BAB II PENGATURAN BANTUAN HUKUM DI INDONESIA
A. Sejarah dan Perkembangan Bantuan Hukum di Indonesia
1. Bantuan Hukum di Zaman Penjajahan Belanda
Bantuan hukum sebagai hukum Legal Institution yang kita kenal sekarang ini adalah barang baru di Indonesia. Bantuan hukum tidak dikenal dalam
sistem hukum tradisional. Bantuan hukum baru di kenal di Indonesia sejak masuk atau diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia. Bermula pada tahun 1848
ketika negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan firman Raja tanggal 16 mei 1848
No.1, Perundang-undangan baru di Negeri Belanda tersebut juga diberlakukan buat Indonesia, antara lain peraturan tentang Susunan Kehakiman dan
Kebijaksanaan Pengadilan Reglement op de Rechterlijke Organisatie en bet beleid der Justitie yang lazim disingkat R.O.
39
Mengingat baru dalam peraturan itulah diatur untuk pertama kalinya Lembaga Advokat, maka dapatlah
diperkirakan bahwa bantuan hukum dalam arti formal baru mulai di Indonesia pada tahun-tahun sekitar itu. Hal itupun baru terbatas bagi orang-orang Eropa saja
didalam peradilan Raad van Jusitie. Pada tahun 1900-an, selama kurun kebijaksanaan etis, pembaruan hukum
siap dilaksanakan. Namun, ditilik dari tempat berpijak masyarakat Indonesia, sebagian besar perubahan ini hanyalah penghalusan pola yang sudah terbentuk
39
Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum Di Indonesia, Jakarta : LP3ES, 1981 Hal.23
sebelumnya. Semua itu penting bagi masyarakat Belanda yang kadang-kadang memperlakukan bangsa Indonesia secara lain misalnya : vervreemdingsverbod
tahun 1870, yang melarang pemindahan hak milik atas lahan orang Indonesia kepada orang asing tetapi tidak pernah selain sebagai pemantas saja dengan
maksud seolah menentang adanya perbedaan-perbedaan unsur kemajemukan ekonomi sosial, dan politik kolonial. Biasanya, mereka justru memperkokoh
perbedaan-perbedaan tersebut dengan cara yang lebih canggih dan halus.
40
Logika kemajemukan dan pemerintahan tidak langsung Hindia Belanda menuntut diperlengkapinya dengan baik masyarakat Belanda dan Indonesia
dengan lembaga-lembaga yang harus memainkan peranan yang sudah ditentukan sebelumnya dengan pihak Indonesia tetap harus dipersiapkan menempati derajat
yang lebih rendah daripada pihak Belanda. Hal ini berarti ada dua birokrasi, yang satu merupakan bawahan yang lain. Termasuk juga ada dua sistem peradilan yang
hubungannya serupa. Lebih tegas lagi dalam hukum positif Indonesia masalah bantuan hukum
ini diatur dalam pasal 250 ayat 5 dan 6 Het Herziene Indonesische Reglemen HIRHukum Acara Pidana Lama dengan cakupan yang terbatas, artinya pasal ini
dalam prakteknya hanya lebih mengutamakan bangsa Belanda daripada bangsa Indonesia yang waktu itu lebih populer disebut inlanders, disamping itu, daya
laku pasal ini hanya terbatas apabila para advokat tersedia dan bersedia membela
40
Frans Hendra Winarta, Op.Cit., Hal.2
mereka yang dituduh dan diancam hukuman mati danatau hukuman seumur hidup.
41
Gambaran keadaan diatas terjadi karena di jaman kolonial belanda seperti yang telah kita ketahui dikenal adanya 2 dua sistem peradilan yang terpisah satu
dengan yang lainnya. Pertama, satu hirarki peradillan untuk orang-orang Eropa dan yang dipersamakan Residentie Gerecht, Raad van Justitie dan Hoge
rechshof
42
. Kedua, hirarki peradilan untuk orang-orang Indonesia dan yang dipersamakan Districtgerect Regentschaps gerecht, dan Landraad.
