BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan antara Television Viewing,Perceived Realism, Materialism, dan Perceived Well-Being

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Maslow dalam Setiadi (2003:107) bahwa “Manusia adalah makhluk yang banyak keinginan.” Bila salah satu keinginan terpenuhi, maka keinginan lain muncul. Informasi adalah salah satu kebutuhan bagi manusia. Media televisi sebagai salah satu alat dalam penyebaran informasi yang menggunakan perangkat satelit, kini menjadi media informasi yang terus berkembang pesat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya stasiun televisi yang ada di Indonesia serta semakin luas jangkauannya, sampai ke pelosok desa. Artinya semakin banyak orang yang berkesempatan menonton TV.

Televisi merupakan salah satu media hiburan dan informasi yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Televisi adalah media paling utama yang dapat diakses, dinikmati dan mudah terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat serta senantiasa menjadi populer di belahan dunia berkembang. Hal ini dikarenakan televisi mempunyai kemampuan audio visual yang membuat televisi menjadi lebih unggul dibanding dengan media informasi lainnya.

Televisi mampu menciptakan suasana tertentu, yaitu pemirsanya dapat melihat sambil duduk santai tanpa kesengajaan untuk menyaksikannya. Penyampaian pesan seolah-olah langsung antara komunikator dan Televisi mampu menciptakan suasana tertentu, yaitu pemirsanya dapat melihat sambil duduk santai tanpa kesengajaan untuk menyaksikannya. Penyampaian pesan seolah-olah langsung antara komunikator dan

Televisi melalui iklan dan programnya memiliki karakteristik yang berkontribusi terhadap efek bersosialisasi. Anak-anak sering menggunakan televisi untuk mempelajari fakta-fakta baru atau informasi. Dengan menonton televisi anak-anak bisa belajar bagaimana setiap orang berperilaku (Stroman, et al dalam Berry, 1998). Televisi dapat menciptakan perceived realism dengan sifatnya yang visual, dengan kombinasi warna-warna, suara dan gerakan, maka iklan-iklan televisi nampak begitu hidup dan nyata (Jefkins, 1997:110). Perceived realism didefinisikan sebagai derajat kesamaan persepsi antara karakter dan situasi di media dengan karakter dan situasi di kehidupan nyata (Barriga et al, 2009). Greenberg dalam Berry (1998), mengemukakan bahwa anak-anak dan remaja yang menonton televisi lebih dari rekan-rekan mereka, lebih cenderung untuk mengevaluasi program dan iklan televisi sebagai pertunjukan yang lebih realistis dan dapat dipercaya. Penelitian oleh Leifer et al dalam Berry (1998) menunjukkan bahwa anak-anak mengubah sikap mereka tentang orang dan peristiwa untuk mencerminkan yang ditemui dalam program televisi.

Bagi seseorang yang melihat iklan televisi sebagai gambaran realistis konsumen, Richins dalam Speck dan Roy (2008) lebih lanjut mengemukakan bahwa hubungan antara jam yang dihabiskan menonton televisi dan materialism adalah signifikan. Morgan dalam Sirgy et al (1998) mengemukakan bahwa terdapat hubungan positif antara pemirsa terlevisi dan Bagi seseorang yang melihat iklan televisi sebagai gambaran realistis konsumen, Richins dalam Speck dan Roy (2008) lebih lanjut mengemukakan bahwa hubungan antara jam yang dihabiskan menonton televisi dan materialism adalah signifikan. Morgan dalam Sirgy et al (1998) mengemukakan bahwa terdapat hubungan positif antara pemirsa terlevisi dan

Perilaku materialism yaitu dimana seseorang menilai suatu objek berdasarkan kepemilikan atas barang tangible (Lamb dan Mc Daniel, 2001:205). Menurut Speck dan Roy (2008), materialisme adalah konsumsi berdasarkan orientasi untuk pencarian kesenangan, berkepentingan tinggi pada persoalan pokok material. Materialism menyebabkan semakin banyak orang yang mengejar nilai materi tersebut untuk kepuasan hidupnya. Seseorang yang memiliki perilaku materialism akan berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan dan kepuasan hidupnya dengan terus menambahkan kepemilikan barang dalam hidupnya untuk menikmati suatu status posisi sosial (Fitzmaurice dan Comegys, 2006).

Mempelajari materialisme pada akhirnya menemukan efek consumers’ well-being atau perceived well-being (Diener dan Oishi dalam Speck dan Roy, 2008). Diener dalam LaBarbera dan Gurhan (1997) subjective well- being didefinisikan sebagai penilaian kognitif dan afektif individu mengenai kepuasan hidup mereka. Dalam studi yang dilakukan oleh Speck dan Roy (2008) terdapat dua indikator perceived well-being yaitu : perceived socioeconomic statues dan relatife life satisfaction. Perceived socioeconomic statues merupakan perasaan seseorang tentang kedudukan dalam sistem sosial berkenaan dengan penggambaran di media. Sedangkan relative life satisfaction merupakan kebahagiaan seseorang sehubungan dengan tolok ukur yang spesifik dalam hidup mereka.

Studi sebelumnya masih terdapat perbedaan hasil penelitian terkait dengan hubungan antara television viewing, perceived realism, materialism, dan perceived well-being . Kondisi yang demikian ini merupakan peluang yang menarik untuk dilakukan studi lanjutan untuk memberikan penjelasan secara teoritikal. Berikut ini penjelasan terhadap perbedaan hasil penelitian yang dimaksud.

Perbedaan pertama terkait television viewing dengan perceived realism.

Greenberg dalam Berry (1998), mengemukakan bahwa anak-anak dan remaja yang menonton televisi lebih dari rekan-rekan mereka, lebih cenderung untuk mengevaluasi program dan iklan televisi sebagai pertunjukan yang lebih

realistis dan dapat dipercaya. Dari hasil studi literature yang dilakukan oleh O’Guinn dan Shrum (1997), efek dari menonton televisi adalah sebuah pandangan yang bias tentang kehidupan nyata dengan gambaran kehidupan dalam tayangan televisi. Akan tetapi dalam studi literature yang dilakukan oleh Speck dan Roy (2008) hubungan positif antara television viewing dan perceived realism menunjukkan hasil yang tidak signifikan di negara Barat (Amerika Serikat dan Selandia Baru), Amerika Latin dan Timur Tengah.

