Keanekaragaman Jenis Burung Pada Beberapa Tipe Habitat Di Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG PADA BEBERAPA TIPE
HABITAT DI HUTAN LAMBUSANGO, PULAU BUTON,
SULAWESI TENGGARA

MUCHAMAD FAHMI PERMANA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman
Jenis Burung pada Beberapa Tipe Habitat di Hutan Lambusango, Pulau Buton,
Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016

Muchamad Fahmi Permana
NIM E34100089

iv

ABSTRAK
MUCHAMAD FAHMI PERMANA Keanekaragaman Jenis Burung pada
Beberapa Tipe Habitat di Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.
Dibimbing oleh ANI MARDIASTUTI
Tujuan penelitian ini adalah untuk menghitung keanekaragaman jenis
burung dan menganalisis respon komunitas burung terhadap tipe habitat yang

berbeda. Penelitian ini dilakukan di Hutan Lambusango. Dijumpai 60 jenis burung
dengan menggunakan metode point count, termasuk 30 jenis diantaranya
merupakan jenis endemik Sulawesi. Jenis burung yang paling banyak terdapat
pada habitat perkebunan dengan 43 jenis dan indeks keanekaragaman jenis
Shannon-Wiener (H’) sebesar 3,12, kemudian habitat perdesaan dengan 34 jenis
(H’=12), hutan sekunder dengan 33 jenis (H’=2,86), dan terakhir hutan primer
dengan 17 jenis (H’=2,50). Komposisi burung antara hutan primer dan hutan
sekunder terdapat kesamaan sebesar 78,78%. Dari kedua komunitas tersebut
terdapat kesamaan sebesar 57,56% dengan habitat perkebunan. Terdapat 7 model
respon burung terhadap perbedaan habitat. Faktor habitat seperti komposisi
tumbuhan dan struktur vegetasi dapat mempengaruhi komposisi jenis burung.
Selain itu, terdapat juga faktor dari luar seperti cuaca yang dapat mempengaruhi
keberadaan burung di suatu habitat.
Kata kunci: hutan Lambusango, keanekaragaman burung, perbedaan habitat

ABSTRACT
MUCHAMAD FAHMI PERMANA Bird Diversity in Several Different Habitats
at LambusangoForest, Buton Island, Southeast Sulawesi supervised by ANI
MARDIASTUTI
The aim of this research was to counting bird diversity and reveal the bird

communities response toward the difference of habitat. In total, 60 species were
detected by point count methods, including 30 endemic birds. The highest number
of species were found in farmland with 43 spesies and 3.12 value of ShannonWiener diversity index (H’), followed by village with 34 species (H’=3.12),
Secondary forest with 33 species (H’=2.86), and primary forest with 17 species
(H’=2.50). Bird composition between primary forest and secondary forest were
similar with 78.78% of Jaccard similarity index (SIj). There are 7 models of bird
response to habitat difference. Two species were forest specialist that specifically
choose forest as a living place. Habitat factor like plant composition and
vegetation structure may affect bird communities composition. But, there was
external factor like the weather that could affect the bird existence in the habitat.
Keywords: Lambusango forest, bird diversity, habitat difference

v

KEANEKARAGAMAN
JENIS
BURUNG
PADA
BEBERAPA
KEANEKARAGAMAN

JENIS
BURUNG
PADA
BEBERAPA
TIPE
TIPE
HABITAT
DI HUTAN
LAMBUSANGO,
PULAU
BUTON,
HABITAT
DI HUTAN
LAMBUSANGO,
PULAU
BUTON,
SULAWESI TENGGARA
TENGGARA
SULAWESI


MUCHAMAD FAHMI PERMANA

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
DEPARTEMEN KONSERVASI
SUMBERDAYA HUTAN DAN
INSTITUTEKOWISATA
PERTANIAN BOGOR
BOGOR
FAKULTAS
KEHUTANAN
2016
INSTITUT PERTANIAN BOGOR


vi

viii
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang
dilakukan pada bulan Juni-Juli 2014 ini menghasilkan karya ilmiah yang berjudul
Keanekaragaman Jenis Burung pada Beberapa
Tipe Habitat di Hutan
Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.
Terima kasih penulis sampaikan kepada ibu Prof Dr Ani Mardiastuti M.Sc
sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing dengan sabar. Terima kasih
kepada BKSDA Sulawesi Tenggara dan Operation Wallacea yang telah
memfasilitasi selama penelitian di sana terutama kepada Dr Thomas Edward
Martin sebagai head scientist yang banyak membantu selama penelitian
berlangsung. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Lawana EKOTON dan
masyarakat desa Labundo-Bundo khususnya Mama Winda beserta keluarga yang
rumahnya dijadikan tempat tinggal penulis selama penelitian dan La Mili juga La
Salimu yang menjadi pendamping selama penelitian. Terima kasih tidak lupa

disampaikan kepada Tim Lambusango IPB (Aronika Kaban, Haffiyan
Sastranegara, Aria Nusantara, Romi Prasetyo, dan Fadhilla Mansyur) yang sangat
membantu selama penelitian juga Bayu Yogatama sebagai rekan penelitian.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan Nepenthes
Rafflesiana, KPB Perenjak, dan HIMAKOVA. Terakhir, penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga yaitu ayahanda Achmad Ali
Mustofa, ibunda Miming dan Warniti, serta adinda Annisa Dwi Ariyani atas
segala doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2016

Muchamad Fahmi Permana

ix

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vii


DAFTAR GAMBAR

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2


METODE

2

Waktu dan Tempat Penelitian

2

Alat

3

Metode Pengumpulan Data

3

Analisis Data

4


HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN

6
6
21
25

Simpulan

25

Saran

25

DAFTAR PUSTAKA


26

LAMPIRAN

29

x
DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Skala urutan kelimpahan jenis burung berdasarkan lamanya
waktu pengamatan.
Keragaman jenis burung yang dijumpai di hutan primer (Point
Count)
Jenis burung yang tidak dijumpai dalam metode point count di
hutan primer
Keragaman jenis burung yang dijumpai di hutan sekunder
Jenis burung yang tidak dijumpai dalam metode point count di
hutan sekunder
Keragaman jenis burung yang dijumpai di perkebunan
Jenis burung yang tidak dijumpai dalam metode point count di
perkebunan
Keragaman jenis burung yang dijumpai di perdesaan
indeks keanekaragaman (H’), kemerataan (E), dan tingkat
perjumpaaan jenis (TPJ)
Hasil analisis nilai keanekaragaman dengan menggunakan uji-t
Jenis-jenis burung yang mendominasi (nilai indeks dominansi >
5%)
Tabel dominansi berdasarkan suku pada setiap habitat
Penyebaran guild pada masing-masing habitat
Jenis-jenis burung berdasarkan status perlindungan, perdagangan,
dan
Hasil penelitian pada tahun 2013 (Ahmadi 2013) dan 2014

5
7
7
9
10
11
12
13
15
15
15
16
17
18
19

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Peta lokasi penelitian
Penggunaan metode titik hitung pada jalur
Profil habitat hutan primer
Burung Julang Sulawesi yang dijumpai di hutan primer
Profil habitat hutan sekunder
Sikepmadu Sulawesi dan Elangular Sulawesi yang dijumpai di
hutan sekunder
Profil habitat perkebunan
Profil habitat perdesaan
Kurva daftar jenis MacKinnon pada setiap habitat
jenis burung yang dapat dijumpai di semua habitat
Beberapa jenis burung dominan
Dendogram indeks kesamaan jenis tiap habitat
Kurva respon burung terhadap tipe habitat

