Coleoptera: Scarabaeinae) on
Anthropogenic Disturbance at Lambusango Forest, Buton Island,
Sulawesi)
Abstrak
Informasi mengenai bagaimana gangguan antropogenik dapat meningkatkan
hilangnya keanekaragaman serangga penting di pulau kecil, seperti kumbang tinja
(Coleoptera: Scarabaeinae) masih sedikit diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari respons kumbang tinja pada gradien gangguan antropogenik di Hutan
Lambusango, Buton, Sulawesi. Bulan Juni sampai Agustus 2013, kumbang tinja
telah dikoleksi dari level gangguan rendah, sedang, dan tinggi, tiga ulangan pada
tiap level gangguan (n=9 lokasi). Tiap lokasi terpasang 10 perangkap jebak
dengan umpan dari kotoran sapi, sepanjang transek 100 m, selama 48 jam, jarak
antar transek 500 m. Total 1710 individu dari 26 spesies kumbang tinja terkoleksi.
58% dari spesimen yang terperangkap dan 81% dari kekayaan spesies ditemukan
pada tipe gangguan sedang, keanekaragaman kumbang tinja yang ditemukan pada
lokasi ini berbeda nyata dengan dua tipe gangguan lainnya. Indeks ShannonWienner menunjukkan proporsi kekayaan spesies sangat berbeda nyata antara
lokasi dengan gangguan rendah dan lokasi dengan gangguan sedang maupun
tinggi, sedangkan dominansi spesies lebih tinggi ditemukan pada lokasi dengan
gangguan sedang. Ordinasi dua dimensi berdasarkan indeks Bray-Curtis
memperlihatkan perbedaan komposisi spesies kumbang tinja yang nyata antar tipe
gangguan habitat. 14 spesies kumbang tinja dipengaruhi oleh tumbuhan bawah
(51%) dan tutupan serasah (49%). Tunneller dan roller merupakan guild yang
ditemukan pada ketiga tipe habitat. Analisis Redundancy memetakan hubungan
yang nyata antar tipe vegetasi maupun tutupan serasah terhadap keanekaragaman
kumbang tinja. Penelitian ini menemukan komunitas kumbang tinja di hutan
dataran rendah sekunder menunjukkan respons terhadap gangguan habitat dan tiap
tipe gangguan habitat membentuk keanekaragaman kumbang tinja.
Kata kunci: gangguan, hutan dataran rendah sekunder,kumbang tinja, Sulawesi
Latar Belakang
Modifikasi hutan hujan tropis merupakan salah satu aktifitas manusia yang
mendukung laju penurunan keanekaragaman hayati lokal maupun global
sepanjang tiga dekade (Mace et al. 2005). Perubahan keanekaragaman hayati
tersebut terukur melalui berkurangnya kekayaan spesies dan kelimpahan individu
(Schulze et al. 2010). Respons spesies ini akan memengaruhi kestabilan kekayaan
keanekaragaman pada tingkat lokal (alpha diversity), bahkan mampu
mempercepat terjadinya peralihan (turn over) spesies (Kessler et al. 2009). Hasil
kajian Chemonics International (2013) menegaskan bahwa konversi hutan alam