Perbedaan kedua terkait dengan perceived realism dengan materialism. Morgan dalam Sirgy et al (1998) mengemukakan bahwa terdapat hubungan positif antara pemirsa televisi dan materialisme bagi orang yang percaya bahwa iklan televisi sebagai gambaran realitas konsumen. Akan tetapi dalam studi literature yang dilakukan oleh Speck dan Roy (2008) hubungan positif antara perceived realism dan materialism menunjukkan hasil yang tidak Perbedaan kedua terkait dengan perceived realism dengan materialism. Morgan dalam Sirgy et al (1998) mengemukakan bahwa terdapat hubungan positif antara pemirsa televisi dan materialisme bagi orang yang percaya bahwa iklan televisi sebagai gambaran realitas konsumen. Akan tetapi dalam studi literature yang dilakukan oleh Speck dan Roy (2008) hubungan positif antara perceived realism dan materialism menunjukkan hasil yang tidak

Perbedaan ketiga terkait dengan materialism dengan perceived socioeconomic statues . Penelitian oleh Richins dan Dawson dalam Speck dan Roy (2008) yaitu konsumen dengan materialisme rendah lebih puas dengan status ekonomi sosial mereka daripada mereka yang menempatkan nilai yang lebih tinggi pada hal-hal material. Sebaliknya dalam studi literature yang dilakukan oleh Speck dan Roy (2008) di Eropa Baru dan di negara Barat (Amerika Serikat dan Selandia Baru) menunjukkan hubungan positif yang signifikan antara materialism dan perceived socioeconomic statues dimana mengkonsumsi lebih akan memberikan kenyamanan, kemakmuran dan stabilitas masa depan. Dan hasil penelitian di Timur Tengah tidak menunjukkan hasil yang tidak signifikan hubungan antara materialism dan perceived socioeconomic statues baik secara negatif maupun positif.

Perbedaan keempat terkait dengan materialism dengan relative life satisfaction . Menurut Keng et al dalam Speck dan Roy (2008), orang-orang dengan kecenderungan derajat materialistis tinggi secara signifikan kurang puas dengan hidup dibanding kelompok dengan kecenderungan materialistis rendah. Hal tersebut didukung oleh hasil studi literature yang dilakukan oleh Tan et al (2006), yaitu menunjukkan hubungan negatif yang signifikan antara materialisme dan kepuasan hidup. Akan tetapi dalam studi literature yang dilakukan oleh Speck dan Roy (2008) hubungan negatif antara materialism dan relative life satisfaction tersebut menunjukkan hasil yang tidak signifikan Perbedaan keempat terkait dengan materialism dengan relative life satisfaction . Menurut Keng et al dalam Speck dan Roy (2008), orang-orang dengan kecenderungan derajat materialistis tinggi secara signifikan kurang puas dengan hidup dibanding kelompok dengan kecenderungan materialistis rendah. Hal tersebut didukung oleh hasil studi literature yang dilakukan oleh Tan et al (2006), yaitu menunjukkan hubungan negatif yang signifikan antara materialisme dan kepuasan hidup. Akan tetapi dalam studi literature yang dilakukan oleh Speck dan Roy (2008) hubungan negatif antara materialism dan relative life satisfaction tersebut menunjukkan hasil yang tidak signifikan

Perbedaan kelima terkait dengan perceived socioeconomic statues dengan relative life satisfaction. Fernandez dan Kulk dalam Speck dan Roy (2008) mengemukakan bahwa seseorang dengan status ekonomi sosial tinggi dalam lingkungannya memiliki kepuasan yang lebih tinggi daripada seseorang dengan penghasilan rendah dalam lingkungan yang sama. Akan tetapi dalam studi literature yang dilakukan oleh Speck dan Roy (2008) masih terdapat perbedaan yaitu hubungan negatif antara perceived socioeconomic statues dan relative life satisfaction tersebut menunjukkan hasil yang tidak signifikan di negara Amerika Latin dan Eropa Baru. Di Amerika Latin hasil tidak signifikan tersebut dikarenakan religiusitas berpengaruh kuat terhadap life satisfaction di negara tersebut. Sedangkan di Eropa Baru perceived realism lebih secara langsung mempengaruhi relative life satisfaction daripada materialism dan perceived socioeconomic statues.

Terkait dengan variabel-variabel amatan yang menjadi perdebatan dalam studi ini, model yang dikonstruksi bertumpu pada beberapa variabel yaitu television viewing, perceived realism, materialism, dan perceived well- being . Selanjutnya, model tersebut diuji dengan menggunakan latar belakang Indonesia. Hal ini diharapkan dapat memberikan konstribusi praktis dalam upaya untuk mengetahui pengaruh television viewing yang dapat menciptakan Terkait dengan variabel-variabel amatan yang menjadi perdebatan dalam studi ini, model yang dikonstruksi bertumpu pada beberapa variabel yaitu television viewing, perceived realism, materialism, dan perceived well- being . Selanjutnya, model tersebut diuji dengan menggunakan latar belakang Indonesia. Hal ini diharapkan dapat memberikan konstribusi praktis dalam upaya untuk mengetahui pengaruh television viewing yang dapat menciptakan

B. Permasalahan

Terkait dengan hubungan antar variabel yang dimodelkan berikut ini rumusan permasalahan yang didesain antara lain :

1. Hubungan antara television viewing dan perceived realism Iklan dan program televisi merupakan salah satu media yang diperkirakan mampu menciptakan efek realism bagi penontonnya. Sehingga semakin sering orang melihat televisi diperkirakan perceived realism semakin terbentuk. Dengan demikian permasalahan yang dirumuskan : Apakah terdapat hubungan positif antara quantity of television viewing dan perceived realism?