43
Oposisi terhadap sistem peradilan yang majemuk tidak pernah lenyap. Tetapi oposisi itu tidak juga mencapai jumlah yang cukup berarti. Karena
kelambanan saja tidak dapat mempertahankan tata susunan yang rumit itu, gagasan dan kepentingan yang menghendaki kemajemukan mulai dilengkapi
dengan perlindungan yang cukup. Hanya Landgerecht-lah yang dibentuk pada tahun 1914, yang mempunyai wewenang umum atas semua golongan penduduk,
tetapi pengadilan jenis ini hanya memeriksa pelanggaran dan perbuatan pidana ringan. Tidak lebih dari sekedar konsensi simbolis terhadap ambisi kesamaan
liberal, landgerecht tidak banyak berarti. Sebenarnya upaya mempersatukan pengadilan merupakan ledakan yang dahsyat bukan terhadap berbagai
kepentingan ekonomi, yang sejauh itu dapat melindungi diri sendiri dalam organisasi peradilan macam apa pun. Kebanyakan hakim dan semua notaris serta
para Advokat adalah orang Belanda sampai pertengahan 1920-an, tetapi besar
41
H.Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op.Cit., Hal.12
42
Residentie Gerecht untuk tingkat pertama, Raad van Justitie untuk tingkat banding dan Hoge rechshof atau biasa disebut Mahkamah Agung untuk tingkat Peninjauan Kembali
43
Ibid.,
taruhannya dalam hal status, ras, sosial, dan politik yang terjalin di segenap bangunan kolonial.
44
Kalau negara asal Eropa mempunyai dua kitab undang-undang hukum acara, satu untuk perkara perdata Burgelijk Rechtsvordering dan satu lagi untuk
perkara pidana strafvordering. Dan tahun 1950-an kedua kitab undang-undang ini memuat ketentuan-ketentuan, termasuk jaminan hak-hak pribadi, yang
termaktub dalam kitab undang-undang di Belanda. Untuk orang Indonesia cukup disediakan satu kitab undang-undang baik untuk perkara perdata maupun perkara
pidana, yang menetapkan acara-acara pengadilan pangreb praja maupun landraad dan pengadilan-pengadilan yang lebih rendah. Kitab undang-undang ini adalah
Herziene Inlandsch Reglement, selanjutnya disebut H.I.R. Kurang kompleks dan kurang terinci daripada kitab undang-undang untuk orang Eropa, untuk melayani
kebutuhan dan ukuran orang Indonesia yang “lebih sederhana”, H.I.R juga memuat ketentuan perlindungan terhadap kekuasaan pemerintah yang jauh lebih
sedikit. Sebagai contoh, lebih mudah menangkap, menahan, dan memidana orang Indonesia berdasarkan H.I.R dari pada terhadap seorang kaula negara Belanda
berdasarkan Strafvordering. Dari paparan historik diatas kita dapat mengetahui bahwa bagi orang-
orang Indonesia tidak ada kebutuhan akan bantuan hukum, dan karena itu tidak aneh apabila waktu itu profesi lawyer juga tidak berkembang dengan
menggembirakan. Namun demikian, pada perkembangan berikutnya paralel dengan gemuruhnya arus pergerakan nasional kita, mulai bermunculan ahli-ahli
44
Frans Hendra Winarta, Op.Cit., Hal.3
hukum bangsa Indonesia yang berprofesi advokat turut meramaikan gerakan nasional Indonesia melalui pemberian bantuan hukum. Dengan motif turut
membantu gerakan nasional, maka mereka turut membantu rakyat Indonesia yang tidak mampu memakai jasa advokat-advokat Belanda ketika sedang menghadapi
masalah hukum di muka pengadilan. Pada dasarnya gerakan bantuan hukum pada waktu itu dapat kita baca sebagai salah satu rangkaian dari pergerakan nasional
untuk melepaskan bangsa Indonesia dari cengkraman penjajah Belanda, karenanya secara tidak langsung usaha pemberian bantuan hukum ini dapat
dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pergerakan nasional di negara kita. Menurut Bambang Sunggono dalam bukunya bahwa tampaknya titik
awal daripada program bantuan hukum khususnya bagi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum berangkat dari sini.
