21
bila mereka mengamati perilaku-perilaku tertentu. Kepemimpinan karismatik mungkin tidak selalu diperlukan untuk mencapai tingkat kinerja karyawan
yang tinggi. Mungkin paling tepat bila tugas dari pengikut memiliki suatu komponen ideologis atau bila lingkungan melibatkan satu tingkat stress dan
ketidakpastian yang tinggi. b.
Teori Kepemimpinan Transformasional Teori yang menyatakan bahwa pemimpin memberikan pertimbangan dan
ransangan intelektual yang diindividualkan dan yang memiliki karisma. c.
Teori Kepemimpinan Transaksional Merupakan teori yang menyatakan bahwa pemimpin memandu atau
memotivasi pengikut mereka dalam arah tujuan yang ditegakkan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas.
d. Teori Kepemimpinan Visioner Visionary Leadership
Teori dimana pemimpin memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengkomunikasikan visi yang realistis, dapat dipercaya, dan menarik
mengenai masa depan bagi suatu organisasi atau unit organisasi, yang tumbuh dan menjadi semakin baik di masa sekarang.
2.1.3 Gaya Kepemimpinan
Dalam mensukseskan kepemimpinan dalam organisasi, pemimpin perlu memikirkan dan memperlihatkan gaya kepemimpinan yang akan diterapkan
kepada pegawainya Mulyadi dan Rivai, 2009. Stoner, et al. 1995 memberikan definisi tentang gaya kepemimpinan yaitu berbagai pola tingkah laku yang disukai
oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja. Paul
22
Hersey dan K. H Blanchard, 1982 dalam Marcian 2008 menyebutkan gaya kepemimpinan adalah pola perilaku yang dilakukan oleh seseorang pada waktu
tertentu dan berupaya mempengaruhi aktivitas orang lain. Menurut Umar 2004 gaya kepemimpinan adalah suatu cara atau teknik seseorang dalam menjalankan
suatu kepemimpinan dan dapat pula diartikan sebagai norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku
orang lain seperti yang ia lihat, dalam hal ini usaha menselaraskan persepsi diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan yang akan dipengaruhi
menjadi amat penting. Gaya atau caranorma perilaku yang dipergunakan oleh sesorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain
seperti yang ia inginkan, menurut Miftah Thoha 1994, disebut gaya kepemimpinan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan
yaitu pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan pemimpin, dengan menyatukan tujuan atau sasaran yang telah menjadi komitmen bersama
Abdilah, 2011.
2.1.4 Pemahaman Budaya 2.1.4.1 Budaya
Setiap kelompok masyarakat tertentu akan mempunyai cara yang berbeda dalam menjalani kehidupannya dengan sekelompok masyarakat yang lainnya.
Cara-cara menjalani
kehidupan sekelompok
masyarakat dapat
didefinisikansebagai budaya masyarakat tersebut. Satu definisi klasik mengenai budaya adalah sebagai berikut: budaya adalah seperangkat pola perilaku yang
secara sosial dialirkan secara simbolis melalui bahasa dan cara-cara lain pada
23
anggota dari masyarakat tertentu Wallendorf Reilly dalam Mowen, 1995. Di l
ain sisi budaya menurut Tyler dalam Mowen, 1995 merupakan “a complex whole which includes knowledge, belief, art, law, morals, customs, and any other
capabilities and habits acquired by man as a member of society ”.
Ada pula definisi yang menyatakan bahwa budaya adalah pola utuh prilaku manusia dan produk yang dihasilkannya yang membawa pola pikir, pola
lisan, pola aksi, dan artifak, dan sangat tergantung pada kemampuan seseorang untuk belajar, untuk menyampaikan pengetahunnya kepada generasi berikutnya
melalui beragam alat, bahasa, dan pola nalar. Kedua definisi tersebut menyatakan bahwa budaya merupakan suatu kesatuan utuh yang menyeluruh, bahwa budaya
memiliki beragam aspek dan perwujudan, serta bahwa budaya dipahami melalui suatu proses belajar Keyong, 2010
Definisi di atas menunjukkan bahwa budaya merupakan cara menjalani hidup dari suatu masyarakat yang ditransmisikan pada anggota masyarakatnya
dari generasi ke generasi berikutnya. Proses transmisi dari generasi ke generasi tersebut dalam perjalanannya mengalami berbagai proses distorsi dan penetrasi
budaya lain. Hal ini dimungkinkan karena informasi dan mobilitas anggota suatu masyarakat dengan anggota masyarakat yang lainnya mengalir tanpa hambatan.
