Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

(1)

PEMBERIAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA KEPADA ANAK GOLONGAN MASYARAKAT KURANG MAMPU YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PERADILAN PIDANA

ANAK

(Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan).

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

JEKSON S PAKPAHAN Nim : 110200331

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PEMBERIAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA KEPADA ANAK GOLONGAN MASYARAKAT KURANG MAMPU YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PERADILAN PIDANA

ANAK

(Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan). SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

JEKSON S PAKPAHAN Nim : 110200331

Departemen Hukum Pidana

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr.M.Hamdan, S.H.,M.H NIP : 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr.Madiasa Ablisar, S.H.,M.S Syafruddin S.H.,M.H.,DFM NIP : 196104081986011002 NIP : 196305111989031001


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Kasih dan Karunia-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)” dengan baik.

Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam Pembuatan Skripsi ini penulis tidak sendirian, ada banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., MH, selaku Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, S.H.,MS selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Syafruddin, S.H.,M.H.,DFM selaku Dosen Pembimbing II, yang


(4)

membimbing, mengarahkan, memberi ide, saran serta dukungan dan memberikan waktu selama penyelesaian skripsi ini;

5. Bapak Surya Adinata, S.H.,MKn selaku Direktur Lembaga Bantuan Hukum Medan yang telah menyetujui penulis untuk melakukan riset di LBH Medan, Kak Reni Lorensa S.H., selaku Sekretaris LBH Medan yang membantu penulis dalam bagian administrasi, Abang Juliadi S.H., yang memberikan waktu dan informasi-informasi yang dibutuhkan penulis untuk menulis skripsi ini, dan kepada seluruh pegawai dan staf LBH Medan yang dengan ramah menerima penulis dan membagi cerita serta pengalamannya selama bekerja di LBH Medan;

6. Ibu Rafiqoh Lubis, SH.,M.Hum selaku Dosen Wali penulis yang telah membimbing penulis selama menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Dosen-dosen Pidana yang dengan sabar dan meluangkan waktunya mengajari penulis sehingga mendapatkan ilmu yang dibutuhkan untuk dipergunakan dimasa yang akan mendatang, dan juga dosen lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang mengajari penulis dari semester 1 hingga sekarang;

8. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Terkhusus kepada kedua orang tua penulis , S.Pakpahan dan L.Siburian, untuk setiap doa dan dukungan, semangat serta masukan yang diberikan kepada penulis;


(5)

10. Kakak-kakak saya Lamriwaty Pakpahan, Emmi Pakpahan, Lisbet Pakpahan dan abang-abang saya Satria Pakpahan dan Santana Pakpahan yang memberikan saran dan motivasi serta dukungan kepada penulis;

11. Seluruh keluarga yang telah mendukung dan memberikan motivasi yang mungkin tidak dapat disebutkan satu per satu;

12. Kelompok kecil “Prodeo Et Patria” K’Juliana Hutasoit, Anold Sihombing, Pranto Situmorang, Hans Nadapdap dan Kardopa Nababan, yang mendukung satu-sama lain dan belajar sama-sama untuk berpegang teguh kepada firman Tuhan;

13. Sahabat-sahabat penulis Arnold Sihombing, Hengky Simanjuntak, Aan Febrianto, Ashari Reza, Pranto Situmorang, Andana Limbeng, Jhonny Hutabara, Hans Nadapdap, Kardopa Nababan, Dedi Lubis, Rahmad Kharisman, Dedi Siagian, Sandro Pandiangan, Ervin Barus, Yuristia Eka, Rizky Novia, Nurul Bashiroh, Sabrina Amanda, Charlene Fortuna, Samitha Andimas dan lain-lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu , terima kasih atas dukungannya selalu, saran , motivasi serta doanya. Terima kasih juga buat 4 tahun selalu bersama penulis menjalani perkuliahan, belajar bersama, bermain bersama, tukar pikiran serta pengalaman, berbagi canda tawa dan mengisi hidup penulis dengan berbagai warna dan rasa;

14. Teman-teman departemen pidana yang sama-sama berjuang satu sama lain, dan selalu bertukar ide, pikiran dan pendapat satu sama lain. Semoga departemen pidana menjadi departemen yang terbaik dari yang lain, dan semoga kekompakan dapat tetap terjalin selalu. Hidup IMADANA;


(6)

Oleh karena keterbatasan penulis dalam mengerjakan skripsi ini, maka penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangannya, sehingga penulis mengharapkan saran ataupun masukan dari pembaca semua. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAKSI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Bantuan Hukum Cuma-cuma ... 8

2. Pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum ... 13

3. Pengertian Golongan Masyarakat Kurang Mampu ... 18

4. Pengertian Peradilan Pidana dan Peradilan Pidana Anak ... 21

E. Metode Penelitian ... 24

F. Keaslian Penulisan ... 26

G. Sistematika Penulisan ... 27

BAB II PENGATURAN BANTUAN HUKUM DI INDONESIA A. Sejarah dan Perkembangan Bantuan Hukum di Indonesia ... 28

1. Bantuan Hukum di Zaman Penjajahan Belanda ... 28

2. Bantuan Hukum di Zaman Penjajahan Jepang ... 32


(8)

B. Dasar Pemberian Bantuan Hukum ... 42 C. Pemberian Bantuan Hukum Cuma-cuma Kepada Masyarakat

Kurang Mampu ... 47

BAB III PENGATURAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG

BERKONFLIK DENGAN HUKUM

A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum ... 54 B. Bantuan Hukum terhadap Anak yang Berkonflik dengan

Hukum sebagai Bagian dari Pelindungan Hukum Terhadap Anak ... 61 C. Hukum Acara Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam

Peradilan Pidana Anak ... 65

BAB IV PEMBERIAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA OLEH LEMBAGA BANTUAN HUKUM MEDAN

A. Sejarah Singkat Berdirinya Lembaga Bantuan Hukum Medan .. 83 B. Struktur Keorganisasian LBH Medan Periode 2012-2015 ... 84 C. Nilai-nilai Dasar Organisasi Lembaga Bantuan Hukum Medan 85 D. Visi dan Misi Lembaga Bantuan Hukum Medan ... 88 E. Fungsi Lembaga Bantuan Hukum Medan ... 89 F. Prosedur Pendaftaran Bantuan Hukum Cuma-cuma ... 94


(9)

G. Kendala-kendala yang dihadapi Lembaga Bantuan Hukum Medan dalam Memberikan Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma ... 96 H. Pemberian Bantuan Hukum Cuma-cuma Kepada Anak yang

Berkonflik dengan Hukum ... 100

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 104 B. Saran ... 106


(10)

ABSTRAK

Dr.Madiasa Ablisar, S.H.,M.S Syafruddin S.H.,M.H.,DFM

Jekson S Pakpahan

Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-undan Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga seseorang berhak dan wajib diberlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia termasuk penghormatan terhadap hak tersangka harus diberi perhatian. Agar tidak terjadi penyelewengan penegak hukum, maka bantuan hukum perlu diberikan untuk membela orang miskin dan buta hukum agar tidak menjadi korbann penindasan HAM. Terlebih terhadap anak yang berkonflik dengan hukum yang tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain untuk melindungi dirinya, yaitu para ahli-ahli hukum untuk melindungi hak-hak si anak dalam peradilan pidana anak. Akan tetapi tidak semua dapat membayar ahli-ahli hukum profesional. Oleh karena itu, Lembaga Bantuan Hukum merupakan salah satu lembaga yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat kurang mampu. Oleh karena itu, anak yang berkonflik dengan hukum dapat lega karena mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma untuk melindungi hak-haknya.

Uraian diatas kemudian memunculkan pertanyaan bagi penulis yang kemudian diangkat menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini yaitu bagaimana pengaturan bantuan hukum di Indonesia, bagaimana pengaturan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dan bagaimana pemberian bantuan hukum cuma-cuma oleh lembaga bantuan hukum medan. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode gabungan antara pendekatan yang bersifat normatif dan pendekatan yang bersifat empiris. Yaitu meneliti hukum dan meneliti bagaimana pelaksanaan undang-undang tersebut dilapangan.

Keberadaan bantuan hukum di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan belanda. Setelah kemerdekaan, bantuan hukum mulai jelas keberadaannya dengan lahirnya berbagai peraturan-peraturan dan lembaga-lembaga pemberi bantuan hukum. Dan pada akhirnya, lebih dijelaskan lagi setelah lahirnya undang-undang no.16 tahun 2011 tentang bantuan hukum. Untuk anak yang berkonflik dengan hukum itu sendiri berhak mendapat bantuan hukum dalam setiap proses peradilan pidana anak. Lembaga Bantuan Hukum merupakan lembaga yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat kurang mampu. Lembaga Bantuan Hukum Medan dalam menangani kasus anak yang berkonflik dengan hukum lebih mengusahakan kepada penyelesaian diversi. Hal tersebut dilakukan demi kebaikan si anak agar psikologi sianak tidak terganggu dengan proses peradilan yang ribet.

Pembimbing I  Pembimbing II  Penulis


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga seseorang berhak dan wajib diberlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. Hak hidup setiap manusia tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun termasuk hak untuk tidak disiksa, tidak diperbudak, tidak diperjualbelikan dan tidak dipaksa untuk melakukan yang tidak disukai atau diperlakukan dengan tidak sesuai harkat, martabat dan kehormatan dirinya sebagai manusia seutuhnya.

Konsepsi tentang negara hukum ini berkaitan erat sekali dengan Hak-hak Asasi Manusia. Suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai Negara Hukum selama negara itu tidak memberikan penghargaan dan jaminan dihargainya hak-hak asasi manusia, karena ciri-ciri dari pada negara hukum itu sebenarnya terdiri atas : 1

1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, kultural dan pendidikan.