2
3
6
8
8
10
10
12
14
16
17
17
18

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hutan Lambusango merupakan kawasan hutan yang berada di Pulau
Buton. Hutan Lambusango memiliki luas 28.510 ha yang terdiri atas Suaka
Margasatwa SM) Lambusango (27.700 ha) dan Cagar Alam (CA) Kakenauwe
(810 ha) (Martin et al. 2012). Hutan Lambusango berada pada ketinggian antara
50-780 mdpl dengan puncak tertingginya berada di daerah pegunungan Warumbia
(Singer dan Purwanto 2006). Hutan Lambusango juga termasuk ke dalam
Important Bird Areas dan Endemic Bird Areas (Birdlife International 2004).
Penyebaran spesies burung pada suatu daerah akan dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan seperti luas kawasan, letak geografis, dan kualitas ekosistem
(Alikodra 2002). Komposisi burung akan berbeda sesuai dengan kondisi
ekosistem di lokasi tersebut. Perbedaan komposisi burung dapat disebabkan oleh
kondisi unsur biotik dan abiotik yang ada, persaingan antar spesies, dan
fragmentasi habitat (Lomolino 2001).
Menurut Patterson et al. (1995), hutan yang memiliki struktur vegetasi
yang beragam akan memiliki keanekaragaman jenis burung yang tinggi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa perbedaan tipe habitat akan mempengaruhi
komposisi jenis burung di dalamnya. Keanekaragaman, jumlah jenis, dan populasi
burung semakin berkurang mengikuti pola: hutan primer, hutan sekunder,
Perdesaan, dan perkebunan (Sodhi et al. 2004). Penelitian O’Dea dan Whittaker
(2007) menyatakan bahwa hutan sekunder, yang keberadaannya dekat dengan
hutan primer memiliki potensi yang tinggi untuk konservasi burung. Hutan
sekunder tersebut dapat memiliki keanekaragaman yang sama tingginya dengan
hutan primer.
Beberapa penelitian tentang burung di hutan Lambusango telah dilakukan
sebelumnya. Penelitian Minarni (2007) tercatat 51 jenis burung di kawasan hutan
Lambusango dan 25 jenis diantaranya merupakan jenis endemik Sulawesi. Martin
et al. (2012) mencatat 79 jenis burung di hutan Lambusango dengan
menggunakan pengamatan langsung dan mist-netting. Sastranegara (2013) dan
Ahmadi (2013) mencatat masing-masing 63 dan 62 jenis burung di hutan
Lambusango. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kesimpulan yang berbeda
dengan penelitian Sodhi et al. (2004) di Sulawesi Tengah.
Hasil penelitian sebelumnya (Minarni 2007, Martin et al. 2013,
Sastranegara 2013, Ahmadi 2013) di hutan Lambusango menunjukkan bahwa
hutan sekunder memiliki keanekaragaman jenis burung yang tinggi dibandingkan
dengan hutan primer. Menurut Baker et al. (2002), keberadaan ekoton di antara
habitat hutan dan non hutan menjadikan komunitas burung di dalamnya gabungan
antara dua komunitas habitat tersebut. Menurut Singer dan Purwanto (2006),
keberadaan hutan Lambusango semakin terancam akibat pembukaan lahan untuk
perkebunan atau pertanian dan permukiman penduduk. Hal tersebut akan
mempengaruhi keberadaan burung di hutan Lambusango. Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui keanekaragaman burung di hutan primer, hutan sekunder,
perkebunan, dan desa sekitar hutan.

2
Tujuan Penelitian

1.
2.

Tujuan dari penelitian ini adalah
menghitung keanekaragaman dan kelimpahan jenis burung pada beberapa
tipe habitat yaitu hutan primer, hutan sekunder, perkebunan, dan perdesaan;
menganalisis hubungan antara keanekaragaman burung dengan kondisi
habitat (tipe habitat, komposisi, struktur vegetasi, dan adanya gangguan pada
habitat).
Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini berupa data dan informasi dasar mengenai hubungan
antara keanekaragaman burung dengan tipe habitat di kawasan hutan
Lambusango. Data dan informasi tersebut diharapkan mampu memberi kontribusi
dalam pengetahuan mengenai keanekaragaman burung dan dapat digunakan
dalam pengelolaan kawasan.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Juli 2014 di hutan Lambusango,
Pulau Buton, Sulawesi Tenggara (Gambar 1). Transek pengamatan berada di
habitat hutan primer, hutan sekunder, perkebun, dan perdesaan sekitar hutan
Lambusango.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian

3
Alat
Alat yang digunakan dalam memperoleh data adalah peta lokasi
penelitian, binokuler, pita ukur, kompas, tali tambang, kamera, alat pencatat
waktu, alat tulis, taly sheet, buku panduan lapang burung-burung di kawasan
Wallacea (Coates dan Bishop 1997), GPS, dan haga altimeter. Obyek yang
diamati dalam penelitian ini adalah burung-burung yang berada di hutan
Lambusango, kondisi kelembaban, suhu, dan vegetasi pada masing-masing tipe
habitat.
Metode Pengumpulan Data
Orientasi lapang dilakukan selama satu minggu sebelum penelitian untuk
menentukan transek-transek yang akan dijadikan lokasi pengamatan. Data yang
diambil berupa data primer dan data sekunder. Data primer berupa data burung
dan data habitat meliputi suhu, kelembaban, dan vegetasi.
Data habitat
Pengumpulan data vegetasi menggunakan plot berukuran 10 x 50 m untuk
mengetahui tipe, struktur, dan komposisi vegetasi. Pembuatan profil pohon pada
masing-masing ketinggian dilakukan untuk mengetahui komposisi vegetasi serta
strata tajuk di lokasi penelitian. Pengukuran dilakukan terhadap jenis pohon dan
tiang yaitu tinggi total pohon, tinggi bebas cabang, diameter pohon, dan tutupan
tajuk.
Data burung
Metode pengumpulan data burung menggunakan metode titik hitung pada
jalur (point count) (Bibby et al. 1998). Jarak antar titik pengamatan ditetapkan
300 m dengan radius pengamatan 100 m (Gambar 2). Panjang jalur pengamatan
1200 m dan pengamatan di setiap titik dilakukan selama 10 menit pada pagi hari
pukul 06.00-09.00 WITA dengan pertimbangan jenis-jenis burung diurnal
memulai aktivitas hariannya, terutama mencari makan pada pagi hari (Kristanto et
al. 2005). Jumlah titik yang digunakan dalam metode point count sebanyak 20
titik dengan total panjang jalur 4,8 km di setiap habitat. Parameter yang dicatat
pada saat pengamatan adalah jenis, jumlah individu, dan waktu perjumpaan.

50 m

300 m

1200 m

Gambar 2 Penggunaan metode titik hitung pada jalur (Point count)
Metode lain juga digunakan untuk mengetahui kekayaan jenis burung
dengan menggunakan metode daftar jenis MacKinnon (MacKinnon et al. 1998;

4
Bibby et al. 2000). Metode daftar jenis MacKinnon ini dilakukan dengan cara
pengamat membuat daftar yang berisikan 10 jenis berbeda pada setiap daftarnya.
Pencatatan dengan metode ini dapat dilakukan di luar waktu atau titik pengamatan
pada saat melakukan point count. Dari daftar jenis yang didapat kemudian dibuat
menjadi kurva keanekaragaman jenis MacKinnon yang dapat menggambarkan
kekayaan jenis burung di lokasi tersebut.
Analisis Data
Data habitat
Data mengenai vegetasi akan dianalisis tentang penggunaan habitat bagi
burung. Profil struktur vegetasi digambar untuk menunjukkan profil stratifikasi
hutan dengan skala 1:200 pada setiap tipe habitat yang diamati beserta analisis
deskriptif.
Untuk menghitung tinggi rata-rata dan diameter rata-rata pohon,
menggunakan rumus:
t
= ∑t / N

Keterangan:

d

= ∑d / N

t
d
N

= Tinggi pohon
= Diameter pohon
= Jumlah pohon

Data burung
Data mengenai keanekaragaman jenis burung dihitung menggunakan
indeks keanekaragaman (H’) Shannon-Wiener (Magurran 2004).
H’

= - ∑ pi ln pi

Pi

=

Jumlah burung spesies ke-i
Jumlah total burung

H’
= Indeks keanekaragaman jenis
Pi
= Proporsi nilai penting
ln
= Logaritma natural
Data mengenai proporsi kelimpahan jenis burung dihitung dengan
menggunakan indeks kemerataan (E) (Index of Evennes) (Krebs 1978).