Interaksi antar anggota masyarakat yang berbeda latar belakang budayanya semakin intens. Oleh karena itu, dalam proses transmisi budaya dari generasi ke
generasi, proses adaptasi budaya lain sangat dimungkinkan. Misalnya proses difusi budaya populer di Indonesia terjadi sepanjang waktu. Kita bisa melihat
bagaimana remaja-remaja di Indonesia meniru dan menjalani budaya populer dari negara-negara Barat, sehingga budaya Indonesia sudah tidak lagi dijadikan dasar
24
dalam bersikap dan berperilaku. Proses seperti inilah yang disebut bahwa budaya mengalami adaptasi dan penetrasi budaya lain. Dalam hal-hal tertentu adaptasi
budaya membawa kebaikan, tetapi di sisi lain proses adaptasi budaya luar menunjukkan adanya rasa tidak percaya diri dari anggota masyarakat terhadap
budaya sendiri. Agar budaya terus berkembang, proses adaptasi seperti dijelaskan di atas
terus perlu dilakukan. Paradigma yang berkembang adalah bahwa budaya itu dinamis dan dapat merupakan hasil proses belajar, sehingga budaya suatu
masyarakat tidak hadir dengan sendirinya. Proses belajar dan mempelajari budaya sendiri dalam suatu masyarakat disebut enkulturasi enculturati. Enkulturasi
menyebabkan budaya masyarakat tertentu akan bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya sebuah masyarakat yang cenderung sulit
menerima hal-hal baru dalam masyarakat dan cenderung mempertahankan budaya lama yang sudah tidak relevan lagi disebut sebagai akulturasi acculturation.
Budaya yang ada dalam sekelompok masyarakat merupakan seperangkat aturan dan cara-cara hidup. Dengan adanya aturan dan cara hidup anggota
dituntun untuk menjalani kehidupan yang serasi. Masyarakat diperkenalkan pada adanya baik-buruk, benar-salah dan adanya harapan-harapan hidup. Dengan
aturan seperti itu orang akan mempunyai pijakan bersikap dan bertindak. Jika tindakan yang dilakukan memenuhi aturan yang telah digariskan, maka akan
timbul perasaan puas dalam dirinya dalam menjalani kehidupan. Rasa bahagia akan juga dirasakan oleh anggota masyarakat jika dia mampu memenuhi
persyaratan-persyaratan sosialnya. Orang akan sangat bahagia jika mampu bertindak baik menurut aturan budayanya. Oleh karena itu, budaya merupakan
25
sarana untuk memuaskan kebutuhan anggota masyarakatnya. Kebudayaan, menurut Soemardjan, 2010 adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
Mengacu pendapat tersebut, maka karya masyarakat akan menghasilkan teknologi dan kebudayaan yang berwujud benda, misalnya rumah, makanan, senjata,
pakaian dan sebagainya. Budaya kerja biasanya didapatkan disekolah ketika kita remaja, sedangkan
budaya organisasi didapatkan pada tahap akhir setelah kita menjadi karyawan dari sebuah perusahaan, biasanya pada saat dewasa. Dalam proses pembelajaran, nilai
dikembangkan lebih awal untuk memainkan peran dalam proses penyeleksian dan nilai apa saja yang diterapkan Frits, 2002. Menurut Hofstede, 2005 budaya
dapat diterapkan dalam beberapa cara yaitu: a.
Symbols merupakan kata-kata, gambar, gerak tubuh atau objek yang membawa arti tertentu, hanya diakui oleh mereka yang berbagi budaya. Kata-
kata dalam bahasa atau jargon termasuk dalam kategori ini. Simbol dimasukkan ke dalam lapisan, terluar dangkal.
b. Heroes, mengacu pada manusia, kematian, kenyataan atau imajiner, memiliki
karakter yang mulia dan sangat dipuji dalam suatu budaya dan dengan demikian menjadi teladan dalam budaya tersebut.
c. Rituals adalah kegiatan kolektif secara teknis berlebihan dalam mencapai
tujuan yang diinginkan, tetapi yang dalam suatu budaya, dianggap sebagai sosial penting misalnya tata cara berbicara dan menghormati orang lain.
d. Value mengacu pada manifestasi terdalam, atau inti dari budaya. Nilai adalah
kecenderungan yang luas untuk memilih negara tertentu melebihi
26
kecenderungannya dengan negara lain. Mereka adalah hal pertama anak-anak belajar tanpa disadari.
