Komunitas Burung Di Taman Wisata Alam Seblat Bengkulu Utara, Bengkulu

KOMUNITAS BURUNG DI TAMAN WISATA ALAM SEBLAT
KABUPATEN BENGKULU UTARA BENGKULU

EKI SUSANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunitas Burung di
Taman Wisata Alam Seblat Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Eki Susanto
NIM G352120161

RINGKASAN
EKI SUSANTO. Komunitas Burung di Taman Wisata Alam Seblat Bengkulu
Utara, Bengkulu dibimbing oleh BAMBANG SURYOBROTO dan YENI
ARYATI MULYANI.
Komunitas burung merupakan susunan individu dari beberapa spesies
burung yang hidup secara bersama pada tempat dan waktu yang bersamaan serta
berinteraksi satu dengan lainnya. Perubahan struktur vegetasi akibat bekas
tebangan di Taman Wisata Alam Seblat (TWAS) dapat mempengaruhi
ketersediaan sumber daya bagi komunitas burung. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis keanekaragaman, kekayaan, kelimpahan spesies burung, komposisi
guild, pendugaan struktur umur dan rasio jenis kelamin burung dilokasi hutan
sekunder bekas tebangan tahun 1974 (HS1), hutan sekunder bekas tebangan tahun
1989/1990 (HS2) dan belukar bekas ditebang habis tahun 1989/1990 (HS3) di
Taman Wisata Alam Seblat (TWAS).
Penelitian dilaksanakan di Taman Wisata Alam Seblat pada bulan

September – Oktober 2013. Pengambilan data menggunakan metode point count
(48 titik) dan jala kabut (4752 jam jala). Teridentifikasi 85 spesies burung (567
individu) dari 33 famili. Lokasi hutan sekunder bekas tebangan tahun 1989/1990
memiliki nilai keanekaragaman dan kekayaan tertinggi (HS2; H’= 3.63, DMg=
10.07) dibandingkan lokasi belukar bekas ditebang habis tahun 1989/1990 (HS3;
H’= 3.52, DMg= 9.28) dan lokasi hutan sekunder bekas tebangan tahun 1974
(HS1; H’= 3.32, DMg= 8.06). Berdasarkan kategori guild didapatkan 15 kategori
guild yang didominasi oleh burung insektivora. Sebagian besar burung tertangkap
oleh jala kabut adalah dewasa; hanya dua spesies yang termasuk ke dalam
kategori remaja yaitu Bentet Loreng (Lanius tigrinus) dan Kirik-kirik Biru
(Merops viridis). Perbandingan rasio jenis kelamin hanya diketahui pada sepuluh
spesies, yaitu Delimukan Zamrud (Chalcophaps indica), Enggang Jambul (Aceros
comatus), Kecembang Gadung (Irena puella), Munguk Beledu (Sitta frontalis),
Kehicap Ranting (Hypothymis azurea), Cica Daun Sayap Biru (Chloropsis
cochinchinensis), Cica Daun Kecil (Chloropsis cyanopogon), Pijantung Kecil
(Arachnothera longirostra), Cabai Merah (Dicaeum cruentatum) dan Cinenen
Kelabu (Orthotomus ruficeps).
Kata kunci : guild, jala kabut, point count, rasio jenis kelamin, struktur umur

SUMMARY

EKI SUSANTO. Bird Communities in Seblat Nature Recreation Park North
Bengkulu, Bengkulu. Supervised by BAMBANG SURYOBROTO and YENI
ARYATI MULYANI.
Bird communities are composed of several bird species that live together
in same place, time and interact with each other. Changes in vegetation structure
because of logging practices in Seblat Nature Recreation Park (SNRP) could
affect the availability of resources for bird communities. The study aims to
analyze diversity, richness, abundance of bird species, feeding guild, and to
estimate age structure and sex ratio of birds at logged over forest in 1974 (HS1),
logged over forest in 1989/1990 (HS2) and bushes that was entirely cleared in
1989/1990 (HS3) in Seblat Nature Recreation Park (SNRP).
The research was conducted in Seblat Nature Recreation Park from
September to October 2013. Data collections were conducted using point count
method (48 points) and mist nets (4752 nets hours). Eighty-five species (567
individuals) were identified from 33 families. Logged over forest in 1989/1990
had highest value of diversity and richness (HS2; H'= 3.63, DMG= 10.07),
compared to bushes that was entirely cleared in 1989/1990 (HS3; H'= 3.52, DMG=
9.28) and in logged over forest in 1974 (HS1; H'= 3.32, DMG= 8.06). Based on
major food 15 guild categories were identified and they were dominated by
insectivores. Most birds caught by mist net were adult; only two species belong to

immature category i.e. Tiger shrike (Lanius tigrinus) and Blue-throated Bee-eater
(Merops viridis). Comparison of sex ratio was obtained from only ten species, i.e.
Emerald Dove (Chalcophaps indica), White-crowned Hornbill (Aceros comatus),
Asian Fairy-bluebird (Irena puella), Velvet-fronted Nuthatch (Sitta frontalis),
Black-naped Monarch (Hypothymisazurea), Blue-winged Leafbird (Chloropsis
cochinchinensis), Lesser-green Leafbird (Chloropsis cyanopogon), Little
Spiderhunter (Arachnothera longirostra), Scarled-backed Flowerpecker (Dicaeum
cruentatum), and Ashy Tailorbird (Orthotomus ruficeps).

Keyword: guild, mist net, point count, sex ratio, age structure

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


KOMUNITAS BURUNG DI TAMAN WISATA ALAM SEBLAT
KABUPATEN BENGKULU UTARA BENGKULU

EKI SUSANTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Sidang Tesis: Dr Ir Dewi M. Prawiradilaga, MSc

PRAKATA

Teriring doa dan ucapan syukur kepada Allah SWT atas izin-Nya penulisan
karya ilmiah ini dapat selesai. Ucapan terimakasih tak terhingga saya ucapkan
kepada ayah, ibu dan seluruh keluarga di Curup yang tidak pernah terputus
doanya untuk penulis. Ucapan terimakasih disampaikan pada keluarga besar di
Cileungsi, Tambun, Banjarsari dan Yogyakarta atas dukungan moril yang
diberikan dapat menjadi kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr Bambang Suryobroto dan Dr Ir
Yeni Aryati Mulyani, MSc selaku pembimbing yang telah memberikan saran dan
masukan serta semua pihak yang telah membantu dalam penelitian. Terimakasih
kepada Kepala Dinas dan staf Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi
Bengkulu serta staf pengelola Taman Wista Alam Seblat (TWAS) atas dukungan
penuh dalam penelitian ini. Terimakasih disampaikan kepada Dr Ir Dewi M.
Prawiladilaga, MSc yang memberikan izin pelaksanaan kegiatan penandaan
burung dan peminjaman alat-alat bird banding dalam penelitian ini serta telah
bersedia menjadi penguji luar komisi dalam ujian akhir tesis yang memberikan
masukan berharga untuk perbaikan penulisan tesis ini. Terimakasih disampaikan
kepada Dr Wilson Novarino, MSi atas kesediaannya menjadi pembimbing
lapangan dalam penelitian ini. Terimakasih disampaikan kepada Aristo Median
SSi, Lambok Agus Nirwanto SSi, Al Rahmado SSi dan Sepli Ardoni SSi atas
bantuan tenaga dan pikiran selama penelitian.

