Komunitas Burung pada Beberapa Habitat dengan Gangguan Berbeda di Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara

KOMUNITAS BURUNG PADA BEBERAPA HABITAT DENGAN
GANGGUAN BERBEDA DI HUTAN LAMBUSANGO,
PULAU BUTON, SULAWESI TENGGARA

REZA AULIA AHMADI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Komunitas Burung
pada Beberapa Habitat dengan Gangguan Berbeda di Hutan Lambusango, Pulau
Buton, Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Reza Aulia Ahmadi
NIM E34090049

ABSTRAK
REZA AULIA AHMADI. Komunitas Burung pada Beberapa Habitat dengan
Gangguan Berbeda di Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.
Dibimbing oleh ANI MARDIASTUTI dan YENI ARYATI MULYANI.
Kondisi habitat yang berubah akibat gangguan masa lampau dapat
mempengaruhi komunitas burung di Hutan Lambusango. Penelitian ini bertujuan
menghitung keanekaragaman jenis dan membandingkan komposisi burung pada
beberapa habitat dengan gangguan berbeda. Hasil penelitian menunjukkan adanya
peningkatan jumlah jenis, individu dan indeks keanekaragaman (H’) dari habitat
gangguan rendah menuju tinggi. Hutan primer dan sekunder memiliki kesamaan
komunitas tertinggi yaitu 77%. Komposisi jenis burung spesialis sangat berbeda
pada setiap habitat. Hutan primer menjadi habitat dua jenis burung indikator

habitat tidak terganggu yaitu Pergam tutu (Ducula forsteni) dan Udang-merah
sulawesi (Ceyx fallax).
Kata kunci: gangguan habitat, hutan lambuango, komunitas burung

ABSTRACT
REZA AULIA AHMADI. Bird Communities in Several Habitats with Different
Disturbance Levels at The Lambusango Forest in Buton Island, Southeast
Sulawesi. Supervised by ANI MARDIASTUTI and YENI ARYATI MULYANI.
Habitat changes due to past disturbances may affect bird communities in
Lambusango forest. This research is aimed at examining bird diversity, and
comparing bird composition in several habitats with different disturbance levels.
The study shows an increasing number of species, population and diversity index
(H') from habitats with low to high disturbance level. Birds in primary and
secondary forests have the similarity level of 77%. The composition of specialist
birds differs from one habitat to another. Primary forest becomes the habitat of
two types of interior birds that can be used as an indicator for undisturbance
habitats, those are White-bellied Imperial Pigeon (Ducula forsteni) and Sulawesi
Dwarf Kingfisher (Ceyx fallax).
Keywords: bird communities, habitat disturbance, lambusango forest


KOMUNITAS BURUNG PADA BEBERAPA HABITAT DENGAN
GANGGUAN BERBEDA DI HUTAN LAMBUSANGO,
PULAU BUTON, SULAWESI TENGGARA

REZA AULIA AHMADI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

`


Judul Skripsi

Nama
NIM

: Komunitas Burung pada Beberapa Habitat dengan Gangguan
Berbeda di Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi
Tenggara
: Reza Aulia Ahmadi
: E34090049

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc
Pembimbing I

Dr Ir Yeni Aryati Mulyani, MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh


Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi

Nama
NIM

Komunitas Burung pada Beberapa Habitat dengan Gangguan
Berbeda di Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi
Tenggara
Reza Aulia Ahmadi

E34090049

Disetujui oleh


Prof Dr If Ani Mafdiastuti , MSc
Pembimbing I

Dr Ir Yeni Aryati Mulyani, MSc
Pembimbing II

MS

Tanggal Lulus:

`

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Tuhan semesta alam
atas segala karunia, rahmat dan nikmat yang diberikan sehingga karya ilmiah ini
berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilakukan pada Bulan Juli-Agustus 2013 ini
menghasilkan karya ilmiah yang berjudul Komunitas Burung pada Beberapa
Habitat dengan Gangguan Berbeda di Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi
Tenggara.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc dan
Dr Ir Yeni Aryati Mulyani, MSc selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberi bimbingan, arahan, nasehat dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi
ini. Terimakasih kepada keluarga tercinta yang selalu mendukung dan mendoakan
khususnya kepada aa Fikri yang telah membantu dalam menerjemahkan proposal.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Operation Wallacea (Opwall)
yang telah memfasilitasi selama penelitian khususnya Dr Tom Edward Martin, Dr
David Tosh dan Dr Nancy Priston. Penghargaan dan terimakasih juga
disampaikan kepada Lawana Ekoton dan warga desa Labundo-bundo yang sangat
bersahabat dan membantu khususnya La Agus, La Darwis, La Iwan, La Fifin, La
Usman, La Iman, La Abi, Pak Mantan, Pak Guru, Wa Mira dan keluarga Bapak
Tasman. Terimakasih kepada Tim Lambusango dari IPB (Bucok, Malau, Nara,
Aron dan Yane yang banyak membantu dalam pembelajaran Bahasa Inggris serta
Hafiyyan yang menjadi partner selama pengambilan data di lapangan).
Terimakasih juga kepada teman-teman seperjuangan Anggrek Hitam terutama
Dedy dan Asyief yang selalu memberi motivasi. Terakhir penulis menyampaikan
terimakasih kepada Setiawan, Taufik Hidayat, Victoria Gehrke, Nisa Agustina
dan Lini Farisa Ghassani yang telah memberi inspirasi dan semangat bagi penulis
selama penelitian sampai selesai menuliskan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan berguna bagi perkembangan ilmu

pengetahuan di Indonesia.

Bogor, Januari 2014
Reza Aulia Ahmadi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Tujuan

1

METODE

2

Lokasi dan Waktu

2

Alat


2

Metode Pengambilan Data

3

Analisis Data

3

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN

4
4
11
16


Simpulan

16

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

19

`

DAFTAR TABEL
1 Skala urutan kelimpahan sederhana untuk menunjukkan tingkat pertemuan
jenis yang telah dimodifikasi berdasarkan lamanya waktu pengamatan
2 Kondisi habitat pada lokasi penelitian
3 Rekapitulasi data menggunakan metode point transect dan daftar jenis
MacKinnon
4 Perubahan komposisi jenis burung dominan pada tiga habitat
5 Perubahan kategori kelimpahan beberapa jenis burung
6 Komposisi jenis burung spesialis pada setiap tipe habitat

4
4
6
7
8
9

DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi penelitian
2 Penggunaanmetode titik hitung pada jalur
3 Kondisi habitat: (a) Hutan primer dengan tutupan tajuk yang cukup rapat,
(b) Daerah terbuka dan pohon tumbang pada tipe habitat hutan sekunder,
(c) Kebun campuran
4 Kurva penemuan jenis MacKinnon pada tiga habitat
5 Dendogram kesamaan komunitas
6 Jenis burung dominan: (a) Pergam hijau (Ducula aenea), (b) Srigunting
jambul-rambut (Dicurus hottentottus)
7 Perubahan struktur jenis burung spesialis hutan dan daerah terbuka pada
tiga habitat
8 Jenis burung spesialis hutan (a) Udang-merah sulawesi (Ceyx fallax),
jenis burung spesialis daerah terbuka (b) Bubut alang-alang (Centropus
bengalensis)
9 Perbandingan jenis burung endemik Sulawesi dan dilindungi pada tiga
habitat
10 Jenis burung endemik Sulawesi yang dilindungi: (a) Julang sulawesi
(Aceros cassidix), (b) Elang-alap ekor-totol (Accipiter trinotatus)

