Pendugaan ukuran populasi dan sebaran Macaca cohreata brunnescens, Matschie 1901 di kawasan hutan Lambusango, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara

(1)

Macaca ochreata brunnescens

, Matschie 1901

DI KAWASAN HUTAN LAMBUSANGO, KABUPATEN BUTON

PROPINSI SULAWESI TENGGARA

AMBANG WIJAYA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(2)

RINGKASAN

Ambang Wijaya. E34101042. Pendugaan Ukuran Populasi dan Sebaran Macaca ochreata brunnescens, Matschie 1901 di Kawasan Hutan Lambusango, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

Kawasan hutan Lambusango di Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara, telah mengalami kerusakan skala sedang sebagai akibat adanya kegiatan illegal logging, penambangan aspal, pengambilan rotan dan perambahan hutan (Purwanto, 2005). Secara ekologis, kerusakan hutan berdampak negatif pada keseimbangan fungsi ekosistem, diantaranya adalah ancaman terhadap kelestarian populasi satwaliar. Salah satu jenis satwa yang mengalami gangguan akibat kerusakan hutan adalah Macaca ochreata brunnescens. Primata ini merupakan sub-spesies endemik Pulau Buton dan Muna. Menurut IUCN Red List Threatened Species (2004), spesies ini dikategorikan sebagai vulnerable species

(rawan), yakni jenis satwaliar yang tidak segera terancam punah, akan tetapi terdapat dalam jumlah yang sedikit. CITES (Convention on International Trade Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memasukkan jenis primata ini kedalam Appendix II (Soehartono dan Mardiastuti, 2003).

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan ukuran populasi dan sebaran spasial M.o. brunnescens pada beberapa tipe penutupan lahan di kawasan hutan Lambusango. Data primer yang dikumpulkan meliputi: jumlah individu satwa, jarak satwa terhadap pengamat, titik koordinat transek dan tinggi pohon tempat satwa ditemukan. Pengumpulan data karakteristik populasi satwa dilakukan dengan menggunakan metode transek garis (line transect) pada enam tipe penutupan lahan, yakni hutan primer tidak terganggu, hutan primer terganggu, hutan sekunder tidak terganggu dan hutan sekunder terganggu. Penarikan contoh dilakukan secara acak berlapis (stratified random sampling) dengan mempertimbangkan kondisi lapangan.

Kawasan hutan Lambusango merupakan salah satu kawasan yang sedang dikaji untuk dijadikan kawasan taman nasional baru oleh Departemen Kehutanan (Handadhari, 2004). Luas areal kawasan hutan Lambusango adalah + 65.000 ha, yang terbagi kedalam hutan Suaka Margasatwa Lambusango seluas + 28.510 ha, Cagar Alam Kakinawe seluas + 810 ha dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas + 35.000 ha (Purwanto, 2005). Luas areal Lambusango berdasarkan hasil klasifikasi citra Landsat dalam penelitian ini adalah 86.997,29 ha, dengan penutupan lahan berupa hutan primer tidak terganggu (25.542,3 ha), hutan primer terganggu (5737,59 ha), hutan sekunder tidak terganggu (18.049 ha), hutan sekunder terganggu (14.552 ha), semak belukar (7192,89 ha), areal bukan hutan (6284,61 ha), awan dan bayangan awan (tidak terdefinisikan) seluas 9668,88 ha.

Pemilihan strata ketinggian pohon oleh M.o. brunnescens di dalam habitatnya tidak dipengaruhi oleh perbedaan tipe penutupan lahan ataupun perbedaan waktu pengamatan. Perbedaan tipe penutupan lahan dan waktu pengamatan hanya berpengaruh dalam frekwensi perjumpaan satwa (sighting rates). Seks rasio kelas umur dewasa dari satu kelompok M.o. brunnecens adalah sebesar 1:1,6.


(3)

Pendugaan ukuran populasi dan sebaran satwa dilakukan pada empat tipe penutupan hutan, yaitu hutan primer tidak terganggu (HPTT), hutan primer terganggu (HPT), hutan sekunder tidak terganggu (HSTT) dan hutan sekunder terganggu (HST). Ukuran populasi total adalah sebesar 57.176,3 + 2216,5 ekor dengan kepadatan 89,5 + 3,46 ekor/km2. Ukuran kelompok M.o. brunnescens berdasarkan hasil habituasi pada satu petak grid adalah sebanyak 7-30 ekor/kelompok dengan dugaan jumlah kelompok total adalah 1905,8 + 73,8 kelompok.

Pola sebaran spasial horisontal satwa untuk tipe penutupan lahan hutan primer tidak terganggu adalah mengelompok (clumped), sedangkan pada tipe hutan primer terganggu dan hutan sekunder terganggu adalah acak (random). Pola sebaran spasial seragam (uniform) hanya terjadi pada satwa yang menempati habitat hutan sekunder tidak terganggu. Pola sebaran spasial vertikal mengelompok terjadi pada satwa yang hidup di areal hutan primer tidak terganggu, sedangkan sebaran spasial vertikal acak terjadi di tipe penutupan lahan hutan primer terganggu, hutan sekunder tidak terganggu dan hutan sekunder terganggu.


(4)

PENDUGAAN UKURAN POPULASI DAN SEBARAN

Macaca ochreata brunnescens

, Matschie 1901

DI KAWASAN

HUTAN LAMBUSANGO, KABUPATEN BUTON

PROPINSI SULAWESI TENGGARA

Oleh :

AMBANG WIJAYA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat

untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(5)

Judul Skripsi : PENDUGAAN UKURAN POPULASI DAN SEBARAN Macaca ochreata brunnescens, Matschie 1901 DI KAWASAN HUTAN LAMBUSANGO, KABUPATEN BUTON, PROPINSI SULAWESI TENGGARA.

Nama Mahasiswa : Ambang Wijaya

NRP : E34101042

Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas : Kehutanan

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Agus P. Kartono, MSi Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc. NIP. 131 953 388 NIP. 131 760 841

Mengetahui

Dekan Fakultas Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP. 131 430 799


(6)

RIWAYAT HIDUP

AMBANG WIJAYA dilahirkan di Ciamis pada tanggal 26 April 1983. Penulis merupakan anak terakhir dari 4 bersaudara keluarga Kimun Haryanto dan Enok Saoti Swastika. Awal pendidikan formal dimulai pada tahun 1988 di TK. Sejahtera I Kertahayu dan lulus pada tahun 1989. Pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kertahayu I, lulus pada tahun 1995. Pendidikan menengah pertama di SMPN I Banjar, lulus pada tahun 1998 dan meneruskan pendidikan menengah umum di SMUN I Banjar, lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa program Sarjana pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, yang kini berubah nama menjadi Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Pada tahun 2004, penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kuningan, Perum Perhutani Unit III Jawa barat, selama + 2 bulan. Penulis juga telah melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bali Barat (TNBB) Gilimanuk-Bali pada bulan Februari–April 2005. Selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis aktif di beberapa organisasi kampus, antara lain: Asean Forestry Students Association (AFSA)-LC IPB, Rimbawan Pecinta Alam (RIMPALA-Fahutan IPB), Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA-KSH IPB) dan UKM Uni Konservasi Fauna (UKF-IPB).

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian berjudul ”Pendugaan Ukuran Populasi dan Sebaran Macaca ochreata brunnescens, Matschie 1901 Di Hutan Lambusango, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara”, dibimbing oleh Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke-Hadirat Allah SWT, yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga praktek khusus dan skripsi dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk meperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ”Pendugaan Ukuran Populasi dan Sebaran Macaca ochreata brunnescens, Matschie 1901 Di Kawasan Hutan Lambusango, Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara ” yang disajikan dalam skripsi ini memuat tentang dugaan ukuran populasi dan sebaran spasial M.o. brunnescens

di beberapa tipe penutupan lahan kawasan hutan Lambusango. Skripsi ini membahas juga tentang kondisi penutupan lahan hutan, preferensi satwa terhadap penggunaan tajuk pohon dan jumlah perjumpaan satwa, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam upaya pelestarian M.o. brunnescens. Skripsi ini tidak memuat paramater demografi satwa secara keseluruhan, sehingga pembahasan isi skripsi lebih dititikberatkan kepada aspek ukuran populasi dan sebaran spasial satwa.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan penelitian selanjutnya.

Bogor, Januari 2006


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, izinkanlah penulis menghaturkan rasa terima kasih yang tulus kepada:

1. Ir. Agus Priyono Kartono, MSi dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc, selaku pembimbing skripsi, atas bimbingan dan arahannya, dari mulai tahap penyusunan proposal sampai dengan terselesaikannya skripsi ini.

2. Ir. Emi Karminarsih, MS dan Effendi Tri Bahtiar, S.Hut selaku dosen penguji wakil Departemen Manajemen Hutan dan Departemen Hasil Hutan.

3. Dr. Edi Purwanto, MSc, selaku Project Manager World Bank/Global Environmental Facility (GEF) Lambusango Forest Conservation Project dan seluruh Staf GEF Buton, atas bantuan hibah dana penelitian ” Undergraduate Biodiversity Assessment Research Grant 2005” yang telah diberikan.

4. Dr. Philip Wheeler (University of Hull), Dr. Nancy Priston (Universitry of Cambridge), Dr. Bruce Carlisle (University of Northumbria), Atiek Widayati, MSc (ICRAF) dan Diah Asri Dwiyahreni, MSc (WCS-IP), selaku Supervisor dan pembimbing lapang atas sumbangan pemikiran dan pendampingannya kepada penulis selama penelitian berlangsung.

5. Kedua Orang Tua (Mamah dan Apih) serta keluarga besar tercinta (Ang Candra, Ang Indra dan Wisnu), atas doa dan kasih sayang yang telah diberikan. 6. Seluruh Scientist, Staff, Guide dan Porter yang tergabung dalam Operation

Wallacea Team 2005, atas fasilitas dan bantuan teknis yang telah diberikan. 7. Om La Marini, La Rasiu dan La Au, atas bantuan pendampingan selama

penelitian berlangsung.

