DAFTAR LAMPIRAN

D. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Karakteristik petani dengan tingkat adopsi petani dalam SLI, yaitu pendidikan formal, tingkat pendapatan, luas usahatani, keberanian mengambil resiko, tingkat partisipasi dalam kelompok tani, kekosmopolitan, dan sumber informasi yang dimanfaatkan.

2. Kurun waktu penelitian dilakukan dari bulan Mei hingga bulan Juni 2011.

3. Data SLI yang digunakan yaitu data pelaksanaan SLI yang mulai dilaksanakan dari tahun 2009 dan tahun 2010.

commit to user

1. Pendidikan formal Pendidikan formal, adalah lamanya pendidikan (dalam tahun) yang ditempuh oleh petani responden di bangku sekolah atau lembaga formal. Pendidikan formal dikategorikan dalam 3 kategori yaitu: · Tinggi (≥ 13 tahun) · Sedang/Menengah (7-12 tahun) · Rendah/Dasar (1-6 tahun)

2. Tingkat pendapatan, adalah pendapatan yang diperoleh petani baik melalui kegiatan usahatani maupun non usahatani yang diperoleh petani dalam satu musim tanam dan dinyatakan dalam Rupiah (Rp). Pendapatan dikategorikan dalam 3 kategori yaitu:

· Tinggi (Rp 8.957.410,00- Rp 13.146312,00/rumah tangga/musim tanam) · Sedang (Rp 4.768.505,00- Rp 8.957709,00/rumah tangga/musim tanam) · Rendah (Rp 579.600,00-Rp 4.768.504,00/rumah tangga/musim tanam)

3. Luas usahatani, adalah luas lahan yang diusahakan petani responden baik milik sendiri, menyewa, maupun menyakap yang dinyatakan dalam hektar (Ha) dan dikategorikan dalam 3 kategori yaitu:

· Luas (0,74-1Ha) · Sedang (0,46-0,73Ha) · Sempit (0,18-0,45Ha)

4. Keberanian mengambil resiko, adalah keberanian petani responden menghadapi resiko dalam mengadopsi inovasi dalam Sekolah Lapang Iklim (SLI). Tingkat keberanian mengambil resiko diukur melalui 15 pernyataan yang menjadi indikator dengan tiga pilihan jawaban yang memiliki skor 1 sampai dengan 3. Jumlah total skor masing-masing responden dikategorikan dalam 3 kategori yaitu:

· Berani mengambil resiko (total skor 35-45) · Kurang berani mengambil resiko (total skor 25-34,99) · Tidak ada keberanian mengambil resiko (total skor 15-24,99)

commit to user

mengikuti kegiatan dalam kelompok tani. Tingkat partisipasi dalam kelompok tani diukur melalui 3 pernyataan yang menjadi indikator dengan tiga pilihan jawaban yang memiliki skor 1 sampai dengan 3. Jumlah total skor masing-masing responden dikategorikan dalam 3 kategori yaitu:

· Tinggi ( total skor 7-9) · Sedang (total skor 4,56-6,99)

· Rendah (total skor 3-4,55)

6. Kekosmopolitan adalah frekuensi hubungan petani dengan atau dari luar sistem sosialnya sendiri, yang dilihat dari indikator-indikator frekuensi bepergian ke luar desa dalam hubungannya dengan kegiatan pertanian maupun non pertanian. Tingkat kekosmopolitan diukur melalui 6 pernyataan yang menjadi indikator dengan tiga pilihan jawaban yang memiliki skor 1 sampai dengan 3. Jumlah total skor masing-masing responden dikategorikan dalam 3 kategori yaitu:

· Kosmopolit (total skor 14-18) · Cukup kosmopolit (total skor 10-13,99) · Tidak kosmopolit (total skor 6-9,99)

7. Sumber informasi yang dimanfaatkan, adalah beragam sumber informasi tentang SLI seperti: lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dinas-dinas terkait, media massa, tokoh-tokoh masyarakat maupun lembaga komersial (misalnya pedagang). Pemanfaatan sumber informasi oleh responden dikategorikan dalam 3 kategori yaitu:

· Beragam (memanfaatkan ≥5 sumber informasi) · Cukup beragam (memanfaatkan 3-4 sumber informasi) · Kurang beragam (memanfaatkan 1-2 sumber informasi)

8. Tingkat adopsi komponen dalam SLI merupakan tingkatan sejauhmana petani responden menerapkan komponen kegiatan yang dilakukan dalam SLI. Komponen-komponen SLI tersebut meliputi:

a) Pengetahuan tentang iklim, adalah tingkat pengetahuan petani responden tentang iklim beserta unsur-unsurnya, yaitu:

commit to user

b. Pengetahuan tentang energi panas bumi

c. Pengetahuan tentang Suhu

d. Pengetahuan tentang Curah hujan

e. Pengetahuan tentang pengaruh tekanan terhadap pertunbuhan tanaman Tingkat pengetahuan petani responden diukur melalui 6 pernyataan

yang menjadi indikator dengan tiga pilihan jawaban yang memiliki skor 1 sampai dengan 3. Jumlah total skor masing-masing responden dikategorikan dalam 3 kategori kategori yaitu:

· Tahu

( total skor 14-18)

· Cukup Tahu ( total skor 10-13,99) · Tidak Tahu ( total skor 6-9,99)

b) Penetapan pola tanam, tingkat penerapan pola tanam oleh petani responden menggunakan informasi iklim untuk menetapkan pola tanam, meliputi:

a. Menentukan awal musin tanam dengan indikator pranoto mongso

b. Menentukan awal musin tanam dengan indikator tanaman

c. Menentukan awal musin tanam dengan indikator binatang

d. Menentukan awal musin tanam dengan indikator alam Penetapan pola tanam petani responden diukur melalui 4 pernyataan yang menjadi indikator dengan tiga pilihan jawaban yang memiliki skor 1 sampai dengan 3. Jumlah total skor masing-masing responden dikategorikan dalam 3 kategori kategori yaitu: · Tinggi ( total skor 9,34-12) · Sedang ( total skor 6,67-9,33) · Rendah ( total skor 4-6,66)

c) Pengenalan dan cara penggunaan agen hayati, petani responden mengenal dan menggunakan agen hayati yaitu metharizium. pengenalandalam kelompok tani diukur melalui 3 pernyataan yang menjadi indikator dengan tiga pilihan jawaban yang memiliki skor 1

commit to user

dikategorikan dalam 3 kategori yaitu: · Tinggi ( total skor 7-9) · Sedang (total skor 4,56-6,99)

· Rendah (total skor 3-4,55)

d) Pengelolaan dan pengembangan tanaman, petani responden mengolah tanah secara ideal, menggunakan benih yang bermutu, menetapkan jarak tanam dan pestisida organik. Pengelolaan dan pengembangan tanaman, petani responden diukur melalui 9 pernyataan yang menjadi indikator dengan tiga pilihan jawaban yang memiliki skor 1 sampai dengan 3. Jumlah total skor masing-masing responden dikategorikan dalam 3 kategori kategori yaitu:

· Pengelolaan tepat/tinggi ( total skor 21-27) · Pengelolaan kurang tepat/sedang

( total skor 15-20,99) · Pengeolaan tidak tepat/rendah

( total skor 9-14,99)

commit to user

29

A. Metode Dasar Penelitian

Metode dasar penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang melibatkan lima komponen informasi ilmiah yaitu teori, hipotesis, observasi, generalisasi empiris dan penerimaan atau penolakan hipotesis. Mengandalkan adanya populasi dan teknik penarikan sampel. Kemudian menggunakan kuisioner untuk mengumpulkan datanya. Selanjutya mengemukakan variabel penelitian dalam analisis datanya dan yang terakir berusaha menghasilkan kesimpulan secara umum, baik yang berlaku untuk populasi dan atau sampel yang diteliti (Singgih, 2006 dalam Suyanto dan Sutinah, 2007).

Teknik penelitian yang digunakan adalah teknik survei, yaitu teknik penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data dengan maksud menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis (Singarimbun dan Effendi, 2006).

B. Metode Penentuan Lokasi

Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive yaitu pemilihan lokasi penelitian melalui pilihan-pilihan berdasarkan kesesuaian karakteristik yang dimiliki calon sampel/responden dengan kriteria tertentu yang ditetapkan/dikehendaki oleh peneliti, sesuai tujuan penelitian (Mardikanto, 2001).

Penentuan lokasi penelitian ini di Kabupaten Blora, dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Blora merupakan salah satu kabupaten yang baru melaksanakan SLI mulai tahun 2009 dan tahun 2010, akan tetapi belum diketahui sejauhmana tingkat adopsi petani peserta SLI. Oleh karena itu, peneliti memandang perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan karakteristik petani dengan tingkat adopsi SLI.

commit to user

1. Populasi Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri- cirinya akan diduga (Singarimbun dan Effendi, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah semua petani peserta SLI di Kabupaten Blora meliputi semua petani peserta SLI di Desa Tempuran Kecamatan Blora, semua petani peserta SLI di Desa Wado Kecamatan Kedungtuban, dan semua petani peserta SLI di Desa Jati Kecamatan Jati. Tabel 3.1 Populasi

No. Tahun pelaksanaan SLI Tempat pelaksanaan

Desa Tempuran

Blora

Desa Wado

Kedungtuban

2. 2010

Desa Jati

Jati Sumber: Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Blora Tahun 2010

2. Sampel Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah proportional random sampling yaitu pengambilan responden dengan menetapkan jumlah tergantung besar kecilnya sub populasi atau keompok yang akan diwakilinya (Mardikanto, 2001).

Pengambilan jumlah sampel petani responden secara proporsional digunakan rumus sebagai berikut :

Dimana ni : jumlah petani sampel masing-masing kelompok tani nk : jumlah petani dari masing-masing kelompok tani yang memenuhi

syarat sebagai responden N : jumlah petani dari seluruh populasi n : jumlah petani sampel yang diambil yaitu 45 petani

commit to user

dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 3.2 Petani Sampel

1. Desa Tempuran

25 15

2. Desa Wado

25 15

3. Desa Jati

25 15

Jumlah

75 45 Sumber: Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Blora Tahun 2010

Berdasarkan Tabel 3.2 dimana kseluruhan populasi berjumlah 75 petani responden, kemudian dari tiap sub populasi diperoleh masing-masing 15 responden sehingga jumlah sampel sebanyak 45 petani responden.

D. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dengan teknik wawancara dengan menggunakan kuisioner.

2. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari instansi atau lembaga yang berkaitan dengan penelitian, dengan cara mencatat langsung data yang bersumber dari dokumentasi yang ada.

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data pokok dan data pendukung. Adapun lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

commit to user

Data yang digunakan

Sifat Data

Data Pokok A. Identitas responden

X X Petani

B. Karakteristik petani: 1. Faktor-faktor yang mempngaruhi tingkat adopsi petani:

a. Pendidikan formal b. Tingkat pendapatan c. Luas usahatani d. Keberanian mengambil

resiko

e. Tingkat partisipasi dalam kelompok tani

f. Kekosmopolitan g. Sumber informasi yang

Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani

2. Tingkat adopsi terhadap komponen SLI:

a. Pengetahuan

tentang

iklim

b. Penetapkan pola tanam c. Pengenalan dan cara

penggunaan agen hayati

d. Pengelolaan

dan

pengembangan tanaman

Petani Petani Petani

Data Pendukung A. Monografi Kabupaten B. Data jumlah petani

XX

BPS Dinas

Pertanian Keterangan : Pr : Pimer

Kn: Kuantitatif

Sk : Sekunder Kl :Kualitatif BPS: Badan Pusat Statistik

E. Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik sebagai berikut :

1. Wawancara, yaitu pengumpulan data yang secara langsung melalui tanya jawab dengan responden dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan.

commit to user

pada sasaran penelitian untuk mendapatkan data tertentu.

3. Dokumentasi, yaitu pengambilan data yang diperoleh melalui pencatatan.

F. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui distribusi antara karakteristik petani dengan tingkat adopsi, meliputi pendidikan formal, luas usahatani, pendapatan, keberanian mengambil resiko, kekosmopolitan, tingkat partisipasi petani dalam kelompok, sumber-sumber informasi yang dimanfaatkan dan tingkat adopsi petani SLI digunakan analisis melalui bentuk tabel distribusi frekuensi.