Keterangan:

SE’
ln S

H’/jenis
ln S
==Jumlah
= Jumlah jenis

Data mengenai dominansi jenis burung dihitung menggunakan rumus van
Helvoort (1981).
Ni
Di (%)
=
N
Keterangan

Di
Ni
N

= Indeks dominansi suatu jenis burung
= Jumlah individu suatu jenis
= Jumah individu dari seluruh jenis

5

Tingkat dominansi jenis burung digolongkan dengan kriteria sebagai berikut:
Di
Di
Di

0%-2%
2%-5%
>5%

;
;
;

jenis tidak dominan
jenis subdominan
jenis dominan

Untuk mengetahui kesamaan komunitas jenis burung antar lokasi
pengamatan digunakan indeks kesamaan komunitas Jaccard (ISj) (Krebs 1978).
Kemudian untuk melihat tingkat kesamaannnya, digunakan dendogram dari
komunitas burung antar lokasi pengamatan untuk mempermudah mengetahui
tingkat kesamaan antar lokasi.
Untuk mengetahui tingkat pertemuan suatu jenis burung didapatkan
dengan cara menghitung tingkat perjumpaan jenis (TPJ). Nilai yang didapat
kemudian diklasifikasikan berdasarkan skala urutan kelimpahan sederhana (Bibby
et al. 2000) sesuai dengan lamanya waktu pengamatan (Tabel 1). Penamaan
spesies burung menggunakan acuan dari buku daftar burung Indonesia no 2
(Sukmantoro et al. 2007). Pengelompokkan status konservasi jenis burung yang
ditemukan mengacu kepada UU No 5 tahun 1990, PP No 7 tahun 1999, IUCN
Red List dan CITES.
Tabel 1 Skala urutan kelimpahan jenis burung berdasarkan lamanya waktu pengamatan.

Kelimpahan

Nilai Kelimpahan

Skala Urutan

4,00

5

Melimpah

Keanekaragaman spesies burung tiap masing-masing habitat dibandingkan
dengan menggunakan uji-t pada tingkat kepercayaan 95% dengan menggunakan
hipotesis:
H0= tidak ada perbedaan keanekaragaman jenis burung antar tiap habitat yang
berbeda
H1= terdapat perbedaan keanekaragaman jenis burung antar tiap habitat yang
berbeda
Dari hasil perhitungan, akan diambil kesimpulan sebagai berikut:
- Tolak H0 jika nilai Pvalue < 0,05 yang berarti keanekaragaman jenis burung di
habitat tersebut berbeda nyata dengan keanekaragaman jenis burung di habitat
lainnya.
- Terima H0 jika nilai Pvalue ≥ 0,05 yang berarti keanekaragaman jenis burung di
habitat tersebut tidak berbeda nyata dengan keanekaragaman jenis burung di
habitat lainnya.

6
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Kondisi habitat dan keanekaragaman jenis burung
Hutan primer
Hutan primer tempat pengambilan data terletak di camp Bala yang yang
dahulunya merupakan hutan produksi terbatas. Hutan tersebut terletak pada
ketinggian 400-600 m. Pada lokasi pengamatan banyak dijumpai pohon berangan
(Castanopsis buruana) atau yang biasa disebut ngasa oleh masyarakat setempat.
Dari hasil sampling dengan menggunakan petak contoh dijumpai 16 individu
pohon dari 7 jenis pohon. Jenis pohon yang paling banyak dijumpai berasal dari
famili Fagacea yaitu Castanopsis buruana dan juga family Myristaceae dengan
jenis Myristica koordesi dan Myristica malaccensis.
m

Gambar 3 Profil habitat hutan primer

m

Tinggi pohon rata-rata di lokasi tersebut adalah 22,12 m (n=16) dengan
diameter batang rata-rata sebesar 25,00 cm (n=16). Pohon tertinggi yang terdapat
di lokasi tersebut adalah pohon berangan (Castanopsis buruana) dengan tinggi
36,0 m. Selain itu, terdapat juga jenis lain yang dijumpai di luar petak pengamatan
seperti matoa (Pometia pinnata) dan rotan.
Hasil pengamatan keragaman jenis burung di habitat hutan primer
dijumpai 17 jenis burung dari 14 suku dengan menggunakan metode point count
(Tabel 2). Beberapa jenis burung spesialis hutan dijumpai dalam pengamatan kali

7
ini yaitu, Udangmerah Sulawesi, Kangkareng Sulawesi, Julang Sulawesi,
Kepudang Sulawesi, dan Pergam Tutu.
Tabel 2 Keragaman jenis burung yang dijumpai di hutan primer (Point Count)
Suku
Phasianidae
Columbidae
Columbidae
Psittacidae
Cuculidae
Alcedinidae
Alcedinidae
Bucerotidae
Bucerotidae
Picidae
Campephagidae
Timaliidae
Muscicapidae
Monarchidae
Dicaeidae
Oriolidae
Dicruridae

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Nama
Ayamhutan Merah
Pergam Tutu
Pergam Hijau
Kringkring Bukit
Bubut Sulawesi
Udangmerah Sulawesi
Cekakak Sungai
Kangkareng Sulawesi
Julang Sulawesi
Pelatuk Kelabu-Sulawesi
Kepudangsungu Belang
Pelanduk Sulawesi
Sikatan Matari
Kehicap Ranting
Cabai Panggul-kelabu
Kepudang Kuduk-hitam
Srigunting Jambul-rambut

Nama Ilmiah
Gallus gallus
Ducula forsteni
Ducula aenea
Prioniturus platurus
Centropus celebensis
Ceyx fallax
Halcyon chloris
Penelopides exarhatus
Aceros cassidi
Mulleripicus fulvus
Coracina bicolor
Trichastoma celebense
Culicicapa helianthea
Hypothymis azurea
Dicaeum celebicum
Oriolus chinensis
Dicrurus hottentottus

Burung di hutan primer lebih sering terdeteksi melalui suara, terkecuali
jenis Julang Sulawesi (Gambar 4.) dan Kangkareng Sulawesi yang memiliki
ukuran tubuh cukup besar. Terdapat 11 jenis burung yang tidak dijumpai pada
saat melakukan pengamatan dengan menggunakan metode point count (Tabel 3).
Jenis-jenis burung tersebut dijumpai dalam jumlah yang tidak banyak dan hanya
sesekali ditemukan di hutan primer. Meskipun begitu, terdapat 2 jenis burung
dilindungi yang juga merupakan burung pemangsa yaitu Elangular Sulawesi dan
Elang Sulawesi
Tabel 3 Jenis burung yang tidak dijumpai dalam metode point count di hutan primer
Famili
Accipitridae
Accipitridae
Columbidae
Columbidae
Cuculidae
Apodidae
Hemiprocnidae
Campephagidae
Nectariniidae
Corvidae
Zosteropidae