6

yang masif di Indonesia pada rentang waktu dari 2001 hingga 2012 mempercepat
resiko kepunahan spesies yang terdaftar dalam IUCN RedList, dengan rincian
96% mamalia, 93% burung dan reptil, dan 59% serangga. Di lain sisi, beberapa
spesies dapat beradaptasi sehingga mendapatkan manfaat dan berkembang
walaupun terjadi perubahan habitat, seperti burung endemik Sulawesi (Waltert et
al. 2005). Namun, walaupun trend keanekaragaman spesies tersebut telah
diketahui secara global, keanekaragaman serangga pada hutan dataran rendah
tropis di pulau-pulau kecil masih belum terdokumentasi (Abdulhadi et al. 2014).
Kumbang tinja (Coleoptera: Scarabaeinae) merupakan mega-fauna detritivor
yang menguraikan kotoran dan bangkai hewan dalam ekosistem (Begon et al.
1990). Layanan jasa ekosistem ini mendukung ketersedian unsur hara tanah,
peningkatan aerasi, penyerapan air tanah dan penyebaran biji, polinasi dan agens
pengendali hayati (Scholtz et al. 2009). Di Mexico, kumbang tinja merupakan
salah satu faktor penentu regenerasi hutan karena mampu memencarkan 28 biji
spesies tumbuhan (Estrada dan Coates-Estrada 1991). Namun, keanekaragaman
dan keberlanjutan hidup kumbang tinja dalam hutan hujan tropis menghadapi
ancaman dari gangguan antropogenik, meliputi perburuan menyebabkan
hilangnya sumber penyedia kotoran bagi komunitas kumbang tinja (Hanski dan
Cambefort 1991), perubahan penggunaan lahan mempercepat penurunan jumlah
dan komposisi spesies kumbang tinja (Davis 2000; Kessler et al. 2009; Braga et al.
2013), pengecilan ukuran tubuh kumbang tinja (Shahabuddin et al. 2010), bahkan
memicu kepunahan spesies kumbang tinja asli hutan dan tergantikan oleh spesies
generalis (Hallfter dan Arellano 2002).
Hutan Lambusango (65,000 Ha) merupakan satu-satunya hutan hujan
dataran rendah tropis di Pulau Buton, Sulawesi. Kawasan hutan ini telah
terpetakan menjadi kawasan konservasi, kawasan hutan produksi, penambangan
aspal dan pemukiman penduduk. Konversi hutan alam oleh manusia terus
berlangsung bahkan kawasan hutan telah menjadi target program perluasan area
pemukiman penduduk dan penambangan aspal pemerintah kabupaten Buton
(Seymour 2004). Akibatnya, aksestabilitas manusia ke dalam hutan meningkat,
seperti pembukaan lahan pertanian, perburuan, pengambilan kayu ilegal,
pengambilan rotan dan pembuatan jalan setapak maupun perburuan illegal. Di lain
sisi, hutan Lambusango memiliki nilai konservasi yang tinggi. Hutan sekunder ini
menjadi habitat bagi spesies-spesies endemik Sulawesi seperti anoa, monyet ekor
panjang Buton, kus-kus dan tarsius. Tetapi, populasi dari masing-masing mamalia
khas Sulawesi tersebut terus berkurang tiap tahun. Wheeler dan Dwiyahreni
(2007) melaporkan angka perburuan ilegal anoa mencapai 8 ekor anoa setiap
tahun, dari total kisaran populasi antara 100-150 anoa.
Gangguan antropogenik terhadap komunitas flora dan fauna di hutan
Lambusango dapat memengaruhi komunitas kumbang tinja. Sebagai organisme
yang sangat tergantung pada relasi donor-controlled, artinya organisme penyedia
sumber daya (kotoran) mengontrol kepadatan sumber daya bagi organisme
penerima, dan tidak ada cadangan kotoran (Begon et al. 1990), keberadaan
kumbang tinja berkaitan erat dengan keberadaan penyedia sumber daya dan
kondisi habitat.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
respons komunitas kumbang tinja pada gradien gangguan habitat, dan untuk
mengkaji hubungan faktor lingkungan terhadap respons komunitas kumbang tinja.

7

Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat menjadi sumber informasi baru
bagi perkembangan ilmu ekologi serangga khususnya kumbang tinja pada habitat
hutan dengan beragam tingkat gangguan habitat.

Metode Penelitian
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai Januari 2015 meliputi
pengambilan sampel kumbang tinja di lapang serta identifikasi dan analisis tanah
di laboratorium. Penelitian lapang dilakukan di kawasan Hutan Lambusango
(5°24'S, 123°07'E), Pulau Buton, Sulawesi Tenggara (Gambar 1). Penyortiran
spesimen, identifikasi dan analisis data dilakukan di Laboratorium Pengendalian
Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Validasi hasil identifikasi dilakukan
di Laboratorium Entomologi, Zoologi, LIPI, Cibinong. Analisis tanah dilakukan
di Laboratorium Kesuburan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB.
Pengolahan data dan penyusunan tesis dilakukan bulan Februari hingga bulan
September 2015.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian di hutan Lambusango, pulau Buton, Sulawesi
Tenggara
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan terdiri atas alkohol 96%, air, garam, sabun, 2400
gram kotoran sapi yang segar, tanah dan lem. Alat yang digunakan meliputi gelas
plastik (tinggi 9 cm, diameter 6,5 cm), plastik penutup perangkap (diameter 11,8
cm), kain kasa, satu set lidi (panjang 20 cm), sekop kecil, tali kasur, karet gelang
pena marker, pinset, saringan, plastik spesimen, jarum serangga, pinning block,
dan botol spesimen (eppendorf tube).