2. Untuk mengetahui tingkat signifikansi hubungan antara karakteristik petani dengan tingkat adopsi yang meliputi pendidikan formal, luas lahan, pendapatan, keberanian mengambil resiko, kekosmopolitan, tingkat partisipasi petani dalam kelompok, sumber-sumber informasi

yang dimanfaatkan dan tingkat adopsi petani SLI digunakan uji korelasi jenjang Spearman (rank Spearman) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Menurut Siegel (1994), rumus koefisien korelasi jenjang sperman (rs) adalah :

r s =1-

di

Keterangan : r s = koefisien korelasi rank spearman

= jumlah sampel petani di = selisih ranking antara karakteristik petani dengan

tingkat adopsi SLI

commit to user

sampel yang diambil lebih dari 10 (N>10) dengan tingkat kepercayaan 95% dengan rumus (Siegel, 1994) :

t= r s 2

2 rs

Kesimpulan : Kriteria pengambilan keputusan :

a) Apabila t hitung > t tabel (µ =0,05), maka Ho ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan antara karakteristik petani dengan tingkat adopsi petani dalam SLI di Kabupaten Blora.

b) Tetapi apabila t hitung ≤t tabel (µ =0,05), maka Ho diterima yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara karakteristik petani dengan tingkat adopsi petani dalam SLI di Kabupaten Blora.

commit to user

A. Keadaan Geografis

Kabupaten Blora merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Kabupaten Blora yang berslogan “Blora Mustika”, secara geografis terletak antara 111 0 16’ sampai dengan 111 0 338’ Bujur Timur di antara 6 0 528’sampai dengan 7 0 248’ Lintang Selatan, jarak terjauh dari barat ke timur sepanjang 47 km dan utara ke selatan sejauh 58 km. Kabupaten Blora dengan luas 182.058,797 Ha terdiri atas lahan sawah sebesar 46.078,236 Ha (25,31 persen) dan sisanya lahan bukan sawah sebesar 74,68 persen. Menurut luas penggunaan lahan, lahan terbesar adalah hutan sebesar 49,66 persen, lahan sawah sebesar 25,31 persen dan tegalan sebesar 14,41 persen. Secara administratif Kabupaten Blora terletak di ujung paling timur Propinsi Jawa Tengah bersama Kabupaten Rembang. Adapun secara rinci batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:

Sebelah utara : Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati, Propinsi Jawa

Tengah

Sebelah timur : Kabupataen Bojonegoro, Propinsi Jawa Timur Sebelah selatan : Kabupaten Ngawi, Propinsi Jawa Timur Sebelah barat

: Kabupaten Grobogan, Propinsi Jawa Tengah Kabupaten Blora terdiri dari 16 kecamatan, yaitu Jati, Randublatung,

Kradenan, Kedungtuban, Cepu, Sambong, Jiken, Bogorejo, Jepon, Blora, Banjarejo, Tunjungan, Japah, Ngawen, Kunduran dan Todanan. Berdasarkan Kantor Pertanahan, ketinggian tanah di Kabupaten Blora berada pada 25 mdpl hingga 500 mdpl. Banyaknya hari dan curah hujan selama tahun 2009 relatif sedikit dibanding dengan tahun sebelumnya. Selama tahun 2009, curah hujan tertinggi di Kecamatan Kunduran sebanyak 2.087 mm, untuk hari hujan terbanyak terdapat di Kecamatan Kedungtuban sebanyak 110 hari. Adapun luas dan ketinggian masing-masing kecamatan dapat dilihat dalam Tabel 4.1.

commit to user

Tahun 2009 Kecamatan

Luas (m 2 )

Ketinggian (mtr dpl) Jati

183,621

40 s/d 500 Randublatung

211,131

40 s/d 500 Kradenan

109,508

25 s/d 500 Kedungtuban

106,858

25 s/d 500 Cepu

49,145

25 s/d 500 Sambong

88,750

40 s/d 500 Jiken

168,167

40 s/d 500 Bogorejo

49,805

100 s/d 500 Jepon

107,724

40 s/d 500 Blora

79,786

40 s/d 500 Banjarejo

103,522

40 s/d 500 Tunjungan

101,815

40 s/d 500 Japah

103,052

40 s/d 500 Ngawen

100,982

40 s/d 500 Kunduran

127,983

40 s/d 500 Todanan

128,739

40 s/d 500 Jumlah

1.820,588

Sumber : Data BPS Kabupaten Blora Tahun 2010 Wilayah kecamatan yang terluas adalah kecamatan Jiken seluas

168,167 m 2 dan kecamatan tesempit adalah kecamatan Cepu seluas 49,145 m 2 . Ketinggian tanah kecamatan memiliki perbedaan, kecamatan Jati, Randublatung, Sambong, Jiken, Jepon, Blora, Banjarejo, Tunjungan, Japah, Ngawen, Kunduran, Todanan berada dalam ketinggian 40 sampai dengan 500 mtr dpl sedangkan kecamatan Kradenan, Kedungtuban dan Cepu berada pada ketinggian 25 sampai dengan 500 mtr dpl, serta kecamatan Bogorejo berada pada ketinggian 100 sampai dengan 500 mtr dpl.

B. Keadaan Penduduk

Keadaan penduduk di suatu daerah menggambarkan kondisi sosial ekonomi penduduk di daerah tersebut. Berikut ini adalah data keadaan penduduk di Kabupaten Blora berdasarkan pada data BPS pada Tahun 2010.

1. Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk di Kabupaten Blora dibedakan menjadi dua macam yaitu kepadatan penduduk geografis dan kepadatan penduduk

commit to user

penduduk dengan luas wilayah per km 2 , sedangkan kepadatan penduduk agraris adalah perbandingan jumlah penduduk dengan luas lahan pertanian. Kabupaten Blora dengan luas 182.058,797 Ha atau seluas

1.820,58 km 2 , sedangkan luas lahan pertanian 135.979,71 Ha . Penduduk Kabupaten Blora berjumlah 858.874 jiwa. Kepadatan penduduk geografis dan agraris adalah sebagai berikut ini.

PendudukGe Kepadata PendudukGe jiwa/km 2

PendudukAg Kepada PendudukAg jiwa/ ha

Berdasarkan perhitungan di atas maka dapat diketahui kepadatan penduduk geografis di Kabupaten Blora sebesar 472 jiwa/ km 2 . Kepadatan penduduk agraris sebesar 6 jiwa/ ha.

2. Keadaan Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

Keadaan penduduk berdasarkan produktivitasnya dapat dilihat dari umur. Penduduk menurut umur dapat digambarkan menurut jenjang yang berhubungan dengan kehidupan produktif manusia penduduk diklasifikasikan sebagai usia belum produktif (0-14 tahun), usia produktif (15-59 tahun), dan usia tidak produktif (berumur lebih dari 60 tahun) (Mantra, 2003). Jumlah penduduk secara keseluruhan di Kabupaten Blora sebanyak 858.874 jiwa, sedangkan jumlah penduduk laki-laki di Kabupaten Blora adalah sebesar 1.032 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 1.014 jiwa.

Adapun klasifikasi penduduk di Kabupaten Blora menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat dari tabel 4.2.

commit to user

Kelamin Tahun 2010

Kelompok Umur

Laki-laki (Jiwa)

Persentase (%)

Perempuan (Jiwa)

Persentase (%)

Total (Jiwa) Persentase (%) 0-4

Sumber : Data BPS Kabupaten BloraTahun 2010 Dari tabel 4.2, mengenai jumlah penduduk menurut umur dan jenis

kelamin di Kabupaten Blora tahun 2010, menunjukkan bahwa presentase penduduk terbesar yaitu pada usia 10-14 tahun, yaitu sebesar 9,44 % atau sejumlah 81.100 jiwa. Umur 10-14 tahun tergolong dalam usia belum produktif dalam pengertian secara umum belum memiliki fisik dan mental untuk mampu bekerja atau berproduktivitas, sehingga penduduk yang belum memasuki usia produktif belum mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan sosial, ekonomi, dan budaya di Kabupaten Blora.

Penduduk yang berusia 60 tahun atau lebih dari 60 tahun sejumlah 82.594 jiwa atau sebesar 9,61 %. Usia tersebut termasuk dalam kategori usia non produktif, sehingga kisaran usia tersebut akan menurunkan kemampuan fisik dan mental untuk mampu bekerja, dengan demikian penduduk dengan kelompok umur tersebut menjadi beban tanggungan bagi kelompok usia produktif.

Data penduduk menurut umur dan jenis kelamin pada Tabel 4.1 dapat digunakan untuk menghitung Angka Beban Tanggungan (ABT) di Kabupaten Blora. ABT adalah perbandingan antara jumlah penduduk usia

commit to user

dengan jumlah penduduk usia produktif (penduduk umur 15-59 tahun). Jumlah penduduk usia non produktif adalah 252.722 jiwa, dan penduduk usia produktif adalah 533.152 jiwa. Perhitungan ABT adalah sebagai berikut:

Berdasarkan perhitungan Angka Beban Tanggungan tersebut diketahui besarnya Angka Beban Tanggungan yaitu sebesar 47,40. Artinya dalam setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 47 penduduk usia non produktif. Angka Beban Tanggungan di Kabupaten Blora tergolong sedang karena dalam 100 penduduk usia produktif harus menanggung 47 penduduk usia non produktif, hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dikatakan cukup. Jumlah penduduk yang produktif atau bekerja lebih banyak daripada jumlah penduduk yang non produktif atau tidak bekerja sehingga penduduk yang produktif harus mampu memenuhi kebutuhannya sendiri maupun kebutuhan bagi usia non produktif yang menjadi tanggungan mereka, baik kebutuhan primer maupun kebutuhan yang lain. Penduduk usia non produktif di Kabupaten Blora umumnya sudah menjadi tanggungan dalam keluarga masing- masing, sehingga hal ini tidak begitu mempengaruhi tingkat kesejahteraan penduduk dari jumlah penduduk usia non produktif atau usia lansia.

3. Keadaan Penduduk Menurut Jenis Kelamin Penduduk Kabupaten Blora berjumlah 858.874 jiwa, yang terdiri dari 425.967 penduduk laki-laki dan 432.907 penduduk perempuan. Berdasarkan angka tersebut, maka dapat dihitung sex ratio. Sex ratio

Penduduk usia non produktif

Penduduk usia produktif

x 100

commit to user

perempuan, Jika sex ratio kurang dari 100 maka jumlah penduduk laki-laki lebih sedikit dari jumlah penduduk perempuan. Jika sex ratio sama dengan 100 maka jumlah penduduk laki-laki sama dengan jumlah penduduk perempuan. Dan jika sex ratio lebih dari 100 maka jumlah penduduk laki- laki lebih banyak dari penduduk perempuan. Adapun perhitungan sex ratio adalah sebagai berikut ini:

= 425.967

432.907

Berdasarkan perhitungan di atas diketahui besarnya sex ratio sebesar

98, artinya dalam setiap 100 orang penduduk laki-laki terdapat 98 orang penduduk perempuan. Jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk laki-laki meskipun dengan selisih yang tidak besar. Apabila angka SR (Sex Ratio) di bawah 100, maka dapat menimbulkan berbagai masalah, dimana berarti di wilayah tersebut kekurangan penduduk laki-laki, sehingga berakibat terjadinya kekurangan tenaga kerja laki-laki untuk melaksanakan pembangunan atau masalah lain yang berhubungan dengan perkawinan. Hal ini dapat terjadi apabila di suatu daerah banyak penduduk laki-laki yang meninggalkan daerah atau kematian banyak terjadi pada penduduk laki-laki (Mantra, 2003).

Angka sex ratio dapat digunakan untuk mengetahui jumlah tenaga kerja yang tersedia. Pada umumnya, pekerjaan di bidang pertanian lebih banyak peran kaum laki-laki, namun tidak menutup kemungkinan kaum perempuan juga berperan dalam bidang pertanian. Umumnya kaum perempuan lebih banyak berperan dalam hal menggarap lahan sawah dengan kecenderungan melakukan pekerjaan yang lebih ringan dari pekerjaan kaum laki-laki, antara lain dengan menanam, menyebar benih

Jumlah penduduk laki-laki

Jumlah penduduk perempuan

x 100

Sex ratio =

x 100 = 98,39 ≈98

commit to user

Kabupaten Blora tidak hanya di sektor pertanian saja melainkan di beberapa sektor seperti industri, pedagang, dan wiraswasta.

4. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan faktor penting dalam menunjang kelancaran pembangunan. Masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi akan mudah untuk mengadopsi suatu inovasi baru sehingga akan memperlancar proses pembangunan. Sebaliknya masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan rendah akan sulit untuk mengadopsi suatu inovasi baru sehingga dalam hal ini akan mempersulit pembangunan. Tingkat pendidikan di suatu wilayah menjadi cerminan seberapa berkembangnya wilayah tersebut, karena biasanya penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima dan menganalisis suatu inovasi. Orang yang berpendidikan cenderung berpikir lebih rasional dan umumnya cenderung menerima adanya pembaharuan. Keadaan penduduk di Kabupaten Blora menurut pendidikan dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 4.3. Keadaan Penduduk menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten

Blora Jenis Sekolah Banyaknya

Sekolah (unit)

Guru/Dosen (Jiwa) Murid(Jiwa) TK/RA

510

940

18.200 SD/MI

2.058 Sumber : Data BPS Kabupaten BloraTahun 2010 Keterangan: TK

:Taman Kanak-kanak

SD

:Sekolah Dasar SLT : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLT : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas PT

: Perguruan Tinggi

commit to user

tingkat pendidikan di Kabupaten Blora menunjukkan bahwa jenis sekolah terbanyak yaitu SD atau MI sebanyak 696 unit. Banyaknya TK sebanyak 510 unit, SLTP sebanyak 124 unit, SLTA sebanyak 63 unit dan Perguruan Tinggi sebanyak 4 unit. Banyaknya Guru pada tingkat SD senbanyak 940 jiwa, selanjutnya banyaknya guru pada tingkat SD/MI sebanyak 8.930 jiwa. Pada tingkat SLTP diketahui banyaknya guru sebanyak 2.620 jiwa, dan banyaknya guru pada tingkat SLTA sebanyak 1.584 jiwa serta banyaknya dosen yaitu 234 jiwa. Banyaknya murid pada tingkat SD senbanyak 18.200 jiwa, selanjutnya banyaknya murid pada tingkat SD/MI sebanyak 93.816 jiwa. Pada tingkat SLTP diketahui banyaknya murid yaitu 39.687 jiwa, dan banyaknya murid pada tingkat SLTA sebanyak 22.959 jiwa serta banyaknya mahasiswa yaitu 2.058 jiwa. Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Blora dapat dikatakan rendah, karena paling banyak penduduk menamatkan sekolah pada tingkat SD. Banyaknya penduduk yang kurang menyadari kebutuhan akan pentingnya pendidikan, akan membuat penduduk untuk tidak menyelesaikan pendidikan sampai tingkat yang tinggi. Tingkat pendidikan masyarakat yang tinggi, akan berpengaruh terhadap sikap mereka terhadap perubahan dalam hal sosial, budaya dan ekonomi serta adanya inovasi yang berkembang di tengah masyarakat.