Bogor, Januari 2006


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi dan Morfologi 2.1.1. Taksonomi ... 3

2.1.2. Morfologi ... 4

2.2. Populasi dan Penyebaran 2.2.1. Populasi ... 6

2.2.2. Penyebaran ... 6

2.3. Habitat, Sumber Pakan dan Aktivitas Makan 2.3.1. Habitat ... 7

2.3.2. Sumber Pakan dan Aktivitas Makan ... 8

2.4. Perilaku dan Struktur Sosial 2.4.1. Perilaku Sosial ... 9

2.4.2. Struktur Sosial ... 10

2.5. Hirarki dan Status Sosial Individu ... 11

2.6. Daerah Jelajah dan Teritori ... 14

2.7. Pengideraan Jauh 2.7.1. Pengertian dan Sejarah Pengideraan Jauh... 15

2.7.2. Teknologi Pengideraan Jauh ... 15

2.7.3. Analisis Digital Data Landsat ... 16

2.8. Sistem Informasi Geografi ... 18

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Sejarah Kawasan ... 19

3.2. Potensi Flora dan Fauna ... 20

3.3. Aksesibilitas ... 20

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

4.2. Alat dan Bahan ... 21


(10)

4.4. Metode Pengumpulan Data 4.4.1. Data Primer

4.4.1.1. Penutupan Lahan ... 21

4.4.1.2. Inventarisasi Satwa ... 23

4.4.2. Data Sekunder ... 24

4.5. Analisis Data 4.5.1. Pola Sebaran Spasial Vertikal ... 26

4.5.2. Jumlah Perjumpaan Satwa ... 26

4.5.3. Pendugaan Parameter Demografi 4.5.3.1. Ukuran dan Kepadatan Populasi ... 27

4.5.3.2. Ukuran dan Kepadatan Kelompok ... 28

4.5.3.3. Seks Rasio dan Struktur Umur ... 28

4.5.3.4. Pola Sebaran Spasial ... 28

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Penutupan Lahan ... 30

5.2. Pola Sebaran Spasial Vertikal ... 33

5.3. Perjumpaan Satwa ... 35

5.4. Ukuran dan Kepadatan Populasi ... 37

5.5. Ukuran dan Kepadatan Kelompok ... 40

5.6. Struktur Umur ... 44

5.7. Seks Rasio ... 44

5.8. Sebaran Spasial Populasi ... 45

5.8.1. Sebaran Spasial Horisontal ... 45

5.8.2. Sebaran Spasial Vertikal ... 46

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 47

6.2. Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA... 50


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kepadatan Populasi dan Ukuran Kelompok M.o. brunnescens ... 6

2. Aplikasi dan Saluran Spektral (Band) Thematic Mapper ... 16

3. Ketinggian Lokasi Stasiun Penelitian (Opwall, 2004) ... 20

4. Klasifikasi Penutupan Lahan di Hutan Lambusango ... 31

5. Rata-rata Ketinggian Posisi Satwa dari Permukaan Tanah ... 34

6. Rata-rata Tinggi Pohon pada Enam Lokasi Penelitian ... 34

7. Nilai Total dan Rata-rata Perjumpaan Satwa (sighting rates) Pada Empat Tipe Penutupan Lahan ... 36

8. Rata-rata Total Kepadatan Satwa pada 4 Tipe Penutupan Lahan... 38

9. Dugaan Ukuran Populasi Satwa di Empat Tipe Penutupan Lahan ……… 39

10. Nilai Angka Kepadatan (density) Satwa pada 4 Tipe Penutupan Lahan ... 40

11. Ukuran Populasi Setiap Kelompok M.o.brunnescens di kawasan Hutan Lambusango ... 41

12. Analisis Pola Sebaran Spasial Horisontal ... 46

13. Analisis Pola Sebaran Spasial Vertikal ... 47


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Individu Betina Dewasa M.o. brunnescens ... 12

2. Individu Jantan Dewasa M.o. brunnescens ... 12

3. Individu Muda M.o. brunnescens ... 13

4. Individu Remaja M.o. brunnescens ... 13

5. Proses Pengolahan Citra Landsat ... 23

6. Inventarisasi Satwa Menggunakan Metode Transek Garis ... 24

7. Peta Jalur Pengamatan ... 25

8. Areal Hutan Lambusango pada Tahun 2004 ... 31

9. Peta Penutupan Lahan Kawasan Penelitian Hutan Lambusango ... 32

10.Grafik Angka Perjumpaan M.o. brunnescens ... 37

11.Grafik Distribusi Waktu Perjumpaan M.o. brunnescens ... 37

12.Peta Sebaran Lokasi Penemuan M.o. brunnescens di Kawasan Hutan Lambusango ... 43


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Analisis Klasifikasi Dua Arah Frekuensi Perjumpaan

M.o. brunnescens ... 51 2. Analisis Klasifikasi Dua arah Ketinggian M.o. brunnescens ... 52


(14)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Primata merupakan salah satu komponen ekosistem yang memiliki nilai penting bagi kelangsungan keberadaan hutan dan kehidupan manusia. Peran primata bagi kelestarian ekosistem hutan antara lain sebagai pemencar biji vegetasi hutan, mediator penyerbukan dan penambah volume humus untuk kesuburan tanah. Berdasarkan anatomi, primata memiliki kemiripan dengan manusia, sehingga sering digunakan sebagai bahan penelitian biomedis.

Sulawesi merupakan pulau yang sangat unik di Indonesia, karena terletak di antara garis Webber dan garis Wallace, yaitu kawasan biogeografi di antara Australia dan Asia. Sulawesi memiliki tingkat endemisitas paling tinggi di kepulauan Indonesia dengan jenis mamalia endemik sebanyak 62%, yang akan bertambah menjadi 98% bila jenis-jenis kelelawar ikut diperhitungkan (Whitten et al. 1987). Sulawesi merupakan habitat bagi tujuh sub-spesies primata dari genus

Macaca.

Monyet Buton atau yang biasa disebut sebagai andoke (Macaca ochreata brunnescens), merupakan salah satu dari tujuh sub-spesies primata genus Macaca yang ada di Sulawesi. Primata endemik ini hanya dapat ditemukan di Pulau Muna dan Buton. Monyet ini merupakan jenis satwa dilindungi karena telah dikategorikan kedalam status Vulnarable (IUCN, 2004) dan CITES (Convention on International Trade Endangered Species of Wild Fauna and Flora) menggolongkan spesies ini kedalam Appendix II (Soehartono dan Mardiastuti, 2003).

Berkurang atau rusaknya habitat primata termasuk habitat M.o. brunnescens, diperkirakan telah menyebabkan penurunan jumlah populasi monyet di alam bebas. Kecenderungan ini menyebabkan populasi terancam kepunahan. Kekhawatiran akan kepunahan M.o. brunnescens didasarkan atas tingkat kerentanan ekosistem hutan hujan dataran rendah sebagai habitatnya dari kegiatan pembalakan hutan ilegal (illegal logging), perambahan lahan, penambangan aspal dan pengambilan rotan, yang mengakibatkan kerusakan hutan yang cepat.


(15)

Kerusakan hutan diperkirakan akan menurunkan kualitas habitat M.o. brunnescens. Perambahan kawasan hutan Lambusango, baik berupa perubahan penutupan lahan maupun pengambilan rotan, mengakibatkan rusaknya habitat satwa yang hidup di dalamnya.

Fluktuasi dugaan ukuran populasi tiap tahun, dapat dijadikan salah satu instrumen untuk mengetahui kondisi populasi M.o. brunnescens. Data ukuran populasi dan pola sebaran spasial M.o. brunnescens yang diambil setiap tahunnya, dapat dijadikan sebuah data kontinyu (time series data) untuk menilai kondisi populasi di alam. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan data dugaan ukuran populasi dan pola sebaran M.o. brunnescens pada tahun 2005, yang dapat digabungkan dengan penelitian sebelumnya untuk menyusun sebuah data time series

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan ukuran populasi dan pola sebaran spasial M.o. brunnescens di kawasan hutan Lambusango.

1.3. Manfaat

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai ukuran kelompok ataupun ukuran populasi, komposisi umur, seks rasio, dan pola sebaran spasial M.o. brunnescens, untuk selanjutnya dapat menjadi sumber informasi dalam kegiatan pelestarian populasi dan habitat jenis satwa tersebut.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Taksonomi dan Morfologi

2.1.1. Taksonomi

Sistematika atau urutan taksonomi monyet Sulawesi saat ini masih dalam perdebatan (Muskita, 1988). Napier dan Napier (1967) membagi monyet Sulawesi menjadi dua jenis yaitu Macaca maura dan Cynopithecus nigra. Fooden (1969)

dalam Groves (1980), memasukan monyet Sulawesi ke dalam satu marga yang mencakup tujuh jenis, yaitu :

1. Macaca maura (Schinz, 1825)

2. Macaca brunnescens (Matschie, 1901) 3. Macaca ochreata (Ogilby, 1841) 4. Macaca tonkeana (Meyer, 1899) 5. Macaca nigrescens (Temminck, 1895) 6. Macaca heckii (Matschie, 1901) 7. Macaca nigra (Desmarest, 1822)

Menurut Groves (1980), monyet Sulawesi dibagi menjadi 4 jenis yang tergabung ke dalam marga Macaca. Keempat jenis tersebut adalah: M. maura, M. ochreata, M. tonkeana, dan M. nigra, dengan anak jenis sebagai berikut:

1. M. nigra: a. M.n. nigra b. M.n. nigrescens 2. M. tonkeana: a. M.t. tonkeana

b. M.t. heckii 3. M. maura: a. M. maura

4. M. ochreata: a. M.o. ochreata b. M.o. brunnescens

Menurut Whitten et al. (1987), pembagian monyet Sulawesi ke dalam 4 jenis dengan 7 anak jenis telah diterima oleh banyak orang. Supriatna et al. (1988) menyatakan bahwa untuk monyet yang hidup di Sulawesi sebaiknya dianut


(17)

konsep tujuh jenis. Menurut Cooper (2001), berdasarkan hasil penelitian terhadap morfologi tubuh Macaca yang hidup endemik di Pulau Buton dan Muna, maka pengklasifikasian satwa tersebut ke dalam jenis M. brunnescens adalah tidak tepat dan sudah tidak berlaku lagi. Satwa tersebut lebih tepat dimasukan sebagai sub-spesies dari M. ochreata dengan nama M.o. brunnescens. Whitten (2002) menyatakan bahwa dengan mengacu pada teori Groves (1980), maka pada saat ini akan lebih masuk akal bila memasukan M.o. brunnescens sebagai sub-spesies dari M. ochreata.

Untuk sub-spesies M.o. brunnescens telah diklasifikasikan secara lengkap sampai pada tingkat spesies oleh Fooden (1969) dalam Muskita (1988) ke dalam taksonomi sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phyllum : Chordata

Sub-phyllum : Vertebrata

Class : Mammalia

Ordo : Primata (Linnaeus, 1958)

Sub ordo : Anthropoidea

Famili : Cercopithecidae

Sub famili : Cercopithecinae

Genus : Macaca

Spesies : Macaca ochreata

Sub-spesies : Macaca ochreata brunnescens (Matschie, 1901).

2.1.2. Morfologi

M.o. brunnescens adalah monyet yang memiliki ukuran morfometris tubuh sebagai berikut: panjang tubuh termasuk kepala berkisar antara 39,50 cm sampai dengan 40,47 cm untuk individu betina dewasa. Data ini diambil dari sampel 3 individu betina dewasa yang berasal dari Pulau Labuan blanda. Sedangkan pada individu jantan dewasa yang berasal dari Pulau Buton, diperoleh data morfometrik panjang tubuh sebesar 47,50 cm sampai dengan 49,50 cm (Fooden, 1969 dalam

Supriyadi, 1990). Menurut Albrecht (1977) dalam Supriyadi (1990), monyet Sulawesi memiliki panjang ekor berkisar 2,80 cm hingga 5,50 cm.


(18)

M.o. brunnescens memiliki rambut berwarna cokelat sampai cokelat kehitaman di permukaan tubuhnya. Bagian muka dari monyet tersebut berwarna hitam, dengan atau tanpa ditutupi rambut halus kehitaman. Permukaan luar bagian bawah tangan sampai siku ditutupi bulu berwarna cokelat kelabu hingga cokelat, serta permukaan luar sebelah belakang dari kaki sampai paha berwarna kelabu sampai dengan cokelat kehitaman (Fooden, 1969 dalam Supriyadi, 1990).