8

Metode Pengambilan Sampel Kumbang Tinja
Pengambilan sampel kumbang tinja dilakukan pada tiga tipe gangguan
habitat di kawasan hutan sekunder Lambusango. Penggolongan gangguan habitat
dibedakan berdasarkan kompleksitas strata vegetasi, tutupan tajuk dan
aksesibilitas (Tabel 1). Metode yang digunakan merupakan kombinasi metode
transek dan metode perangkap jebak dengan umpan (baited-pitfall trap)
(modifikasi dari Shahabudin et al. 2005). Penentuan transek di lokasi hutan
disesuaikan dengan alur transek dan grid yang telah ditetapkan oleh Operation
Wallacea (Seymour 2004). Sedangkan, pada lokasi kebun jambu mete ditentukan
langsung pada saat di lapangan. Pada tiap lokasi dilakukan pengambilan sampel
kumbang tinja dengan metode yang sama dan diperlukan satu hari untuk
menyelesaikan pemasangan atau pengambilan sampel. Apabila sebelum dan
sesudah pemasangan perangkap jebak menemui hambatan seperti hujan deras,
maka sampling dibatalkan serta dilakukan pergantian perangkap dan umpan.
Spesimen yang terjebak dalam perangkap sebelumnya tidak dikoleksi.
Tabel 1 Karakteristik lokasi penelitian
Tipe
Karakteristik
Luas,
Gangguan
habitat*
Koordinat,
Habitat
Ketinggian*
Rendah
Hutan sekunder
1.200 Ha (total
tidak terganggu,
35.000 ha)
pohon (D> 30 cm
5°27'S,122°95'E
dbh, T> 20 m),
(345-431 m dpl)
rotan
Sedang
Hutan sekunder
100 Ha (total 810
terganggu, pohon
Ha)
(D >10 cm dbh,
5°18'S,122°88'E
T10-20 m), rotan
(172-259 m dpl)
Tinggi

Perkebunan jambu
mete yang tidak
terawat, rumput

2 Ha
5°18'S,122°89'E
(86-172 m dpl)

Jarak (Waktu Tempuh)0,
Aksesibilitas & Aktifitas
Manusia
± 5.14 km (3-4 jam), jalan
setapak, menyebrangi 4
sungai besar, pengambilan
madu (tidak rutin) dan rotan
± 1.5 km (45 menit), jalan
setapak permanen, dekat
jalan raya, perkebunan &
pemukiman, pengambilan
rotan & kayu (rutin)
± 1.5 km (30 menit), jalan
setapak, dekat jalan raya &
pemukiman, tempat
penggembalaan sapi (rutin)

Sumber :*(Seymour 2004; Singer dan Purwanto 2006). D=diameter; T=tinggi; odari desa terdekat

Persiapan Perangkap Jebak dengan Umpan
Koleksi sampel kumbang tinja dilakukan dengan menggunakan metode
perangkap jebak dengan umpan. Perangkap jebak yang digunakan terdiri dari
gelas plastik, plastik penutup dan tripod penyangga plastik penutup. Setiap plastik
penutup perangkap dibuat tiga titik lubang berbentuk segitiga untuk peletakkan
tripod dan satu lubang ditengah sebagai tempat gantung umpan. Tripod terbuat
dari tiga buah lidi yang direkatkan dengan karet pada pada bagian ujung atas lidi.
Ujung bawah tiap lidi dibuat tajam/runcing sehingga mudah dibenamkan ke dalam
tanah. Umpan yang digunakan yaitu kotoran sapi yang masih segar (20
gram/perangkap) (Shahabuddin et al. 2010). Kotoran sapi dibungkus dengan kain
kasa (10 x 10 cm), diikat dengan tali kasur dan ditautkan pada lubang di tengah

