KOMUNITAS BURUNG DI DAERAH GUNUNG TUJUH DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT (TNKS).

KOMUNITAS BURUNG DI DAERAH GUNUNG TUJUH DALAM KAWASAN
TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT (TNKS)

SKRIPSI SARJANA BIOLOGI

OLEH :

PEKKI JHONSEN
BP. 09 10 423 090

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2013

ABSTRAK

Penelitian mengenai komunitas burung di Gunung Tujuh dalam Kawasan Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dilakukan pada bulan Januari sampai Juli 2013 di Desa
Sungai Jernih, Kecamatan Kersik Tuo, Kabupaten Kayu Aro, Propinsi Jambi. Tujuan

dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi dan struktur komunitas burung di
daerah tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penangkapan dengan jaring kabut
dan metode observasi secara langsung di lokasi hutan pegunungan dan kebun rakyat.
Dari hasil pengamatan ditemukan 26 jenis burung yang tergolong ke dalam 11 famili
dan satu ordo yaitu Ordo Passeriformes. Kelimpahan relatif burung yang paling tinggi
adalah Stachyris nigriceps di hutan pegunungan (40%) dan di kebun rakyat (46%).
Indeks keanekaragaman burung (H’) dan indeks kesamaan jenis burung (IS) pada kedua
lokasi pengamatan tergolong dalam kategori rendah. Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa konversi hutan ke bentuk lain dapat ditoleransi hanya oleh beberapa spesies ini.

ABSTRACT

A study on bird community at Gunung Tujuh, Kerinci Seblat National Park Sumatera
from January to February 2013. The aims of this study were to describe composition and
structure of the bird community and compare between forest and agroforestry habitats.
This study used mist net and direct observation to find out the birds lived within the two
habitats. The results found 84 individuals which belong to 26 species, 11 families and
one order (Passeriformes). Stachyris nigriceps showed the highest relatif abundance
within both forest (40%) and agroforestry (46%) habitats. Species diversity within the
two locations and their similarity were low. Those results suggest that forest convertion

could be tolerabled by particular species.

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Burung mempunyai ciri-ciri khusus dan keunikan yang membedakannya dengan jenis
burung yang lain, dimana morfologi burung memiliki daya tarik tersendiri seperti pola
warna pada tubuh dan suara. Keberadaan burung tidak terlepas dari kehidupan manusia,
mulai dari dahulu kala sampai saat ini. Burung mempunyai peranan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia seperti acara ritual kebudayaan, hewan peliharaan hingga
menjadi lambang suatu negara. Di alam, burung membantu penyebaran biji tumbuhan,
pengontrol hama, penyerbukan bunga serta menduduki tingkat teratas dalam rantai
makanan (Kristanto dan Momberg, 2008).
Interaksi dalam komunitas burung dapat mempengaruhi ekosistem pada suatu
daerah. Penelitian tentang burung merupakan hal yang sangat menarik karena burung
bersifat dinamis dan mampu menjadi indikator perubahan lingkungan dimana burung itu
berada. Hal ini dikarenakan burung adalah vertebrata yang mudah terlihat secara umum,
mudah diidentifikasi dengan distribusinya yang luas. Namun, dalam pengelolaan dan
konservasinya cenderung tidak banyak dilakukan pada kawasan dimana kelimpahan
burungnya tinggi (Bibby, 2000).

Daftar Burung Indonesia (DBI) nomor 2 mencatat 1598 jenis burung yang
ditemukan di wilayah Indonesia. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara nomor 4
terkaya di dunia dengan jumlah jenis burung setelah Columbia, Brazil dan Peru.
Sebanyak 372 jenis merupakan jenis burung endemik dan 149 jenis adalah burung