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Nama
Elangular Sulawesi
Elang Sulawesi
Walik Kembang
Pergam Putih
Kangkok Sulawesi
Walet Sapi
Tepekong Jambul
Kepudangsungu Sulawesi
Burungmadu Hitam
Gagak Sulawesi
Kacamata Sulawesi

Nama Ilmiah
Spilornis ruficeptus
Spizaetus lanceolatus
Ptilinopus melanospila
Ducula luctuosa
Cuculus crassirostris
Collocalia esculena
Hemiprocne longipenis
Coracina morio
Leptocoma sericea
Corvus typicus
Zosterops consobrinorum

9
Pengamatan burung di hutan sekunder dijumpai 33 jenis dari 22 suku (Tabel 4).
Daerah hutan sekunder yang berada di kawasan lindung ini memiliki 13 jenis
burung spesialis hutan yang dijumpai selama penelitian.
Dari hasil pengamatan di hutan sekunder ditemukan 4 jenis burung yang
hanya dijumpai di hutan sekunder. Empat jenis burung tersebut adalah:
Merpatihitam Sulawesi, Celepuk Sulawesi, Tionglampu Sulawesi, dan Anis
Punggung-merah. Selain jenis tersebut, terdapat jenis burung lain yang dijumpai
di luar waktu pengamatan point count (Tabel 5). Meskipun dalam jumah sedikit,
dijumpai jenis spesialis hutan yaitu udangmerah Sulawesi dan 2 jenis raptor yaitu
Sikepmadu Sulawesi dan Elang Sulawesi (Gambar 6).
Tabel 4 Keragaman jenis burung yang dijumpai di hutan sekunder
Suku
Accipitridae
Accipitridae
Phasianidae
Columbidae
Columbidae
Columbidae
Columbidae
Columbidae
Psittacidae
Psittacidae
Psittacidae
Psittacidae
Cuculidae
Cuculidae
Strigidae
Alcedinidae
Coraciidae
Bucerotidae
Bucerotidae
Picidae
Campephagidae
Campephagidae
Turdidae
Timaliidae
Muscicapidae
Monarchidae
Dicaeidae
Nectariniidae
Zosteropidae
Sturnidae
Oriolidae
Dicruridae
Corvidae

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33

Nama
Elangular Sulawesi
Elangalap Ekor-totol
Ayamhutan Merah
Walik Kembang
Punai Penganten
Pergam Hijau
Pergam Putih
Merpatihitam Sulawesi
Kringkring Bukit
Betetkelapa Punggung-biru
Serindit Sulawesi
Serindit Paruhmerah
Kedasi Hitam
Bubut Sulawesi
Celepuk Sulawesi
Cekakak Sungai
Tionglampu Sulawesi
Kangkareng Sulawesi
Julang Sulawesi
Pelatuk Kelabu-Sulawesi
Kepudangsungu Belang
Kepudangsungu Sulawesi
Anis Punggung-merah
Pelanduk Sulawesi
Sikatan Matari
Kehicap Ranting
Cabai Panggul-kelabu
Burungmadu Hitam
Kacamata Sulawesi
Blibong Pendeta
Kepudang Kuduk-hitam
Srigunting Jambul-rambut
Gagak Hutan

Nama Ilmiah
Spilornis rufipectus
Accipiter trinotatus
Gallus gallus
Ptilinopus melanospila
Treron griseicauda
Ducula aenea
Ducula luctuosa
Turacoena manadensis
Prioniturus platurus
Tanygnathus sumatranus
Loriculus stigmatus
Loriculus exilis
Surniculus lugubris
Centropus celebensis
Otus manadensis
Halcyon chloris
Coracias temminckii
Penelopides exarhatus
Aceros cassidix
Mulleripicus fulvus
Coracina bicolor
Coracina morio
Zoothera erythronota
Trichastoma celebense
Culicicapa helianthea
Hypothymis azurea
Dicaeum celebicum
Leptocoma sericea
Zosterops consobrinorum
Streptocitta albicollis
Oriolus chinensis
Dicrurus hottentottus
Corvus enca

11
Tabel 6 Keragaman jenis burung yang dijumpai di perkebunan
Suku
No Nama
Nama ilmiah
Accipitridae
1
Elangalap Ekor-totol
Accipiter trinotatus
Accipitridae
2
Elangular Sulawesi
Spilornis rufipectus
Columbidae
3
Punai Penganten
Treron griseicauda
Columbidae
4
Walik Kembang
Ptilinopus melanospila
Columbidae
5
Pergam Hijau
Ducula aenea
Columbidae
6
Pergam Putih
Ducula luctuosa
Columbidae
7
Uncal Ambon
Macropygia amboinensis
Psittacidae
8
Kringkring Bukit
Prioniturus platurus
Psittacidae
9
Betetkelapa Punggung-biru Tanygnathus sumatranus
Psittacidae
10 Serindit Sulawesi
Loriculus stigmatus
Psittacidae
11 Serindit Paruh-merah
Loriculus exilis
Cuculidae
12 Kangkok Sulawesi
Cuculus crassirostris
Cuculidae
13 Kedasi Hitam
Surniculus lugubris
Cuculidae
14 Kadalan Sulawesi
Rhamphococcyx calyorhynchus
Cuculidae
15 Bubut Alang-alang
Centropus bengalensis
Cuculidae
16 Bubut Sulawesi
Centropus celebensis
Apodidae
17 Walet sapi
Collocalia esculenta
Hemiprocnidae 18 Tepekong Jambul
Hemiprocne mystacea
Alcedinidae
19 Cekakak Australia
Halcyon sancta
Alcedinidae
20 Cekakak Sungai
Halcyon chloris
Bucerotidae
21 Kangkareng Sulawesi
Penelopides exarhatus
Bucerotidae
22 Julang Sulawesi
Aceros cassidix
Pittidae
23 Paok Mopo
Pitta erythrogaster
Campephagidae 24 Kepudangsungu Belang
Coracina bicolor
Campephagidae 25 Kepudangsungu Sulawesi
Coracina morio
Timaliidae
26 Pelanduk Sulawesi
Trichastoma celebense
Muscicapidae
27 Sikatan Matari
Culicicapa helianthea
Monarchidae
28 Kehicap Ranting
Hypothymis azurea
Dicaeidae
29 Cabai Panggul-kuning
Dicaeum aureolimbatum
Dicaeidae
30 Cabai Panggul-kelabu
Dicaeum celebicum
Nectariniidae
31 Burungmadu Kelapa
Anthreptes malacensis
Nectariniidae
32 Burungmadu Hitam
Leptocoma sericea
Nectariniidae
33 Burungmadu Sriganti
Cinnyris jugularis
Nectariniidae
34 Burungmadu Sepah-raja
Aethopyga siparaja
Zosteropidae
35 Kacamata Sulawesi
Zosterops consobrinorum
Sturnidae
36 Rajaperling Sulawesi
Basilornis celebensis
Sturnidae
37 Blibong Pendeta
Streptocitta albicollis
Sturnidae
38 Jalak Tunggir-merah
Scissirostrum dubium
Oriolidae
39 Kepudang Kuduk-hitam
Oriolus chinensis
Dicruridae
40 Srigunting Jambul-rambut
Dicrurus hottentottus
Artamidae
41 Kekep Babi
Artamus leucorynchus
Corvidae
42 Gagak Hutan
Corvus enca
Corvidae
43 Gagak Sulawesi
Corvus typicus