9

plastik penutup perangkap. Cairan perangkap dibuat dari campuran air, garam dan
sabun. Untuk air dalam satu botol ukuran 600 ml, garam yang digunakan sejumlah
½ sendok teh dan sabun secukupnya, lalu campuran ini dikocok. Untuk setiap
lokasi dibutuhkan 3 buah botol cairan perangkap.
Sampling Kumbang Tinja
Pada tiap lokasi dilakukan pengambilan sampel kumbang tinja dengan
menggunakan perangkap jebak dengan umpan. Skematik pengambilan sampel
kumbang tinja dapat dilihat pada Gambar 2.
Pada tiap luasan habitat, dipasang 30 gelas plastik beserta umpan.
Pemasangan gelas dilakukan secara sistematis yaitu dalam suatu habitat
ditentukan transek sepanjang 100 m, dipasang 10 gelas perangkap, dengan jarak
antar perangkap sejauh 10 m. Metode pemasangan yang sama diulang sebanyak
dua kali, dengan jarak antar transek yaitu 500 m. Tiap gelas perangkap
dibenamkan sedalam 9 cm. Permukaan gelas harus sejajar permukaan tanah. Lalu,
gelas perangkap diisi cairan perangkap sebanyak kurang lebih 50 ml. Kemudian,
plastik penutup perangkap yang telah dipasang tripod dan umpan ditanam di atas
gelas plastik. Jarak antar umpan dengan bibir gelas plastik 2 cm.
1000 m
umpan
tanah
500 m

10 m
0m

100 m

Gambar 2 Skema pengambilan sampel kumbang tinja di hutan Lambusango
Koleksi spesimen dilakukan setelah 48 jam pemasangan perangkap dan
hanya dilakukan sekali pengambilan spesimen pada setiap transek. Selanjutnya,
spesimen dibersihkan dengan air, disortir dan disimpan dalam larutan alkohol
96 %. Lalu dilanjutkan dengan identifikasi di laboratorium.
Pengukuran Vegetasi Bawah dan Serasah
Pengukuran dan pendokumentasian vegetasi bawah difokuskan pada
keanekaragaman semak dan rumput. Data yang diambil meliputi jumlah individu
untuk semak dan jumlah rumpun dari rumput. Pengukuran serasah meliputi
persentase tutupan serasah. Analisis vegetasi bawah dan persentase tutupan
serasah (leaflitter coverage) dilakukan pada plot yang sama, dengan ukuran 2 x 2
m pada tiap perangkap jebak. Titik pusat kuadran berada pada lubang perangkap
jebak.

10

Pengukuran Data Fisik
Pengukuran data fisik meliputi ketinggian, titik koordinat, sifat kimia dan
fisik tanah. Pengukuran ketinggian dan posisi geografi dengan menggunakan GPS
pada tiap transek penelitian.
Pengukuran sifat kimia dan fisik tanah dilakukan di Bogor. Pengambilan
sampel tanah dilakukan pada setiap transek penelitian pada kedalaman 0-20 cm.
Ulangan yang dilakukan sebanyak tiga kali untuk tiap lokasi penelitian. Analisis
sampel tanah meliputi: derajat keasaman tanah (pH) dan tekstur tanah (pasir,
debu, dan liat).
Identifikasi Kumbang Tinja
Identifikasi dilakukan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen
Proteksi Tanaman IPB. Kunci identifikasi spesies kumbang tinja merujuk pada
kunci identifikasi Boucomont (1914), Balthasar (1963), Krikken dan Huijbregts
(2008, 2009, 2011), Ochi dan Araya (1992), serta Ochi dan Kon (2004).
Identifikasi dilakukan sampai pada tingkatan genus dan spesies. Validasi hasil
identifikasi dikoordinasikan dengan Laboratorium Entomologi, Zoologi- LIPI di
Bogor.
Identifikasi Vegetasi Bawah
Identifikasi vegetasi bawah dilakukan di Laboratorium Ekologi Hutan,
Fakultas Kehutanan IPB. Kunci identifikasi vegetasi bawah merujuk pada tiga tipe
referensi, terdiri atas buku identifikasi (Whitten et al. 1987; Sastrapradja dan
Afriastini 1980; Zamora dan Co 1986) dan artikel ilmiah (Ramadhanil 2006).
Identifikasi vegetasi bawah dikelompokkan pada kelas semak, paku, rumput dan
terna.
Analisis Penelitian
Data hasil penelitian ditabulasi dengan menggunakan microsoft excel.
Pengolahan data menggunakan paket vegan dari software R-Statistic (R
Development Core Team 2011), program Primer, dan program CANOCO Version
4.56 Maret 2009. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik
parametrik untuk uji beda nilai tengah dan statistik non-parametrik untuk
pengukuran estimasi spesies, pengukuran keanekaragaman dan komposisi
kumbang tinja dan pengukuran hubungan antara kumbang tinja dan karakteristik
lingkungan. Pengujian beberapa nilai tengah data menggunakan ANOVA, uji
lanjut nilai tengah menggunakan uji Beda Nyata Jujur Tukey (Gotelli dan Ellison
2013).
Estimasi Kekayaan Spesies Kumbang Tinja
Estimasi kekayaan spesies kumbang tinja pada tiap lokasi dihitung dengan
menggunakan estimator asimtotik Chao 1 (Chao et al. 2009). Indeks Chao 1
merupakan alat ukur estimasi spesies berdasarkan ekstrapolasi data jumlah
individu terkecil atau individu yang jarang ditemukan (rare species), yang
dirumuskan sebagai berikut :
Chao Sobs