2. Hubungan antara perceived realism dan materialism Seseorang yang percaya tayangan televisi sebagai realitas kehidupan, maka menonton televisi digunakan sebagai alasan keperluan sosial untuk mengumpulkan informasi tentang gaya hidup dan perilaku yang merupakan prediktor kuat materialisme dan motivasi ekonomi untuk konsumsi. Dengan demikian permasalahan yang dirumuskan : Apakah terdapat hubungan positif antara perceived realism dan materialism?

3. Hubungan antara materialism dan perceived socioeconomic statues Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Richins dan Dawson dalam Speck dan Roy (2008) menjelaskan bahwa konsumen dengan materialisme rendah lebih puas dengan status ekonomi sosial mereka daripada mereka yang menempatkan nilai yang lebih tinggi pada hal-hal material. Berarti konsumen dengan materialisme tinggi lebih tidak puas dengan status ekonomi sosial mereka daripada mereka yang menempatkan nilai yang lebih rendah pada hal-hal material. Dengan demikian permasalahan yang dirumuskan : Apakah terdapat hubungan negatif antara materialism dan perceived socioeconomic statues ?

4. Hubungan antara materialism dan relative life satisfaction Menurut Keng et al dalam Speck dan Roy (2008), orang-orang dengan kecenderungan derajat materialistis tinggi secara signifikan kurang puas dengan hidup dibanding kelompok dengan kecenderungan materialistis rendah. Hasil studi literature yang dilakukan oleh Tan et al (2006) mengindikasikan bahwa materialisme memberikan kontribusi negatif terhadap kepuasan hidup. Dengan demikian permasalahan yang dirumuskan : Apakah terdapat hubungan negatif antara materialism dan relative life satisfaction?

5. Hubungan antara perceived socioeconomic statues dan relative life satisfaction Perceived socioeconomic status seorang individu, disisi lain, berkemungkinan mempengaruhi relative life satisfaction secara positif. Fernandez dan Kulk dalam Speck dan Roy (2008), mengemukakan bahwa seseorang dengan status ekonomi sosial tinggi dalam lingkungannya memiliki kepuasan yang lebih tinggi daripada seseorang dengan penghasilan rendah dalam lingkungan yang sama. Dengan demikian permasalahan yang dirumuskan : Apakah evaluation of perceived socioeconomic statues secara positif mempengaruhi relative life satisfaction?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara television viewing, perceived realism, materialism, dan perceived well-being . Berikut beberapa tujuan penelitian :

a. Untuk mengetahui hubungan antara television viewing dan perceived realism

b. Untuk mengetahui hubungan antara perceived realism dan materialism b. Untuk mengetahui hubungan antara perceived realism dan materialism

d. Untuk mengetahui hubungan antara materialism dan relative life satisfaction

e. Untuk mengetahui hubungan antara perceived socioeconomic statues dan relative life satisfaction

2. Manfaat Penelitian

a. Kemanfaatan teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pemahaman terkait dengan konsep yang dihipotesiskan. Hal ini dikarenakan fenomena yang diteliti bersifat spesifik, sehingga hasil yang diperoleh bersifat spesifik juga. Dengan demikian dapat digunakan sebagai referensi dalam studi-studi di bidang pemasaran.

b. Kemanfaatan metodologi Dalam studi ini model yang dikonstruksi bertumpu pada beberapa variabel yaitu television viewing, perceived realism, materialism, dan perceived well-being . Variabel-variabel tersebut memperoleh pengukuran yang disesuaikan dengan studi yang diteliti. Hal ini dapat digunakan sebagai referensi dalam studi-studi dalam konteks yang berbeda.

c. Kemanfaatan praktis Model yang dikembangkan dalam studi ini dapat dijadikan acuan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih jelas mengenai pengaruh television viewing yang dapat menciptakan rasa perceived realism, pada gilirannya mempengaruhi individu menjadi materialistis, yang pada akhirnya menemukan efek perceived well-being. Hal ini juga diharapkan dapat menjadi masukan untuk memperbaiki strategi pemasaran perusahaan dengan memanfaatkan potensi media televisi sebagai salah satu agen sosialisasi konsumen yaitu dengan menyajikan gambaran yang benar dari produk yang diiklankan sehingga dapat menciptakan perceived realism, mempengaruhi individu menjadi materialistis yang selanjutnya berpengaruh terhadap status ekonomi sosial dan kepuasan hidup konsumen.

d. Kemanfaatan studi ke depan Studi ini didesain dengan bertumpu pada ruang lingkup yang terbatas. Keterbatasan ini diperkirakan berpengaruh pada daya terap yang bersifat terbatas. Dengan demikian studi mendatang dapat mengembangkan pengujiannya pada konteks yang berbeda dan lebih luas.

BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori dan Hipotesis

Bab ini bertujuan untuk memberikan landasan teoritikal terkait hubungan antar variabel yang diamati. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan dasar dalam merumuskan hipotesis. Dengan demikian topik yang dibahas yaitu : hubungan antara television viewing dan perceived realism , hubungan antara perceived realism dan materialism, hubungan antara materialism dan perceived well-being (perceived sosioeconomic statues dan relative life satisfaction) serta hubungan antara perceived sosioeconomic statues dan relative life satisfaction.

1. Television viewing dan perceived realism

Menurut Ramdani (2007:131), media massa merupakan salah satu media sosialisasi selain media sosialisasi lainnya yaitu keluarga, teman sepermainan dan sekolah serta lingkungan kerja.

Sosialisasi merupakan salah satu proses belajar kebudayaan dari anggota masyarakat dan hubungannya dengan sistem sosial (Soelaeman, 2009:166). Menurut Soekanto (1996:204) menjelaskan socialization dilihat dari sudut pandang individu adalah suatu proses mendapatkan pembentukan sikap untuk berperilaku yang sesuai dengan kelompoknya.

Pendapat yang sama juga dikemukakan dalam hasil studi literature yang dilakukan oleh Moschis dan Churchill dalam Bush et al (1999) menjelaskan bahwa sosialisasi konsumen adalah proses dimana orang- orang muda mengembangkan kemampuan konsumen terkait pengetahuan dan sikap. Dan hasil studi literature yang dilakukan Berry (1998) mengambil kesimpulan Socialization adalah proses yang membantu anak untuk mempelajari sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk bergaul di masyarakat. Socialization juga mengacu pada informasi pembelajaran, proses kognitif, nilai, sikap, peran sosial, konsep diri, dan perilaku yang berlaku umum atau diharapkan dalam masyarakat. Jadi socialization dapat didefinisikan sebagai suatu proses sosial yang dilakukan oleh seseorang dalam menghayati norma-norma kelompok tempat ia hidup sehingga menjadi bagian dari kelompoknya (Ramdani, 2007:110).