12
Daerah perkebunan merupakan habitat yang memiliki jumlah jenis burung
terbanyak dengan 43 jenis burung dibandingkan habitat lain. Selain itu, terdapat
pula 9 jenis burung yang dijumpai di luar waktu pengamatan (Tabel 7). Burungburung yang dijumpai di luar waktu pengamatan memang tidak banyak, tetapi
beberapa diantaranya merupakan jenis endemik Sulawesi. Burung tersebut adalah:
Kepudangdungu Tunggir-putih, Pekaka Bua-bua, dan Pelatuk Kelabu-Sulawesi.
Tabel 7 Jenis burung yang tidak dijumpai dalam metode point count di perkebunan
Suku
Ciconiidae
Accipitridae
Accipitridae
Alcedinidae
Picidae
Campephagidae
Estrildidae
Estrildidae
Meliphagidae

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Nama
Bangau Sandang-lawe
Elang Hitam
Elang Perut-karat
Pekaka Bua-bua
Pelatuk Kelabu-Sulawesi
Kepudangsungu Tunggir-putih
Bondol Taruk
Bondol Peking
Myzomela Merah-tua

Nama ilmiah
Ciconia episcopus
Ictinaetus malayensis
Hieraaetus kienerii
Pelargopsis melanorhyncha
Mulleripicus fulvus
Coracina bicolor
Lonchura molucca
Lonchura punctulata
Myzomela boiei

Perdesaan
Lokasi desa tempat pengamatan berada di sekitar CA Kakenauwe, SM
Lambusango, dan hutan primer di camp Bala. Desa yang pertama berada di desa
Labundo-Bundo yang berdekatan dengan CA Kakenauwe. Desa kedua merupakan
Desa Toroku yang merupakan desa tetangga dari Desa Labundo-bundo. Desa
ketiga berada di Lawele dekat dengan camp Bala. Dan desa keempat berada di
Desa Talingku yang berdekatan dengan SM Lambusango dan CA Kakenauwe.
Kondisi halaman rumah di perdesaan banyak yang ditanami oleh buah-buahan
seperti mangga, kelapa, dan jeruk atau tanaman bunga yang banyak dimanfaatkan
oleh burung (Gambar 8).

Gambar 8 Profil habitat perdesaan

Hasil pengamatan di perdesaan dijumpai 34 jenis burung dari 21 suku
(Tabel 8). Lokasi kebun masyarakat sangat dekat dengan perdesaan sehingga
banyak burung dari perkebunan seperti jenis raptor yang melintas daerah
perdesaan dan tercatat pada saat pengamatan. Selain jenis yang dijumpai pada saat

13
pengamatan, terdapat 4 jenis lain yang dijumpai di luar waktu pengamatan. Jenis
burung tersebut yaitu Elang Bondol, Sikepmadu Sulawesi, Gemak Loreng, dan
Cekakak Suci.
Tabel 8 Keragaman jenis burung yang dijumpai di perdesaan
Suku
Accipitridae
Accipitridae
Columbidae
Columbidae
Columbidae
Columbidae
Psittacidae
Psittacidae
Psittacidae
Cuculidae
Cuculidae
Cuculidae
Apodidae
Hemiprocnidae
Alcedinidae
Hirundinidae
Campephagidae
Timaliidae
Acanthizidae
Dicaeidae
Dicaeidae
Nectariniidae
Nectariniidae
Nectariniidae
Nectariniidae
Zosteropidae
Estrildidae
Estrildidae
Ploceidae
Sturnidae
Oriolidae
Dicruridae
Artamidae
Corvidae

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

Nama
Elangular Sulawesi
Elang Hitam
Pergam Hijau
Pergam Putih
Uncal Ambon
Tekukur Biasa
Kringkring Bukit
Serindit Sulawesi
Serindit Paruh-merah
Kedasi Hitam
Bubut Alang-alang
Bubut Sulawesi
Walet Sapi
Tepekong Jambul
Cekakak Sungai
Layanglayang Batu
Kepudangsungu Sulawesi
Pelanduk Sulawesi
Remetuk Laut
Cabai Panggul-kuning
Cabai Panggul-kelabu
Burungmadu Kelapa
Burungmadu Hitam
Burungmadu Sriganti
Burungmadu Sepah-taja
Kacamata Sulawesi
Bondol Taruk
Bondol Peking
Burunggereja Eurasia
Perling Kumbang
Kepudang Kuduk-hitam
Srigunting Jambul-rambut
Kekep Babi
Gagak Hutan

Nama Ilmiah
Spilornis rufipectus
Ictinaetus malayensis
Ducula aenea
Ducula luctuosa
Macropygia amboinensis
Streptopelia chinensis
Prioniturus platurus
Loriculus stigmatus
Loriculus exilis
Surniculus lugubris
Centropus bengalensis
Centropus celebensis
Collocalia esculenta
Hemiprocne longipennis
Halcyon chloris
Hirundo tahitica
Coracina morio
Trichastoma celebense
Gerygone sulphurea
Dicaeum aureolimbatum
Dicaeum celebicum
Anthreptes malacensis
Leptocoma sericea
Cinnyris jugularis
Aethopyga siparaja
Zosterops consobrinorum
Lonchura molucca
Lonchura punctulata
Passer montanus
Aplonis panayensis
Oriolus chinensis
Dicrurus hottentottus
Artamus leucorynchus
Corvus enca

14
Keanekaragaman dan kelimpahan jenis burung
Pengamatan yang dilakukan di kawasan hutan Lambusango tepatnya di
empat habitat yang berbeda menjumpai 68 jenis burung dengan menggunanakan
metode daftar jenis MacKinnon dan 60 jenis burung menggunakan metode point
count.Terdapat 8 jenis burung yang tidak dijumpai pada saat melakukan
pengamatan dengan metode point count. Meskipun terdapat perbedaan jumlah
jenis yang ditemukan, terdapat kecenderungan yang sama yaitu jumlah jenis
burung yang terbanyak berturut-turut adalah perkebunan, hutan sekunder,
perdesaan, dan hutan primer.
Hasil pengamatan dengan menggunakan metode daftar jenis MacKinnon,
habitat perkebunan memiliki jumlah burung yang lebih banyak dibandingkan
dengan habitat lain (Gambar 9). Terlihat dari 4 kurva yang ada, kurva dari hasil
pengamatan di perdesaan tidak tampak adanya penambahan jenis di tiga daftar
terakhir. Hal tersebut menunjukkan bahwa semua jenis burung di lingkungan
perdesaan sudah teramati sehingga kemungkinan untuk menjumpai jenis lain
sangat kecil. Sedangkan tiga kurva lainnya masih dijumpai penambahan jenis di
daftar terakhir yang berarti masih memungkinkan dijumpai jenis lain yang belum
teramati.

60
52 Perkebunan

50

Hutan Sekunder

Total Species

40
40
30

38 Perdesaan
Hutan Primer

Primer
28 HutanHutan
Sekunder
Perkebunan

20

Perdesaan
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Gambar 9 Kurva daftar
jenis
Daftar
ke-MacKinnon pada setiap

habitat

Hasil pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan metode point
count didapatkan 60 jenis burung dari 30 suku (Tabel 9). Habitat perdesaan
merupakan habitat dengan nilai indeks keanekaragaman tertinggi (H’=3,14),
sedangkan hutan primer memiliki nilai indeks keanekaragaman terendah
(H’=2,50). Jenis burung yang paing banyak diumpai berada di habitat perkebunan
dengan jumlah 43 jenis burung, dan jumlah jenis terendah berada di habitat hutan
primer dengan jumlah 17 jenis burung.