C. Keadaan Pertanian

Salah satu sektor utama dalam pembangunan di pedesaan adalah sektor pertanian. Keadaan pertanian di Kabupaten Blora meliputi penggunaan lahan pertanian, dan kelembagaan pertanian.

1. Penggunaan Lahan Pertanian Kegiatan pertanian mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan. Kondisi pertanian yang baik harus didukung dengan ketersediaan lahan pertanian yang cukup, inovasi atau teknologi yang tepat guna dan sumber daya manusia yang baik. Luas penggunaan lahan pertanian di Kabupaten Blora dapat dilihat pada Tabel 4.3.

commit to user

2010 Jenis Penggunaan Lahan

Luas (Ha)

Persentase(%)

a. Tanah Sawah

b. Hutan

c. Tegalan

100,0 Sumber: Data BPS Kabupaten Blora Tahun 2010

Penggunaan lahan pertanian di Kabupaten Blora yang terbesar adalah hutan yaitu seluas 90.410,39 Ha yang menghasilkan kayu jati. Luas penggunaan lahan di Kabupaten Blora untuk lahan sawah berpotensi untuk budidaya tanaman padi, sedangkan lahan tegalan seluas 26.234,47 Ha atau sebesar 14,41% umumnya ditanami jagung, kedelai kacang dan kacang hijau.

2. Kelembagaan Pertanian Kelembagaan di bidang pertanian yang ada di Kabupaten Blora yaitu Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) dan Kelompok Tani. Gapoktan merupakan gabungan dari beberapa kelompok tani yang ada di tiap desa.

3. Komoditas Utama Komoditas utama di Kabupaten Blora adalah tanaman pangan meliputi padi dan palawija. Tabel 4.5 Komoditas Utama di Kabupaten Blora Tahun 2007-2009

Jenis Penggunaan Lahan Jumlah (Kwintal)

a. Padi

b. Jagung

c. Kedelai

4.482 Sumber: Data BPS Kabupaten Blora Tahun 2010

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa produksi padi memiliki jumlah terbesar yaitu pada tahun 2008 sebanyak 419.388 kwintal, kemudian jagung pada tahun 2009 sebanyak 329.539 kwintal, dan pada tahun 2008 dihasilkan kedelai sebanyak 11.577 kwintal. Jumlah

commit to user

merupakan komoditas utama untuk kebutuhan pangan sehingga pengembangan budidaya padi perlu lebih ditingkatkan.

D. Sarana Perekonomian

Sarana perekonomian yang terdapat dalam suatu wilayah akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Sarana perekonomian yang terdapat di Kabupaten Blora antara lain PT, CV, PO, Koperasi Unit Desa dan non Koperasi Unit Desa. Berikut adalah sarana perekonomian yang terdapat di Kabupaten Blora. Tabel 4.6 Sarana Perekonomian di Kabupaten BloraTahun 2010

No.

Sarana Perekonomian

3. Koperasi Unit Desa

17

4. Non KUD 496

5. PO 455 Sumber : Data BPS Kabupaten Blora Tahun 2010

Keterangan: PT : Perseroan Terbatas CV : Persekutuan Comanditer PO : Perusahaan Perorangan

Berdasarkan Tabel 4.6 mengenai sarana perekonomian, diketahui Non Koperasi Unit Desa memiliki jumlah terbesar yaitu sebanyak 496. Jumlah PO sebanyak 455, sedangkan CV sebanyak 111, dan PT sebanyak 29, serta Koperasi Unit Desa sebanyak 17. Hal ini menunjukkan bahwa sarana perekonomian yang terdapat di Kabupaten Blora cukup tersedia. Sarana- sarana perekonomian tersebut bertujuan untuk memperlancar kegiatan perekonomian di Kabupaten Blora dan memudahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya serta diharapkan dapat meningkatkan laju perekonomian masyarakat.

commit to user

A. Identitas Responden

1. Jenis Kelamin Salah satu penggolongan identitas responden yaitu berdasarkan jenis kelamin yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin responden dapat dilihat pada Tabel 5.1 di bawah ini:

Tabel 5.1 Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Jenis kelamin

No. Jenis Kelamin

Jumlah (orang)

Laki-laki Perempuan

45 100 Sumber : Analisis Data Primer Tahun 2011

Semua responden pada penelitian ini adalah laki-laki sebanyak 45 orang. Kaum laki-laki yang lebih banyak berperan dalam mengelola usahatani atau sebagai manajer dalam usahatani keluarga. Sebagaimana pula peran laki-laki di Kabupaten Blora sebagai manajer dalam usahatani keluarga didukung oleh peran mereka sebagai kepala rumah tangga. Oleh karena itu, peran laki-laki lebih dominan dalam kegiatan usahatani keluarga daripada peran perempuan.

2. Umur Responden Keadaan penduduk berdasarkan produktivitasnya dapat dilihat dari umur. Identitas responden dalam penelitian ini juga digolongkan berdasarkan umur. Umur responden dibedakan menjadi dua yaitu umur yang tergolong produktif (penduduk umur 15-59 tahun) dan umur yang tergolong non produktif (penduduk umur ≤14 tahun dan penduduk umur ≥60 tahun) (Mantra, 2003). Umur responden dapat dilihat pada Tabel 5.2 di bawah ini:

45

commit to user

No. Kategori Usia Jumlah (orang) Persentase (%)

1.

2.

Umur produktif (15-59 tahun) Umur nonproduktif ( ≤ 14 tahun dan ≥ 60 tahun)

45 100 Sumber : Analisis Data Primer Tahun 2011

Penelitian ini, responden yang tergolong dalam umur produktif sebanyak 44 orang atau sebesar 98 persen sedangkan usia non produktif sebanyak 1 orang atau sebesar 2 persen. Menurut Soekartawi (2005) makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman dalam adopsi inovasi tersebut .

Adopsi inovasi oleh petani yang belum berpengalaman dalam adopsi inovasi ditunjukkan dengan adanya respon yang baik dari para responden yang mayoritas tergolong dalam usia produktif dalam mengikuti kegiatan Sekolah Lapang Iklim (SLI) yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan petani menganalisis serta memanfaatkan data dan informasi iklim dalam proses usahataninya dengan menerapkan komponen-komponen dalam SLI yang meliputi: pengetahuan tentang iklim, penetapan pola tanam, pengenalan dan cara penggunaan agen hayati serta pengelolaan dan pengembangan tanaman padi.

3. Jumlah Anggota Keluarga Penggolongan identitas responden yang meliputi jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), umur (umur produktif dan umur non produktif), juga meliputi jumlah anggota rumah tangga responden. Jumlah anggota rumah tangga merupakan jumlah anggota rumah tangga responden yang tinggal dalam satu rumah tangga. Lebih lanjut, jumlah anggota rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 5.3 di bawah ini:

commit to user

Keluarga

No. Jumlah Anggota Keluarga Jumlah (orang) Persentase (%)

1. 1-3 orang

28 62

2. 4-6 orang

45 100 Sumber : Analisis Data Primer Tahun 2011

Berdasarkan tabel 5.3, dapat dinyatakan banyaknya jumlah anggota rumah tangga yang lain secara berurutan mulai dari yang besar sebanyak

28 responden atau sebesar 62 persen memiliki sebanyak 1 sampai 3 orang jumlah anggota rumah tangga, 16 responden atau sebesar 36 persen mempunyai jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4 sampai 6 orang, dan

1 responden atau sebesar 2 persen mempunyai jumlah anggota rumah tangga sebanyak 7 orang. Jumlah anggota rumah tangga akan berpengaruh pada perekonomian keluarga. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka akan semakin meningkat pula kebutuhan keluarga. Hal ini tentunya juga akan membuat biaya hidup yang dikeluarkan semakin besar. Walaupun demikian apabila dalam suatu keluarga terdapat beberapa orang yang berpendapatan maka pendapatan keluarga pun akan semakin meningkat.

B. Tingkat Adopsi Petani dalam Sekolah Lapang Iklim (SLI)

Terdapat empat komponen tingkat adopsi yang dibahas dalam adopsi terhadap Sekolah Lapang Iklim (SLI), yaitu. pengetahuan tentang iklim, penetapan pola tanam, pengenalan dan cara penggunaan agen hayati serta pengelolaan dan pengembangan tanaman. Berikut adalah uraian mengenai tingkat adopsi terhadap SLI:

1. Pengetahuan tentang iklim Iklim mempengaruhi hasil panen, faktor di dalam iklim sangat berpengaruh besar terhadap hasil panen. Dampak yang dihasilkan masing- masing berbeda satu dan lainnya. Harian, musiman, ataupun tiap waktu

commit to user

meningkatkan pertumbuhan tanaman. Berdasarkan lingkungan iklim elemen mikroklimat mempengaruhi bagian penting tumbuh tanaman (Howard J. Critchfield, 1979). Pengetahuan iklim yang diinformasikan kepada petani, dengan tujuan agar mampu membaca kondisi iklim serta kearifan lokal untuk melaksanakan budidaya pertanian di Kabupaten Blora agar dapat meminimalisir penurunan produksi pertanian akibat dampak fenomena iklim.

Tabel 5.4 Distribusi Responden dalam Komponen Pengetahuan Tentang

Iklim Kategori

Frekuensi (orang)

Presentase (%) Rendah (6-9,99)

7 15,6 Sedang (10-13,99)

24 53,3 Tinggi (14-18)

14 31,1 Total

45 100,0 Sumber: Analisis Data Primer

Berdasarkan tabel 5.5 mengenai tingkat adopsi pengetahuan tentang iklim, menunjukkan sebanyak 24 responden atau sebesar 53,3 persen termasuk dalam kategori sedang, Sebanyak 14 responden atau sebesar 31,1 persen termasuk dalam kategori tinggi, sedangkan yang termasuk kategori rendah sebesar 15,6 persen atau 7 orang responden. Pengetahuan petani tentang iklim, umumnya hanya memahami sebagian pengertian iklim misalnya memahami pengertian iklim yaitu keadaaan cuaca rata-rata atau keadaan cuaca jangka panjang pada suatu daerah meliputi kurun waktu tertentu beberapa bulan atau beberapa tahun, selain itu petani memahami bahwa Indonesia beriklim tropis. Selanjutnya petani responden tidak memahami mengenai unsur- unsur iklim yang meliputi: kelembaban udara, tekanan udara, suhu udara, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari dan curah hujan, hal ini ditunjukkan dengan petani responden yang tidak memilih alternatif jawaban tersebut. Iklim yang

commit to user

yang dilihat dari jawaban petani atas pertanyaan yang telah diberikan. Pengertian curah hujan cukup dipahami petani responden, yakni hujan terbentuk dari uap air yang mengalami kondensasi dan menjadi awan yang selalu berpindah-pindah tergantung arah angin beserta alat pengukurnya yaitu ombrometer. Petani responden mengetahui bahwa alat ukur curah hujan adalah ombrometer karena petani responden pernah menggunakan alat tersebut pada waktu SLI. Hal yang tidak dipahami mengenai curah hujan adalah hujan merupakan unsur iklim dan sifat hujan adalah lokal (menurut waktu dan tempatnya). Selain itu, petani responden hanya memahami bahwa angin bergerak dari daerah yang bertekanan rendah ke daerah yang bertekanan tinggi dan tidak memahami mengenai angin merupakan udara yang bergerak karena perbedaan tekanan dan salah satu hal yang mempengaruhi arah angin adalah penebangan hutan

Petani responden cukup memahami bahwa awal musim hujan adalah bilamana jumlah curah hujan selama satu musim dasarian (10 hari) sama atau lebih dari 50 mm diikuti oleh dasarian berikutnya, sedangkan petani tidak memahami bahwa curah hujan digolongkan 3 yaitu curah hujan normal,bawah normal dan atas normal dan rata-rata curah hujan dihitung dari data curah hujan minimal 30 per tahun. Semua alat pengukur unsure iklim, petani responden memahami bahwa alat pengukur curah hujan adalah ombrometer, alat pengukur kecepatan angin adalah anemometer, alat pengukur suhu adalah thermometer. Pemahaman pengaruh iklim terhadap tanaman, petani responden hanya memahami satu pengaruh yaitu Pegaruh langsung terhadap tanaman adalah kekuragan air akibat kurangnya hujan, sedangkan Pengaruh tidak langsung terhadap tanaman yaitu terjadinya kondisi iklim yang menyebabkan peledakan hama dan penyakit sehingga menyebabkan kegagalan panen tidak dipahami petani responden.

commit to user

Penetapan pola tanam yang dimaksud disini meliputi penetapan pola tanam berdasarkan indikator pranatamangsa, penetapan pola tanam berdasarkan indikator tanaman, penetapan pola tanam berdasarkan indikator binatang, dan penetapan pola tanam berdasarkan indikator alam.

Tabel 5.5 Distribusi Responden dalam Komponen Penetapan Pola Tanam

Kategori

Frekuensi (orang)

Presentase (%) Rendah (4-6,66)

9 20 Sedang (6,67-9,33)

23 51,1 Tinggi (9,34-12)

13 28,9 Total

45 100,0 Sumber: Analisis Data Primer

Penetapan pola tanam berdasarkan tabel 5.6 dilihat sebanyak 23 responden atau sebesar 51,1 persen termasuk dalam kategori sedang. Sebanyak 13 responden atau sebesar 28,9 persen termasuk kategori rendah dan 9 responden atau sebesar 20 persen termasuk kategori tinggi. Petani responden memahami mengenai indikator pranotomongso bahwa penentuan datangnya musim melalui perhitungan Jawa, dan membagi mongso (musim) ada 4 yaitu labuh, rendeng, mareng dan kemarau, akan tetapi petani responden tidak memahami contoh indikator rebo maeso menunjukkan mudah hujan dan budidaya yang dilakukan yaitu budidaya padi. Pemahaman petani responden mengenai indikator tanaman yaitu Penentuan datangnya musim melalui ciri-ciri tanaman dan membagi mongso (musim) ada 4 yaitu labuh, rendeng, mareng dan kemarau. Sedanakan contoh indikator tanaman tidak dipahami responden misal daun randu semi dan klayu mateng menunjukkan awal hujan dan budidaya yang dilakukan yaitu budidaya padi.