Hasil studi literature dalam Berry (1998) mengemukakan media massa yang paling berpengaruh dalam socialization adalah televisi. Pernyataan ini juga dipertegas oleh Leifer et al dalam Berry (1998) menyatakan bahwa anak-anak akan meniru sikap dan perilaku orang-orang dan kegiatan yang ditayangkan dalam program televisi.

Televisi mempengaruhi penonton dan nilai mereka melalui program dan melalui iklan. Rata-rata warga negara Amerika Serikat menghabiskan kira-kira 15% hidup mereka pada saat terjaga dengan menonton televisi dan penelitian terakhir menunujukkan televisi paling Televisi mempengaruhi penonton dan nilai mereka melalui program dan melalui iklan. Rata-rata warga negara Amerika Serikat menghabiskan kira-kira 15% hidup mereka pada saat terjaga dengan menonton televisi dan penelitian terakhir menunujukkan televisi paling

Televisi dapat mencapai berbagai jenis penonton, termasuk di daerah perkotaan dan pedesaan. Selain itu televisi dapat mempengaruhi orang-orang yang buta huruf. Melendez dalam Speck dan Roy (2008) mengungkapkan bahwa bahkan mereka yang tidak dapat membaca atau menulis dapat dipengaruhi oleh konsumsi berbasis penggambaran gaya hidup dalam iklan dan program televisi, dan bahwa prioritas tinggi menganggap kepemilikan televisi juga dapat memfasilitasi peningkatan lebih lanjut aspirasi konsumen.

Televisi melalui iklan dan programnya dapat menciptakan perceived realism dengan sifatnya yang visual, dan kombinasi warna- warna, suara dan gerakan, maka iklan-iklan televisi nampak begitu hidup dan nyata (Jefkins, 1997:110). Perceived realism didefinisikan sebagai derajat kesamaan persepsi antara karakter dan situasi di media dengan karakter dan situasi di kehidupan nyata (Barriga et al, 2009). Greenberg dalam Berry (1998), mengemukakan bahwa anak-anak dan remaja yang menonton televisi lebih dari rekan-rekan mereka, lebih cenderung untuk mengevaluasi program dan iklan televisi sebagai pertunjukan yang lebih realistis dan dapat dipercaya. Efek dari menonton televisi adalah sebuah pandangan yang bias tentang kehidupan nyata dengan gambaran kehidupan dalam tayangan televisi (Hasil studi literature yang dilakukan oleh O’Guinn dan Shrum 1997).

Dengan demikian hipotesis yang dirumuskan adalah : Hipotesis 1 : Terdapat hubungan positif antara quantity of

television viewing dan perceived realism

2. Perceived realism dan materialism

Menurut Speck dan Roy (2008), materialisme adalah konsumsi berdasarkan orientasi untuk pencarian kesenangan, berkepentingan tinggi pada persoalan pokok material. Materialism juga merupakan suatu nilai yang menggambarkan pedoman individu mengenai perasaan dan kepemilikan barang yang perlu dimainkan dalam kehidupan (Richins dan Dawson dalam Fitzmaurice dan Comegys, 2006).

Menurut Richins dan Dawson dalam Fitzmaurice dan Comegys (2006), materialism fokus pada a) acquisition centrality, individu yang tingkat materialism tinggi menganggap perlu adanya penambahan barang yang sudah dimiliki. Materialism dianggap sebagai suatu gaya hidup dimana tingkatan yang tinggi dari mengkonsumsi sebuah barang sudah menjadi perencanaan dalam hidup. b) acquisition as the pursuit of happiness, salah satu alasan memiliki dan menambahkan barang yang sudah dimiliki dipandang sebagai suatu hal yang perlu untuk meningkatkan kepuasan dan kesejahteraan hidup. c) possesion-defined success , orang materialism cenderung untuk menilai kesuksesan diri dan orang lain berdasarkan pada jumlah dan kualitas kepemilikan barang yang terakumulasi. Bagi orang materialism kepemilikan barang diartikan Menurut Richins dan Dawson dalam Fitzmaurice dan Comegys (2006), materialism fokus pada a) acquisition centrality, individu yang tingkat materialism tinggi menganggap perlu adanya penambahan barang yang sudah dimiliki. Materialism dianggap sebagai suatu gaya hidup dimana tingkatan yang tinggi dari mengkonsumsi sebuah barang sudah menjadi perencanaan dalam hidup. b) acquisition as the pursuit of happiness, salah satu alasan memiliki dan menambahkan barang yang sudah dimiliki dipandang sebagai suatu hal yang perlu untuk meningkatkan kepuasan dan kesejahteraan hidup. c) possesion-defined success , orang materialism cenderung untuk menilai kesuksesan diri dan orang lain berdasarkan pada jumlah dan kualitas kepemilikan barang yang terakumulasi. Bagi orang materialism kepemilikan barang diartikan

Morgan dalam Sirgy et al (1998) mengemukakan bahwa terdapat hubungan positif antara pemirsa terlevisi dan materialisme bagi orang yang percaya bahwa iklan televisi sebagai gambaran realitas konsumen. Moschis dan Churcill dalam Bush et al (1999) menemukan hubungan yang kuat menonton TV dan motivasi sosial individu untuk konsumsi. Mereka menemukan bahwa alasan keperluan sosial untuk menonton televisi sebagai sarana untuk mengumpulkan informasi tentang gaya hidup dan perilaku merupakan prediktor kuat materialisme dan motivasi untuk konsumsi.