15

Tabel 9 indeks keanekaragaman (H’), kemerataan (E), dan tingkat perjumpaaan jenis (TPJ)

Habitat

Suku

Spesies

Individu

H’

E

TPJ
(Ind/jam)

Hutan Primer

14

17

109

2,50

0,88

9,08

Hutan Sekunder

22

33

303

2,86

0,81

25,25

Perkebunan

21

43

313

3,12

0,83

26,08

Perdesaan

21

34

186

3,14

0,89

15,15

30

60

1224

-

Total

-

Uji-t digunakan untuk menentukan perbedaan keanekaragaman antara tiap
habitat. Berdasarkan hipotesis sebelumnya, maka terima H1 yaitu terdapat
perbedaan keanekaragaman jenis burung antar tiap habitat berbeda (Gambar 10).
Tabel 10 Hasil analisis nilai keanekaragaman dengan menggunakan uji-t
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Perkebunan
Perdesaan

Hutan Primer
-

Hutan Sekunder
0,019*
-

Perkebunan Perdesaan
0,003*
0,025*
ns
0,392
0,733ns
0,158ns
-

Keterangan : ns= Tidak berbeda nyata, *= Berbeda nyata (tingkat kepercayaan 95%)

Dominansi Jenis Burung
Burung-burung yang dijumpai pada saat pengamatan ditemukan dalam
jumlah yang berbeda-beda. Beberapa jenis ditemukan lebih banyak atau lebih
dominan dari jenis lainnya (Tabel 11).
Tabel 11 Jenis-jenis burung yang mendominasi (nilai indeks dominansi > 5%)
No Spesies
Hutan
Hutan
Perkebunan Perdesaan
Primer
Sekunder
1
Pelanduk Sulawesi
19,27
7,26
13,41
9,13
2
Julang Sulawesi
12,84
3
Pergam Hijau
12,84
22,11
7,03
4
Pergam Tutu
11,00
5
Kangkareng Sulawesi
6,42
9,24
6
Kepudang Kuduk-hitam
6,42
6,93
7
Kringkring Bukit
6,42
6,93
Srigunting
Jambul-rambut
8
6,60
9
Pergam Putih
5,61
10 Bubut Sulawesi
7,34
11 Cekakak Sungai
14,52
12 Burunggereja Eurasia
9,67
13 Kekep Babi
6,98

18
Contoh Spesies

Model
Spesialis hutan (hutan primer)

1,5
Julang Sulawesi

1
0,5
0
HP
Spesialis hutan (hutan sekunder)

HS

KEB

DES

Kangkareng Sulawesi

3
2
1
0

HP

HS

KEB

DES

3

Spesialis daerah terbuka
(perkebunan-hutan)

2

Bubut Sulawesi

1
0
Spesialis daerah terbuka
(perkebunan-perdesaan)

Generalis (perkebunan)

Spesialis daerah terbuka
(perdesaan)

Tingkat Perjumpaan Jenis (Individu/jam)

HP

HS

KEB

DES

0,8
Bubut Alang-alang

0,6
0,4
0,2
0

HP
HS KEB DES
Pelanduk Sulawesi

4
3
2
1
0
2

HP
HS
KEB DES
Burunggereja Eurasia

1
0
HP

Spesialis daerah terbuka
(perkebunan)

0,8
0,6
0,4
0,2
0

HS

KEB

Paok Mopo

Gambar 13 Kurva respon burung terhadap tipe habitat

DES

19
Dari 60 jenis burung yang dijumpai selama penelitian, 7 jenis di atas
merupakan jenis yang mampu merepresentasikan respon spesies terhadap
perubahan habitat. Burung Julang Sulawesi (Model 1) merupakan jenis burung
yang habitat utamanya berada di hutan primer atau spesialis hutan yang dapat
beradaptasi dengan keberadaan hutan sekunder dan perkebunan. Tetapi, Julang
Sulawesi tidak dapat beradaptasi dengan keberadaan perdesaan. Selain Julang
Sulawesi, Kangkareng Sulawesi juga merupakan jenis burung spesialis hutan.
Burung ini banyak berada di habitat hutan sekunder (Model 2). Burung Julang
Sulawesi juga cukup banyak dijumpai di hutan primer, kemudian keberadaannya
cenderung sulit ditemukan di perkebunan, dan tidak bisa ditemukan sama sekali di
perdesaan.
Jenis burung Bubut Sulawesi, Bubut Alang-alang, dan Pelanduk Sulawesi
lebih banyak ditemukan di daerah perkebunan. Akan tetapi, respon dari setiap
jenis tersebut berbeda akan perubahan habitat. Burung Bubut Sulawesi cenderung
lebih memilih daerah hutan (berkayu) sebagai habitat (Model 3), sedangkan Bubut
Alang-alang lebih memilih berada di daerah terbuka (Model 4). Respon berbeda
ditunjukkan oleh Pelanduk Semak. Jenis ini cenderung berada di habitat
perkebunan dan dapat beradaptasi dengan perubahan habitat ( Model 5). jenis ini
dapat dijumpai di segala habitat mulai dari hutan primer hingga perdesaan (jenis
generalis).
Selain dari kelima tipe tersebut, terdapat dua model yang menunjukkan
jenis burung tersebut hanya mampu hidup atau cenderung memilih hidup di
habitat tertentu. Jenis tersebut adalah Burunggereja Eurasia dan Paok Mopo.
Burunggereja Eurasia hanya dijumpai di habitat perdesaan (Model 6), sedangkan
Paok Mopo hanya dijumpai di habitat perkebunan (Model 7).
Komposisi guild burung
Terdapat 7 jenis guild burung berdasarkan jenis pakan utama. Jenis burung
pemakan serangga (insektivora) merupakan jenis burung terbanyak yang
ditemukan sebanyak 24 jenis. Dari 4 habitat yang diamati, 6 guild terdapat di
semua habitat. Sedangkan, jenis burung pemakan biji (granivora) hanya terdapat
pada habitat perkebunan dan perdesaan Penentuan jenis guild diacu dari Wong
(1986) dan Sastranegara (2014) berdasarkan jenis pakan utama. Berikut adalah
komposisi guild pada masing-masing habitat (Tabel 13).
Tabel 13 Penyebaran guild pada masing-masing habitat
Habitat
Hutan Primer Hutan Sekunder Perkebunan
Perdesaan
Insektivora
11
14
19
12
Frugivora
8
14
15
8
Karnivora
2
5
4
4
Nektarivora
2
2
7
6
Omnivora
2
3
2
1
Piscivora
2
2
3
2
Granivora
0
0
1
4

20
Status kelangkaan, perdagangan, dan endemisitas burung
Hasil pengamatan yang dilakukan mendapatkan 22 jenis burung yang
dilindungi oleh Undang-undang no. 5 tahun 1990 dan 21 jenis dilindungi
berdasarkan PP no 7. Tahun 1999. Terdapat 12 jenis burung yang tergolong ke
dalam Appendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Flora and Fauna). Satwa liar yang termasuk ke dalam appendix II
CITES berarti perlu adanya pengaturan kuota dalam perdagangan satwa liar.
Menurut status kelangkaan dalam IUCN Red-List, terdapat 3 spesies yang
tergolong ke dalam kategori Vulnerable atau rentan yaitu Bangau Sandang-lawe,
Julang Sulawei, dan Kangkareng Sulawesi. Selain itu, terdapat pula 4 spesies yang
tergolong ke dalam kategori Near Threatened atau terancam yaitu Anis
Punggung-merah, Kepudangsungu Belang, Serindit Paruh-merah, dan
Udangmerah Sulawesi (Tabel 14).
Tabel 14 Jenis burung berdasarkan status perlindungan, perdagangan, dan kelangkaan