2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan/ kekuatan lain apapun.

3. Legalitas, dalam arti hukum dalam semua bentuk.

1

Abdurrahman, Aspek-aspek Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta : Cendana Press, 1983), hal. 3


(12)

Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk penghormatan terhadap hak tersangka, selama ini kurang mendapatkan perhatian dari Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Oleh karena itu masyarakat hukum Indonesia telah lama memperjuangkan dan mencita-citakan suatu hukum acara pidana nasional yang lebih manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak tersangka.2 Pada bagian lain insiden perlakuan tidak manusiawi, penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia terutama orang miskin yang tidak mampu membayar jasa hukum dan pembelaan seorang Advokat profesional. Sering dalam pelaksanaanya tidak sedikit tersangka/terdakwa dipersulit dalam mencari Penasehat Hukumnya. Sehingga tidak jarang seorang tersangka/terdakwa atau kaum miskin diintimidasi oleh penyidik. Termasuk adanya praktek-praktek pemaksaan/penyiksaan dan berbagai bentuk perlakukan tidak manusiawi lainnya dalam setiap pemeriksaan tersangka yang dilakukan oleh penyidik, dan adalah cukup sulit untuk menghilangkan hal tersebut.3 Dalam keadaan seperti inilah bantuan hukum yang dari Lembaga Bantuan Hukum diperlukan untuk membela orang miskin dan buta hukum agar tidak menjadi korban penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan derajat manusia yang dilakukan oleh penegak hukum.

Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber daya manusia yang

2

Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2000) hal. 63

3Ibid, Hal.38


(13)

tangguh serta berkualitas. Berkaitan dengan pembinaan anak diperlukan sarana dan prasarana hukum yang mengantisipasi segala permasalahan yang timbul. Sarana dan prasarana yang dimaksud menyangkut kepentingan anak maupun yang menyangkut penyimpangan sikap dan perilaku yang menjadikan anak terpaksa dihadapkan ke muka pengadilan.

Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain untuk melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam pelaksanaan Peradilan Pidana Anak yang asing bagi dirinya.4 Anak perlu mendapat perlindungan dari kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan terhadap dirinya, yang menimbulkan kerugian mental, fisik, dan sosial. Perlindungan anak dalam hal ini disebut perlindungan hukum/yuridis

(Legal Protection).

Penyelesaian tindak pidana perlu ada perbedaan antara perilaku orang dewasa dengan pelaku anak, dilihat dari kedudukannya seorang anak secara hukum belum dibebani kewajiban dibandingkan orang dewasa, selama seseorang masih disebut anak, selama itu pula dirinya tidak dituntut pertanggungjawaban, bila timbul masalah terhadap anak diusahakan bagaimana haknya dilindungi hukum.5

4

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung: PT.Refika Aditama, 2013) Hal. 2

5


(14)

Dalam hal melindungi hak-hak anak dan membantu anak pelaku tindak pidana yang menjalani persidangan peradilan pidana anak, maka diperlukan bantuan dari ahli-ahli hukum. Dalam hal anak tersebut merupakan masyarakat kurang mampu, maka Lembaga Bantuan Hukum adalah salah satu lembaga yang paling tepat dipilih untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma dan mencari keadilan dalam peradilan pidana.

Lembaga Bantuan Hukum yang dikenal sekarang ini di Indonesia merupakan hal baru. Karena dalam sistem hukum tradisional lembaga seperti ini tidak dikenal. Lembaga ini baru dikenal semenjak Indonesia memberlakukan sistem hukum barat yang bermula pada tahun 1848, ketika itu di negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1848 Nomor 1 perundang-undangan baru di negeri Belanda juga diberlakukan untuk Indonesia, antara lain peraturan tentang Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Peradilan (Reglement op de

Rechterlijke Organisatie et het Beleid der Justitie yang lazim disingkat R.O).

Karena dalam peraturan baru itu diatur untuk pertama kali Lembaga Advokat, maka diperkirakan bahwa pada saat itu untuk pertama kali Lembaga Bantuan Hukum dalam arti formal mulai dikenal di Indonesia.6 Tetapi nampaknya peranan Lembaga Bantuan Hukum pada masa itu, kurang begitu dirasakan oleh karena jumlah para Advokat yang bergerak di bidang bantuan hukum masih terbilang sedikit.

6

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia,


(15)

Perkembangan bantuan hukum di Indonesia mulai memasuki babak baru ketika di era tahun 70an. Babak baru tersebut dimulai ketika berdirinya Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang didirikan oleh Adnan Buyung Nasution. Lembaga Bantuan Hukum ini merupakan pilot proyek dari Peradi. Lembaga Bantuan Hukum sebagai salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana (criminal justice

sistem) dapat memegang peranan penting dalam membela dan melindungi

hak-hak tersangka. Ide dari Lembaga Bantuan Hukum itu sendiri dicetuskan semula sebagai aktualisasi dan konseptualisasi dari fungsi Advokat untuk membagi waktu dan keahliannya untuk membantu, memberi nasehat hukum dan membela orang-orang yang tidak mampu.7

Keberadaan Lembaga Bantuan Hukum sangat penting ditengah masyarakat mengingat prinsip persamaan didepan hukum atau equality before the

la w. Apalagi dengan sebagian besar anggota masyarakat kita masih hidup

dibawah garis kemiskinan, dan minimnya pengetahuan hukum masyarakat juga merupakan hambatan dalam menerapkan hukum dalam masyarakat. Terlebih lagi budaya hukum dan tingkat kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang masih rendah. Sebagai suatu perumpamaan adalah adanya kasus yang dihadapi si kaya dan si miskin. Pihak yang kaya pasti tanpa kesulitan akan mendapatkan bantuan hukum dari seorang pemberi bantuan hukum yang benar-benar mahir dan profesional tentunya karena kekayaan yang dia miliki. Sedangkan bagi si miskin dan buta hukum pasti akan kesulitan mendapatkan bantuan hukum. Situasi seperti inilah yang memungkinkan Lembaga Bantuan Hukum dengan kesadarannya

7

Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia: Citra, Idealisme Dan Keprihatinan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995) hal.28


(16)

mengambil peran dalam pemberian bantuan hukum. Situasi dan kondisi ini tentunya berbeda dengan keadaan yang ada diluar negeri dimana pada mulanya Advokatlah yang bertugas memberikan bantuan hukum kepada golongan lemah/fakir miskin. Namun karena sudah tidak terjangkau lagi beban tugas bantuan hukum tersebut oleh Advokat mengingat kesibukannya sehari-hari maka dibentuklah Lembaga-lembaga Bantuan Hukum di luar negeri. Dengan kehadiran Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana maka proses pencarian keadilan menjadi seimbang dalam hal kedudukan masing-masing pihak, yakni pihak negara berhadapan dengan tersangka/terdakwa dilain pihak.

Lembaga Bantuan Hukum selain karena mengusung konsep baru dalam pelaksanaan program bantuan hukum di Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum juga dianggap sebagai cikal bakal bantuan hukum yang terlembaga yang dikatakan paling berhasil pada masa itu. Hingga Pendirian Lembaga Bantuan Hukum ini kemudian mendorong tumbuhnya berbagai macam dan bentuk organisasi dan wadah bantuan hukum di Indonesia.

Singkatnya penulis berpikir bahwa setiap orang harus diberikan bantuan hukum dalam golongan apapun yang berhadapan dengan hukum, terlebih kepada anak-anak yang tingkat sosialnya dalam golongan yang tidak mampu . Dengan demikian, penulis merasa tertarik untuk menguraikan peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam memberikan bantuan hukum secara gratis kepada masyarakat kurang mampu dalam skripsi dengan judul “Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu yang


(17)

Berkonflik dengan Hukum dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan).

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini sesuai dengan latar belakang diatas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Pengaturan Bantuan Hukum di Indonesia?

2. Bagaimana Pengaturan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik dengan Hukum ?

3. Bagaimana Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak oleh Lembaga Bantuan Hukum Medan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Penulisan Skripsi ini bertujuan untuk :

a. Mengetahui Pengaturan Bantuan Hukum di Indonesia.

b. Mengetahui Pengaturan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik dengan Hukum.

c. Mengetahui Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik dengan Hukum dalam Peradilan Pidana Anak Oleh Lembaga Bantuan Hukum Medan.


(18)

2. Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah :

a. Secara Teoritis : Penulisan skripsi ini bermanfaat bagi kepentingan Ilmu Pengetahuan Hukum Acara Pidana dalam penegakan hukum secara luas dan memberikan pemahaman tentang Pemberian Bantuan Hukum Secara cuma-cuma oleh Lembaga Bantuan Hukum Kepada Anak Golongan Masyarakat kurang mampu yang berkonflik dengan hukum dalam Proses Peradilan Pidana Anak.

b. Secara Praktis : Penulisan skripsi ini bermanfaat bagi aparat penegak hukum dalam memperhatikan hak-hak tersangka/terdakwa anak dalam proses peradilan pidana anak dan juga masalah bantuan hukum kepada tersangka yang tidak mampu dan buta hukum.

D. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Bantuan Hukum Cuma-cuma

Konsep bantuan hukum dipergunakan sebagai terjemahan dari dua istilah asing yang berbeda, yaitu legal aid dan lega l assistence. Istilah legal aid dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum dalam arti sempit yang berupa pemberian jasa-jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu perkara secara cuma-cuma bagi mereka yang tidak mampu. Dengan demikian yang menjadi motivasi utama dalam konsep legal aid adalah


(19)

menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum.8

Sedangkan pengertian legal assistence mengandung pengertian yang lebih luas dari legal aid, istilah legal assistence dipergunakan untuk menunjuk pengertian bantuan hukum yang diberikan baik kepada mereka yang tidak mampu yang diberikan secara cuma-cuma maupun pemberi bantuan hukum oleh para Penasehat Hukum yang mempergunakan honorarium.9 Disamping kedua istilah tersebut diatas yang diterjemahkan dengan bantuan hukum, dikenal juga istilah

legal services yang dalam bahasa Indonesia lebih tepat bila diterjemahkan dengan

istilah pelayanan hukum. Konsep legal services mencakup pengertian yang lebih luas lagi dibanding dua konsep bantuan hukum sebelumnya. Pada konsep legal

services tercakup kegiatan : 10

a. Memberi bantuan hukum kepada anggota masyarakat yang operasionalnya bertujuan menghapuskan kenyataan-kenyataan diskriminatif dalam penegakan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan;

b. Dan dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang diberikan hukum bagi setiap anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan yang miskin;

c. Disamping untuk menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak yang diberikan hukum kepada setiap orang. Legal services dalam operasionalnya lebih cenderung untuk menyelesaikan setiap persengketaan dengan jalan menempuh cara perdamaian;

8

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000) hal. 333

9

Ibid


(20)

Ada juga hubungan antara cara-cara pemerintah atau campur tangan negara dengan realisasi tujuan bantuan hukum, yakni perlindungan hukum yang merata. Menurut Cappeleti Gordley dalam artikelnya yang berjudul “Legal aid :

modern themes and variations”, seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto : 11

“... Didalam sistem hukum Romawi Kuno, maka bantuan hukum merupakan bagian dari patronase politik. Di dalam periode abad menengah, maka bantuan hukum menjadi bagian dari bidang moral. Pekerjaan tersebut dilakukan sebagai suatu derma. Setelah revolusi Perancis, maka bantuan hukum menjadi bagian dari proses hukum, artinya pada waktu itu kepada warga masyarakat diberikan hak yang sama untuk berurusan dengan Hakim”.

Dari hubungan antara bantuan hukum dengan campur tangan negara atau pemerintah tersebut, Cappelletti dan Gordley membagi bantuan hukum dalam dua model, yakni yuridis-individual dan model kesejahteraan. Pola yuridis-individual masih mewarisi ciri-ciri pola klasik dari bantuan hukum yaitu : “Permintaan akan bantuan hukum atau perlindungan hukum tergantung pada warga masyarakat yang memerlukannya. Warga masyarakat yang memerlukan bantuan hukum menemui Pengacara, dan Pengacara akan memperoleh imbalan atas jasa-jasa yang diberikannya dari negara.12

Pada bantuan hukum model kesejahteraan, campur tangan negara dituntut untuk lebih intensif. Bantuan hukum dipandang sebagai bagian dari usaha negara untuk mewujudkan kesejahteraan, bagian dari program pengembangan sosial atau perbaikan sosial, yaitu : “Kewajiban-kewajiban negara atau pemerintah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar warga masyarakat, menimbulkan hak-hak

11

Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum: Suatu Tinjauan Sosio Yuridis (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983) hal.11

12Ibid, hal.12


(21)

tertentu, dimana bantuan hukum merupakan salah satu cara untuk memenuhi hak-hak tersebut”.13

Lain halnya dengan Schuyt, Groenendijk dan Sloot, menurut mereka bantuan hukum biasanya dibedakan ke dalam lima jenis, yaitu : 14

a) Bantuan hukum preventif yang merupakan penerangan hukum dan penyuluhan hukum kepada warga masyarakat luas;

b) Bantuan hukum diagnostik yaitu pemberian nasehat hukum yang lazim disebut dengan konsultasi hukum;

c) Bantuan hukum pengendalian konflik yang merupakan bantuan hukum konkrit secara aktif. Jenis bantuan hukum seperti ini yang lazim dinamakan bantuan hukum bagi warga masyarakat yang kurang mampu atau tidak mampu secara sosial ekonomis;

d) Bantuan hukum pembentukan hukum yang intinya adalah untuk memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, jelas dan benar; e) Bantuan hukum pembaharuan hukum yang mecakup usaha-usaha

untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui hakim atau pembentuk undang-undang dalam arti materil.

Untuk memperoleh pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan bantuan hukum di Indonesia, berikut akan dikutip beberapa pendapat ataupun rumusan tentang bantuan hukum :

Yang pertama, Santoso Poesjosoebroto berpendapat bahwa bantuan hukum atau legal aid diartikan sebagai berikut : 15

“...Bantuan hukum baik yang berbentuk pemberian nasehat hukum maupun yang berupa menjadi kuasa dari seseorang yang berperkara yang diberikan kepada orang yang tidak mampu ekonominya, sehingga ia tidak dapat membayar biaya (honorarium) kepada seorang Pembela atau Pengacara”

13

Ibid

14

Ibid, hal 27 15Ibid,


(22)

Dari rumusan diatas mengenai bantuan hukum diperoleh gambaran umum mengenai bantuan hukum namun secara relative masih terbatas ruang lingkupnya. Rumusan yang lebih sempit lagi pernah dikemukakan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia, yang berpendapat : 16

“Yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh seorang terdakwa dari seorang Penasehat Hukum, sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses pemeriksaan perkaranya di muka pengadilan”

Todung Mulya Lubis dalam tulisannya berjudul “Gerakan Bantuan

Hukum di Indonesia (Sebuah Studi Awal)” merumuskan bantuan hukum yang

lebih luas yaitu : 17

“Bantuan Hukum merupakan salah satu upaya mengisi hak asasi manusia (HAM) terutama bagi lapisan termiskin rakyat kita, yang tujuan bantuan hukum tersebut tidak saja terbatas pada bantuan hukum individual tetapi juga struktural”

Dalam undang-undang No.8 Tahun 1981 tidak merumuskan secara jelas/eksplisit tentang pengertian bantuan hukum, tetapi dari pasal 54 undang-undang tersebut dapat disimpulkan bahwa bantuan hukum merupakan hak tersangka atau terdakwa untuk didampingi seorang Penasehat Hukum atau lebih, untuk kepentingan pembelaan perkara pidana bagi tersangka atau terdakwa, selama dalam waktu pemeriksaan dan pada setiap tingkat pemeriksaan.

16Ibid

17

T. Mulya Lubis, Gerakan Bantuan Hukum di Indonesia (Sebuah Studi Awal) Dalam Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum: Kearah Bantuan Hukum Struktural, (Bandung: Alumni, 1981), Hal.12


(23)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma pada pasal 1 angka 3 merumuskan bantuan hukum secara cuma-cuma sebagai berikut : “Bantuan hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu”.

Undang-undang No.18 tahun 2003 tentang Advokat pada pasal 1 butir 9 merumuskan bantuan hukum sebagai berikut : “Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu”.

Dalam undang-undang No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dijelaskan bahwa : “Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum (lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan undang-undang) Secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum (orang atau kelompok orang miskin).

2. Pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum

Sebelum lahirnya Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, pada dasarnya anak-anak yang bermasalah dikategorikan dalam istilah kenakalan anak, yang mengacu pada Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Setelah diundangkannya Undang-undang


(24)

Perlindungan Anak, maka istilah tersebut berubah menjadi anak yang berkonflik dengan hukum , dan saat ini Undang-undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pun menggunakan istilah anak yang berkonflik dengan hukum.18

Berdasarkan pasal 1 butir 2 Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah :

1. Anak yang melakukan tindak pidana, atau

2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Berdasarkan pengertian diatas, maka M. Nasir Djamil dalam bukunya mengungkapkan Undang-undang No.3 tahun 1997 tersebut telah mencampur-adukkan dua pengertian yang sama sekali berbeda pendekatannya, yakni : 19

1. “Anak nakal” didefinisikan sebagai anak yang melakukan tindak pidana (crimes actor; dader). Perbuatan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum pidana adalah perbuatan yang sesuai dengan asas legalitas, yakni perbuatan yang dilarang undang-undang. Dalam hukum pidana, suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang sudah ada. Pakar hukum pidana Hamel (1972) dan Noyon Langemeyer, menyatakan bahwa straft baar feit sebagai kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidanakan dengan kesalahan;

2. “Anak nakal” didefinisikan sebagai pelaku kenakalan (delinquency), yakni melakukan perbuatan selain tindak pidana (straft baar feit;

18

M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum.,(cet.II, Jakarta Timur : Sinar Grafika, 2013) Hal.32

19Ibid., Hal.36


(25)

crimes). Maksudnya, melakukan perbuatan selain tindak pidana, yang karenanya tidak terikat dengan asal legalitas;

3. Pengertian “anak nakal” ini memberikan pembedaan antara tindak pidana (straft baar feit; crimes) dengan kenakalan anak (juvenile

delinquency). Disisi lain, pengertian anak nakal ini sebenarnya adalah

kriminalisasi atas kenakalan anak sebagaimana pasal 1 butir 2 huruf b Undang-undang No.3 tahun 1997. Karena ada ketidakjelasan pemaknaan “peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam

masyarakat yang bersangkutan”, karena bisa menimbulkan

interprestasi.

Menurut Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum dibagi menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum; anak yang menjadi korban tindak pidana; dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Yang dimaksud dengan Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun namun belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.20 Sedangkan yang dimaksud dengan anak yang menjadi korban tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.21 Kemudian yang dimaksud dengan anak yang menjadi saksi tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan/atau dialaminya.22

20

Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 angka (3)

21

Ibid., Pasal 1 angka (4) 22Ibid.,


(26)

Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu :23

1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila

dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;

2. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila

dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.