2
3

4
5
6
7
8

10
10
11

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Rekapitulasi jenis burung dari tiga tipe habitat
Perhitungan pada hutan primer, dominansi dan tingkat pertemuan jenis
Perhitungan pada hutan sekunder, dominansi dan tingkat pertemuan jenis
Perhitungan pada kebun campuran, dominansi dan tingkat pertemuan jenis
Jenis vegetasi di setiap habitat
Jenis burung yang ditemukan di luar lokasi penelitian
Jenis burung yang ditemukan selama penelitian

19
24
26
28
30
30
31

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Komunitas burung adalah kelompok individu dari beberapa burung berbeda
jenis yang hidup secara bersama pada ruang dan waktu yang sama (Wiens 1989;
Crick 2004). Komunitas burung memiliki hubungan yang erat dengan habitat,
artinya komunitas burung dapat berbeda-beda pada setiap habitat yang berbeda.
Menurut Diaz (2006), salah satu faktor yang mempengaruhi keanekaragaman
jenis burung dalam suatu komunitas adalah kondisi struktur vegetasi. Struktur
vegetasi yang kompleks dan heterogen akan meningkatkan keragaman relung
ekologi pada suatu habitat, yang diduga dapat meningkatkan keragaman jenis
burung dalam suatu komunitas.
Adanya perubahan struktur vegetasi pada suatu habitat dapat mempengaruhi
kondisi komunitas burung didalamnya karena burung merupakan satwa yang
sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan (Canterbury et al. 2000; Lee et al.
2005). Martin dan Blackburn (2010) mengatakan gangguan masa lampau pada
habitat dapat menyebabkan perubahan struktur vegetasi dan gangguan besar pada
relung ekologi sehingga mempengaruhi komunitas satwa liar didalamnya.
Beberapa jenis burung mungkin dapat beradaptasi dan bertahan dengan gangguan
yang terjadi, namun mungkin juga ada jenis-jenis burung yang sulit atau tidak bisa
beradaptasi sehingga akan meninggalkan habitat yang telah terganggu tersebut.
Hutan Lambusango di Pulau Buton memiliki habitat dengan tingkat
gangguan yang berbeda. Sebagian besar kawasannya merupakan wilayah berhutan
dengan tingkat gangguan berbeda dengan status kawasan konservasi (113.998 ha)
dan hutan produksi (35.000 ha), namun di sekitarnya terdapat juga beberapa
wilayah non-hutan seperti perkebunan dan lahan pertanian (Singer dan Purwanto
2006). Sekitar 24,7% jenis burung yang terdapat di Sulawesi dapat ditemukan di
kawasan Hutan Lambusango (Singer dan Purwanto 2006). Martin et al. (2012)
menambahkan bahwa kawasan Hutan Lambusango merupakan habitat bagi
38,14% jenis burung endemik Sulawesi yang memiliki persebaran terbatas hanya
di Sulawesi dan pulau-pulau satelitnya.
Informasi tentang komposisi jenis burung pada beberapa habitat dengan
gangguan berbeda serta jenis-jenis burung yang sensitif terhadap gangguan dapat
dijadikan referensi untuk prioritas pembinaan habitat. Keseluruhan hal tersebut
sangat penting diperhatikan dalam upaya pelestarian burung di Hutan
Lambusango. Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari upaya pelestarian
burung yang akan memberikan data terbaru mengenai komunitas burung pada
beberapa habitat dengan gangguan berbeda di Hutan Lambusango.
Tujuan
1. Menghitung keanekaragaman jenis burung pada beberapa habitat dengan
gangguan berbeda yaitu gangguan rendah, gangguan sedang dan gangguan
tinggi di Hutan Lambusango.
2. Membandingkan komposisi jenis burung dari beberapa habitat yang diteliti.
3. Menentukan jenis burung yang dapat dijadikan indikator habitat tidak
terganggu.

`

2

METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi
Tenggara (5 ° 10'-5 ° 24'S 122 ° 43'-123 ° 07'E). Penggolongan gangguan pada
habitat dilihat berdasarkan kompleksitas strata vegetasi dan tutupan tajuk dari
suatu habitat. Lokasi penelitian untuk habitat gangguan rendah adalah hutan
primer yang masuk dalam kawasan hutan produksi terbatas. Lokasi untuk habitat
gangguan sedang adalah hutan sekunder yang masuk kawasan Cagar Alam
Kakenauwe dan Suaka Margasatwa Lambusango. Pada lokasi ini terdapat empat
jalur transek masing-masing sepanjang tiga kilometer dan pengambilan data
dilakukan di jalur transek 2 dan 3 (Gambar 1). Habitat dengan gangguan tinggi
adalah kebun campuran Toroku yang sebagian masuk kawasan hutan produksi.
Pengambilan data di lapangan dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus
2013. Pengolahan data dan penyusunan skripsi dilakukan pertengahan bulan
Agustus sampai bulan Desember.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah binokuler, buku panduan
lapang jenis burung kawasan Wallacea (Coates et al. 2000), kamera prosummer,
tape Recorder, alat tulis dan tally sheet.

3

Metode Pengambilan Data
Pengambilan data burung menggunakan metode titik hitung pada jalur
(point transect) (van Helvoort 1981; Bibby et al. 2000; Sutherland 2006). Dalam
penelitian ini jarak antar titik ditetapkan 100 m dengan radius pengamatan 50
meter (Gambar 2). Panjang jalur adalah 1000 meter dan pengamatan di setiap titik
dilakukan selama 10 menit pada pagi hari pukul 06.00-08.30 WITA dengan
pertimbangan bahwa pada pagi hari, jenis-jenis burung diurnal sedang memulai
aktivitas hariannya, terutama mencari makan (Kristanto et al. 2005). Penelitian
ini hanya mencatat jenis burung diurnal dengan parameter yang dicatat adalah
jenis, jumlah individu dan waktu perjumpaan.

Gambar 2 Penggunaan metode titik hitung pada jalur
Metode lain yang digunakan untuk mengetahui kekayaan jenis burung
adalah metode daftar jenis MacKinnon (MacKinnon et al. 1998; Bibby et al.
2000). Dalam penelitian ini setiap daftar jenis berisikan 10 jenis burung yang
dicatat pada beberapa jalur di tipe habitat yang berbeda.
Pengambilan data vegetasi dilakukan dengan mencatat jenis pohon dan
vegetasi pada satu petak 10m x 50m di setiap habitat. Selain itu dilakukan juga
pencatatan pada jenis pohon atau vegetasi tempat ditemukannya burung dalam
setiap habitat.