45
2. Bantuan Hukum di Zaman Penjajahan Jepang
Dalam masa pendudukan Jepang, terhadap golongan Eropa dan Tionghoa diberlakukan Burgerlijk Wetboek B.W dan Wetboek van Koophandel W.v.K,
sedang untuk golongan Indonesia asli berlaku hukum adat. Selanjutnya, bagi golongan-golongan lainnya berlaku hukum yang diperlakukan bagi mereka
menurut peraturan dahulu. Wetboek van Strafrecht W.v.S pada umumnya tetap berlaku selain
peraturan-peraturan pidana lainnya yang dibuat oleh Pemerintahan pendudukan jepang. Adapun peraturan-peraturan tersebut selain Osamu Gunrei
46
No.1 Tahun
45
H.Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op.Cit., Hal.14
46
Peraturan-peraturan Pidana
1942 dan Undang-undang nomor Istimewa tahun 1942 juga termasuk di dalamnya Osamu Seirei
47
No.25 tahun 1944 tentang Gunsei Keizirei Undang-undang Kriminil Pemerintah Balatentara. Isinya memuat tentang aturan umum dan
khusus dan belaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam maupun di luar daerah hukum Gunsei Keizirei. Walaupun Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Jepang ini berlaku, aturan umum W.v.S tetap berlaku juga dan daerah hukumnya meliputi wilayah Jawa dan Madura.
48
Berdasarkan pasal 47 Gunzei Keizirei ini, kekuatan hukum undang- undang ini berlaku surut. Yang diatur dalam aturan umumnya adalah jenis-jenis
pidana yang berbentuk kesengajaan, percobaan, konkursus, penyertaan, rechterlijk pardon kemungkinan pembebasan seseorang dari hukuman jika ia sendiri yang
memberitahukan kejahatan yang telah dilakukannya kepada yang berwajib. Dalam undang-undang ini diatur juga kemungkinan kumulasi penjatuhan pidana
pokok dalam pasal 25 dan pengaturan tentang dapat dihukumnya suatu badan hukum dalam pasal 26.
Lebih jauh dalam masa penjajahan Jepang dikeluarkanlah Undang- undang No.40 pada tanggal 5 Oktober 1942, tentang Gunseirei atau undang-
undang dan peraturan untuk menjalankan pemerintahan Balatentara di Jawa Osamu Seirei yang diumumkan oleh Gunsireikan Panglima Besar Tentara
47
Peraturan menjalankan pemerintahan Balatentara di Jawa
48
Frans Hendra Winarta, Op.Cit., hal.5
Jepang. Sehubugan dengan adanya undang-undang tersebut maka dikeluarkan pula peraturan baru dalam rangka menjalankan pemerintahan, yaitu :
49
a. Osamu Seirei
Dibuat oleh Gunsireikan Panglima Besar Tentara Jepang, yang mengatur tentang segala hal yang perlu dilakukan untuk menjalankan pemerintahan
Balatentara di Jawa.
b. Osamu Kanrei
Dibuat oleh Gunseikan Pembesar Pemerintah Balatentara, yang merupakan peraturan untuk menjalankan Osamu Seirei dan juga untuk mengatur segala
hal yang perlu untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum.
Kedudukan Osamu Seirei lebih tinggi daripada Osamu Kanrei. Oleh karena itu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Osamu Kanrei tidak boleh
bertentangan dengan Osamu Seirei. Disamping peraturan-peraturan pusat tersebut, di dalam Undang-undang
No.40 terdapat juga peraturan-peraturan daerah yaitu Syuurei, Koorei, Kootizimuyokurei, dan Tokubeturei.