No

Nama

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26

Anis Punggung-merah
Bangau Sandanglawe
Betetkelapa Punggung-biru
Burungmadu Hitam
Burungmadu Sepah-raja
Burungmadu Sriganti
Cekakak Australia
Cekakak Sungai
Celepuk Sulawesi
Elangalap Ekor-totol
Elang Bondol
Elang Hitam
Elang Perut-karat
Elang Sulawesi
Elangular Sulawesi
Julang Sulawesi
Kangkareng Sulawesi
Kepudangsungu Belang
Kringkring Bukit
Myzomela Merah-tua
Paok Mopo
Pekaka Bua-bua
Serindit Paruh-merah
Serindit Sulawesi
Sikepmadu Sulawesi
Udangmerah Sulawesi
Ket

UU No.5
Th 1990

















Status Perlindungan
PP No. 7 Appendix
Th 1999
CITES
















II

II
II
II
II
II
II
II
II
II
II
















II
II
II

IUCN
Red-List
NT
VU
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
LC
VU
VU
NT
LC
LC
LC
LC
NT
LC
LC
NT

: LC = Least Concern, NT = Near Threatened, dan VU = Vulnerable

21
Pembahasan
Keanekaragaman dan kelimpahan jenis burung
Dijumpai 60 jenis burung (metode point count) dan 8 jenis lain yang
dijumpai di luar waktu pengamatan (Mackinnon list). Hasil penelitian baik
menggunakan metode point count ataupun daftar jenis MacKinnon menunjukkan
kecenderungan yang sama. Habitat yang dijumpai dengan jumlah jenis burung
terbanyak adalah perkebunan dengan 52 jenis burung. Begitu juga dengan nilai
keanekaragaman jenis burung (H’). Daerah perkebunan (3,12) dan perdesaan
(3,14) memiliki nilai indeks keanekaragaman yang lebih tinggi dari hutan primer
(2,50) dan hutan sekunder (2,86).
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa habitat yang terdapat
gangguan manusia (perkebunan dan perdesaan) tetap mampu memenuhi
kebutuhan hidup berbagai jenis burung. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Van Bael (2008) dalam penelitiannya tentang keanekaragaman burung di
perkebunan kakao dan hutan yang terfragmentasi. Van Bael (2008) menyatakan
bahwa perkebunan kakao dapat menyediakan habitat bagi berbagai jenis burung.
Nilai Tingkat pertemuan jenis (TPJ) terbesar dari keempat habitat terdapat
pada habitat perkebunan dengan nilai 26,08. Hal tersebut berarti dalam waktu 1
jam pengamatan, pengamat menjumpai 26 individu burung. Sedangkan untuk
nilai TPJ terendah terdapat di habitat hutan primer dengan nilai 15,15
individu/jam.
Beberapa penelitian sebelumnya pernah dilakukan di beberapa lokasi yang
sama dan bulan yang sama. Minarni (2007) menjumpai 51 jenis burung di
kawasan hutan Lambusango. Pada penelitian tersebut lokasi seluruhnya diambil di
wilayah hutan. Terdapat satu lokasi yang sama pada penelitian kali ini yaitu di SM
Lambusango dan CA Kakenauwe. Pada lokasi tersebut (yang diklasifikasikan oleh
penulis sebagai hutan sekunder), dijumpai 37 jenis burung. Hal tersebut tidak jauh
berbeda dengan hasil yang didapatkan dari penelitian ini (33 jenis).
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Martin et al. (2012) mejumpai 79
jenis burung. Penelitian tersebut dilakukan dengan pengamatan langsung (point
count) dan pengamatan tidak langsung (mist-netting). Hasil dari penelitian ini
merupakan rekapitulasi hasil penelitian selama 8 tahun dan masing-masing 2
bulan setiap tahunnya dengan total waktu pengamatan sebanyak 2.560 jam
pengamatan. Cakupan lokasi yang lebih luas dan waktu yang lebih lama
menjadikan penelitian Martin et al. menjumpai lebih banyak burung dibandingkan
penelitian serupa di tempat yang sama.
Penelitian terakhir tentang keanekaragaman burung di hutan Lambusango
dilakukan oleh Sastranegara (2013) dan Ahmadi (2013). Sastranegara
mencatatkan 63 jenis burung, sedangkan Ahmadi mencatatkan 62 jenis burung.
Secara umum, hasil yang didapatkan dari kedua peneliti di atas memiliki
kecenderungan yang sama dengan hasil penelitian kali ini. Tetapi, terdapat
perbedaan hasil yang didapatkan pada habitat hutan primer. Perbedaan tersebut
diduga karena adanya pengaruh cuaca pada saat penelitian ini dilakukan.
Pengaruh curah hujan terhadap kelimpahan burung
Penelitian yang sama dilakukan oleh Ahmadi (2013). Terdapat 3 lokasi
yang sama dengan penelitian ini yaitu hutan primer, sekunder, dan perkebunan.

22
Nilai keanekaragaman yang didapat memiliki pola yang sama yaitu nilai indeks
keanekaragaman tertinggi terdapat pada perkebunan dan nilai terendah terdapat
pada habitat hutan primer. Akan tetapi, terdapat perbedaan yang signifikan
terhadap jumlah jenis di habitat hutan primer (Tabel 15).
Tabel 15 Perbandingan hasil penelitian pada tahun 20013 (Ahmadi 2013) dan 2014

Jumlah Jenis
Jumlah Suku
H'
E
TPJ (ind/jam)

Hutan Primer
2013
2014
33
17
23
14
3,13
2,50
0,89
0,88
36,60
9,08

Hutan sekunder
Perkebunan
2013
2014
2013 2014
37
33
42
43
25
22
24
21
3,21
2,86
3,31
3,12
0,88
0,81
0,88
0,83
56,50
25,25 60,60 26,08

Pada bulan Juli 2013, yaitu pada saat penelitian berlangsung terdapat badai
pasifik di daerah timur Indonesia. Menurut Badan Statistik Kota Kendari (2014),
pada bulan Juli jumlah hari hujan dalam sebulan mencapai 26 hari dengan curah
hujan rata-rata sebesar 770,0 mm. Dengan tingginya intensitas hujan yang terjadi,
hal itu dapat menyulitkan bagi beberapa jenis burung seperti burung yang mencari
makan di udara, burung-burung yang hidup di atas kanopi, dan burung yang
memanfaatkan termal untuk terbang. Sedangkan pada tahun 2014, tidak ada hujan
yang turun pada saat pengamatan dilakukan.
Tidak banyak penelitian yang menjelaskan secara langsung efek hujan
terhadap keberadaan burung. Studds (2007) pada penelitiannya mengenai
pengaruh hujan pada musim kawin dan burung yang bermigrasi menyatakan
bahwa banyaknya curah hujan pada satu waktu tertentu memberikan pengaruh
terhadap musim kawin dan waktu burung untuk bermigrasi.
Hujan yang terjadi pada bulan Juli 2013 diduga menjadi penyebab
terdapatnya perbedaan jumlah jenis burung yang didapatkan antara tahun 2013
dan 2014. Hujan dengan intensitas yang tinggi menyebabkan burung akan
mencari tempat berlindung dari hujan. Hutan primer yang memiliki tutupan
kanopi yang rapat akan menjadi pilihan bagi burung untuk dijadikan tempat
berlindung. Beberapa jenis burung yang pada tahun 2013 dijumpai, tetapi pada
tahun 2014 tidak dijumpai merupakan jenis burung yang mencari makan di udara
dan jenis burung pemangsa yang memanfaatkan termal. Elangular Sulawesi,
Elangalap Ekor-totol, Tepekong Jambul, dan Kekep Babi merupakan jenis yang
dijumpai pada tahun 2013, tetapi dijumpai dalam jumlah lebih sedikit atau bahkan
tidak dijumpai pada tahun 2014.
Komposisi jenis burung di setiap habitat
Perbedaan komposisi jenis burung di setiap habitat juga terlihat pada jenis
burung yang mendominasi. Burung-burung yang dominan (indeks dominansi >
5%) di daerah hutan primer dan hutan sekunder, berbeda jenisnya dengan jenis
burung yang ada di perkebunan atau perdesaan. Begitu juga dengan suku yang
dominan di setiap habitat. Pada hutan primer dan sekunder, suku Bucerotidae dan
Columbidae merupakan suku yang dominan. Tetapi, kedua suku tersebut tidak
dominan di habitat perkebunan dan perdesaan. Contoh jenis yang mendominansi