Terimakasih disampaikan kepada Cikabayan Birdbanding Club (CBC)
Bogor atas masukan berharga dan tidak lelah mengingatkan penulis akan metode
standar dalam penandaan burung liar (birdbanding). Semoga ilmu ini dapat
dilanjutkan kepada generasi berikutnya.
Terimakasih disampaikan kepada teman-teman Biosains Hewan atas
kebersamaannya selama ini. Terimakasih disampaikan kepada Tim Futsal
Pascasarjana FMIPA IPB atas semangat juara dan kebersamaannya selama ini.
Kepada Evelyne Riandini MSi yang telah membantu penulis dalam
pembutan profil vegetasi penelitian, terimakasih tak terhingga atas masukan
berharga dalam proses penulisan tugas akhir. Terimakasih atas waktu, dukungan
doa, motivasi serta dukungan moral maupun moril kepada penulis. Penulis
berharap karya ilmiah ini dapat memberikan informasi yang berguna dan
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juni 2015
Eki Susanto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1 PENDAHULUAN

1

2 METODE
Lokasi Penelitian
Peralatan Penelitian
Habitat
Keanekaragaman dan Kekayaan Spesies Burung
Komposisi Guild

Pendugaan Struktur Umur,Rasio Jenis Kelamin dan Morfometri
Analisis Data

2
2
2
2
3
4
4
4

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Habitat
Keanekaragaman dan Kekayaan Spesies Burung
Kelimpahan Individu
Kesamaan Komunitas Burung
Komposisi Guild
Pendugaan Struktur Umur
Rasio Jenis Kelamin

Morfometri Burung

7
7
9
10
12
14
15
16
20

4 SIMPULAN DAN SARAN

22

DAFTAR PUSTAKA

23


LAMPIRAN

28

RIWAYAT HIDUP

43

DAFTAR TABEL
1 Rincian pemasangan jala kabut di setiap lokasi penelitian.
2 Kelimpahan famili, jumlah spesies dan jumlah individu yang tertangkap
dan teramati di seluruh lokasi.
3 Kelimpahan relatif (%) spesies yang sama disetiap lokasi.
4 Perbandingan komposisi guild di setiap lokasi.
5 Spesies, jumlah individu jantan dan betina serta rasio jenis kelamin
kelamin burung di TWAS (HS1, HS2 dan HS3)
6 Variasi panjang kepala (HB) dan panjang paruh (BK) spesies burung
yang ditemukan di semua lokasi penelitian.
7 Variasi lebar paruh (BD) dan tebal paruh (BK) spesies burung yang
ditemukan di semua lokasi penelitian.
8 Variasi panjang sayap (WL) dan panjang ekor (TL) spesies burung
yang ditemukan di semua lokasi penelitian.

4
10
12
15
17
20
20
21

DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi sampling di Taman Wisata Alam Seblat (TWAS). 1).HS1 (hutan
sekunder tahun 1974); 2).HS2 (hutan sekunder tahun 1989/1990);
3).HS3 (belukar bekas ditebang habis tahun 1989/1990).
2 Ilustrasi dari metode point count.
3 Perbandingan profil vegetasi pada setiap lokasi.
4 Dendogram kesamaan komunitas burung antara masing-masing lokasi
I:HS1, II:HS2, dan III:HS3.
5 Komposisi sub kategori guild insektivora dilokasi HS1, HS2 dan HS3.
6 Struktur umur pada spesies A. Bentet Loreng (Lanius tigrinus) dan
B.Kirik-kirik Biru (Merops viridis) pada kategori remaja (immature).
7 Delimukan zamrud (Chalcophaps indica) A.Jantan dan B.Betina.
8 Burung A. Munguk Beledu (Sitta frontalis) dan B. Jantan
9 Cica Daun Kecil (Chloropsis cyanopogon) A. Jantan dan B. Betina
10 Burung A. Pijantung Kecil (Arachnothera longirostra) dan B. Warna
jingga pada ketiak jantan.

2
3
8
13
14
16
17
18
18
18

DAFTAR LAMPIRAN
1 Lokasi penelitian di Taman Wisata Alam Seblat (TWAS).
2 Status keterancaman dan konservasi burung-burung di Taman Wisata
Alam Seblat (TWAS) Bengkulu Utara, Bengkulu.
3 Daftar spesies dan jumlah individu burung yang tercatat di HS1, HS2
dan HS3.
4 Kelimpahan relatif individu di setiap lokasi penelitian.
5 Spesies, lokasi pengamatan dan penangkapan menggunakan metode
point count dan jala kabut.
6 Jenis burung yang terdapat di tiga lokasi penelitian.

27
28
30
33
36
38

1 PENDAHULUAN
Komunitas burung merupakan susunan individu dari beberapa spesies
burung yang hidup pada waktu dan tempat yang sama serta berinteraksi satu
dengan lainnya (Wiens 1989). Komunitas burung dapat diamati dari parameter
keanekaragaman, kelimpahan relatif, komposisi guild, dan spesies (Magurran
2004; Novarino et al. 2008a). Keanekaragaman burung di suatu daerah dapat
digunakan sebagai indikator dalam menjaga keseimbangan ekosistem suatu area
(Waltert et al. 2004; BirdLife International 2013).
Vegetasi merupakan komponen penting bagi kehidupan burung, karena
dapat digunakan sebagai tempat tinggal, mencari makan, dan berlindung dari
predator. Struktur vegetasi merupakan kunci penentu keanekaragaman burung
pada skala lokal (Joshi et al. 2012). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
perbedaan struktur vegetasi dapat memberikan pengaruh pada komunitas burung
di suatu kawasan (Chettri et al. 2005; Zakaria et al. 2005; Mulwa et al. 2012).
Bila perubahan struktur vegetasi di suatu kawasan terjadi terus menerus dan
semakin memburuk, maka hal tersebut akan berdampak pada menurunnya spesies
burung bahkan lebih jauh dapat berakibat hilangnya suatu spesies burung.
Perubahan struktur vegetasi akibat tebangan dapat mempengaruhi komunitas
burung melalui perubahan ketersediaan sumber daya di suatu kawasan (Diaz
2006; Manhaes & Dias 2011). Ketersediaan sumber daya yang terbatas dapat
mengakibatkan adanya persaingan antara spesies di suatu kawasan.
Taman Wisata Alam Seblat (TWAS) merupakan salah satu kawasan
konservasi di Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu. Taman Wisata Alam Seblat
(TWAS) memiliki luas wilayah ± 7.737 ha (56–113 mdpl), terdiri dari semak
belukar tua, perladangan, hutan sekunder bekas tebang pilih dan belukar tua yang
merupakan bekas ditebang habis (BKSDA 2002). TWAS memiliki peranan
penting sebagai habitat dan kawasan konservasi berbagai spesies satwa liar
termasuk berbagai spesies burung. Jarulis et al. (2010) memperoleh 105 spesies
burung terdiri dari 14 ordo, 34 famili, dan 73 genus, dengan indeks
keanekaragaman (H’)=3.9. Tetapi, penelitian tersebut tidak membedakan
komunitas burung pada setiap struktur vegetasi berdasarkan bekas tebangan.
Tujuan umum penelitian ini untuk mengkaji hubungan antara komunitas burung
dengan perubahan struktur vegetasi akibat bekas tebangan. Secara khusus,
penelitian ini bertujuan untuk menghitung keanekaragaman, kekayaan,
kelimpahan spesies burung, identifikasi komposisi guild, pendugaan struktur umur
dan rasio jenis kelamin burung yang terdapat pada hutan sekunder bekas tebangan
tahun 1974 (HS1), hutan sekunder bekas tebangan tahun 1989/1990 (HS2) dan
belukar bekas ditebang habis tahun 1989/1990 (HS3) di Taman Wisata Alam
Seblat (TWAS). Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan
gambaran data dasar, evaluasi dan perlindungan komunitas burung. Selain itu,
hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam bidang pendidikan dan
pengetahuan mengenai kehidupan satwa liar khususnya keberadaan burung di
Taman Wisata Alam Seblat (TWAS).