Dalam keanekaragaman budaya terjadi perbedaan karakter, nilai hidup, dll, sehingga mengelola perbedaan merupakan hal penting galam berhubungan dengan
pihak lain. Mengelola perbedaan berarti memungkinkan semua karyawan untuk mewujudkan potensi-potensinya secara maksimum. Hal itu menitikberatkan
kepada perubahan budaya dan infrastruktur organisasi sedemikian rupa sehingga karyawan dapat memberikan hasil produktivitas karyawan yang maksimal. Dasar
pemikiran rasional untuk mengelola perbedaan terletak pada hasil legal, sosial, dan moral. Secara sederhana, alasan utama untuk mengelola perbedaan adalah
kemampuan untuk membangun dan memelihara usaha dalam lingkungan yang kompetitif. Hal ini menjelaskan bahwa pentingnya perusahaan untuk mengelola
perbedaan dengan pertama kali meninjau ulang trend demografi yang menimbulkan adanya perbedaan diantara tenaga kerja. Robert, 2005
2.1.4.2 Budaya Nasional
Budaya nasional merupakan pedoman dasar bagi karyawan untuk memahami pekerjaan, dan pendekatan untuk melakukan pekerjaan serta harapan
karyawan untuk diperlakukan. Budaya nasional memiliki arti bahwa suatu cara bertindak tertentu lebih disukai karena dinggap cocok dengan nilai-nilai budaya
daripada yang lain. Bila praktek manajemen. Tidak sesuai dengan budaya nasional yang telah dipercaya dan dianut, karyawan akan merasa tidak enak, tidak puas,
tidak berkomitmen dan tidak menyukai. Karyawan akan merasa tidak suka atau terganggu bila diminta oleh manajemen untuk bertindak yang tidak sesuai dengan
nilai- nilai budayanya. Mas’ud, 2002.
27
Budaya merupakan sesuatu yang seharusnya dipelajari dan bukan untuk diwariskan Hofstede, 2005. Nilai yang mendalam akan mewakili perasaan yang
luas mengenai kebaikan dan kejahatan, keindahan dan kejelekan, rasional dan irrasional. Praktek yang diperkenalkan biasanya melalui manusia, misalnya
kebiasaan kolektif disajikan dalam sesuatu yang terlihat seperti pakaian, bahasa, dan jargon, simbol status, kriteria promosi, tata cara pertemuan, gaya komunikasi,
dan banyak lagi. Nilai-nilai dan praktek baik milik perangkat lunak suatu budaya, ada juga hardware dalam bentuk bangunan, perlatan kantor, dan jenis kendaraan
yang mencerminkan karakteristik budaya. Budaya nasional memiliki komposisi tingkat nilai lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat prakteknya, sedangkan budaya organisasi memiliki tingkat praktek yang lebih beragam dibandingkan tingkat nilainya. Budaya
nasional adalah program yang pertama yang tertanam kedalam diri kita, nilai merupakan komponen terdalam dari program tersebut. Pada saat kita dewasa
biasanya nilai-nilai sudah tertanam dengan baik sehingga sulit berubah. Sistem bangsa telah diperkenalakan diseluruh dunia pada pertengahan
abad ke duapuluh, diikuti dengan sistem kolonial yang telah dikembangkan tiga abad sebelumnya. Dalam periode kolonial, kemajuan teknologi negaranegara
Eropa Barat yang hanya disebarkan pada negara-negara mereka saja, sehingga mereka membagi seluruh territorial wilayah didunia yang tidak memiliki kekuatan
politik. Batas wilayah antara sebelum kolonial dan sesudah kolonial ditentukan oleh para penguasa kolonial dibanding dengan penduduk setempat. Oleh karena
itu, bangsa tidak dapat disamakan dengan masyarakat hisoris. Bentuk-bentuk asli yang telah dikembangkan organisasi sosial, sebenarnya merupakan konsep
28
kebudayaan umum yang berlaku untuk seluruh masyarakat, dan bukan untuk bangsa. Namun, banyak negara yang keutuhan historisnya dikembangkan bahkan
bila dalam negara tersebut terdiri-dari kelompok yang berbeda, mereka akan menjadi kelompok minoritas yang kurang terintergrasi. Dalam bangsa yang telah
ada selama beberapa waktu ada kekuatan yang kuat terhadap intergrasi secara berkelanjutan. Hal ini bisa dalam bentuk bahasa nasional yang dominan, media
massa umum, sistem pendidikan nasional, tentara nasional, sistem politik nasional, representasi nasional di acara olahraga dengan simbolis yang kuat dan
emosional.