Analisis Data
Analisis daftar jenis MacKinnon menggunakan grafik penemuan jenis
(MacKinnon et al. 1998; Bibby et al. 2000). Kekayaan jenis burung ditentukan
dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) (Magurran
2004). Proporsi kelimpahan jenis burung dihitung dengan menggunakan indeks
kemerataan (E) (Index of Evenness) (Krebs 1978). Penentuan nilai dominansi
berfungsi untuk mengetahui atau menetapkan jenis-jenis burung yang dominan
atau tidak. Dominansi jenis burung ditentukan dengan menggunakan rumus
menurut van Helvoort (1981). Untuk melihat kesamaan komunitas jenis burung
antar lokasi penelitian digunakan indeks kesamaan komunitas Jaccard (ISJ) (Krebs
1978). Selanjutnya untuk melihat tingkat kesamaannya, digunakan dendogram
dari komunitas burung antar lokasi. Penggunaan dendrogram ini akan
mempermudah dalam melihat hubungan antar lokasi.
Dalam penelitian ini, jenis burung yang ditemukan dikelompokkan
berdasarkan habitat utamanya yaitu menjadi jenis spesialis dan generalis. Jenis

`

4

spesialis adalah jenis yang khas pada suatu habitat, terbagi menjadi spesialis hutan
dan spesialis daerah terbuka. Jenis generalis merupakan jenis burung yang
ditemukan pada tiga tipe habitat. Pengelompokan mengacu pada MacKinnon et al.
(1998) dan Coates et al. (2000). Tingkat pertemuan suatu jenis burung dilihat
dengan membagi jumlah individu suatu jenis dengan waktu pengamatan. Setelah
didapat nilainya, selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan skala urutan
kelimpahan sederhana (Bibby et al. 2000) yang telah dimodifikasi berdasarkan
lamanya waktu pengamatan (Tabel 1). Penamaan dan pengelompokkan status
konservasi pada jenis burung yang ditemukan adalah berdasarkan pada UU No 5
tahun 1990, PP No 7 tahun 1999, Red list IUCN dan CITES mengacu pada
Sukmantoro et al. (2007).
Tabel 1 Skala urutan kelimpahan sederhana untuk menunjukkan tingkat
pertemuan jenis yang telah dimodifikasi berdasarkan lamanya waktu
pengamatan
Kategori kelimpahan
< 0.5
0.5 – 2
2.1 – 4
4.1 – 6
>6

Nilai kelimpahan
1
2
3
4
5

Skala urutan
Jarang
Tidak umum
Sering
Umum
Melimpah

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kondisi Habitat
Berdasarkan hasil observasi vegetasi diketahui bahwa kondisi hutan
primer hampir sama dengan hutan sekunder sedangkan kebun campuran memiliki
kondisi habitat yang jauh berbeda dengan kedua habitat lainnya (Tabel 2).

a
b
c
Gambar 3 Kondisi habitat: (a) Hutan primer dengan tutupan tajuk yang cukup
rapat, (b) Daerah terbuka dan pohon tumbang pada tipe habitat hutan
sekunder, (c) Kebun campuran

5

Tabel 2 Kondisi habitat pada lokasi penelitian
Tipe habitat
Hutan Primer

Hutan sekunder

Kebun campuran

Keterangan
Vegetasi heterogen, tajuk cukup rapat (Gambar 3), lima
strata, semak dan tumbuhan bawah cukup lebat. Beberapa
tumbuhan yang ada adalah Ficus variegata, Vitex cofassus,
Metrosideros petiolata, Pometia pinnata dan berbagai jenis
rotan (Daemonorops sp). Tumbuhan Ficus variegata sedang
berbuah. Terdapat sungai dengan lebar sekitar enam meter
Vegetasi hampir sama dengan hutan primer namun tajuk
tidak terlalu rapat dan banyak daerah terbuka. Tumbuhan
Ficus variegata dan Ficus septica sedang berbuah
Tanaman pokok jambu mete (Anacardium occidentale) dan
beberapa tanaman lain kapuk (Ceiba pentandra), kelapa
(Cocos nucifera), coklat (Theobroma cacao), jabon merah
(Anthocephalus macrophyllus), jagung (Zea mays).
Tanaman kelapa dan kapuk sedang berbunga. Letak tanaman
acak di sepanjang jalur pengamatan dan tajuk sangat terbuka

Keanekaragaman Jenis Burung
Pengamatan pada tiga tipe habitat mencatat 62 jenis burung dari 29 famili
(Lampiran 1). Meskipun jumlah jenis yang ditemukan dengan kedua metode
berbeda namun kebun campuran tetap memiliki jenis paling banyak dan hutan
primer memiliki jenis paling sedikit (Tabel 3). Kurva penemuan jenis MacKinnon
pada ketiga habitat memiliki perbedaan dalam kecuraman (Gambar 4). Pada hutan
sekunder dan kebun campuran kurva menunjukkan peningkatan yang cukup
curam dari keseluruhan daftar jenis. Pada hutan primer kurva menunjukkan
peningkatan di awal dan berubah mendatar pada pertengahan yang menandakan
penambahan jenis yang sedikit.
60

Jumlah jenis

50

48
47

40

38
Hutan primer

30

Hutan sekunder
20

Kebun campuran

10
0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25
Daftar ke-

Gambar 4 Kurva penemuan jenis MacKinnon pada tiga habitat

`

6

Keseluruhan habitat memiliki nilai H’ berkisar antara 3.13 sampai 3.31
yang berarti termasuk dalam kategori tinggi. Kebun campuran memiliki nilai H’
tertinggi dan hutan primer memiliki nilai terendah. Nilai indeks kemerataan (E)
pada seluruh habitat hampir sama secara keseluruhan yaitu sekitar 0.90. Angka
tersebut mendekati nilai satu yang menandakan bahwa kemerataan pada tiga tipe
habitat yang diamati cukup tinggi.
Tabel 3 Rekapitulasi data menggunakan metode point transect dan daftar jenis
MacKinnon
Tipe habitat

Famili

Ʃ
Individu

Hutan primer
Hutan sekunder
Kebun campuran
Total

23
25
24
29

366
565
606
1537

Ʃ Jenis
Point
transect
33
37
42
54

MacKinnon
38
47
48
62

H'

E

3.13
3.21
3.31

0.89
0.88
0.88

Indeks Kesamaan Komunitas (ISJ)
Hasil analisis menunjukkan bahwa indeks kesamaan komunitas tertinggi
adalah antara hutan primer dengan hutan sekunder yaitu 77%. Kedua habitat
tersebut membentuk kelompok yang memiliki kesamaan jenis dengan komunitas
burung di kebun campuran sebesar 44% (Gambar 5).