Petani responden memahami bahwa dalam indikator binatang, membagi mongso (musim) ada 4 yaitu labuh, rendeng, mareng dan kemarau dan contohnya kodok ngorek dan luwe (kaki seribu) keluar dari lubang persembunyiannya menunjukkan musim rendeng dan budidaya

commit to user

sudah dipahami petani responden yaitu: Penentuan datangnya musim melalui ciri-ciri alam, dan membagi mongso (musim) ada 4 yaitu labuh, rendeng, mareng dan kemarau, sedangkan untuk contohnya seperti lintang luku dan mapak larang terlihat di bulan Nopember menunjukkan rendengan(musim hujan) belum dipahami.

3. Pengenalan dan cara penggunaan agen hayati Pengenalan sejauhmana petani mengetahui yang dimaksud agen hayati dan agen hayati apa yang digunakan oleh petani. Agen hayati yang digunakan dalam SLI adalah Metharizium sp.

Tabel 5.6 Distribusi Responden dalam Komponen Pengenalan dan

Penggunaan Agen hayati Kategori

Frekuensi (orang)

Presentase (%) Rendah (3-4,55)

7 15,6 Sedang (4,56-6,99)

21 46,7 Tinggi (7-9)

17 37,8 Total

45 100,0 Sumber: Analisis Data Primer

Berdasarkan tabel 5.7 tingkat pengenalan dan cara penggunaan agen hayati yang termasuk dalam kategori rendah sebanyak 7 orang atau 15,6 persen, yang termasuk karegori sedang sebanyak 21 responden atau sebesar 46,7 persen dan yang termasuk kategori tinggi sebanyak 17 orang atau sebesar 37,8 persen. Petani responden mengendalikan hama dengan menjaga kebersihan lahan yakni dengan penyiangan, selain itu juga waktu tanam yang tepat dan cara biologis dengan agen hayati. Berdasarkan data di lapang, penggunaan Metharizium sp. hanya diterapkan oleh 21 petani responden yang telah mengikuti SLI dengan frekunsi 1 sampai 2 kali dalam satu musim tanam karena Metharizium sp. belum banyak dijual di pasaran dan petani hanya menggunakan pada saat diberi bantuan Metharizium sp. Selain itu petani respoden lebih tertarik menggunakan

commit to user

mengendalikan hama wereng.

4. Pengelolaan dan pengembangan tanaman Penilaian tingkat adopsi pengelolaan dan pengembangan tanaman padi menggunakan indikator yang meliputi, cara pengolahan tanah sawah, pemelihaan tanaman, benih yang digunakan, pestisida, pupuk dan cara panen.

Tabel 5.7 Distribusi Responden dalam Komponen Pengelolaan dan

pengembangan tanaman (padi) Kategori

Frekuensi (orang)

Presentase (%) Rendah (9-14,99)

4 8,9 Sedang (15-20,99)

23 51,1 Tinggi (21-27)

18 40,0 Total

45 100,0 Sumber: Analisis Data Primer

Pengelolaan dan pengembangan tanaman padi yang petani responden setelah mengikuti SLI di Kabupaten Blora dari tabel 5.8 diketahui yang termasuk dalam kategori sedang sebanyak 23 orang atau sebesar 51,1 persen, dan sebanyak 4 orang responden termasuk kategori rendah atau sebesar 8,9 persen, serta sebanyak 18 respondenatau sebesar 40 persen termasuk dalam kategori tinggi.

Terkait dengan pengolahan lahan, pembajakan sawah dilakukan dengan traktor ataupun dengan bajak tradisional. Dari dua cara tersebut, menurut pengalaman petani, pembajakan dengan menggunakan cara tradisional memberikan hasil yang lebih baik. Hal ini terjadi karena mata bajak tradisional akan lebih dalam masuk ke dalam tanah, sehingga pembalikan tanah akan lebih sempurna, akan tetapi 23 orang petani responden membudidayakan padi menggunakan traktor karena dirasa lebih cepat serta hemat tenaga. Pemeliharaan tanaman padi yang dilakukan petani responden adalah dengan penyulaman, penyiangan dan pengendalian hama dan penyakit.

commit to user

memiliki persyaratan jenisnya murni, bernas, sehat bebas dari penyakit. Pengairan dalam pengolahan tanah merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Petani di Kabupaten Blora, petani menggunakan tadah hujan dan air irigasi dari sungai maupun waduk. Petani menggunakan masih menggunakan pestisida kimia dan pupuk kimia dalam budidaya padi sesuai dengan batas takaran yang telah ditentukan, contohnya: penggunaan urea 250-350 kg/Ha dan KCl sebanyak 50-100 kg/Ha, sedangkan untuk pelaksanaan panen dilakukan setelah gabah 90-95% gabah telah bernas atau kering dan gabah tidak tidak berwarna hijau.

C. Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Karakteristik Petani dari Kategori Adopsi Komponen Sekolah Lapang Iklim (SLI)

Komponen SLI yang terdiri dari pengetahuan tentang iklim, penetapan pola tanam, pengenalan dan cara penggunaan agen hayati serta pengelolaan dan pengembangan tanaman padi merupakan suatu inovasi yang perlu dikaji tingkat penerapannya oleh petani. Tingkat penerapan komponen SLI tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam penelitian ini adalah pendidikan formal, tingkat pendapatan, luas usahani, keberanian mengambil resiko, tingkat partisipasi dalam kelompok tani, kekosmopolitan, dan sumber informasi yang dimanfaatkan.

Sedang Rendah

Tahu

Tahu

1. Pendidikan Formal

· Rendah/dasar 5 6 2 5 4 3 7 3 3 5 5 3 (1-6 tahun)

(11.1%) (11.1%) (6.6%) · Sedang/menengah

9 17 4 8 18 5 10 16 4 13 16 1 (7-12 tahun)

(28.8%) (35.5%) (2.2%) · Tinggi ( ≥13 tahun)

2. Tingkat Pendapatan

· Rendah (Rp 579.600,00- 12 18 4 8 18 8 12 16 6 13 19 3 Rp 4.768.504,00)

(Rp 4.768.505,00-Rp 1 4 2 4 2 1 3 3 1 4 1 1 8.957709,00)

(Rp 8.957.410,00-Rp 1 2 1 1 3 0 2 2 0 1 3 0 13.146312,00)

3. Luas Usahatani

· Sempit (0,18-0,45Ha) 12 17 4 10 17 8 15 14 5 14 17 4

(31.1%) (37.7%) (8.8%) · Sedang (0,46-0,73Ha)

(4.4%) (8.8%) (0%) · Luas (0,74-1Ha)

(4.4%) (4.4%) (0%) 4. Keberanian Mengambil Resiko

· Tidak ada keberanian mengambil 0(0%)

resiko (total skor 15-24,99) (0%)

(0%) (0%) (0%) · Kurang berani mengambil resiko 5 6 1 4 6 3 5 5 3 6 7 1

(13.3%) (15.5%) (2.2%) · Berani mengambil resiko (total skor 9 18 6 8 18 6 12 16 4 12 16 3 35-45)

(total skor 25-34,99) (11.1%)

Sumber : Analisis Data Primer Tahun 2011 Sumber : Analisis Data Primer Tahun 2011

Tinggi Sedang Rendah

Tahu

Tahu

5. Tingkat Partisipasi

dalam

Kelompok Tani

· Rendah (total skor 3-4,55)

0 0(0%)

(0%) (2.2%) (4.4%) · Sedang (total skor 4,56-6,99)

(2.2%) (11,1%) (4.4%) · Tinggi ( total skor 7-9)

· Tidak kosmopolit (total skor 6- 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 9,99)

(0%) (0%) (2.2%) · Cukup kosmopolit (total skor 10- 10(22.2%)

(22.2%) (42.2%) (6.6%) · Kosmopolit (total skor 14-18)

7. Sumber Informasi

yang

dimanfaatkan

· Kurang beragam (memanfaatkan 1- 2 14 6 2 12 8 6 11 5 2 16 4 2 sumber informasi)

(4.4%) (35.5%) (8.8%) · Cukup beragam (memanfaatkan 3-

12 10 1 12 10 1 11 10 2 16 7 0 4 sumber informasi)

sumber informasi) (0%)

Sumber : Analisis Data Primer Tahun 2011

commit to user

Tingkat pendidikan formal adalah tingkat pendidikan yang dicapai oleh responden pada lembaga pendidikan formal di bangku sekolah. Tingkat pendidikan yang ditempuh seseorang memberikan pengetahuan yang lebih baik tentang cara berpikir, penerimaan suatu informasi, maupun penilaian terhadap suatu masalah yang terjadi. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka kemampuan berfikirnya juga semakin baik.

Berdasarkan tabel 5.4, mengenai pendidikan formal responden, dapat diketahui bahwa distribusi karakteristik petani pada masing-masing komponen adopsi dalam SLI yaitu:

a. Pengetahuan Tentang Iklim Petani responden kategori pendidikan dasar/rendah sebanyak 5 orang atau 11,1 persen responden yang termasuk dalam kategori tahu, sedangkan yang termasuk dalam kategori cukup tahu sebanyak 6 orang atau sebesar 13,3 persen, yang temasuk dalam kategori tidak tahu sebanyak 2 orang atau sebesar 4,4 persen. Selanjutnya, responden kategori pendidikan menengah/sedang sebanyak 9 orang atau sebesar

20 persen temasuk kategori tahu, 17 orang termasuk kategori cukup tahu atau sebesar 37,7 persen dan 4 orang atau sebesar 8,8 persen termasuk kategori tidak tahu. Kategori pendidikan tingggi, sebanyak 1 atau sebesar 2,2 persen orang dalam kategori cukup tahu dan dalam kategori tidak tahu juga sebanyak 1 orang atau sebesar 2,2 persen.

b. Penetapan Pola Tanam Petani responden kategori pendidikan dasar/rendah sebanyak 5 orang atau 11,1 persen responden yang termasuk dalam kategori tinggi, sedangkan yang termasuk dalam kategori sedang sebanyak 4 orang atau sebesar 8,8 persen, sedangkan yang temasuk dalam kategori rendah sebanyak 3 orang atau sebesar 6,6 persen. Selanjutnya, responden kategori pendidikan menengah/sedang sebanyak 8 orang atau sebesar 17,7 persen temasuk kategori tinggi, 18 orang termasuk kategori sedang

commit to user

kategori tidak rendah. Kategori pendidikan tingggi, sebanyak 1 atau sebesar 2,2 persen orang dalam kategori sedang dan dalam kategori rendah juga sebanyak 1 orang atau sebesar 2,2 persen.

c. Pengenalan dan Cara Penggunaan Agen hayati Petani responden kategori pendidikan dasar/rendah sebanyak 7 orang atau 15,5 persen responden yang termasuk dalam kategori tinggi, sedangkan yang termasuk dalam kategori sedang sebanyak 3 orang atau sebesar 6,6 persen, serta yang temasuk dalam kategori rendah sebanyak

3 orang atau sebesar 6,6 persen. Selanjutnya, responden kategori pendidikan menengah/sedang sebanyak 10 orang atau sebesar 22,2 persen temasuk kategori tinggi, 16 orang termasuk kategori sedang atau sebesar 35,5 persen dan 4 orang atau sebesar 8,8 persen termasuk kategori tidak rendah. Kategori pendidikan tingggi, sebanyak 2 atau sebesar 2,2 persen orang dalam kategori sedang.

d. Pengelolaan dan Pengembangan Tanaman Petani responden kategori pendidikan dasar/rendah sebanyak 5 orang atau 11,1 persen responden yang termasuk dalam kategori tinggi, sedangkan yang termasuk dalam kategori sedang sebanyak 3 orang atau sebesar 6,6 persen, serta yang temasuk dalam kategori rendah sebanyak

3 orang atau sebesar 6,6 persen. Selanjutnya, responden kategori pendidikan menengah/sedang sebanyak 13 orang atau sebesar 28,8 persen temasuk kategori tinggi, 16 orang termasuk kategori sedang atau sebesar 35,5 persen dan 1 orang atau sebesar 2,2 persen termasuk kategori tidak rendah. Kategori pendidikan tingggi, sebanyak 2 atau sebesar 2,2 persen orang dalam kategori sedang.

Memiliki latar belakang pendidikan formal yang berbeda, sebenarnya hanya membentuk karakter yang berbeda antara petani yang satu dengan petani yang lain. Pendidikan formal akan lebih kelihatan berperan jika

commit to user

pada pengetahuan spesifik mengenai suatu inovasi.

2. Tingkat Pendapatan Pendapatan merupakan selisih dari penerimaan total dengan pengeluaran total. Pada penelitian ini, dibatasi dalam kurun waktu satu musim tanam, yaitu satu musim tanam terakhir. Penerimaan dihitung dari penerimaan yang bersumber dari usahatani dan penerimaan non usahatani. Begitu juga dengan pengeluran, pengeluaran yang dihitung tidak hanya pengeluaran dari usahatani akan tetapi juga menghitung pengeluaran non usahatani.