2.1.4.3 Dimensi Keragaman Kultural untuk Mengkaji Perbedaan Budaya
Perbedaan budaya di antara komunitas perusahaan inti dan komunitas petani plasma dijelaskan dengan bertolak dari adanya pergulatan di antara dua
prinsip yang disebut sebagai perekonomian dualistik. Pergulatan ini berakar dari pertentangan antara kapitalisme barat yang modern dan tradisi pra-kapitalis.
Kapitalisme barat yang modern, muda, dan agresif yang dibangun di kota besar berhadapan dengan tradisi pra-kapitalis yang tua yang berada di pedesaan Boeke,
1983:11. Menurut Boeke 1983:11, dalam situasi dualistik terdapat dua
karakteristik yang berbeda dalam konteks sosial ekonomi. Satu sisi merupakan golongan masyarakat yang memiliki ikatan sosial asli dan organis, sistem
kesukuan tradisional, kebutuhan yang sifatnya terbatas dan bersahaja, serta prinsip produksi pertanian yang sifatnya subsisten. Sisi lainnya adalah masyarakat yang
berorientasi keuntungan, bersaing usaha yang terorganisasikan, profesional,
29
bertumpu pada kapitalisasi dan industri mekanis, serta memandang rendah dorongan atau motif ekonomi yang dikaitkan dengan motif sosial, etika, adat,
tradisi, suku, agama, dan sebagainya. Dalam kehidupan pertanian, kapitalisme diasosiasikan dengan farmer yang berciri kota, sementara prakapitalisme
diasosiasikan dengan peasant yang berciri desa. Dalam kerangka ini peasant merupakan masyarakat yang 1 hidup dari
mengolah tanah, 2 hidup menetap dalam komunitas pedesaan, 3 menggunakan teknologi pertanian, seperti pacul, bajak, dan garu untuk melakukan produksi
pertanian, 4 memiliki hubungan dengan kota. Selain itu juga mengolah tanah untuk tujuan subsistensi.
Kroeber dalam Foster 1967:2 mengemukakan bahwa peasant merupakan bagian masyarakat dari suatu budaya yang hidup dalam kaitannya dengan pasar
dan pusat kota. Golongan masyarakat ini tidak lagi terisolasi, namun masih memegang nilai tradisional. Sementara itu menurut Firth Marzali, 1998:85,
sistem ekonomi peasant adalah sistem ekonomi yang menggunakan ketrampilan dan pembagian kerja sederhana, memiliki keterbatasan akses ke pasar, alat
produksi dikuasai dan diorganisasikan secara nonkapitalistik, skala produsen tergolong kecil dengan hubungan produksi bersifat lebih personal, dan perhatian
terhadap aspek sosial dan keagamaan lebih diutamakan daripada aspek materi. Menurut Wolf 1983:2, peasant merupakan orang desa yang bercocok tanam dan
berternak di daerah pedesaan. Usaha tani tersebut tidak dilakukannya sebagai petani farmer atau pengusaha pertanian agricultural enterpreneur karena tidak
dilakukan sebagai kegiatan bisnis untuk meraih keuntungan ekonomis, namun dilakukan dalam kerangka pengelolaan rumah tangga.
30
Dalam melakukan produksi pertanian, peasant harus mengarahkan kegiatannya untuk melayani keluarga dan masyarakat. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Diaz 1967:50, yaitu bahwa peasant sebagai man economic harus mengarahkan aktivitasnya dalam dua ruang, yakni ruang keluarga dan ruang
masyarakat. Perhatian peasant terhadap keluarga dan masyarakatnya dikemukakan pula oleh Popkins 1979:28, yaitu bahwa pihak-pihak yang menjadi perhatian
utama peasant adalah diri sendiri, keluarga, tetangga, dan komunitas desanya. Di dalam ruang keluarga maupun ruang masyarakat, peasant memberi dukungan
dengan produksi usaha tani yang dilakukan dalam kondisi kesederhanaannya dengan teknologi non-industri dan bertumpu pada rumah tangga household
based, serta produksi pertanian berorientasi subsistensi Elson, 1997:xix. Menurut Scott 1981:7, usaha subsistensi adalah usaha tani yang mengutamakan
keamanan safety first. Dalam kehidupan tertib sosial masyarakat, peasant perlu selalu menjaga relasi antarrumah tangga dan memelihara keseimbangan antara
kepentingan keluarga dan masyarakat yang dapat mengikat peasant dengan masyarakat yang lebih luas. Menurut Wolf 1983:170, dalam kerangka ini
upacara atau ritual memiliki suatu fungsi melegetimasi unit sosial dan relasi di antara sesama warga desa. Selain itu dari sudut komunikasi sosial, hal ini dapat
mengukuhkan eksistensi peasant dalam komunitasnya. Sebagai produsen pertanian berskala kecil, tindakan dan pilihan petani selalu dikaitkan dengan
sumber daya alam, seperti tanah, air, iklim, dan matahari. Dengan demikian peasant memiliki hubungan yang kuat dengan sistem ekologis Weizt 1971:19.