Gambar 5 Dendogram kesamaan komunitas
Dominansi
Dominansi menunjukkan kelimpahan suatu jenis dalam komunitasnya.
Sebanyak 14 jenis burung dominan tercatat dari tiga tipe habitat (Tabel 4).
Terlihat perubahan pada beberapa jenis burung dominan seiring meningkatnya
gangguan pada habitat. Terdapat dua jenis burung dominan di hutan primer yaitu
Pergam tutu (Ducula forsteni) dan Kepudang-sungu belang (Coracina bicolor)
yang menjadi tidak dominan di dua habitat lainnya. Jenis Pergam hijau (Ducula
aenea) dan Srigunting jambul-rambut (Dicurus hottentottus) merupakan jenis
burung dominan di hutan primer dan hutan sekunder (Gambar 6), namun pada

7

kebun campuran kedua jenis ini menjadi tidak dominan. Sebanyak empat jenis
burung dominan di hutan sekunder menjadi tidak dominan pada kebun campuran.
Tabel 4 Perubahan komposisi jenis burung dominan pada tiga habitat
Jenis
Ducula forsteni
Ducula aenea
Prioniturus platurus
Centropus celebensis
Collocalia esculenta
Halcyon chloris
Coracina bicolor
Dicurus hottentottus
Oriolus chinensis
Trichastoma celebense
Hypothymis azurea
Culicicapa helianthea
Aplonis panayensis
Zosterops consobrinorum
Total

a

Hutan primer
Dominan
Dominan
Dominan

Tipe habitat
Hutan sekunder
Dominan

Dominan
Dominan
Dominan

Dominan
Dominan
Dominan
Dominan

Dominan
8

Kebun campuran

Dominan
Dominan

Dominan
Dominan
Dominan
Dominan
Dominan
Dominan

Dominan
Dominan

Dominan
6

9

b

Gambar 6 Jenis burung dominan: (a) Pergam hijau (Ducula aenea), (b)
Srigunting jambul-rambut (Dicurus hottentottus)
Tingkat Pertemuan Jenis
Tingkat pertemuan jenis menggambarkan kemudahan pertemuan dengan
suatu jenis burung pada habitat tertentu sesuai dengan lamanya waktu
pengamatan. Berdasarkan hasil analisis, sebagian besar jenis burung yang
ditemukan pada seluruh habitat termasuk dalam kategori jarang dan tidak umum
(Lampiran 2,3,4). Sebanyak dua jenis burung termasuk dalam kategori umum
pada hutan sekunder dan kebun campuran. Tidak terdapat jenis burung yang
masuk kategori melimpah pada seluruh habitat.
Terjadi perubahan yaitu peningkatan kategori kelimpahan pada beberapa
jenis dari satu habitat ke habitat lainnya seiring dengan meningkatnya gangguan

`

8

pada habitat (Tabel 5). Peningkatan yang sangat besar terjadi pada Walet sapi
(Collocalia esculenta) yaitu dari kategori tidak umum di hutan primer menjadi
umum di hutan sekunder dan kebun campuran.
Tabel 5 Perubahan kategori kelimpahan beberapa jenis burung
Tipe habitat
Jenis
Centropus celebensis
Collocalia esculenta
Dicurus hottentottus
Trichastoma celebense
Hypothymis azurea
Nectarinia aspasia
Zosterops consobrinorum

Hutan primer

Hutan sekunder

**
**
**
***
**
*
**

***
****
***
****
***
*
*

Kebun
campuran
***
****
***
****
***
**
***

Keterangan : * = Jarang, ** = Tidak umum, *** = Sering, **** = Umum, ***** = Melimpah

Komposisi Jenis Burung Spesialis dan Generalis
Jenis burung spesialis hutan yang ditemukan pada tiga habitat ada 11 jenis
(Gambar 7). Semua jenis tersebut dapat ditemukan di hutan primer dan hanya
berkurang sedikit pada hutan sekunder. Pada kebun campuran terjadi penurunan
drastis jenis burung spesialis hutan yaitu hanya terdapat dua jenis. Di sisi lain,
terjadi peningkatan jenis spesialis daerah terbuka secara berurutan dari hutan
primer, hutan sekunder dan kebun campuran.

Gambar 7 Perubahan struktur jenis burung spesialis hutan dan daerah terbuka
pada tiga habitat
Jenis burung spesialis hutan yaitu Pergam tutu (Ducula forsteni) dan
Udang-merah sulawesi (Ceyx fallax) (Gambar 8a) hanya ditemukan di hutan
primer. Kedua jenis ini tidak ditemukan pada habitat lain yang gangguannya
semakin tinggi (Tabel 6). Sebanyak delapan jenis burung yang ditemukan di hutan
primer dan hutan sekunder tidak ditemukan lagi pada kebun campuran. Pada
hutan sekunder ditemukan tujuh jenis burung yang terdapat juga di kebun
campuran. Kebun campuran mendapat tambahan sebanyak 13 jenis baru yang

9

tidak di temukan pada habitat lainnya dan sebanyak enam jenis merupakan jenis
spesialis daerah terbuka seperti Gemak loreng (Turnix suscitator), Kareo sulawesi
(Amaurornis isabellina) dan Bubut alang-alang (Centropus bengalensis) (Gambar
8b). Jumlah jenis spesialis daerah terbuka semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya gangguan yang menyebabkan tajuk semakin terbuka.
Tabel 6 Komposisi jenis burung spesialis pada setiap tipe habitat
Hutan primer
Ducula forsteni*
Ceyx fallax *

Hutan sekunder

Kebun campuran

Lophotriorchis kienerii
Otus manadensis
Coracias temminckii
Lalage sueurii**

Nisaetus lanceolatus
Pernis celebensis
Turnix suscitator **
Amaurornis isabellina**
Stigmatopelia chinensis **
Macropygia amboinensis
Loriculus exilis
Phaenicophaeus
calyorhynchus
Centropus bengalensis**
Hirundo tahitica**
Hirundo rustica **
Coracina leucopygia
Gerygone sulphurea
Treron griseicauda
Tanygnathus sumatranus
Halcyon chloris **
Aplonis panayensis
Nectarinia jugularis
Aethopyga siparaja
Dicaeum celebicum

Gallus gallus *
Cuculus crassirostris *
Actenoides monachus *
Penelopides exarhatus *
Aceros cassidix *
Coracina bicolor *
Culicicapa helianthea *
Scissirostrum dubium
Collocalia esculenta **
Collocalia vanikorensis **
Hemiprocne longipennis **
Coracina morio *
Corvus typicus *
Artamus leucorynchus **
Keterangan: * : Spesialis hutan, ** : Spesialis daerah terbuka

`

10

a

b

Gambar 8 Jenis burung spesialis hutan: (a) Udang-merah sulawesi (Ceyx fallax),
jenis burung spesialis daerah terbuka (b) Bubut alang-alang
(Centropus bengalensis)
Endemisitas dan Status
Dalam penelitian ini tercatat 31 jenis burung endemik Sulawesi yang
berarti 50% dari jumlah keseluruhan jenis yang ditemukan pada seluruh habitat.
Jenis burung endemik Sulawesi dan dilindungi terbanyak terdapat pada hutan
sekunder (Gambar 9). Beberapa jenis burung endemik Sulawesi yang dilindungi
diantaranya adalah Udang-merah sulawesi (Ceyx fallax), Elang-alap ekor-totol
(Accipiter trinotatus) dan Julang sulawesi (Aceros cassidix) (Gambar 10).