2

2 METODE
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Taman Wisata Alam Seblat (101o39’18”101o44’50”BT dan 03o03’12”-03o09’24”LS) Bengkulu Utara, Bengkulu pada
bulan September – Oktober 2013. Pengamatan dilakukan di tiga tipe struktur
vegetasi bekas tebangan, yaitu hutan sekunder bekas tebangan tahun 1974
(101o41.393'BT dan 03o07.434'LS), hutan sekunder bekas tebangan tahun
1989/1990 (101o42.420'BT dan 03o08.263'LS) dan belukar bekas ditebang habis
tahun 1989/1990 (101o42.233'BT dan 03o08.138'LS) (Gambar 1).

1

3

2

Gambar 1. Lokasi sampling di Taman Wisata Alam Seblat (TWAS). 1).HS1
(hutan sekunder bekas tebangan tahun 1974); 2).HS2 (hutan sekunder
bekas tebangan tahun 1989/1990); 3).HS3 (belukar bekas ditebang
habis tahun 1989/1990).
Peralatan Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan binokuler (12 x 50 mm) dan empat
unit jala kabut (HTX 12 x 2.5 m, mesh 32-36 mm dan nilon). Cincin alumunium
atau incoloy bernomor dari IBBS (Indonesian Bird Banding Scheme) digunakan
untuk menandai burung yang tertangkap. Identifikasi spesies burung
menggunakan panduan lapangan MacKinnon et al. (2010) dan/atau Robson
(2000), sedangkan penulisan spesies burung mengacu pada Sukmantoro et al.
(2007). Penunjang data penelitian (kondisi habitat, teknis pelaksanaan penelitian,
spesies burung, penciri spesies dan lain-lain) didokumentasikan dengan kamera
DSLR.
Habitat
Habitat dideskripsikan dengan membuat profil vegetasi (Heddy 2012)
disetiap lokasi penelitian. Data mengenai spesies, tinggi pohon, diameter pohon,

3
tutupan tajuk dan spesies tumbuhan bawah dicatat pada 3 plot unit contoh
berukuran 20 x 40 m. Plot pengukuran diletakkan di lokasi pengamatan burung
dan pemasangan jala kabut.
Keanekaragaman dan Kekayaan Spesies Burung
1. Pengamatan
Pengamatan spesies burung dilakukan dengan metode point count (Bibby et
al. 2000) dan wilayah yang digunakan pada setiap lokasi (HS1, HS2 dan HS3)
berukuran 600 m x 400 m. Penelitian ini menggunakan titik pengamatan dengan
jari-jari 25 m, karena pertimbangan kemampuan pengamat mendeteksi dan
mengidentifikasi burung di habitat berhutan. Pengamat mencatat spesies dan
jumlah individu burung selama 10 menit. Enam belas plot pengamatan
ditempatkan pada masing-masing lokasi penelitian. Jarak antara plot pengamatan
lebih dari 50 m (Gambar 2). Pengamatan dilakukan pada pagi (06.00 – 09.00
WIB) dan sore (15.30 – 18.00 WIB) dengan pertimbangan bahwa pada waktu
tersebut merupakan waktu aktif burung pada umumnya.

25 m

>50 m

25 m

>50 m

25 m

v
>50 m

>50 m
>50 m

>50 m

25 m

25 m
>50 m

25 m
>50 m

Gambar 2. Ilustrasi dari metode point count
2. Penangkapan
Metode jala kabut (mist net) digunakan untuk mendapatkan spesies burung
yang tidak mudah terdeteksi melalui metode point count (Bibby et al. 2000). Jala
kabut dipasang di lokasi sedikit berbukit, daerah peralihan, daerah lintasan burung
dan daerah dengan vegetasi berbunga serta berbuah agar didapatkan spesies dan
individu sebanyak mungkin yang terjaring dari jala kabut.
Jala kabut dipasang secara tunggal ataupun seri tergantung dari kondisi
lokasi penelitian. Untuk dapat membandingkan hasil di ketiga lokasi maka
digunakan standarisasi berupa usaha penangkapan dan dinyatakan dalam jam jala
(net hours) yaitu pencatatan terhadap waktu membuka dan menutup jala kabut
serta jumlah panjang jala kabut dipasang. Total pemasangan jala kabut digunakan
pada seluruh lokasi sebesar 4752 jam jala (HS1= 1584 jam jala, HS2= 1584 jam
jala, dan HS3= 1584 jam jala) (Tabel 1).
Pemasangan jala kabut dilakukan mulai pukul 05.00 WIB dan dibuka pukul
06.00–17.00 WIB. Pemeriksaaan jala kabut dilakukan setiap 1 jam sekali. Apabila

4
cuaca panas pemeriksaan terhadap jala kabut dilakukan setiap 30 menit. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi risiko cedera pada burung yang terjaring. Selain itu,
untuk mencegah risiko cedera, stress atau bahkan kematian pada burung, maka
ketika cuaca ekstrim (kondisi cuaca sangat panas atau hujan) jaring ditutup.
Tabel 1. Rincian pemasangan jala kabut di setiap lokasi penelitian.
Variabel
Satuan
Keterangan
Jumlah jam jala (net hours)
4752 jam jala
HS1 = 1584 jam jala,
HS2 = 1584 jam jala,
HS3 = 1584 jam jala
Jumlah dan panjang jala
4 unit dan 12 m
Pemasangan secara seri
kabut
atau tunggal
Jumlah rak (shelves)
5 kantong
Ukuran mata jala (mesh)
30 mm
Jarak dari permukaan tanah
50-100 cm
Tergantung pada lokasi
pemasangan,
kondisi
habitat, dan semak di
sekitar pemasangan
Burung yang tertangkap dilepaskan secara hati-hati dan dimasukkan ke
dalam kantung kain serta dibawa ke stasiun pengukuran untuk diidentifikasi.
Setelah proses identifikasi, burung diberi cincin, ditimbang, diukur, diduga
umurnya dan dipotret. Setelah semua proses selesai, burung dilepaskan disekitar
lokasi burung tersebut tertangkap.
Komposisi Guild
Guild merupakan kumpulan spesies yang memanfaatkan sumber daya
pada kelas dan cara yang sama (Root 2001). Pengelompokan guild dilakukan
berdasarkan pada pendekatan a priori (Wiens 1989). Pengelompokan burung
menurut kategori guild didasarkan pada burung yang diamati dan tertangkap serta
perilaku burung-burung tersebut. Pengelompokan kategori guild mengacu pada
Lambert (1992), Styring et al. (2011), dan Fujita et al. (2014).
Pendugaan Struktur Umur, Rasio Jenis Kelamin dan Morfometri
Pendugaan struktur umur ditentukan berdasarkan berdasarkan atas kondisi
bulu, warna, dan bagian tubuh burung (Lowe 1989). Rasio jenis kelamin (sex
ratio) ditentukan dari kondisi warna bulu dan masa berbiak (brood patch) (Lowe
1989). Parameter morfometri berupa panjang kepala-paruh, panjang, lebar dan
tebal paruh serta panjang sayap dan panjang ekor (Novarino et al. 2008b; Haryoko
2011).
Analisis Data
Kekayaan Spesies – Kekayaan spesies dianalisis menggunakan indeks Margalef
(Magurran 2004). Indek Margalef (DMg) = (S-1)/ln N.
Keterangan :
S
= Jumlah spesies
N
= Jumlah individu

5
Keanekaragaman Spesies – Keanekaragaman spesies burung dianalisis
menggunakan
indeks
keanekaragaman
Shannon
(Magurran
2004).
Keanekaragaman (H’) = - ∑
. ln( ).
Keterangan :
H’
= Indeks keanekaragaman spesies
pi
= Kelimpahan relatif spesies ke-I (ni/N)
Kesamaan antar komunitas – Kesamaan komunitas antar ketiga lokasi dianalisis
dengan menggunakan indeks kesamaan Jaccard (Magurran 2004). Indeks
kesamaan Jaccard (Cj) =
Keterangan :
Cj
= Indeks kesamaan Jaccard.
a
= Jumlah spesies yang ditemukan di dua tipe lokasi.
b
= Jumlah spesies yang hanya dijumpai pada lokasi 1
c
= Jumlah spesies yang hanya dijumpai pada lokasi 2
Kelimpahan relatif – Kelimpahan relatif dihitung dengan cara menghitung
perbandingan antara jumlah individu satu jenis dengan jumlah individu seluruh



spesies (Brower dan Zar 1984). Pi =
x 100 %.