Eisenberg (1972) dalam Supriyadi (1990), menyatakan bahwa pada individu M.o. brunnescens dewasa memiliki ukuran tubuh besar, sedangkan pada individu yang masih remaja relatif lebih kecil daripada individu dewasa. Individu

M.o. brunnescens betina dewasa mempunyai ukuran tubuh sedikit lebih kecil daripada jantan dewasanya, akan tetapi masih lebih besar dari ukuran tubuh monyet remaja. Monyet yang tergolong kelas umur anak mempunyai ukuran tubuh yang relatif kecil.

Perbedaan yang mudah teramati antara individu monyet jantan dan monyet betina pada jenis M.o. brunnescens ini adalah kelenjar susu dan bentuk bantalan duduknya (ischial callosities). Menurut Eisenberg (1972) dalam Supriyadi (1990), pada individu betina dewasa, kelenjar susunya berkembang baik, sedangkan pada individu jantan tidak berkembang. Menurut van Noordwijk (1983) dalam

Supriyadi (1990), individu jantan akan memiliki gigi taring yang lebih panjang daripada gigi taring pada individu betina. Perbedaan ini akan terlihat jelas ketika individu telah menginjak usia dewasa. Pada individu M.o. brunnescens yang masih anak dan remaja, masih sulit untuk dapat membedakan jenis kelaminnya dan juga masih sulit untuk membedakan ukuran tubuhnya.

Fooden (1969) dalam Supriyadi (1990) menyatakan bahwa M.o. brunnescens memiliki bantalan duduk (ischial callosities) yang berbentuk menyerupai ginjal. Pada monyet jantan, bantalan duduk sebelah kiri akan bersatu dengan bantalan sebelah kanan, sedangkan pada individu betina dewasa, bantalan duduk akan terpisah oleh vagina. Bantalan duduk individu betina dewasa memiliki warna merah jambu yang akan membengkak ketika musim kawin tiba.


(19)

2.2. Populasi dan Penyebaran

2.2.1. Populasi

Alikodra (2002) memberikan definisi populasi sebagai kelompok organisme yang terdiri atas individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Populasi ini dapat menempati wilayah yang sempit sampai dengan luas, tergantung pada spesies satwa dan kondisi daya dukung habitatnya. Tarumingkeng (1994) mendefinisikan populasi sebagai sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan individu yang bersangkutan), dan menghuni suatu wilayah atau ruang tertentu pada waktu tertentu.

Menurut Supriyadi (1990), kepadatan populasi M.o. brunnescens di Suaka Margasatwa Buton utara sebanyak 36,9 ekor/km2, dengan ukuran kelompok antara 13–21 ekor per kelompok. Perbandingan jumlah individu jantan dewasa terhadap betina dewasa rata-rata adalah 1,4:1, pada setiap kelompok. Menurut Supriatna (1988), angka kepadatan populasi dan ukuran kelompok M.o. brunnescens di beberapa tempat di Propinsi Sulawesi Tenggara, seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kepadatan Populasi dan Ukuran Kelompok M.o. brunnescens

Lokasi Kepadatan

Populasi (km2)

Ukuran

Kelompok Tipe Vegetasi

Gangguan Habitat Napabalano Air Jatuh Watu Putih Lambusango Buton Utara 35,0 27,7 18,6 10,8 12,7 - 30,5 17,0 12,0 -

Primer dan Sekunder Primer Jati Primer Primer Sedang Tinggi Sedang Sedang Sangat Tinggi Sumber : Supriatna (1988)

2.2.2. Penyebaran

Groves (1980) menyatakan bahwa diduga seluruh monyet Sulawesi berasal dari satu tetua yang sama yang kemudian menyebar, berdiferensiasi, dan terisolasi satu sama lain dengan spesifikasi yang sangat kuat. Populasi tetua

Macaca di Sulawesi kemungkinan berasal dari kepulauan yang berdekatan dengan garis Wallacea, yaitu Filipina, Kalimantan, Jawa dan Sunda Kecil. Menurut


(20)

Albrecht (1978) dalam Muskita (1988), tetua tersebut kemungkinan berasal dari Kalimantan, yaitu dari jenis M. nemestrina.

Menurut Fooden (1969), dalam Muskita (1988), monyet Sulawesi berasal dari jenis M. silanus-nemestrina. Diperkirakan kelompok monyet ini menyebrang Selat makasar pada zaman Pleistosen yang relatif lebih dangkal apabila dibandingkan dengan sekarang. Monyet ini kemudian menyebar ke seluruh Sulawesi (Kawamoto, 1982 dan Albrecht, 1978 dalam Muskita (1988). Untuk sub-jenis M.o. brunnescens selanjutnya menempati habitat di hutan-hutan yang berada di Pulau Buton dan Pulau Muna (Supriatna, 2000).

Fooden (1969) dalam Supriyadi (1990) menyatakan bahwa penyebaran

M.o. brunnescens terbatas hanya di Pulau Buton, Muna, dan Labuan Blanda. Supriatna (1988), menyatakan di Pulau muna, M.o. brunnescens ini hanya dapat dijumpai pada hutan-hutan produksi di bagian tengah dan timur dan juga di Cagar Alam Napabalano sebelah utara. Penyebaran M.o. brunnescens di Pulau Buton dapat ditemukan di bagian tengah ke utara pulau, yaitu di Suaka Margasatwa Buton Utara dan di Taman Rekreasi Air jatuh dan hutan-hutan produksi di sebelah selatan.

2.3. Habitat, Sumber Pakan dan Aktivitas Makan

2.3.1. Habitat

Habitat adalah suatu tempat dimana organisme atau individu dapat ditemukan. Suatu habitat merupakan hasil interaksi antara beberapa komponen fisik, yang terdiri atas air, tanah, topografi, iklim, serta komponen biologis yang terdiri atas manusia, satwa dan vegetasi (Smiet, 1986 dalam Alita, 1993). Napier dan Napier (1985) menyebutkan bahwa primata dapat ditemukan dalam 3 tipe besar komunitas vegetasi, yaitu pada hutan tropis, padang rumput tropis, dan daerah peralihan antara dua tipe ekosistem dan biasanya berupa savana berhutan.

Hutan tropis termasuk di dalamnya hutan primer dan hutan sekunder, rawa, hutan mangrove, hutan pegunungan dan hutan musim.

Monyet Sulawesi biasa hidup di areal hutan hujan tropika, terutama pada hutan-hutan yang memiliki penutupan tajuk rapat (Takenaka dan Brotoisworo,


(21)

besarnya persediaan sumber pakan dan penyebarannya, serta interval pergantian musim buah. Setiap jenis primata memiliki spesialisasi dalam hal mengeksploitasi sumber pakan maupun dalam hal memanfaatkan stratifikasi hutan sebagai sub komunitasnya (Chivers, 1974 dalam Supriyadi, 1990). Napier dan Napier (1985) membagi lapisan vertikal hutan hujan tropika kedalam 4 lapisan, yaitu: lapisan semak, lapisan bawah, lapisan tengah dan lapisan atas.

2.3.2. Sumber Pakan dan Aktivitas Makan

Pakan dan tingkah laku makan primata merupakan salah satu dasar untuk mendeterminasi organisasi sosial primata dan tingkah laku lainnya (Chivers, 1972

dalam Muskita 1988). Potensi pakan yang terdapat pada suatu tempat sangat menentukan pertumbuhan suatu populasi yang erat hubungannya dengan keadaan habitat, keragaman jenis tumbuhan yang membangun habitat tersebut sebagai faktor lingkungan biotiknya (Gaulen et al. 1980, dalam Mustika 1988). Napier dan Napier (1985) menyatakan bahwa hampir kebanyakan jenis primata adalah omnivora. Monyet yang hidup secara arboreal di daerah Afrika, Asia dan Amerika selatan biasa memakan buah-buahan dan dedaunan dan kadang memangsa serangga, burung, telur, katak pohon, tempoyak dan getah tumbuh-tumbuhan. Monyet cenderung untuk memilih jenis makanannya dan tidak tergantung pada beberapa jenis makanan saja.

Tobing (1995) menyatakan bahwa jenis makanan yang paling banyak dikonsumsi oleh kebanyakan primata adalah tumbuhan, yaitu bagian daun dan buah. Akan tetapi bagian tumbuhan lainnya seperti tangkai daun, batang maupun bunga serta umbut juga biasa dimakan dengan proporsi yang berbeda-beda untuk tiap jenis primata. Menurut Supriatna et al. (1988), monyet Sulawesi biasa memakan buah-buahan, daun-daunan, bunga, serangga, telur, terutama telur burung dan vertebrata kecil. Salah satu jenis pohon yang biasa menjadi pakan monyet adalah jenis Ficus sp. Kerapatan jenis pohon tersebut serta kerapatan pohon pakan lainnya pada daerah jelajah primata sangat berpengaruh terhadap jumlah anggota kelompok dan kerapatan populasi (Gaulen et al. 1980 dalam


(22)

ada hubungannya dengan selalu tersediannya buah dalam jumlah besar dan mengandung zat-zat yang diperlukan oleh hewan tersebut.

2.4. Perilaku dan Struktur Sosial

2.4.1. Perilaku Sosial

Soeratmo (1979) dalam Alita (1993), meyatakan bahwa tingkah laku binatang atau animal behaviour dapat diartikan sebagai ekspresi suatu binatang yang disebabkan (ditimbulkan) oleh semua faktor yang mempengaruhinya. Wheatley (1976) dalam Alita (1993), membagi tipe aktivitas menjadi beberapa macam, yaitu:

1. Makan: Aktivitas makan meliputi memungut makanan dan prosesnya, termasuk mulai dari mengumpulkan makanan pada pohon yang dilakukan pada pohon yang sama. Aktivitas makan dibatasi ketika satwa berhenti makan atau meninggalkan pohon; kejadian ini dihitung sebagai satu unit aktivitas makan.

2. Penjelajahan: Merupakan pergerakan di antara sumber makanan, biasanya antar pohon.

3. Istirahat: Aktivitas diam di atas pohon atau tanah dan kadang-kadang terdapat perilaku grooming.

4. Berkelahi: Aktivitas yang ditandai dengan ancaman mimik muka atau gerakan badan, menyerang dan memburu serta biasa terjadi baku hantam.

5. Grooming: Aktivitas mencari kotoran atau ekto-parasit dari tubuh sendiri atau tubuh individu lainnya.

6. Kawin: Hubungan seksual yang dimulai dari pengejaran terhadap betina dan diakhiri dengan turunnya jantan dari betina setelah terjadi kopulasi.

7. Bermain: Aktivitas latihan baku hantam terhadap individu lain, terjadi biasa pada kelas umur anak-anak (juvenil).

Pada bangsa primata, perilaku yang terjadi pada tiap-tiap individu merupakan hasil proses belajar, dan perilaku yang bersifat naluriah lebih jarang terjadi karena respon yang bersifat naluriah tersebut lebih jarang ditemukan pada


(23)

hewan-hewan tingkat tinggi dibandingkan pada hewan-hewan tingkat rendah (Tobing, 1995).