Kebun campuran

13
20

17

Hutan sekunder

Hutan primer

Dilindungi

24

Endemik Sulawesi

12
22
Jumlah jenis

Gambar 9 Perbandingan jenis burung endemik Sulawesi dan dilindungi pada tiga
habitat
Status jenis burung berhubungan dengan berbagai aspek untuk
kelestariannya. Hasil analisis menunjukkan adanya 19 jenis burung yang
dilindungi berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 7 tahun 1999. Jenis yang
masuk dalam kategori tersebut diantaranya jenis-jenis dari famili Accipitridae,
Bucerotidae dan Alcedinidae. Selain itu terdapat 5 jenis yang masuk dalam
kategori Near Threatened IUCN (Lampiran 1). Appendix CITES merupakan
kategori yang mengatur status perdagangan suatu jenis. Dalam penelitian ini

11

ditemukan 12 jenis yang masuk dalam kategori Appendix II. Jenis-jenis tersebut
berasal dari famili Psittacidae, Accipitridae, Bucerotidae dan Strigidae.

a

b

Gambar 10 Jenis burung endemik Sulawesi yang dilindungi: (a) Julang sulawesi
(Aceros cassidix), (b) Elang-alap ekor-totol (Accipiter trinotatus)

Pembahasan
Keanekaragaman Jenis Burung
Jenis burung yang ditemukan dengan metode daftar jenis MacKinnon lebih
banyak dibandingkan dengan metode point transect. Menurut MacKinnon et al.
(1998) keuntungan daftar jenis MacKinnon adalah tidak terlalu bergantung pada
intensitas pengamatan, keadaan cuaca atau lainnya. Lebih banyaknya jenis yang
ditemukan dengan metode daftar jenis MacKinnon adalah karena usaha (effort)
pencatatan yang lebih banyak karena tidak hanya dilakukan pada jalur
pengamatan dan pencatatan dilakukan sepanjang hari dalam semua kondisi cuaca.
Meskipun jumlah jenis yang ditemukan dengan metode point transect lebih
sedikit namun dapat diperoleh kelimpahan relatif dari suatu jenis burung.
Secara keseluruhan keanekaragaman jenis yang diperoleh dengan kedua
metode berbeda, terjadi peningkatan jumlah jenis, jumlah individu dan nilai H’
seiring meningkatnya gangguan pada habitat. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat
Estrada et al. (2000) dan Alikodra (2002) yang menyatakan bahwa keragaman
kehidupan satwa liar di dalam hutan primer adalah tinggi karena hutan primer
memiliki heterogenitas vertikal yang tinggi dan jika hutan tersebut ditebangi
sehingga menjadi hutan sekunder, biasanya akan terjadi penurunan keragaman
jenis secara drastis. Hasil yang diperoleh menunjukkan hutan sekunder memiliki
kekayaan jenis yang lebih tinggi dari hutan primer dan ini sama dengan beberapa
hasil penelitian di lokasi lain (Naidoo 2004; Dustin dan Agreda 2005; Martin dan
Blackburn 2010). Keanekaragaman jenis yang rendah pada hutan primer dapat
terjadi karena mungkin jenis burung di habitat tersebut memang tidak banyak
sejak dahulu. Kondisi vegetasi hutan primer yang kompleks dapat menyediakan
relung ekologi bagi berbagai jenis burung. Hutan primer yang tidak mendapat
gangguan berarti dalam waktu lama menyebabkan komunitas burung menjadi
stabil.

12

`

Sebaliknya, hutan sekunder yang memiliki tajuk tidak rapat akibat
gangguan menyebabkan perginya beberapa jenis burung lokal yaitu spesialis
hutan yang pemalu, sehingga membuat kosong relung ekologi di habitat tersebut
(Dustin dan Agreda 2005; Martin dan Blackburn 2010). Kekosongan tersebut
mengundang jenis-jenis burung generalis untuk mengisi relung yang kosong. Jenis
generalis adalah jenis yang memiliki kemampuan beradaptasi tinggi sehingga
dapat hidup di berbagai habitat. Keanekaragaman jenis burung yang meningkat
pada hutan sekunder dapat disebabkan karena hadirnya jenis generalis tersebut
yang dengan cepat dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
Kebun campuran memiliki keanekaragaman jenis yang lebih tinggi dari
kedua habitat lainnya. Mangesha et al. (2011) menyatakan kekayaan spesies
burung pada habitat terganggu yang lebih tinggi daripada habitat tidak terganggu
dapat dikaitkan dengan perbedaan dalam struktur komunitas vegetasi dari habitat
yang menentukan makanan, air dan ketersediaan cover. Kebun campuran mungkin
dapat menyediakan pakan bervariasi dari beberapa tanaman masyarakat. Selain itu
kondisinya yang relatif terbuka mengundang jenis burung spesialis daerah terbuka
untuk hadir. Kedua kondisi tersebut memungkinkan untuk mengakomodir
tumpang tindih kebutuhan antara jenis burung spesialis hutan, spesialis daerah
terbuka dan generalis yang menjadikan habitat ini memiliki keanekaragaman jenis
paling tinggi. Namun tingginya keanekaragamn jenis di kebun campuran juga
dapat disebabkan oleh posisinya yang dikelilingi hutan (Gambar 1). Kebun
campuran mungkin dimanfaatkan oleh beberapa jenis burung penghuni hutan
disekelilingnya untuk beraktivitas secara tidak permanen.
Fakta yang terjadi menunjukkan ada keterkaitan antara peningkatan
keanekaragaman jenis burung dengan semakin terbukanya tutupan tajuk pada
habitat. Hal ini di dukung pernyataan Wisnubudi (2009) bahwa habitat yang
mempunyai kanopi yang terbuka akan digunakan oleh banyak jenis burung untuk
melakukan aktivitasnya, dibandingkan dengan habitat yang rapat dan tertutup.
Namun hasil yang diperoleh juga dapat disebabkan oleh bias dari pengamat,
karena semakin rapat tutupan tajuk akan semakin sulit mendeteksi keberadaan
burung.
Indeks Kesamaan Komunitas
Indeks kesamaan komunitas antara hutan primer dengan hutan sekunder
cukup tinggi yaitu 77%. Sebanyak 36 dari 38 jenis yang ditemukan di hutan
primer dapat ditemukan di hutan sekunder. Peluang terjadinya kesamaan jenis
burung pada habitat yang berbeda berhubungan dengan distribusi burung yang
dipengaruhi kesesuaian habitatnya meliputi adaptasi burung terhadap lingkungan,
kompetisi, strata vegetasi, ketersediaan pakan, seleksi alam dan faktor dari alam
lainnya (Alikodra 2002; Rahayuningsih 2009).
Kesamaan ini dapat terjadi karena jenis vegetasi yang mirip antara kedua
habitat tersebut (Tabel 2). Kesamaan pada kondisi Ficus variegata yang sedang
berbuah menjadikan cukup banyak jenis burung pemakan buah (frugivora) yang
ditemukan, dan sebagian besar sama-sama berasal dari famili Columbidae dan
Bucerotidae. Selain itu pada komunitas ini juga ditemukan jenis burung spesialis
hutan penghuni strata bawah yaitu Sikatan matari (Culicicapa helianthea). Hal ini
terjadi karena kemiripan kondisi lapisan bawah hutan pada kedua habitat.