Keterangan:
Pi
= Kelimpahan individu x 100%
Komposisi guild – Pengelompokan burung menurut kategori guild terdiri dari
empat kategori didasarkan pada burung yang diamati dan tertangkap, yaitu:
1) Insektivora (pemakan serangga).
a. Sallying substrate gleaning insectivore (SSGI): pemakan serangga yang
aktif di tajuk atas dan bawah pohon.
b. Arboreal foliage gleaning insectivore (AFGI): pemakan serangga yang
aktif mencari makan di bagian tajuk pohon.
c. Aerial insectivore (AI): pemakan serangga di bagian tajuk atas pohon.
d. Terrestrial Insectivore (TI): pemakan serangga di lantai hutan.
e. Sallying insectivore (SI): pemakan serangga sambil melayang.
f. Bark gleaning insectivore (BGI): pemakan serangga yang mencari makan
di bagian dahan atau ranting pohon.
2) Frugivora (pemakan buah).
a. Terrestrial Frugivore (TF): pemakan buah-buahan yang berserakan di
lantai hutan.
b. Aerial Frugivore (AF): pemakan buah-buahan di bagian tajuk atas pohon.
c. Arboreal frugivore-predator (AFP): kelompok pemakan buah-buahan di
seluruh bagian pepohonan.
3) Karnivora (pemakan hewan vertebrata lainnya).
a. Raptor (R): kelompok burung pemangsa/karnivora.
4) Omnivora (kelompok memakan serangga, buah, nektar atau hewan vertebrata
lainnya).
a. Terrestrial Insectivore-Frugivore (TIF): pemakan serangga dan buahbuahan di lantai hutan.

6
b.
c.
d.
e.

Arboreal foliage gleaning insectivore-frugivore (AFGIF): pemakan
serangga dan buah yang aktif mencari makan di bagian tajuk pohon.
Nectarivore-Insectivore (NI): penghisap nektar dan pemakan serangga.
Nectarivore-Insectivore-Frugivore (NIF): penghisap nektar, pemakan
serangga dan pemakan buah-buahan.
Miscellaneous insectivore-piscivore (MIP): pemakan serangga dan ikan.

Pendugaan struktur umur, rasio jenis kelamin dan morfometri – Pendugaan
struktur umur dan rasio jenis kelamin dideskripsikan menggunakan tabel atau
grafik mengacu pada Fowler dan Cohen (1986). Nilai rata-rata parameter
morfometri dihitung dari spesies yang sama di setiap lokasi dan dibandingkan
antar lokasi tanpa dilakukan uji statistik (Symonds & Tattersall 2010; Lambey et
al. 2013).

7

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Habitat
Lokasi HS1 merupakan kawasan hutan sekunder bekas tebangan tahun
1974. Komposisi vegetasi pada lokasi ini didominasi oleh Sapat (Macaranga
tanarius), Meranti (Shorea leprosula), Kayu laban (Vitex pubescens) dan Sibalik
(Mallotus sp). Pohon-pohon di lokasi ini umumnya memiliki ketinggian 15-20m.
Kondisi tajuk memiliki penutupan yang tinggi dan rapat (Gambar 3). Hal ini
terjadi karena vegetasi yang tumbuh membentuk strata tajuk yang lengkap. Akibat
dari kondisi tajuk yang rapat menyebabkan sinar dari matahari sulit untuk sampai
ke lantai hutan sehingga keberadaan tumbuhan bawah di lokasi ini relatif sedikit.
Sedikitnya sinar matahari juga mengakibatkan proses dekomposisi menjadi lama,
sehingga lantai hutan tertutup serasah yang tebal.
Lokasi HS2 merupakan kawasan hutan sekunder bekas tebangan pada tahun
1989/1990. Komposisi vegetasi pada lokasi HS2 berada di sekitar camp yang
didominasi oleh pohon dengan ketinggian 15-20m. Kekerang (Macaranga
trichocarpa), Kayu laban (Vitex pubescens), Ara (Ficus sp) dan Jambu hutan
(Syzygium sp) merupakan spesies tumbuhan yang terdapat di lokasi ini. Berbeda
dengan lokasi HS1 kondisi tajuk di HS2 memiliki tutupan tajuk yang renggang,
sehingga sinar matahari dapat masuk sampai ke lantai hutan dan memungkinkan
berbagai tumbuhan bawah seperti Alang-alang (Imperata cylindrica), Jahean
(Alpinia malaccensis), Senggani (Melastoma candidum) dan Putri Malu (Mimosa
pudica) melakukan fotosintesis (Gambar 3).
Lokasi HS3 merupakan kawasan belukar bekas ditebang habis tahun
1989/1990. Vegetasi pada HS3 didominasi oleh tumbuhan bawah seperti Alangalang (Imperata cylindrica), Jahean (Alpinia malaccensis), Senggani (Melastoma
candidum), Putri Malu (Mimosa pudica), Secang (Caesalpinia sappan), Petaipetaian (Parkia sp), dan Rumput-rumputan (Cyperus spp.). Vegetasi pohon yang
terdapat di lokasi ini hanyaKayu laban (Vitex pubescens), Meranti (Shorea
leprosula), dan Ara (Ficus sp). Kondisi tajuk di HS3 cenderung lebih terbuka bila
dibandingkan dengan kedua lokasi sebelumnya sehingga sinar matahari langsung
sampai ke lantai hutan (Gambar 3).

8
20 m

HS1

40 m
20 m

HS2

40 m
20 m

HS3

40 m
Gambar 3. Perbandingan profil vegetasi pada setiap lokasi.