2.4.2. Struktur Sosial

Tobing (1995) menyatakan bahwa primata merupakan hewan yang hidup dalam sistem sosial tertentu, sehingga anggota-anggota kelompok saling memberi perhatian satu sama lain. Keadaan yang pertama kali dirasakan oleh primata muda dalam hidupnya adalah sistem sosial, baik dalam hal makanan, grooming, ataupun perlindungan dan pengasuhan oleh induk sepanjang hari, yang merupakan kebutuhan pokok bagi individu yang baru dilahirkan.

Pengasuhan anak yang baru lahir atau individu muda lainnya pada primata, tidak hanya dilakukan oleh induk betina tetapi juga oleh induk jantan atau individu yang merupakan anggota kelompok (Napier dan Napier, 1985). Oleh karena itu spesies-spesies primata memiliki perilaku yang sangat terkait dengan sifat sosial terutama terhadap anggota kelompoknya.

Teori Carpenter (1971) dalam Alita (1993) menyatakan tentang struktur sosial primata dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Kelompok primata cenderung memiliki home range yang terpisah (exclusive home range).

b. Rata-rata ukuran kelompok cenderung menjadi ciri khusus dari spesies primata. Komposisi kelompok yang menekankan pada proporsi dari jenis kelamin dan kelas umur, cenderung relatif tidak berubah, tergantung pada ukuran kelompok.

c. Hampir pada semua spesies dimana betina dewasa lebih banyak dari jantan dewasa dalam satu kelompok.

Fungsi jantan dewasa, sendiri atau dalam kumpulan dengan jantan lain adalah sebagai berikut:

a. Menjaga jarak dengan kelompok tetangganya dari spesies yang sama.

b. Mengurangi adanya kompetisi dalam kelompok dengan mengusir keluar jantan-jantan muda.


(24)

Untuk setiap jenis monyet Sulawesi, jumlah individu yang menyusun sebuah kelompok pada habitat alami cenderung stabil. Pada daerah-daerah yang dekat dengan perkebunan dan perladangan penduduk, jumlah anggota kelompok akan membesar. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya pakan yang berlebihan dari perkebunan atau perladangan penduduk (Supriatna et al. 1988).

Monyet Sulawesi biasa hidup berkelompok dengan jumlah anggota kelompok berkisar antara 10 sampai dengan 40 monyet atau lebih, tergantung dari tipe habitatnya. Jumlah anak dibandingkan dengan jumlah betina dewasa pada kelompok yang tidak terganggu habitatnya tidak kurang dari 1:4. Sering kali ada kelompok yang tidak memiliki bayi ataupun anak yang mungkin disebabkan oleh terganggunya kelompok oleh adanya kebakaran hutan dan kekeringan ataupun oleh karena adanya perburuan dan peracunan (Supriatna et al. 1988).

2.5. Hirarki dan Status Sosial Individu

Chalmers (1980) dalam Alita (1993) mengemukakan bahwa satwa yang mempunyai hirarki paling atas biasanya seekor jantan dewasa yang biasa disebut sebagai alpha male. Secara umum kekuasaan satwa dalam kelompok ditentukan oleh peringkatnya. Peringkat tertinggi dari satwa tersebut juga sebagai satwa dominan dan peringkat paling bawah disebut sebagai satwa kalah. Indikator untuk yang menang, biasanya memiliki ciri-ciri seperti memegang telinganya dan membuka mulutnya selama pengancaman. Indikator kekalahan, dicirikan oleh adanya grimace, yaitu aktivitas menyeringai sambil gemeretak gigi serta mimik muka yang lebih komplek.

Komposisi kelompok yang ada di dalam populasi monyet terdiri atas 4 kelas umur individu. Muhtar (1982) dalam Alita (1993) menyatakan bahwa ke- empat kelas umur tersebut adalah:

a. Dewasa (Adult): terdiri dari jantan dan betina dewasa. Jantan dewasa (JD) memiliki ukuran paling besar dengan scrotum terlihat jelas. Betina dewasa (BD) tubuhnya lebih kecil dari jantan dewasa dengan puting susu yang terlihat jelas.


(25)

Gambar 1. Individu Betina Dewasa M.o. brunnescens (Opwall, 2004)

Gambar 2. Individu Jantan Dewasa M.o. brunnescens (Opwall, 2004)

b. Muda (Sub-Adult): merupakan monyet hampir dewasa yang sudah dapat berdiri sendiri dalam kelompoknya. Ukuran tubuhnya hampir sama dengan monyet dewasa tapi dapat dibedakan dari kelakuannya, yaitu monyet tersebut masih dalam tahap belajar dalam melakukan aktivitas kawin dan lebih banyak bergerak.


(26)

Gambar 3. Individu Muda M.o. brunnescens (Opwall, 2004)

c. Remaja (Juvenil): monyet muda yang sudah dapat berdiri sendiri pada waktu makan, tetapi kalau tidur dekat dengan induknya dan masih suka bermain. Ukuran tubuh lebih kecil dari sub-adult.

Gambar 4. Individu Remaja M.o. brunnescens (Opwall, 2004)

d. Bayi (Infant): monyet yang masih bergantung pada induknya baik siang atupun malam dan ukuran tubuh yang paling kecil.


(27)

2.6. Daerah Jelajah dan Teritori

Daerah jelajah (Home range), merupakan daerah tempat tinggal suatu jenis satwa yang tidak dipertahankan oleh satwa tersebut terhadap masuknya satwa lain yang sama spesiesnya ke dalam daerahnya (Suratmo 1979 dalam Syarifuddin 1991). Menurut Bismark (1982) dalam Syarifuddin (1991), kelompok Macaca sp

dalam jumlah individu yang besar akan memerlukan jumlah makanan yang lebih besar. Untuk itu mereka akan berjalan lebih jauh pada home range yang luas

Daerah jelajah Macaca sp tergantung dari karakteristik tingkah lakunya dan sifat fisik habitat (Moen 1973 dalam Syarifuddin 1991). Batasan home range

menurut Chalmers (1980) dalam Syarifuddin (1991) adalah suatu daerah dimana satwa biasanya mengadakan perjalanan dalam melaksanakan aktivitas rutinnya, dan daerah jelajah bisa mengalami perubahan luasan menurut musim. Napier dan Napier (1985) menyatakan bahwa daerah jelajah kelompok Macaca sp adalah total dari luas pengembaraannya setiap tahun dan berdasarkan pada sumber-sumber pakan yang penting.

Kelompok monyet Sulawesi setiap hari melakukan aktivitasnya didalam suatu daerah tertentu, yang disebut daerah jelajah. Besar daerah jelajah tergantung pada jumlah anggota didalam kelompok, tipe habitat, penyebaran, pakan, dan iklim. Pada kelompok monyet dengan jumlah anggota besar akan mempunyai daerah jelajah yang cenderung lebih luas. Begitupun dengan jumlah pakan yang tersedia, makin langka jumlah pakan yang tersedia maka akan makin luas pula daerah jelajahnya. Pada habitat yang terganggu daerah jelajah akan bervariasi sesuai dengan iklim (Supriatna et al. 1988).

Watanabe dan Brotoisworo (1982), mengatakan bahwa jenis monyet yang termasuk dalam marga Macaca, biasanya mempunyai daerah jelajah yang relatif sama. Setiap kelompok telah mempunyai rute tertentu yang rutin dilewati setiap hari. Supriatna et al. (1988) mengatakan bahwa kegiatan harian kelompok monyet dilakukan mulai dari pagi hingga sore hari, yang selalu dipimpin oleh jantan dewasa dengan menggunakan suaranya.

Setiap kelompok monyet mempunyai tempat tidur tertentu, biasanya pada pohon tinggi dengan percabangan yang agak mendatar, yang memungkinkan monyet untuk tidur diatas cabang. Pohon Ficus sp adalah jenis pohon yang


(28)

banyak dipilih untuk tempat tidur. Selain ketinggian pohon, faktor lain yang menentukan sebagai syarat pohon tidur adalah kelebatan daun, arsitektur, elastisitas cabang dan ranting, kemiringan pohon dan keadaan di lingkungan pohon tidur tersebut.

2.7. Penginderaan Jauh

2.7. 1. Pengertian dan Sejarah Penginderaan Jauh

Menurut Lo (1995), penginderaan jauh merupakan suatu tekhnik untuk mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Manual of Remote Sensing (1983) dalam Hastuti (1998), menyatakan pengertian penginderaan jauh yang digunakan sampai saat in adalah sebagai ilmu dan seni pengukuran atau mendapatkan informasi suatu obyek atau fenomena suatu alat perekam dari suatu kejauhan, dimana pengukuran dilakukan tanpa melakukan kontak secara fisik dengan obyek atau fenomena yang diukur atau diamati.

Teknologi penginderaan jauh pertama kali dikenal pada abad XIX yang dimulai dari pembuatan potret udara bentang alam (lanskap) pertama tahun 1838. Perkembangan penginderaan jauh selanjutnya adalah pembuatan potret udara hutan dari balon udara pada tahun 1887 dan dari atas pesawat udara tahun 1919 (Hastuti, 1998). Perkembangan selanjutnya teknologi penginderaan jauh mulai menerapkan sistem satelit sebagai wahananya dan secara efektif dimulai pada tahun 1972, yaitu sejak diluncurkannya Teknologi Satelit Sumberdaya Bumi Amerika Serikat (Earth Resource Technological Satellite/ERTS-1). Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), satelit tersebut dikenal dengan sebutan Landsat, yang memuat sensor MSS (Multi Spectral Scanner).

2.7. 2. Teknologi Penginderaan Jauh

Menurut Paine (1993), pengertian yang lebih tepat tentang penginderaan jauh adalah teknik yang digunakan untuk perekaman dan evolusi deteksi energi elektromagnetik, yang dipantulkan atau dipancarkan sebuah obyek pada suatu jarak yang jauh tanpa sentuhan fisik. Lillesand dan Kiefer (1990) menyebutkan bahwa proses utama dalam kegiatan penginderaan jauh meliputi proses


(29)

pengumpulan data dan proses analisis. Dalam pengumpulan data, alat penginderaan jauh dapat memperoleh data baik dengan cara-cara fotografis maupun elektronis. Sensor-sensor fotografis memanfaatkan reaksi kimia pada lapiasan emulsi film untuk mendeteksi, menyimpan dan memperagakan veriasi-variasi energi di dalam suatu pemandangan. Sensor elektronik akan menimbulkan pulsa-pulsa listrik yang sesuai dengan variasi energi dalam suatu pemandangan. Pulsa listrik ini biasa disimpan pada pita komputer magnetik di mana pulsa listrik tersebut dirubah menjadi gambar digital (Paine, 1993).

Tabel 2. Aplikasi dan Saluran Spektral (Band) Thematic Mapper (Lo, 1995)

Saluran (Band)

Panjang Gelombang

(µm)

Potensi Pemanfaatan

1 0,45 – 0,52 Dirancang untuk penetrasi tubuh air, sehingga bermanfaat untuk

pemetaan perairan pantai. Berguna juga untuk membedakan antara tanah dengan vegetasi, tumbuhan berdaun lebar dan berdaun jarum.

2 0,52 – 0,60 Dirancang untuk mengukur puncak pantulan hijau saluran

tampak bagi vegetasi guna penilaian ketahanan.

3 0,63 – 0,69 Saluran absorpsi klorofil yang penting untuk diskriminasi

vegetasi

4 0,76 – 0,90 Bermanfaat untuk menentukan kandungan biomassa dan untuk

delineasi tubuh air.