13

Kelompok komunitas burung hutan primer dan hutan sekunder memiliki
kesamaan dengan komunitas burung di kebun campuran sebesar 44%. Sebagian
besar jenis yang sama antara kedua komunitas merupakan jenis burung generalis
yang dapat ditemukan pada ketiga habitat yang diteliti. Kemiripan juga terjadi
karena antara hutan sekunder dan dan kebun campuran memiliki tutupan tajuk
relatif terbuka sehingga dapat ditemukan jenis spesialis daerah terbuka seperti
Cekakak sungai (Halcyon chloris). Hutan regenerasi adalah penghubung antara
hutan primer yang utuh dengan lahan pertanian dan budidaya, meskipun jenis
didalamnya lebih dekat dengan hutan primer yang utuh (Naidoo 2004). Hal
tersebut menjadikan pada hutan sekunder terdapat cukup banyak jenis burung
yang hanya dapat ditemukan pada dua habitat yaitu hutan sekunder-hutan primer
dan hutan sekunder-kebun campuran (Tabel 6).
Dominansi
Secara keseluruhan jumlah jenis burung dominan pada ketiga habitat
cukup banyak dan merata. Hutan sekunder memiliki jenis dominan paling banyak
yang sebagian besar adalah jenis burung generalis. Hal yang menarik adalah
terjadinya penurunan kelimpahan beberapa jenis dominan yang menyebabkan
jenis-jenis tersebut tidak dominan lagi pada habitat lainnya. Penurunan ini terjadi
secara berurutan seiring meningkatnya gangguan pada habitat.
Menurut Sayogo (2009) dominasi suatu jenis burung didukung kesesuaian
habitat dan kemampuan beradaptasi terhadap kondisi lingkungannya. Sebagai
contoh, Pergam tutu (Ducula forsteni) adalah jenis umum yang dapat ditemukan
di habitat hutan tidak terganggu seperti hutan primer (Martin et al. 2012). Jenis
Pergam tutu dapat bertahan dan berkembang biak dengan baik pada habitat yang
sesuai yaitu hutan primer, sehingga jumlahnya menjadi cukup banyak dan
tergolong dominan di hutan primer. Perubahan kondisi habitat akibat gangguan
dapat menyebabkan jenis Pergam tutu dan beberapa jenis lainnya tidak dapat
beradaptasi dengan baik sehingga kelimpahannya dapat menurun bahkan tidak
dapat ditemukan lagi dikarenakan satwaliar akan menempati habitat sesuai dengan
lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya (Alikodra 2002).
Tingginya kelimpahan jenis burung dapat disebabkan karena kebiasaan
burung yang melakukan aktivitas secara berkelompok, sehingga memiliki nilai
dominansi yang tinggi (Darmawan 2006). Hal ini terjadi pada dua jenis yang
ditemukan yaitu Pergam hijau (Ducula aenea) dan Perling kumbang (Aplonis
panayensis) yang banyak ditemukan berkelompok pada pohon Ficus sp. di hutan
primer dan sekunder. Kondisi kebun campuran yang berbeda dengan kedua
habitat lainnya menyebabkan fenomena seperti ini tidak terjadi sehingga kedua
jenis burung tersebut menjadi tidak dominan meskipun dapat ditemukan pada
kebun campuran.
Selain penurunan, terjadi juga peningkatan kelimpahan pada jenis Walet
sapi (Collocalia esculenta) yang menjadi dominan pada hutan sekunder dan kebun
campuran. Hal itu dapat disebabkan karena jenis tersebut memiliki perilaku yang
aktif terbang sehingga semakin mudah terdeteksi pada habitat yang tajuknya lebih
terbuka seperti hutan sekunder dan kebun campuran.

14

`

Tingkat Pertemuan Jenis
Kelimpahan jenis burung berhubungan dengan tingkat pertemuan jenis
walaupun menurut Bibby et al. (2000) tingkat pertemuan jenis tidak memberikan
indikasi kelimpahan yang akurat akan tetapi berguna sebagai gambaran
kemudahan pertemuan dengan suatu jenis pada setiap habitat. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa tingkat pertemuan jenis berbanding lurus dengan
dominansi di setiap habitat karena sebagian besar jenis burung dominan yang
ditemukan termasuk dalam kategori umum dan sering yang menandakan bahwa
semakin dominan suatu jenis maka semakin mudah dijumpai pada suatu habitat.
Fardila dan Sjarmidi (2009) menyatakan presentase tutupan tajuk dan
kompleksitas strata berpengaruh nyata pada kelimpahan burung karena semakin
terbuka tajuk maka semakin mudah mengamati burung saat beraktivitas. Namun
hal tersebut dipengaruhi juga oleh perilaku dari suatu jenis burung. Jenis Walet
sapi (Collocalia esculenta) akan semakin mudah diamati karena perilakunya yang
lebih banyak terbang sehingga mudah terlihat. Jenis Kehicap ranting (Hypothymis
azurea), Burung-madu hitam (Nectarinia aspasia) dan Kacamata sulawesi
(Zosterops consobrinorum) juga menjadi lebih mudah ditemui pada habitat yang
tajuknya semakin terbuka karena perilakunya yang sangat aktif bergerak sehingga
mudah terditeksi.
Winarni dan Jones (2007) menyatakan terdapat lima jenis burung yang
paling umum pada penelitian tahun 2005 di Hutan Lambusango yaitu Pergam
hijau (Ducula aenea), Srigunting-jambul rambut (Dicurus hottentottus), Pelanduk
sulawesi (Trichastoma celebense), Bubut sulawesi (Centropus celebensis) dan
Kepudang kuduk-hitam (Oriolus chinensis). Hasil tersebut sama dengan hasil
penelitian ini karena jenis-jenis tersebut masuk dalam kategori sering sampai
umum yang disebabkan perilakunya yang sering bersuara dan terbang sehingga
mudah ditemui.
Komposisi Jenis Burung Spesialis dan Generalis
Secara keseluruhan komposisi jenis pada seluruh habitat di dominasi jenis
generalis. Jenis-jenis burung generalis mampu menggantikan burung spesialis
hutan pada habitat yang terdegradasi (Dustin dan Agreda 2005). Meskipun
keanekaragaman jenis burung semakin tinggi seiring meningkatnya gangguan
habitat, namun terjadi perubahan pada komposisi jenis burung spesialis pada
ketiga habitat tersebut. Penurunan jumlah jenis burung spesialis hutan terjadi
seiring meningkatnya gangguan habitat dan hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian Martin dan Blackburn (2010) di lokasi yang sama. Hal tersebut dapat
disebabkan jenis burung spesialis hutan tertentu membutuhkan habitat yang
mendukung dan sedikit terganggu.
Hutan primer yang memiliki kondisi vegetasi kompleks dan sedikit
gangguan menjadikan lokasi ini sebagai habitat burung interior. Interior spesies
merupakan penghuni hutan alam yang membutuhkan vegetasi kompleks dan
hanya toleran terhadap gangguan rendah (Utari 2000; Fardila dan Sjarmidi 2009).
Terdapat dua jenis burung interior yang ditemukan yaitu Pergam tutu (Ducula
forsteni) dan Udang-merah sulawesi (Ceyx fallax). Kedua jenis burung ini tidak
ditemukan pada hutan sekunder walaupun kondisi vegetasinya hampir sama.
Kondisi vegetasi hutan primer dan sekunder hampir sama dapat
menyediakan pakan bagi jenis spesialis hutan seperti Kangkareng sulawesi