migran. Ironisnya, di Indonesia juga tercatat 118 jenis burung terancam punah menurut
IUCN Red list (Sukmantoro, Irham, Novarino, Hasudungan, Kemp, Muchtar, 2007).
Pulau Sumatera memiliki keanekaragaman jenis burung yang tinggi. Catatan
survei menunjukkan bahwa pada beberapa habitat selain hutan seperti tempat terbuka
atau pekarangan yang ditumbuhi berbagai macam pepohonan, dan kawasan agroforest
terdapat 147 jenis burung di Bungo, 76 jenis burung di Batang Toru, 52 jenis burung di
agroforest kopi, 46 jenis burung pada agroforest karet di Sumalungun. Komposisi
kelimpahan jenis burung pada setiap habitat ini menjadi perhatian yang serius karena
komposisi ini berkaitan erat dengan perannya dalam keseimbangan ekosistem (Ayat,
2011).
Burung memiliki nilai estetika yang tinggi yang dapat dinikmati secara langsung
di habitat aslinya, baik keindahan bulu, suara maupun tingkah lakunya. Namun,
perubahan habitat yang terjadi akibat pengelolaan oleh manusia dapat mempengauhi
keanekaragaman burung, sehingga burung dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator
untuk menentukan pencemaran dan tingkat kerusakan suatu kawasan (Balen dan

Prentice, 1997).
Dalam suatu kawasan, habitat jelas merupakan bagian terpenting bagi distribusi
dan jumlah burung. Pertumbuhan populasi manusia dengan berbagai aktifitasnya telah
menyebabkan penurunan populasi burung bahkan banyak diantaranya yang terancam
punah pada habitat yang mengalami perubahan ekosistem (Ajie, 2009). Oleh sebab itu,
perlu adanya kawasan konservasi Sumatera untuk meminimalisir terjadinya degradasi
habitat yang mengakibatkan dampak yang sangat besar terhadap satwa di dalam habitat

tersebut. Salah satu kawasan konservasi itu adalah Taman Nasional Kerinci Seblat
(TNKS).
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan kawasan pelestarian alam
dengan luas sekitar 1,4 juta hektar. Kawasan ini memanjang 350 km dari barat laut ke
tenggara dengan lebar rata-rata 50 km terbentang di empat provinsi dan 13 kabupaten
serta 2 pemerintah kota di bagian tengah pengunungan bukit barisan, Sumatera. Dalam
kawasan ini terdapat 4000 jenis tumbuh-tumbuhan, 370 jenis burung, 90 jenis mamalia
termasuk diantaranya 8 jenis primata dan berbagai jenis reptil, pisces, amphibi, maupun
insecta (Taman Nasional Kerinci Seblat, 2000).
Namun demikian, intervensi manusia yang berlebihan seringkali menyebabkan
terancamnya keanekaragaman hayati tersebut. Permasalahan sosial ekonomi masyarakat
di sekitar wilayah TNKS cenderung meningkat yang ditunjukkan oleh aktifitas

pembukaan lahan, perburuan satwa, pengambilan kayu dan hasil hutan lainnya (Panji,
Purwadi, dan Sungkono, 2001).
Penelitian tentang komunitas burung di Gunung Tujuh sudah pernah dilakukan
sebelumnya oleh Novarino pada tahun 1994. Akibat intervensi masyarakat sampai saat
ini, semakin besar perubahan vegetasi yang terjadi seiring banyaknya hutan yang
terdegradasi. Maka perlu penelitian ini dilakukan untuk survey dan monitoring lebih
lanjut. Informasi mengenai komunitas burung yang terdapat di kawasan Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS) diharapkan menjadi referensi yang dapat membantu pengelola
dalam menyusun rencana pengelolaan kawasan TNKS demi menjaga dan meningkatkan
kelestarian alam.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian
ini adalah bagaimana struktur komunitas burung di hutan pegunungan Gunung Tujuh,
kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui komposisi burung di Gunung Tujuh, kawasan Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Propinsi Jambi.

2. Untuk mengetahui struktur komunitas burung di Gunung Tujuh, kawasan Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Propinsi Jambi.

1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan mengenai
komunitas burung di Gunung Tujuh dan membantu dalam rencana penyusunan
pengelolaan kawasan TNKS yang lebih baik di masa mendatang.