Kenakalan anak sering disebut dengan “Juvenile Delinquency”, yang diartikan dengan anak cacat sosial. Romli Atmasasmita mengatakan bahwa

delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang

anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku disuatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.24

Menurut Anthony M.Platt definisi delinquency adalah perbuatan anak yang meliputi: pertama, perbuatan tindak pidana bila dilakukan oleh orang dewasa; Kedua, perbuatan yang melanggar aturan negara atau masyarakat; Ketiga, perilaku tidak bermoral yang ganas, pembolosan, perkataan kasar dan tidak senonoh, tumbuh di jalan dan pergaulan dengan orang yang tidak baik yang memungkinkan pengaruh buruk bagi anak di masa depan.25

23

M.Nasir Djamil, Op.Cit., Hal.33 24

Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak dan Remaja, (Bandung: Armico, 1984) hal.34 dalam buku Maidin Gultom, Op.Cit., Hal.55

25

Anthony M Platt, The Child Savers: The Invention of Delinquency. (Chicago: The University of Chicago Press. Second Edition. Enlarged) Hal. 138 dalam buku Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorativer Justice, (Bandung : Refki Aditama, 2009), Hal.38


(27)

Adanya perbedaan pandangan penggunaan istilah delinquency, disebabkan pendekatan yang digunakan, latar belakang akademik, kekhususan ilmu yang digunakan dalam mengartikan delinquency. Perbedaan tersebut dapat dikategorikan dalam tiga pengertian, yaitu : 26

1. The legal Definition (definisi secara hukum), yaitu definisi yang

menitikberatkan pada perbuatannya atau perbuatan melanggar yang dilakukan seseorang anak yang diklasifikasikan sebagai delinquency. Perbuatan yang digolongkan sebagai delinquency tentunya diatur dalam hukum yang tertulis, sehingga secara legal definition,

delinquency adalah sejumlah tindakan yang apabila dilakukan oleh

orang dewasa dinyatakan tindakan kriminal. Tindak kriminal yang dilarang diatur dalam perundang-undangan;

2. The role definition (definisi pemerannya), yaitu definisi yang

menitikberatkan pada pelaku tindakan yang diklasifikasikan sebagai anak atau delinquency. Fokus utama dalam menentukan pengertian

delinquency yaitu umur seseorang dibandingkan jenis pelanggaran

yang dilakukannya, sehingga pengertian delinquency mengacu pada siapa yang dianggap delinquent. Delinquent yaitu seseorang yang mendukung sebuah bentuk pelanggaran dalam sebuah periode waktu tertentu dan berada dalam lingkungan pola perilaku menyimpang. Pelaku sendiri telah mempunyai komitmen lebih dahulu terhadap perbuatan melanggar dengan mengikuti perilaku melanggarnya;

3. The societal responce defenition (definisi atas dasar tanggapan

masyarakat), yaitu menitikberatkan pada penilaian masyarakat sebagai anggota kelompok masyarakat yang bereaksi terhadap pelaku tindak dan pada akhirnya menentukan apakah pelaku dan perbuatannya tersebut merupakan delinquency atau tidak. Aturan yang dibuat masyarakat di lingkungan pelaku bertujuan untuk melakukan perlindungan dan tanggung jawab pelaku yang melanggar atau delinquency.

Ketiga definisi diatas tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena dalam pembahasannya delinquency selalu melibatkan pemahaman ketiga definisi tersebut.

26Ibid.,


(28)

Paul Tappan mengemukakan “Juvenile Delinquent is a person who ha s been adjudicated as such by a court of proper jurisdiction thought he may be no

different, up who are not delinquent”. (anak yang delinkuen adalah seseorang

yang telah diputus dengan jurisdiksi pengadilan yang tepat meskipun mungkin putusan pengadilan dan putusan hakim berbeda, meskipun bukan dari kelompok anak yang tidak delinkuen) artinya bahwa juvenile adalah perilaku seorang anak yang melanggar norma-norma yang telah ditentukan oleh lingkungan sekitarnya dan perilaku tersebut dapat dijerat oleh kewenangan dari pengadilan anak.27

Menurut Kartini Kartono, Juvenile Delinquency adalah perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit

(patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu

bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bantuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.28

Perbedaan defenisi delinkuensi mengakibatkan timbulnya kesulitan dalam penentuan macam-macam jenis tingkah laku yang termasuk perbuatan delinkuen. Berdasarkan defenisi delinkuensi diatas disimpulkan, delinkuensi adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan adat istiadat atau norma-norma hukum atau aturan tertentu yang berlaku didalam kelompok masyarakat atau negara dimana anak tersebut bertempat tinggal yang bersifat anti sosial dan atau melawan hukum.29

27

Ibid, Hal.39 28

M.Nasir Djamil, Op.Cit., Hal. 35 29


(29)

3. Pengertian Golongan Masyarakat Kurang Mampu

Sebagai negara yang sedang berkembang, keadaan perekonomian Indonesia belumlah menggembirakan. Meskipun pembangunan ekonomi sudah berjalan puluhan tahun, kemiskinan masih tetap merupakan gambaran umum. Ukuran menetukan Golongan masyarakat kurang mampu atau biasa dikatakan sebagai masyarakat miskin merupakan masalah yang sulit untuk dipecahkan. Akan tetapi, dewasa ini pada tanggal 17 Desember 2013, kementerian sosial mengeluarkan Keputusan Menteri Sosial No.146/HUK/2013 tentang Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak mampu.

Dalam Keputusan Menteri Sosial No.146/HUK/2013 tentang Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu pada bagian kedua menetapkan bahwa fakir miskin dan orang tidak mampu memiliki kriteria sebagai berikut :

a. Tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar;

b. Mempunyai pengeluaran sebagian besar digunakan untuk memenuhi konsumsi makanan pokok dengan sangat sederhana;

c. Tidak mampu atau mengalami kesulitan untuk berobat ke tenaga medis, kecuali Puskesmas atau yang disubsidi pemerintah;

d. Tidak mampu membeli pakaian satu kali dalam satu tahun untuk setiap anggota rumah tangga;


(30)

e. Mempunyai kemampuan hanya menyekolahkan anaknya sampai jenjang pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;

f. Mempunyai dinding rumah terbuat dari bambu/kayu/tembok dengan kondisi tidak baik/kualitas rendah, termasuk tembok yang sudah usang/berlumut atau tembok tidak diplester;

g. Kondisi lantai terbuat dari tanah atau kayu/semen/keramik dengan kondisi tidak baik/kualitas rendah;

h. Atap terbuat dari ijuk/rumbla atau genteng/seng asbes dengan kondisi tidak baik/ kualitas rendah;

i. Mempunyai penerangan bangunan tempat tinggal bukan dari listrik atau listrik tanpa meteran;

j. Luas lantai rumah kecil kurang dari 8m2/orang; dan

k. Mempunyai sumber air minum bersala dari sumur atau mata air tak terlindungi/air sungai/air hujan dan lainnya.

Dalam Undang-undang Bantuan Hukum No.16 Tahun 2011 tidak diuraikan secara eksplisit tentang golongan masyarakat kurang mampu. Akan tetapi dapat kita lihat dalam persyaratan yang ditentukan bagi golongan penerima Bantuan Hukum secara Cuma-cuma. Pada pasal 14 Undang-undang Bantuan Hukum tentang syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum pada ayat (1) poin (c) dijelaskan bahwa penerima bantuan hukum harus melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum. Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa


(31)

golongan masyarakat tidak mampu adalah mereka yang memiliki surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat.

4. Pengertian peradilan pidana dan peradilan pidana anak

Peradilan pidana di Indonesia merupakan satu sistem, artinya peradilan di Indonesia harus dilihat, diterima dan diterapkan sebagai satu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang tidak boleh bertentangan satu sama lain.30 Sistem merupakan suatu kebulatan atau kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian, dimana antara bagian-bagian yang satu dengan yang lain saling berkaitan satu sama lain, tidak boleh terjadi konflik, tidak boleh terjadi overlapping (tumpang-tindih).

Istilah “Criminal Justice System” atau sistem peradilan pidana menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan pendekatan sistem.31 Remington dan Ohlin mengemukakan :

“Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan

sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya”32

Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun, kelembagaan ini harus dilihat dalam

30

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002) Hal.305 31

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Bandung : Binacipta, 1996) hal. 14


(32)

konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.33

Sistem peradilan pidana di Indonesia berlangsung melalui tiga komponen dasar sistem. Pertama, substansi merupakan hasil atau produk sistem termasuk undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang berlaku menggantikan Het Herziene Inlandsch Reglement (Stbl. 1941 No.44), serangkaian ketentuan sistematis untuk memberikan arahan atau petunjuk kepada aparatur penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Kedua, struktur yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri dan Lembaga Pemasyarakatan.

Ketiga, kultur yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan.