9
Keanekaragaman dan Kekayaan Spesies Burung
Jumlah spesies burung yang tercatat selama penelitian menggunakan kedua
metode adalah 85 spesies dari 33 famili. HS2 memiliki nilai indeks
keanekaragaman dan kekayaan tertinggi (H’ = 3.63; DMg = 10,07) diikuti dengan
HS3 (H’= 3.52, DMg= 9.28) dan HS1 memiliki nilai indeks keanekaragaman dan
kekayaan paling rendah (H’ = 3.28; DMg = 7,87). Pada penelitian Jarulis et al.
(2010) memperoleh 105 spesies, sedangkan pada penelitian ini memperoleh 85
spesies. Perbedaan jumlah spesies yang tercatat dalam penelitian ini dibandingkan
dengan penelitian sebelumnya berupa perbedaan waktu penelitian (Juli-Agustus)
dan metode (metode transek) yang digunakan sehingga menyebabkan perbedaan
jumlah spesies. Perbedaan waktu pengamatan, metode, dan pengambilan lokasi
penelitian dicatat sebagai faktor yang mempengaruhi jumlah spesies di suatu
kawasan (Esdates 1997; Haselmayer & Quinn 2000; Azhar et al. 2013).
Tujuh belas spesies burung termasuk dalam kategori Near Threatened (NT)
menurut Redlist IUCN (International Union for Conservation of Nature). Tiga
spesies burung termasuk dalam Appendix II yaitu Elang Hitam (Ictinaetus
malayensis), Elang Ular Bido (Spilornis cheela) dan Enggang Cula (Buceros
rhinoceros) serta Enggang Papan (Buceros bicornis) termasuk dalam Appendix I
(Soehartono & Mardiastuti 2003). Sebanyak 16 spesies burung dilindungi oleh PP
No. 7 Tahun 1999. Teridentifikasi tiga spesies sebagai spesies migran diantaranya
berupa Paok Hijau (Pitta sordida), Bentet Loreng (Lanius tigrinus) dan LayangLayang Asia (Hirundo rustica) (Lampiran 2).
Metode pengambilan data menggunakan point count dan jala kabut (mist
net) mendapatkan jumlah spesies dan individu yang berbeda. Metode point count
mendapatkan 80 spesies dan 478 individu, sedangkan jala kabut menghasilkan 36
spesies dan 90 individu. Selama penelitian berlangsung, total keseluruhan spesies
yang teramati dan tertangkap berjumlah 22% (85 spesis) dari seluruh spesies
burung di Pulau Sumatera (MacKinnon et al. 2010). Keanekaragaman dan
kekayaan spesies burung tertinggi terletak pada lokasi HS2 dibandingkan dua
lokasi lainnya.
Struktur vegetasi merupakan faktor penentu penting dari komunitas
burung di setiap habitat. Struktur vegetasi menyediakan sumber makanan bagi
burung yang terdapat pada batang, daun, buah, bunga dan nektar. Burung dapat
menggunakan satu jenis pakan (tunggal) atau kombinasi dari beberapa jenis
pakan. Berbagai penelitian menunjukkan keanekaragaman burung yang berbeda di
daerah dengan struktur vegetasi yang berbeda pula (Chettri et al. 2005; Walter et
al. 2005; Zakaria et al. 2005; Diaz 2006). Hasil penelitian menunjukkan
komunitas burung lebih besar di HS2 daripada di HS1 dan HS3. Lokasi HS2
memiliki vegetasi yang kompleks sehingga menyediakan lebih banyak niche
(relung) dan vegetasi yang lebih beragam. Akibat hal ini memberikan kontribusi
untuk lebih keanekaragaman jenis burung (Pearman 2002;Mulwa et al. 2012).
Jumlah spesies yang sedikitditemukan pada HS1 dan HS3 karena lokasi ini secara
struktural lebih sederhana dan niche (relung) lebih sedikit untuk burung.
Metode point count digunakan karena metode ini mudah dan efisien untuk
mendapatkan informasi mengenai perkembangan populasi, pengaruh gangguan,
pemilihan habitat dan membandingkan keanekaragaman burung di antara lokasi
berbeda (Zakaria et al. 2009). Walaupun demikian, metode ini tidak efektif untuk

10
mendapatkan informasi mengenai keberadaan burung-burung semak atau bawah
tajuk. Jala kabut (mist net) merupakan metode penangkapan burung dapat
mengurangi bias dan mendeteksi spesies burung yang luput dari metode point
count (Zakaria & Rajpar 2010). Penggunaan jala kabut meskipun efektif
mempelajari burung-burung semak yang pemalu, tetapi memiliki kekurangan,
yaitu tidak sepenuhnya efektif menangkap beberapa spesies yang beraktivitas di
hutan bekas tebangan, terutama di tajuk-tajuk atas pohon. Beberapa spesies seperti
Gagak Hutan (Corvus enca), Luntur Harimau (Harpactes oreskios), Kadalan
Birah (Rhamphococcyx curvirostris), Caladi Tilik (Dendrocopos moluccensis) dan
Sempur Hujan Darat (Eurylaimus ochromalus) tidak tertangkap oleh jala kabut.
Wang dan Finch (2002) mencatat bahwa jaring kabut tidak efektif digunakan
untuk mendapatkan kelompok puyuh, burung pemangsa (Accipitridae), burung
hantu dan gagak. Terborgh et al. (1990) menyatakan bahwa tidak ada teknik
sampling yang bebas dari bias atau efektif untuk burung, tetapi kombinasi metode
(point count dan mist net) dapat berguna dalam pengamatan atau penelitian
tentang burung.
Kelimpahan Individu
Struktur komunitas burung di TWA Seblat didominasi oleh spesies burung
dari famili Pycnonotidae. Spesies tersebut terdiri dari Merbah Corok-corok
(Pycnonotus simplex), Merbah Cerukcuk (Pycnonotus goiavier), Cucak Kuning
(Pycnonotus melanicterus), Merbah Mata Merah (Pycnonotus brunneus), Cucak
Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Cucak Kelabu (Pycnonotus cyaniventris),
Merbah Kacamata (Pycnonotus erythropthalmos), Empuloh Irang (Criniger
phaeocephalus), Brinji Bergaris (Ixos malaccensis), dan Brinji Rambut-tunggir
(Tricholestes criniger). Berdasarkan jumlah individu, famili Pycnonotidae
mendominasi komunitas burung di TWAS yakni 117 individu (21,43%) (Tabel 2).
Tabel 2. Kelimpahan famili, jumlah spesies dan jumlah individu yang tertangkap
dan teramati di seluruh lokasi.
Famili
Accipitridae
Columbidae
Trogonidae
Cuculidae
Apodidae
Phasianidae
Picidae
Capitonidae
Bucerotidae
Alcedinidae
Meropidae
Hirundinidae
Corvidae
Campephagidae
Oriolidae
Irenide
Laniidae

Spesies
2
2
1
6
1
1
7
2
4
4
2
1
1
1
1
1
1

%
2.35
2.35
1.18
7.06
118
1.18
8.24
2.35
4.71
4.71
2.35
1.18
1.18
1.18
1.18
1.18
1.18

Jumlah
Individu
3
28
1
11
10
1
10
7
47
12
28
3
43
4
1
6
9

%
0.53
4.94
0.18
1.94
1.76
0.18
1.76
124
8.29
2.12
4.94
0.53
7.58
0.71
0.18
1.06
1.59

11
Tabel 2 (Lanjutan)
Famili
Pittidae
Eurylaimidae
Sittidae
Aegithinidae
Dicruridae
Muscicapidae
Turdidae
Monarchidae
Chloropseidae
Pycnonotidae
Timaliidae
Nectarinidae
Dicaidae
Syllvidae
Zosteropidae
Estrildidae
Ploceidae
Total

Spesies
1
1
1
2
2
2
2
2
2
10
7
3
4
5
1
1
1
85

%
1.18
1.18
1.18
2.35
2.35
2.35
2.35
2.35
2.35
11.76
8.24
3.53
4.71
5.88
1.18
1.18
1.18
100

Jumlah
Individu
1
1
4
20
23
8
7
6
19
117
24
25
25
54
3
5
1
567

%
0.18
0.18
0.71
3.53
4.06
1.41
1.24
1.06
3.35
20.63
4.23
4.41
4.41
9.53
0.53
0.88
0.18
100