f

f

jika f

Chao Sobs

f (f –

(f

jika f

0

11

Keterangan :
Sobs = Jumlah spesies yang diobservasi pada sampel
f1 = Jumlah singletons (spesies pada sampel diwakilkan oleh 1 individu)
f2 = Jumlah doubletons (spesies pada sampel diwakilkan oleh 2 individu)

Analisis Keragaman
Analisis keragaman kumbang tinja dihitung berdasarkan prinsip
keaneakaragaman alfa, yaitu ukuran keanekaragaman pada tingkat yang paling
sederhana yang dapat didefenisikan sebagai jumlah spesies yang ditemukan dalam
komunitas (Magurran 2004). Pengukuran keanekaragaman α pada tiap lokasi
dapat dihitung dengan menggunakan rumus indeks Shannon-Wienner (H’ , dan
kemerataan spesies dianalisis dengan indeks kemerataan Shannon-Wiener (J’ ,
dan dominansi spesies pada tiap lokasi dapat dihitung denganan rumus Indeks
Simpson (D) (Magurran 2004). Uji lanjut terhadap nilai H’ dihitung dengan
menggunakan uji t dengan ragam dan derajat bebas yang dikembangkan untuk
perhitungan keanekaragaman (Magurran 1988).
Indeks Shannon-Wienner
H’= - Σ pi ln pi
Pengukuran Kemerataan Shannon
J’= H’/ln S
Keterangan :
H’ = Indeks Shannon-Wienner
pi = proporsi individu yang ditemukan pada spesies ke-i
S
= jumlah spesies

Indeks Simpson
D=Σ
Keterangan :
D = Indeks Simpson
ni = jumlah individu pada spesies ke-i
N = jumlah total individu yang ditemukan

Analisis Kesamaan Komunitas
Analisis kesamaan komunitas dihitung berdasarkan prinsip kedekatan jarak.
Indeks Bray-Curtis (Magurran 2004) digunakan untuk mengukur ketidaksamaan
jarak antar spesies berdasarkan data kelimpahan individu, yang dirumuskan
sebagai berikut:

Keterangan :
CN = Indeks Bray-Curtis
2jN = jumlah kelimpahan spesies terendah yang ditemukan pada 2 lokasi
Na = jumlah individu pada lokasi A
Nb = jumlah individu pada lokasi B

12

Nilai CN pada rentang 0 hingga 1. Nilai 1 mengindikasikan jumlah spesies yang
ditemukan pada kedua habitat adalah sama. Uji lanjut terhadap kesamaan
komposisi komunitas kumbang tinja dihitung dengan menggunakan Analisis
Kesamaan Satu Arah (ANOSIM).
Matriks kesamaan spesies (dihitung dari nilai 1 - CN) dipetakan dalam grafik
dua dimensi dengan menggunakan pendekatan Non-Metric Multidimensional
Scaling (NMDS) (Clarke 1993). NMDS merupakan salah satu ordinasi multivariat
dengan tujuan menempatkan objek-objek yang berbeda dalam ruang ordinasi
dengan menggunakan pendekatan rank-order terhadap jarak original atau nilai
ketidaksamaan. Jika objek memiliki kesamaan yang tinggi, maka objek tersebut
terletak saling berdekatan dalam ordinasi. Jika objek terletak saling berjauhan
maka, objek tersebut berbeda satu dengan yang lain, atau tidak ada kesamaan
antar objek. Ketepatan obyek pada posisi dalam grafik ditunjukkan oleh nilai
stress, yang dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:
δij = regresi dari matriks dij









^

δij = nilai prediksi regresi δij

Semakin rendah nilai stress (mendekati nol) maka posisi obyek semakin tepat,
dengan keterangan sebagai berikut:
 Stress