Mengkonsumsi sebuah barang secara berlebihan mengarah pada gaya hidup konsumerisme . Konsumerisme membawa orang pada kecenderungan gaya hidup hedonis. Menurut Chaney (dalam Idi Subandy,1997) gaya hidup hedonis adalah suatu pola hidup yang aktivitasnya untuk mencari kesenangan hidup, seperti lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah, lebih banyak bermain, senang pada keramaian kota, senang membeli barang mahal yang disenanginya, serta selalu ingin menjadi pusat perhatian. Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup (www.google.co.id).

Penelitian sebelumnya memberikan kesimpulan bahwa televisi adalah media yang dapat menciptakan rasa perceived realism pada gilirannya mempengaruhi individu menjadi materialism pada penelitian sebagian wilayah Asia (Hasil literature yang dilakukan oleh Speck dan Roy, 2008). Dengan demikian hipotesis yang dirumuskan adalah :

Hipotesis 2 : Terdapat hubungan positif antara perceived realism dan materialism

3. Materialism dan Perceived Well-Being

Mempelajari materialisme pada akhirnya menemukan efek consumers’ well-being atau perceived well-being (Sirgy dalam Speck dan Roy, 2008). Diener dalam LaBarbera dan Gurhan (1997) subjective well- being didefinisikan sebagai penilaian kognitif dan afektif individu mengenai kepuasan hidup mereka. Menurut Speck dan Roy (2008) terdapat dua indikator kriteria untuk well-being yaitu : perceived socioeconomic statues dan relatife life satisfaction.

Perceived socioeconomic statues merupakan perasaan seseorang tentang kedudukan dalam sistem sosial berkenaan dengan penggambaran di media. Perceived socioeconomic statues cenderung dianggap berbanding terbalik dengan materialism. Konsumen dengan materialisme rendah lebih puas dengan status ekonomi sosial mereka daripada mereka yang menempatkan nilai yang lebih tinggi pada hal-hal material (Richins Perceived socioeconomic statues merupakan perasaan seseorang tentang kedudukan dalam sistem sosial berkenaan dengan penggambaran di media. Perceived socioeconomic statues cenderung dianggap berbanding terbalik dengan materialism. Konsumen dengan materialisme rendah lebih puas dengan status ekonomi sosial mereka daripada mereka yang menempatkan nilai yang lebih tinggi pada hal-hal material (Richins

Hipotesis 3 : Terdapat hubungan negatif antara materialism dan perceived socioeconomic status

Sedangkan relative life satisfaction merupakan kebahagiaan seseorang sehubungan dengan tolok ukur yang spesifik dalam hidup mereka. Selain perceived socioeconomic status, relative life satisfaction juga cenderung berbanding terbalik dengan materialism. Sebagai contoh, penelitian oleh Belk dalam Speck dan Roy (2008) memberikan bukti hubungan negatif antara materialisme dan kebahagiaan dalam hidup. Secara khusus, materialisme telah terbukti memiliki dampak negatif pada kepuasan hidup dan kesejahteraan subjektif (Richins dan Dawson, Sirgy, Anda et al dalam Tan et al, 2006). Dalam studi di Singapura oleh Keng et al dalam Speck dan Roy (2008) mengemukakan bahwa orang-orang dengan kecenderungan derajat materialis tinggi secara signifikan kurang puas dengan hidup daripada kelompok dengan kecenderungan derajat materialis rendah. Selain itu dalam penelitian sebelumnya oleh Tan et al (2006) menunjukkan bahwa materialisme memberikan kontribusi negatif terhadap kepuasan hidup. Dengan demikian hipotesis yang dirumuskan adalah :

Hipotesis 4 : Terdapat hubungan negatif antara materialism dan relative life satisfaction

4. Perceived Socioeconomic Statues dan Relative Life Satisfaction

Perceived socioeconomic statues seorang individu, disisi lain, berkemungkinan mempengaruhi relative life satisfaction secara positif. Sebagai contoh, menggunakan data dari United States, Fernandez dan Kulk dalam Speck dan Roy (2008) mengemukakan bahwa seseorang dengan status ekonomi sosial tinggi dalam lingkungannya memiliki kepuasan yang lebih tinggi daripada seseorang dengan penghasilan rendah dalam lingkungan yang sama. Dari hasil literature yang dilakukan oleh Tan et al (2006) menjelaskan bahwa penghasilan memberikan kontribusi positif terhadap kepuasan hidup, hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai pendapatan yang lebih besar akan membantu dalam menciptakan rasa yang lebih besar terhadap kepuasan kehidupan. Dengan demikian hipotesis yang dirumuskan adalah :

Hipotesis 5 : Evaluation of perceived socioeconomic statues secara positif mempengaruhi relative life satisfaction

B. Model Penelitian

Berdasarkan 5 hipotesis yang dirumuskan, hubungan antar variabel yang dikonsepkan dapat digambarkan dalam bentuk model yang mendeskripsikan proses pengaruh television viewing yang dapat menciptakan rasa perceived realism, pada gilirannya mempengaruhi individu menjadi materialistis, yang pada akhirnya menemukan efek perceived well-being.

Gambar II.1 Model penelitian

Perceived well-being Perceived

socioeconomic statues

H3

Quantity of

H1 Perceived

H2 Materialism

Television

Realism

Viewing H5

H4 Perceived well-being

Relative life satisfaction

Sumber : Speck dan Roy (2008)

Gambar II.1 menjelaskan bahwa H1 mengindikasi pengaruh television viewing dalam menciptakan perceived realism, H2 mengindikasi pengaruh perceived realism terhadap materialism, H3 mengindikasi efek materialism terhadap perceived socioeconomic statues, H4 mengindikasi efek materialism terhadap relative life satisfaction, dan H5 mengindikasi pengaruh perceived socioeconomic statues dengan relative life satisfaction.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini bertujuan untuk memberikan landasan yang valid dan reliabel untuk menghasilkan data yang diyakini kebenarannya, sehingga informasi yang dihasilkan dapat dipercaya dari segi metode dan prosedur pengujiannya. Untuk mendukung upaya tersebut, ada beberapa pembahasan yang diungkap antara lain : rancangan penelitian, metode pengambilan sampel dan teknik pengumpulan data, variabel dan pengukuran, uji instrumen dan metode analisis data.