5 1,55 – 1,75 Menunjukan kandungan kelembaban vegetasi dan kelembaban

tanah, dan bermanfaat untuk membedakan salju dan awan.

6 2,08 – 2,35 Saluran inframerah termal yang penggunaannya untuk

perekaman vegetasi, diskriminasi kelembaban tanah dan pemetaan termal.

7 10,45 – 12,50 Saluran yang diseleksi karena potensinya untuk membedakan

tipe batuan dan untuk pemetaan hidrotermal.

2.7. 3. Analisis Digital Data Landsat

Sejumlah informasi dapat diperoleh dari data landsat dalam format salinan kertas (fotografik), volume data landsat yang melimpah dan berbentuk digital menjadikan data tersebut lebih cocok dianalisis dengan bantuan komputer (Lillesand dan Kiefer, 1990). Menurut Townshend (1992) dalam Kusumaningtyas (1998), analisis digital dilakukan terhadap setiap pixel dan melalui cara ini informasi yang diperoleh akan menjadi lebih banyak karena dapat mengidentifikasi derajat heterogenitas obyek.


(30)

Lillesand dan Kiefer (1990) menyatakan penganalisaan data landsat dengan menggunakan komputer dapat dikelompokan sebagai berikut:

1. Pemulihan Citra (Image Restoration), tujuan dari pemulihan citra ini adalah untuk memperbaiki data citra yang mengalami distorsi ke arah gambaran yang lebih sesuai dengan gambar aslinya. Kegiatan pemulihan citra ini meliputi pengkoreksian berbagai distorsi radiometrik dan geometrik yang mungkin ada pada data citra asli.

2. Penajaman Citra (Image Enhancement), proses penajaman citra dilakukan untuk menguatkan tampilan kontras antar obyek pada sebuah citra. Pada berbagai terapan, langkah ini dapat meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasi secara visual dari data citra.

3. Klasifikasi Citra (Image classification).

Teknik kuantitatif dapat diterapkan untuk interpretasi secara otomatik data citra digital. Tiap pengamatan pixel (picture element) di evaluasi dan ditetapkan pada suatu kelompok informasi. Jaya (1996) dalam Hastuti (1998), mengatakan bahwa klasifikasi dapat diartikan sebagai suatu proses pengelompokan pixel-pixel kedalam kelas-kelas atau kategori-kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan/brightness value (bv) atau digital number (DN) dari pixel yang bersangkutan. Berdasarkan tekhniknya, klasifikasi dapat dibedakan kedalam klasifikasi manual dan klasifikasi kuantitatif. Pada klasifikasi manual, pengelompokan pixel kedalam suatu kelas yang telah ditetapkan dilakukan oleh seorang interpreter secara manual berdasarkan nilai kecerahan (bv), dan contoh yang diambil disebut sebagai area contoh.

Klasifikasi citra menurut Lillesand dan Kiefer (1990) dibagi kedalam dua pendekatan, yaitu klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification). Pada klasifikasi terbimbing proses pengklasifikasian dilakukan dengan prosedur pengenalan pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas (training area) yang mewakili setiap kelompok. Kemudian dilakukan perhitungan statistik terhadap contoh-contoh kelas yang digunakan sebagai dasar klasifikasi.


(31)

Pada klasifikasi tak terbimbing, proses pengklasifikasian dimulai dengan pemerikasaan seluruh pixel dan membagi kedalam kelas-kelas berdasarkan pada pengelompokan nilai-nilai citra seperti apa adanya. Hasil dari pengklasifikasian ini disebut kelas spektral, yang kemudian akan dibandingkan dengan kelas-kelas data referensi untuk menentukan identitas dari nilai informasi kelas-kelas spektral tersebut.

2. 8. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Prahasta (2001) menjelaskan bahwa sejak pertengahan tahun 1970, telah dikembangkan sistem-sistem khusus yang dibuat untuk menangani masalah informasi yang bereferensi geografis dengan berbagai cara dan bentuk. Sebutan umum untuk sistem yang menangani masalah tersebut adalah sistem informasi geografis (SIG). Dalam beberapa literatur SIG dipandang sebagai hasil dari perpaduan antara sistem komputer untuk bidang kartografi (CAC) atau sistem komputer untuk bidang perencanaan (CAD), dengan tekhnologi basis data (database). Permasalahan tersebut meliputi: (1)Pengorganisasian data dan informasi, (2) Menempatkan informai pada tempat tertentu, (3) Melakukan komputasi, dengan memberikan ilustrasi keterhubungan satu sama lainnya, beserta analisa-analisa spasial lainnya.

Secara garis besar pengertian dari SIG yang telah beredar di berbagai pustaka, antara lain merupakan sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang tererferensi secara spaial atau koordinat-koordinat geografi. Dengan kata lain SIG merupakan sistem basis data dengan kemampuan-kemampuan khusus untuk data yang tereferensi secara geografi, berikut sekumpulan operasi-operasi yang mengelola data tersebut (Foote, 1995 dalam


(32)

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1. Sejarah Kawasan

Kawasan hutan Lambusango seluas 28.510 ha yang terletak di Kabupaten Dati II Buton diperuntukkan sebagai kawasan hutan dengan fungsi suaka alam berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang telah disahkan oleh Menteri Pertanian pada tanggal 1 September 1982 dengan SK Nomor 639/Kpts/9/Um/1982.

Secara geografis kawasan ini terletak diantara 05°13'-05°24' LS dan 122°47'-122°56' BT. Secara administrasi pemerintahan, kawasan hutan Lambusango termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Kapontori, Lasalimu dan Pasarwajo sedangkan secara administratif kehutanan termasuk wilayah RPH Pasarwajo (BKPH Buton Barat), RPH Lasalimu dan RPH Kapontori (BKPH Buton Timur), KPH Buton.

Status kawasan hutan Lambusango masih belum ditetapkan secara pasti (definitif). Permasalahan yang terjadi di kawasan Lambusango ini diantaranya adalah belum adanya fasilitas pengelolaan, perburuan, penebangan liar, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu, antara lain pengambilan rotan dan madu hutan.

Beberapa kegiatan yang ditujukan untuk pengelolaan kawasan telah dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan ataupun Pemerintah Daerah, antara lain penetapan tata batas oleh Sub. BIPHUT Kendari, serta pembinaan daerah penyangga di desa Lambusango oleh Sub Balai KSDA Sulawesi Tenggara, berupa pemberian bibit mangga dan jeruk kepada masyarakat Desa Lambusango pada tahun 1997. Desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan adalah desa Barangka, Wakalambe, Lambusango, Wakangka, Lawele dan Kapontori, dengan mata pencaharian penduduknya sebagai petani/kebun, nelayan, dan pedagang.

3.2. Ketinggian Tempat

Suaka Margasatwa Lambusango (SM Lambusango) secara umum terletak pada ketinggian 5 - 700 m (dpl), dengan topografi datar hingga berbukit. Kelas ketinggian beberapa stasiun penelitian disajikan dalam Tabel 3. Kelerengan


(33)

daratan berkisar antara 5 hingga 30% dengan jenis tanah dominan mediteranian. Tipe iklim D menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, dengan curah hujan rata-rata tahunan 1.980 mm. Bulan-bulan terkering adalah Agustus, September, Oktober, dan Nopember. Suhu udara tahunan berkisar antara 20° hingga 34° C dengan kelembaban relatif tahunan sebesar 80%.

Tabel 3. Ketinggian Lokasi Stasiun Penelitian (Opwall, 2004)

No Stasiun Penelitian Selang Ketinggian Tempat (m dpl)

1 2 3 4 5

Balanophora Wabalamba Wahalaka Anoa Lapago

345-431 86-172 172-345 603-689 259-345

3.3. Potensi Flora dan Fauna

Potensi flora dan fauna hutan Lambusango cukup tinggi. Jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di dalam kawasan antara lain kayu besi (Metrocideros petiolata), kuma (Palaquium obovatum), wola (Vitex copassus), bayan (Intsia bijuga), cendana (Santalum album), bangkali (Anthocephallus macrophyllus), kayu angin (Casuarina rumpiana), sengon (Paraserianthes falcataria), dan rotan (Calamus spp.). Satwaliar yang menempati habitat di dalam kawasan antara lain anoa (Bubalus depresicornis), monyet buton (Macaca ochreata brunescens), rusa (Cervus timorensis), kus-kus (Phalanger ursinus), sapi liar (Bos sp), biawak (Varanus salvator), merpati hutan putih dan abu-abu, musang tenggarong (Vivera tangalunga), serindit Sulawesi, dan lain-lain.

3.4. Aksesibilitas

Untuk mencapai SM Lambusango dapat ditempuh melalui jalan darat dari Bau-Bau sampai Lambusango dengan jarak ± 30 km, waktu tempuh ± 1 jam. Kondisi jalan beraspal. Akses lanilla dapat melalui laut dari pelabuhan Bau-Bau menuju lokasi dengan speed boat atau perahu dalam waktu 2 jam. Penginapan terdekat berada di Bau-Bau. Izin masuk kawasan dapat diperoleh di kantor Sub Seksi KSDA Buton di Bau-Bau, atau Sub Balai KSDA Sulawesi Tenggara di Kendari.


(34)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kawasan hutan Lambusango, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Pengambilan data dilakukan dari mulai tanggal 29 Juni 2005 sampai dengan 7 September 2005.

4. 2. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: peta kawasan, kompas brunton, teropong binokuler, pita meteran, stop watch, tambang plastik, kamera foto, GPS (Global Positioning System), dan tally sheet. Bahan yang digunakan adalah Citra landsat 7 ETM+ (Band 5,4,3; Path 112, Row 064) tahun 2004. Perangkat lunak untuk mengolah peta adalah ERDAS Imagine 8.5 dan ArcView GIS 3.2.

4. 3. Jenis Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan secara langsung di lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi pustaka dan wawancara dengan berbagai pihak terkait. Data primer meliputi ukuran/jumlah populasi dan kepadatan populasi individu maupun kelompok). Sedangkan data sekunder meliputi data mengenai bio-ekologi M.o. brunnescens, kondisi umum habitat dan data mengenai karakteristik habitat (ketinggian tiap stasiun penelitian, kondisi penutupan lahan dan data vegetasi).

4.4. Metode Pengumpulan Data

4.4.1. Data Primer

4.4.1.1. Penutupan Lahan

Pengambilan titik koordinat dilakukan di titik-titik transek setiap stasiun penelitian. Areal penelitian dibagi menjadi empat tipe penutupan lahan, yaitu: hutan primer tidak terganggu, hutan primer terganggu, hutan sekunder tidak terganggu dan hutan sekunder terganggu.


(35)

Pembagian hutan menjadi empat kategori tersebut bertujuan untuk mengetahui kondisi populasi M.o. brunnescens pada areal hutan yang relatif masih asli (hutan primer) dan membandingkannya dengan tipe hutan bekas kegiatan perladangan penduduk (hutan sekunder). Pengelompokan tipe penutupan lahan ke dalam ada atau tidak adanya gangguan manusia yang berupa kegiatan pengambilan rotan bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak adanya pengaruh pengambilan rotan terhadap kondisi populasi M.o. brunnescens di alam. Klasifikasi lahan dilakukan dengan menggunakan metode interpretasi tak terbimbing (unsupervised classification), dengan menggunakan citra Landsat ETM+ tahun 2004 dan mengacu pada peta penutupan lahan kabupaten Buton hasil klasifikasi citra oleh Carlisle (2003) dalam Opwall (2004).