Dengan kata lain, kultur merupakan penggerak atau bensin dari sistem peradilan pidana.34

Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem peradilan pidana merupakan konstruksi sosial yang menunjukkan proses interaksi manusia (didalamnya ada aparatur hukum, pengacara dan terdakwa, serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun realitas yang mereka ciptakan. Aparatur hukum membawa pengetahuan yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari untuk membangun realitas. Melalui proses dialektika, dunia peradilan pidana terus

33Ibid.,Hal. 16 34

Anthon F.Susanto, Wajah Peradilan Kita: Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, (Bandung : PT.Refika Aditama, 2004) Hal.76


(33)

menerus mengalami apa yang dinamakan oleh Berger dengan eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan merupakan representasi dari proses yang melibatkan komunikasi dalam pembentukan realitas. Proses ini menjelaskan realitas peradilan, sementara aturan normatif merupakan refleksi dari proses interaksi yang demikian itu.35

Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.36

Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah

The Juvenile Justice System, yaitu suatu istilah yang digunakan sedefinisi dengan

sejumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak, dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak.37

Sistem peradilan pidana anak adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait didalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses kepengadilan anak. Ketiga, pengadilan anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam

35Ibid.,

hal.77 36

Undang-undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 Ayat (1)

37


(34)

pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir institusi penghukuman.38

E. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian yang digunakan

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan metode gabungan antara pendekatan yang bersifat normatif (legal resea rch) dan pendekatan yang bersifat empiris (juridis sosiologis). Dalam hal ini penulis menggunakan metode pendekatan yang bersifat normatif untuk meneliti asas-asas hukum dan meneliti bagaimana pengaturan bantuan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif) dengan menggunakan buku-buku, majalah-majalah hukum, artikel dan bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan tulisan ini. Melalui metode pendekatan yang bersifat empiris, penulis berusaha mendapatkan data primer atau data yang didapat langsung dari penelitian lapangan, dalam hal ini mengenai Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat kurang mampu yang berkonflik dengan hukum dalam peradilan pidana anak.

2. Jenis penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis menggunakan tipe/jenis penelitian comparatif yaitu penelitian yang dilakukan membandingkan teori dengan pelaksanaannya dilapangan. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh

38

Abintoro Prakoso, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak (Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2013) Hal.142


(35)

keterangan, penjelasan dan data mengenai tugas dan fungsi Lembaga Bantuan Hukum dalam pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan. Lokasi ini dipilih karena Lembaga Bantuan Hukum ini merupakan salah satu Lembaga Bantuan Hukum yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat dan merupakan cabang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta.

4. Sumber Data

Data-data yang digunakan dalam penulisan ini bersumber dari :

a. Data primer, yaitu data yang didapat langsung dari Lembaga Bantuan Hukum Medan sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan yang berupa : 1) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni :

a) Norma/Kaidah dasar, yaitu pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 b) Peraturan dasar, yaitu Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 c) Peraturan Perundang-undangan nasional yang berhubungan dengan

tulisan ini

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya.


(36)

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan penunjang yang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.

5. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan penulis adalah dengan cara :

a. Studi kepustakaan terhadap data sekunder b. Studi lapangan (field research), melalui :

1. Wawancara, hal ini dilakukan penulis terhadap orang yang bekerja di Lembaga Bantuan Hukum Medan mengenai tugas dan fungsi serta peran Lembaga Bantuan Hukum Medan terhadap pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat kurang mampu yang berkonflik dengan hukum dalam peradilan pidana anak.

2. Observasi, hal ini dilakukan penulis dengan melakukan pengamatan langsung di Lembaga Bantuan Hukum Medan bagaimana lembaga tersebut dalam memberikan bantuan hukum dan konsultasi hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat kurang mampu.

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dari hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat kurang mampu yang berkonflik dengan hukum dalam peradilan pidana anak” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas


(37)

Hukum Universitas Sumatera Utara. Judul skripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama sehingga tulisan ini asli atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan demikian penulis dapat mempertanggungjawabkan secara ilmiah.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut :

Bab pertama merupakan bab pendahuluan, yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, keaslian penulisan dan sistematika penulisan.

Pada bab kedua akan dibahas mengenai pengaturan bantuan hukum di indonesia.

Pada bab ketiga akan dibahas mengenai pengaturan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

Pada bab keempat akan dibahas mengenai pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat kurang mampu yang berkonflik dengan hukum dalam peradilan pidana anak.


(38)

Pada bab kelima berisi mengenai kesimpulan dan saran yang penulis paparkan mengenai bab-bab yang telah dibahas sebelumnya.


(39)

BAB II

PENGATURAN BANTUAN HUKUM DI INDONESIA

A. Sejarah dan Perkembangan Bantuan Hukum di Indonesia 1. Bantuan Hukum di Zaman Penjajahan Belanda

Bantuan hukum sebagai hukum (Legal Institution) yang kita kenal sekarang ini adalah barang baru di Indonesia. Bantuan hukum tidak dikenal dalam sistem hukum tradisional. Bantuan hukum baru di kenal di Indonesia sejak masuk atau diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia. Bermula pada tahun 1848 ketika negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan firman Raja tanggal 16 mei 1848 No.1, Perundang-undangan baru di Negeri Belanda tersebut juga diberlakukan buat Indonesia, antara lain peraturan tentang Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Pengadilan (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en bet

beleid der Justitie) yang lazim disingkat R.O.39Mengingat baru dalam peraturan

itulah diatur untuk pertama kalinya Lembaga Advokat, maka dapatlah diperkirakan bahwa bantuan hukum dalam arti formal baru mulai di Indonesia pada tahun-tahun sekitar itu. Hal itupun baru terbatas bagi orang-orang Eropa saja didalam peradilan Raad van Jusitie.

Pada tahun 1900-an, selama kurun kebijaksanaan etis, pembaruan hukum siap dilaksanakan. Namun, ditilik dari tempat berpijak masyarakat Indonesia, sebagian besar perubahan ini hanyalah penghalusan pola yang sudah terbentuk

39

Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum Di Indonesia, (Jakarta : LP3ES, 1981) Hal.23


(40)

sebelumnya. Semua itu penting bagi masyarakat Belanda yang kadang-kadang memperlakukan bangsa Indonesia secara lain (misalnya : vervreemdingsverbod tahun 1870, yang melarang pemindahan hak milik atas lahan orang Indonesia kepada orang asing) tetapi tidak pernah selain sebagai pemantas saja dengan maksud seolah menentang adanya perbedaan-perbedaan unsur kemajemukan ekonomi sosial, dan politik kolonial. Biasanya, mereka justru memperkokoh perbedaan-perbedaan tersebut dengan cara yang lebih canggih dan halus. 40

Logika kemajemukan dan pemerintahan tidak langsung Hindia Belanda menuntut diperlengkapinya dengan baik masyarakat Belanda dan Indonesia dengan lembaga-lembaga yang harus memainkan peranan yang sudah ditentukan sebelumnya dengan pihak Indonesia tetap harus dipersiapkan menempati derajat yang lebih rendah daripada pihak Belanda. Hal ini berarti ada dua birokrasi, yang satu merupakan bawahan yang lain. Termasuk juga ada dua sistem peradilan yang hubungannya serupa.

Lebih tegas lagi dalam hukum positif Indonesia masalah bantuan hukum ini diatur dalam pasal 250 ayat (5) dan (6) Het Herziene Indonesische Reglemen (HIR/Hukum Acara Pidana Lama) dengan cakupan yang terbatas, artinya pasal ini dalam prakteknya hanya lebih mengutamakan bangsa Belanda daripada bangsa Indonesia yang waktu itu lebih populer disebut inlanders, disamping itu, daya laku pasal ini hanya terbatas apabila para advokat tersedia dan bersedia membela

40


(41)

mereka yang dituduh dan diancam hukuman mati dan/atau hukuman seumur hidup.41

Gambaran keadaan diatas terjadi karena di jaman kolonial belanda seperti yang telah kita ketahui dikenal adanya 2 (dua) sistem peradilan yang terpisah satu dengan yang lainnya. Pertama, satu hirarki peradillan untuk orang-orang Eropa dan yang dipersamakan (Residentie Gerecht, Raad van Justitie dan Hoge

rechshof)42. Kedua, hirarki peradilan untuk orang-orang Indonesia dan yang

dipersamakan (Districtgerect Regentschaps gerecht, dan Landraad).43

Oposisi terhadap sistem peradilan yang majemuk tidak pernah lenyap. Tetapi oposisi itu tidak juga mencapai jumlah yang cukup berarti. Karena kelambanan saja tidak dapat mempertahankan tata susunan yang rumit itu, gagasan dan kepentingan yang menghendaki kemajemukan mulai dilengkapi dengan perlindungan yang cukup. Hanya Landgerecht-lah yang dibentuk pada tahun 1914, yang mempunyai wewenang umum atas semua golongan penduduk, tetapi pengadilan jenis ini hanya memeriksa pelanggaran dan perbuatan pidana ringan. Tidak lebih dari sekedar konsensi simbolis terhadap ambisi kesamaan liberal, landgerecht tidak banyak berarti. Sebenarnya upaya mempersatukan pengadilan merupakan ledakan yang dahsyat bukan terhadap berbagai kepentingan ekonomi, yang sejauh itu dapat melindungi diri sendiri dalam organisasi peradilan macam apa pun. Kebanyakan hakim dan semua notaris serta para Advokat adalah orang Belanda sampai pertengahan 1920-an, tetapi besar

41

H.Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op.Cit., Hal.12 42

Residentie Gerecht untuk tingkat pertama, Raad van Justitie untuk tingkat banding dan

Hoge rechshof atau biasa disebut Mahkamah Agung untuk tingkat Peninjauan Kembali 43Ibid.,


(42)

taruhannya dalam hal status, ras, sosial, dan politik yang terjalin di segenap bangunan kolonial.44

Kalau negara asal Eropa mempunyai dua kitab undang-undang hukum acara, satu untuk perkara perdata (Burgelijk Rechtsvordering) dan satu lagi untuk perkara pidana (strafvordering). Dan tahun 1950-an kedua kitab undang-undang ini memuat ketentuan-ketentuan, termasuk jaminan hak-hak pribadi, yang termaktub dalam kitab undang-undang di Belanda. Untuk orang Indonesia cukup disediakan satu kitab undang-undang baik untuk perkara perdata maupun perkara pidana, yang menetapkan acara-acara pengadilan pangreb praja maupun landraad dan pengadilan-pengadilan yang lebih rendah. Kitab undang-undang ini adalah

Herziene Inlandsch Reglement, selanjutnya disebut H.I.R. Kurang kompleks dan

kurang terinci daripada kitab undang-undang untuk orang Eropa, untuk melayani kebutuhan dan ukuran orang Indonesia yang “lebih sederhana”, H.I.R juga memuat ketentuan perlindungan terhadap kekuasaan pemerintah yang jauh lebih sedikit. Sebagai contoh, lebih mudah menangkap, menahan, dan memidana orang Indonesia berdasarkan H.I.R dari pada terhadap seorang kaula negara Belanda berdasarkan Strafvordering.