Pycnonotidae merupakan kelompok famili dan individu yang
mendominasi pada setiap lokasi. Besarnya dominasi Pycnonotidae dibandingkan
dengan famili lainnya karena Pycnonotidae memiliki tingkat penyebarannya yang
tinggi. Pycnonotidae merupakan suatu kelompok besar burung dalam ordo
Passeriformes terdiri dari 138 spesies dan 355 taksa dengan luas persebaran di
Asia Selatan, Afrika, Madagaskar, dan pulau-pulau yang berada pada kawasan
Samudera Hindia Barat (Sibley & Monroe 1990; Balakrishnan 2010).
Di Indonesia, Pycnonotidae merupakan burung yang mempunyai
penyebaran cukup luas di Sumatera karena memiliki kemampuan adaptasi tinggi
terhadap lingkungan dan sifat makannya. Pycnonotidae merupakan kelompok
pemakan buah dan serangga yang aktif pada seluruh bagian strata pohon baik di
bawah, tengah maupun atas pohon (MacKinnon et al. 2010), sehingga famili ini
mudah terlihat dan tertangkap dalam jumlah besar di setiap lokasi. Faktor lain
mempengaruhi kelimpahan Pycnonotidae adalah lokasi penelitian. Lokasi
penelitian (HS1, HS2, HS3) berupa hutan sekunder memiliki kekayaan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan hutan primer. Hal ini disebabkan oleh pengaruh
keanekaragaman habitat lebih tinggi sehingga dapat menampung lebih banyak
spesies (Novarino 2008).
Delimukan Zamrud (Chalcophaps indica) merupakan individu dengan
kelimpahan tertinggi pada HS1 sebesar 2.99% (17 individu; point count = 13, mist
net = 4). Gagak Hutan (Corvus enca) merupakan individu dengan kelimpahan
tertinggi pada HS2 2.64% (15 individu; point count = 15, mist net = 0) dan HS3
belukar 2.99% (17 individu; point count = 17, mist net = 0) (Tabel 3). Merbah
Corok-corok (Pycnonotus simplex) melimpah pada HS1 (2.82%), sedangkan
kelimpahannya kecil pada HS2 (0.88%).
Delimukan Zamrud (Chalcophaps indica) mendominasi di HS1, karena
pada lokasi ini terdapat tumbuhan yang sedang dalam masa berbuah yakni pohon
Sapat (Macaranga tanarius). Delimukan Zamrud (Chalcophaps indica) termasuk

12
dalam famili Columbidae dan frugivora (Styring et al. 2011; BTO 2014).
Kelompok burung ini cenderung menyesesuaikan diri dengan kondisi tumbuhan
yang sedang berbuah. Burung-burung frugivora memakan berbagai buah-buahan
banyak tersedia dalam hutan sekunder. Burung-burung frugivora memiliki
kemampuan untuk memilih buah yang disukai berdasarkan deteksi warna, ukuran
biji, kandungan gizi dan pengaturan masa berbuah (Herrera 1982; Levey et al.
1984; Gautier-Hion et al. 1985; Levey 1987; Azman et al. 2011). Gagak Hutan
(Corvus enca) mendominasi di HS2 dan HS3. Diduga kedua lokasi menyediakan
sumber pakan yang berlimpah bagi spesies ini dan burung ini termasuk dalam
kategori omnivora (serangga, buah dan sisa-sisa makanan) dan dua lokasi ini
termasuk ke dalam home range burung tersebut. Secara penyebaran burung Gagak
Hutan (Corvus enca) umum terdapat di hutan terutama berada di sepanjang pesisir
dan jarang sampai ketinggian 1000 m (MacKinnon et al. 2010).
Tabel 3. Kelimpahan relatif (%) spesies yang sama disetiap lokasi.
Lokasi
No
Spesies
HS1
HS2
1
Chalcophaps indica
2.99
1.23
2
Buceros rhinoceros
0.35
1.06
3
Buceros bicornis
0.18
1.41
4
Ceyx rufidorsa
0.70
0.18
5
Merops viridis
1.59
0.35
6
Corvus enca
1.94
2.64
7
Lanius tigrinus
0.35
0.70
8
Dicrurus paradiseus
0.70
2.11
9
Enicurus leschenaulti.
0.18
0.35
10
Pycnonotus simplex
2.82
0.88
11
Pycnonotus goiavier
0.35
1.06
12
Pycnonotus melanicterus
1.76
1.94
13
Pycnonotus brunneus
2.11
1.76
14
Trichastoma rostratum
0.35
0.53
15
Anthreptes simplex
0.53
0.18
16
Arachnothera longirostra
0.35
1.59
17
Dicaeum cruentatum
0.18
0.53
18
Prionochilus percussus
0.53
0.88
19
Prionochilus maculates
0.35
0.18
20
Prinia familiaris
1.94
1.41
21
Orthotomus ruficeps
0.35
0.88

HS3
0.18
1.94
0.70
0.18
2.82
2.99
0.88
0.88
0.18
1.41
0.70
1.94
1.41
0.53
0.35
0.35
0.88
0.35
0.18
0.53
1.06

Kesamaan Komunitas Burung
Pada setiap lokasi penelitian memiliki jumlah dan komposisi spesies yang
berbeda-beda. HS1 memiliki 42 spesies (49,4%), HS3 50 spesies (58,8%) dan
HS2 merupakan tempat penemuan spesies terbanyak 54 spesies (63,5%). Terdapat
empat puluh empat spesies hanya dapat ditemukan pada satu lokasi penelitian.
Kesamaan komunitas burung tertinggi terdapat antara HS2 dan HS3. Hasil
analisis menghasilkan indeks kesamaan (ISj) sebesar 58.75% (Gambar 4).
Sebanyak 35 spesies burung terdapat di lokasi HS2 juga terdapat di HS3.

13
Kesamaan komunitas yang tinggi (58.75%) disebabkan pada kedua lokasi ini
memiliki kemiripan berupa adanya areal semak belukar dan kebun (profil
vegetasi) yang menjadi habitat bagi spesies-spesies burung tersebut. Adhikerana
(1997) menyatakan bahwa penyebaran burung dalam suatu area memiliki
hubungan erat dengan tipe habitatnya masing-masing. Pemilihan habitat burung
berdasarkan pada vegetasi dan faktor yang mempengaruhi kehadiran spesies
burung pada suatu habitat tertentu yang disebabkan oleh hasil seleksi sehingga
habitat tersebut sesuai untuk kehidupan burung tersebut (Blake & Hoppes 1986).
Adapun spesies tumbuhan bawah yang sama berupa Alang-alang (Imperata
cylindrica), Jahean (Alpinia malaccensis), Senggani (Melastoma candidum) dan
Puti Malu (Mimosa pudica). Terdapatnya kemiripan areal terbuka berupa semak
belukar dan tumbuhan bawah tidak lepas dari peningkatan bukaan tajuk yang
menyebabkan banyaknya individu burung yang menyukai daerah terbuka. Tajuk
yang terbuka dapat mengakibatkan pertumbuhan tumbuhan bawah yang menjadi
habitat bagi burung-burung penghuni semak yang tidak sensitif terhadap
gangguan (Arriaga-Weiss et al. 2008; Moradi & Mohammed 2010). Adapun spesies
burung yang menyukai daerah terbuka diantaranya berupa spesies Pijantung Kecil
(Arachnothera longirostra), Ciungair Coreng (Macronous gularis), Perenjak Jawa
(Prinia familiaris), Perenjak Rawa (Prinia flaviventris) dan Cinenen Kelabu
(Orthothomus ruficeps) memanfaatkan areal tersebut untuk beraktivitas
(MacKinnon et al. 2010).
Kesamaan komunitas antara dua lokasi dengan HS1 hanya 9.98% (Gambar
4). Sebanyak 13 spesies burung hanya ditemukan pada lokasi HS1 dan tidak
ditemukan pada dua lokasi lainnya. Rendahnya kesamaan komunitas disebabkan
oleh perbedaan komposisi dan struktur vegetasi yang terdapat di HS 1 dan dua
lokasi lainnya. Beberapa penelitian menampilkan bahwa struktur dan komposisi
vegetasi mempengaruhi tingkat keanekaragaman spesies burung (Aleixo 1999;
Chettri et al. 2005; Garcia & Martinez, 2012). Hasil profil vegetasi HS1
umumnya memiliki pohon-pohon dengan ketinggian 15-20m dan kondisi tajuk
yang rapat serta sedikit terdapat areal terbuka yang ditumbuhi oleh semak belukar
sehingga ketika pengamatan berlangsung burung-burung banyak beraktivitas di
bagian tajuk bagian atas pohon. Salah satu ciri khas spesies yang menyukai
kondisi tersebut dan hanya terdapat di HS1 yakni Kepudang Hutan (Oriolus
xanthonotus) yang aktif pada tajuk bagian atas pohon (MacKinnon et al. 2010).