15

(Penelopides exarhatus) dan Julang sulawesi (Aceros cassidix). Ketika kondisi
vegetasi berubah pada kebun campuran sehingga tidak dapat mendukung
pakannya, maka kedua jenis ini tidak dapat ditemukan lagi pada habitat tersebut.
Menurut Waltert et al. (2004), perkebunan buatan dengan pohon yang jauh dari
alami biasanya tidak mendukung jenis spesialis hutan dalam jumlah yang besar.
Hasil penelitian menunjukkan kebun campuran memiliki jenis spesialis hutan
paling sedikit yaitu hanya dua jenis.
Hilangnya jenis burung spesialis hutan seiring meningkatnya gangguan
ternyata diikuti dengan peningkatan jenis spesialis daerah terbuka. Peningkatan
paling tinggi terjadi di kebun campuran yang mendapat tambahan enam jenis
spesialis daerah terbuka. Kekayaan jenis spesialis daerah terbuka dan pengunjung
hutan jauh lebih besar di habitat pertanian daripada habitat hutan (Naidoo 2004).
Peningkatan dapat terjadi karena kebun campuran mempunyai tutupan dan tajuk
yang relatif terbuka, sehingga mengundang jenis-jenis tersebut untuk datang.
Menurut Wisnubudi (2009), kanopi yang terbuka akan digunakan oleh banyak
jenis burung untuk melakukan aktivitasnya.
Implikasi Bagi Konservasi Burung
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gangguan pada habitat tidak
berpengaruh besar pada keanekaragaman jenis burung, namun sangat berpengaruh
pada komposisi jenis burung spesialis pada suatu habitat. Kedua habitat berhutan
yang diteliti ternyata memiliki nilai yang penting bagi konservasi burung. Hal
tersebut ditunjukkan dengan komposisi jenisnya yang masih banyak terdapat
jenis-jenis burung spesialis hutan. Kehidupan jenis burung spesialis hutan sangat
bergantung pada habitat berhutan dan sedikitnya gangguan. Hutan primer dapat
mendukung keberadaan dua jenis yang termasuk spesies interior dan endemik
Sulawesi yaitu Pergam tutu (Ducula forsteni) dan Udang-merah sulawesi (Ceyx
fallax). Keberadaan dua jenis ini dapat menjadi indikator habitat tidak terganggu
karena keberadaannya hanya dapat ditemukan di hutan yang memiliki vegetasi
kompleks dan sedikit gangguan seperti hutan primer. Selain itu Udang-merah
sulawesi (Ceyx fallax) yang termasuk dalam famili Alcedinidae dapat berfungsi
sebagai indikator struktur ekosistem dan kualitas airkarena struktur aliran dan
kualitas air mempengaruhi penyebaran famili ini (Robson 2007). Jenis ini hanya
dapat ditemukan di habitat hutan primer yang memiliki aliran air. Hasil penelitian
menunjukkan hutan sekunder mampu mendukung keberadaan jenis burung
dilindungi dan endemik Sulawesi paling banyak.
Kebun campuran dengan gangguan paling tinggi ternyata memiliki
keanekaragaman jenis tertinggi, namun komposisi jenisnya sangat miskin akan
jenis spesialis hutan. Komposisi jenis pada habitat ini di dominasi oleh jenis
burung generalis dan spesialis daerah terbuka yang dapat beradaptasi dengan
habitat terganggu. Tingginya keanekaragaman jenis burung pada kebun campuran
dapat dipengaruhi oleh letaknyanya yang dikelilingi oleh habitat berhutan
sehingga mungkin dapat berperan sebagai daerah penyangga bagi habitat
berhutan. Hasil penelitian menunjukkan adanya harapan konservasi burung pada
habitat terganggu seperti kebun campuran dengan ketentuan letaknya yang
berdekatan dengan hutan dan penanaman perkebunan yang di kombinasikan
dengan beberapa jenis tanaman lainnya agar dapat menghasilkan pakan yang lebih
bervariasi sehingga mendukung keberadaan burung.

`

16

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Keanekaragaman jenis burung tertinggi terdapat pada kebun campuran yang
merupakan habitat dengan gangguan tertinggi (48 jenis, H’=3.31, E= 0.88).
Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan habitat gangguan sedang yaitu hutan
sekunder (47 jenis, H’= 3.21, E= 0.88). Hutan primer dengan gangguan paling
rendah ternyata memiliki kekayaan jenis paling rendah (37 jenis, H’= 3.13, E=
0.89).
2. Komposisi jenis pada setiap habitat berbeda. Meskipun kebun campuran
memiliki keanekaragaman jenis tertinggi namun tidak dapat menampung
banyak jenis spesialis hutan karena ada beberapa jenis burung yang sangat
tergantung pada hutan. Perubahan komposisi jenis burung spesialis terjadi
seiring meningkatnya gangguan pada habitat.
3. Terdapat dua jenis burung yang keberadaannya dapat menjadi indikator habitat
tidak terganggu yaitu Pergam tutu (Ducula forsteni) dan Udang-merah
sulawesi (Ceyx fallax). Semakin tinggi gangguan maka kedua jenis ini semakin
sulit bahkan tidak dapat ditemukan lagi karena kedua jenis ini hanya dapat
ditemukan pada hutan dengan gangguan rendah yaitu hutan primer.

Saran
Penelitian lain perlu dilakukan dengan menambah sampel habitat dengan
gangguan dan kondisi yang berbeda. Hal ini berguna untuk melihat kembali
kemungkinan adanya keterkaitan antara keanekaragaman dan komposisi jenis
burung dengan gangguan masa lampau pada habitat yang berbeda.
Kawasan Cagar Alam (CA) Kakenauwe dan Suaka Margasatwa (SM)
Lambusango sudah seharusnya mendapat perhatian khusus, karena secara status
kedua lokasi ini masuk dalam kawasan konservasi dan hasil penelitian
menunjukkan lokasi ini memiliki keanekaragaman jenis burung yang tinggi serta
mampu mendukung keberadaan jenis burung endemik Sulawesi dan dilindungi
paling banyak dibandingkan habitat lainnya. Di sisi lain pengamatan dilapangan
menunjukkan adanya gangguan dari aktivitas manusia yang dapat merusak kedua
kawasan ini.
Pemerintah dapat melakukan sosialisasi pada masyarakat sekitar hutan
yang akan membuat kebun atau lahan budidaya lainnya agar mengkombinasikan
jenis tanaman yang akan di tanam atau menggunakan sistem agroforestri karena di
satu sisi dapat memperkaya jenis habitat sehingga mendukung kehidupan burung
di sekitar Hutan Lambusango.