Perkembangan bantuan hukum di masa pendudukan jepang, tidak memperlihatkan gambaran kemajuan. Sekalipun peraturan tentang bantuan hukum
peninggalan zaman penjajahan belanda seperti R.O masih tetapi diberlakukan terus. Tetapi kondisi dan situasi pada saat itu kelihatannya tidak memungkinkan
untuk pengembangan program bantuan hukum.
50
49
Ibid., hal.6
50
Abdurrahman, Op.Cit., Hal.44
3. Bantuan Hukum Setelah Kemerdekaan sampai Sekarang
Sejak Indonesia Merdeka, pemerintah RI telah mengeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan profesi advokat
khususnya dalam hal ini tentang bantuan hukum di muka persidangan. Peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut :
51
a. Undang-undang No.1 Tahun 1946
Pada tahun 1946, pemerintah RI mengeluarkan Undang-undang No.1 Tahun 1946 tentang Undang-undang Peraturan Hukum Pidana.
Dalam undang-undang tersebut diatur di dalamnya tentang kedudukan advokat dan procureur dan orang-orang yang
memberikan bantuan hukum. Selanjutnya, hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942 dan
merupakan
peninggalan pemerintah
Hindia Belanda
masih dinyatakan berlaku, maka seterusnya berlaku pula “Penetapan Raja”
tanggal 4 Mei 1926 No.251 Jucnto 486 tentang Peraturan Cara Melakukan Menjalankan Hukuman dengan Syarat. Dalam Bab I
bagian II Pasal 3 ayat 3 ditetapkan bahwa ‘Orang yang dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya boleh
menyelidiki segala surat sebelum permulaan pemeriksaan itu’ Aturan ini berlaku pula sekadar tentang Mahkamah Agung dan
Pengadilan-pengadilan Tinggi bagi Advokat dan Procureur yang berpraktik di dalam daerah Indonesia, jika diterangkannya bahwa
orang yang dihukum itu telah memberikan kuasa kepadanya untuk menyelidiki surat itu, dan sekadar tentang Majelis dan Badan
Pengadilan lain-lain bagi orang yang istimewa dikuasakan untuk hal itu oleh orang yang dihukum.
Selanjutnya, dalam pasal 4 ayat 4 ditetapkan bahwa orang yang dihukum dan orang yang diwajibkan memberi bantuan didengar jika
mereka hadir. Sekadar tentang Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi maka orang yang dihukum itu boleh minta dibantu oleh
seorang advokat dan atau procureur yang berpraktik di dalam daerah Indonesia dan sekadar tentang Majelis dan Badan Pengadilan lain-
lain oleh seorang yang teristimewa dikuasakan untuk itu sebagai Penasihat.
Kemudian, pasal 5 ayat 3 ditetapkan bahwa isi keputusan itu diberitahukan kepada orang yang dihukum dengan segera atas
perintah pegawai negeri tersebut dalam pasal 1, sambil diberi sehelai salinan keputusan itu kepada orang yang diwajibkan memberi
51
Frans Hendra Winarta, Op.Cit., Hal.16-22
bantuan dan juga kepada orang yang pada keputusan itu dibebaskan dari padanya.
Lebih lanjut pasal 6 ayat 2 ditegaskan bahwa dalam masa tiga minggu sesudah keputusan itu diberitahukan, orang yang dihukum
dengan keputusan tidak hadir itu, dapat mempergunakan atau menyuruh orang yang dikuasakannya dengan surat mempergunakan
upaya yang diizinkan untuk melawan keputusan itu dimuka hakim yang bersangkutan.
Bahwa pengawasan terhadap orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang yang dikuasakan dan untuk menunjuk lembaga dan
orang yang boleh diperintah memberi bantuan itu ditetapkan dengan undang-undang Staatsblad 1926 Nomor 487.