Kuatnya pertalian peasant dengan kondisi ekologis menciptakan pula prosedur dalam melakukan usaha tani. Keadaan ini menyebabkan petani akan sangat
31
berhati-hati dalam menerima introduksi teknologi baru. Dalam pandangan peasant, perubahan teknologi sekecil apapun akan membawa pada konsekuensi
yang tidak terantisipasi yang dapat mengancam sistem produksi pertanian Weitz, 1971:9.
Dalam menerima teknologi baru yang berimplikasi adanya prosedur yang berbeda dengan kebiasaan bertani, petani menggunakan pola pikir safety first
demi keamanan subsistensinya. Analisis Scott 1981:3 menemukan bahwa etika subsistensi di kalangan petani Asia Tenggara merupakan akibat dari kehidupan
petani yang dekat dengan garis batas yang merupakan garis antara keamanan dan risiko Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa dalam perspektif moral ekonomi
petani, peasant merupakan golongan petani yang selalu menentang risiko. Soekartawi 2003:173 mengemukakan bahwa agribisnis terdiri dari petani
yang selalu melakukan upaya memaksimalkan pendapatan dengan penguasaan sumber daya yang terbatas. Adapun cirinya, pertama, cepat mengadopsi inovasi
sehingga digolongkan sebagai pengadopsi awal early adopters. Kedua, memiliki derajat kosmopolitan yang tinggi. Ketiga, memiliki keberanian menanggung risiko
dalam berusaha tani. Keempat, memiliki sikap mau dan kemampuan mencoba teknologi baru yang ditunjang oleh sumber daya yang memadai. Slamet 2003:16
mengemukakan bahwa untuk peningkatan produksi dalam pembangunan pertanian diperlukan teknologi maju. Oleh karena itu petani perlu mengadopsi
teknologi maju. Dalam perspektif penyuluhan pembangunan, petani maju adalah petani yang memiliki kemampuan untuk memerankan diri sebagai warga negara
yang baik sesuai dengan profesinya, dan sanggup berswadaya untuk meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakatnya Slamet, 2003:18.
32
Pambudy 2003:235 mengemukakan bahwa seorang usahawan agribisnis merupakan orang yang mampu untuk menyelesaikan proses dari menghasilkan ide
kreatif, inovasi, hingga menghasilkan produk barang atau jasa untuk dapat dipasarkan dengan keuntungan yang memadai. Selain sebagai petani komersial
berbudaya industri, farmer juga dapat digolongkan sebagai petani modern. Menurut Suriasumantri 2000:384, masyarakat modern yang urban memiliki
indikator sebagai berikut, pertama, bersifat analitik. Di samping itu, sebagian besar aspek kehidupannya dilandaskan pada asas efisiensi secara teknis maupun
ekonomis. Indikator ini menempatkan nilai teori dan nilai ekonomi pada posisi penting. Nilai teori terkait dengan aspek penalaran, ilmu, dan teknologi,
sedangkan nilai ekonomi berpusat pada penggunaan sumber dan benda ekonomi secara efektif dan efisien berlandaskan perhitungan yang bertanggung jawab.
Sementara itu pengambilan keputusan berlandas pada argumentasi kuat. Kekuatan berpikir bersifat dominan yang mengabaikan penarikan kesimpulan dari intuisi,
perasaan, dan tradisi. Kedua, bersifat individual. Nilai sosial dan kekuasaan dalam kerangka ini harus berorientasi pada kepercayaan diri sendiri serta keberanian
untuk mengambil keputusan sendiri. Hubungan antarmanusia bersifat individual, sementara untuk mempertahankan hidup seseorang harus mampu bersaing secara
produktif. Perbedaan budaya lainnya dari peasant dan farmer lainnya dapat dikaitkan dengan dikotomi budaya yang dapat dijelaskan dengan konsep orientasi
nilai dari Kluckhohn dan Strodtbeck, individualisme-kolektivisme, variabilitas budaya Hofstede, Pola-pola Parsons, dan keketatan Struktral.