17

DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan satwaliar-Jilid I. Bogor (ID): Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Bibby C, Martin J, Stuart M. 2000. Teknik-teknik Lapangan Survei Burung. Bogor
(ID): Birdlife International Indonesia Programme.
Canterbury GE, Thomas EM, Daniel RP, Petit LJ, David FB. 2000. Bird
communities and habitat as ecological indicators of forest condition in
regional monitoring. Conservation Biology 14:544-558.
Coates BJ, Bishop KD, Gardner D. 2000. Panduan Burung-Burung di Kawasan
Wallacea (Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara). Bogor (ID): BirdLife
International-Indonesia Program & Dove Publication.
Crick HQP. 2004. The impact of climate change on birds. Ibis 146(1): 48-56.
Darmawan MH. 2006. Keanekaragaman jenis burung pada beberapa tipe habitat
di areal Hutan Lindung Gunung Lumut Kalimantan Timur. [skripsi]. Bogor
(ID): Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Diaz L. 2006. Influences of forest type and forest structure on birdcommunities in
oak and pine woodlands in Spain. Forest Ecology and Management 223:
54–65.
Dustin BC, Agreda A. 2005. Bird community difference in mature and second
growth garua forest in Machalilla National Park, Ecuador. Ornitologia
Neotropical 16: 163–180.
Estrada A, Cammarano R, Estrada RC. 2000. Bird species richness in vegetation
fences and strips of residual rain forest vegetation at Los Tuxtlas, Mexico.
Biodiversity Conservation 9: 1399–1416.
Fardila D, Sjarmidi A. 2009. Pengaruh tipe lahan terhadap komunitas burung di
daerah Bandung utara. Jurnal Biologi Lingkungan 3(2): 111-121.
van Helvoort B. 1981. Bird Population in The Rural Ecosystem of West Java.
Netherlands (NL): Nature Conservation Departement.
Krebs CJ. 1978. Ecological Methodology. New York (US): Harper dan Row
Publisher.
Kristanto A, Wijiatmoko W, Rusmendoro H. 2005. Perbandingan
keanekaragaman burung pada pagi dan sore hari di empat tipe habitat yang
berbeda di TWA dan CA Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat. Prosiding
seminar ornitologi-Perhimpunan Ornitolog Indonesia, Bogor 2005.
Lee TM, Soh MCK, Sodhi N, Koh LP, Lim SLH. 2005. Effects of habitat
disturbance on mixed species bird flocks in a tropical sub-montane
rainforest. Biological Conservation 122: 193–204.
MacKinnon J, Phillipps K, van Balen B. 1998. Seri panduan lapangan burungburung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor (ID): Bird life
International-Indonesia Program – Pusat Penelitian dan Pengembangan
Biologi LIPI.
Magurran A. 2004. Ecological diversity and its measurement. London (GB):
Croom Helmed Limited.
Mangesha G, Mamo Y, Bekele A. 2011. A comparison of terestrial bird
community structure in the undistrubed and distrubed areas of the Abijata

18

`

Shalla lakes national park, Ethiopia. International Journal of Biodiversity
and Conservation 3(9): 389-404.
Martin TE, Blackburn GA. 2010. Impacts of tropical forest distrubance upon
avivauna on a small island witd high endemism: implication for
conservation. Conservation and Society 8 (2): 127-139.
Martin TE, Kelly DJ, Keogh NT, Heriyadi D, Singer HA, Blackburn GA. 2012.
The avifauna of Lambusango Forest Reserve, Buton Island, south-east
Sulawesi, with additional sightings from southern Buton. Forktail 28
(2012): 107–112.
Naidoo R. 2004. Species richness and community composition of songbirds in a
tropical forest-agricultural landscape. Animal Conservation 7: 93–105.
Rahayuningsih M. 2009. Komunitas burung di Kepulauan Karimunjawa, Jawa
Tengah: Aplikasi teori biogeografi pulau. [Disertasi]. Bogor (ID): Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Robson C.2007.Birds of South East Asia. London (GB): New Holland Publishers.
Sayogo AP. 2009. Keanekaragaman jenis burung pada beberapa tipe habitat di
Taman Nasional Lore Lindu provinsi Sulawesi Tengah. [skripsi]. Bogor
(ID): Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Singer HA, Purwanto E. 2006. Misteri kekayaan hayati hutan Lambusango.
Program Konservasi Hutan Lambusango (PKHL) - Operation Wallacea
Trust, Baubau.
Sukmantoro W, Irham M, Novarino W, Hasudungan F, Kemp N, Muchtar M.
2007. Daftar burung Indonesia no. 2. Bogor (ID): Indonesian Ornithologists
Union.
Sutherland WJ. 2006. Ecological census techniques, second edition. United
Kingdom (GB): Cambridge University Press.
Utari WD. 2000. Keanekaragaman jenis burung pada beberapa tipe habitat di areal
hutan tanaman industri PT Riau Andalan Pulp dan Paper dan perkebunan
kelapa sawit PT Duta Palma Nusantara Group provinsi Dati I Riau [skripsi].
Bogor (ID): Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Waltert M, Mardiastuti A, Muhlenberg M. 2004. Effects of land use on bird
species richness in Sulawesi, Indonesia. Conservation Biology 18(5): 1339–
1346.
Wiens JA. 1989. The Ecology of bird communities. Cambridge (GB): Cambridge
University Press.
Winarni NL, Jones M. 2007. Community patterns of birds and butterflies in
Lambusango forest, Buton, Southeast Sulawesi in 2006, Report to GEF
Lambusango Conservation Program 2007. Manchester Metropolitan
university.
Wisnubudi G. 2009. Penggunaan strata vegetasi oleh burung di kawasan wisata
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Vis Vitalis 2(2): 41-49.

Lampiran 1 Rekapitulasi jenis burung dari tiga tipe habitat
No Nama lokal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Spilornis rufipectus
Accipiter trinotatus
Nisaetus lanceolatus
Lophotriorchis kienerii
Pernis celebensis







Gallus gallus





KC





II, AB, ES
II, AB, ES
II, AB, ES
II, AB
II, AB

G
G

SH


Amaurornis isabellina



Stigmatopelia chinensis
Macropygia amboinensis
Turacoena manadensis
Treron griseicauda
Ptilinopus melanospilus
Ducula forsteni
Ducula aenea
Ducula luctuosa












Keterangan



Turnix suscitator



Status





ST
ES

ST
ES

ES






ST

ES

G
G
SH
G
G

19

Accipitridae
Elang-ular sulawesi
Elang-alap ekor-totol
Elang sulawesi
Elang perut-karat
Sikep-madu sulawesi
Phasianidae
Ayam-hutan merah
Turnicidae
Gemak loreng
Rallidae
Kareo sulawesi
Columbidae
Tekukur biasa
Uncal ambon
Merpati-hitam sulawesi
Punai penganten
Walik kembang
Pergam tutu
Pergam hijau
Pergam putih

HP

Lokasi
HS

Nama ilmiah

20

Lampiran 1 Rekapitulasi jenis burung dari tiga tipe habitat (lanjutan)
No Nama lokal
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

Psittacidae
Kring-kring bukit
Betet-kelapa keke
Serindit sulawesi
Serindit paruh-merah
Cuculidae
Kangkok sulawesi
Kedasi hitam
Kadalan sarese
Bubut sulawesi
Bubut alang-alang
Strigidae
Celepuk sulawesi
Apodidae
Walet sapi
Walet polos
Hemiprocnidae
Tepekong jambul
Alcedinidae
Cekakak-hutan tunggir-hijau
Cekakak sungai

Nama ilmiah

HP

Lokasi
HS

Prioniturus platurus
Tanygnathus sumatranus
Loriculus stigmatus
Loriculus exilis








Cuculus crassirostris
Surniculus lugubris
Phaenicophaeus calyor