9.98%

58.75%

Gambar 4. Dendogram kesamaan komunitas burung antara masing-masing
lokasiI: HS1, II: HS2, dan III: HS3.

14
Komposisi Guild
Kelompok burung insektivora merupakan kelompok yang mendominasi di
setiap lokasi penelitian. Kelompok burung insektivora terdiri dari enam sub
kategori, yaitu pemakan serangga yang aktif di tajuk atas dan bawah pohon
(SSGI), pemakan serangga yang aktif mencari makan di bagian tajuk pohon
(AFGI), pemakan serangga di lantai hutan (TI), pemakan serangga di bagian tajuk
atas pohon (AI), kelompok pemakan serangga sambil melayang (SI), pemakan
serangga yang mencari makan di bagian dahan atau ranting pohon (BGI).Spesies
pada kelompok pemakan serangga yang aktif mencari makan di bagian tajuk
pohon (AFGI) mendominasi pada lokasi HS3 (17 spesies). Spesies pada
kelompok pemakan serangga sambil melayang (SI) banyak terdapat pada HS1 (3
spesies). Pelatuk Pungkas (Blythipicus rubiginosus) dan Pelatuk ayam (Dryocopus
javensis) merupakan kelompok pemakan serangga di batang (BGI) dan hanya
terdapat di HS2. Pada lokasi HS2 banyak terdapat pohon-pohon kering dengan
batang yang besar dan banyak terdapat serangga yang dimanfaatkan sebagai
sumber pakan oleh burung-burung tersebut. Walet Sapi (Collocalia esculenta) dan
Layang-Layang Asia (Hirundo rustica) merupakan kelompok pemakan serangga
sambil terbang (AI), hanya terdapat di lokasi HS1 (Gambar 5).

Jumlah speises

20
15
10
5
0
SSGI

AFGI
HS 1

TI
HS 2

AI
HS3

SI

BGI

Gambar 5. Komposisi sub kategori guild insektivora di lokasi HS1, HS2 dan HS3.
Pemakan serangga yang aktif di tajuk atas dan bawah pohon (SSGI),
pemakan serangga yang aktif mencari makan di bagian tajuk pohon
(AFGI), pemakan serangga di lantai hutan (TI), pemakan serangga di
bagian tajuk atas pohon (AI), kelompok pemakan serangga sambil
melayang (SI), pemakan serangga yang mencari makan di bagian
dahan atau ranting pohon (BGI).
Empat kategori guild ditemukan pada tiga lokasi penelitian yaitu insektivora
(pemakan serangga), frugivora (pemakan buah), karnivora (pemakan daging atau
vertebrata lain) dan omnivora (pemakan campuran). Kelompok insektivora
merupakan guild yang mendominasi pada ketiga lokasi penelitian. Kelompok
omnivora lebih banyak terdapat pada lokasi HS3, dibandingkan dengan dua lokasi
lainnya (Tabel 4).
HS2 merupakan lokasi dengan perbandingan komposisi guild paling banyak
dibandingkan dengan dua lokasi lainnya (Tabel 4). Komposisi omnivora

15
mendominasi pada lokasi HS3. Pada setiap lokasi penelitian memiliki kelompok
karnivora sebanyak satu spesies. Burung yang tergolong dalam karnivora berupa
Elang Hitam (Ictinaetus malayensis) dan Elang Ular Bido (Spilornis cheela) dari
famili Accipitridae.
Tabel 4. Perbandingan komposisi guild di setiap lokasi.
Guild
Insektivora
Omnivora
Frugivora
Karnivora
Jumlah spesies

HS1 (n)
21
16
4
1
42

Lokasi
HS2 (n)
29
16
8
1
54

HS3 (n)
27
19
3
1
50

Pada masing-masing lokasi memiliki empat kategori guild dengan jumlah
spesies masing-masing guild yang berbeda. Hal ini diduga bahwa masing-masing
lokasi masih menyediakan sumber daya (pakan, siklus hidup, dan berlindung)
bagi spesies burung dalam setiap kategori guild. Faktor sumber daya merupakan
faktor yang mempengaruhi burung untuk bertahan hidup dan berkembang biak di
suatu kawasan (Ferger et al. 2014). Hal yang sama juga didapatkan pada
penelitian yang dilakukan di Sarawak (Wong 1986), Brazil (Alexio 1999),
Selangor (Zakaria et al. 2005), Sipisang (Novarino et al. 2008a) dan Riau (Fujita
et al. 2014)
Kategori burung insektivora mendominasi di setiap lokasi. Besarnya
dominasi insektivora merupakan suatu hal yang umum, karena ketersediaan
serangga terdapat pada sepanjang waktu di alam bila dibandingkan dengan
ketersedian buah dan nektar yang dipengaruhi oleh musim. Kelimpahan serangga
lebih stabil bila dibandingkan dengan kelimpahan buah dan nektar, sehingga
burung pemakan serangga lebih stabil bila dibandingkan dengan pemakan buah
atau nektar (Wong 1986). Faktor lain yang mempengaruhi berupa adanya
tumbuhan-tumbuhan yang sedang berbunga disetiap lokasi sehingga memancing
kehadiran serangga untuk datang pada bunga tersebut. Serangga dapat dijadikan
makan utama ataupun pilihan. Dominasi burung pemakan serangga juga terdapat
pada komunitas burung di Sumatera (Novarino et al. 2008a; Imanuddin 2009),
Jawa (Prawiradilaga et al. 2002; Sodhi et al. 2005; Rahayuningsih et al. 2010),
Kalimantan (Wong 1986; Lambert & Collar 2002; Posa 2011; Azman et al. 2011)
dan Sulawesi (Waltert et al. 2005).
Pendugaan Struktur Umur
Komunitas burung di TWAS didominasi oleh kategori dewasa, hanya dua
spesies yang termasuk ke dalam kategori remaja (immature) yaitu Bentet Loreng
(Lanius tigrinus) dan Kirik-kirik Biru (Merops viridis) (Gambar 6). Bentet Loreng
(Lanius tigrinus) yang tertangkap dikategorikan remaja (immature) karena
memiliki ciri morfologi berupa warna coklat buram di bagian sayap dan ekor,
lingkaran mata bergaris-garis hitam samar, garis alis pucat, tubuh bagian bawah
kuning tua, perut dan sisi tubuh bergaris lebih jelas bila dibandingkan dengan

16
dewasa (adult). Kirik-kirik Biru (Merops viridis) memiliki ciri morfologi berupa
tidak ada perpanjangan ekor, pada kepala terdapat bintik-bintik merah, mantel
berwana hijau, iris merah, paruh hitam dan kaki hitam.