Dari paparan historik diatas kita dapat mengetahui bahwa bagi orang-orang Indonesia tidak ada kebutuhan akan bantuan hukum, dan karena itu tidak aneh apabila waktu itu profesi la wyer juga tidak berkembang dengan menggembirakan. Namun demikian, pada perkembangan berikutnya paralel dengan gemuruhnya arus pergerakan nasional kita, mulai bermunculan ahli-ahli

44


(43)

hukum bangsa Indonesia yang berprofesi advokat turut meramaikan gerakan nasional Indonesia melalui pemberian bantuan hukum. Dengan motif turut membantu gerakan nasional, maka mereka turut membantu rakyat Indonesia yang tidak mampu memakai jasa advokat-advokat Belanda ketika sedang menghadapi masalah hukum di muka pengadilan. Pada dasarnya gerakan bantuan hukum pada waktu itu dapat kita baca sebagai salah satu rangkaian dari pergerakan nasional untuk melepaskan bangsa Indonesia dari cengkraman penjajah Belanda, karenanya secara tidak langsung usaha pemberian bantuan hukum ini dapat dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pergerakan nasional di negara kita. Menurut Bambang Sunggono dalam bukunya bahwa tampaknya titik awal daripada program bantuan hukum khususnya bagi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum berangkat dari sini.45

2. Bantuan Hukum di Zaman Penjajahan Jepang

Dalam masa pendudukan Jepang, terhadap golongan Eropa dan Tionghoa diberlakukan Burgerlijk Wetboek (B.W) dan Wetboek van Koophandel (W.v.K), sedang untuk golongan Indonesia asli berlaku hukum adat. Selanjutnya, bagi golongan-golongan lainnya berlaku hukum yang diperlakukan bagi mereka menurut peraturan dahulu.

Wetboek van Strafrecht (W.v.S) pada umumnya tetap berlaku selain

peraturan-peraturan pidana lainnya yang dibuat oleh Pemerintahan pendudukan jepang. Adapun peraturan-peraturan tersebut selain Osamu Gunrei46 No.1 Tahun

45

H.Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op.Cit., Hal.14 46


(44)

1942 dan Undang-undang nomor Istimewa tahun 1942 juga termasuk di dalamnya

Osamu Seirei47 No.25 tahun 1944 tentang Gunsei Keizirei (Undang-undang

Kriminil Pemerintah Balatentara). Isinya memuat tentang aturan umum dan khusus dan belaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam maupun di luar daerah hukum Gunsei Keizirei. Walaupun Kitab Undang-undang Hukum Pidana Jepang ini berlaku, aturan umum W.v.S tetap berlaku juga dan daerah hukumnya meliputi wilayah Jawa dan Madura.48

Berdasarkan pasal 47 Gunzei Keizirei ini, kekuatan hukum undang-undang ini berlaku surut. Yang diatur dalam aturan umumnya adalah jenis-jenis pidana yang berbentuk kesengajaan, percobaan, konkursus, penyertaan, rechterlijk

pardon (kemungkinan pembebasan seseorang dari hukuman jika ia sendiri yang

memberitahukan kejahatan yang telah dilakukannya kepada yang berwajib). Dalam undang-undang ini diatur juga kemungkinan kumulasi penjatuhan pidana pokok dalam pasal 25 dan pengaturan tentang dapat dihukumnya suatu badan hukum dalam pasal 26.

Lebih jauh dalam masa penjajahan Jepang dikeluarkanlah Undang-undang No.40 pada tanggal 5 Oktober 1942, tentang Gunseirei atau undang-undang dan peraturan untuk menjalankan pemerintahan Balatentara di Jawa

(Osamu Seirei) yang diumumkan oleh Gunsireikan (Panglima Besar Tentara

47

Peraturan menjalankan pemerintahan Balatentara di Jawa 48


(45)

Jepang). Sehubugan dengan adanya undang-undang tersebut maka dikeluarkan pula peraturan baru dalam rangka menjalankan pemerintahan, yaitu : 49

a. Osamu Seirei

Dibuat oleh Gunsireikan (Panglima Besar Tentara Jepang), yang mengatur tentang segala hal yang perlu dilakukan untuk menjalankan pemerintahan Balatentara di Jawa.

b. Osamu Kanrei

Dibuat oleh Gunseikan (Pembesar Pemerintah Balatentara), yang merupakan peraturan untuk menjalankan Osamu Seirei dan juga untuk mengatur segala hal yang perlu untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum.

Kedudukan Osamu Seirei lebih tinggi daripada Osamu Kanrei. Oleh karena itu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Osamu Kanrei tidak boleh bertentangan dengan Osamu Seirei.

Disamping peraturan-peraturan pusat tersebut, di dalam Undang-undang No.40 terdapat juga peraturan-peraturan daerah yaitu Syuurei, Koorei,

Kootizimuyokurei, dan Tokubeturei.

Perkembangan bantuan hukum di masa pendudukan jepang, tidak memperlihatkan gambaran kemajuan. Sekalipun peraturan tentang bantuan hukum peninggalan zaman penjajahan belanda seperti R.O masih tetapi diberlakukan terus. Tetapi kondisi dan situasi pada saat itu kelihatannya tidak memungkinkan untuk pengembangan program bantuan hukum.50

49

Ibid., hal.6 50


(46)

3. Bantuan Hukum Setelah Kemerdekaan sampai Sekarang

Sejak Indonesia Merdeka, pemerintah RI telah mengeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan profesi advokat khususnya dalam hal ini tentang bantuan hukum di muka persidangan. Peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut : 51

a. Undang-undang No.1 Tahun 1946

Pada tahun 1946, pemerintah RI mengeluarkan Undang-undang No.1 Tahun 1946 tentang Undang-undang Peraturan Hukum Pidana. Dalam undang-undang tersebut diatur di dalamnya tentang kedudukan advokat dan procureur dan orang-orang yang memberikan bantuan hukum.

Selanjutnya, hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942 dan merupakan peninggalan pemerintah Hindia Belanda masih dinyatakan berlaku, maka seterusnya berlaku pula “Penetapan Raja” tanggal 4 Mei 1926 No.251 Jucnto 486 tentang Peraturan Cara Melakukan/ Menjalankan Hukuman dengan Syarat. Dalam Bab I bagian II Pasal 3 ayat (3) ditetapkan bahwa ‘Orang yang dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya boleh menyelidiki segala surat sebelum permulaan pemeriksaan itu’

Aturan ini berlaku pula sekadar tentang Mahkamah Agung dan Pengadilan-pengadilan Tinggi bagi Advokat dan Procureur yang berpraktik di dalam daerah Indonesia, jika diterangkannya bahwa orang yang dihukum itu telah memberikan kuasa kepadanya untuk menyelidiki surat itu, dan sekadar tentang Majelis dan Badan Pengadilan lain-lain bagi orang yang istimewa dikuasakan untuk hal itu oleh orang yang dihukum.

Selanjutnya, dalam pasal 4 ayat (4) ditetapkan bahwa orang yang dihukum dan orang yang diwajibkan memberi bantuan didengar jika mereka hadir. Sekadar tentang Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi maka orang yang dihukum itu boleh minta dibantu oleh seorang advokat dan atau procureur yang berpraktik di dalam daerah Indonesia dan sekadar tentang Majelis dan Badan Pengadilan lain-lain oleh seorang yang teristimewa dikuasakan untuk itu sebagai Penasihat.

Kemudian, pasal 5 ayat (3) ditetapkan bahwa isi keputusan itu diberitahukan kepada orang yang dihukum dengan segera atas perintah pegawai negeri tersebut dalam pasal 1, sambil diberi sehelai salinan keputusan itu kepada orang yang diwajibkan memberi

51


(47)

bantuan dan juga kepada orang yang pada keputusan itu dibebaskan dari padanya.

Lebih lanjut pasal 6 ayat (2) ditegaskan bahwa dalam masa tiga minggu sesudah keputusan itu diberitahukan, orang yang dihukum dengan keputusan tidak hadir itu, dapat mempergunakan atau menyuruh orang yang dikuasakannya dengan surat mempergunakan upaya yang diizinkan untuk melawan keputusan itu dimuka hakim yang bersangkutan.

Bahwa pengawasan terhadap orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang yang dikuasakan dan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh diperintah memberi bantuan itu ditetapkan dengan undang-undang (Staatsblad 1926 Nomor 487).

Undang-undang No.20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura mulai berlaku sejak 24 Juni 1947. Dalam pasal 7 ayat 1 undang-undang tersebut hanya menyebutkan bahwa Peminta atau Wakil dalam arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu Pembela atau Penasehat Hukum.

b. Undang-undang No.1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung

Undang-undang No.1 Tahun 1950 yang mulai berlaku pada tanggal 9 Mei 1950 itu mengatur tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. Pasal 42 memberikan istilah “pemberi bantuan hukum” dengan kata-kata “Pembela”.