Pemetaan penutupan lahan (land cover) merupakan suatu upaya untuk menyajikan informasi tentang pola penggunaan lahan atau tutupan lahan di suatu wilayah secara spasial. Informasi mengenai penutupan lahan pada penelitian ini diperoleh dengan melakukan penafsiran citra Landsat ETM+ tahun 2004. Klasifikasi penutupan lahan di wilayah penelitian dikelompokkan menjadi enam kelas yaitu hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, areal bukan hutan, awan dan bayangan awan.

Pengolahan citra merupakan suatu cara untuk memperoleh data mengenai penutupan lahan yang dilakukan dengan menggunakan software ERDAS Imagine

8.5. Skema proses pengolahan citra untuk memperoleh peta penutupan lahan disajikan dalam Gambar 5.


(36)

Gambar 5. Proses pengolahan Citra Landsat

4.4.1.2. Inventarisasi Satwa

Inventarisasi satwa dilakukan dengan menggunakan metode transek garis (line transect) yang tersedia pada setiap lokasi stasiun penelitian. Tiap stasiun penelitian (Camp), memiliki 4 jalur pengamatan. Penarikan contoh pada lokasi penelitian dilakukan secara acak berlapis (stratified random sampling) dengan alokasi proporsional. Panjang jalur transek + 3000 m. Untuk menghindari double counting, maka dibuat jarak antar jalur sebesar 1000 m (Gambar 6).

Pengamatan dilakukan dengan berjalan pada kecepatan yang konstan di setiap jalur transek, dan berhenti pada setiap tipe perjumpaan untuk mengidentifikasi populasi. Pengamatan dilakukan sekali ulangan, yaitu pada pagi hari (pukul 07.00–12.00). Pengambilan titik koordinat transek dan satwa dilakukan pada saat perjalanan pulang menuju starting point.

Peta batas Kabupaten Buton Koreksi Geometri

Citra Landsat ETM Tahun 2004

Citra terkoreksi

Peta digital ( jalan dan sungai)

Subset image

Klasifikasi citra tak terbimbing (Unsupervised Classification)

overlay

Citra lokasi penelitian

Citra hasil klasifikasi

Penggunaan/penutupan lahan (Land use/land cover)


(37)

Gambar 6. Inventarisasi Satwa Menggunakan Metode Transek Garis

Keterangan : x = posisi pengamat * = satwaliar

α = sudut antara posisi pengamat dengan satwa. r = jarak antara satwa dan pengamat.

Areal pengamatan dibagi ke dalam 4 tipe penutupan hutan, yaitu hutan primer tidak terganggu (Camp La Solo dan Wabalamba), hutan primer terganggu (Camp Balanophora), hutan sekunder tidak terganggu (Camp Anoa) dan hutan sekunder terganggu (Camp Wahalaka dan Lapago). Luas keseluruhan areal Hutan Lambusango adalah 65.000 ha atau 650 km2, akan tetapi wilayah hutan yang diteliti hanya sekitar 28.510 ha, atau 285,1 km2. Penelitian ini menggunakan intensitas sampling sebesar 11,4%. Jalur transek dibuat sebanyak 24 jalur dengan panjang rata-rata 3 km (Gambar 7).

Data yang dicatat dalam pengamatan ini meliputi sudut kontak pengamat dengan satwa, jarak pengamat dengan satwa, jumlah individu, dan posisi satwa sesuai dengan GPS. Satwa yang dicatat hanya merupakan satwa yang berada di dalam jalur pengamatan.

4.4.2. Data Sekunder

Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur. Data sekunder merupakan data pendukung yang sangat penting dan dikumpulkan dari berbagai sumber antara lain dokumentasi Suaka Margasatwa Lambusango, buku teks, jurnal, dan sumber lainnya.

X Arah jalur

d r

α α

α

r d

r

α


(38)

(39)

4.5. Analisis Data

4.5.1. Pola Sebaran Spasial Vertikal

Untuk menentukan strata penggunaan ketinggian pohon oleh satwa yang diamati, dilakukan dengan menentukan rata-rata pemanfaatan tiap strata ketinggian oleh satwa yang dijumpai pada jalur transek, pada setiap tipe penutupan lahan yang diamati. Rata-rata ketinggian dihitung pada dua waktu pengamatan yaitu pengamatan yang masuk ke dalam kategori pagi hari, yaitu pukul 07.00–09.00 dan pengamatan yang masuk ke dalam kategori siang hari, pukul 09.01–12.00. Setelah diketahui nilai rata-rata ketinggian pemakaian strata tajuk oleh satwa, dilakukan analisis deskriptif mengenai strata mana yang paling disukai satwa untuk melakukan aktivitas hariannya.

Uji beda dengan metode klasifikasi dua arah digunakan untuk menguji ada tidaknya pengaruh perbedaan tipe hutan dan waktu pengamatan terhadap pola penggunaan ketinggian pohon. Kriteria uji yang digunakan adalah jika Fhitung > F tabel, maka tolak Ho’, sedangkan jika Fhitung < F tabel, maka terima Ho.

4.5.2. Perjumpaan Satwa

Analisis terhadap perjumpaan satwa (sighting rates) dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan waktu pengamatan (pagi dan siang hari) dan pengaruh perbedaan tipe penutupan lahan hutan, terhadap angka perjumpaan satwa pada tiap jalur yang diamati. Dari hasil analisis tersebut selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis terhadap faktor yang mempengaruhi jumlah perjumpaan satwa baik waktu pengamatan maupun tipe penutupan lahan yang menjadi habitat satwa tersebut.

Uji beda dengan metode klasifikasi dua arah digunakan untuk menguji ada tidaknya pengaruh perbedaan tipe hutan dan waktu pengamatan terhadap jumlah perjumpaan satwa (sighting rates). Kriteria uji yang digunakan adalah jika Fhitung > F tabel, maka tolak Ho, sedangkan jika Fhitung < F tabel, maka terima Ho.


(40)

Perhitungan parameter demografi M.o. brunnescens dilakukan pada ke-empat tipe penutupan lahan yag ada. Masing-masing tipe penutupan lahan terdiri atas satu sampai dengan 2 areal hutan yang diteliti (stasiun penelitian). Tiap stasiun penelitian terdiri atas empat jalur transek, sehingga total jalur transek yang dihitung adalah sebanyak 24 jalur. Luas masing-masing stasiun penelitian yang ditentukan dengan menjumlah luas tiap jalur yang ada.

4.5.3.1. Ukuran dan Kepadatan Populasi

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan selanjutnya dihitung ukuran dan kepadatan populasinya. Data yang digunakan untuk menghitung pendugaan ukuran kepadatan populasi adalah data yang diperoleh dari perjumpaan langsung dengan satwa. Terlebih dahulu dihitung dugaan ukuran dan kepadatan populasi untuk masing-masing areal hutan yang ada dengan menggunakan metode

Distance. Tahapannya adalah sebagai berikut:

Intensitas Sampling (f)

f = luas jalur yang diamati luas areal pengamatan

Nilai Kepadatan Per Stasiun Penelitian (dhi/km2)

Dhi max = Jumlah Individu ditemukan tiap Camp Minimum Area Survey (MAS)

dimana, MAS = Panjang Transek x ( 2 x lebar minimum pengamatan) Dhi min = Jumlah Individu ditemukan tiap Camp

Maksimum Area Survey (MxAS)

dimana, MxAS = Panjang transek x ( 2x lebar maksimum pengamatan) ___

Dhi = Jumlah rata-rata kepadatan tiap perjumpaan dalam Camp ke-i Jumlah seluruh perjumpaan dalam Camp ke-i


(41)

Ukuran dan kepadatan kelompok ditentukan dengan menganalisis data primer hasil pengamatan dalam 24 jalur transek yang diamati. Ukuran dan kepadatan kelompok juga dapat ditentukan dengan menganalisa data hasil pengamatan habituasi terhadap satu kelompok M.o. brunnescens yang diamati secara intensif selama 2 hari. Untuk mengetahui ukuran kelompok monyet dari hasil pengamatan dalam jalur transek, data diperoleh dengan cara membagi jumlah seluruh individu yang ditemukan selama pengamatan dengan jumlah perjumpaan (sighting rates).

4.5.3.3. Seks Rasio dan Struktur Umur

Pendugaan seks rasio dan struktur umur satwa dilakukan hanya pada individu jantan dan individu betina dewasa dari hasil pengamatan habituasi, dengan alasan sulitnya menentukan jenis kelamin satwa dalam jalur transek. Untuk menghitung dugaan seks rasio, dilakukan penghitungan sebagai berikut:

Dugaan Seks Rasio

S = Jumlah individu Jantan Dewasa Hasil Pengamatan Habituasi Jumlah individu Betina Dewasa Hasil Pengamatan Habituasi

Struktur umur ditentukan dengan mengidentifikasi jumlah individu yang tergolong kedalam kelompok kelas umur bayi (new born), anak (juvenile), muda (sub-adult), dan dewasa (adult), dari satu kelompok satwa yang diamati selama dua hari pengamatan, dari mulai pagi (05.30) sampai sore hari (18.00).

4.5.3.4. Analisis Pola Sebaran Spasial

Pola sebaran spasial suatu komunitas ekologi dapat ditentukan dengan berbagai macam indeks penyebaran (dispersion index), yaitu: indeks dispersi (ID), indeks Agregatif (IC), dan Indeks Greens (GI). Dalam analisis ini, indeks yang digunakan adalah indeks dispersi (ID), dengan formula:


(42)

x S ID

2

=

Keterangan: S2 = keragaman contoh x = rata-rata contoh.

Pola penyebaran spasial diketahui dengan menggunakan uji Chi-Square. Uji Chi-Square yang digunakan untuk N<30, adalah persamaan λ2 = ID (N-1), dimana N adalah jumlah kontak dengan satwa. Kriteria uji yang digunakan adalah:

1. Jika λ2 < λ20.975, maka pola sebaran yang terjadi adalah seragam. 2. Jika λ20.975 ≤λ2 ≤λ20.025, maka pola sebaran yang terjadi adalah acak. 3. Jika λ2 > λ20.025, maka pola sebaran yang terjadi adalah kelompok.


(43)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kondisi Penutupan Lahan

Areal lokasi penelitian merupakan areal hutan yang masuk ke dalam kelompok hutan Lambusango dengan luas keseluruhan + 65.000 ha, yang merupakan tipe hutan hujan dataran rendah (lowland evergreen rainforest) dan terletak di Kabupaten Buton. Areal hutan Lambusango terdiri atas beberapa status hutan, yaitu Suaka Margasatwa (SM) Lambusango seluas 28.510 ha, Cagar Alam (CA) Kakinauwe seluas + 810 ha, Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas + 35.000 ha (Purwanto, 2005).