A. Bentet Loreng (Lanius tigrinus)
B. Kirik-kirik Biru (Merops viridis)
Gambar 6. Struktur umur pada spesies A. Bentet Loreng (Lanius tigrinus) dan B.
Kirik-kirik Biru (Merops viridis) pada kategori remaja (immature).
Seluruh individu dari speseis Bentet Loreng (Lanius tigrinus) dan Kirikkirik Biru (Merops viridis) yang tertangkap merupakan individu remaja.
Banyaknya individu remaja yang tertangkap dapat diartikan sebagai tingginya
angka kelahiran (natalitas) pada dua spesies tersebut. Penggunaan metode jala
kabut cenderung lebih banyak menangkap individu burung muda dari pada
individu dewasa (Domenech & Senar 1997). Hal ini terjadi karena pada individu
muda belum memiliki pengalaman seperti individu dewasa dan belum mengetahui
adanya jala kabut terpasang, serta kemungkinan individu muda yang tertangkap
akan lebih berhati-hati untuk melewati lokasi jala kabut terpasang.
Berdasarkan pendugaan struktur umur komunitas burung di TWAS terdiri
dari populasi dewasa 532 individu (83 spesies) dan remaja 86 individu (2 spesies).
Berdasarkan hasil penelitian ini, pendugaan struktur umur spesies burung di
TWAS belum dapat memperkirakan keberhasilan perkembangan spesies burung
yang berada disana, karena hanya terdapat satu fase umur yakni dewasa atau
remaja (immature). Dalam perkembangan populasi suatu spesies terdapat 3 fase
umur ekologi yaitu fase pre reproduktif (anak-anak muda), fase reproduktif
(dewasa), dan post reproduktif (tua) (Mayr 1939; Odum 1993). Struktur umur
dapat digunakan untuk melihat pola perkembangan suatu populasi, sehingga dapat
diperkirakan keberhasilan dalam perkembangan satwa liar (Alikodra 2010).
Rasio Jenis Kelamin
Rasio jenis kelamin jantan dan betina burung hanya dijumpai pada 10
spesies (Tabel 5), karena menunjukkan sexual dichromatism (perbedaan warna
antara jantan dan betina) di lokasi HS1, HS2, dan HS3. Sexual dichromatism
merupakan fenomena perbedaan dalam warna jantan dan betina dari spesies yang
sama serta diperkirakan telah berevolusi dalam menanggapi pemilihan tekanan
yang berbeda antara jenis kelamin (Badyaev & Hill 2003).

17
Tabel 5. Spesies, jumlah individu jantan dan betina serta rasio jenis kelamin
kelamin burung di TWAS (HS1, HS2 dan HS3).
Spesies
Chalcophaps indica
Aceros comatus
Irena puella
Sitta frontalis
Hypothymis azurea
Chloropsis cochinchinensis
Chloropsis cyanopogon
Arachnothera longirostra
Dicaeum cruentatum
Orthotomus ruficeps

Individu
Jantan
Betina
7
9
10
4
4
2
2
2
2
3
1
8
4
6
2
5
2
7
5
8

Rasio jenis
kelamin
7:9
10:4
2:1
1:1
2:3
1:8
2:3
2:5
2:7
5:8

Delimukan zamrud (Chalcophaps indica) merupakan burung dari famili
Columbidae. Burung Delimukan zamrud jantan memiliki ciri utama terletak pada
mahkota berwarna abu-abu, sedangkan betina tidak memiliki warna abu-abu pada
mahkota (Gambar 7).

A.Jantan
B. Betina
Gambar 7. Delimukan zamrud (Chalcophaps indica) A.Jantan, B. Betina.
Enggang Jambul (Aceros comatus) merupakan burung rangkong yang
termasuk dalam famili Bucerotidae. Burung jantan memiliki warna putih pada
bagian leher, sedangkan betina berwarna hitam.
Kecembang Gadung (Irena puella) merupakan burung termasuk dalam
famili Oriolidae. Jantan memiliki ciri utama berupa pada bagian mahkota,
tengkuk, punggung, penutup sayap atas, tungging dan tunggir berwarna biru serta
bagian tubuh lain berwarna hitam. Betina memiliki ciri utama berupa berwarna
hijau pada seluruh bagian tubuh.
Munguk Beledu (Sitta frontalis) merupakan burung dari famili Sittidae.
Perbedaan jantan mempunyai alis mata hitam, sedangkan betina tidak memiliki
alis mata (Gambar 8).

18

A. Sitta frontalis
B.Jantan
Gambar 8. Burung A.Munguk Beledu (Sitta frontalis), B.Jantan
Cica Daun Sayap Biru (Chloropsis cochinchinensis) merupakan burung dari
famili Chloropsidae. Jantan memiliki ciri utama berupa badan berwarna hijau
terang dengan sayap biru dan bagian tenggorokan hitam. Betina memiliki ciri
utama berupa mahkota berwarna kekuningan.
Cica Daun Kecil (Chloropsis cyanopogon) merupakan burung dari famili
Chloropsidae. Jantan memiliki ciri utama berupa tenggorokan berwarna hitam,
sedangkan betina memiliki tenggorokan berwarna hijau (Gambar 9).

A. Jantan
B. Betina
Gambar 9. Cica Daun Kecil (Chloropsis cyanopogon) A. Jantan dan B. Betina
Pijantung Kecil (Arachnothera longirostra) merupakan bururng dari famili
Nectariniidae. Penggunaan metode pengamatan pada burung ini tidak dapat
membedakan antara jantan dan betina, namun dengan penggunaan metode jala
kabut (mist net) perbedaan antara jantan dan betina dapat diketahui. Pencirian
burung jantan terletak di bawah sayap yang hampir tidak pernah tertangkap oleh
penglihatan kita. Jantan memiliki warna jingga pada bagian ketiak, sedangkan
betina tidak memiliki warna tersebut (Gambar 10).

B. Arachnothera longirostra
B. Warna orange pada ketiak jantan
Gambar 10. Burung A. Pijantung Kecil (Arachnothera longirostra) dan B. Warna
jingga pada ketiak jantan.

19
Cabai Merah (Dicaceum cruentatum) merupakan burung dari famili
Dicaeidae. Jantan memiliki ciri utama berupa mahkota, punggung dan tunggir
merah. Bagian sayap dan ekor hitam serta tubuh bagian bawah putih. Betina
memiliki ciri utama kepala hitam, ekor dan tunggir berwarna merah.
Cinenen Kelabu (Orthotomus ruficeps) merupakan burung dari famili
Sylviidae. Jantan memiliki ciri utama berupa kepala, dagu, kerongkongan dan pipi
merah karat serta paruh hitam. Bulu berwarna abu-abu dan perut putih. Betina
memiliki ciri utama kepala merah muda, pipi dan kerongkongan putih serta paruh
coklat.
Rasio jenis kelamin burung hanya ditentukan pada spesies jantan dan
betina burung yang memiliki spesies sexual dichromatism (perbedaan warna
antara jantan dan betina). Selain itu pada burung yang tidak memiliki perbedaan
warna ataupun bentuk dapat ditentukan jenis kelamin dari burung tersebut dengan
menentukan bentuk kloaka dan posisi telur di oviduct burung tersebut (Lowe
1989), namun pada hal ini tidak dilakukan karena memfokuskan pada rasio jenis
kelamin burung yang memiliki perbedaan warna pada jantan dan betina. Rasio
jenis kelamin merupakan perbandingan antara jumlah individu jantan dengan
betina dari suatu populasi (Alikodra 2010).
Tujuh spesies memiliki perbandingan nilai rasio jenis kelamin betina lebih
besar dibandingkan jantan yakni pada spesies Delimukan Zamrud (Chalcophaps
in