Menurut Undang-undang ini, Mahkamah Agung memiliki kekuasaan untuk melakukan pengawasan tertinggi atas jalannya peradilan (pasal 12) dan tingkah laku perbuatan pengadilan-pengadilan dan para Hakim di pengadilan itu diawasi dengan cermat oleh Mahkamah Agung terhadap para pemberi bantuan hukum atau para advokat/pengacara dan notaris. Tentang pengawasan tersebut diatur dalam pasal 133 yang berbunyi : “pengawasan tertinggi atas para Notaris dan para pengacara dilakukan oleh Mahkamah Agung”.

c. Undang-undang Darurat No.1 Tahun 1951

Undang-undang Darurat No.1 Tahun 1951 mengatur tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara pengadilan sipil. Hal yang terpenting dari undang-undang ini adalah ketentuan yang tersebut di dalam pasal 6 ayat (1) yang menetapkan :” Bahwa saat peraturan ini mulai berlaku oleh segala Pengadilan Negeri oleh segala Kejaksaan padanya, dan oleh segala Pengadilan Tinggi dalam daerah RI “Reglemen Indonesia yang diperbarui” (Staatblad 1941 No. 44) seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil dengan perubahan dan tambahan”.

Undang-undang Darurat ini menentukan kembali berlakunya

“Herziene Inlandsch Reglement” (Stb. 1941 No.44) dalam Negara RI

yang pada waktu itu dipakai sebagai pedoman dalam Hukum Acara Pidana Sipil.


(48)

Dalam hubungannya dengan tugas dan kewajiban advokat, procureur dan para pemberi bantuan hukum di muka persidangan diatur dalam beberapa pasal H.I.R sperti :

 Pasal 83 h ayat (6) , yang menegaskan bahwa: “ Jika seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati, maka magistraat hendaklah menanyakan kepadanya, maukah ia dibantu Pengadilan oleh seorang Penasehat Hukum atau seorang ahli hukum”

 Pasal 250 ayat (5), yang menegaskan bahwa : “Bila sitertuduh diperintakan dibawa kemuka pengadilan karena suatu kejahatan, yang boleh menyebabkan hukuman mati, dan sitertuduh itu, baik dalam pemeriksaan oleh opsir justisi yang ditetapkan dalam pasal 83 h ayat (6) , menyatakan kehendaknya supaya ia pada waktu persidangan dibantu oleh seorang sarjana hukum atau seorang ahli hukum, maka untuk memberi bantuan itu ketua menunjukkan dalam surat penetapan seorang anggota pengadilan negeri yang ahli hukum yang dibawah perintahnya, atau seorang sarjana hukum atau ahli hukum lain yang menyatakan bersedia melakukan pekerjaan itu”

 Pasal 245 ayat (1) H.I.R, menegaskan bahwa : “Dalam persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh pembela untuk mempertahankan dirinya.”

 Pasal 123 H.I.R terdapat adanya penegasan bahwa apabila dikehendaki oleh para pihak yang berperkara maka para pihak tersebut boleh dibantu atau diwakili oleh kuasa, yang dikuasakan untuk melakukan itu dengan surat kuasa istimewa kecuali orang yang memberi kuasa itu hadir sendiri.

Dalam periode berikutnya, sekitar tahun 1950-1959an terjadi perubahan sistem peradilan Indonesia dengan dihapuskannya secara pelan-pelan pluralisme di bidang peradilan, hingga hanya ada satu sistem peradilan yang berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia, yaitu Pengadilan Negeri pada tingkat pertama; Pengadilan Tinggi pada tingkat banding; dan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, demikian pula telah diberlakukan satu hukum acara yaitu H.I.R. Namun Demikian, pemberlakuan yang demikian tetap berimplikasi pada tetap berlakunya


(49)

sistem peradilan dan peraturan hukum acara warisan kolonial yang ternyata masih tetap sedikit menjamin ketentuan-ketentuan tentang bantuan hukum.52

Dalam periode 1950-1959 ini, atau yang secara populer dikenal sebagai “periode Soekarno” atau “periode Orde Lama” bantuan hukum dan demikian juga profesi advokat di Indonesia mengalami kemerosotan yang luar biasa tapi tidak dikatakan hancur sama sekali. Pada masa itu peradilan tidak lagi bebas tetapi sudah dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh eksekutif. Hakim-hakim berorientasi kepada pemerintah karena tekanan yang dalam praktek dimanifestasikan dalam bentuk setiap putusan dimusyawarahkan dulu dengan kejaksaan. Akibatnya tidak ada lagi kebebasan dan impartiality sehingga dengan sendirinya wibawa Pengadilan jatuh dan harapan serta kepercayaan pada bantuan hukum hilang. Pada saat itu orang berperkara tidak melihat gunanya bantuan hukum, juga tidak melihat gunanya profesi advokat yang memang sudah tidak berperan lagi. Orang lebih suka meminta pertolongan kepada Jaksa, Hakim itu sendiri atau jika ada jalan kepada orang kuat lainnya.53

Disini dapat dilihat bahwa dalam periode 1950-1959 perkembangan bantuan hukum di negara kita masih belum begitu terlihat. Secara prinsip ia adalah merupakan kelanjutan dari pada masa-masa penjajahan Belanda dahulu. Dilihat dari segi dasar hukum memang benar keadaannya malah lebih jelek dari pada perkembangan bantuan hukum di jaman penjajahan, tetapi dilihat dari pada kacamata politik Nasional menunjukkan adanya beberapa peningkatan. Dukungan

52

Ibid., Hal.14 53


(50)

yang cukup dominan terhadap perkembangan bantuan hukum di masa ini adalah kondisi dan situasi politik pemerintah saat ini.54

Angin segar dalam sejarah bantuan hukum dimulai pada periode Orde Baru. Periode ini dimulai dengan gagalnya kudeta PKI yang disusul dengan jatuhnya rezim Soekarno. Pada mulanya atau pada tahun-tahun pertama tampak

ada drive yang kuat sekali untuk membangun kembali kehidupan hukum dan

ekonomi yang sudah hancur berantakan. Disamping program rehabilitasi ekonomi, terasa sekali adanya usaha-usaha untuk menumbuhkan kebebasan berbicara, kebebasan pers, juga kebebasan mimbar pada universitas. Independency pengadilan mulai dijalankan dan respek kepada hukum tumbuh kembali.55

Puncak dari usaha ini adalah dicabutnya Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang lama dan menggantikannya dengan Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru.56 Dengan undang-undang ini dijamin kembali kebebasan peradilan dan segala campur tangan kedalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang.

Bukan itu saja, dalam undang-undang yang baru itu, untuk pertama kalinya secara eksplisit juga diberikan jaminan atas adanya hak atas Bantuan Hukum. Dalam satu bab khusus tentang Bantuan Hukum, terdapat ketentuan-ketentuan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh Bantuan Hukum. Juga ada ketentuan bahwa seorang tersangka dalam perkara

54

Ibid

55

Adnan Buyung Nasution, Op.Cit., Hal. 30 56


(51)

pidana berhak menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukum sejak saat dilakukan penangkapan atau penahanan.57

Dalam rangka pengembangan bantuan hukum ini, maka pada tanggal 10-12 Desember 1971 telah dilangsungkan konferensi Lembaga Bantuan Hukum dan Biro Konsultasi Hukum se Indonesia. Konferensi yang pertama kalinya itu diikuti oleh 17 lembaga-lembaga bantuan hukum dan biro konsultasi hukum dari Universitas antara lain telah mengambil keputusan menyetujui dibentuknya Lembaga Bantuan Hukum Tingkat Nasional merupakan kerjasama antara Lembaga Bantuan Hukum dan Biro-biro Konsultasi Hukum. Disamping itu meminta perhatian dan bantuan Pemerintah Daerah, pers dan mass media agar membantu tersebar luasnya ide bantuan hukum ini.58

Belum sempat melaksanakan tugasnya, maka keluarlah Instruksi KOMKAMTIB No.TR-173/KOPKAM/IV/1972 yang ditujukan kepada semua LAKSUS KOPKAMTIBDA, Kepala Staf Angkatan, Kepala Kepolisian dan Gubernur Kepala Daerah di seluruh Indonesia agar mencegah pembentukan Lembaga Bantuan Hukum daerah kecuali untuk daerah Khusus Ibukota Jakarta. Larangannya atas alasan demi keamanan dan ketertiban.59

Dengan adanya instruksi ini semua rencana pengembangan bantuan hukum dan pembentukan Lembaga Bantuan Hukum Nasional menjadi gagal dan perkembangan bantuan hukum mundur beberapa langkah kebelakang. Dampaknya terhadap proses penegakan hukum sangat besar sekali, sehingga tidak

57

Ibid.,

58

Abdurrahman, Op.Cit., Hal.50 59Ibid.,


(52)

mengherankan bilamana Adnan Buyung Nasution Menggambarkan keadaan bantuan hukum pada saat tersebut sebagai berikut :

“Pada saat sekarang ini atau pada tahun-tahun terakhir ini, angin baru yang segar itu telah pudar, bersamaan dengan hilangnya iklim politik yang demokratis. Kontrol politik dari pihak eksekutif terasa semakin kuat di segala bidang kehidupan, termasuk bidang peradilan. Hal ini jelas membawa pengaruh yang tidak kecil bagi merosotnya bantuan hukum dan profesi hukum di Indonesia.”60

Akhirnya, dapat dicatat bahwa semenjak tahun 1978 terjadi perkembangan yang cukup menarik bagi bantuan hukum di Indonesia dengan munculnya berbagai Lembaga Bantuan Hukum dengan menggunakan berbagai nama. Ada Lembaga Bantuan Hukum yang sifatnya independent, ada Lembaga Bantuan Hukum yang dibentuk oleh suatu organisasi politik atau suatu organisasi massa, ada pula yang dikaitkan dengan Lembaga pendidikan dan lain sebagainya. Dengan demikian, mereka yang membutuhkan batuan hukum dapat lebih leluasa dalam upayanya mencari keadilan dengan memanfaatkan organisasi-organisasi bantuan hukum diatas.