33
A. Orientasi Nilai dari Kluckhohn-Strodtbeck
Kluckhohn-Strodtbeck memunculkan dimensi orientasi nilai. Dimensi ini terdiri dari orientasi sifat manusia, orientasi sifat orang, oientasi waktu, aktivitas,
dan orientasi relasional Gudykunst dan Kim, 1997:78. Dimensi pertama adalah orientasi sifat manusia yang terkait dengan sifat bawaan. Dalam dimensi ini,
manusia dipandang baik atau jahat atau campuran antara baik dan jahat yang merupakan pembawaan sejak lahir. Dimensi kedua, orientasi relasi manusia dan
alam. Ada tiga jenis relasi, yaitu takluk, menyelaraskan, dan mengendalikan. Dimensi ketiga, orientasi waktu. Dalam dimensi ini, kehidupan manusia dapat
berfokus pada masa lalu, masa kini, atau, masa depan. Orientasi yang kuat terhadap masa lalu cenderung menonjol pada kelompok budaya yang
menempatkan tradisi dalam posisi yang utama, seperti pemujaan pada leluhur atau yang memberi tekanan lebih pada kohesivitas keluarga. Dimensi keempat,
orientasi aktivitas. Menurut Kluckhon-Strodtbeck, orientasi aktivitas dapat dipandang sebagai doing, being, dan being-in-becoming. Orientasi doing berfokus
pada jenis aktivitas yang memiliki keluaran eksternal yang dapat diukur. Oleh karena itu aktivitas ini harus nyata. Dalam kerangka ini terdapat pula orientasi
pada capaian hasil. Dimensi kelima, orientasi relasional. Orientasi relasional terkait dengan dimensi individualisme-kolektivisme. Keterkaitan itu adalah karena
cara orang berinteraksi memiliki fokus yang berbeda, yaitu ke arah individualisme atau kolektivisme.
Kluckholn dan Strodtbeck 1961 membandingkan budaya berdasarkan atas beberapa dimensi sebagai berikut :
34
1. Nature of People Karakter dasar manusia
Budaya yang berorientasi pada sifat manusia membagi karakter manusia menjadi: baik, buruk, dan campuran antara baik dan buruk. Masyarakat Barat,
umumnya, memandang manusia memiliki karakter yang baik, sedangkan masyarakat Timur misalnya Cina memandang manusia memiliki sifat baik
atau buruk. Orientasi seperti ini memiliki konsekuensi yang sangat berarti dalam bersikap kepada orang lain, baik dalam aspek kepercayaan atau interaksi
dengan orang lain. 2.
Relationship to The Environment Hubungan dengan alam lingkungan Pada budaya yang berorientasi pada alam, berkaitan dengan cara manusia
memperlakukan lingkungannya. Manusia dapat menguasai atau mengungguli lingkungan, hidup selaras dengan lingkungan, atau menaklukkan subjugate
lingkungannya. Masyarakat Barat berpendirian bahwa mereka dapat mengendalikan lingkungan dan semua kekuatan alam misalnya badai, banjir.
Masyarakat Timur berpendirian bahwa manusia harus hidup selaras dengan lingkungannya dan bahkan memujanya. Orientasi terhadap lingkungan
mempengaruhi sikap manusia terhadap agama, estetika, kepemilikan benda, kualitas hidup, dan hubungan terhadap manusia lainnya.
3. Activity Orientation Orientasi Aktivitas
Orientasi terhadap aktivitas manusia berkaitan dengan sikap manusia terhadap suatu aktivitas atau kegiatan. Ada masyarakat yang berorientasi
“melakukan” doing, misalnya masyarakat Amerika dan Jerman, mereka lebih menekankan kepada aktivitas atau kegiatan, penyelesaian tugas, berkompetisi,
dan pencapaian tujuan. Selain itu ada masyarakat yang berorientasi “menjadi”
35
being. Orang mmelakukan berbagai aktivitas secara spontan, memperturutkan kesenangan,
dan menunjukkan
spontanitasnya sebagai
ekspresi kepribadiannya. Kelompok lainnya adalah kelompok masyarakat yang
berorientasi kepada “the being –in-becoming” yang menjadi. Masyarakat ini lebih tertarik kepada kehidupan spiritual daripada kehidupan material.
4. Time Orientation Orientasi waktu
Orientasi terhadap waktu berkaitan dengan dengan sikap manusia terhadap waktu. Orang dapat memusatkan diri ada masa lampau, saat ini, atau masa
yang akan datang. Masyarakat Barat lebih berorientasi pada masa yang akan datang future. Mereka menganggap bahwa waktu sebagai sesuatu yang harus
dihargai, oleh karena itu harus dipergunakan secara efektif. Sebaliknya, masyarakat Timur, lebih berorientasi kepada masa lalu past dan tradisi.