Dalam penelitian ini areal hutan diklasifikasikan menjadi delapan tipe penutupan lahan, yaitu: hutan primer tidak terganggu, hutan primer terganggu, hutan sekunder tidak terganggu, hutan sekunder terganggu, areal bukan hutan, semak belukar, awan dan bayangan awan. Pada areal hutan primer, habitat terancam oleh adanya kegiatan illegal logging terutama hutan sekitar Camp La Solo dan Wabalamba. Terdapat kurang lebih 3 titik illegal logging di sekitar hutan La Solo, dan kurang lebih 25 titik illegal logging pada areal sekitar hutan Wabalamba (BKSDA pers.comm, 2005). Pada areal hutan sekunder, habitat terganggu (terfragmentasi) oleh adanya kegiatan perladangan dan pengambilan rotan oleh masyarakat sekitar hutan. Tipe hutan tersebut secara umum berbatasan langsung dengan ladang penduduk sekitar hutan. Kondisi penutupan lahan wilayah hutan Lambusango disajikan pada Gambar 9.

Dari hasil klasifikasi lahan dengan menggunakan metoda klasifikasi tak terbimbing, diperoleh data luas areal lokasi penelitian sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Kawasan bukan hutan yang tampak dari hasil klasifikasi lahan, merupakan areal perladangan penduduk dan pemukiman, sehingga tampak secara umum lokasinya mengelilingi kawasan hutan Lambusango. Penafsiran citra ini mengacu pada hasil klasifikasi citra kabupaten Buton oleh Carlisle (2003) dalam

Opwall (2004), dengan mencocokan wilayah dan warna spektral hasil klasifikasi dengan peta penutupan lahan kabupaten Buton.


(44)

Tabel 4. Klasifikasi Penutupan Lahan di Hutan Lambusango

No Tipe Penutupan Lahan Luas (ha) Persentase (%)

1 2 3 4 5 6 7 8

Hutan Primer Tidak terganggu Hutan Primer Terganggu

Hutan Sekunder Tidak Terganggu Hutan Sekunder Terganggu Areal Bukan Hutan Semak Belukar Awan Bayangan Awan 25.542,3 5737,59 18.049 14.522 6284,61 7192,89 6547,95 3120,93 29,35 6,59 20,74 16,69 7,22 8,26 7,52 3,58

Total 86.997,29 99,95

Bila melihat data luas areal hutan Lambusango hasil klasifikasi citra dengan data dari Departemen Kehutanan, mengenai total luas hutan Lambusango, maka terdapat selisih perbedaan luas areal sebesar + 24.997 ha. Hal tersebut disebabkan luas areal hasil klasifikasi citra tidak hanya meliputi areal hutan Lambusango awal (Gambar 8), akan tetapi meliputi juga hutan-hutan sekitar Lambusango, yang semula berstatus hutan produksi.

Gambar 8. Areal Hutan Lambusango pada Tahun 2004 (Opwall, 2004)

Dari Gambar 9, dapat dilihat bahwa tipe penutupan hutan primer tidak terganggu ditunjukan dengan warna spektral hijau tua yang memiliki luas areal sebesar 25.524,3 ha, dengan persentase luasan sebesar 29,35%. Areal hutan primer terganggu ditunjukan dengan warna hijau muda, dengan luas areal 5737,9 ha. Awan dan bayangan awan dikelompokan kedalam tipe penutupan lahan tidak terdefinisikan, dengan luas gabungan sebesar 9668,88 ha (Tabel 4).


(45)

(46)

5.2. Pola Sebaran Spasial Vertikal

Strata penggunaan ketinggian pohon merupakan suatu lokasi dimana pada ketinggian tertentu (di atas permukaan tanah) satwa memilih untuk beraktivitas pada saat terdeteksi dalam suatu pengamatan. M.o. brunnescens di lokasi hutan primer menempati ketinggian 18,8 m di atas pohon pada waktu pagi hari, kurang lebih 3 meter lebih tinggi dibandingkan pada siang hari (Tabel 5). Hasil analisis uji beda pada taraf nyata 0,05 memberikan kesimpulan hipotesis bahwa tidak terdapat perbedaan dalam hal pola penggunaan ketinggian pohon oleh satwa yang diakibatkan pengaruh perbedaan tipe klasifikasi hutan, dimana Fhit = 3,49 lebih kecil dibandingkan F(0,05:3) = 9,28. Perbedaan waktu pengamatan juga tidak berpengaruh terhadap pola penggunaan ketinggian pohon, dengan nilai Fhit =0,90, lebih kecil dari F(0,05:1) = 10,13.

Perbedaan posisi ketinggian di atas pohon lebih disebabkan oleh urutan pemanfaatan pakan oleh monyet yang cenderung mengambil pakan dari strata paling bawah terlebih dahulu dan kemudian berangsur-angsur naik ke strata yang lebih atas. Pada strata tajuk bawah dimana kerapatan tajuk dan dahan masih rendah, banyak jenis burung pemakan biji seperti julang Sulawesi (Aceros cassidix) dan burung-burung lainnya ikut memanfaatkan pakan monyet secara bersama-sama. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya pengusiran burung oleh monyet, dan mendorong monyet untuk naik ke lapisan pohon yang lebih tinggi.

Di areal tipe penutupan lahan hutan primer tidak terganggu, hutan sekunder tidak terganggu dan hutan sekunder terganggu, M.o. brunnescens

cenderung memiliki posisi yang lebih tinggi pada pagi hari dibandingkan dengan siang hari. Di tipe penutupan lahan hutan primer terganggu, posisi satwa pada siang hari justru lebih tinggi dibandingan dengan waktu pagi hari (Tabel 5).

Oates (1987) dalam Supriatna et al. (1990), menyatakan bahwa pada komunitas hutan sekunder, seperti pada areal hutan bekas ladang dan hutan dengan kegiatan pengambilan rotan, memiliki pohon-pohon yang tumbuh kurang rapat dan sumber pakan yang dimilikinya tersebar. Pada komunitas hutan sekunder jarang dijumpai adanya pohon pakan yang bermutu tinggi. Keadaan demikian tentunya memaksa hewan-hewan tersebut untuk berjalan lebih jauh untuk mendapatkan sumber pakan yang baik, dan bila monyet-monyet tersebut


(47)

berjalan melalui kanopi hutan maka makin banyak energi yang dibutuhkan untuk bergerak dari satu pohon ke pohon lainnya. Schaik (1985) dalam Supriatna et al.

(1990) menjelaskan bahwa salah satu strategi yang dipakai agar monyet dapat menghemat energi adalah dengan cara berjalan atau mengambil cara hidup semi terestrial. Marsh et al. (1987) dalam Supriatna et al. (1990) memperkuat pernyataan Schaik dengan menyatakan bahwa adaptasi semacam itu biasa dijumpai pada kebanyakan monyet dunia lama.

Menurunnya ketinggian satwa pada waktu menjelang siang hari, dapat disebabkan oleh mekanisme adaptasi seperti dijelaskan di atas, yaitu untuk memudahkan turun dan naiknya monyet dari atas pohon ke permukaan tanah, maka monyet memilih untuk berada pada ketinggian yang rendah. Bila melihat nilai rata-rata total ketinggian satwa dari permukaan tanah, tampak bahwa populasi monyet pada tipe hutan primer yang tidak terbiasa dengan adanya kehadiran manusia, memilih untuk beraktivitas pada ketinggian diatas 16,9 m, sebagai mekanisme waspada terhadap kehadiran predator.

Tabel 5. Rata-rata Tinggi Posisi Satwa dari Permukaan Tanah

Rata-rata Tinggi Posisi Lokasi Penelitian

Pagi Siang

Total rata-rata (m)

Strata Tajuk

Hutan Primer tidak terganggu 18,8 15,0 16,9

Hutan Primer terganggu 18,6 22,5 20,5

Hutan Sekunder Tidak Terganggu 13,8 6,0 9,9

B B C

Hutan Sekunder Terganggu 16,3 15,0 15,65 B

Keterangan: Pengamatan periode pagi pukul 07.00-09.00; periode sore hari 09.00-11.00

Berdasarkan hasil pengukuran ketinggian pohon oleh Carlisle (2005), yang melakukan penelitian pada lokasi dan waktu yang bersamaan dengan penulis, diperoleh data mengenai rata-rata ketinggian pohon yang menyusun struktur vegetasi di enam lokasi penelitian (Tabel 6).

Tabel 6. Rata-rata Tinggi Pohon Pada Enam Lokasi Penelitian (Carlisle, 2005).

No Lokasi

Penelitian Rata-rata Tinggi Pohon (m) Standar Deviasi Strata

Tajuk Tipe Hutan

1 La Solo 26.00 9.08 A Hutan primer tidak terganggu

2 Balanophora 25.06 6.42 A Hutan primer terganggu

3 Wabalamba 21.49 5.11 B Hutan primer tidak terganggu

4 Wahalaka 22.06 7.98 B Hutan sekunder terganggu

5 Anoa 22.29 5.12 B Hutan sekunder tidak terganggu


(48)

Bila membandingkan antara posisi satwa pada strata pohon (Tabel 5) dengan nilai rata-rata tinggi pohon (Tabel 6), maka pada tipe hutan primer tidak terganggu, M.o. brunnescens memilih untuk melakukan aktivitasnya pada ketinggian rata-rata 16,9 m dari atas permukaan tanah, yang berarti berada pada dahan atas, dimana pada ketinggian ini buah-buah pakan monyet tersedia dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dengan pada bagian dahan bawah pohon.

Pohon-pohon yang berada pada kawasan hutan primer, secara umum memiliki rata-rata ketinggian yang lebih besar dibandingkan dengan rata-rata ketinggian pohon pada kawasan hutan sekunder. Preferensi posisi ketinggian untuk beraktivitas di atas pohon oleh satwa yang hidup di kawasan hutan primer, lebih tinggi dibandingkan dengan satwa yang berada pada kawasan hutan sekunder. Pemilihan posisi ketinggian di atas pohon oleh satwa bukan dipengaruhi oleh perbedaan tipe hutan, akan tetapi lebih ditentukan oleh ketinggian pohon tersebut dari permukaan tanah.

5.3. Perjumpaan Satwa

Angka perjumpaan satwa merupakan jumlah yang menyatakan banyaknya intensitas perjumpaan dengan satwa yang diteliti pada suatu perioda pengamatan. Besar angka perjumpaan dalam penelitian ini adalah 48 kali, terdiri atas 42 kali perjumpaan langsung (direct sightings) dan 6 perjumpaan tidak langsung (undirect sightings), yang berasal dari mendengar. Berdasarkan Tabel 7, pengamatan pagi hari memberikan intensitas perjumpaan yang lebih banyak dibandingkan dengan pengamatan siang hari. Pada semua tipe penutupan lahan, jumlah perjumpaan satwa pagi hari lebih besar dibandingkan dengan perjumpaan siang hari. Hal tersebut sesuai dengan hasil pengamatan para peneliti sebelumnya, yakni populasi monyet pada umumnya aktif pada waktu pagi dan sore hari dan satwa akan beristirahat ketika menjelang siang (Clutton-Brock, 1977 dalam

Supriatna et al., 1990).