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini berjenis kausal yaitu tipe penelitian yang bertujuan mencari penyebab suatu gejala atau mengungkap adanya hubungan sebab akibat antar variabel yang diteliti (Sandjaja dan Heriyanto, 2006:112). Penelitian ini berusaha untuk memahami hubungan antara variabel independen yang merupakan suatu penyebab dan variabel dependen yang merupakan akibat dari suatu fenomena yaitu penelitian ini menguji pengaruh television viewing sebagai variabel independen terhadap perceived realism, materialism dan perceived well-being sebagai variabel dependen. Rancangan penelitian ini menggunakan penelitian pengujian hipotesis (testing hypothesis ).

Dalam studi ini, teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah teknik survey (kuesioner), sehingga data yang terkumpul merupakan Dalam studi ini, teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah teknik survey (kuesioner), sehingga data yang terkumpul merupakan

B. Metode Pengambilan Sampel dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data primer. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui survey yang dilakukan pada responden dengan cara mengisi kuesioner yang telah didesain sebelumnya. Survey dilakukan dengan cara wawancara secara langsung dipandu dengan pertanyaan yang telah disiapkan. Hal ini untuk membatasi cakupan topik wawancara dan memperoleh keakuratan data.

Target populasi dalam studi ini adalah calon konsumen yang pernah melihat tayangan televisi. Sample diambil sejumlah 200 orang di wilayah Surakarta dengan teknik purposive sampling. Hal ini dikarenakan sifat populasinya belum diketahui. Purposivenya adalah sebagai berikut : (1) individu yang interest terhadap produk-produk hedonis yang ditayangkan pada iklan dan program televisi (2) individu yang berusia 17-60 tahun, karena dalam range usia tersebut responden sudah memiliki tingkat kedewasaan dan bisa memahami pertanyaan didalam kuesioner; (3) setiap responden mempunyai satu kali kesempatan untuk di survei, hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada responden yang berbeda dalam memberi Target populasi dalam studi ini adalah calon konsumen yang pernah melihat tayangan televisi. Sample diambil sejumlah 200 orang di wilayah Surakarta dengan teknik purposive sampling. Hal ini dikarenakan sifat populasinya belum diketahui. Purposivenya adalah sebagai berikut : (1) individu yang interest terhadap produk-produk hedonis yang ditayangkan pada iklan dan program televisi (2) individu yang berusia 17-60 tahun, karena dalam range usia tersebut responden sudah memiliki tingkat kedewasaan dan bisa memahami pertanyaan didalam kuesioner; (3) setiap responden mempunyai satu kali kesempatan untuk di survei, hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada responden yang berbeda dalam memberi

Jumlah sample yang diambil sebanyak 200 orang responden didasarkan pada pertimbangan aspek kualitas responden dan kriteria kelayakan dalam menganalisis data sesuai dengan metode statistik yang dipilih yaitu Structural Equation Modeling (Ghozali, 2008).

C. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Dalam penelitian ini terdapat lima variabel yang diukur dengan skala likert, yaitu :

1. Television viewing

Televisi merupakan media massa yang paling berpengaruh dalam socialization (Berry, 1998). Televisi mempengaruhi penonton dan nilai mereka melalui program dan melalui iklan. Menonton televisi dapat menciptakan rasa perceived realism pada gilirannya mempengaruhi individu menjadi materialisme (Speck dan Roy, 2008).

Television viewing diukur dengan menggunakan empat item pertanyaan yang dikembangkan Speck dan Roy (2008), yaitu : Television viewing diukur dengan menggunakan empat item pertanyaan yang dikembangkan Speck dan Roy (2008), yaitu :

b. Saya biasanya menghabiskan waktu luang dengan menonton televisi.

c. Di hari-hari sebelumnya saya juga menghabiskan waktu dengan menonton televisi.

d. Saya menghabiskan banyak waktu untuk menonton televisi setiap minggunya.

2. Perceived realism

Televisi mampu menciptakan perceived realism dengan sifatnya yang visual, dan kombinasi warna-warna, suara dan gerakan, maka iklan- iklan televisi nampak begitu hidup dan nyata (Jefkins, 1997:110). Perceived realism didefinisikan sebagai derajat kesamaan persepsi antara karakter dan situasi di media dengan karakter dan situasi di kehidupan

nyata (Barriga et al, 2009). Perceived realism diukur dengan menggunakan lima item pertanyaan yang dikembangkan Speck dan Roy (2008), yaitu :

a. Menurut saya, program-program di televisi adalah realistis.

b. Menurut saya, program-program di televisi adalah jujur.

c. Menurut saya, iklan-iklan di televisi adalah realistis.

d. Menurut saya, iklan-iklan di televisi adalah jujur.

e. Menurut saya, iklan di televisi menyajikan gambaran yang benar dari produk yang diiklankan.

3. Materialism

Materialisme adalah konsumsi berdasarkan orientasi untuk pencarian kesenangan, berkepentingan tinggi pada persoalan pokok material (Speck dan Roy, 2008).

Materialism diukur dengan menggunakan tigabelas item pertanyaan yang dikembangkan Richins dan Dawson dalam Speck dan Roy (2008), yaitu : Success

a. Saya mengagumi orang-orang yang memiliki rumah mewah.

b. Saya mengagumi orang-orang yang memiliki mobil mewah.

c. Saya mengagumi orang-orang yang memiliki pakaian mahal.

d. Menurut saya memperoleh hal-hal yang bersifat materi merupakan salah satu prestasi penting dalam hidup.

e. Saya menitikberatkan pada banyaknya materi yang dimiliki seseorang sebagai tanda atau bukti kesuksesan.

f. Saya memberi perhatian lebih pada objek materi yang dimiliki oleh orang lain. Centrality

a. Saya biasanya tidak hanya membeli barang-barang yang saya butuhkan saja.

b. Saya suka hidup dalam kemewahan.

c. Benda-benda yang saya miliki semuanya penting bagi saya.

d. Saya menikmati menghabiskan uang pada benda-benda yang tidak begitu diperlukan. Pursuit of happiness

a. Saya merasa belum memiliki semua hal yang benar-benar diperlukan untuk menikmati hidup.

b. Hidup saya akan lebih baik jika saya memiliki hal-hal tertentu yang sekarang ini tidak saya miliki.

c. Saya senang apabila saya dapat membeli banyak barang mewah dalam hidup saya.