Berdasarkan analisis usahatani yang telah dilakukan, rata-rata produksi padi yang dihasilkan oleh seluruh responden adalah 1.943,5 kg per dalam satu musim tanam, rata-rata penerimaan petani per musim tanam dari usahatani sawah yaitu sebesar Rp 4.594.207,00, rata-rata penerimaan non usahatani sebesar Rp 1.271.187,5, sedangkan rata-rata penerimaan total dalam satu musim tanam sebesar Rp 6.179.304,00. Penerimaan non usahatani bersumber dari penghasilan pekerjaan sampingan di luar bertani atau pekerjaan pokok di luar bertani. Tidak semua responden memiliki pekerjaan sampingan di luar bertani, jadi satu- satunya sumber penerimaan mereka adalah dari hasil kegiatan bertani.

Rata-rata pengeluaran usahatani responden dalam satu musim tanam yaitu sebesar Rp 1.132.436,6, rata-rata pengeluaran non usahatani dalam satu musim tanam yaitu sebesar Rp 1.172.088,8, sedangkan rata- rata pengeluaran total dalam satu musim tanam yaitu sebesar Rp 2.304.526,00. Pendapatan rata-rata dari seluruh responden adalah sebesar Rp 3.874.778,9. Biaya yang dikeluarkan untuk usahatani antara lain untuk biaya produksi, biaya tenaga kerja, serta biaya pembelian sarana produksi pertanian (pupuk, pestisida dan benih). Sedangkan pengeluaran non usahatani yaitu pengeluaran untuk biaya pendidikan, konsumsi sembako, biaya listrik, iuran perkumpulan desa serta biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan sosial.

commit to user

diketahui bahwa distribusi karakteristik petani pada masing-masing komponen adopsi dalam SLI yaitu:

a. Pengetahuan Tentang Iklim Petani responden berpendapatan rendah sebanyak 12 orang atau sebesar 26,6 persen dalam kategori tahu, 18 orang atau sebesar 40 persen dalam kategori cukup tahu dan 4 orang atau sebesar 8,8 persen dalam kategori tidak tahu. Petani responden berpendapatan sedang sebanyak 1 orang atau 2,2 persen tegolong tahu, sebanyak 4 orang atau 8,8 persen tergolong cukup tahu, 2 orang responden atau sebesar 4,4 persen tergolong tidak tahu. Responden berpendapatan tinggi sebanyak 1 orang atau 2,2 persen tegolong tahu, 2 orang atau 4,4 persen tergolong cukup tahu dan 1 orang atau sebesar 2,2 persen tergolong tidak tahu.

b. Penetapan Pola Tanam Petani responden berpendapatan rendah sebanyak 8 orang atau sebesar 17,7 persen dalam kategori tinggi, 18 orang atau sebesar 40 persen dalam kategori cukup tahu dan 8 orang atau sebesar 17,7 persen dalam kategori rendah. Petani responden berpendapatan sedang sebanyak 4 orang atau 8,8 persen tegolong tinggi, sebanyak 2 orang atau 4,4 persen tergolong sedang, 1 orang responden atau sebesar 2,2 persen tergolong rendah. Responden berpendapatan tinggi sebanyak 1 orang atau 2,2 persen tegolong tinggi, 3 orang atau 6,6 persen tergolong sedang, dan tidak ada yang tergolong rendah.

c. Pengenalan dan Cara Penggunaan Agen Hayati Petani responden berpendapatan rendah sebanyak 12 orang atau sebesar 26,6 persen dalam kategori tinggi, 16 orang atau sebesar 35,5 persen dalam kategori cukup tahu dan 6 orang atau sebesar 13,3 persen dalam kategori rendah. Petani responden berpendapatan sedang sebanyak 3 orang atau 6,6 persen tegolong tinggi, sebanyak 3 orang

commit to user

persen tergolong rendah. Responden berpendapatan tinggi sebanyak 2 orang atau 4,4 persen tegolong tinggi, 2 orang atau 4,4 persen tergolong sedang, dan tidak ada yang tergolong rendah.

d. Pengelolaan dan Pengembangan Tanaman Petani responden berpendapatan rendah sebanyak 13 orang atau sebesar 28,8 persen dalam kategori tinggi, 19 orang atau sebesar 42,2 persen dalam kategori cukup tahu dan 3 orang atau sebesar 6,6 persen dalam kategori rendah. Petani responden berpendapatan sedang sebanyak 4 orang atau 8,8 persen tegolong tinggi, sebanyak 1 orang atau 2,2 persen tergolong sedang, 1 orang responden atau sebesar 2,2 persen tergolong rendah. Responden berpendapatan tinggi sebanyak 1 orang atau 2,2 persen tegolong tinggi, 3 orang atau 6,6 persen tergolong sedang, dan tidak ada yang tergolong rendah.

Responden yang mempunyai pendapatan rendah pada umumnya hanya memperoleh pendapatan dari kegiatan usahatani saja sedangkan responden yang berpendapatan lebih tinggi pada umumnya memiliki luas usahatani yang luas serta memiliki pendapatan di luar usahatani. Pendapatan lain di luar usahatani tersebut seperti menjadi buruh, pegawai negeri, maupun pedagang.

Menurut Mardikanto (1993) petani dengan pendapatan yang tinggi akan lebih tertarik untuk mencoba inovasi baru dibandingkan dengan petani dengan pendapatan yang rendah. Pendapatan yang tergolong rendah ini akan mempengaruhi tingkat adopsi petani terhadap inovasi yang ada. Petani dengan pendapatan tinggi akan lebih cepat mengadopsi inovasi dibandingkan dengan petani yang berpendapatan rendah. Hal ini dapat terjadi karena dengan pendapatan tinggi, keadaan ekonomi seseorang akan lebih baik dan cenderung mencoba hal-hal baru yang ada di sekitar mereka.

commit to user

Berdasarkan Tabel 5.4 mengenai luas usahatani, dapat diketahui bahwa distribusi karakteristik petani pada masing-masing komponen adopsi dalam SLI yaitu:

a. Pengetahuan Tentang Iklim Petani responden yang memiliki lahan usahatani sempit (0,18 ha- 0,45ha) dan tergolong tahu sebanyak 12 orang atau 26,6 persen, sedangkan yang tergolong cukup tahu sebanyak 17 orang atau sebesar 37,7 persen, serta yang tergolong tidak tahu sebanyak 4 orang atau sebesar 8,8 persen. Petani responden yang memiliki luas usahatani dalam kategori sedang (0,46ha-0,73ha) sebanyak 1 responden atau sebesar 2,2 persen tergolong tahu, 4 responden atau sebesar 8,8 persen tergolong cukup tahu, dan 2 orang atau 4,4 persen tergolong tidak tahu. Petani responden yang memiliki luas usahatani luas (0,74ha-1ha) sebanyak 1 responden atau sebesar 2,2 persen tergolong tahu, 2 orang atau sebesar 4,4 persen tergolong cukup tahu, 1 orang atau 2,2 persen tergolong tidak tahu.

b. Penetapan Pola Tanam Petani responden yang memiliki lahan usahatani sempit (0,18 ha- 0,45ha) dan tergolong tinggi penetapan pola tanamnya sebanyak 10 orang atau 22,2 persen, sedangkan penetapan pola tanam yang tergolong sedang sebanyak 17 orang atau sebesar 37,7 persen, serta yang tergolong rendah penetapan pola tanamnya sebanyak 8 orang atau sebesar 17,7 persen. Petani responden yang memiliki luas usahatani dalam kategori sedang (0,46ha-0,73ha) sebanyak 1 responden atau sebesar 2,2 persen dalm kategori penetapan pola tanam tergolong tinggi, 3 responden atau sebesar 6,6 persen penetapan pola tanam tergolong sedang, 1 orang atau 2,2 persenpenetapan pola tanam tergolong rendah. Petani responden yang memiliki luas usahatani luas (0,74ha-1ha) sebanyak 2 responden atau sebesar 4,4 persen penetapan

commit to user

pola tanam tergolong sedang, 1 orang atau 2,2 persen penetapan pola tanam tergolong rendah.

c. Pengenalan dan Cara Penggunaan Agen Hayati Petani responden yang memiliki lahan usahatani sempit (0,18 ha- 0,45ha) tergolong pengenalan dan cara penggunaan agen hayati kategori tinggi sebanyak 15 orang atau 35,5 persen, sedangkan kategori tergolong sedang sebanyak 14 orang atau sebesar 31,1 persen, serta yang tergolong kategori rendah sebanyak 5 orang atau sebesar 11,1 persen. Petani responden yang memiliki luas usahatani dalam kategori sedang (0,46ha-0,73ha) tidak ada yang tergolong tinggi, 3 responden atau sebesar 6,6 persen tergolong sedang, 1 orang atau 2,2 persen tergolong rendah. Petani responden yang memiliki luas usahatani luas (0,74ha-1ha) sebanyak 2 responden atau sebesar 4,4 persen tergolong tinggi, 4 orang atau sebesar 8,8 persen tergolong sedang, 1 orang atau 2,2 persen tergolong rendah.

d. Pengelolaan dan Pengembangan Tanaman Petani responden yang memiliki lahan usahatani sempit (0,18 ha- 0,45ha) dan tergolong tinggi sebanyak 14 orang atau 31,1 persen, sedangkan yang tergolong sedang sebanyak 17 orang atau sebesar 37,7 persen, serta yang tergolong rendah sebanyak 4 orang atau sebesar 8,8 persen. Petani responden yang memiliki luas usahatani dalam kategori sedang (0,46ha-0,73ha) 2 orang atau sebesar 4,4 persen tergolong tinggi, 4 responden atau sebesar 8,8 persen tergolong sedang, dan tidak ada yang tergolong rendah. Petani responden yang memiliki luas usahatani luas (0,74ha-1ha) sebanyak 2 responden atau sebesar 4,4 persen tergolong tinggi, 2 orang atau sebesar 4,4 persen tergolong sedang, 1 orang atau 2,2 persen tergolong rendah.

Luas lahan yang dimiliki oleh seorang petani akan mempengaruhi kemampuan petani dalam menerapkan suatu inovasi pertanian yang

commit to user

berdasarkan atas keadaan lapang daerah penelitian termasuk dalam kategori sempit yaitu antara 0,18 ha sampai 0,45 ha. Menurut Mardikanto (1994) petani dengan luas pemilikan tanah garapan yang sempit, lemah dalam permodalan, lemah dalam pengetahuan, dan keterampilan dan juga kerap kali lemah dalam semangat dan keinginannya untuk maju.

Luas usahatani yang sempit akan mempengaruhi tingkat adopsi mereka terhadap penerapan komponen SLI yang meliputi pengetahuan tentang iklim, penetapan pola tanam, pengenalan dan cara penggunaan agen hayati serta pengelolaan dan pengembangan tanaman. Petani yang hanya memiliki lahan usahatani yang sempit cenderung takut untuk mencoba suatu inovasi. Mereka takut mengalami kegagalan atau penurunan produktivitas apabila menerapkan komponen SLI dalam budidaya padi di lahan usahataninya. Berbeda dengan petani yang memiliki lahan usahatani yang luas. Mereka dapat mencoba inovasi pada sebagian lahan usahataninya tanpa takut mengalami kegagalan karena lahan usahatani mereka luas.

4. Keberanian Mengambil Resiko Berdasarkan Tabel 5.4 mengenai keberanian mengambil resiko, dapat diketahui bahwa distribusi karakteristik petani pada masing-masing komponen adopsi dalam SLI yaitu:

a. Pengetahuan Tentang Iklim Tidak terdapat petani responden yang tidak berani mengambil resiko dan tergolong tahu, tergolong cukup tahu, serta tergolong tidak tahu. Petani responden yang kurang berani mengambil resiko dan tergolong tahu sebanyak 5 orang atau 11,1 persen, sedangkan yang tergolong cukup tahu sebanyak 6 orang atau sebesar 13,3 persen, dan responden yang tergolong tidak tahu sebanyak 1 orang atau 2,2 persen. Petani responden yang berani mengambil resiko dan tergolong kategori tahu sebanyak 9 orang atau sebesar 20 persen, selanjutnya sebanyak 18

commit to user

tidak tahu sebanyak 6 orang atau 13,3 persen.

b. Penetapan Pola Tanam Petani responden yang kurang berani mengambil resiko dan penetapan pola tanam tergolong tinggi sebanyak 4 orang atau sebesar 8,8 persen, sedangkan yang tergolong sedang sebanyak 6 orang atau sebesar 13,3 persen, serta yang tergolong rendah penetapan pola tanamnya sebanyak 3 orang atau sebesar 6,6 persen. Petani responden yang berani mengambil resiko dan tinggi penetapan pola tanamnya sebanyak 8 orang atau sebesar 17,7 persen, sebanyak 18 orang atau sebesar 40 persen tergolong sedang, dan sebanyak 6 orang atau sebesar 13,3 persen serta tidak terdapat petani responden tidak ada keberanian mengambil resiko.

c. Pengenalan dan Cara Penggunaan Agen Hayati Tidak terdapat petani responden yang tidak berani mengambil resiko dan tergolong tinggi, tergolong sedang, serta tergolong rendah. Petani responden yang kurang berani mengambil resiko dan tergolong tinggi sebanyak 5 orang atau 11,1 persen, sedangkan yang tergolong sedang sebanyak 5 orang atau sebesar 11,1 persen, dan responden yang tergolong penetapan pola tanamnya rendah sebanyak 3 orang atau 6,6 persen. Petani responden yang berani mengambil resiko dan tergolong kategori tinggi sebanyak 12 orang atau sebesar 26,6 persen, selanjutnya sebanyak 16 orang atau 35,5 persen tergolong kategori sedang, dan yang tergolong rendah sebanyak 4 orang atau 8,8 persen, serta tidak terdapat petani responden tidak ada keberanian mengambil resiko dalam pengenalan dan cara penggunaan agen hayati.

d. Pengelolaan dan Pengembangan Tanaman Petani responden yang kurang berani mengambil resiko dan tergolong tinggi sebanyak 6 orang atau 13,3 persen, sedangkan yang tergolong sedang sebanyak 7 orang atau sebesar 15,5 persen, dan

commit to user

orang atau 2,2 persen. Petani responden yang berani mengambil resiko dan tergolong kategori tinggi sebanyak 12 orang atau sebesar 26,6 persen, selanjutnya sebanyak 16 orang atau 35,5 persen tergolong kategori sedang, dan yang tergolong rendah sebanyak 3 orang atau 6,6 persen. serta tidak terdapat petani responden tidak ada keberanian mengambil resiko dalam pengelolaan dan pengembangan tanaman.