Masa terakhir ini, pemerintah memberikan perhatian penuh kepada masyarakat pencari keadilan. Hal tersebut dapat dilihat bahwa pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Undang-undang ini memberikan jaminan untuk diberikannya bantuan hukum secara cuma-cuma bagi masyarakat kurang mampu.

B. Dasar Pemberian Bantuan Hukum

60


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Bantuan hukum di Indonesia sebenarnya sudah dikenal sejak penjajahan

belanda yaitu perundang-undangan No.1 pada tanggal 16 Mei 1848 tentang Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Pengadilan (R.O). Dalam peraturan inilah, diatur untuk pertama kalinya Lembaga Advokat, maka dapatlah diperkirakan bahwa bantuan hukum dalam arti yang formal dikenal di Indonesia pada saat itu. Setelah Indonesia merdeka, Indonesia membentuk berbagai undang-undang dan memperbaiki tatanan peradilan di Indonesia. Pada akhirnya masyarakat Indonesia dapat merasakan adanya bantuan hukum pada tahun 1970-1971 yaitu pada saat pembangunan Lembaga Bantuan Hukum. Lembaga inilah yang memberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat kurang mampu dan memberikan perlindungan bagi mereka pencari keadilan. Selanjutnya, terhadap pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma ini, pada akhirnya pemerintah memberikan perhatian dengan mengeluarkan Undang-undang Bantuan Hukum No.16 Tahun 2011 yang dengan ini memberikan jaminan kepada masyarakat kurang mampu untuk memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma dan mendapatkan keadilan yang menjadi haknya. Walaupun sebenarnya realisasi


(2)

undang-undang bantuan hukum tersebut belum dirasakan oleh masyarakat yang berada dipelosok-pelosok tanah air.

2. Anak sebagai masyarakat biasa bisa tidak lepas dari hubungannya terhadap

hukum. Terdapat 3 golongan anak yang berhubungan dengan hukum, yaitu : anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum tetap butuh perlindungan hukum. Perlindungan hukum yang dimaksud adalah perlindungan mengenai hak-hak anak agar tidak ditindas oleh para penegak hukum seperti pihak kepolisian, jaksa dan hakim. Untuk melindungi hak-hak anak tersebut, maka dibutuhkan seseorang pembela, dengan kata lain seorang advokat yang memberikan bantuan hukum. Jelas tertuang dalam pasal 51 dan 52 undang-undang pengadilan anak bahwa anak berhak mendapat bantuan hukum. Bantuan hukum yang diberikan adalah mendampingi anak didalam setiap proses peradilan pidana anak mulai dari sianak diperiksa di kepolisian sampai pada putusan yang berkekuatan hukum yang tetap.

3. Di Medan pada tanggal 26 Oktober 1970 telah berdiri suatu Lembaga yang

memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat pencari keadilan yang kurang mampu. Pembentukan Lembaga Bantuan Hukum Medan bertujuan untuk mewujudkan keadilan dalam kehidupan masyarakat Sumatera Utara. Lembaga Bantuan Hukum ini berfungsi untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma bagi masyarakat kurang mampu, memberikan pendidikan akan hukum kepada masyarakat, memberikan kritik-kritik dan saran kepada para penegak hukum yang melakukan penyelewengan, berusaha melakukan


(3)

pembaharuan hukum terhadap undang-undang yang tidak tapat bagi kehidupan masyarakat, membuka lapangan pekerjaan bagi para sarjana-sarjana hukum , dan melakukan pelatihan praktek kepada sarjana-sarjana-sarjana-sarjana hukum yang nantinya akan menjadi advokat profesional. Dalam memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat kurang mampu, LBH Medan juga mempunyai beberapa kendala seperti cakupan wilayah yang cukup luas, jarak tempuh, personil yang sedikit, pemberian keterangan palsu oleh para pemohon, dan yang paling utama adalah masalah dana. Walaupun demikian, LBH Medan tetap melaksanakan tugas dan fungsinya semaksimal mungkin apalagi dalam memberikan bantuan hukum terhadap anak yang dimana lebih diprioritaskan agar sianak tersebut tidak terganggun psikologinya karena berurusan dengan pengadilan yang ribet.

B. Saran

1. Maunya dalam usaha untuk merealisasikan bantuan hukum keseluruh wilayah

Indonesia, pemerintah harus lebih aktif lagi dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan dan membantu lembaga-lembaga yang bergerak dibidang pemberi bantuan hukum gratis apalagi dalam masalah dana. Bukan hanya pemerintah, akan tetapi para praktisi hukum juga diminta untuk memperhatikan masalah pemberian bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat terlebih kepada advokat agar mau memberikan pengorbanan yaitu memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang tersangkut suatu


(4)

perkara tanpa meminta imbalan demi terciptanya masyarakat yang saling menghormati hak asasi manusia.

2. Dalam hal perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum

harusnya lebih diutamakan dan diberi perhatian lebih, karena anak masih rentan terhadap kegiatan-kegiatan peradilan, dan lebih baik diusahakan untuk menyelesaikan perkara anak diluar pengadilan. Selain itu, diharapkan perhatian lebih dari pemerintah dan praktisi hukum untuk mendampingi anak dan memberikan bantuan hukum dalam setiap proses peradilan pidana anak agar hak-hak anak tidak ditindas oleh para penegak hukum yang melakukan penyelewengan kewenangan.

3. Terkait dengan kendala-kendala Lembaga Bantuan Hukum Medan dalam

memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat Sumatera Utara yang membutuhkan, untuk soal dana maunya pemerintah juga membantu lembaga tersebut dengan sepenuh hati dalam memberikan dana bantuan untuk pelaksanaan tugas lembaga tersebut. Dalam hal cakupan wilayah, maunya pihak LBH Medan mendirikan cabang-cabang dari lembaga tersebut disetiap kabupaten/kota agar seluruh masyarakat Sumatera Utara dapat merasakan adanya bantuan hukum tersebut dan tercangkau keseluruh pelosok Sumatera Utara. Dalam hal pemberian keterangan palsu oleh masyarakat, dihimbaukan kepada masyarakat agar tidak menyia-nyiakan bantuan hukum secara cuma-cuma tersebut, karena ada banyak masyarakat Sumatera Utara yang benar-benar membutuhkannya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1983. Aspek-aspek Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: Cendana

Press.

Ali, Achmad. 2002. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: PT.Gunung Agung Tbk.

Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme

dan Abolisionisme. Bandung: Binacipta.

Djamil, M.Nasir. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta Timur: Sinar

Grafika.

Gultom, Maidin. 2013. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung:

PT.Refika Aditama.

Harahap, Yahya. 2000. Pembahasan Permasala han dan Penerapan KUHAP.

Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

Kansil, C.S.T. 1983. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:

PT.Balai Pustaka.

Kusumah, Mulyana.W. 1986. Hukum dan Hak-hak Anak. Jakarta: Rajawali.

Lamintang, P.A.F. 1997. Da sar-dasa r Hukum Pidana Indonesia. Bandung:

PT.Citra Aditya Bakti

Lubis, T.Mulya. 1981. Gerakan Bantuan Hukum di Indonesia (Sebuah Studi

Awal) Dalam Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum:

Kearah Bantuan Hukum Struktural. Bandung: Alumni.

Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep

Diversi dan Restorativer Justice. Bandung: Refki Aditama.

Nasution, Adnan Buyung. 1981. Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Prakoso, Abintoro. 2013. Pembaruan Sistem Pera dilan Pidana Anak. Yogyakarta:

Laksbang Grafika.

Pramukti, Angger.S dan Fuady Primaharsya. 2015. Sistem Peradilan Pidana

Anak. Jakarta: Pustaka Yustitia.

Soekanto, Soerjono. 1983. Bantuan Hukum: Suatu Tinjauan Sosio Yuridis.

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Soemitro, Irma Setyowati. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi

Aksara.

Sunggono, Bambang dan Aries Harianto. 2009. Bantuan Hukum dan Hak Asasi


(6)

Susanto, Anthon.F. 2004. Wajah Peradilan Kita: Konsturksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradila n

Pidana. Bandung: PT.Refika Aditama.

Winarta, Frans Hendra. 1995. Advokat Indonesia: Citra, Idealisme da n

Keprihatianan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

______________ . 2000. Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas

Kasihan. Jakarta: PT.Elex Media Komputindo.

Peraturan Perundang-undangan : Undang-undang Dasar 1945

Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-undang No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat

Undang-undang No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Keputusan Menteri Sosial No. 146/HUK/2013 tentang Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu


Dokumen yang terkait

PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA YANG DIBERIKAN OLEH ADVOKAT KEPADA MASYARAKAT YANG KURANG MAMPU.

1 13 17

PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA TERHADAP PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA TERHADAP MASYARAKAT MISKIN PADA PERADILAN PIDANA.

0 2 11

PENDAHULUAN PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA TERHADAP MASYARAKAT MISKIN PADA PERADILAN PIDANA.

0 3 15

PENUTUP PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA TERHADAP MASYARAKAT MISKIN PADA PERADILAN PIDANA.

0 3 5

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

0 0 9

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

0 0 1

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

0 0 28

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

0 0 26

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan) Chapter III V

0 0 54

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

0 0 2