Mereka memuja leluhur dan memiliki tradisi keluarga yang kuat misalnya masyarakat Jepang dan Cina. Masyarakat yang berorientasi pada waktu
sekarang present, percaya bahwa waktu sangat berarti. Orang Filipina, Meksiko, dan Amerika Latin pada umumnya berorientasi pada waktu saat ini.
5. Focus of Responsibility Fokus tanggung jawab
Orientasi terhadap tanggung jawab pada orang lain merupakan aspek yang sangat penting berkaitan dengan hubungan antar manusia dan paling
membedakan anatara budaya Barat dengan budaya Timur. Kluckhohn Strodtbeck, 1961, dalam Reisinger 2009: 130 menyebutkan tiga jenis
orientasi terhadap orang lain: 1 individualistik tujuan-tujuan individu mengatasi tujuan-tujuan kelompok; 2 collateral individu merupakan bagian
dari suatu kelompok sosial yang diakibatkan oleh hubungan yang diperluas
36
secara menyamping laterally; dan 3 linear mengutamakan keberlanjutan kelompok melalui penggantian waktu.
6. Conception of Space Konsepsi tentang ruang
Konsepsi keruangan menurut kerangka Kluchkohn dan Strodtbeck berhubungan dengan kepemilikan ruang. Beberapa budaya menganggap bahwa
tempat atau ruang harus tetap dijaga sebagai milik pribadi, sementara kebudayaan lain menganggap bahwa sebuah ruangtempat sangat terbuka
bahkan sangat dianjurkan untuk mengembangkan bisnis di publik. Beberapa kelompok masyarakat menggabungkan antara publik dan privat.
Table 2.1 Cultural Orientations and Dimensions
No. Dimensi
Indikator I
Nature of
humans karakter
dasar manusia
GoodEvil: The basic nature of people is essentially good lower score or evil higher score.
ChangeableUnchangeable: The basic nature of humans is changeable higher score from good to
evil or vice versa, or not changeable lower score. II
Relationships among people
focus responsibility
Hubungan dengan
orang lain fokus tangungjawab
Individual: Our primary responsibility is to and for ourselves as individuals, and next for our
immediate families. Collective: Our primary responsibility is to and for
a larger extended group of people, such as an extended family or society.
Hierarchical: Power and responsibility are naturally unequally distributed throughout society; those
higher in the hierarchy have power over and responsibility for those lower.
III Relation
to broad
environment hubungan
dengan lingkungan
Mastery: We should control, direct and change the environment around us.
Subjugation: We should not try to change the basic direction of the broader environment around us,
and we should allow ourselves to be influenced by a larger natural or supernatural element.
Harmony: We should strive to maintain a balance
37 among the elements of the environment, including
ourselves. IV
Activity aktivitas Doing: People should continually engage in activity
to accomplish tangible tasks. Thinking: People should consider all aspects of a
situation carefully and rationally before taking action.
Being: People should be spontaneous, and do everything in its own time.
V Time waktu
Past: Our decision criteria should be guided mostly by tradition.
Present: Our decision criteria should be guided mostly by immediate needs and circumstances.
Future: Our decision criteria should be guided by predicted long term future needs and
circumstances. VI
Space ruang Public: The space around someone belongs to
everyone and may be used by everyone. Private: The space around someone belongs to
that person and cannot be used by anyone else without permission.
Diadopsi dari Kluckholn and Strodbeck 1961 dalam See Lane et al. 2000
B. Variabilitas Budaya Hofstede
Menurut Hofstede 1994:109, ketidakpastian dirasakan dan dipelajari oleh seorang anggota budaya dari warisan budaya yang dipindahkan serta digerakkan
melalui institusi dasar, seperti keluarga dan sekolah. Perasaan itu direfleksikan ke dalam nilai yang dipegang secara kolektif oleh anggota masyarakat, serta
kemudian menuntun pola perilaku kolektif suatu masyarakat yang tidak mudah dipahami oleh masyarakat lainnya.
Para anggota budaya yang berderajat tinggi dalam menghindari ketidakpastian memiliki toleransi yang rendah pada ketidakpastian dan sesuatu
yang sifatnya ambigu. Para anggota dari kelompok budaya ini juga memiliki kebutuhan yang besar akan adanya peraturan formal dan kebenaran mutlak. Selain
itu juga kurang memberi toleransi pada ide atau perilaku yang menyimpang dari
38
peraturan formal. Sementara itu, orang dari kelompok budaya yang memiliki derajat rendah dalam menghindari ketidakpastian akan memiliki karakteristik
yang berlawanan dengan orang-orang yang memiliki derajat tinggi dalam menghindari ketidakpastian.