Undang-undang No.20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura mulai berlaku sejak 24 Juni 1947. Dalam pasal 7
ayat 1 undang-undang tersebut hanya menyebutkan bahwa Peminta atau Wakil dalam arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu
Pembela atau Penasehat Hukum.
b. Undang-undang No.1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung
Undang-undang No.1 Tahun 1950 yang mulai berlaku pada tanggal 9 Mei 1950 itu mengatur tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan
Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. Pasal 42 memberikan istilah “pemberi bantuan hukum” dengan kata-kata “Pembela”.
Menurut Undang-undang ini, Mahkamah Agung memiliki kekuasaan untuk melakukan pengawasan tertinggi atas jalannya peradilan pasal
12 dan tingkah laku perbuatan pengadilan-pengadilan dan para Hakim di pengadilan itu diawasi dengan cermat oleh Mahkamah
Agung terhadap para pemberi bantuan hukum atau para advokatpengacara dan notaris. Tentang pengawasan tersebut diatur
dalam pasal 133 yang berbunyi : “pengawasan tertinggi atas para Notaris dan para pengacara dilakukan oleh Mahkamah Agung”.
c. Undang-undang Darurat No.1 Tahun 1951
Undang-undang Darurat No.1 Tahun 1951 mengatur tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan
susunan kekuasaan dan acara pengadilan sipil. Hal yang terpenting dari undang-undang ini adalah ketentuan yang tersebut di dalam pasal
6 ayat 1 yang menetapkan :” Bahwa saat peraturan ini mulai berlaku oleh segala Pengadilan Negeri oleh segala Kejaksaan padanya, dan
oleh segala Pengadilan Tinggi dalam daerah RI “Reglemen Indonesia yang diperbarui” Staatblad 1941 No. 44 seberapa mungkin harus
diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil dengan perubahan dan tambahan”.
Undang-undang Darurat ini menentukan kembali berlakunya “Herziene Inlandsch Reglement” Stb. 1941 No.44 dalam Negara RI
yang pada waktu itu dipakai sebagai pedoman dalam Hukum Acara Pidana Sipil.
d. Herziene Inlandsch Reglement H.I.R
Dalam hubungannya dengan tugas dan kewajiban advokat, procureur dan para pemberi bantuan hukum di muka persidangan diatur dalam
beberapa pasal H.I.R sperti : Pasal 83 h ayat 6 , yang menegaskan bahwa: “ Jika seseorang
dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati, maka magistraat hendaklah
menanyakan kepadanya, maukah ia dibantu Pengadilan oleh seorang Penasehat Hukum atau seorang ahli huk
um” Pasal 250 ayat 5, yang menegaskan bahwa : “Bila sitertuduh
diperintakan dibawa kemuka pengadilan karena suatu kejahatan, yang boleh menyebabkan hukuman mati, dan sitertuduh itu, baik
dalam pemeriksaan oleh opsir justisi yang ditetapkan dalam pasal 83 h ayat 6 , menyatakan kehendaknya supaya ia pada
waktu persidangan dibantu oleh seorang sarjana hukum atau seorang ahli hukum, maka untuk memberi bantuan itu ketua
menunjukkan
dalam surat
penetapan seorang
anggota pengadilan negeri yang ahli hukum yang dibawah perintahnya,
atau seorang sarjana hukum atau ahli hukum lain yang menyatakan bersedia melakukan pekerjaan itu”
Pasal 245 ayat 1 H.I.R, menegaskan bahwa : “Dalam persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh
pembela untuk mempertaha nkan dirinya.”
Pasal 123 H.I.R terdapat adanya penegasan bahwa apabila dikehendaki oleh para pihak yang berperkara maka para pihak
tersebut boleh dibantu atau diwakili oleh kuasa, yang dikuasakan untuk melakukan itu dengan surat kuasa istimewa
kecuali orang yang memberi kuasa itu hadir sendiri.