4. Perceived socioeconomic statues

Perceived socioeconomic statues merupakan perasaan seseorang tentang kedudukan dalam sistem sosial berkenaan dengan penggambaran di media (Speck dan Roy, 2008).

Perceived socioeconomic status diukur dengan menggunakan lima item pertanyaan yang dikembangkan Speck dan Roy (2008), yaitu :

a. Saya lebih baik secara finansial daripada kebanyakan orang yang ditampilkan di iklan televisi.

b. Saya lebih baik secara finansial daripada kebanyakan orang yang ditampilkan di program televisi.

c. Saya secara material lebih baik daripada keluarga yang ditampilkan di program televisi.

d. Saya secara material lebih baik daripada keluarga yang ditampilkan di iklan televisi.

e. Program televisi tidak menunjukkan bahwa orang kelas menengah ke atas dan bahagia.

5. Relative life satisfaction

Relative life satisfaction merupakan kebahagiaan seseorang sehubungan dengan tolok ukur yang spesifik dalam hidup mereka (Speck dan Roy, 2008).

Relative life satisfaction diukur dengan menggunakan lima item pertanyaan yang dikembangkan Speck dan Roy (2008), yaitu :

a. Saya merasa puas dengan hidup saya sekarang dibandingkan dengan tujuan hidup saya dan cita-cita yang saya harapkan.

b. Saya merasa puas dengan prestasi saya sekarang dibandingkan dengan prestasi yang telah diraih teman-teman saya.

c. Saya merasa puas dengan posisi saya sekarang dibandingkan dengan pencapaian kebanyakan orang di posisi saya.

d. Saya merasa puas dibandingkan dengan yang saya prediksikan tentang diri saya.

e. Saya merasa puas dibandingkan dengan apa yang harus saya miliki selama ini.

Jawaban responden dengan menggunakan skala likert dimana 1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = cukup setuju, 4 = setuju, dan 5 = sangat setuju.

D. Metode Analisis Data

1. Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif merupakan tingkatan jawaban yang diberikan responden terhadap pertanyaan-pertanyaan didalam kuesioner yang bertujuan untuk memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang ditinjau dari nilai minimum (min), nilai maksimum (max), nilai rata-rata (mean), dan simpangan baku (standar deviasi).

2. Uji Instrumen

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Pengujian instrument dilakukan dengan pengujian validitas dan reliabilitas. Hal ini bertujuan untuk mengetahui ketepatan dan keandalan data, sehingga data tersebut dapat diuji dengan menggunakan metode statistik apapun jenisnya. Dengan demikian, hasil yang diperoleh mampu menggambarkan fenomena yang diukur.

a. Uji validitas Validitas menunjukkan bahwa suatu pengujian benar-benar mengukur apa yang seharusnya diukur (Jogiyanto, 2010:123). Alat ukur atau instrumen dikatakan valid apabila alat tersebut dapat mengukur apa yang mau diukur secara tepat (Sandjaja dan Heriyanto,

2006:166). Dalam penelitian ini akan digunakan uji validitas dengan Confirmatory Factor Analysis dengan bantuan SPSS for Windows versi 18.0, dimana setiap item pertanyaan harus mempunyai factor loading > 0,40 (Suliyanto, 2005:124). Confirmatory Factor Analysis (CFA) harus dipenuhi, karena merupakan salah satu syarat untuk dapat menganalisis model dengan Structural Equation Modeling (SEM).

b. Uji reliabilitas Reliabilitas (reliability) adalah tingkat seberapa besar suatu pengukur mengukur dengan stabil dan konsisten. Suatu pengukur dikatakan reliabel (dapat diandalkan) jika dapat dipercaya (Jogiyanto, 2010:120). Koefisien reliabilitas mengukur tingginya reliabilitas suatu alat ukur. Pengujian ini dilakukan terhadap setiap konstruk atau variabel yang digunakan dalam penelitian. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan “internal consistency Reliability Method”, kriteria pengujian reliabilitas dilakukan dengan melihat koefisien Cronbach Alpha . Menurut Nunnally dalam Ghozali (2006:46), suatu instrument penelitian dinyatakan reliable jika koefisien alpha-nya > 0,60, artinya bahwa instrumen atau alat ukur yang digunakan terbukti konsisten dalam mengukur gejala yang sama. Untuk mempermudah analisis digunakan aplikasi pengolah data Statistical Package for the Social Science (SPSS) versi 18.0.

Berdasarkan pernyataan di atas, kriteria pengambilan keputusan uji reliabilitas disimpulkan sebagai berikut : - Jika Cronbach’s Alpha > 0,60 maka construct reliable - Jika Cronbach’s Alpha < 0,60 maka construct unreliable

3. Structural Equation Modeling (SEM)

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Structural Equation Modeling (SEM), dengan menggunakan program AMOS versi 18.0. Melalui SEM diharapkan dapat menganalisa structural model dan measurement model, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini.

Model persamaan struktural (Structural Equation Modeling) adalah generasi kedua teknik analisis multivariate yang memungkinkan peneliti untuk menguji hubungan antara variabel yang kompleks baik recursive maupun non-recursive untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai keseluruhan model (Ghozali dan Fuad, 2008:3). Tidak seperti analisis multivariate biasa (regresi berganda, analisis faktor), SEM dapat menguji secara bersama-sama :

a. Model struktural yaitu hubungan antara konstruk independen dan dependen

b. Model measurement yaitu hubungan (nilai loading) antara indikator dengan konstruk (variabel laten).

1) Evaluasi Asumsi Structural Equation Model (SEM)

a) Asumsi Kecukupan Sampel Disarankan lebih dari 100 atau minimal 5 kali jumlah observasi. Namun apabila jumlah sampel yang terlalu banyak dan tidak memungkinkan untuk dilakukan penarikan sampel seluruhnya maka penelitian akan menggunakan rekomendasi untuk menggunakan Maximum Likelihood (ML) yaitu penarikan sampel antara 100-200 sampel.

Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 200 orang, jumlah ini memenuhi prosedur Maximum Likelihood Estimation yaitu penarikan sampel antara 100-200 sampel (Ghozali, 2008:64).

b) Asumsi Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah distribusi data mengikuti atau mendekati distribusi normal. Uji terhadap normalitas data dapat dilakukan dengan menggunakan nilai critical ratio skewness dan kurtosis yang berturut-turut, yang merupakan ukuran penyimpangan dari distribusi normal yang simetris dan ukuran kecuraman dari distribusi data. Nilai statistik untuk menguji normalitas disebut z value (Critical Ratio) dari ukuran skewness dan kurtosis sebaran data. Bila nilai Critical Ratio lebih besar dari nilai kritis maka dapat diduga bahwa distribusi data tidak normal. Nilai kritis dapat ditentukan berdasarkan tingkat signifikansi 1% yaitu sebesar 2,58.

Curran et al., dalam Ghozali dan Fuad (2005:37), membagi distribusi data menjadi tiga bagian yaitu : 1)) Normal, apabila nilai z statistik (Critical Ratio) skewness < 2

dan nilai Critical Ratio kurtosis < 7, 2)) Moderately non-normal, apabila nilai Critical Ratio skewness berkisar antara 2 sampai 3 dan nilai Critical Ratio kurtosis berkisar antara 7 sampai 21,

3)) Extremely non-normal, apabila nilai Critical Ratio skewness >

3 dan nilai Critical Ratio kurtosis > 21.

c) Asumsi Outliers Outlier adalah kondisi observasi dari suatu data yang memiliki karakteristik unik yang terlihat sangat berbeda jauh dari observasi-observasi lainnya dan muncul dalam bentuk nilai ekstrim, baik untuk sebuah variabel tunggal ataupun variabel- variabel kombinasi (Hair et al., dalam Ghozali, 2008:227). Deteksi terhadap multivariate outliers dilakukan dengan memperhatikan nilai mahalanobis distance. Kriteria yang digunakan adalah berdasarkan nilai Chi-squares pada derajat kebebasan (degree of freedom ) sejumlah variabel pada tingkat p < 0,001. Dalam hal ini variabel yang dimaksud adalah sejumlah item pengukuran pada model.

2) Evaluasi Atas Kriteria Goodness of Fit

Sebelum menganalisa hipotesis, kesesuaian model secara keseluruhan (Goodness-of-fit model) terlebih dahulu harus dinilai untuk menjamin bahwa model tersebut dapat menggambarkan sebab akibat. Pengujian kesesuaian model goodness-of-fit model dilakukan dengan melihat beberapa kriteria pengukuran, antara lain :

a) X 2 (Chi Square Statistic) dan probabilitas Alat uji fundamental untuk mengukur overall fit adalah likehood

ratio chi square statistic . Model dikategorikan baik jika mempunyai chi square = 0 berarti tidak ada perbedaan. Tingkat signifikan penerimaan yang direkomendasikan adalah apabila p ≥ 0,05 yang berarti matriks input sebenarnya dengan matriks input yang diprediksi tidak berbeda secara statistik.

b) CMIN/DF (Normed Chi Square) CMIN/DF adalah ukuran yang diperoleh dari nilai chi-square dibagi dengan degree of freedom. Nilai yang direkomendasikan untuk menerima kesesuaian sebuah model adalah nilai CMIN/DF yang lebih kecil atau sama dengan 2,00.

c) RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation) Nilai RMSEA menunjukkan goodness of fit yang diharapkan bila model diestimasikan dalam populasi. Nilai RMSEA yang lebih kecil atau sama dengan 0,08 merupakan indeks untuk dapat diterimanya model yang menunjukkan sebuah close fit dari model c) RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation) Nilai RMSEA menunjukkan goodness of fit yang diharapkan bila model diestimasikan dalam populasi. Nilai RMSEA yang lebih kecil atau sama dengan 0,08 merupakan indeks untuk dapat diterimanya model yang menunjukkan sebuah close fit dari model

d) GFI (Goodness of Fit Index) Digunakan untuk menghitung proporsi tertimbang dari varians dalam matriks kovarians sampel yang dijelaskan oleh matriks kovarians populasi yang terestimasikan. Indeks ini mencerminkan tingkat kesesuaian model secara keseluruhan yang dihitung dari residual kuadrat model yang diprediksi dibandingkan dengan data sebenarnya. Nilai Goodness of Fit Index biasanya dari 0 samapai

1. Nilai yang lebih baik mendekati 1 mengindikasikan model yang diuji memiliki kesesuaian baik. Nilai GFI dikatakan baik adalah ≥ 0,90.

e) AGFI (Adjusted GFI) AGFI merupakan pengembangan dari GFI yang disesuaikan dengan degree of freedom yang tersedia untuk menguji diterima tidaknya model. Tingkat penerimaan yang direkomendasikan adalah bila mempunyai nilai sama atau lebih besar dari 0,9.

f) TLI (Tucker-Lewis Index) TLI adalah sebuah alternatif incremental fit index yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah baseline model . Nilai yang direkomendasikan sebagai acuan untuk f) TLI (Tucker-Lewis Index) TLI adalah sebuah alternatif incremental fit index yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah baseline model . Nilai yang direkomendasikan sebagai acuan untuk

g) CFI (Comparative Fit Index) CFI juga dikenal sebagai Bentler Comparative Index. CFI

merupakan indeks kesesuaian incremental yang juga membandingkan model yang diuji dengan null model. Indeks ini dikatakan baik untuk mengukur kesesuaian sebuah model karena tidak dipengaruhi oleh ukuran sampel (Hair et al, 2006). Indeks yang mengindikasikan bahwa model yang diuji memiliki kesesuaian yang baik adalah apabila CFI ≥ 0,90.

Tabel III.1

Indikator Goodness-of-Fit Model

Kriteria

Control off value

Keterangan

Baik Significance Probability (p)

Chi-Square 2 (c )

Diharapkan rendah

Baik CMIN/DF

Baik RMSEA

Baik Sumber : Wijaya (2009:6)

CFI