Keberanian mengambil resiko ditunjukkan dari 15 pernyataan yang diberikan kepada petani responden, meliputi: petani responden selalu menerapkan pola tanam dengan indikator pranotomongso dalam budidaya padi, petani responden akan tetap merapkan pola tanam dengan indikator pranotomongso walaupun petani yang lain tidak mau menerapkan, petani responden selalu akan mau menerapkan pola tanam dengan indikator tanaman dalam budidaya padi, petani responden akan tetap merapkan pola tanam dengan indikator tanaman walaupun petani yang lain tidak mau menerapkan, petani responden selalu akan mau merapkan pola tanam dengan indikator binatang dalam budidaya padi, petani responden akan tetap merapkan pola tanam dengan indikator binatang walaupun petani yang lain tidak mau menerapkan, petani selalu akan mau menerapkan pola tanam dengan indikator alam dalam budidaya padi, petani responden akan tetap merapkan pola tanam dengan indikator alam walaupun petani yang lain tidak mau menerapkan, petani responden selalu akan mau mengolah lahan dengan membenamkan dan melapukkan jerami sebelum lahan ditanami walaupun petani yang lain tidak mau menerapkan, petani responden mau mencoba menggunakan metharizium walaupun belum tahu hasilnya.

Petani responden apakah mau mencoba menerapkan penyiangan, pemupukan teratur dan pengendalian OPT sesuai anjuran penyuluh, dan petani responden pasti melakukan penyiangan, pemupukan teratur dan pengendalian OPT walaupun petani yang lain tidak mau menerapkan, selanjutnya apakah petani responden pasti mencoba menggunakan padi

commit to user

menggunakan pupuk organik, selalu mau menggunakan pestisida organik. Menurut Lionberger (1960) dalam Mardikanto (1993), individu yang memiliki keberanian menghadapi resiko biasanya lebih inovatif. Petani yang memiliki keberanian mengambil resiko maka berani pula dalam menerapkan komponen SLI dalam budidaya padi yang dilakukannya.

Menurut Soetriono, et.al (2006), tidak benar bahwa petani demikian sadarnya akan ketidaktentuan cuaca dan harga sehingga mereka mencoba dengan metode baru kecuali jika mereka yakin metode tersebut berhasil. Banyaknya kekolotan dari petani-petani itu sebenarnya merupakan kecerdikan. Mereka terlalu cerdik untuk mengambil resiko, terutama jika mereka hanya memiliki sedikit uang simpanan tanah yang sempit, dan hidup pada batas minimum. Untuk mengatasi kekolotan itu, maka metode atau teknologi yang diajarkan/dipakai harus memberikan harapan kenaikan penerimaan yang cukup besar. Tidak benar bahwa petani pada umumnya memberikan nilai tinggi terhadap kemauan baik dalam persetujuan keluarga maupun tetangganya, uang bukanlah segala-galanya. Pada umumnya, persahabatan dan persetujuan masyarakat penting bagi kita, kita tidak ingin dicemooh orang dan tidak ingin diasingkan oleh pergaulan, petani-petani memiliki perasaan tersebut. Sebagian tugas pengembangan pertanian adalah mengusahakan agar mengubah pandangan sosial dari menghormati orang-orang yang menunjukkan produktivitas tinggi dengan mengubah cara-cara usahataninya meskipun banyak menghadapi percobaan yang mengandung resiko oleh karena itu petani memiliki keberanian mengambil resiko menerapkan komponen SLI dalam budidaya padi.

5. Tingkat Partisipasi dalam Kelompok Tani Pengertian partisipasi yang secara umum dapat ditangkap dari istilah partisipasi adalah keikut sertaan seseorang atau sekelompok anggota dalam suatu kegiatan (Mardikanto, 1994). Tingkat partisipasi

commit to user

memiliki respon tinggi dalam mengikuti setiap kegiatan dalam kelompok tani.

Berdasarkan Tabel 5.4 mengenai tingkat partisipasi dalam kelompok tani, dapat diketahui bahwa distribusi karakteristik petani pada masing-masing komponen adopsi dalam SLI yaitu:

a. Pengetahuan Tentang Iklim Tidak terdapat petani responden yang memiliki tingkat partisipasi rendah dalam kelompok tani dan tergolong kategori tahu maupun tergolong kategori cukup tahu. Petani reponden yang memiliki tingkat partisipasi sedang dalam kelompok tani dan tergolong kategori cukup tahu sebanyak 5 orang atau sebesar 11,1 persen, sedangkan tidak ada petani responden yang tingkat partisipasinya sedang tetapi dalam kategori tahu. Kemudian sebanyak 3 orang atau sebesar 6,6 persen petani responden memiliki tingkat partisipasi sedang dan tergolong kategori tidak tahu.

Petani responden yang memiliki tingkat partisipasi tinggi dan tergolong tahu sebanyak 14 orang atau sebesar 31,1 persen. Petani responen yang memiliki tingkat partisipasi tinggi dan tergolong cukup tahu sebanyak 18 orang atau sebesar 40 persen serta sebanyak 1 orang atau sebesar 2,2 persen petani responden yang memiliki tingkat partisipasi tinggi dan tergolong tidak tahu.

b. Penetapan Pola Tanam Petani responden yang memiliki tingkat partisipasi rendah dan tergolong penetapan pola tanamnya rendah sebanyak 3 orang atau 6,6 persen, selanjutnya tidak terdapat petani responden yang memiliki tingkat partisipasi rendah dan tergolong tinggi maupun sedang. Petani reponden yang memiliki tingkat partisipasi sedang dalam kelompok tani dan tergolong kategori cukup tahu sebanyak 5 orang atau sebesar 11,1 persen, sedangkan petani responden yang tingkat partisipasinya

commit to user

6,6 persen. Petani responden yang memiliki tingkat partisipasi tinggi dan tergolong tinggi sebanyak 12 orang atau sebesar 28,8 persen. Petani responen yang memiliki tingkat partisipasi tinggi dan tergolong sedang penetapan pola tanamnya sebanyak 17 orang atau sebesar 37,7 persen serta sebanyak 4 orang atau sebesar 8,8 persen petani responden yang memiliki tingkat partisipasi tinggi dan tergolong rendah penetapan pola tanamnya.

c. Pengenalan dan Cara Penggunaan Agen hayati Tidak ada petani responden yang memiliki tingkat partisipasi rendah sedangkan pengenalan dan cara penggunaan agen hayati tergolong tinggi. Sebanyak banyak 1 orang petani responden atau sebesar 2,2 persen yang memiliki partisipasi rendah dan tergolong adopsi sedang, selain itu terdapat 2 orang petani responden atau sebesar 4,4 persen memiliki partisipasi rendah dan tergolong rendah pula pengenalan dan cara penggunaan agen hayati.

Petani responden yang memiliki tingkat partisipasi sedang dan tergolong adopsi tinggi sebanyak 2 orang atau sebesar 4,4 persen. Petani responen yang memiliki partisipasi sedang dan tergolong sedang pengenalan dan cara penggunaan agen hayati sebanyak 4 orang atau sebesar 8,8 persen serta sebanyak 2 orang atau sebesar 4,4 persen petani responden yang memiliki tingkat partisipasi sedang dan pengenalan dan cara penggunaan agen hayati tergolong rendah.

Petani responden yang memiliki tingkat partisipasi tinggi dan pengenalan dan cara penggunaan agen hayati tergolong tinggi sebanyak 15 orang atau sebesar 33,3 persen. Petani responen yang memiliki partisipasi tinggi dan tergolong sedang pengenalan dan cara penggunaan agen hayati sebanyak 16 orang atau sebesar 35,5 persen serta sebanyak 3 orang atau sebesar 6,6 persen petani responden yang

commit to user

penggunaan agen hayati tergolong rendah.

d. Pengelolaan dan Pengembangan Tanaman Sebanyak 1 orang petani responden atau sebesar 2,2 persen yang memiliki partisipasi sedang dan tergolong sedang, selain itu terdapat 2 orang petani responden atau sebesar 4,4 persen memiliki partisipasi rendah dan tergolong rendah pula adopsi pengelolaan dan pengembangan tanaman.

Petani responden yang memiliki tingkat partisipasi sedang dan tergolong tinggi sebanyak 1 orang atau sebesar 2,2 persen. Petani responen yang memiliki partisipasi sedang dan tergolong sedang pengenalan dan cara penggunaan agen hayati sebanyak 5 orang atau sebesar 11,1 persen serta sebanyak 2 orang atau sebesar 4,4 persen petani responden yang memiliki tingkat partisipasi sedang dan tergolong rendah.

Petani responden yang memiliki tingkat partisipasi tinggi dan tergolong tinggi adopsi pengelolaan dan pengembangan tanaman sebanyak 15 orang atau sebesar 33,3 persen. Petani responen yang memiliki partisipasi tinggi dan tergolong sedang sebanyak 1 orang atau sebesar 35,5 persen serta sebanyak 1 orang atau sebesar 6,6 persen petani responden yang memiliki tingkat partisipasi tinggi serta tergolong rendah pengelolaan dan pengenbangan tanaman.

Cotando dalam Soegijanto Padmo (2000), bahwa partisipasi yang para petani dalam kelompok-kelompok petani sangat berkaitan dengan komunikasi teknisi-teknisi manajemen pertanian dengan petani-petani padi, selanjutnya suksesnya segala program pembangunan akan tergantung pada partisipasi aktif dari pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi level pedesaan. Tingkat partisipasi petani responden dalam kelompok tani di Kabupaten Blora termasuk dalam kategori tinggi, hal ini ditunjukkan dengan 32 orang atau sebanyak 75 persen petani responden mengikuti seluruh kegiatan dalam kelompok tani. Petani responden juga rajin

commit to user

tanam, karena agenda pertemuan telah disusun berdasarkan kesepakatan bersama antara petani dan penyuluh pertanian (PPL).

6. Kekosmopolitan Berdasarkan Tabel 5.4 mengenai tingkat partisipasi dalam kelompok tani, dapat diketahui bahwa distribusi karakteristik petani pada masing-masing komponen adopsi dalam SLI yaitu:

a. Pengetahuan tentang Iklim Tidak terdapat petani responden yang tidak kosmopolit dan tergolong tahu, serta tergolong tidak tahu. Petani responden yang tidak kosmopolit dan tergolong tahu sebanyak 1 orang atau 2,2 persen, Petani responden yang cukup kosmopolit dan tergolong kategori tahu sebanyak 10 orang atau sebesar 22,2 persen, selanjutnya sebanyak 16 orang atau 35,5 persen tergolong kategori cukup tahu, dan yang tergolong tidak tahu sebanyak 6 orang atau 13,3 persen.

Petani responden yang kosmopolit dan tergolong tahu sebanyak 4 orang atau sebesar 8,8 persen. Petani responden yang kosmopolit dan tergolong cukup tahu sebanyak 7 orang atau 15,5 persen, sedangkan petani responden kosmopolit dan tergolong tidak tahu sebanyak 1 orang atau sebesar 2,2 persen.

b. Penetapan Pola Tanam Petani responden yang tidak kosmopolit dan tergolong tinggi maupun sedang penetapan pola tanamnya tidak ada, sedangkan yang tergolong rendah sebanyak 1 orang atau 2,2 persen. Petani responden yang cukup kosmopolit dan tergolong kategori tinggi penerapan pola tanamnya sebanyak 8 orang atau sebesar 17,7 persen, selanjutnya sebanyak 16 orang atau 35,5 persen tergolong kategori cukup kosmopolit, dan yang tergolong rendah penetapan pola tanamnya sebanyak 8 orang atau 17,7 persen.

commit to user

pola tanamnya sebanyak 5 orang atau sebesar 11,1 persen. Petani responden yang kosmopolit dan tergolong sedang sebanyak 7 orang atau 15,5 persen, sedangkan petani responden kosmopolit dan tergolong rendah penetapan pola tanamnya sebanyak 1 orang atau sebesar 2,2 persen.

c. Pengenalan dan Cara Penggunaan Agen Hayati Pengenalan dan cara penggunaan agen hayati tinggi maupun sedang tidak ada petani responden yang tidak kosmopolit sedangkan yang tergolong rendah sebanyak 1 orang atau 2,2 persen. Petani responden yang cukup kosmopolit dan tergolong kategori tinggi penerapan pola tanamnya sebanyak 15 orang atau sebesar 33,3 persen, selanjutnya sebanyak 12 orang atau 26,6 persen tergolong kategori cukup kosmopolit, dan yang tergolong rendah sebanyak 5 orang atau 11,1 persen.

Petani responden yang kosmopolit dan tergolong tinggi adopsinya sebanyak 2 orang atau sebesar 4,4 persen. Petani responden yang kosmopolit dan tergolong sedang sebanyak 9 orang atau 20 persen, sedangkan petani responden kosmopolit dan tergolong rendah adopsinya sebanyak 1 orang atau sebesar 2,2 persen.

d. Pengelolaan dan Pengembangan Tanaman Terdapat 1 petani responden yang tidak kosmopolit dan tergolong tinggi pengelolaan dan pengembangan tanamannya, sedangkan tidak terdapat petani responden yang tidak kosmopolit yang tergolong sedang maupun rendah pengelolaan dan pengembangan tanamannya.