Dalam periode berikutnya, sekitar tahun 1950-1959an terjadi perubahan sistem peradilan Indonesia dengan dihapuskannya secara pelan-pelan pluralisme
di bidang peradilan, hingga hanya ada satu sistem peradilan yang berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia, yaitu Pengadilan Negeri pada tingkat pertama;
Pengadilan Tinggi pada tingkat banding; dan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, demikian pula telah diberlakukan satu hukum acara yaitu H.I.R. Namun
Demikian, pemberlakuan yang demikian tetap berimplikasi pada tetap berlakunya
sistem peradilan dan peraturan hukum acara warisan kolonial yang ternyata masih tetap sedikit menjamin ketentuan-ketentuan tentang bantuan hukum.
52
Dalam periode 1950-1959 ini, atau yang secara populer dikenal sebagai “periode Soekarno” atau “periode Orde Lama” bantuan hukum dan demikian juga
profesi advokat di Indonesia mengalami kemerosotan yang luar biasa tapi tidak dikatakan hancur sama sekali. Pada masa itu peradilan tidak lagi bebas tetapi
sudah dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh eksekutif. Hakim-hakim berorientasi kepada pemerintah karena tekanan yang dalam praktek
dimanifestasikan dalam bentuk setiap putusan dimusyawarahkan dulu dengan kejaksaan. Akibatnya tidak ada lagi kebebasan dan impartiality sehingga dengan
sendirinya wibawa Pengadilan jatuh dan harapan serta kepercayaan pada bantuan hukum hilang. Pada saat itu orang berperkara tidak melihat gunanya bantuan
hukum, juga tidak melihat gunanya profesi advokat yang memang sudah tidak berperan lagi. Orang lebih suka meminta pertolongan kepada Jaksa, Hakim itu
sendiri atau jika ada jalan kepada orang kuat lainnya.
53
Disini dapat dilihat bahwa dalam periode 1950-1959 perkembangan bantuan hukum di negara kita masih belum begitu terlihat. Secara prinsip ia
adalah merupakan kelanjutan dari pada masa-masa penjajahan Belanda dahulu. Dilihat dari segi dasar hukum memang benar keadaannya malah lebih jelek dari
pada perkembangan bantuan hukum di jaman penjajahan, tetapi dilihat dari pada kacamata politik Nasional menunjukkan adanya beberapa peningkatan. Dukungan
52
Ibid., Hal.14
53
Abdurrahman, Op.Cit., Hal.57
yang cukup dominan terhadap perkembangan bantuan hukum di masa ini adalah kondisi dan situasi politik pemerintah saat ini.
54
Angin segar dalam sejarah bantuan hukum dimulai pada periode Orde Baru. Periode ini dimulai dengan gagalnya kudeta PKI yang disusul dengan
jatuhnya rezim Soekarno. Pada mulanya atau pada tahun-tahun pertama tampak ada drive yang kuat sekali untuk membangun kembali kehidupan hukum dan
ekonomi yang sudah hancur berantakan. Disamping program rehabilitasi ekonomi, terasa sekali adanya usaha-usaha untuk menumbuhkan kebebasan
berbicara, kebebasan pers, juga kebebasan mimbar pada universitas. Independency pengadilan mulai dijalankan dan respek kepada hukum tumbuh kembali.
55
Puncak dari usaha ini adalah dicabutnya Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang lama dan menggantikannya dengan Undang-undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru.