Selisih perjumpaan antara pengamatan pagi hari dengan siang hari berkisar antara 2-5 perjumpaan. Perjumpaan dengan satwa terbanyak terjadi pada tipe penutupan lahan hutan primer tidak terganggu, dengan rata-rata perjumpaan sebesar 6,57 ekor/perjumpaan. Perjumpaan dengan satwa dalam kelompok besar


(1)

Fooden (1969) dalam Pramono (1990), menduga bahwa monyet-monyet yang hidup di Sulawesi bersifat sedikit arboreal, atau dengan kata lain bersifat semi tersestrial. Walaupun monyet-monyet bersifat semi tersestrial, mereka tetap mencari pakannya di atas pohon (Eisenberg et al. 1979, dalam Pramono 1990).

Pola sebaran mengelompok terjadi pada satwa yang hidup di areal hutan primer tidak terganggu. Pada tipe penutupan lahan lainnya, yaitu hutan primer terganggu, hutan sekunder tidak terganggu dan hutan sekunder terganggu, pola sebaran spasial yang terjadi adalah acak. Sebaran mengelompok pada tipe penutupan lahan hutan primer tidak terganggu didukung oleh ketersediaan pakan yang banyak pada pohon pakan. M.o. brunnescens yang melakukan aktivitas makan di tipe penutupan lahan ini, ternyata membentuk kelompok-kelompok makan yang tersebar pada tiap strata pohon pakan. Hal tersebut dipengaruhi oleh penyebaran buah pada lapisan tajuk pohon yang secara umum melimpah pada tiap strata ketinggian pohon.

Tabel 13. Analisis Pola Sebaran Spasial Vertikal M.o. brunnescens Populasi Nilai λ2 tabel

No Tipe Penutupan Hutan Keraga man

Rata-rata 0.975 0.025

Nilai λ2

hitung Pola Sebaran 1 2 3 4 Hutan Primer Tidak Terganggu Hutan Primer Terganggu Hutan Sekunder Tidak Terganggu Hutan Sekunder Terganggu 9,90 1,20 2,25 2,60 3,50 1,20 1,75 2,00 10,28 1,24 1,70 2,18 35,48 14,45 16,01 17,53 56,57 5,00 7,71 9,10 Kelompok Acak Acak Acak

Pola sebaran acak di tipe penutupan lahan hutan primer terganggu, hutan sekunder tidak terganggu dan hutan sekunder terganggu dapat terjadi karena pakan yang ada pada pohon pakan tidak tersedia merata pada tiap strata tajuk, sehingga kelompok monyet akan tersebar secara acak dalam melakukan aktivitas makannya. Pola acak ini juga dapat disebabkan oleh banyaknya lahan terbuka dan sedikitnya jumlah pakan di areal hutan, sehingga mendorong kelompok monyet untuk menyebar secara acak.

Pada tipe penutupan lahan hutan primer, yaitu hutan sekitar Camp La Solo, Balanophora dan Wabalamba yang hutannya relatif masih rapat, kelompok


(2)

M.o. brunnescens lebih banyak bersifat arboreal dalam melakukan pergerakan hariannya, dengan cara berpindah dari satu cabang pohon ke cabang pohon lainnya. Akan tetapi pada tipe hutan sekunder, yaitu di areal hutan Wahalaka, Anoa dan Lapago, kelompok M.o. brunnescens lebih banyak bersifat terestrial, dengan cara melakukan pergerakan harian di atas permukaan tanah.

Dari segi penggunaan waktu harian oleh M.o. brunnescens, satwa ini aktif dari mulai pagi hari (05.30) sampai dengan malam hari (19.00). Pada malam hari, satwa akan memilih pohon tidur dan tidur secara berkelompok dalam 1–3 pohon yang berdekatan untuk jumlah kelompok yang besar. Pohon tidur ini bisanya berupa pohon pakan. Pada saat bangun dan menjelang tidur, individu jantan biasa mengeluarkan suara yang nyaring sebagai bentuk komunikasi dengan kelompoknya.


(3)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Pendugaan ukuran populasi dan sebaran satwa dilakukan pada empat tipe penutupan hutan, yaitu hutan primer tidak terganggu (HPTT), hutan primer terganggu (HPT), hutan sekunder tidak terganggu (HSTT) dan hutan sekunder terganggu (HST). Ukuran populasi total adalah sebesar 57.176,3 + 2215,6 ekor dengan kepadatan 89,5 + 3,46 ekor/km2. Ukuran kelompok M.o. brunnescens berdasarkan hasil habituasi pada satu petak grid adalah sebanyak 7-30 ekor/kelompok dengan dugaan jumlah kelompok total adalah 1905,8 + 73,8 kelompok.

Pola sebaran spasial horisontal satwa untuk tipe penutupan lahan hutan primer tidak terganggu adalah mengelompok (clumped), sedangkan pada tipe hutan primer terganggu dan hutan sekunder terganggu adalah acak (random). Pola sebaran spasial seragam (uniform) hanya terjadi pada satwa yang menempati habitat hutan sekunder tidak terganggu. Pola sebaran spasial vertikal mengelompok terjadi pada satwa yang hidup di areal hutan primer tidak terganggu, sedangkan sebaran spasial vertikal acak, terjadi di tipe penutupan lahan hutan primer terganggu, hutan sekunder tidak terganggu dan hutan sekunder terganggu.

6.2. Saran

1. Penelitian ini masih bersifat parsial, oleh karena itu penelitian untuk pendugaan parameter demografi secara lengkap perlu dilakukan lebih lanjut. 2. Perlunya mengubah status kawasan hutan produksi terbatas menjadi bagian

dari kawasan Suaka Alam, supaya kegiatan konservasi hutan Lambusango dapat terlaksana lebih menyeluruh.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Alita, G.S. 1993. Analisa pola penggunaan ruang populasi monyet ekor panjang (Macaca fasicularis Raffles) di lokasi penangkaran Pulau Tinjil Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat. Skripsi Sarjana Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Caughley, G. 1977. Analysis of Vertebrate Populations. A Wiley-Interscience Publication, John Wiley and Sons. London.

Cooper, G. 2001. The Behaviour and Ecology of The Buton Macaque (Macaca ochreata brunescens). Aberdeen Zoology Department. United Kingdom. Unpublished

Dewi, S.J.T. 2005. Pendugaan parameter demografi dan penyebaran populasi lutung hitam (Trachypithecus cristatus, Reichenbach 1862) di kawasan Unocal Geothermal of Indonesia, LTD. Gunung Salak. Jawa Barat. Skripsi Sarjana Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Groves, C.P. 1980. Speciation in Macaca: The view from Sulawesi. Van Nostrand Reinhold Company. New York. USA.

Handadhari, T. 2004. Siaran Pers No.S. 525/II/PIK-1/2004 Tanggal 8 September 2004. www.dephut.go.id, [30 Desember 2005]

Hastuti, W. 1998. Monitoring perubahan vegetasi jati di KPH Cepu menggunakan citra satelit Landsat TM dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Skripsi Sarjana Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Insititut Pertanian Bogor. Bogor.

[IUCN] International Union for Conservation Nature and Natural Resources. 2004. 2004 Red List Threatened Species. www.iucnredlist.org, [30 Desember 2005].

Kusumaningtiyas. 1998. Studi pemanfaatan citra MESSR MOS menggunakan analisis digital untuk identifikasi dan klasifikasi penutupan lahan di hutan alam (Studi kasus di HPH PT. Kulim, Kampar Riau). Skripsi Sarjana Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lillesand, T.M. dan R.W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.

Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


(5)

51 Muskita, Y. 1988. Beberapa aktivitas harian monyet darre (Macaca maura,

Schinz1825) di Cagar Alam Karantea, Sulawesi Selatan. Skripsi Sarjana Fakultas Biologi Universitas Nasional. Jakarta.

Napier, J.R. and P.H. Napier. 1967. A Hand Book of Living Primates. Academic Press. London.

__________________________. 1985. The Natural History of The Primates. The MIT Press. Cambridge, Massachusetts.

[OpWall] Operation Wallacea. 2004. Monitoring forest degradation and animal populations in the forests of Central Buton: preliminary results from the pilot study. (A. Seymour, ed). Operation Wallacea. United Kingdom.

Paine, D.P. 1993. Fotografi Udara dan Penafsiran Citra untuk Pengelolaan Sumberdaya. Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Pombo, R.A.E.R. 2004. Daerah jelajah, perilaku dan pakan Macaca tonkeana di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Thesis Magister Sains Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Prahasta, E. 2003. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis (SIG). C.V. Informatika. Bandung.

Pramono, A.H. 1990. Beberapa aspek ekologi Monyet Buton (Macaca brunnescens, Matschie) pada dua tipe habitat. Skripsi Sarjana Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Jakarta. Priston, N.E.C. 2002. Crop-raiding by Macaca ochreata brunnescens in Sulawesi:

reality, perceptions, and out comes for conservation. Ph.D Disertation Department of Biological Anthropology. University of Cambridge.

Purwanto, E. 2005. Proyek pelestarian hutan Lambusango:“Masyarakat Berdaya Hutan Terjaga”. Makalah dipresentasikan pada Seminar Proyek Konservasi Hutan Lambusango. Sulawesi Scientific Expedition 2005. Buton.

Santosa, Y. 1993. Strategi kuantitatif untuk pendugaan beberapa parameter demografi dan kuota pemanenan populasi satwaliar berdasarkan pendekatan ekologi perilaku: Studi kasus terhadap populasi kera ekor panjang (Macaca fascicularis). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Siahaan, A.D. 2002. Pendugaan parameter demografi populasi surili (Presbytis aygula Linnaeus, 1758) di kawasan Unocal Geothermal of Indonesia, Gunung Salak. Skripsi Sarjana Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Soehartono, T. dan A. Mardiastuti. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. JICA. Jakarta.


(6)

52

Supriatna, J., E.W. Hendras, Y. Muskita, E. Nurdin, M. Jahrah, S. Akbar, H. Pramono, dan D. Supriadi. 1988. Panduan pembinaan habitat Monyet hitam Sulawesi. Bahan penataran kepala rayon perlindungan hutan dan pelestarian alam Se-Sulawesi. Ujung Pandang.

Supriatna, J., J.W. Froehlich, C.Costin and J. Erwin. 1990. Secondary Intergradiation between Macaca maurus and Macaca tonkeana in Sulawesi Selatan. American Journal of Primatology.

Supriatna, J. dan E.W. Hendras, 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Supriyadi, D. 1990. Ekologi tingkah laku monyet buton (Macaca brunnescens, Matsie) di Suaka Margasatwa Buton Utara, Sulawesi Tenggara. Skripsi Sarjana Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Jakarta.

Syarifuddin. 1991. Perilaku dare (Macaca maura, Schinz) di Cagar Alam Karaenta, Sulawesi Selatan. Skripsi Sarjana Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Takenaka, O. and E. Brotoisworo. 1985. Preliminary repport on Sulawesi macaques, their distribution and interspecific differences. Kyoto University Primate Research.

Tarumingkeng, R.C. 1994. Dinamika Populasi: Kajian ekologi kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta

Tobing, I.S.L. 1995. Pengaruh perbedaan kualitas habitat terhadap perilaku dan populasi primata di kawasan Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Tesis Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Whitten, A.J., M. Mustafa dan G.S. Henderson. 1987. Ekologi Sulawesi. Diterjemahkan oleh G. Tjitrosoepomo. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

_____________________________________________. 2002. The Ecology of Indonesia Series Volume IV : The Ecology of Sulawesi. North Calendron USA : Periplus.