23
di daerah hutan adalah Julang Sulawesi, Kangkareng Sulawesi, dan Kringkring
Bukit. Ketiga jenis tersebut merupakan jenis yang dominan, tetapi di habitat
perkebunan jenis tersebut tidak dominan bahkan tidak ditemukan di daerah
perdesaan.
Komunitas burung yang ada di perkebunan berbeda jenisnya dengan
burung yang ada di daerah hutan primer atau hutan sekunder. Hal yang sama
disampaikan oleh Chapman dan Reich (2007) yang menyatakan daerah
perkebunan dan perdesaan memiliki kekayaan jenis yang hampir sama dengan
kawasan lindung, tetapi kawasan lindung lebih banyak memiliki spesies yang
menjadi fokus konservasi. Beberapa jenis burung hutan seperti Kangkareng
sulawesi dan Julang sulawesi juga ditemukan di daerah perkebunan, hal tersebut
kemungkinan diakibatkan oleh lokasi perkebunan yang berdekatan dengan hutan
sehingga perkebunan menjadi perlintasan bagi burung tersebut.
Habitat perkebunan di penelitian ini berisi dari kebun kakao, kelapa,
kapuk, dan jati. Dari beberapa jenis tanaman tersebut, hanya kebun jati yang tidak
memiliki jumlah jenis burung yang tinggi. Habitat perkebunan memiliki jumlah
jenis dan nilai keanekaragaman yang tinggi, tetapi dalam penelitian ini terdapat
beberapa jenis burung yang sangat bergantung kepada hutan. Jenis burung seperti
Anis Punggung-merah, Ayamhutan Merah, Celepuk Sulawesi, Merpatihitam
Sulawesi, Pergam Tutu, Tionglampu sulawesi, dan Udangmerah Sulawesi
merupakan jenis burung yang hanya dapat ditemukan di hutan. Martin dan
Blackburn (2012) pada penelitian di lokasi yang sama juga menyatakan bahwa
kekayaan jenis yang tinggi di habitat perkebunan tidak menandakan habitat
tersebut dapat memenuhi kebutuhan bagi semua jenis burung. Dari berbagai jenis
tanaman yang ditanam, perkebunan yang ditanami pohon jati merupakan daerah
yang paling sedikit dijumpai burung. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya
keberadaan pakan di kebun jati.
Terdapat jenis burung yang hanya ditemukan di daerah hutan, baik hutan
primer maupun hutan sekunder. Jenis burung tersebut adalah Anis Punggungmerah, Ayamhutan Merah, Celepuk Sulawesi, Merpatihitam Sulawesi, Pergam
Tutu, Tionglampu Sulawesi, dan Udangmerah Sulawesi. Jenis burung tersebut
merupakan jenis burung yang sangat bergantung dengan keberadaan hutan.
Keberadaan hutan yang luas dan minim gangguan merupakan bagian terpenting
dalam konservasi jenis burung spesialis hutan dan endemik.
Dari hasil penelitian ini didapatkan 15 jenis burung yang tergolong ke
dalam jenis spesialis hutan. Dari 15 jenis tersebut, 9 diantaranya dapat ditemukan
di daerah perkebunan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh burung-burung yang
toleran atau dapat beradaptasi dengan keberadaan kebun. Burung-burung yang
hidup di hutan akan dapat tetap hidup di daerah perkebunan jika mampu
beradaptasi terhadap habitat baru, juga penyesuaian terhadap keberadaan pakan
(Lim dan Sodhi. 2004). Selain itu, mengelola perkebunan dengan baik dapat
meminimalisasi hilangnya burung-burung spesialis hutan. Perkebunan yang
dikelola dengan baik dapat menampung hingga 60% jenis burung spesialis dan
endemik (Abrahamczyk et al. 2008).
Setiap habitat memiliki komposisi jenis burung yang berbeda. Tetapi,
terdapat kemungkinan bahwa adanya kesamaan jenis burung antara habitat satu
dan lainnya. Oleh karena itu, untuk menemukan kesamaan jenis antar habitat,
dilakukan analisis untuk menghitung indeks kesamaan jenis. Indeks kesamaan

24
mengukur derajat kesamaan jenis burung dan kekayaan relatif jenis burung di
antara dua komunitas burung dari habitat berbeda (Bibby et al. 2000).
Dari hasil yang didapat yang disajikan dalam dendogram (gambar 4),
terlihat bahwa habitat yang memiliki nilai indeks kesamaan tertinggi adalah hutan
primer dan hutan sekunder. Kedua habitat tersebut memiliki nilai indeks
kesamaan jenis sebesar 78,78%. Hal itu berarti dari komunitas burung di hutan
primer dan hutan sekunder terdapat kesamaan komposisi jenis sebesar 78,78%
dari total jenis burung di kedua habitat tersebut. Meskipun habitat hutan primer
berada di lokasi yang terpisah dibandingkan 3 habitat lainnya, tetapi hutan primer
tetap memiliki kesamaan komposisi jenis dengan hutan sekunder.Sedangkan
habitat perdesaan merupakan habitat dengan komposisi jenis burung yang paling
berbeda dibanding 3 habitat lainnyan dengan nilai indeks kesamaan jenis sebesar
36,35
Perbedaan komposisi vegetasi menjadi salah satu pengaruh yang
menyebabkan berbedanya komunitas burung di setiap habitat. Pada lokasi
pengamatan di daerah hutan primer dan hutan sekunder, terdapat pohon-pohon
besar yang menjadi tempat mencari makan burung. Jenis pohon matoa, berangan,
dan ficus banyak dijumpai di lokasi tersebut. Jenis burung dari suku Columbidae,
Bucerotidae, dan Psittacidae banyak dijumpai mencari makan di pohon-pohon
tersebut. Jenis pohon tersebut tidak dijumpai di habitat perkebunan dan perdesaan
sehingga jenis burung yang memanfaatkan pohon tersebut tidak dominan atau
bahkan tidak ditemukan di habitat perkebunan dan perdesaan.
Burung-burung hutan yang sensitif terhadap tutupan kanopi dapat
ditemukan di daerah yang minimal secara konstan memiliki tutupan kanopi
sebesar 20% (Sodhi et al. 2004). Hal tersebut yang menjadi salah satu alasan
burung-burung hutan yang tidak ditemukan di perkebunan atau perdesaan. Selain
itu, strata kanopi yang ada di perkebunan tidak selengkap yang ada di hutan
primer ataupun sekunder. Perkebunan biasanya memiliki tinggi pohon yang sama
di setiap luasannya.
Implikasi terhadap konservasi burung
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa daerah yang terdapat aktivitas
manusia seperti perkebunan dan perdesaan memiliki nilai keanekaragaman