Petani responden yang cukup kosmopolit dan tergolong kategori tinggi pengelolaan dan pengembangan tanaman sebanyak 10 orang atau sebesar 22,2 persen, selanjutnya sebanyak 19 orang atau 42,2 persen tergolong kategori cukup kosmopolit, dan yang tergolong

commit to user

atau 6,6 persen. Petani responden yang kosmopolit dan tergolong tinggi pengelolaan dan pengembangan tanaman sebanyak 7 orang atau sebesar 15,5 persen. Petani responden yang kosmopolit dan tergolong sedang sebanyak 5 orang atau 11,1 persen, sedangkan tidak ada petani responden kosmopolit dan tergolong rendah pengelolaan dan pengembangan tanamannya.

Hal ini berarti bahwa petani di Kabupaten Blora melakukan kegiatan dikeluar sistem sosialnya untuk mencari informasi yang berhubungan dengan SLI. Hal ini terjadi karena petani responden di Kabupaten Blora saling bertukar informasi tentang SLI walaupun informasi tentang SLI lebih banyak diperoleh dari penyuluh pertanian (PPL) melalui pertemuan kelompok tani didaerah tersebut. Selain itu petani di Kabupaten Blora, sehingga untuk mengembangkan usahatani padi, petani bersama-sama penyuluh masih perlu melakukan studi banding ke daerah lain. Selain keluar daerah untuk mencari informasi pertanian, petani juga melakukan kegiatan lain yaitu mencari nafkah (bekerja sampingan), mengunjungi saudara, dan menghadiri undangan.

Petani responden melakukan kegiatan bepergian ke desa lain/kota sebanyak lebih dari 4 kali untuk mencari informasi pertanian dalam satu musim tanam. Selain itu juga petani responden mencari informasi secara interpersonal lebih dari 10 kali dalam satu musim tanam. Penggunaan media cetak yang diakses petani responden sebanyak 5 sampai dengan 9 kali dalam satu musim tanam, karena tidak banyak petani responden yang berlangganan majalah ataupun surat kabar, sedangkan penggunaan media elektronik yaitu berupa radio untuk memperoleh informasi pertanian.

7. Sumber Informasi yang dimanfaatkan Berdasarkan Tabel 5.4 mengenai mengenai sumber informasi yang dimanfaatkan responden, dapat diketahui bahwa distribusi karakteristik petani pada masing-masing komponen adopsi dalam SLI yaitu:

commit to user

Petani responden kategori kurang beragam (memanfaatkan 1-2 sumber informasi) sebanyak 2 orang atau 4,4 persen responden yang termasuk dalam kategori tahu, sedangkan yang termasuk dalam kategori cukup tahu sebanyak 14 orang atau sebesar 31,1 persen, yang temasuk dalam kategori tidak tahu sebanyak 6 orang atau sebesar 13,3 persen. Selanjutnya, responden kategori cukup beragam (memanfaatkan 3-4 sumber informasi) sebanyak 12 orang atau sebesar 26,6 persen temasuk kategori tahu, 10 orang termasuk kategori cukup tahu atau sebesar 22,2 persen dan 1 orang atau sebesar 2,2 persen termasuk kategori tidak tahu. Tidak terdapat petani yang masuk dalam ketegori beragam (memanfaatkan lebih dari 5 sumber informasi) dan tergolong tahu, cukup tahu maupun tidak tahu.

b. Penetapan pola tanam Tidak terdapat petani responden yang termasuk kategori beragam dan tergolong penetapan pola tanam yang tinggi, sedang maupun rendah. Petani responden kategori kurang beragam (memanfaatkan 1-2 sumber informasi) sebanyak 2 orang atau 4,4 persen responden yang termasuk dalam kategori tinggi penetapan pola tanamnya, sedangkan yang termasuk dalam kategori penetapan pola tanam sedang sebanyak

12 orang atau sebesar 26,6 persen, yang temasuk dalam kategori rendah sebanyak 8 orang atau sebesar 17,7 persen. Selanjutnya, responden kategori cukup beragam (memanfaatkan 3-4 sumber informasi) sebanyak 12 orang atau sebesar 26,6 persen temasuk kategori tahu, 10 orang termasuk kategori penetapan pola tanam sedang atau sebesar 22,2 persen dan 1 orang atau sebesar 2,2 persen termasuk kategori penetapan pola tanam rendah.

c. Pengenalan dan Cara Penggunaan Agen Hayati Petani responden kategori kurang beragam (memanfaatkan 1-2 sumber informasi) sebanyak 6 orang atau 13,3 persen responden yang

commit to user

hayati, sedangkan yang termasuk kategori sedang dalam pengenalan dan cara penggunaan agen hayati sebanyak 11 orang atau sebesar 24,4 persen, yang temasuk kategori rendah sebanyak 5 orang atau sebesar 11,1 persen.

Selanjutnya, responden kategori cukup beragam (memanfaatkan 3-

4 sumber informasi) sebanyak 11 orang atau sebesar 24,4 persen temasuk kategori sedang dalam pengenalan dan cara penggunaan agen hayati, 10 orang termasuk kategori cukup tahu atau sebesar 22,2 persen dan 2 orang atau sebesar 4,4 persen termasuk kategori rendah. Tidak terdapat petani yang masuk dalam ketegori beragam (memanfaatkan lebih dari 5 sumber informasi) dan tergolong tinggi, sedang maupun rendah.

d. Pengelolaan dan Pengembangan Tanaman Tidak terdapat petani responden yang termasuk kategori beragam dan tergolong pengelolaan dan pengembangan tanaman yang tinggi, sedang maupun rendah. Petani responden kategori kurang beragam (memanfaatkan 1-2 sumber informasi) sebanyak 2 orang atau 4,4 persen responden yang termasuk kategori tinggi dalam pengelolaan dan pengembangan tanaman, sedangkan yang termasuk kategori sedang pengelolaan dan pengembangan tanaman sebanyak 16 orang atau sebesar 35,5 persen, yang temasuk dalam kategori rendah sebanyak 4 orang atau sebesar 8,8 persen.

Responden kategori cukup beragam (memanfaatkan 3-4 sumber informasi) sebanyak 16 orang atau sebesar 35,5 persen temasuk kategori tinggi pengelolaan dan pengembangan tanaman, 7 orang termasuk kategori pengelolaan dan pengembangan tanaman sedang atau sebesar 15,5 persen. Tidak ada petani responden kategori cukup beragam tergolong pengelolaan dan pengembangan tanaman rendah dan juga tidak ada petani responden yang termasuk kategori beragam serta

commit to user

maupun rendah. Pemanfaatan sumber informasi mengenai SLI diperoleh dari Dinas Pertanian, penyuluh, ketua kelompok tani, dan keluarga. Sumber informasi terbesar yang digunakan oleh petani responden adalah penyuluh dan petani lain, karena adanya pertemuan kelompok setiap dua minggu sekali dan terkadang penyuluh pertanian (PPL) menemui petani di lahan untuk keperluan tertentu, sebagai contoh adanya permasalahan meluasnya hama wereng yang menyerang tanaman padi, oleh karena itu petani sering berdiskusi dengan penyuluh pertanian (PPL). Sumber informasi mengenai SLI juga diperoleh dari petani lain yang sangat bermanfaat sebagai media tukar pikiran dan petani dapat memutuskan untuk mengadopsi komponen SLI.

Keluarga dan kelompok tani juga menjadi sumber informasi, menurut Soetriono (2006) dikatakan bahwa keputusan dibuat oleh keluarga petani karena berbagai macam kegiatan usahatani dilakukan oleh keluarga sehingga berbagai pekerjaan dibagi antara keluarga. Pekerjaan dibagi menurut adat dan kebiasaan setempat, kebanyakan keputusan tentang pertanian masih dibuat petani secara perseorangan akan tetapi keputusan-keputusan itu dibuat dalam rangka memenuhi hasrat untuk memberikan sesuatu yang lebih baik bagi keluarganya. Anggota-anggota keluarga yang mungkin memberikan tekanan kepada petani dalam mengambil keputusan merupakan dorongan yang efektif dalam banyak hal untuk meningkatkan produktivitas usahatani. Petani responden di Kabupaten Blora memutuskan mengadopsi ataupun tidak mengadopsi komponen dalam SLI dengan pertimbangan anggota keluarga. Selanjutnya Ketua kelompok tani juga menjadi sumber informasi mengenai SLI di masing-masing desa karena ketua kelompok tani merupakan penggerak utama pelaksanaan SLI di Kabupaten Blora.

commit to user

dalam Sekolah Lapang Iklim (SLI)

Sekolah Lapang Iklim (SLI) meliputi empat komponen yaitu: pengetahuan tentang iklim, penetapan pola tanam, pengenalan dan cara penggunaan agen hayati serta pengelolaan dan pengembangan tanaman. Hubungan antara karakteristik petani dengan tingkat adopsi dalam SLI yakni, pendidikan formal, tingkat pendapatan, luas usahatani, keberanian mengambil resiko, tingkat partisipasi dalam kelompok tani, kekosmopolitan, sumber informasi yang dimanfaatkan tersaji pada tabel berikut:

Tabel 5.9 Hubungan Antara Karakteristik Petani dengan Tingkat Adopsi dalam SLI

Karakteristik Petani (X)

Tingkat Adopsi (Y)

r S t hitung Keterangan

X1 -0,163

Sumber : Analisis Data Primer Tahun 2011

Keterangan :

** : Sangat signifikan pada α= 0,01

(T tabel = 1,303)

* : Signifikan pada α= 0,05

(Ttabel= 2,031)

: Korelasi rank Spearman

XI : Pendidikan Formal

X2 : Tingkat Pendapatan X3 : Luas Usahatani X4 : Keberanian Mengambil Resiko

X5 : Tingkat Partisipasi dalam Kelompok Tani X6 : Kekosmopolitan X7 : Sumber Informasi yang

dimanfaatkan NS : Non Signifikan (Tidak Signifikan) SS : Sangat Signifikan S : Signifikan

1. Hubungan Antara Pendidikan Formal Dengan Tingkat Adopsi Petani dalam SLI

Berdasarkan tabel 5.9 menunjukkan bahwa nilai r S yaitu sebesar -0,163, pada a = 0,05, dengan t hitung sebesar (-1,083) < t tabel (2,031) maka

commit to user

pendidikan formal dengan tingkat adopsi SLI. Menurut Madigan (1962) dalam Cruz (1987), petani yang mencapai pendidikan lebih tinggi mempunyai tingkat adopsi yang lebih tinggi daripada mereka yang mencapai tingkat pendidikan yang rendah. Berdasarkan analisis data di lapang, diketahui bahwa pendidikan petani berkisar SD, SLTP, SLTA, PT. Dengan kondisi pendidikan formal yang sedemikian rupa, semua petani responden memiliki kemampuan baca tulis.

Sekolah Lapang Iklim merupakan sebuah program dan dalam pelaksanaannya petani di mengenai pemanfaatan sudah diberi petunjuk pelaksanaan cara-cara budidaya yang benar. Jadi, pendidikan formal petani responden merupakan suatu aspek pendukung dalam SLI. Dengan latar belakang pendidikan formal yang berbeda sebenarnya hanya membentuk karakter yang berbeda antara petani yang satu dengan petani yang lain. Sehingga jika dalam pendidikan formal yang ditempuh tidak pernah menyinggung tentang komponen dalam SLI meliputi pengetahuan tentang iklim, penetapan pola tanam, pengenalan dan penggunaan agen hayati, serta pengelolaan dan pengembangan tanaman maka pendidikan formal yang ditempuh tidak akan mempunyai peran dalam adopsi.

Pendidikan formal akan lebih terlihat perannya jika didukung dengan pendidikan non formal seperti pelatihan yang lebih mengarah pada pengetahuan yang lebih spesifik (budidaya padi). Melalui ini penilaian petani terhadap suatu inovasi akan timbul nantinya akan memunculkan perilaku yang berbeda pada kegiatan usahantani mereka. Jadi, rendah atau tingginya pendidikan formal yang ditempuh petani tidak berhubungan nyata dengan tingkat adopsi SLI.

2. Hubungan Antara Tingkat Pendapatan dengan Adopsi Petani dalam SLI

Berdasarkan Tabel 5.9 menunjukkan bahwa nilai r S yaitu sebesar 0,800, pada a = 0,05, t hitung sebesar (8,74) > t tabel (2,031) maka Ho ditolak,

commit to user

pendapatan dengan tingkat adopsi petani dalam SLI. Menurut Gustaman (2004), rendahnya tingkat pendapatan di sektor pertanian salah satunya disebabkan oleh tingkat kepemilikan lahan pertanian yang sempit akibat jumlah penduduk yang semakin bertambah dari waktu ke waktu, sehingga ketersediaan lahan pertanian semakin berkurang akibat dibangunnya pemukiman baru di pedesaan. Selanjutnya menurut Hernanto (1984), secara umum pendapatan petani memang rendah pada usahatani tanaman pangan dan tanaman tahunan, untuk petani di Jawa ataupun di luar Jawa dan transmigran, pendapatan mereka relatif rendah.