Dimensi maskulinitas-feminitas Hofstede dalam Ting-Toomey, 1999:72 terkait dengan masyarakat yang dengan jelas membedakan karakteristik peran
jender. Karakteristik seperti laki-laki lebih asertif, keras, dan memiliki fokus pada keberhasilan material, sementara perempuan yang cenderung rendah hati, lembut,
dan berfokus pada kualitas hidup. Hofstede 1994:81 dalam konteks organisasi mengemukakan bahwa pada kutub maskulin, terdapat kesempatan untuk meraih
pendapatan yang tinggi, pengakuan layak yang berkaitan dengan prestasi, kemajuan menuju tataran pekerjaan yang lebih tinggi, serta memiliki tantangan
dalam pekerjaan. Sementara itu pada kutub feminin terdapat relasi kerja yang baik, kerjasama yang baik, dan keamanan dalam melakukan pekerjaan. Suatu hal
lagi yang menjadi pembeda antara budaya maskulin dan feminin adalah pada cara atau proses peranan jender didistribusikan dalam suatu kelompok budaya. Para
anggota budaya maskulin akan berorientasi pada ambisi, benda atau materi, kekuasaan, dan ketegasan, sementara para anggota budaya feminin akan memberi
nilai yang tinggi pada kualitas hidup, pelayanan, perhatian pada orang lain di dalam kelompok, dan pemeliharaan hubungan.
C. Pola-pola Parsons
Dimensi pola-pola Parsons berbentuk dikotomi situasi. Satu sisi dapat dipilih oleh seorang pelaku komunikasi dengan mempertimbangkan konteks
situasinya. Pola ini terdiri dari afektivitas-netralitas afektif, universalisme-
39
partikularisme, ketersebaran-keterkhususan,
askripsi-prestasi, orientasi
instrumental-ekspresif Gudykunst dan Kim, 1997:78. Pertama, afektivitas- netralitas afektif. Orentasi pola ini berkenaan dengan sifat kepuasan yang dicari
oleh manusia. Sisi afektivitas menjadi posisi dari orang yang mencari kepuasan segera dari situasi yang ada. Kedua, universalisme-partikularisme. Orientasi
universalistik berfokus pada kategorisasi orang atau obyek dalam konteks referensi universal, sedangkan orientasi partikularistik berfokus pada kategorisasi
orang atau obyek secara spesifik. Ketiga, ketersebaran-keterkhususan. Orientasi ini berfokus pada cara orang memberi respon pada orang lain. Dengan orientasi
ketersebaran, respon holistik akan diberikan seseorang kepada orang lain, sedangkan orientasi keterkhususan ditampakkan seseorang dengan memberi
respon terhadap orang lain dalam cara yang khusus Keempat, askripsi-prestasi. Orientasi askripsi dari seseorang akan tampak ketika orang tersebut memandang
orang lain. Dengan orientasi askriptif, pandangan seseorang akan bertolak pada prediksi sosiokultural, yakni dalam kerangka keanggotaan orang lain di dalam
kelompoknya, seperti jender, umur, ras, etnik, kasta, dan sebagainya. Sementara orang dengan orientasi prestasi akan mendasarkan prediksi dalam kerangka
prestasi yang dapat diraih orang lain. Kelima, orientasi instrumental-ekspresif. Orientasi instrumental ditampakkan oleh orang dalam interaksinya dengan orang
lain jika interaksi itu merupakan sarana untuk mencapai tujuan lainnya, sedangkan orientasi ekspresif akan tampak pada orang yang interaksinya dengan orang lain
merupakan tujuannya. Keketatan struktural merupakan dimensi yang berfokus pada norma,
aturan, dan batasan yang berlaku pada anggota suatu komunitas. Budaya yang
40
longgar hanya menerapkan sedikit peraturan dan batasan atas perilaku, sementara di dalam budaya yang ketat aturan dan batasan perilaku, norma dan aturan budaya
cenderung jelas dan harus ditaati. Dalam budaya ketat, jika ada anggota komunitas yang melanggar norma dan aturan budaya dikenakan sanksi.
Sebaliknya dalam komunitas budaya longgar, para anggota yang melanggarnya tidak akan dikenai sanksi sekeras pada budaya ketat Gudykunst dan Kim,
1997:81.
2.1.5 Kebudayaan Indonesia