56
Dengan undang-undang ini dijamin kembali kebebasan peradilan dan segala campur tangan kedalam urusan peradilan
oleh pihak-pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang. Bukan itu saja, dalam undang-undang yang baru itu, untuk pertama
kalinya secara eksplisit juga diberikan jaminan atas adanya hak atas Bantuan Hukum. Dalam satu bab khusus tentang Bantuan Hukum, terdapat ketentuan-
ketentuan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh Bantuan Hukum. Juga ada ketentuan bahwa seorang tersangka dalam perkara
54
Ibid
55
Adnan Buyung Nasution, Op.Cit., Hal. 30
56
Undang-undang No.19 tahun 1964 diganti dengan Undang-undang No.14 tahun 1970
pidana berhak menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukum sejak saat dilakukan penangkapan atau penahanan.
57
Dalam rangka pengembangan bantuan hukum ini, maka pada tanggal 10- 12 Desember 1971 telah dilangsungkan konferensi Lembaga Bantuan Hukum dan
Biro Konsultasi Hukum se Indonesia. Konferensi yang pertama kalinya itu diikuti oleh 17 lembaga-lembaga bantuan hukum dan biro konsultasi hukum dari
Universitas antara lain telah mengambil keputusan menyetujui dibentuknya Lembaga Bantuan Hukum Tingkat Nasional merupakan kerjasama antara
Lembaga Bantuan Hukum dan Biro-biro Konsultasi Hukum. Disamping itu meminta perhatian dan bantuan Pemerintah Daerah, pers dan mass media agar
membantu tersebar luasnya ide bantuan hukum ini.
58
Belum sempat melaksanakan tugasnya, maka keluarlah Instruksi KOMKAMTIB No.TR-173KOPKAMIV1972 yang ditujukan kepada semua
LAKSUS KOPKAMTIBDA, Kepala Staf Angkatan, Kepala Kepolisian dan Gubernur Kepala Daerah di seluruh Indonesia agar mencegah pembentukan
Lembaga Bantuan Hukum daerah kecuali untuk daerah Khusus Ibukota Jakarta. Larangannya atas alasan demi keamanan dan ketertiban.
59
Dengan adanya instruksi ini semua rencana pengembangan bantuan hukum dan pembentukan Lembaga Bantuan Hukum Nasional menjadi gagal dan
perkembangan bantuan hukum mundur beberapa langkah kebelakang. Dampaknya terhadap proses penegakan hukum sangat besar sekali, sehingga tidak
57
Ibid.,
58
Abdurrahman, Op.Cit., Hal.50
59
Ibid., Hal. 51
mengherankan bilamana Adnan Buyung Nasution Menggambarkan keadaan bantuan hukum pada saat tersebut sebagai berikut :
“Pada saat sekarang ini atau pada tahun-tahun terakhir ini, angin baru yang segar itu telah pudar, bersamaan dengan hilangnya iklim politik
yang demokratis. Kontrol politik dari pihak eksekutif terasa semakin kuat di segala bidang kehidupan, termasuk bidang peradilan. Hal ini jelas
membawa pengaruh yang tidak kecil bagi merosotnya bantuan hukum dan profe
si hukum di Indonesia.”
60
Akhirnya, dapat dicatat bahwa semenjak tahun 1978 terjadi perkembangan yang cukup menarik bagi bantuan hukum di Indonesia dengan
munculnya berbagai Lembaga Bantuan Hukum dengan menggunakan berbagai nama. Ada Lembaga Bantuan Hukum yang sifatnya independent, ada Lembaga
Bantuan Hukum yang dibentuk oleh suatu organisasi politik atau suatu organisasi massa, ada pula yang dikaitkan dengan Lembaga pendidikan dan lain sebagainya.
Dengan demikian, mereka yang membutuhkan batuan hukum dapat lebih leluasa dalam upayanya mencari keadilan dengan memanfaatkan organisasi-organisasi
bantuan hukum diatas. Masa terakhir ini, pemerintah memberikan perhatian penuh kepada
masyarakat pencari keadilan. Hal tersebut dapat dilihat bahwa pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Undang-undang ini memberikan jaminan untuk diberikannya bantuan hukum secara cuma-cuma bagi masyarakat kurang mampu.
B. Dasar Pemberian Bantuan Hukum