Analisis di lapangan menunjukkan bahwa kepemilikan lahan pertanian di Kabupaten Blora merupakan sempit, hal ini ditunjukkan oleh penggunaan tanah untuk sawah di Kabupaten Blora hanya seluas 46.078,236 Ha atau seluas 25,31 persen. Penggunaan tanah untuk hutan mencapai 9.410,39 Ha atau 49,66 persen. Keadaan ini sejalan dengan pernyataan Gustaman (2004), bahwa ketersediaan lahan pertanian semakin sempit akibat berkembangnya pemukiman baru. Selanjutnya, dilihat dari segi pendapatan, petani responden di Kabupaten Blora berada dalam

kategori rendah, yaitu berkisar antara Rp 579.600,00-Rp 4.768.504,00. dalam satu musim, dengan rata-rata pendapatan dalam satu musim tanam sebesar Rp 3,874.778,90.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat adopsi petani dalam SLI ternyata ditentukan oleh pendapatan petani. Petani menerapkan komponen SLI dengan memperhatikan kondisi pendapatannya tinggi atau rendah. Temuan ini menegaskan bahwa tinggi rendahnya tingkat pendapatan petani serta-merta membuat mereka menerapkan komponen SLI. Dengan demikian, faktor tingkat pendapatan dalam mempengaruhi adopsi inovasi yang dikemukakan oleh Van den Ban dan Hawkins telah mendapat konfirmasi empirik dalam penelitian ini.

commit to user

adopsi petani terhadap inovasi yang ada. Petani dengan pendapatan tinggi akan lebih cepat mengadopsi inovasi dibandingkan dengan petani yang berpendapatan rendah. Hal ini dapat terjadi karena dengan pendapatan tinggi, keadaan ekonomi seseorang akan lebih baik dan cenderung mencoba hal-hal baru yang ada di sekitar mereka.

3. Hubungan Antara Luas Usahatani dengan Tingkat Adopsi Petani dalam SLI

Berdasarkan Tabel 5.9 menunjukkan bahwa nilai r S yaitu sebesar 0,125, pada a = 0,05, t hitung sebesar (0,826) < t tabel (2,031) maka Ho diterima, yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara luas usahatani dengan tingkat adopsi petani dalam SLI.

Menurut Hanafi (1987), ciri–ciri sosial ekonomi anggota sistem yang lebih inovatif yaitu memiliki luas usahatani yang luas, serta lebih berorientasi pada ekonomi komersial, dimana produk-produk yang dihasilkan ditujukan untuk dijual bukan semata-mata untuk konsumsi sendiri. Untuk itu mereka yang mengadopsi inovasi lebih meningkatkan produksi. Analisis data di lapangan menunjukkan bahwa luas usahatani tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingkat adopsi petani dalam SLI di Kabupaten Blora.

Karakteristik petani responden di Kabupaten Blora adalah petani berlahan sempit, yaitu dengan luas rata-rata 0,37 Ha. Mayoritas luas usahatani yang dikerjakan oleh petani di Kabupaten Blora merupakan

lahan yang sempit, mayoritas seluas 2500 m 2 . Meskipun orientasi petani untuk bertani mulai beralih menuju orientasi ekonomi, akan tetapi dengan melihat luas usahatani yang dikerjakan, membuat petani tidak optimal untuk mengarah kepada orientasi ekonomi.

Lionberger dalam Mardikanto (1996) menyebutkan bahwa semakin luas penguasaan lahan biasanya semakin cepat mengadopsi, karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik. Pernyataan tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian. Temuan ini menegaskan

commit to user

membuat mereka menerapkan komponen SLI. Dengan demikian, faktor luas lahan dalam mempengaruhi adopsi inovasi belum mendapat konfirmasi empirik dalam penelitian ini. Tidak ada jaminan bahwa petani yang memiliki lahan yang luas akan mudah melakukan adopsi inovasi. Hubungan yang tidak signifikan dikarenakan penerapan komponen SLI tidak membutuhkan lahan yang luas.

4. Hubungan Antara Keberanian Mengambil Resiko dengan Tingkat Adopsi Petani dalam SLI

Berdasarkan Tabel 5.5 menunjukkan bahwa nilai r S yaitu sebesar 0,035, pada a = 0,05, t hitung sebesar (1,506) < t tabel (2,031) maka Ho diterima, yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keberanian mengambil resiko dengan tingkat adopsi petani dalam SLI.

Menurut Lionberger (1960) dalam Mardikanto (1993), individu yang memiliki keberanian menghadapi resiko biasanya lebih inovatif. Tingkat keberanian mengambil resiko petani di Kabupaten Blora termasuk dalam ketegori berani mengambil resiko, akan tetapi tidak dilihat adanya hubungan yang signifikan antara keberanian mengambil resiko dengan tingkat adopsi petani dalam SLI. Menurut Samsudin (1982), seseorang menerima sesuatu hal baru atau ide selalu melalui tahapan-tahapan. Tahapan ini dikenal dengan proses adopsi, pada tahap ini sebagai tahap akhir, petani sudah mempraktekkan hal-hal baru dengan keyakinan akan berhasil. Petani responden yang berani mengambil resiko pada umumnya belum tahu hasil dari inovasi yang akan diterapkan.

Komponen SLI terdiri dari berberapa komponen yang diadopsi, misalnya petani berani menggunakan pestisida organik, tetapi juga berani menggunakan pestisida kimia. Selanjutnya penggunaan pupuk yang diadopsi dari SLI yaitu petani responden berani menggunakan pupuk organik, akan tetapi tidak hanya pupuk kompos secara keseluruhan tetapi juga masih dibarengi menggunakan pupuk kimia. Hal ini tidak sesuai dengan teori, tinggi rendahnya keberanian mengambil resiko tidak

commit to user

keberanian mengambil resiko tetapi tidak menerapkan komponen SLI ataupun hanya sebagian menerapkan komponen SLI tidak secara keseluruhan (adopsi sedang).

5. Hubungan Antara Tingkat Partisipasi dalam Kelompok Tani dengan Tingkat Adopsi Petani dalam SLI

Berdasarkan Tabel 5.5 menunjukkan bahwa nilai r S yaitu sebesar 0,894, pada a = 0,05, t hitung sebesar (13,083) > t tabel (2,031) maka Ho ditolak, yang artinya terdapat hubungan yang signifikan dengan arah yang positif antara tingkat partisipasi dalam kelompok tani dengan tingkat

adopsi petani dalam SLI. Lionberger (1960) dalam Mardikanto (1996), Warga masyarakat yang suka bergaul dengan orang-orang di luar sistem sosialnya sendiri, umumya lebih inovatif dibanding mereka hanya melakukan kontak pribadi dengan masyarakat setempat. Hal ini juga dialami oleh petani di Kabupaten Blora yang memiliki tingkat partisipasi dalam kategori tinggi yakni petani responden rajin mengikuti pertemuan rutin selain SLI lebih dari 10 kali dalam satu musim tanam, karena agenda pertemuan telah disusun berdasarkan kesepakatan bersama antara petani dan penyuluh pertanian (PPL). Petani responden yang selalu mengikuti kegiatan kelompok tani baik berupa pertemuan rutin kelompok maupun agenda pertemuan lapang lainnya tidak akan ketinggalan informasi dalam setiap kegiatan yang dilakukan, misalnya: pada suatu pertemuan, penyuluh memperkenalkan inovasi baru yang langsung dilihat dan dipraktekkan oleh petani responden sehingga mereka akan lebih tertarik mengadopsinya dibandingkan jika mereka tidak ikut, sehingga semakin aktif partisipasi petani responden dalam kelompok tani maka penerapan komponen- komponen SLI juga semakin tinggi.

commit to user

SLI Berdasarkan Tabel 5.5 menunjukkan bahwa nilai r S yaitu sebesar 0,305, pada a = 0,05, t hitung sebesar (2,100) > t tabel (2,031) maka Ho ditolak, yang artinya terdapat hubungan yang signifikan dengan arah yang positif antara kekosmopolitan dengan tingkat adopsi petani dalam SLI. Tingkat kekosmopolitan merupakan karakteristik yang mempunyai hubungan dan pandangan yang luas dengan “dunia luar” diluar sistem sosialnya sendiri. Kekosmopolitan dicirikan oleh frekuensi pergi ke kota atau keluar kota kabupaten dan jarak tempuh perjalanan yang dilakukan.

Petani dengan tingkat kekosmopolitan yang tinggi biasanya lebih cepat menerapkan inovasi karena lebih cepat mendapatkan informasi dari luar sistem sosialnya sendiri. Informasi tentang pemanfaatan informasi iklim dalam budidaya padi. Penyuluhan yang dilakukan penyuluh dirasa masih kurang cukup memberikan informasi, sehingga beberapa petani masih harus keluar desa atau kota untuk mencari informasi yang berkaitan dengan SLI.

Petani responden melakukan kegiatan bepergian ke desa lain/kota sebanyak lebih dari 4 kali untuk mencari informasi pertanian dalam satu musim tanam. Selain itu juga petani responden mencari informasi secara interpersonal lebih dari 10 kali dalam satu musim tanam. Penggunaan media cetak yag diakses petani responden sebanyak 5 sampai dengan 9 kali dalam satu musim tanam, karena tidak banyak petani responden yang berlangganan majalah ataupun surat kabar, sedangkan penggunaan media elektronik yaitu berupa radio untuk memperoleh informasi pertanian. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Hanafi (1981), bahwa kekosmopolitan menjadikan relatif awal dalam mengadopsi inovasi baru, jadi semakin petani kosmopolit maka relatif awal dalam adopsi inovasi.

commit to user

Adopsi Petani dalam SLI Berdasarkan Tabel 5.5 menunjukkan bahwa nilai r S yaitu sebesar

0,883, pada a = 0,05, t hitung sebesar (12,336) > t tabel (2,031) maka Ho ditolak yang artinya terdapat hubungan yang signifikan dengan arah yang positif antara sumber informasi yang dimanfaatkan dengan tingkat adopsi petani dalam SLI.

Menurut Rogers (1983) menyatakan bahwa saluran komunikasi dalam keputusan inovasi adalah alat yang dipergunakan untuk menyebarluaskan suatu inovasi yang mungkin berpengaruh terhadap kecepatan pengambilan keputusan inovasi. Sumber informasi terbesar yang digunakan oleh petani responden adalah penyuluh dan petani lain, karena adanya pertemuan kelompok setiap dua minggu sekali dan terkadang penyuluh pertanian (PPL) menemui petani di lahan untuk keperluan tertentu, sebagai contoh adanya permasalahan meluasnya hama wereng yang menyerang tanaman padi, oleh karena itu petani sering berdiskusi dengan penyuluh pertanian (PPL). Sumber informasi mengenai SLI juga diperoleh dari petani lain yang sangat bermanfaat sebagai media tukar pikiran dan petani dapat memutuskan untuk mengadopsi komponen SLI.

Sumber informasi ini dianalisis berdasarkan jenis atau banyaknya sumber informasi yang diakses dan frekuensi mengakses sumber tersebut. Jenis sumber informasi yang diakses berasal dari sumber informasi inrtpersonal dan sumber informasi media massa. Sumber informasi interpersonal yang dimanfaatkan petani terdiri dari dinas pertanian, penyuluh, ketua kelompok tani, petani lain dan keluarga, sedangkan jenis sumber media massa yang dimungkinkan untuk bisa diakses oleh responden antara lain poster dan leaflet. Petani yang memanfaatkan banyak sumber informasi memiliki peluang untuk lebih besar mengadopsi komponen SLI.

commit to user

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang mengkaji hubungan karakteristik petani dengan tingkat adopsi petani dalam Sekolah Lapang Iklim (SLI) di Kabupaten Blora maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Distribusi karakteristik petani responden:

a. Sebagian besar (66,7 %) tingkat pendidikan responden termasuk dalam kategori sedang, yaitu selama 7 tahun sampai 12 tahun.

b. Mayoritas (71,1%) responden berpendapatan rendah, sebesar Rp 579.600,00-Rp 4.768.504,00 dalam satu musim tanam.

c. Mayoritas (73,4%) responden memiliki luas usahatani yang sempit, yaitu seluas 0,18 ha sampai 0,45 ha.

d. Keberanian mengambil resiko dari mayoritas (71%) responden termasuk dalam kategori berani mengambil resiko.

e. Tingkat Partisipasi dalam Kelompok Tani mayoritas ( 75%) responden termasuk dalam kategori tinggi.

f. Kekosmopolitan mayoritas ( 71,1%) responden termasuk dalam kategori cukup kosmopolit.

g. Sumber Informasi yang digunakan mayoritas (51,1%) responden termasuk dalam kategori cukup beragam meliputi Dinas Pertanian, penyuluh, ketua kelompok tani, dan keluarga.

2. Tingkat adopsi komponen SLI oleh petani responden :

a. Pengetahuan tentang iklim dari mayoritas ( 53,3%) responden termasuk dalam kategori sedang.

b. Penetapan pola tanam dari mayoritas (50,8%) responden berada dalam kategori sedang.

c. Pengenalan dan penggunaan agen hayati metharizium mayoritas (46,7%) responden termasuk kategori sedang,

d. Pengembangan dan pengelolaan tanaman mayoritas (51,1%) responden termasuk dalam kategori sedang.

commit to user

pendapatan, tingkat partisipasi dalam kelompok tani, kekosmopolitan, dan sumber informasi yang dimanfaatkan. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan formal, luas usahatani dan keberanian mengambil resiko.

B. Saran

1. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat partisipasi dalam kelompok tani memberikan pengaruh positif terhadap adopsi, untuk itu tingkat partisipasi dalam kelompok tani juga perlu ditingkatkan misalnya dengan pendekatan perorangan oleh penyuluh kepada petani dalam setiap kegiatan SLI sehingga petani peserta SLI. Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa tingkat partisipasi dalam kelompok tani yang tinggi memberikan pengaruh terhadap tingkat adopsi yang tinggi.

2. Hendaknya penggunaan media cetak (lealet, dan poster) terkait SLI ini perlu untuk dikembangkan dan ditingkatkan. Hal ini memberikan potensi yang lebih besar terhadap adopsi komponen SLI untuk petani peserta SLI di Kabupaten Blora.